BAB 2
TINJAUAN TEORI 2.1 Seksio Caesarea
SC ialah persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui sayatan yang dilakukan pada dinding perut dan rahim jika rahim dalam keadaan sehat dan berat janin lebih dari 500 gram. Definisi lain menyatakan bahwa SC dilakukan kepada ibu untuk mengeluarkan bayi dengan melakukan sayatan pada dinding perut (laparotomi) dan dinding rahim (histerotomi) (Mochtar, 2015).
2.1.1 Etiologi
Operasi SC dilakukan bila persalinan pervaginam dapat menimbulkan risiko bagi ibu atau janin, mengingat masalah yang memerlukan operasi SC jika terjadi tahapan kelahiran normal yang berkepanjangan/ kegagalan proses kelahiran spontan, yaitu:
distosia. (Prawiriharjo, 2014) 2.1.2 Fatofisoilogi
Tindakan operasi SC mengakibatkan nyeri dan perubahan kontinuitas jaringan karena proses pembedahan. Nyeri bisa menimbulkan masalah pada proses laktasi, mobilisasi, karena nyeri menimbulkan rasa tidak nyaman. Hal ini bisa berakibat kekakuan otot, konstipasi, dan juga dapat mengganggu sirkulasi darah keseluruh tubuh dan hal itu dapat membuat proses penyembuhan luka menjadi lambat dan mengakibatkan risiko terjadinya infeksi meningkat. (Chairani F. P., 2019)
2.1.2.1 Pada Ibu
a. Perbedaan proporsi kepala panggul/CPD/FPD
CPD Cephalopelvic disproportion adalah suatu jenis perbedaan antara kepala janin dan panggul ibu, atau suatu prosedur yang dilakukan untuk mengeluarkan janin melalui sayatan pada dinding rahim karena besarnya kepala janin dan panggul. . ibu tidak cocok (panggul ibu sempit atau janin terlalu besar).
b. Penurunan fungsi Uterus
Disfungsi hipotonik rahim bersifat lemah, lebih pendek dan lebih jarang terjadi dari biasanya. Kontraksi yang tidak normal lebih aman, lebih singkat, dan lebih jarang dibandingkan biasanya. Selama kantung ketuban masih utuh, biasanya tidak ada risiko terhadap ibu atau janin, kecuali persalinan berlangsung lama, yang dalam hal ini kemungkinan besar akan terjadi morbiditas ibu dan kematian janin.
c. Distosia Jaringan Lunak
Distosia adalah keterlambatan atau kesulitan melahirkan. Distosia disebabkan oleh kelainannya (hipotonik dan hipertonik), kelainan mayor pada janin, bentuk janin (hidrosefalus, kembar siam, prolaps tali pusat), posisi anak (posisi terlentang, posisiimelintang) dan anomali pada tubuh anak itu. jalan lahirt
d. Plasenta Previa
Baik plasenta maupun rahim menempel pada bagian bawah dari rahim sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan keluar lahir bayi. Keadaan ini dapat mengakibatkan perdarahan saat hamil, dan saat melahirkan.
e. His Lemah
Lemah jika sifatnya tidak kuat, cepat berhenti dan frekuensinya tidak normal (5-10 menit). Adapun untuk menentukan kelemahannya harus dihubungkan agar faktor penaklukan tidak mempengaruhi kita. Tidak semua dokter/bidan mempunyai kepribadian sabar seperti ini. Sesuai pengalaman, segera kenali kelemahannya dan segera bertindak.
f. Riwayat SC
Sebelumnya sudah melahirkan dengan tindakan operasi SC.( (Prawiriharjo, 2014)
1. Pada Anak a. Janin Besar
Bayi biasanya dilahirkan berat kurang dari 4 kg, namun ada beberapa kasus dimana janin lahir dengan berat > 4 kg. Jika bayi dalam kandungan berukuran besar, membuat ibu merasa sangat tidak nyaman karena besarnya janin. Dalam hal ini, baik bayi maupun ibu merasakan sakit saat melahirkan. takut akan kelahiran yang tidak lengkap.
b. Gawat Janin
Fetal distress atau kondisi dimana janin tidak sabar untuk dilahirkan. Gawat janin ditandai dengan hipoksia, suatu kondisi di mana janin tidak menerima cukup oksigen. Kondisi ini bisa terjadi sebelum kelahiran (masa janin) atau saat melahirkan (masa prenatal).
c. Letak Lintang
Ovulasi transversal ialah keadaan dimana janin melintang di dalam rahim, dengan keadaan kepala berada di satu sisi dan punggung di sisi lain. Biasanya bokong berada sedikit lebih tinggi dari kepala janin, sedangkan bahu berada di PAP. Grenhi mengatakan, angka kehamilan di Belanda 0,3 persen, 0,5 hingga 0,6 persen.
d. Hycrocephalus
Hidrosefalus merupakan salah satu jenis penyakit yang disebabkan oleh gangguan aliran cairan otak (cairan serebrospinal). Gangguan tersebut menyebabkan penumpukan cairan, yang pada akhirnya menekan jaringan otak di sekitarnya, terutama pusat saraf vital.
(Prawiriharjo, 2014) 2.1.3 Klasifikasi Tindakan Operasi
Menurut (Perry, 2011) klasifikasi Tindakan SC dibagi 2 yaitu : 2.1.3.1 SC Elektif
SC ini direncanakan karena diketahui kehamilannyahharus diselesaikan dengan operasi.
a. Kelebihan :
Waktu operasi dapat diatur oleh dokter yang membantunya dan segala persiapan akan dilakukan dengan baik
b. Kerugian :
Karena persalinan direncaakan, bagian bawah rahim belumterbentuk sempurna sehingga membuat operasi menjadi lebih sulit dan kemungkinan terjadinya atonia uteri serta pendarahan lebih besar karena rahim belum mulai berkontraksi.
2.1.3.2 SC Emergency
SC ini dilakukan segera karena tidak dapat dilahirkan melalui vagina atau merupakan keadaan darurat bagi ibu dan janin. Prosedur ini hanya mengutamakan keselamatan ibu dan juga bayinya.
2.1.4 Penatalaksanaan Ibu Paska SC
Menurut Penelitian (Hartanti, 2014), ibu setelah menjalani pembedahan membutuhkan perawatan sebagai berikut :
2.1.4.1 Ruang Pemulihan
Pasien dipantau secara cermat untuk mengetahui adanya perdarahan vagina dan bagian bawah rahim untuk memastikan rahim berada pada tempatnya. Selain itu juga pemberian cairan infus perlu karena 6 jam pertama pasien berpuasa setelah operasi. Pemberian cairan intravena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit untuk mencegah hipotermia, dehidrasi atau komplikasi organ lainnya.
Hematokrit diukur secara rutin pada pagi hari setelah operasi. Pemeriksaan sebelumnya, jika ada kehilangan banyak darah selama operasi atau tanda-tanda hipovolemia lainnya pada wanita kurus hematokrit kurang dari atau sama dengan 30 dan 12 volume darah normal dan cairan ekstraseluler biasanya bisa mampu menahan kehilangan darah hingga 2000 ml.
2.1.4.2 Ruang Perawatan
Diruang perawatan setelah pulih dari pembiusan, dilakukan onservasi tanda vital setiap setengah jam setelah 2 jam pertama dan tiap 1 jam selama 4 jam setelah hasil tanda vital stabil. pemberian obat-obatan paling banyak setiap 3 jam untuk menghilangkan nyeri. Pemberian cairan iv pada umumnya mendapatkan 3 liter cairan memadai 24 jam pertama setelah pembedahan dengan memperhatikan urin output, bila kadar Hb rendah dapat diberikan transfusi darah. pemberian minuman dengan jumlah sedikit sudah boleh dilakukan pada 6-8jam setelah pembedahan berupa air putih. Kateter umumnya dilepas 12 jam setelah operasi, pemberian makanan padat biasanya setelah 8 jam. ambulasi dilakukan setelah 6 jm pertama dimulai menggerakkan lengan, memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit, setelah 6 jam pertama dapat dilakukan miring kiri kanan, hari kedua paska operasi dapat dibantu duduk 5 menit posisi semifowler. Luka insisi diperiksa setelah 48 jam dengan aseptik teknik.
