MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
HAKIKAT MANUSIA DALAM PERSPEKTIF IBNU SINA DALAM IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
Dosen Pengampu : Didik Wahyudi, M. Pd.
Disusun oleh :
Kelompok 3
Ahirul Umah 2211060006 Diah anggraini 2211060042
PROGRAM PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN INTAN LAMPUNG TAHUN AJARAN 2023/2024
ii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji hanya bagi Allah SWT Tuhan seluruh alam, yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-nya. Shalawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW sampai akhir zaman.
Kami mengucapkan terimakasih kepada teman teman sekalian yang telah membantu menyumbangkan pemikiran nya, memberikan kritik dan saran yang membangun sehingga makalah ini dapat di selesaikan. Tak lupa tim penyusun mengucapkan terimakasih kepada dosen matakuliah filsafat pendidikan islam, bapak Didik Wahyudi, M.Pd yang telah membimbing dan mencurahkan ilmu nya kepada tim penyusun sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, walaupun dalam proses penyusunan nya mengalami sedikit kesulitan. Makalah ini berisi penjelasan mengenai “Hakikat Manusia Dalam Perspektif Ibnu Sina Dalam Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam”.
Pada penyususnan makalah ini, kami menyadari adanya kekurangan dan kekeliruan yang dalam hal ini semata mata karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu, kami membuka pintu selebar lebar nya untuk memberikan kritik maupun saran yang membangun demi kebaikan makalah ini. Atas perhatian nya kami ucapkan terimakasih.
Kami berharap agar hasil dari makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembelajaran selanjutnya.
Wassalamu’alaikum WarohmatullahI Wabarokatuh.
Bandar Lampung, 25 September 2023
Kelompok 3
ii DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... ii
BAB 1 ... 1
PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 1
1.3 Tujuan... 1
BAB II ... 3
PEMBAHASAN ... 3
2.1 Mengenal Tokoh Ibnu Sina ... 3
2.2 Pemikiran Ibnu Sina Mengenai Hakikat Manusia... 4
2.3 Implikasi Pemahaman Ibnu Sina Tentang Hakikat Manusia Terhadap Pendidikan Islam ……….7
2.4 Relevansi Pemikiran Ibnu Sina Tentang Hakikat Manusia Dalam Konteks Pendidikan ... 9
BAB III ... 12
PENUTUP... 12
3.1. Kesimpulan... 12
3.2. Saran ... 12
DAFTAR PUSTAKA ... 13
1 BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hakikat manusia dan pendidikan adalah dua sisi dari koin yang tak terpisahkan.
Hakikat manusia menggarisbawahi sifat-sifat unik yang dimiliki oleh setiap individu, seperti kemampuan rasional, emosi, kreativitas, dan tanggung jawab. Pendidikan, di sisi lain, berperan dalam membantu manusia mengembangkan potensi mereka dan memahami nilai-nilai sosial serta norma-norma yang mengatur masyarakat.
Pendidikan adalah alat yang memungkinkan individu untuk mengaktualisasikan hakikat manusia mereka, memberikan akses ke pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman yang diperlukan untuk berfungsi dalam masyarakat. Dalam prosesnya, pendidikan juga membentuk pemahaman individu tentang hak dan tanggung jawab yang melekat pada kebebasan mereka. Oleh karena itu, hubungan antara hakikat manusia dan pendidikan sangat erat, dengan pendidikan yang membantu manusia memahami, menghormati, dan mengembangkan potensi kemanusiaan mereka.
Hakikat manusia memainkan peran penting dalam pendidikan. Pendidikan dirancang untuk mengembangkan potensi unik setiap individu dan memungkinkan mereka untuk mengaktualisasikan sifat-sifat manusiawi mereka. Pendidikan memberikan alat dan peluang untuk pengembangan intelektual, emosional, dan sosial individu.
Selain itu, pendidikan juga memainkan peran dalam memahamkan individu tentang hakikat manusia, termasuk hak dan tanggung jawab yang melekat pada kebebasan individu. Pendidikan dapat membantu individu memahami nilai-nilai kemanusiaan, seperti toleransi, persamaan, dan penghargaan terhadap keberagaman.
Dalam kesimpulannya, hakikat manusia dan pendidikan adalah dua konsep yang saling terkait. Pendidikan membantu individu mengembangkan potensi manusiawi mereka, sementara pemahaman akan hakikat manusia membimbing pendidikan yang efektif.
