• Tidak ada hasil yang ditemukan

GITA AMALIA PRATIWI - - T.1.2 Resume

N/A
N/A
GITA AMALIA PRATIWI -

Academic year: 2025

Membagikan "GITA AMALIA PRATIWI - - T.1.2 Resume"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

T.1.2 RESUME

Nama : Gita Amalia Pratiwi NIM : 24811139

Kelompok : C

Dalam proses pengadaan obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP), pemilihan distributor menjadi aspek yang sangat krusial untuk memastikan mutu, keamanan, dan ketersediaan produk yang didistribusikan. Kriteria yang harus dipenuhi oleh distributor dalam pengadaan obat dan BMHP mencakup kepatuhan terhadap standar regulasi yang berlaku serta kemampuan dalam menyediakan produk dengan kualitas yang terjamin. Produsen obat dan Pedagang Besar Farmasi (PBF) harus memperoleh pasokan hanya dari pemasok yang memiliki izin berupa sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Selain itu, bahan aktif dan bahan tambahan obat yang digunakan harus memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan atau dikenal sebagai pharmaceutical grade. Jika bahan tambahan obat tersebut diperoleh dari produsen di luar industri farmasi, maka produsen obat dan PBF wajib memastikan bahwa pemasok telah menerapkan standar Good Manufacturing Practice (GMP) melalui proses evaluasi dan audit yang ketat. Untuk memastikan bahwa pemasok memenuhi standar tersebut, produsen obat dan PBF bahan obat wajib melakukan audit menyeluruh kepada pemasok sebelum menjalin kerja sama.Sementara itu, bahan tambahan obat yang tidak secara spesifik diatur dalam ketentuan tetap dapat diperoleh dari pemasok selain industri farmasi dan PBF. Pasokan bahan obat yang diperoleh dari luar negeri, maka pemasok juga harus memiliki sertifikasi Good Distribution Practice (GDP) selain GMP. Dalam proses pengadaan, pemilihan pemasok dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti manajemen dan struktur organisasi yang jelas, reputasi yang baik, serta kemampuan dalam menyediakan bukti bahwa bahan obat yang dipasok memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Informasi terkait pemasok diperoleh melalui audit berbasis prinsip manajemen risiko, yang bertujuan untuk mengidentifikasi potensi kesenjangan atau ketidaksesuaian dalam pemenuhan standar. Setiap temuan yang muncul selama proses audit harus didokumentasikan dengan baik. Hasil evaluasi terhadap pemasok harus mendapat persetujuan dari apoteker penanggung jawab di PBF atau kepala/penanggung jawab pemastian mutu di fasilitas produksi, serta didokumentasikan secara lengkap guna menjamin transparansi dalam rantai distribusi bahan obat (BPOM, 2023).

Selain aspek pengadaan dan pemilihan distributor, penyimpanan obat dan BMHP di rumah sakit juga merupakan faktor penting dalam menjaga stabilitas dan keamanan produk farmasi. Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi, penyimpanan harus dilakukan sesuai dengan standar yang berlaku agar mutu dan efektivitasnya tetap terjaga. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan obat dan BMHP meliputi sanitasi, pencahayaan, kelembaban, ventilasi, serta penggolongan jenis sediaan farmasi. Obat-obatan yang disimpan harus diberi label yang jelas untuk memudahkan identifikasi. Elektrolit konsentrasi tinggi, kecuali dalam kondisi klinis tertentu yang membutuhkan, tidak boleh disimpan di unit perawatan pasien. Jika harus disimpan di unit perawatan, maka harus dilengkapi dengan pengamanan, diberi label yang jelas, serta diletakkan di area dengan akses terbatas. Obat yang dibawa oleh pasien ke rumah sakit juga harus ditempatkan dalam penyimpanan khusus agar dapat diidentifikasi dengan baik. Selain itu, tempat penyimpanan obat tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain yang berpotensi menyebabkan kontaminasi. Sediaan farmasi yang berisiko tinggi, seperti bahan mudah terbakar, harus disimpan di ruang tahan api dengan tanda peringatan khusus, sedangkan gas medis harus disimpan dalam posisi berdiri dengan ikatan pengaman dan diberi label untuk menghindari kesalahan dalam pengambilan.

(2)

Tabung gas medis kosong harus dipisahkan dari tabung yang masih berisi serta dilengkapi dengan penutup untuk menjamin keselamatan (Permenkes, 2016).