2.2 Infeksi Daerah Operasi 2.2.1 Pengertian IDO
Infeksi luka operasi kemungkinan besar disebabkan operasi ialah suatu tindakan yang dengan sengaja merusak jaringan tempat berkembangnya mikroorganisme, sehingga memerlukan kebersihan yang maksimal dan juga membatasi jumlah orang yang terlibat dalam operasi tersebut. Perkembangan infeksi berhubungan dengan beberapa faktor yaitu berapa banyak bakteri yang telah masuk ke luka, jenis dan virulensi bakteri, pertahanan tubuh, dan faktor eksternal lainnya. Ada pula beberapa faktor risiko yang dapat
memicu terjadinya infeksi luka operasi, yaitu faktor pasien, faktor pembedahan, dan faktor mikrobiologi.
IDO adalah infeksi luka pasca operasi. Dapat terjadi 30 hari setelah operasi, biasanya 5-10hari paska operasi. IDO bisa terjadi di luka tertutup dan luka terbuka selama proses penyembuhan. Hal ini juga terjadi pada jaringan atau bagian organ, dan pada jaringan yang dangkal (dekat kulit) atau bagian lebih dalam. Dalam kasus yang berkepanjangan, penyakit ini juga dapat mempengaruhi organ.
CDC menyatakan bahwa terdapat aturan baku dalam mengartikan IDO, yaitu: infeksi pada permukaan, artinya infeksi yang terjadi dalam 30 hari setelah operasi, dan infeksi yang hanya menyerang kulit atau jaringan subkutan di lokasi sayatan. SSI adalah infeksi yang terjadi 1 bulan setelah operasi jika implan tidak digunakan pada area yang dalam, dan setelah implan dipasang, infeksinya dapat bertahan hingga 1 tahun dan infeksi ini disebabkan oleh operasi. .luka dan infeksi yang mempengaruhi jaringan lunak dalam. Organ atau penyakit, mis. infeksi yang terjadi dalam waktu satu bulan setelah operasi ketika implan internal tidak digunakan, dan infeksi yang terjadi dalam waktu satu tahun ketika implan digunakan, dan infeksi yang berhubungan dengan luka operasi dan tubuh. infeksi organ tidak hanya di area sayatan, tetapi juga saat operasi. Bakteri penyebab IDO adalah E. coli, Enterococcus, dan terkadang anaerob yang dapat bersumber dari air, kulit, lingkungan, drape. Kebanyakan bakteri adalah stafilokokus.
(APSIC, 2018)
2.2.2 Penyebab IDO Post SC
2.2.2.1 Enviroment (Rumah Sakit)
a. Lamanya waktu tunggu pre operasi di Rumah Sakit
Masa inap sebelum operasi meningkatkan risiko infeksi nosokomial, sehingga melanjutkan pengobatan lebih dari 7 hari sebelum operasi meningkatkan kejadian infeksi pasca operasi, dengan kejadian tertinggi terjadi antara hari ke 7 dan 13 masa berada di rumahsakit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka infeksi sekitar 2 kali lebih tinggi setelah 2 minggu pengobatan dan 3x lebih tinggi sehabis 3 minggu pengobatan dibandingkan bila diobati 1-3 hari pra (Cruse, 2010) b. Lingkungan Rumah Sakit
Lingkungan rumah sakit merupakan reservoir mikroorganisme dan dapat menjadi sumber infeksi. Jika dirawat di rumah sakit dalam jangka panjang, risiko infeksi meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka infeksi sekitar 2 kali lebih tinggi setelah 2 minggu pengobatan dan 3 kali lebih tinggi setelah 3 minggu pengobatan dibandingkan dengan pengobatan 1-3 hari sebelum operasi.
Infeksi Nosokomial terjadi karena adanya transmisi mikroba pathogen yang bersumber dari lingkungan rumah sakit dan perangkatnya. Akibat lainnya yang juga cukup merugikan adalah hari rawat penderita yang bertambah, beban biaya menjadi semakin besar, serta merupakan bukti bahwa manajemen pelayanan medis rumah sakit kurang membantu. Infeksi nosokomial yang saat ini disebut sebagai healthcare associated Infection (HAIs) merupakan masalah serius bagi semua sarana pelayanan kesehatan di seluruh dunia termasuk Indonesia. Bagi masyarakat umum, sarana kesehatan merupakan tempat pemeliharaan kesehatan. Pasien
mempercayakan sepenuhnya kesehatan dirinya atau keluarganya kepada petugas kesehatan, maka kewajiban petugas kesehatan adalah menjaga kepercayaan tersebut. (Baringbing, 2020)
c. Teknik Septic Antiseptic
Polusi yang disebabkan oleh tangan dapat dikurangi dengan menjaga kebersihan tangan. Sarung tangan sangat dianjurkan saat melakukan prosedur aseptik dan pemeriksaan pasien dengan penyakit menular. Saat menangani darah, cairan tubuh atau keringat, feses, urin, selaput lendir dan cairan yang terkontaminasi, pastikan untuk memakai pelindung tangan dan membersihkan tangan Anda sesegera mungkin setelah melepas sarung tangan. Juga digunakan untuk melindungi kulit dan pakaian dari cipratan darah, cairan tubuh, urin dan feses.
d. Prinsip Aseptik Ruangan
Antisepsis dan asepsis adalah upaya untuk mencapai kondisi yang memungkinkan keberadaan bakteri patogen dapat dikurangi atau dihilangkan baik secara kimia, mekanik maupun fisik. Tindakan antiseptik mencakup semua ruang operasi, semua implan, peralatan bedah (sandal, celana, pakaian, masker, topi, dll.) dan pembersihan/disinfeksi kulit, selain perlengkapan bedah.
e. Prinsip Asepsis Personel
Teknik persiapan anggota kamar bedah sebelum operasi meliputi 3 langkah yaitu : Rubbing (mencuci tangan steril), Dressing (teknik pemakaian jas bedah) dan
Glove (teknik penggunaan handscoon steril), dibutuhkan untuk mengurangi risiko infeksi. karena kontaminasi selama prosedur pembedahan (infeksi rumah sakit) Selain untuk pencegahan infeksi rumah sakit, teknologi ini juga digunakan untuk melindungi petugas kesehatan terhadap risiko yang timbul dari prosedur tindakan.
f. Prinsip Asepsis Pasien
Pasien yang dilakukan operasi harus aseptik. Tujuannya adalah untuk melakukan berbagai prosedur yang digunakan untuk menciptakan lapangan bedah yang steril. Prosedur ini termasuk kebersihan pasien, disinfeksi lapangan bedah, dan prosedur perutupan luka.
g. Prinsip Asepsis Instrumen
Instrumen atau peralatan operasi yang digunakan untuk pasien harus betul-betul steril.
h. Ventilasi Ruang Operasi
Ventilasi mekanis dianjurkan untuk menjaga udara masuk ke ruang operasi. Sistem AC diatur. Dengan perencanaan yang tepat dan pergerakan personel yang diarahkan dengan baik, polusi udara selama operasi dapat dijaga di bawah 100 cfu/m3 jika tersedia udara bersih. (APSIC, 2018)
2.2.2.2 Pasien a. Umur
Umur ibu juga berpengaruh pada keadaan ibu dan berhubungan erat dengan kehamilan, persalinan, masa
nifas, dan bayi di dalam kandungan. Jika umur ibu terlampau muda atau terlampautua pada saat hamil (≤20 dan ≥35 tahun), maka kehamilan menjadi rumit karena ibu hamil terlalu muda, tubuhnya belum siap untuk kehamilan, persalinan, dan perawatan nifas. untuk bayi, sedangkan ibu berusia 35 tahun ke atas menghadapi risiko seperti cacat lahir dan komplikasi saat melahirkan karena otot rahim tidak cukup baik untuk hamil. Proses reproduksi wajib dilakukan oleh wanita berusia antara 20 dan 34 tahun, karena situasi darurat saat hamil dan melahirkan jarang terjadi.