1.2 Rumusan Masalah 1. Siapakah Ibnu Sina?
2. Bagaimana pemikiran Ibnu Sina mengenai hakikat manusia?
3. Apa implikasi pemahaman Ibnu Sina tentang hakikat manusia terhadap pendidikan Islam?
4. Bagaimana relevansi pemikiran Ibnu Sina tentang hakikat manusia dalam konteks dunia modern dan tantangan pendidikan saat ini?
1.3 Tujuan
1. Dapat mengenal Ibnu Sina
2. Dapat memahami pemikiran Ibnu Sina mengenai hakikat manusia
2
3. Dapat memahami implikasi dari pemahaman Ibnu Sina tentang hakikat manusia terhadap pendidikan Islam
4. Dapat memahami relevansi pemikiran Ibnu Sina tentang hakikat manusia dalam konteks dunia modern dan tantangan pendidikan saat ini
3 BAB II PEMBAHASAN
2.1 Mengenal Tokoh Ibnu Sina
Latar belakang hidup, pendidikan, dan kerjaya Ibn Sina dapat diketahui melalui autobiografi yang ditulisnya sendiri sebelum kematiannya. Autobiografi tersebut dikenali sebagai Sirah al-Shaykh al-Ra’is. Ia adalah satu catatan peribadi Ibn Sina tentang perjalanan hidupnya yang ditulis atas permintaan murid setianya, al-Juzjani.
Catatan ini kemudiannya disempurnakan oleh al-Juzjani dan menjadi rujukan utama biografi Ibn Sina sehingga kini. Beliau dikenali oleh masyarakat Islam sebagai Ibn Sina dan terkenal dengan nama Avicenna di Barat. Beliau tidak mencatatkan nama penuh beliau di dalam autobiografi tersebut. Namun menurut Soheil M Afnan, nama penuh beliau adalah Abū ‘Alī al-Ḥusayn ibn ‘Abd Allāh ibn al-Ḥasan ibn ‘Alī ibn Sīnā (Afnan, Suhail M, 1958).1
Ibnu Sina merupakan tokoh pemikir muslim yang banyak menguasai bidang ilmu pengetahuan (baik itu ilmu-ilmu agama, sains, kedokteran dan humaniora). Ibnu Sina nama lengkapnya adalah Ali al-Husien bin Abdullah al- Hasan bin Ali bin Sina.
Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, di kawasan Asia Tengah pada tahun 370 H dan meninggal dunia di Hamadzan pada tahun 428 H (1038 M) dalam usia 57 tahun dan negara-negara barat namanya lebih dikenal dengan sebutan Avicena. Ia dilahirkan di Persia pada bulan Syafar 370 H/980 M. Namun orang Turki, Persia dan Arab mengklaim Ibnu Sina sebagai bangsanya. Hal ini dikarenakan ibunya berkebangsaan Turki, sedangkan ayahnya peranakan Arab. Ayahnya tinggal di kota Balkh, tetapi beberapa tahun setelah lahirnya Ibnu Sina, keluarganya pindah ke Bukhara karena ayahnya menjadi gubernur di suatu daerah di salah satu pemukiman Daulat Samaniyah pada masa pemerintahan Amir Nuh ibn Mansur.2
Ibnu Sina menulis banyak risalah tentang logika, psikologi, kosmologi, dan metafisika. Juga ada karya-karya esoteric tentang filsafat timurnya, di antaranya adalah Risalah fi al-‘Isyq (Risalah tentang Cinta), trilogy Hayy bin Yaqdzan (Hidup Putra Kesadaran), Risalah ath-Thair (Risalah tentang Burung) dan Salaman wa Abshal (logika Orang-orang Timur), yang merupakan bagian dari karya besar yang sekarang tidak ditemukan lagi. Karya-karya di atas merupakan sebagian kecil dari banyaknya karya yang telah ditulis semasa hidupnya. Salah satu kitab yang terkenal adalah Al- Qanun fi al-Tibb. Kitab ini adalah buku yang berisi tentang ilmu kedokteran orang Barat menyebut buku ini dengan Canon of Medicine. Buku ini telah diterjemahkan oleh
1 Rafangi, Y. M., Rafee, M., Ibrahim, M. R., & Abd Rahman, M. R. (2020). Hakikat Manusia Menurut Ibn Sina.
Hlm. 100
2 Putra, A. T. A. (2016). Pemikiran Filosofis Pendidikan Ibnu Sina dan Implikasinya pada Pendidikan Islam Kontemporer. LITERASI (Jurnal Ilmu Pendidikan), 6(2), hlm. 193
4
Gerard of Cremona pada abad ke-11 dengan judul Canon yang diterbitkan di Roma pada tahun 1593.