Metode penyimpanan obat dan BMHP di rumah sakit dilakukan berdasarkan berbagai pertimbangan, seperti kategori terapi, bentuk sediaan, atau jenis produk, dengan susunan alfabetis yang mempermudah identifikasi. Prinsip First Expired First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO) wajib diterapkan untuk memastikan rotasi stok yang optimal dan menghindari kedaluwarsa. Sistem informasi manajemen juga harus diterapkan guna mempermudah pelacakan dan pengawasan terhadap sediaan farmasi yang disimpan. Selain itu, obat-obatan dengan tampilan dan nama yang mirip (Look Alike Sound Alike atau LASA) tidak boleh ditempatkan berdekatan untuk mencegah kesalahan dalam pengambilan, dan harus diberi tanda khusus sebagai bentuk antisipasi. Dengan menerapkan sistem penyimpanan yang tepat, risiko kesalahan dalam penggunaan obat dapat dikurangi, sementara mutu dan keamanan produk tetap terjaga sesuai dengan standar yang berlaku (Permenkes, 2016)

Dalam memastikan kualitas dan stabilitas obat selama penyimpanan, pemetaan dan pemantauan suhu area penyimpanan menjadi prosedur yang harus dilakukan secara sistematis. Proses ini diawali dengan penyiapan alat dan bahan yang diperlukan, termasuk thermometer atau Data Logger Temperature yang telah terkalibrasi dengan baik untuk memastikan distribusi suhu dalam ruang penyimpanan dapat terukur secara akurat dan valid.

Selain itu, perangkat lunak komputer yang sesuai digunakan untuk menyimpan dan menganalisis data hasil pemetaan, sedangkan pencatatan suhu dilakukan menggunakan kartu monitor suhu jika hanya menggunakan thermometer manual. ahap awal dalam pemetaan suhu adalah penyusunan protokol pemetaan suhu, yang harus dibuat secara terperinci dan komprehensif agar pelaksanaan pemetaan dapat dilakukan dengan benar. Protokol ini disusun oleh Apoteker Penanggung Jawab (APJ) dan mencakup beberapa bagian penting. Bagian pertama adalah akronim dan glosarium, yang berisi penjelasan mengenai istilah teknis dan akronim yang digunakan dalam dokumen tersebut. Selanjutnya, terdapat deskripsi dan latar belakang, yang menjelaskan alasan pemetaan suhu perlu dilakukan serta memberikan informasi mengenai ruangan yang akan dipetakan suhunya. Ruang lingkup pemetaan suhu juga harus dijelaskan secara rinci untuk menentukan sejauh mana cakupan pemetaan yang dilakukan, diikuti dengan tujuan pemetaan suhu, yang mendefinisikan sasaran yang ingin dicapai melalui proses ini. Selain itu, protokol harus memuat metodologi pelaksanaan, yang mencakup informasi mengenai tahapan atau metode yang digunakan dalam pemetaan suhu.

Hal ini meliputi penentuan tim pelaksana, peletakan thermometer atau data logger temperature menggunakan mapping grid, ukuran dan dimensi area yang dipetakan, serta persyaratan kriteria penerimaan suhu yang harus dipenuhi. Bagian ini juga mencantumkan alat-alat yang digunakan dalam pemetaan suhu guna memastikan data yang diperoleh valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Protokol ini harus mencantumkan template laporan pemetaan suhu, yang akan digunakan untuk menyusun hasil pemetaan secara sistematis.

Selain itu, protokol dapat menyertakan lampiran tambahan yang diperlukan, seperti format pencatatan suhu atau panduan teknis lainnya. Setelah disusun, protokol harus direviu dan disetujui oleh pimpinan PBF atau kepala cabang, kemudian disosialisasikan kepada personel terkait, seperti kepala gudang dan staf lainnya, guna memastikan implementasi yang tepat dan sesuai standar (BPOM, 2020).

Pada tahap pelaksanaan pemetaan suhu, APJ melakukan pembuatan mapping grid, yaitu menentukan titik penempatan alat ukur suhu di area penyimpanan. Penentuan titik lokasi harus mempertimbangkan jarak antar thermometer atau data logger temperature, yang dianjurkan memiliki jarak minimum lima meter dan maksimum sepuluh meter. Peletakan alat ukur suhu juga harus mempertimbangkan luas ruang penyimpanan serta area yang mengalami fluktuasi suhu paling besar, seperti lokasi dekat pintu, area yang terkena paparan sinar

(3)

matahari langsung, serta titik yang paling jauh dari pendingin ruangan. Semua titik penempatan alat ukur suhu ini harus dicatat dalam denah lokasi gudang atau area penyimpanan untuk memastikan akurasi pemetaan. Selama proses pemetaan, suhu harus dicatat secara berkala setiap satu jam (60 menit) sekali selama tujuh hingga sepuluh hari berturut-turut, guna memperoleh data yang valid mengenai suhu di berbagai titik ruang penyimpanan. Setelah data diperoleh, tahap berikutnya adalah analisis data dan pembuatan laporan hasil pemetaan suhu. APJ menganalisis seluruh hasil pemetaan suhu guna menetapkan lokasi dengan suhu paling dingin dan lokasi dengan suhu paling panas, berdasarkan catatan pada kartu monitor suhu atau rekaman data logger temperature selama periode pemetaan. Berdasarkan hasil analisis ini, APJ menyusun laporan yang mencakup rekomendasi dan kesimpulan terkait penempatan thermometer atau data logger temperature.

