• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Islam dan Demokrasi

N/A
N/A
lala

Academic year: 2025

Membagikan "Hubungan antara Islam dan Demokrasi"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

63

Hubungan antara Islam dan Demokrasi

(Menguatnya Politik Identitas Ancaman Kemanusiaan di Indonesia)

Hotmatua Paralihan

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan

Abstrak: Artikel ini mengeksplorasi hubungan demikrasi dan Islam. Demokrasi bukan saja tidak bertentangan dengan Islam, tetapi mewujudkan ajaran Islam itu wajib dalam kehidupan bernegara. Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits yang memerintahkan untuk bermusyawarah. Juga dicontohkan oleh para shahabat Nabi, bahkan Tuhan menyatakan bahwa pemerintahan yang Islami adalah khilafah. Dan khilafah ditandai antara lain dengan syura (musyawarah). Dunia yang semakin menggelobal menciptakan keterkaitan, dan ketergantungan satu dengan yang lain semakin kuat, namun kenyataannya di masyarakat kesenjangan semakin menganga, baik antar individu mapun kelompok atau Negara. Menurut Ronald F. Inglehart, peneliti bidang ekonomi dan politik Universitas Michigen,

“populis terjadi dua faktor, kesenjangan sosial, dan benturan kebudayaan”.

Inilah diantara pemicu munculnya politik identitas. Dalam konteks ke Indonesiaan Politik Identitas dipersubur antara lain oleh kesenjangan sosial, lemahnya literasi, buruknya kelembagaan politik, polarisasi politik yang tidak merata. Politik identitas sesungguhnya bertentangan dengan ajaran Islam dan merusak sendi-sendi kehidupan bernegara bahkan bertentangan dengan nilai kemanusiaan, dan keadilan.

Kata Kunci: Musyawarah; Nilai Kemanusiaan; Politik Identitas

Pendahuluan

Mendirikan Negara merupakan kewajiban bagi manusia agar terpenuhi kebutuhan, cita-cita, dan tujuan hidupnya. Dalam perakteknya pembentukan negara memiliki bentuk yang berbeda satu dengan yang lain, tentunya berdasarkan latar belakang maupun kepentingan serta dibutuhkan masyarakatnya.

Islam misalnya, tidak ada satu kesepakatan bersama sebagai bentuk negara yang bisa diajukan sebagai model yang digariskan oleh Islam (al-Quran dan al- Hadis) secara jelas. Kelihatannya para pakar politk Islam sepakat dan merujuk pada apa yang diperaktekkan oleh Rasulullah di Madinah (Piagam Madinah) sebagai model Negara Islam, namun perbedaan terjadi pada sudut pandang atau paradigma yang digunakan untuk melihat apa yang diperaktekkan oleh Nabi dan para Khulafaurrasidin. Sebagian milihat secara total tekstual, bentuk maupun substansi harus diperaktekkan tetapi sebagaian pakar hanya melihat dari sudut esensi Negara Madinah, sebagaimana tersimpul dalam kalimat masyarakat madani (civil society).

(2)

64

Power tends to Corrupt sebuah gambaran terhadap kekuasaan yang cendrung korup, pernyataan ini selalu menggambarkan fenomena dalam sebuah Negara, dalam hal inilah pencari kekuasaan sering menggunakan segala cara untuk mendapatkannya, termasuk penggunaan strategi politik identitas, yang sipatnya primordial, latar suku, ras, agama, daerah dipaksakan menjadi sebuah alat untuk mendapatkannya. Identitas politik sering mengabaikan hakikat kepentingan dalam sebuah Negara, namun strategi ini sudah berjalan berabad abad, pada setiap komunitas dan bangsa.

Islam dan Demokrasi

Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan) yang bermakna kekuasaan oleh rakyat.1 Secara historis demokasi telah dikenal sejak abad ke-5 SM, suatu periode yang dikenal dengan “Masa Keemasan Pericles”, yang pada mulanya sebagai respon terhadap pengalaman buruk monarki dan kediktatoran di negara-negara kota Yunani Kuno. Pada waktu itu demokrasi dipraktekkan, dimana setidaknya, satu dari empat atau lima warga melakukan pelayanan publik baik sebagai legislatif, administratif atau judisial.2

Dunia modern, pengertian demokrasi itu lebih ditekankan pada makna kekuasaan tertinggi pada urusan politik yang berada di tangan rakyat. Karena itu dalam wacana politik modern, demokrasi diartikan sebagai apa yang dirumuskan oleh negarawan Amerika, Abraham Lincoln, pada tahun 1963, yaitu

“pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” (government of the people, by the people, for the people).3

Pemerintahan dari rakyat (government of the people) berhubungan dengan legitimasi, berarti suatu pemerintahan dan kepemimpinan baru sah kalau kekuasaan itu diberikan oleh rakyat, pemerintahan oleh rakyat (government by the people ). Pemerintahan menjalankan kekuasaaan atas nama rakyat dan juga pengawasan dilakukan oleh rakyat, pemerintah harus tunduk pada pengawasan rakyat, pemerintahan untuk rakyat (governmen for the people), pemerintahan menjalankan apa yang menjadi aspirasi rakyat, bukan menjalankan kekuasaan untuk kepentingan kekuasaan sendiri. 4

Pada awalnya konsep demokrasi dijalankan tanpa adanya pemisahan kekuasaan yang jelas, semua pejabat pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya pada Majlis Rakyat yang memenuhi syarat untuk mengontrol berbagai persoalan

1 Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi, Telaah Konseptul dan Histories, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002), h. 16.