Dari banyaknya cabang ilmu pengetahuan yang ia kuasai Ibnu Sina lebih dikenal dalam bidang kesehatan dan kajian tentang filsafatnya.3 Ibnu Sina wafat pada usia 58 tahun, tepatnya pada tahun 980 H/1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Ia wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah.
Hubungannya dengan konsep pendidikan Ibnu Sina sedikit banyak memberikan rumusan konsep dan tujuan pendidikan Islam, kurikulum pendidikan Islam, konsep pendidik yang dituliskan dalam sebuah kitabnya Al-Siyasah fiy al-Tarbiyah, atau dalam bahasa Indonesianya adalah kebiijakan dalam pendidikan atau politik dalam pendidikan.
2.2 Pemikiran Ibnu Sina Mengenai Hakikat Manusia
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, dibandingkan dengan makhluk-makhlukNya yang lain. Kesempurnaan itu dimiliki oleh manusia, karena Allah memberikan keistimewaan berupa akal pikiran, yang tidak dimiliki oleh makhluk lainya. Disamping itu Allah juga melengkapi kesempurnaan manusia dengan memberinya daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir dan memutuskan. Semua daya tersebut telah dibawa oleh manusia semenjak ia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Di dalam Al-Quran banyak ditemukan penjelasan yang menunjukkan tentang gambaran manusia baik secara biologis maupun psikologis. 4
Dalam Al-Quran manusia disebut menggunakan beberapa istilah dan banyak dijumpai penyebutan manusia sesuai dengan peran yang dimainkannya. Jalaluddin menuliskan kajian dan telaah keilmuan tentang manusia masih terganjal dengan kemampuan rasio atau akal manusia. Konsep dan teori yang dihasilkan sudah cukup banyak, namun belum satupun yang mengarah kepada pengakuan terhadap eksitensi sebagai makhluk ciptaan. Melalui pendekatan filsafat pendekatan Islam meletakkan posisi manusia sebagai makhluk ciptaan Allah swt.
Ada tiga kata yang digunakan Al-Quran tentang manusia, yaitu:
a. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin semacam insan, ins, nas, atau unas.
b. Menggunakan kata basyar.
c. Menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.
Kata basyar ditemukan sebanyak 36 kali dalam bentuk mufrad dan satu kali dalam bentuk mutsanna. Kata ini menunjuk dari sudut lahiriah manusia serta persamaannya dengan semua manusia. Kata insan berasal dari akar kata uns yang
3 Salim, A. (2021). KAJIAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIK IBNU SINA DAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM.
HIKMAH : Jurnal Pendidikan Islam, 10(2), hlm. 5
4 Syarif, M. (2017). Hakekat Manusia dan Implikasinya Pada Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, 2(2), hlm. 136
5
bermakna jinak, harmonis dan tampak. Jika dilihat dari sudut pandang Al-Quran pendapat yang lebih tepat kata insan berasal dari kata nasiya (lupa) atau nasa-yanusu yang bermakna berguncang.5
Pemikiran Ibn Sina secara umumnya banyak dipengaruhi oleh Aristoteles sehingga beliau diklasifikasikan sebagai ahli falsafah Masha’i (Peripatetic philosopher). Ini juga jelas dilihat apabila Dimitri Gutas menulis sebuah buku bertajuk Avicenna and Aristotelian Tradition bagi memperlihatkan besarnya pengaruh Aristotle terhadap Ibn Sina. Begitu juga dalam pandangan Ibn Sina berkaitan manusia. Beliau banyak terinspirasi dengan psikologi Aristotle yang terkandung di dalam De Anima, yang membahagikan jiwa kepada dua jenis: rasional dan tidak rasional. Mengenai jiwa tidak rasional (non-rational souls) yang ada pada tumbuhan dan haiwan, perbincangan tentangnya tidak menimbulkan banyak perbahasan. Namun bagi manusia yang memiliki jiwa rasional (rational soul) dan mempunyai keupayaan yang jauh lebih tinggi dari tumbuhan dan haiwan, perbahasan tentang hakikat manusia menjangkaui sehingga tentang apa yang akan berlaku sesudah kematian.