Setelah dilakukan pemetaan suhu, thermometer atau data logger temperature hanya boleh ditempatkan pada titik yang telah ditentukan, yaitu lokasi dengan suhu paling dingin, lokasi dengan suhu paling panas, serta lokasi dekat pintu. Pemetaan suhu harus dilakukan kembali berdasarkan hasil kajian risiko atau apabila terjadi perubahan signifikan pada fasilitas atau peralatan pengendali suhu, seperti modifikasi tata letak penyimpanan atau pergantian sistem pendingin ruangan. Evaluasi berkala ini penting untuk memastikan bahwa suhu di area penyimpanan tetap sesuai dengan standar yang ditetapkan, sehingga kualitas dan keamanan sediaan farmasi tetap terjaga (BPOM, 2020).

Pemastian suhu penyimpanan tetap dalam kondisi optimal setelah dilakukan pemetaan suhu, diperlukan pemantauan suhu secara berkala. Agar produk tetap terjaga kualitasnya selama penyimpanan, suhu ruangan harus dikontrol sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Principal guna mencegah kerusakan akibat paparan suhu yang tidak sesuai atau sinar matahari langsung. Oleh karena itu, area penyimpanan harus dilengkapi dengan peralatan pemantauan suhu, seperti pengukur suhu, pencatat suhu, atau perangkat lain yang dapat mengidentifikasi suhu ruangan dalam periode waktu tertentu. Tanggung jawab dalam memastikan kondisi suhu tetap stabil berada pada Kepala Gudang, yang harus melakukan pemantauan suhu secara rutin sebanyak 3 kali dalam sehari—pada pagi, siang, dan sore. Hal ini bertujuan agar suhu di seluruh area penyimpanan tetap sesuai dengan standar yang ditetapkan. Setiap hasil pemantauan harus dicatat dalam Kartu Monitor Suhu, yang harus disimpan selama minimal 5 tahun ditambah 1 tahun tambahan untuk keperluan arsip. Selain itu, Kepala Gudang atau Apoteker Penanggung Jawab (APJ) wajib melakukan pemeriksaan berkala terhadap catatan suhu ini berdasarkan analisis risiko, misalnya 1 bulan sekali. Untuk memastikan bahwa alat pengukur suhu memberikan hasil yang akurat, Thermometer atau Data Logger Temperature harus dikalibrasi secara berkala, minimal 1 tahun sekali. Jika terjadi penyimpangan suhu selama penyimpanan di gudang, kondisi ini masih dapat ditoleransi hingga maksimal 2 jam, baik di ruangan dengan suhu ambient maupun di ruangan ber-AC. Namun, apabila penyimpangan suhu berlangsung lebih dari 24 jam, maka petugas gudang harus segera membuat Berita Acara Penyimpangan Suhu sebagai laporan resmi.

Dokumen ini harus segera disampaikan kepada Kepala Gudang dan APJ, serta langkah-langkah perbaikan harus segera diambil agar suhu ruangan kembali normal. Selain itu, lokasi atau titik penempatan termometer dalam ruang penyimpanan harus diperbarui minimal 1 kali dalam 1 tahun agar pemantauan suhu tetap optimal. Semua proses pemantauan dan pengawasan suhu harus terdokumentasi dengan rapi dan sistematis sehingga mudah ditelusuri kembali saat diperlukan. Untuk penggunaan Temperature Data Logger, data suhu harus direkam dengan interval waktu 5 menit, kemudian diunduh serta dicetak setiap 7 hari sekali. Hasil cetakan tersebut harus diperiksa dan ditandatangani oleh petugas yang berwenang serta diketahui oleh Kepala Gudang atau APJ (BPOM, 2020).

Distribusi sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai (BMHP) di rumah sakit dapat dibedakan menjadi dua metode utama, yaitu distribusi internal dan eksternal. Distribusi

(4)

internal mencakup dua sistem utama, yakni sentralisasi dan desentralisasi. Dalam sistem distribusi sentralisasi, seluruh proses distribusi dilakukan secara terpusat oleh Instalasi Farmasi rumah sakit dan disalurkan ke seluruh unit rawat inap tanpa perantara tambahan.