Di Indonesia, angka pernikahan muda cukup tinggi, terutama di daerah pedesaan. Masyarakat yang menikah muda belum memiliki informasi reproduksi yang matang atau akses terhadap layanan kesehatan karena kehamilan dan persalinan bukan merupakan kondisi yang perlu didiskusikan dengan profesional kesehatan.
Banyak perkawinan, kehamilan, dan kelahiran yang tidak berada pada tahap reproduksi sehat, lebih utama saat umur muda. Risiko mortalitas pada golongan umur 35 tahun 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada usia reproduksi sehat, yaitu berusia 20-34 tahun. Usia ibu dapat mempengaruhi peluang kelangsungan hidup anak.
Tingginya angka kematian bayi pada perempuan muda dan tua disebabkan oleh faktor biologis yang menyebabkan komplikasi pada masa kehamilan dan persalinan. Menurut para ahli, sekitar 65% kehamilan yang terjadi termasuk dalam kategori “4 juga”, yaitu.
terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering dan terlalu banyak (lebih dari 4 anak). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa risiko SC lebih tinggi pada wanita yang lebih tua, 2-3 kali lebih besar kemungkinannya untuk terlahir dengan SC dibandingkan pada usia 20-an.
Dua indikasi operasi caesar, yaitu persalinan terhambat dan posisi janin tidak normal, dua kali lebih sering terjadi pada wanita berusia lanjut.
b. Paritas Ibu
Paritas yang tinggi, yaitu mempunyai anak lebih dari empat, dapat menimbulkan penyakit ginekologi dan non-reproduksi serta mengakibatkan angka kematian ibu yang lebih tinggi. Risiko paritas dapat diatasi dengan pemeriksaan kehamilan, namun risiko paritas yang tinggi dapat dicegah atau dikurangi dengan keluarga berencana.
c. Berat Badan
Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting pada masa bayi dan balita. Berat badan merupakan hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh. Berat badan dipakai sebagai indikator yang terbaik saat ini untuk mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak, sensitif terhadap perubahan sedikit saja, pengukuran objektif dan dapat diulangi. Pengukuran berat badan digunakan untuk menilai hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh, misalnya tulang, otot, organ tubuh, dan cairan tubuh sehingga dapat diketahui status gizi dan tumbuh kembang anak, berat badan juga dapat digunakan sebagai dasar perhitungan dosis dan makanan yang diperlukan dalam tindakan pengobatan.
Penilaian berat badan berdasarkan umur menurut (WHO, 2018) dengan standar NCHS (National Center for Health Statistics) yaitu menggunakan persentil sebagai berikut: persentil kurang atau sama dengan tiga termasuk katego ri malnutrisi. Penilaian berat badan berdasarkan tinggi badan menurut WHO yaitu menggunakan persentase dari median sebagai berikut:
antara 89–100% dikatakan malnutrisi sedang dan kurang dari 80% dikatakan malnutrisi akut (wasting).
Penilaian berat badan berdasarkan tinggi menurut standar baku NCHS yaitu menggunakan persentil sebagai berikut persentil 75–25% dikatakan normal, pesentil 10% dikatakan malnutrisi sedang dan kurang dari persentil dikatakan malnutrisi berat.
Cara lain untuk mengukur berat badan ideal seorang wanita, dapat diukur dengan menggunakan tabel BMI (Body Mass Index), dengan rumus : BMI = Berat Badan (BB) : (Tinggi Badan (TB) x Tinggi Badan (TB)).
2.2.2.3 Faktor Luka
Faktor luka menurut (Abdurrahmat, 2014) terdiri dari kontaminasi luka, yaitu :
a. Sifat Kejadian
Terbagi menjadi dua yaitu cedera yang disengaja (cedera oleh radiasi atau pembedahan) serta cedera yang tidak disengaja (cedera oleh terkena trauma).
Kecelakaan dibagi menjadi dua kategori, yaitu: Cedera tertutup: cedera di mana jaringan di atasnya tidak rusak (keseleo, keseleo, patah tulang, dll). Luka terbuka ialah luka yang kulit atau selaput jaringannya rusak,
kerusakan tersebut disengaja (pembedahan) atau tidak disengaja (kecelakaan).
b. Berdasarkan Tingkat Kontaminasi 1) Clean Wounds (luka bersih)
Luka bedah yang tidak terinfeksi, proses inflamasi dan infeksi pada saluran pernafasan, pencernaan, urogenital dan saluran kemih tidak ada. Luka tertutup kebanyakan timbul dari luka bersih, bila perlu luka tertutup. Kemungkinan infeksi luka sekitar 1-5%.
2) Clean-contamined Wounds (luka bersih terkontaminasi)
Adalah luka operasi dimana saluran pernapasan, pencernaan, genitourinari atau saluran kemih dalam kondisi terkendali, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan terjadinya infeksi luka adalah 3-11%.
3) Contamined Wounds (luka terkontaminasi)
Termasuk luka terbuka, luka baru, luka tidak disengaja dan operasi yang disebabkan oleh teknik aseptik atau kontaminasi gastrointestinal. Luka ini termasuk insisi inflamasi akut non purulen. Risiko infeksi lukaialah 10-17%.
4) Dirty or Infected Wounds (luka kotor atau infeksi) Adalah Operasi yang sudah terdapat mikroorganisme pada luka sebelum luka dioperasi.
(APSIC, 2018)
2.2.3 Klasifikasi IDO
Klasifikasi Nasional Pengendalian Infeksi Nosokomial IDO dibagi menjadi dua jenis yaitu sayatan yang terbagi menjadi sayatan superfisial yaitu. kulit dan jaringan subkutan, serta jaringan yang lebih dalam, yaitu sayatan dalam IDO. Selain itu, menurut NNSI, penentuan jenis IDO adalah sebagai berikut:
2.2.3.1 Superficial Incision SSI (ITP Superfisial)
Infeksi ini terjadi dalam 30 hari setelah operasi dan infeksi hanya melibatkan kulit dan jaringan subkutan di tempat sayatan, dengan setidaknya salah satu dari yang berikut in:
a. Terdapat nanah (cairan purulent)
b. Terdapat bakteri dari nanah atau tanda dari jaringan superficial
c. Terdapat minimal satu dari tanda-tanda pembengkakan d. Dinyatakan IDO oleh ahli bedah atau dokter yang
merawat.
2.2.3.2 Deep Insicional SSI (ITP Dalam)
Adalah infeksi terjadi selama 30 hari setelah operasi jika tidak ada implan yang digunakan atau dalam waktu 1 tahun jika implan terpasang dan infeksi tampaknya berhubungan dengan pembedahan dan melibatkan jaringan yang lebih dalam (misalnya jaringan otot atau fasia) di lokasi sayatan?
dengan setidaknya salah satu dari berikut ini: keluarnya cairan bernanah dari tempat sayatan, luka terbuka atau gejala peradangan yang didiagnosis oleh ahli bedah, abses terlihat selama operasi ulang, PA atau radiologi,infeksi yang dilaporkan oleh ahli bedah atau dokter yang merawat.