Ibnu Sina membahas hal substansi dan organ penting yang dimiliki manusia, yaitu akal. Menurutnya manusia memiliki 3 fungsi, yaitu: nabati, tujuannya adalah untuk pertumbuhan dan pembiakan tubuh, haywani yaitu untuk memperoleh tanggapan panca indera dan untuk menggerakkan badan, dan aqli fungsinya untuk pengetahuan.
Jiwa merupakan substansi lengkap yang secara aksidentil terikat pada tubuh yang sesuai dengannya. Jadi akal itu bukan jisim (benda) dan bukan pula daya (tenaga) dalam tubuh.
Dalil yang menunjukkan bahwa manusia itu memiliki jiwa adalah manusia dapat bergerak. Keberadaan manusia dikatakan hidup jika akal (ruh) dan jasad masih menyatu. Ketika ruh sudah tidak menempati atau tidak bersama jasad maka manusia dikatakan mati.6
Menurut Harun Nasution, menurut sugesti yang ada dalam Al-Quran, manusia tidak akan mengetahui hakikat ruh. Ruh adalah urusan Tuhan dan bukan urusan manusia. Namun demikian para filosof Muslim membahas hal ini berdasarkan filsafat tentang yang mereka jumpai dalam filsafat Yunani. Lebih eksplisit dijelaskan Harun, melalui ruhlah manusia memperoleh pengetahuan dan melalui ruh lah manusia dapat hakikat wujud jika ruh bersih dari segala dosa kematerian dan selalu berfikir tentang hakikat-hakikat wujud. Sebagai Aristoteles, Ibnu Sina membagi jiwa 3 bagian, yaitu:
a. Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-nafs an-Nabatiyah) b. Jiwa binatang (an-nafs al-Hayawaniyah) c. Jiwa manusia (an-Nafs an-Nathiqah).
5 Salim, A. (2021). KAJIAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIK IBNU SINA DAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM.
HIKMAH : Jurnal Pendidikan Islam, 10(2), hlm. 6
6 Ibid., hlm. 7
6
Jiwa manusia (an-Nafs an-Nathiqah), dengan dua daya yaitu: praktis, yang berkaitan dengan badan dan teoritis, yang berkaitan dengan hal-hal abstrak. Daya ini memiliki tingkatan:
a. Akal materi yang mempunyai potensi untuk berpikir dan belum walaupun sedikit.
b. Inntellectus in habitu yang telah mulai dilatih berpikir tentang hal-hal abstrak c. Akal aktuil yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
d. Akal mustafad yang telah sanggup berpikir tentang-tentang hal abstrak yang tak memerlukan pada daya upaya. Akal yang telah terlatih sehingga hal-hal yang abstrak selamanya ada dalam akal serupa ini. Akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif (al-‘aql al-fa’al).
Ibnu Sina memahami bahwa manusia memiliki kemampuan intelektual yang unik, yang disebut sebagai ‘aql. ‘Aql adalah kemampuan rasional yang memungkinkan manusia untuk berpikir, merenung, dan memahami dunia dan realitas di sekitarnya. Ia memandang aql sebagai cahaya ilahi yang ada dalam diri manusia. Ibnu Sina mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang cenderung mencari pengetahuan dan pemahaman. Kemampuan untuk belajar dan mengembangkan pengetahuan adalah salah satu ciri khas manusia. Ini sejalan dengan pandangannya tentang aql yang aktif dan rasional. Akal merupakan abstrak yang memiliki fungsi pertumbuhan dan perkembangan, untuk tanggapan panca indera dan menggerakkan anggota tubuh dan untuk memperoleh pengetahuan. Secara sederhana Al-Rasyidin menggambarkan ruh sebagai berikut, ketika ruh berkaitan dengan intelektual dan pemahaman maka ia disebut dengan intelek atau 'aql. Ketika ruh mengatur tubuh maka ia disebut dengan jiwa (nafs). Ketika sedang mengalami pencerahan maka disebut dengan hati (qalb);
ketika ruh kembali ke dunianya abstrak ia disebut ruh.7
Salah satu konsep paling penting dalam pemikiran Ibnu Sina adalah pemisahan antara alam jismiyah (alam fisik) dan alam nafs (alam jiwa). Menurutnya, manusia adalah makhluk yang terdiri dari dua komponen ini: tubuh fisik (jism) dan jiwa (nafs).