Sementara itu, sistem distribusi desentralisasi melibatkan beberapa depo atau satelit farmasi yang berperan sebagai cabang pelayanan untuk mendistribusikan sediaan farmasi dan BMHP ke berbagai unit rumah sakit, sehingga memungkinkan pelayanan yang lebih dekat dengan pasien. Di sisi lain, distribusi eksternal dibedakan menjadi tiga metode, yaitu sistem resep individual, unit dose dispensing (UDD), dan floor stock. Sistem resep individual dilakukan dengan menyiapkan sediaan farmasi dan BMHP berdasarkan resep perorangan sesuai dengan instruksi pengobatan dokter. Resep ini dapat ditulis secara manual maupun elektronik dan umumnya berlaku untuk satu periode pengobatan tertentu, seperti 7 hari. Metode ini lebih sering digunakan untuk pasien rawat jalan. Unit dose dispensing (UDD) adalah metode distribusi di mana sediaan farmasi dan BMHP dikemas dalam satu wadah untuk satu kali penggunaan atau satu dosis obat. Dengan metode ini, obat yang sudah dikemas per dosis dapat disimpan di lemari obat pasien di ruang rawat dengan persediaan tidak lebih dari 24 jam. Karena dapat meningkatkan keselamatan pasien, metode ini harus diterapkan secara menyeluruh untuk pasien rawat inap. Beberapa rumah sakit juga menggunakan Automatic Dispensing Cabinet (ADC) guna meningkatkan akurasi dan efisiensi dalam proses penyiapan serta pendistribusian obat. Selain itu, terdapat metode floor stock, yaitu sistem distribusi berdasarkan persediaan di ruang rawat. Dalam metode ini, penyiapan obat dilakukan langsung oleh perawat berdasarkan resep atau instruksi pengobatan dari dokter. Sediaan farmasi dan BMHP disimpan di ruang rawat dan menjadi tanggung jawab perawat yang bertugas (Kemenkes RI, 2019).

Manajemen rantai dingin (cold chain management) vaksin di rumah sakit dimulai dari tahap penerimaan, yang mencakup pengecekan nama produk, jumlah, kondisi fisik, nomor bets, tanggal kedaluwarsa, kondisi alat pemantauan suhu, serta indikator Vaccine Vial Monitor (VVM). Indikator VVM menjadi faktor penting dalam menentukan kelayakan vaksin, di mana vaksin dengan indikator VVM A dan B dapat diterima serta disimpan sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Sementara itu, vaksin dengan indikator VVM C dan D harus disimpan pada tempat dengan suhu yang sesuai serta diberikan label khusus. Seluruh temuan penyimpangan harus dicatat dalam laporan dan dituangkan dalam berita acara yang ditujukan kepada pihak pengirim. Dalam penyimpanan, vaksin harus ditempatkan dalam chiller atau cold room dengan suhu 2-8°C untuk vaksin seperti campak, BCG, DPT, Hepatitis B, TT, DPT-HB, dan DT. Sementara itu, vaksin OPV harus disimpan dalam freezer room dengan suhu -15°C hingga -25°C. Jarak antar vaksin dalam chiller tidak boleh terlalu rapat, harus diberikan ruang sekitar 1-2 cm untuk memastikan sirkulasi udara yang baik. Suhu penyimpanan juga harus dipantau secara rutin sebanyak 3 kali sehari, yaitu pada pagi, siang, dan sore hari, serta didokumentasikan dengan baik. Jika terjadi pemadaman listrik, penggunaan generator harus segera diaktifkan. Namun, apabila generator tidak berfungsi, chiller, freezer, atau cold room tidak boleh dibuka. Suhu harus terus dipantau menggunakan termometer, dan jika mendekati 8°C, penggunaan cool pack atau dry ice dapat dilakukan. Jika pemadaman listrik berlangsung lebih dari 1 hari, vaksin harus segera dipindahkan ke fasilitas penyimpanan lain yang memenuhi persyaratan. Distribusi vaksin dan obat di rumah sakit dilakukan dengan sistem First Expired First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO), serta mempertimbangkan indikator VVM untuk memastikan kualitas tetap terjaga. Wadah penyimpanan selama distribusi harus tervalidasi dan memenuhi standar yang berlaku guna menjaga stabilitas produk (BPOM, 2020).