2.2.3.3 Infeksi terkait pembedahan organ dalam
Infeksi yang terjadi dalam waktu 30 hari setelah operasi jika tidak ada implan yang digunakan, atau dalam waktu 1 tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut tampaknya berhubungan dengan pembedahan dan melibatkan bagian anatomi (misalnya organ atau ruang) di lokasi pembedahan.
Sayatan yang dibuka atau dimanipulasi selama operasi dan memiliki setidaknya satu gejala:
a. Keluar cairan purulen dari drain organ dalam b. Didapat isolasi bakteri dari organ dalam c. Ditemukan abses
d. Dinyatakan infeksi oleh dokter bedah atau dokter yang menangani pasien
2.2.4 Faktor Risiko Infeksi Daerah Operasi Faktor risiko IDO menurut (APSIC, 2018) : 2.2.4.1 Faktor risiko Pra Operasi
Faktor risiko pra operasi diklasifikasikan; tidak dapat dirubah. Dari beberapa faktor kemungkinan yang tidak bisadiubah adalah umur. Bertambahnya umur merupakan faktor risiko IDOhingga usia 65 tahun, namun setelah usia 65 tahun, usia justru menurunkan risiko IDO. (Perry, 2011).
Menurut guideline dari surgical site infection prevention and treatment of surgical site infection (APSIC, 2018), salah satu studi observasional prospektif dengan
menggunakan analisis regresi logistik menjelaskan bahwa data yang dianalisis dari 142 pusat medis mengidentifikasi umur menjadi faktor independen terjadinya IDO. Perawat terlatih yang mengumpulkan 163.624 data pasien yang menjalani bedah vaskular, terdapat 7035 diantaranya yang secara statistic memiliki risiko tinggi terhadap IDO, yang mana pasien berumur di atas 40 tahun berisiko lebih tinggi dengan OR 1,24, (95% CI 1,07 – 1,44) dibandingkan pasien yang berumur dibawah 40 tahun. Penelitian (Eva Agustina, 2017) menyebutkan bahwa pasien yang mengalami infeksi daerah operasi yaitu pada pasien yang berumur dibawah 18 tahun memiliki risiko yang signifikan terhadap kejadian IDO.
2.2.4.2 Faktor risiko Peri-operasi dan intra-operasi
Faktor risiko perioperatif terbagi menjadi faktor yang berhubungan dengan beberapa prosedur, fasilitas, persiapan pasien dan faktor intraoperatif. Faktor prosedural meliputi operasi darurat (CITO) , klasifikasi cedera yang lebih tinggi, dan operasi terbuka. Faktor risiko terkait ruangan termasuk ventilasi yang tidak memadai, padatnya lalu lintas personel kamar operasi, dan sterilisasi instrumen/peralatan yang belum memadai. Faktor risiko yang terkait dengan persiapan pasien termasuk infeksi sebelumnya, persiapan kulit yang tidak memadai, pencukuran pra operasi, dan pemilihan, pemberian, atau durasi antibiotik profilaksis yang salah. Faktor risiko intraoperatif meliputi waktu operasi yang lama, transfusi darah, teknik aseptik dan pembedahan, penggunaan sarung tangan/lengan dan antiseptik, hipoksia, hipotermia, dan kontrol glukosa darah yang tidak adekuat.
a. Lama Rawat Pasien Sebelum Operasi
Pasien yang menjalani operasi elektif harus 1 hari sebelum operasi untuk menghindari paparan, namun bila ada kondisi yang memperkecil kemungkinan tersebut, misalnya SSI tidak dilakukan di luar rumah sakit, maka pasien akan mengalami malnutrisi berat.
pasien yang memerlukan hipernutrisi oral atau parenteral dapat diobati lebih awal (Septiari, Betty Bea, 2017). Semakin lama seorang pasien dirawat di rumah sakit, maka pasien tersebut akan semakin terpapar pada hal-hal yang dapat meningkatkan angka infeksi. Sedangkan menurut APSIC 2018, masa rawat inap maksimal sebelum operasi adalah 2 hari.
Lama rawat inap sebelum operasi meningkatkan risiko infeksi nosokomial, sehingga perpanjangan pengobatan melebihi 7 hari sebelum operasi meningkatkan kejadian infeksi pasca operasi, dengan kejadian tertinggi terjadi antara 7-13 hari selama di rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka infeksi sekitar 2 kali lebih tinggi setelah 2 minggu pengobatan dan 3 kali lebih tinggi setelah 3 pekan pengobatan dibanding bila diobati 1-3 hari praoperasi. Durasi operasi mempengaruhi risiko HAI, semakin lama operasi maka risiko HAI semakin tinggi. Lingkungan rumah sakit merupakan reservoir mikroorganisme dan sumber infeksi. Jika dirawat di rumah sakit dalam jangka panjang, risiko infeksi meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka infeksi 2 kali
lebih tinggi selama 2 minggu pengobatan dan 3 kali lebih tinggi setelah 3 minggu pengobatan dibandingkan dengan pengobatan yang diterima 1-3 hari sebelum operasi. Menurut Cruse, terdapat korelasi antara lama rawat inap di rumah sakit preoperasi dengan kejadian infeksi luka operasi.
Tingkat infeksi sebesar 1,2% pada pasien yang dirawat selama 1 hari, 2,1% pada pasien yang dirawat selama 1 minggu, dan 3,4% pada pasien yang dirawat selama 2 minggu. (Cruse, 2010) b. Lama Operasi
Lama operasi adalah waktu yang dibutuhkan dari awal sayatan sampai dokter penanggung jawab menyatakan operasi selesai. Setiap fungsi memiliki konstanta T.Time sesuai tabel berikut. Jika durasinya melebihi waktu normal yang telah ditentukan, maka akan meningkatkan kejadian SSI pada pasien pasca operasi.
Standar Lama Waktu Operasi (T. Time) Tabel 2. 1 Tabel T-Time
No. Jenis Operasi T.Time
(Jam) 1. Operasi bypass arteri coroner 5 2. Bedah hati, pankreas, dan
empedu
4
3. Kraniotomi 4
4. Operasi kepala dan leher 4
5. Operasi usus besar 3
6. Operasi penggantian sendi 3
7. Operasi vascular 3
8. Histerektomi perut atau vagina
2
9. Pergeseran vertical 2 2
10. Herniorafi 2
11. Appendiktomi 1
12. Amputasi anggota badan 1
13. Sectio Caesarea 1
Sumber: Permenkes No 27 Tahun 2017
Menurut buku Medical and Surgical Emergency (Hidayati A.N., 2018), setiap operasi memiliki standar waktu yang berbeda. Waktu operasi untuk operasi kebidanan dan ginekologi meliputi:
Standar Waktu Operasi Buku Gawat Darurat Medis dan Bedah
Tabel 2. 2 Waktu Operasi
No. Jenis Operasi Waktu
1. Sectio Caesarea 1 jam
2. Ruptur Parineum 1 jam 30 menit
3. Histerektomi 2 jam
4. Kista Ovarium 50 menit
5. Mioma Uteri 2 jam
6. Prolapsus Uteri 2 jam
7. Kuretase 30 menit
Sumber : (WHO, 2018)
Penelitian dilakukan di RS Sardjito Yogyakarta (Sumarningsih, 2020) pada pasien operasi SC menunjukkan hasil (p-value = 0,016; OR = 5,238) menunjukkan bahwa semakin lama durasi operasi, semakin tinggi tingkat kontaminasi dari perawatan
bedah. cedera dan meningkatkan risiko kerusakan jaringan dalam jangka panjang. > 1 jam. Penelitian dilakukan di Medan (Ruth, 2019) (Simandjuntak, 2018) menyebutkan bahwa ada hubungan antara lama operasi dengan angka kejadian infeksi luka operasi superfisial pasca ORIF pada patah tertutup lama. kekuatan asosiasi (r antara 0,6 dan 0,79).