Jiwa adalah substansi yang abstrak, tetapi memiliki keberadaan yang nyata dan berhubungan dengan tubuh. Dalam pemikirannya, Ibnu Sina menekankan pentingnya kemandirian manusia dalam mencapai pemahaman dan pengetahuan. Dia mendorong individu untuk menggunakan akal sehat dan aql mereka untuk memahami dunia dan agama dengan cara yang paling rasional. Ibnu Sina juga menggambarkan manusia sebagai makhluk moral yang memiliki kapasitas untuk memahami perbedaan antara benar dan salah. Baginya, pemahaman moral dan etika adalah bagian integral dari perkembangan manusia dan pemahaman diri.
Dalam pemikirannya yang lebih teologis, Ibnu Sina berbicara tentang tujuan akhir manusia, yang ia sebut maqsad. Menurutnya, tujuan akhir manusia adalah mencapai pengetahuan yang mendalam tentang Tuhan dan mencapai kesempurnaan moral serta spiritual. Pemikiran Ibnu Sina tentang manusia menjadi dasar bagi banyak
7 Ibid., hlm. 8
7
pemikiran dalam tradisi filsafat Islam, dan ia memengaruhi pemikiran Barat melalui karya-karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.
2.3 Implikasi Pemahaman Ibnu Sina Tentang Hakikat Manusia Terhadap Pendidikan Islam
Ibnu Sina mengatakan bahwa akal itu wajib dikembangkan dan itulah sebenarnya tujuan akhir dari pendidikan. Akal merupakan salah satu instrument pokok dalam mengurai kekusutan fenomena yang belum ditemukan benang merahnya. Akal diperlukan dalam rangka membuka tabir pengetahuan.8 Tujuan pendidikan menurut Ibn Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
Selanjutnya Ibnu Sina dalam Nata mengatakan bahwa tujuan pendidikan itu harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangan yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti dalam rangka menciptakan insan kamil.
Para ahli pendidikan muslim pada umumnya sependapat bahwa teori dan praktek kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia.
Pembicaraan diseputar persoalan ini adalah merupakan sesuatu yang sangat vital dalam pendidikan. Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan akan meraba-raba, dan bahkan bisa jadi pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami konsep Islam yang berkaitan dengan pengembangan individu seutuhnya.
Bila pendidikan Islam semata-mata menekankan pembentukan pribadi muslim yang sanggup mengabdi, beribadah, dan berakhlak karimah, akibatnya pribadi yang terbentuk adalah kesalehan individual yang mengabaikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan bisa dipastikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan diambil oleh umat yang lain.9
Begitu juga sebaliknya, bila pendidikan Islam hanya memfokuskan perannya sebagai pembentuk khalifah di muka bumi yang sanggup menguasai ilmu dan teknologi dan menguak rahasia alam untuk dikelola demi kemakmuran hidup di dunia, tanpa memberi keseimbangan terhadap fungsinya sebagai hamba Allah SWT, maka manusia bisa pandai, tetapi jiwa dan hatinya kosong dari cahaya ilahi. Dari uraian tentang hakekat manusia dalam konsep Islam, dapat dilihat implikasi penting konsep terbsebut dalam hubunganya dengan pendidikan Islam, yaitu :
a. Pertama, sudah diketahui bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki dua komponen materi dan immateri (jasmani dan rohani), maka konsepsi itu
8 Putra, A. T. A. (2016). Pemikiran Filosofis Pendidikan Ibnu Sina dan Implikasinya pada Pendidikan Islam Kontemporer. LITERASI (Jurnal Ilmu Pendidikan), 6(2), hlm. 194
9 Syarif, M. (2017). Hakekat Manusia dan Implikasinya Pada Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, 2(2), hlm. 145
8
menghendaki proses pembinaan yang mengacu ke arah realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut.
Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan Islam harus dibangun di atas konsep kesatuan (integrasi) antara pendidikan qalbiyah dan aqliyah sehingga mampu menghasilkan manusia muslim yang pintar secara intelektual dan terpuji secara moral. Jika kedua komponen itu terpisah atau dipisahkan dalam proses kependidikan Islam, maka manusia akan kehilangan keseimbangannya dan tidak akan pernah menjadi pribadi-pribadi yang sempurna (insan kamil).
b. Kedua, Al-quran menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan fungsi ini Allah SWT membekali manusia dengan seperangkat potensi.