Pemusnahan dilakukan terhadap Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak memenuhi persyaratan mutu, telah kedaluwarsa, tidak layak digunakan dalam pelayanan kesehatan atau ilmu pengetahuan, serta yang dicabut izin

(5)

edarnya. Pemusnahan ini harus disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta mengikuti regulasi yang berlaku. Khusus untuk pemusnahan narkotika, psikotropika, dan prekursor, tindakan ini harus dilakukan oleh apoteker dengan pengawasan dari dinas kesehatan setempat serta dibuat berita acara pemusnahan (Kemenkes RI, 2019). Pemusnahan narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi hanya dilakukan dalam hal diproduksi tanpa memenuhi standar dan syarat-syarat yang berlaku dan/atau tidak bisa diolah kembali, sudah kedaluwarsa, tidak memenuhi persyaratan untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau sebagai pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan, dibatalkan izin edarnya, atau berhubungan dengan tindak pidana. Pemusnahan dilakukan melalui tahapan berupa pemberitahuan dan permohonan saksi ke instansi terkait, penunjukan petugas sebagai saksi, pengawasan dalam proses pemusnahan, verifikasi organoleptis sebelum pemusnahan, dan pencatatan dalam berita acara yang dibuat dalam tiga rangkap serta disampaikan kepada instansi terkait (Permenkes R1, 2015). Jika pemusnahan dilakukan oleh pihak ketiga, Instalasi Farmasi bertanggung jawab untuk memastikan bahwa obat telah benar-benar dimusnahkan. Proses pemusnahan mencakup beberapa tahapan, yaitu menyusun daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang akan dimusnahkan, menyiapkan berita acara pemusnahan, mengoordinasikan jadwal, metode, dan lokasi pemusnahan dengan pihak terkait, menyiapkan tempat pemusnahan, serta melakukan pemusnahan sesuai jenis dan bentuk sediaan berdasarkan regulasi yang berlaku. Pemusnahan ini harus dilakukan oleh pemilik izin dengan disaksikan oleh pengawas serta dituangkan dalam berita acara yang mencakup informasi detail, seperti hari, tanggal, lokasi pemusnahan, pemilik izin, saksi pengawas, pihak yang memusnahkan, nama obat, bentuk sediaan, nomor izin edar, jumlah obat, nomor bets, metode pemusnahan, serta tanda tangan pihak yang terlibat (BPOM, 2022).

Pemusnahan harus dilakukan dengan cara yang tidak menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Obat dalam bentuk tablet, kaplet, kapsul, dan supositoria harus dikeluarkan dari kemasan primer, dihancurkan, lalu dicampur dengan limbah lain untuk mencegah penyalahgunaan. Sediaan padat yang mengandung antibiotik harus dimusnahkan dengan metode enkapsulasi, insinerasi, atau menggunakan cairan basa atau asam sebelum dicampur dengan limbah B3 medis lainnya. Kemasan primer harus dihancurkan dengan cara dicacah atau dirobek sebelum dibuang ke tempat sampah non-medis. Untuk obat dalam bentuk cair, jika terdapat endapan atau mengental, dapat ditambahkan air hingga larut sebelum dibuang ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

Jika mengandung antibiotik, larutan harus disimpan terlebih dahulu selama beberapa minggu sebelum dibuang ke IPAL. Wadah bekas obat harus dirusak dengan cara dipotong, dicacah, atau dipecahkan agar tidak dapat disalahgunakan, serta labelnya harus dihilangkan.

Pemusnahan ampul dan vial dilakukan dengan cara membuka dan membuang isinya ke dalam wadah limbah B3 medis, sementara wadahnya dibuang dalam kondisi rusak. Ampul tidak boleh diinsinerasi karena berisiko meledak. Obat dalam bentuk pen atau benda tajam, seperti pre-filled insulin, harus dikumpulkan dalam wadah khusus yang tidak tembus dan diberi label peringatan. Obat sitotoksik atau antikanker harus dipisahkan dari sediaan farmasi lain dan dikumpulkan dalam wadah khusus yang berdinding keras dengan plastik berwarna putih atau coklat di dalamnya. Wadah ini harus diberi simbol sitotoksik dengan penandaan yang jelas.

Pemusnahan obat ini harus dilakukan dengan metode enkapsulasi, waste inertization, sterilisasi, atau insinerator bersuhu tinggi. Enkapsulasi dilakukan dengan memasukkan limbah ke wadah plastik atau logam hingga 3/4 penuh, lalu diisi dengan busa plastik, semen, pasir, atau tanah liat. Obat antikanker tidak boleh dibuang langsung ke IPAL atau dikubur tanpa enkapsulasi, serta tidak boleh dihancurkan dengan autoklaf atau gelombang mikro.