Studi Dr. Hasan Sadikin Bandung (Hidayati A.N., 2018) berjudul Perbandingan Hasil Histerektomi dan Komplikasi menyebutkan bahwa lama waktu operasi adalah faktor ancaman yang berhubungan dengan kejadian IDO dengan nilai sig 0,001.
c. Sifat Operasi
Sifat operasi dibagi menjadi 2 yaitu : 1) Operasi Elektif (Terencana)
Operasi elektif adalah tindakan pembedahan yang direncanakan dan dipersiapkan sehari sebelumnya, dilakukan pada pasien dalam keadaan sehat, bukan dalam keadaan darurat (Permenkes, 2017).
2) Operasi CITO (Kedaruratan)
Operasi CITO adalah operasi segera yang mendesak, mengancam jiwa atau membahayakan fungsi organ tubuh atau anggota tubuh manusia. Pasien membutuhkan perhatian segera; gangguan tersebut dapat mengakibatkan kematian. Indikasi untuk operasi segera, seperti pendarahan hebat, obstruksi kandung kemih atau usus, patah tulang tengkorak, luka tembak atau tusukan, luka bakar yang luas.
Penjadwalan Bedah CITO dan Penjadwalan Bedah Elektif adalah perencanaan CITO dan jam buka bedah elektif, dengan mempertimbangkan keselamatan pasien, akses dokter bedah dan pasien ke lokasi bedah, memaksimalkan efisiensi ruang operasi, dan meminimalkan waktu tunggu pasien.
Hasil studi kasus kontrol dari penelitian sebelumnya (Aditya, 2018) menunjukkan bahwa rencana pembedahan (OR 9,257; 95% CI 3,46-28,130) dan jenis pembedahan (OR 5,018; 95) merupakan faktor yang berhubungan dengan terjadinya IDO. %CI 1.792- 14.053).
c. Kondisi pasien berdasarkan American Society of Anesthesiologists (ASA) Skor
Pasien yang menjalani pembiusan dan operasi diklasifikasikan ke beberapa kategori status fisik yang digunakan oleh American Society of Anesthesiologists (ASA). Keadaan pasien sebelum operasi di lihat berdasarkan klasifikasi ASA Skor, diantaranya:
Tabel 2. 3 ASA Skor
Klasifikasi ASA
Definisi Contoh
ASA I Pasien Sehat Sehat, tidak merokok, tidak mengkonsumsi atau
mengkonsumsi alcohol secara minimal.
ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan
Gangguan sistemik ringan, tanpa batasan aktivitas fungsional. Contohnya
termasuk (namun tidak terbatas pada): perokok saat ini, peminum alcohol social, wanita hamil, obesitas (30<BMI<40), well-controlled DM/
Hipertensi.
ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat
Gangguan sistemik berat, dengan keterbatasan fungsional. Satu atau lebih penyakit moderat/ sedang hingga penyakit berat.
Contohnya termasuk (namun tidak terbatas pada): DM tidak terkontrol atau hipertensi, PPOK, Obesitas (BMI ≥40), hepatitis aktif, ketergantungan alcohol, implant alat pacu jantung, pengurangan fraksi ejeksi, End Stage Renal Disease (ESRD) yang menjalani hemodialisis secara teratur, bayi premature PCA
<60 minggu, sejarah (> 3 bulan) dari MI, CVA, TIA, CAD.
ASA IV Seorang pasien dengan penyakit sistemik berat yang
mengancam jiwa
Contohnya termasuk (namun tidak terbatas pada): (<3 bulan) MI, iskemia jantung yang sedang berlangsung atau disfungsi katup yang berat, penurunan atau disfungsi fraksi ejeksi, sepsis, DIC, ESRD yang tidak menjalani dialysis secara teratur.
ASA V Pasien sakit berat yang kemungkinan tidak selamat tanpa operasi
Kemungkinan tidak bertahan hidup >24 jam tanpa tindakan operasi, kemungkinan meninggal dalam waktu dekat (kegagalan multiorgan, sepsis dengan keadaan hemodinamik yang tidak stabil, hipotermia, koagulopati tidak terkontrol) ASA VI Pasien dengan
brain dead yang organnya akan diambil untuk didonorkan
Hasil studi cross-sectional sebelumnya (Chairani F.I., 2019) menyatakan bahwa faktor yang memiliki hubungan dengan kejadian IDO ialah Skor ASA (p=0,024) dan transfusi darah pasca operasi (p=0,004).
d. Antibiotik Profilaksis
Antibiotik pencegahan prabedah diartikan sebagai antibiotik yang diberikan kepada pasien sebelum munculnya tanda dan gejala infeksi dengan tujuan mencegah manifestasi klinis dari dugaan/kemungkinan infeksi (Prasetya, 2013). Diberikannya antibiotik sebelum, selama, dan hingga 24 jam setelah operasi tanpa adanya tanda klinis infeksi untuk menghindari infeksi daerah operasi. Selama operasi, antibiotik diharapkan mencapai tingkat optimal pada jaringan target, efektif mencegah pertumbuhan bakteri. Selain ketepatan pemilihan jenis, prinsip penggunaan antibiotik preventif juga memperhatikan konsentrasi antibiotik pada jaringan di awal dan selama operasi (Permenkes, 2017).
1) Kegunaan diberikannya antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan (Permenkes, 2017):
a) Penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Daerah Operasi.
b) Penurunan morbiditas dan mortlitas pasca operasi c) Penghambatan muncul flora normal resisten d) Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan
2) Indikasi penggunaan antibiotic profilaksis didasarkan kelas operasi, yaitu operasi bersih dan bersih kontaminasi.
3) Dasar pemilihan jenis antibiotic untuk tujuan profilaksis:
a) Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri pathogen terbanyak pada kasus bersangkutan.
b) Spectrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri.
c) Toksisitas rendah.
d) Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi.
e) Bersifat bakterisidal.
f) Harga terjangkau.
4) Rute Pemberian
a) Antibiotic profilaksis diberikan secara intravena
b) Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan pemberian antibiotic intravena drip.
2) Waktu pemberian
Antibiotic profilaksis diberikan 1 jam sebelum insisi kulit.
Idealnya diberikan pada saat induksi anestesi 3) Dosis pemberian
Antibiotik dengan dosis yang cukup tinggi diperlukan untuk memastikan tingkat puncak yang tinggi dan berdifusi dengan baik ke dalam jaringan. Pada jaringan sasaran pembedahan, kadar antibiotik harus mencapai tingkat penghambatan minimal paling banyak 2 kali lipat tingkat terapeutik.
4) Lama pemberian
Durasi pemberian adalah dosis tunggal 5) Antibiotik Profilaksis Bedah Sesar
Penisilindan sefalosporin termasuk dalam kelompok antibiotik β lactam yang telah lama dikenal. Tinjauan
sebelumnya menunjukkan jika ampisilin dosis tunggal atau sefalosporin generasi pertama sama efektifnya dalam mengurangi infeksi (Saraswati, 2013).
a) Penisilin
Penisilin mencegah pembentukan mucopeptida, yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba.
Penyerapan sebagian besar penisilin setelah pemberian parenteral selesai dan cepat. Pemberian secara intravena sering dianjurkan karena dosis intramuscular yang besar menyebabkan iritasi dan nyeri di tempat suntikan. Penisilin didistribusikan secara luas dalam cairan tubuh dan jaringan setelah penyerapan. Sebagian besar penisillin yang cepat diekskresikan oleh ginjal melalui urin, dan sejumlah kecil juga diekskresikan melalui jalur lain.
(Saraswati, 2013).
b) Sefalosporin
Sefalosporin muncul sebagai metode kontrasepsi pilihan untuk beberapa jenis operasi. Sefalosporin banyak digunakan karena memiliki spektrum aktivitas yang luas dan sedikit efek samping.