Dalam konteks ini, maka pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah pengembangan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal, sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk kongkrit, dalam kompetensi-kompetensi yang bermuatan hard skill dan soft skill.
c. Ketiga, fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya sangat bergantung kepada sejauh mana kemampuan umat Islam menterjemahkan dan merealisasikan konsep tentang hakekat manusia dan fungsi penciptaanya dalam alam semesta ini.
Dalam hal ini, pendidikan Islam harus dijadikan sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan dan budaya Islami dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Posisi manusia sebagai khalifah dan ‘abd menghendaki program pendidikan yang menawarkan sepenuhnya penguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas, agar manusia tegar sebagai khalifah dan taqwa sebagai dari aspek
‘abd.
d. Keempat, agar pendidikan Islam berhasil dalam prosesnya, maka konsep hakekat manusia dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta harus sepenuhnya diakomodasikan dalam perumusan teori-teori pendidikan Islam melalui pendekatan kewahyuan, empirik keilmuan dan rasional filosofis.
Dalam hal ini harus difahami pula bahwa pendekatan keilmuan dan filosofis hanya merupakan media untuk menalar pesan-pesan Allah yang absolut, baik melalui ayat-ayat-Nya yang bersifat tekstual (quraniyah), maupun ayat-ayat-Nya yang bersifat kontekstual (kauniyah), yang telah dijabarkan-Nya melalui sunnatullah.
e. Kelima, proses internalisasi nilai-nilai Islam kedalam invividu atau pribadi seseorang harus dapat dipadukan melalui peran individu maupun orang lain (guru), sehingga dapat meperkuat terwujudnya kesatuan pola dan kesatuan tujuan menuju terbentuknya mentalitas yang sanggup mengamalkn nilai dan norma Islam dalam diri insan kamil (Arifin, 2010: 158).
9
2.4 Relevansi Pemikiran Ibnu Sina Tentang Hakikat Manusia Dalam Konteks Pendidikan
Pendidikan adalah sesuatu yang esensial bagi manusia. Dengan pendidikan, manusia bisa menghadapi alam semesta demi mempertahankan hidupnya. Karena pentingnya sebuah pendidikan, Islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang penting dan tinggi doktrinnya. Semua dapat dilakukan asalkan manusia memiliki pengetahuan, mengerti tata caranya dan dapat mempraktikannya. Jika manusia belum mengetahui, maka ia tidak dapat melakukan sesuatu di alam semesta ini.
Berbicara tentang pendidikan, cakupan yang dibahas tidak jauh dari komponen pendidikan. Komoponen-komponen yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan ada enam poin, yaitu : tujuan pendidikan, metode pendidikan peserta didik, pendidik, materi, alat, dan fasilitas, serta lingkungan pendidikan. Dapat dikatakan bahwa ke-enam komponen ini sangat urgent sehingga menciptakan proses belajar.
1. Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Sina, tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti. Berdasarkan perihal tersebut tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina dapat ditegaskan sebagai proses untuk menciptakan insan kamil yakni manusia yang sempurna yakni terbina seluruh potensi yang dimiliki secara optimal dan menyeluruh. Sehingga pada akhirnya mampu melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dimasyarakat.
Ibnu Sina nampaknya dalam memformulasikan suatu tujuan melihat kepada perkembangan potensi dan bakat yang dimiliki oleh subjek didik secara optimal dan meyuluruh, sehingga subjek didik dapat mengembangkan dirinya agar tetap eksis dalam melaksanakan fungsinya yakni sebagai khalifatullah fi ardhi dalam masyarakat dengan suatu keahlian yang dapat diandalkan.10
2. Hakikat Pendidik
Pendidik dalam Sistem Pendidikan Nasional adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen konselor, pamong belajar, widyaswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, seorang pendidik merupakan panutan, contoh atau figur bagi peserta didiknya. Tidak ada satupun cacat yang tampak daripadanya. Bahkan bukan hanya sifat yang perlu dijaga, cara berpakaian yang layak juga nantinya menjadi contoh bagi yang lainnya, khususnya terhadap peserta didiknya.