Vaksin yang rusak atau kedaluwarsa harus dipisahkan dalam unit penyimpanan yang didinginkan dengan label "JANGAN DIGUNAKAN" untuk menghindari penggunaan yang

(6)

tidak disengaja. Vaksin ini harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan disimpan dalam unit penyimpanan dingin sampai ada instruksi lebih lanjut. Pemusnahan harus dilakukan sesuai standar keselamatan, dengan penggunaan alat pelindung diri (APD) seperti sarung tangan dan masker untuk mengurangi risiko cedera akibat benda tajam.

Dengan penerapan prosedur pemusnahan yang tepat, rumah sakit dapat memastikan keamanan lingkungan serta mencegah penyalahgunaan obat yang sudah tidak layak digunakan (Kemenkes RI, 2021) .

Dalam upaya memastikan keamanan obat yang beredar, mekanisme penarikan obat yang tidak memenuhi standar dapat dilakukan melalui dua cara, yakni penarikan wajib (Mandatory Recall) dan penarikan mandiri (Voluntary Recall). Untuk mandatory recall, Badan Pengawas Obat dan Makanan menerima laporan mengenai obat yang tidak memenuhi standar atau persyaratan terkait keamanan, khasiat, mutu, serta labelnya. Setelah menerima laporan, Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan analisis risiko dan menyampaikan informasi terkait potensi risiko dari obat tersebut kepada pemilik izin. Selain itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan juga dapat meminta klarifikasi kepada pemilik izin guna memastikan keakuratan informasi dalam laporan tersebut. Jika hasil kajian menunjukkan bahwa obat tidak memenuhi standar yang ditetapkan, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan akan menerbitkan Instruksi Penarikan yang mencakup perintah untuk melakukan investigasi terhadap penyebab permasalahan, menentukan cakupan penarikan obat, serta melakukan tindakan perbaikan dan pencegahan. Pemilik izin wajib menyampaikan laporan awal, laporan berkala, dan laporan akhir terkait proses penarikan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan sesuai ketentuan yang berlaku. Selanjutnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan akan mengevaluasi laporan mengenai pelaksanaan penarikan obat. Pemilik izin juga bertanggung jawab untuk melakukan pemusnahan terhadap obat yang tidak memenuhi standar serta melaporkan pelaksanaan pemusnahan tersebut kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan. Setelahnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan akan memberikan tanggapan atas laporan pemusnahan obat yang disampaikan oleh industri farmasi, dengan menyalin laporan tersebut kepada Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Pengawas Obat dan Makanan setempat. Penarikan wajib dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dengan menerima laporan mengenai obat yang tidak memenuhi standar. Setelah itu, BPOM melakukan kajian risiko dan meminta klarifikasi kepada pemilik izin sebelum menerbitkan instruksi penarikan. Selama proses ini, pemilik izin wajib menyampaikan laporan secara berkala hingga tahap pemusnahan obat yang disaksikan oleh BPOM dan Unit Pelaksana Teknis terkait. Sementara itu, dalam mekanisme penarikan mandiri, pemilik izin sendiri yang melaporkan rencana penarikan kepada BPOM. Setelah evaluasi dan persetujuan dari BPOM, pemilik izin melakukan penarikan dan pemusnahan obat dengan pengawasan dari BPOM setempat, serta melaporkan hasilnya untuk mendapat tanggapan resmi. Kedua mekanisme ini bertujuan untuk memastikan bahwa obat yang beredar di pasaran aman, berkhasiat, dan memenuhi standar mutu. Sedangkan voluntary recall, pemilik izin terlebih dahulu menyampaikan rencana penarikan obat yang tidak memenuhi standar atau persyaratan terkait keamanan, khasiat, mutu, dan label kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan. Setelah menerima rencana tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan akan mengevaluasi kelayakan serta validitasnya, kemudian memberikan tanggapan secara tertulis kepada pemilik izin dengan tembusan ke UPT Badan Pengawas Obat dan Makanan terkait. Pemilik izin wajib memberikan laporan secara berjenjang, mulai dari laporan awal, laporan berkala, hingga laporan akhir mengenai pelaksanaan penarikan obat kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Setelah itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan akan melakukan evaluasi terhadap seluruh laporan yang telah diterima guna memastikan bahwa proses penarikan telah dilakukan dengan benar.