Antibiotik sefalosporin dikelompokkan berdasarkan generasi. Senyawa generasi pertama (misalnya, sefalotin dan cefazolin) memiliki aktivitas melawan gram positif dan sedikit aktivitas melawan gram negatif. Generasi kedua (misalnya ceflor, cefuroxime, dan cefoxitin) memiliki aktivitas yang sedikit lebih baik terhadap bakteri gram negatif dan mengandung beberapa senyawa dengan aktivitas
terhadap bakteri anaerob. Generasi ketiga (misalnya cefotaxime, ceftriaxone, dan ceftazidime) memiliki aktivitas terhadap organisme gram negatif dan aktivitas yang lebih besar terhadap Enterobacteriaceae, serta satu kelompok yang aktif terhadap P. aeruginosa. Spektrum generasi keempat (misalnya, cefepime) mirip dengan golongan ketiga, namun memiliki stabilitas yang lebih baik terhadap hidrolisis oleh β-laktamase. Injeksi sefalosporin generasi pertama intravena menembus dengan baik ke sebagian besar jaringan dan merupakan obat terbaik untuk profilaksis bedah, terutama cefazolin (Saraswati, 2013).
Tabel : Rekomendasi Dosis dan Dosis Berulang beberapa antibiotic Profilaksis
Antibiotik Rekomendasi dosis
Half-life dengan fungsi ginjal normal
(jam)
Rekomen dasi dosis berulang
(jam) Ampicillin-
sulbactam
3g (ampicillin 2g/sulbactam 1g)
0,8-1,3 2
Ampicillin 2g 1-1,9 2
Cefazolin 2g 1,2-2,2 4
Cefuroxime 1,5g 1-2 4
Cefotaxime 1g 0,9-1,7 3
Ceftriaxone 2g 5,4-10,9 6
Clindamysi n
900mg 2-4 -
Gentamisin 5mg/kg BB 2-3 - Metronidaz
ole
500mg 6-8 -
Antibiotik Rekomendasi dosis Half-life dengan fungsi ginjal normal (jam) Rekomendasi dosis berulang (jam)
Tabel 2. 4 Antibiotik Profilaksis
(ASHP Therapeutic Guideline, 2013)
f. Mandi Sebelum Operasi
Secara umum, mandi sebelum operasi menggunakan sabun (antimikroba atau non-antimikroba) dianggap bermanfaat sebelum operasi, meskipun sangat sedikit penelitian yang membandingkan tindakan mandi sebelum operasi dalam kaitannya dengan kejadian IDO. Mandi sebelum operasi dengan klorheksidin (CHG) dapat mengurangi kolonisasi bakteri pada kulit. Namun, dalam tinjauan sistematis dan meta-analisis baru-baru ini, penggunaan CHG tidak menunjukkan penurunan SSI dibandingkan dengan plasebo.
Klorheksidin harus dibiarkan di kulit setidaknya selama 5 menit sebelum dicuci untuk mendapatkan efek terbaik, yang dapat menjadi faktor pembatas dalam mandi klorheksidin. Mencuci kain yang mengandung klorheksidin dengan klorheksidin dan mencuci dengan klorheksidin secara lebih persisten untuk mengurangi dekolonisasi bakteri pada kulit juga tidak menunjukkan penurunan IDO.
Bukti terkini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara mandi biasa dan mandi antiseptik. Sebanyak sembilan penelitian meneliti pengaruh mandi atau mencuci sebelum operasi dengan sabun antimikroba dibandingkan dengan sabun biasa tanpa penurunan skor SSI yang signifikan (OR 0,92; 95% CI = 0,8–1,04). Meskipun rekomendasi untuk mandi sebelum operasi vs. operasi dan mandi mana yang paling efektif sebelum operasi masih belum pasti, Anda disarankan untuk mandi setidaknya dua
kali sebelum operasi. Negara-negara dengan prevalensi MDRO yang tinggi mungkin mempertimbangkan penggunaan sabun antiseptik dibandingkan sabun biasa untuk mandi sebelum operasi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan efektivitas sediaan antiseptik pada kulit sebelum operasi. Di beberapa negara Asia di mana alergi CHG umum terjadi atau CHG tidak tersedia, agen alternatif seperti octenidine dapat digunakan (APSIC, 2018).
2.2.4.3 Faktor Risiko Pasca Operasi
Adapun faktor risiko penting pada periode pasca operasi.
Hiperglikemia dan diabetes penting pada periode pasca operasi. Dua variabel risiko pasca operasi penting lainnya adalah perawatan luka dan transfusi darah pasca operasi.
Perawatan luka pasca operasi ditentukan dengan teknik penutupan area luka operasi (insisi). Luka primer tertutup harus tetap bersih dengan pembalut steril selama 1-2 hari setelah operasi. Akhirnya, sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa transfusi satu unit darah pada periode segera pasca operasi merupakan faktor risiko IDO (rasio odds 5 3,5). Namun, kebutuhan transfusi tidak boleh ditolak jika sesuai secara klinis (APSIC, 2018)
2.2.5 Pengawasan IDO
Menurut (APSIC, 2018) Surveilans adalah metode sistematis yang melibatkan pengamatan peristiwa tertentu, pengumpulan dan analisis data yang bermakna tentang peristiwa tersebut, dan mengkomunikasikannya kepada staf klinis yang dapat menerapkan strategi berbasis bukti untuk meningkatkan hasil dengan mengurangi frekuensi peristiwa. Pemantauan IDO dan pemberian
umpan balik informasi yang bermakna kepada ahli bedah dan profesional kesehatan lainnya yang terlibat dalam perawatan pasien yang menjalani prosedur pembedahan telah terbukti menjadi bagian penting dari strategi pengurangan risiko IDO. Program surveilans yang dianggap berhasil mencakup penggunaan definisi standar SSI dan metode surveilans, stratifikasi tingkat SSI berdasarkan faktor risiko untuk mengembangkan SSI, dan memberikan umpan balik data secara tepat waktu. Jaringan Keselamatan Kesehatan Nasional (NHSN), yang dikembangkan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, menyediakan modul/komponen untuk melacak berbagai infeksi terkait layanan kesehatan, termasuk SSI. Sistem ini dianggap sebagai standar internasional dan banyak negara mendasarkan program pengawasan IDO mereka pada NHSN dengan sedikit modifikasi. Untuk melakukan pemantauan IDO, langkah pertama adalah mengembangkan program pemantauan Anda sendiri dengan memilih metode kerja yang akan diikuti. Setelah ditentukan, kumpulkan data pembilang dan penyebut yang terkait dengan prosedur yang dipilih selama periode waktu tertentu. Semua operasi yang melibatkan prosedur bedah yang ditargetkan harus dipantau dan dipantau untuk infeksi SSI di lokasi superfisial, dalam, dan organ/ruang (lihat Lampiran untuk kriteria). Surveilans SSI memerlukan observasi aktif terhadap pasien potensial, termasuk meninjau grafik pasien dan kunjungan ke bangsal pasien.
Menurut definisi, pasien harus diikuti 30 atau 90 hari setelah operasi sesuai dengan metodologi NHSN. Oleh karena itu, penting untuk memantau keluarnya pasien. Peran pemantauan status luka berbasis telepon atau foto belum ditentukan. Analisis data dapat dilakukan dengan beberapa cara. Cara yang paling umum adalah menghitung kejadian IDO selama periode waktu tertentu untuk prosedur tertentu. Jumlah IDO yang diamati dibagi dengan jumlah
prosedur pembedahan untuk perhitungan. Saat membandingkan tingkat SSI antar rumah sakit atau dalam satu rumah sakit dari waktu ke waktu, penyesuaian risiko harus dilakukan. Hal ini karena meskipun pasien menjalani jenis prosedur pembedahan yang sama, risiko IDO mereka dapat bervariasi tergantung pada kondisi umum, tingkat kontaminasi di ruang operasi, dan faktor risiko. Kasus dengan bobot risiko paling baik digambarkan dengan rasio infeksi standar (SIR), yang dapat dihitung dengan membagi estimasi jumlah kasus IDO dengan jumlah kasus IDO yang diamati (APSIC, 2018).