10 Uni, S. Q. A. Y. (2020). Analisis Pemikiran Pendidikan Menurut Ibnu Sina dan Kontribusinya Bagi Pendidikan Islam di Era Modern. Journal of Islamic Education Research, 1(3), hlm. 233
10 3. Hakikat Peserta Didik
Peserta didik dalam pandangan Islam ialah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan menjadi manusia yang mempunyai ilmu, iman-takwa serta berakhlak mulia sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai pengabdi kepada Allah dan sebagai khalifah.
Adapun etika yang harus dimiliki peserta didik dalam bab ini, salah satunya dipaparkan oleh al-Abrasyi. Etika tersebut diantaranya adalah:
a) Hendaknya mensucikan hati dari hal buruk,
b) Belajar ditujukan untuk memperbagus jiwa dengan kesempurnaan mendekatkan diri kepada-Nya.,
c) Tekun dan jauh dari penduduk dan kampung halaman, d) Tidak terburu-buru pindah ke sekolah lain,
e) Menghormati gurunya,
f) Tidak menyulitkan guru dengan banyak bertanya, g) Tidak membuka aib gurunya, dan lain sebagainya.11 4. Metode Pendidikan
Ibnu Sina sangat menekankan pentingnya pendekatan rasional dan filosofis dalam pendidikan. Ia berpendapat bahwa pemikiran rasional adalah salah satu ciri khas manusia, dan pendidikan seharusnya mempromosikan kemampuan berpikir kritis dan analitis. Ibnu Sina percaya bahwa individu harus aktif dalam mencari pengetahuan. Ia mendorong pembelajaran mandiri dan pengembangan kemampuan diri. Menurutnya, guru harus berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa dalam proses belajar mereka.
5. Kurikulum Pendidikan
Ibnu Sina memiliki pandangan tentang kurikulum pendidikan yang mencerminkan pemahaman filosofis dan ilmiahnya. Kendati tidak secara rinci menyusun kurikulum pendidikan, ia memberikan pandangan dan pedoman yang relevan dalam karyanya.Ibnu Sina menganjurkan pendekatan interdisipliner dalam pendidikan. Ia percaya bahwa pemahaman yang mendalam tentang realitas memerlukan pengetahuan dari berbagai bidang ilmu, termasuk filsafat, ilmu pengetahuan alam, kedokteran, matematika, dan etika. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan seharusnya mencakup berbagai mata pelajaran yang berkontribusi pada pemahaman yang lebih holistik.
Ibnu Sina tidak secara eksplisit merinci kurikulum pendidikan dalam karyanya, prinsip-prinsip ini mencerminkan pandangannya tentang pentingnya pendekatan interdisipliner, pengembangan pemikiran rasional, dan pemahaman holistik tentang dunia dan manusia. Dalam konteks pendidikan modern, konsep-
11 Ibid., hlm. 234
11
konsep ini dapat diadaptasi untuk merancang kurikulum yang mencakup aspek- aspek penting dalam perkembangan manusia.
6. Evaluasi Pengajaran
Ibnu Sina mendorong pembelajaran yang berkelanjutan sepanjang hidup.
Oleh karena itu, evaluasi pengajaran dapat mencakup elemen-elemen yang menilai apakah siswa memiliki sikap positif terhadap pembelajaran berkelanjutan dan pengembangan pribadi. Evaluasi pengajaran juga dapat mencakup elemen-elemen yang mengevaluasi pemahaman siswa tentang nilai-nilai etika dan moral, serta sejauh mana mereka mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam evaluasi pengajaran, penting untuk memeriksa apakah siswa memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi masalah, merumuskan solusi, dan menerapkan solusi tersebut. Ini mencerminkan pendekatan pragmatis Ibnu Sina terhadap pemikiran.
7. Hakikat Lingkungan Pendidikan Islam
Lingkungan pendidikan adalah segala sesuatu yang mendukung terealisasinya pendidikan. Proses pendidikan selalu dipengaruhi oleh lingkungan yang ada disekitarnya, baik lingkungan yang menunjang maupun menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan.