(7)

Setelah obat yang tidak memenuhi standar berhasil ditarik dari peredaran, pemilik izin wajib melakukan pemusnahan terhadap obat tersebut, termasuk yang masih tersisa dalam persediaan maupun sampel pertinggal. Proses pemusnahan ini harus dilakukan di bawah pengawasan petugas dari Badan Pengawas Obat dan Makanan setempat, kemudian hasil pemusnahan harus dilaporkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan tembusan ke UPT di lokasi industri farmasi serta UPT di lokasi pemusnahan. Sebagai tahap akhir, Badan Pengawas Obat dan Makanan akan memberikan tanggapan atas laporan pemusnahan yang telah disampaikan oleh pemilik izin dan menyalin tanggapan tersebut kepada UPT Badan Pengawas Obat dan Makanan setempat guna memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku (BPOM, 2022).

Dalam pengelolaan obat, terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi dalam proses pengelolaan obat, antara lain (Fakhriadi et al., 2011):

Tahapan Indikator Tujuan Nilai pembanding

Selection Kesesuaian item obat yang tersedia dengan DOEN

Untuk mengetahui tingkat penggunaan obat esensial

49%

Procurement Persentase alokasi dana pengadaan obat

Untuk mengetahui seberapa jauh persediaan dana RS memberikan dana kepada farmasi

30 – 40%

Frekuensi

pengadaan tiap item obat pertahun

Untuk mengetahui berapa kali obat – obat tersebut dipesan dalam setahun

Rendah < 12x/tahun Sedang 12 –

24x/tahun Tinggi >

24x/ tahun

Frekuensi kurang lengkapnya surat pesanan / kontrak

Untuk mengetahui berapa kali terjadi kesalahan faktur

1 – 9 kali

Frekuensi tertundanya pembayaran oleh rumah sakit terhadap waktu yang

disepakati

Untuk mengetahui kualitas pembayaran rumah sakit

0 – 25 kali

Persentase jumlah item obat yang diadakan dengan yang direncanakan

Untuk mengetahui ketepatan

perencanaan

100% – 120%

Distribution Ketepatan data jumlah obat pada kartu stok

Untuk mengetahui ketelitian petugas gudang

100%

(8)

Turn Over Ratio Untuk mengetahui perputaran modal dalam satu tahun persediaan

10 – 23 kali /tahun

Sistem penataan gudang

Untuk menilai sistem penataan gudang

100% FIFO/FEFO

Persentase dan nilai obat yang

kadaluwarsa dan atau rusak

Untuk mengetahui besarnya kerugian rumah sakit

≤ 0,2%

Persentase stok mat Untuk mengetahui sediaan yang tidak mengalami

pergerakan

0%

Tingkat ketersediaan

obat Untuk mengetahui

kisaran kecukupan obat

Minimal sejumlah safety stock

Use Jumlah item obat

perlembar resep Untuk mengukur

derajat polifarmasi 1,3 – 2,2 3,3 Persentase obat

dengan nama generik

Untuk mengukur kecenderungan untuk meresepkan obat generik

82% - 94%

59%

Persentase peresepan obat antibiotik

Untuk mengukur penggunaan antibiotika

< 22,70%

43%

Persentase

peresepan injeksi Untuk mengukur

penggunaan injeksi Seminimial mungkin 17%

Persentase obat yang masuk daftar obat rumah sakit

Untuk mengukur tingkat kepatuhan dokter terhadap standar obat di rumah sakit

100%

Rata-rata kecepatan pelayanan resep

Untuk mengetahui tingkat kecepatan pelayanan farmasi rumah sakit

≤60 menit (racikan),

≤30 menit (sediaan jadi)

Persentase obat yang dapat diserahkan

Untuk mengetahui cakupan pelayanan

76 – 100 %

(9)

rumah sakit Persentase obat yang

dilabeli dengan lengka

Untuk besarnya kelengkapan informasi pokok yang harus ditulis pada etiket

100%

Rumus Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat (Dyahariesti and Yuswantina, 2019) Tahap seleksi Kesesuaian item obat yang tersedia dengan

formularium z = x/y x 100 %

x = jumlah item obat yang digunakan y = jumlah item obat yang tersedia Tahap pengadaan 1. Persentase modal dana yang tersedia

dengan keseluruhan obat yang dibutuhkan z

= x/y x 100 %

x = dana yang tersedia

y = kebutuhan dana yang dibutuhkan

2. Presentase alokasi dana pengadaan obat z

= x/y x 100 %

x = dana yang tersedia

y = kebutuhan dana yang sesungguhnya 3. Kesesuaian pengadaan dengan kenyataan pakai masing–masing obat

z = x/y x 100 %

x =jumlah item obat yang ada diperencanaan

y = jumlah item obat dengan kenyataan pakai

4. Frekuensi pengadaan tiap obat pertahun Ambil kartu stok obat secara acak kemudian diamati berapa kali obat dipesan tiap

tahunnya

5. Persentase kesalahan faktur z = x/y x 100 %

x : jumlah faktur yang salah y : jumlah seluruh faktur

6. Frekuensi tertundanya pembayaran oleh rumah sakit terhadap waktu yang disepakati Amati daftar utang dan cocokkan dengan daftar pembayaran (x hari)