2.3 Peran Keperawatan dan Posisi Perawat dalam Pencegahan Infeksi
Penyakit menular oleh bakteri menjadi permasalahan kesehatan di dunia, termasuk Indonesia. Di rumah sakit sekarang lebih dikenal sebagai HAIs.
Perkembangan HAIs selama ini berkembang dari yang sederhana menjadi kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pencegahan dan pengendalian penyakit menular khususnya infeksi nosokomial memerlukan pengetahuan tentang konsep dasar penyakit menular.
Kemampuan pencegahan penyebaran infeksi dan upaya pencegahan infeksi merupakan kualitas pelayanan tingkat pertama. Untuk memberikan pelayanan yang berkualitas, seorang tenaga kesehatan harus mampu mencegah infeksi yang sangat penting bagi pekerjaannya, karena mencakup semua aspek perawatan pasien. Masalah infeksi semakin menarik perhatian para pakar, karena selain meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas, juga meningkatkan biaya, waktu dan tenaga pengobatan dan obat-obatan, dapat membebani pemerintah atau rumah sakit, staf, pasien dan keluarga mereka. Tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam pembangunan di bidang kesehatan yang menekankan pada efisiensi pelayanan kesehatan. Perawat berperan utama dalam mengurangi kejadian hospital-acquired infection (HAIs) dengan memutus mata rantai infeksi. Perawat bersentuhan secara langsung kepada pasien
dan dapat menjadi agen infeksi bagi perawat dan pasien. Perawat dapat mencegah infeksi dengan memutus mata rantai infeksi. Perilaku keperawatan dapat ditunjukkan dengan meningkatkan efektivitas perawat dan mengikuti tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi.
Perkembangan tidakan keperawatan dipengaruhi oleh pengetahuan perawat dan kepatuhan pada kewaspadaan standar (Megawati, 2020).
Menurut Hidayat (2012), perawat menyandang tugas dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas keperawatan yaitu:
2.3.1 Pemberian perawatan (Care Giver)
Tugas seorang perawat adalah memberikan pelayanan asuhan, karena sebagai perawat dimungkinkan terwujudnya pemberian pelayanan asuhan dengan memenuhi kebutuhan akan asuhan, kasih sayang dan asuhan keluarga. Contoh pekerjaan keperawatan antara lain kegiatan membantu klien secara fisik dan psikologis dengan tetap menjaga martabat klien. Tahapan perawatan yang diperlukan dapat mencakup perawatan total, perawatan parsial untuk pasien dengan kecanduan parsial, dan pendidikan sufortif guna menolong klien memperoleh kesehatan dan kesejahteraan optimal. Saat merencanakan perawatan pasien yang efektif, perlu ditentukan keperluan utama klien dan anggota keluarga.
2.3.2 Sebagai advokat keluarga
Selain melakukan tugas utama dalam merawat, perawat juga mampu sebagai advokat keluarga sebagai pembela keluarga dalam beberapa hal seperti dalam menentukan haknya sebagai klien.
Dalam peran ini, perawat dapat mewakili kebutuhan dan harapan klien kepada profesional kesehatan lain, seperti menyampaikan keinginan klien mengenai informasi tentang penyakitnya yang diketahui oleh dokter. Perawat juga membantu klien mendapatkan hak-haknya dan membantu pasien menyampaikan keinginan.
2.3.3 Pencegahan Penyakit
Pencegahan merupakan bentuk pekerjaan keperawatan, sehingga tindakan preventif yang disebabkan oleh penyakit atau masalah harus selalu menjadi prioritas bagi setiap perawat. Hal yang paling menonjol adalah keamanan, karena setiap kelompok umur berisiko mengalami beberapa jenis cedera, pelatihan pencegahan dapat membantu mencegah banyak cedera, sangat mengurangi kecacatan permanen dan kematian pasien.
2.3.4 Pendidik
Dalam merawat klien, perawat berperan sebagai edukator, karena melalui pendidikan kesehatan khususnya keperawatan harus selalu ada pesan ganda dan kesempatan merubah perilaku pasien atau keluarga. Dengan adanya pelatihan ini diharapkanklien tidak menderita penyakit yang sama dan dapat merubah perilaku penyakitnya. Contoh peran perawat sebagai pendidik adalah bahwa tujuan keseluruhan dari konseling pasien dan keluarga adalah untuk meminimalkan stres pasien dan keluarga, mengajari mereka tentang perawatan dan perawatan di rumah sakit, dan memastikan bahwa keluarga memiliki perawatan di rumah yang memadai saat pulang.
2.3.5 Konseling
Konseling adalah upaya perawat dalam menunaikan tugasnya, menyisakan waktu untuk konsultasi tentang masalah yang dihadapi pasien dan keluarga, berharap berbagai masalah tersebut dapat diselesaikan dengan cepat, serta berharap tidak ada kesenjangan antara perawat, keluarga dan pasien. Manajemen diri mencakup dukungan emosional, psikologis dan spiritual.
Dalam hal ini, perawat secara khusus menasihati orang-orang dengan kesulitan penyesuaian yang sering dan berfokus untuk membantu orang-orang ini mengembangkan sikap, perasaan, dan perilaku baru, mendorong klien untuk menemukan cara alternatif untuk berperilaku, mengeksplorasi pilihan yang tersedia, dan mengembangkan pengendalian diri.
2.3.6 Kolaborasi
Kolaborasi adalah yang mendefinisikan aktivitas perawat dengan tim kesehatan lainnya. Merawat pasien tidak hanya dilakukan oleh perawat saja, bersama tim kesehatan lain seperti dokter, ahli gizi, psikolog, dan lain-lain, mengingat pasien merupakan individu yang kompleks atau memerlukan perhatian dalam perkembangannya.
2.3.7 Pengambilan Keputusan etik
Perawat memiliki peran yang sangat penting dalam pengambilan keputusan, karena perawat selalu berhubungan dengan pasien selama kurang lebih 24 jam, selalu dekat dengan pasien, sehingga peran perawat sebagai pembuat keputusan etis dapat dimainkan oleh perawat
2.3.8 Peneliti
Sebagai seorang ilmuwan perawat, ia harus menyelesaikan studi perawatan pasien yang dapat dikembangkan untuk mengembangkan teknologi dalam keperawatan. Peran perawat sebagai peneliti dapat diwujudkan dalam peningkatan mutu pelayanan pasien. (Silaen, 2020)
2.4 Teori dan Model Konseptual Keperawatan Florence Nightingale 2.4.1 Teori dan Model Konseptual
Teori adalah kumpulan pendapat, tema, dan proposisi yang mencerminkan cara pandang terhadap suatu keadaan dengan menjalin hubungan tertentu antara konsep untuk memaparkan, menjelaskan, meramalkan dan mengontrol fenomena yang ada.
Ruang lingkup suatu teori bisa luas, sempit atau terbatas tergantung pada area fokusnya. Grand theory memiliki cakupan yang luas dan kompleks serta mencakup banyak konsep. Oleh karena itu, teori besar memerlukan keputusan teoritis yang terbatas pada tingkat teori perantara dan teori mikro. Sehingga pernyataan-pernyataan yang terkandung dalam grand theory tersebut dapat diuji dan dibuktikan. Teori bukan sekadar pernyataan atau asumsi yang dihafalkan. beberapa orang memiliki pandangan sinis tentang sains karena mereka salah memahami konsep-konsep teoretis. Pada dasarnya, teori memberikan dasar untuk melakukan sesuatu. Teori itu sendiri terbentuk melalui proses metodologi ilmiah.