Sebelum mengenal lingkungan luar, manusia terlebih dahulu mengenal lingkungan dalam keluarganya. Maka dari itu lingkungan keluarga yang baik akan membentuk karakter kuat bagi anak. Menginjak usia sekolah, barulah mereka menganal kehidupan di lingkungan sekolahnya. Disana mereka belajar bermacam- macam ilmu pengetahuan yang belum diperolehnya selama berada di lingkungan keluarga. Kemudian puncaknya adalah belajar di Lingkungan masyarakat, bertemu dengan berbagai macam sifat dan karakter manusia.12
Pendidikan karakter dan Akhlak. Selain menjadi seorang ilmuwan besar Ibnu Sina juga sebagai tokoh yang banyak mengetahui tentang tafsir al quran. Beliau menjelaskan tentang konsep manusia sebagai mahluk ciptaan tuhan. Beliau juga menekankan aspek akhlak dan moral manusia. Relevan dengan pemikirannya tersebut di Indonesia telah menggaungkan pendidikan karakter dan moral bangsa. Pendidikan dilaksanakan secara berjenjang.
Di Indonesia dalam sistem pendidikan Nasional dikenal dengan penjenjanga pendidikan, yaitu pendidikan dasar, menengah dan pendidikan Tinggi. Juga diselenggarakan pendidikan berdasarkan jenisnya, pendidikan umum, vokasional dan kegamaan. Konsep tersebut sesuai dengan pemikiran Ibnu Sina bahwa penddikan dilakukan secara berjenjang dan diberikan sesuai keahlianya serta sesuai dengan karakteristik: potensi, minat, dan bakat anak didik.
12 Ibid., hlm. 237
12 BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Filsafat Pendidikan Islam adalah cabang filsafat yang fokus pada pemahaman dan analisis konsep-konsep pendidikan dalam konteks Islam. Ini melibatkan penyelidikan terhadap prinsip-prinsip, nilai-nilai, tujuan, dan metode pendidikan dalam tradisi Islam. Filsafat Pendidikan Islam didasarkan pada ajaran agama Islam, seperti Al-Quran dan Hadis (tradisi Nabi Muhammad SAW). Konsep-konsep seperti tauhid (keyakinan kepada Allah yang Esa), akhlak (moralitas), ilmu pengetahuan, dan akhirat menjadi bagian penting dalam pemahaman pendidikan Islam.
Hakekat manusia dalam konsep Islam adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT, memiliki berbagai potensi untuk tumbuh dan berkembang menuju kesempurnaan ciptaan sesuai dengan yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Dalam Al- Quran menyebutkan manusia dengan berbagai kata yaitu : al-Basyar, Al-Insan, Al-Nas, dan Bani Adam atau zurriyat Adam.
yat Adam. Sebagai makhluk yang diciptakan Allah SWT, manusia mempunyai tugas dan fungsi sebagai hamba Allah (abdullah) dan khalifah Allah di muka bumi.
Sebagai hamba Allah (abdullah) setiap manusia dituntut untuk menjadikan seluruh aktifitas hidupnya sebagai manifestasi dari ketundukan dan pengabdian kepada Allah SWT.
Sebagai khalifah Allah, setiap manusia diberikan Allah segala kemampuan untuk mengolah dan memakmurkan bumi serta isinya, guna memenuhi segala kebutuhan hidupnya, yang dilakukan dengan senantiasa menjaga keseimbangan alam semesta dan menjaga kelestarian alam serta makhluk hidup lainya yang akhirnya diorientasikannyauntuk beribadah.
3.2. Saran
Besar harapan kami semoga dengan disusunnya makalah ini dapat menambah wawasan pembaca dan dijadikan sebagai bahan pembelajaran mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam meskipun penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah, oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya.
13
DAFTAR PUSTAKA
Putra, A. T. A. (2016). Pemikiran Filosofis Pendidikan Ibnu Sina dan Implikasinya pada Pendidikan Islam Kontemporer. LITERASI (Jurnal Ilmu Pendidikan), 6(2), 191-201.
Rafangi, Y. M., Rafee, M., Ibrahim, M. R., & Abd Rahman, M. R. (2020). Hakikat Manusia Menurut Ibn Sina.
Reza, S. (2014). Konsep Nafs Menurut Ibnu Sina. Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, 12(2), 263-280.
Salim, A. (2021). KAJIAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIK IBNU SINA DAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM. HIKMAH : Jurnal Pendidikan Islam, 10(2), 1-9 Syarif, M. (2017). Hakekat Manusia dan Implikasinya Pada Pendidikan Islam. Jurnal
Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, 2(2), 135-147
Uni, S. Q. A. Y. (2020). Analisis Pemikiran Pendidikan Menurut Ibnu Sina dan Kontribusinya Bagi Pendidikan Islam di Era Modern. Journal of Islamic Education Research, 1(3), 225-238.