Tahap Distribusi 1. Turn Over Ratio

(10)

Hitung omset dalam satu tahun dan HPP rata – rata nilai persediaan obat

2. Tingkat ketersediaan obat

Hitung jumlah stock obat (x) ditambah pemakaian obat selama 1 tahun (y) kemudian dibagi dengan rata – rata pemakaian obat per bulan

3. Persentase dan nilai obat yang kadaluwarsa dan atau rusak

Dari catatan obat kadaluarsa dalam 1 tahun, hitung nilai (X) dan nilai stock opname (y) 4. Persentase stok mati

Hitung jumlah item obat selama 3 bulan tidak

terpakai (x) dan jumlah item obat yang ada stoknya (y)

Tahap penggunaan 1. Jumlah item obat perlembar resep C = B/A

C: jumlah rata-rata obat tiap resep B : jumlah total produk obat yang diresepkan

A: jumlah resep yang disurvei

2. Presentasi obat dengan nama generik E=

(D/B) X 100 %

E: presentase obat generik yang diresepkan D: total item obat generik yang diresepkan B: total item obat yang diresepkan

3. Persentase peresepan obat antibiotik G = ( F/A) X 100 %

G: presentase antibiotik yang diresepkan F:

total pasien yang menerima satu/lebih antibiotik

A: total jumlah obat

4. Persentase peresepan injeksi I = ( H/A) x 100 %

I : presentase obat injeksi diresepkan H : total pasien yang menerima satu/lebih injeksi

A: total jumlah obat

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM), 2020. Prosedur Operasional Baku Pemetaan dan Pemantauan Suhu Area Penyimpanan. Jakarta:

BPOM RI.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM), 2022. Peraturan Badan POM No. 14 Tahun 2022 tentang Penarikan dan Pemusnahan Obat yang Tidak Memenuhi Standar dan/atau Persyaratan Keamanan, Khasiat, Mutu, dan Label.

Jakarta: BPOM RI.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM), 2023. Surat Edaran Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 5 Tahun 2023 Tentang Kualifikasi Pemasok Bahan Obat. Jakarta: BPOM RI.

Dyahariesti, N. and Yuswantina, R., 2019. Evaluasi Keefektifan Penggelolaan Obat di Rumah Sakit. Media Farmasi Indonesia, 14(1), pp.1485-1492.

Fakhriadi, A., Marchaban & Pudjaningsih, D., 2011. Analisis pengelolaan obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Temanggung tahun 2006, 2007, dan 2008. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi, 1(2), pp.94-102.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2021. Pedoman Pengelolaan Obat Rusak dan Kadaluarsa di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Rumah Tangga. Jakarta:

Kementerian Kesehatan RI.

Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2020. Peraturan Badan POM No. 6 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Badan POM No. 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik. Jakarta: BPOM RI.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Referensi

Dokumen terkait

Pusat Riset Obat dan Makanan (PROM) adalah unit penunjang Badan POM RI yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan POM RI, dalam pelaksanaan

Asuransi Jiwasraya tidak lepas tangan, dan harus bertanggung jawab dalam penyelesaian masalah keterlamabatan pembayaran manfaat kepada nasabahnya, entah dengan

Sekretaris Utama nomor KP.09.03.2.24.12.19.4740 tanggal 31 Desember 2019 perihal Laporan Pengendalian Hukuman Disiplin Pegawai di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan

a) Berkoordinasi dengan pengawas untuk mengatur jalannya pelaksanaan wawancara dan pengambilan sampel responden. b) Bertanggung jawab terhadap implementasi metodologi

Pemilik pekerjaan/proyek adalah orang perseorangan dan badan yang memiliki pekerjaan/proyek yang menyediakan dana dan bertanggung jawab di bidang dana. Dalam pelaksanaan

Terdapat dua laporan kasus efek samping obat pada kulit yang diterima oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang melibatkan metformin, namun juga melibatkan obat-obat lain

didalam KKNI melalui penjaminan mutu, kurikulum, proses pelaksanaan serta fasilitas pelatihan yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh badan/lembaga ditingkat nasional

Tim proyek multifungsi dapat ditempatkan baik di area fungsional yang paling bertanggung jawab untuk proyek atau pada posisi tingkat yang lebih tinggi, seperti melaporkan kepada manajer