Secara umum, teori dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu himpunan hukum, hukum aksiomatik, dan hukum kausal.
Ilmu harus didukung oleh teori-teori keperawatan.
Teori keperawatan sangat penting disini dalam pengembangan profesionalisme keperawatan. Teori ini membedakan keperawatan dari jenis pekerjaan lain dan kegiatan untuk memaparkan, menjabarkan, mengevaluasi dan mengelola. Oleh karena itu, kegunaan teori keperawatan adalah membantu transfer pengetahuan untuk meningkatkan praktik keperawatan dengan mencoba mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi dan mengendalikan fenomena keperawatan
2.4.2 Tujuan Pengembangan Teori
Tujuan pengembangan teori keperawatan adalah untuk menumbuhkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang
diharapkan dapat membantu dan berkembang dengan pendidikan keperawatan dan keperawatan. Hal ini penting mengingat pengetahuan teoritis keperawatan mempengaruhi kemampuan menganalisis dan berpikir dengan akal sehat, sistematis dan analitis untuk meningkatkan profesionalisme perawat dalam pengajaran, penelitian dan kerja keperawatan. teori keperawatan, yaitu:
2.4.2.1 Penggunaan dan integrasi teori lain yang terkait dengan tujuan keperawatan ke dalam ilmu keperawatan.
2.4.2.2 Menganalisis situasi keperawatan untuk menemukan konsep yang berhubungan dengan keperawatan.
2.4.2.3 Untuk membuat kerangka konseptual untuk kemungkinan pengembangan teori keperawatan.
Model keperawatan diperlukan untuk memfasilitasi aliran pemikiran tentang hubungan logis dan konsekuensi antara konsep dan untuk menerapkan teori keperawatan ke dalam praktik. Model digunakan untuk memvisualisasikan desain sistem yang berisi konsep-konsep terkait dan diatur sedemikian rupa sehingga terlihat hubungan logis dan efek antar konsep. Model ini digunakan dalam praktik keperawatan tertentu. Oleh karena itu, keperawatan yang merupakan pekerjaan yang harus dilandasi teori keperawatan dan model konseptual untuk menjadikan keperawatan lebih profesional.
2.4.3 Pengaruh Florence Nightingale Terhadap Teori Keperawatan Nightingale adalah perintis keperawatan lahir 12 Mei 1820 di Florence, Italia. Pada tahun 1851, dia pertama kali mengikuti pelatihan keperawatan di Kaiserwerth, Jerman. Selama Perang Krimea, Nightingale menjadi sukarelawan di Scutari, Turki. Di sana dia mengepalai departemen medis dan mencurahkan seluruh
energinya untuk membersihkan bangsal rumah sakit dan barak militer. Kontrol Nightingale atas pasiennya yang menggunakan lilin di malam hari membuatnya dikenal di kalangan pria sebagai
"wanita pelita". Gelar ini diberikan karena ia selalu membawa lentera lilin buatan Turki saat melewati koridor yang dipenuhi tentara yang terluka. Dia mencatat semua aktivitas Nightingale di buku catatan, yang berisi gejala penyakit dan cara mengobati gejala tersebut.
Catatan Nightingale kemudian menjadi sumber bagi ahli keperawatan untuk mengembangkan proses keperawatan karena catatan Nightingale mendefinisikan unsur pengkajian, perencanaan, intervensi dan evaluasi. Setelah perang, dia pindah ke Inggris dan mendirikan St. Thomas dan ke King's College untuk sekolah perawat. Sejak itu, ia disebut sebagai pelopor keperawatan modern.
Nightingale mengembangkan keilmuan yang dikenal sebagai teori keperawatan modern.
Aspek lingkungan merupakan inti dari teori ini. Nightingale percaya bahwa lingkungansehat sangat penting untuk pemberian perawatan yang tepat. Lingkungan mempengaruhi kesehatan antara lain termasuk ; udara segar, airbersih, kebersihan dan cahaya.
Aspek lingkungan yang diprioritaskan Nightingale dalam perawatan klien adalah ventilasi yang memadai untuk klien. Dia percaya bahwa akses konstan ke udara segar adalah prinsip utama pengobatan. Oleh karena itu, perawat harus menjaga udara yang dihirup klien sebersih udara luar tanpa perlu mendinginkannya.
Bagian lain yang sama pentingnya dari layanan pelanggan adalah sinar matahari. Nightingale percaya bahwa sinar matahari dapat memiliki banyak manfaat kesehatan bagi klien. Oleh karena itu, perawat juga harus mengajak klien merasakan sinar matahari, jika
tidak ada kontraindikasi. Menurutnya, kebersihan menjadi fokus pelayanan pelanggan. Menurutnya, tingkat kebersihan sangat mempengaruhi kesehatan klien,kebersihanpasien, perawat dan lingkungan.
Selain kelima komponen lingkungan di atas, seorang perawat juga harus memperhatikan kehangatan, ketenangan, dan makanan klien.
gambar 2. 1 Teori Nightingale
Nightingale percaya bahwa setiap wanita mampu jadi perawat - tentunya dalam arti keperawatan adalah salah satu bentuk tanggung jawab terhadap kesehatan. Menurutnya, klien dalam keadaan pasif selama perawatan, yang tidak mempengaruhi perawat atau lingkungan
Dia mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan sejahtera dan kemampuan untuk menggunakan semua kekuatan seseorang secara optimal, sedangkan sakit adalah proses perbaikan tubuh untuk melepaskan diri dari gangguan yang dirasakan sehingga orang dapat kembali sehat. Prinsip pemeliharaan adalah menjaga agar proses perbaikan ini tidak terganggu dan menciptakan kondisi yang optimal untuk proses tersebut. Untuk mencapai keadaan sehat, perawat harus menggunakan akal sehat, ketekunan dan kewaspadaan. Kesehatan dengan demikian dapat dipertahankan dengan mencegah penyakit melalui faktor kesehatan lingkungan.
Dia menyebutnya keperawatan dan membedakannya dari keperawatan yang tepat, yang terdiri dari merawat klien yang sakit sampai dia bertahan hidup atau setidaknya sembuh sampai mati.
Salah satu tatanan eksternal yang mempengaruhi penyakit dan kesehatan seseorang ialah lingkungan, termasuk di sini makanan klien dan interaksi perawat dengan klien. Agar seseorang menjadi sehat, pengasuh, alam, dan pemangku kepentingan lainnya harus bekerja sama agar pemulihan berjalan lancar.
Fokusnya secara teoritis pada lingkungan, namun lingkungan yang dimaksud di sini lebih kepada lingkungan fisik, yang tercermin dari komponen-komponen lingkungan di atas. Ia sendiri tidak menyebut lingkungan emosional atau sosial dalam teorinya, karena teorinya memang disesuaikan dengan kondisi zaman, yakni masa perang.
Teori Nightingale adalah keperawatan modern, itu adalah langkah pertama untuk formalisasi dan pengembangan lebih lanjut ilmu keperawatan. Dia membuat dasar untuk pengembangan selanjutnya dari teori keperawatan. Disadari atau tidak, Nightingale memberikan instruksi umum kepada perawat tentang cara melakukan perawatan pada pasien. Perbaikan lingkungan menjadi prinsip dasar dan perawatan psikologis klien dapat diterapkan dalam banyak hal di lingkungan perawatan saat ini. Gagasan Nightingale menciptakan pemikiran produktif dalam perawatan dan profesi keperawatan (Asmadi, 2008).
2.5 Kerangka Teori (APSIC,2018)
gambar 2. 2 Kerangka Teori