2 Henry J. Schmandt, A History of Political Philosophy, Terj. Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai dengan Modern, oleh Ahmad Baidlowi dan Imam Bahehaqi, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 37.

3 Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Deokrasi Pasca Soeharto, (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2004), h. 12.

4 Ignas Kleden, Melacak Akar Konsep Demokrasi: Suatu Tinjauan Kritis, dalam Ahmad Suaedy (Ed.), Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi, Yogyakarta: LKiS, 2000, h. 5-7.

(3)

65 eksekutif, yudikatif, dan legislatif.5 Ide-ide demokrasi modern berkembang dari tradisi pencerahan yang di mulai pada abad XVI. Tradisi tesebuat adalah ide-ide sekularis yang di prakasai oleh Niccolo Macchivelli (1469-1527), ide negara kontrak oleh Thomas Hobbes (1588-1679), gagasan tentang konstitusi negara dan liberalisme, serta pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan lembaga federal oleh Jhon Locke (1632-1704), yang disempurnakan oleh Montesqiue (1689-1755) yang idenya mengenai pemisahan kekuasaan menjadi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif, serta konsep tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial yang diperkenalkan oleh Jean Jacques Rousseau (1712 1778).6

Pada saat ini istilah demokrasi telah diterima oleh hampir seluruh pemerintahan di dunia, bahkan pemerintah otoriter sekalipun menggunakan terminology demokrasi, untuk mengkarakterisasikan aspirasi mereka.

Konsekwensi yeng muncul menjamurnya pengertian demokrasi, seperti demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi kerakyatan, demokrasi sosialis dan sebagainya. Terlepas dari demokrasi model apapun dan dimodifikasi dengan nilai apapun, meminjam istilah Robert A. Dahl, demokrasi harus memiliki tujuh kreteria.

Pertama, kontrol atas keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara konstitusional diberikan pada para pejabat yang dipilih. Kedua, para pejabat dipilih melalui pemilihan yang teliti dan jujur dimana paksaan dianggap sebagai sesuatu yang tidak umum. Ketiga, secara praksis semua orang dewasa berhak untuk memilih dalam memilih pejabat. Keempat, secara praksis semua orang dewasa mempuyai hak untuk mencalonkan diri pada jabatan-jabatan di pemerintahan, walaupun batasan umur untuk menduduki jabatan mungkin lebih ketat ketimbang hak pilihnya. Kelima, rakyat mempuyai hak untuk menyuarakan pendapat tanpa ancaman hukuman yang berat. Keenam, rakyat mempuyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif. Ketujuh, rakyat berhak untuk membentuk lembaga atau organisasi independen.7

Kebangkitan Islam dan demokratisasi berlangsung dalam konteks global yang dinamis. Di berbagai belahan dunia, orang-orang beramai-ramai menyerukan kebangkitan agama dan demokratisasi sehingga keduanya menjadi tema yang paling penting dalam persoalan dunia dewasa ini.8 Kuatnya tuntutan demokrasi, khususnya di negara-negara berkembang, termasuk di negara yang mayoritas berpenduduk Islam, tak lain karena adanya anggapan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem yang bisa menjamin keteraturan politik, sekaligus mendorong

5Aden widjan SZ, dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta, Safaria Insania Press, 2007), h. 196.

6 Masykuri Abdillah, Demokrasi Dipersimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 71-72.

7 Robert A. Dhal, Dilemma Of Pluralist Democracy, (New Heaven and London: Yale University Prees. Diambil dari Aden wijdan SZ). h. 197.

8 John. L. Esposito and John O. Vool, Demokrasi Di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek, (Bandung: Mizan, 1999), h. 11.

(4)

66

transformasi masyarakat, menuju struktur sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan yang lebih ideal.

Resfon Islam mengenal demokrasi umumnya setelah perang dunia II.

Walaupun karya-karya filosof Yunani telah dikenal lebih awal, pembahasan demokrasi mereka hampir tidak pernah dikemukakan. Ada yang tertarik dengan Aristoteles mungkin mencemooh demokrasi, yang oleh Aristoteles dianggap sebagai bentuk pemerintahan degeneratif. Sebagian tertarik dengan Plato justru terpesona dengan pemerintahan para filosof yang sangat elitis. Pemerintahan

“Paltonis” sangat nampak. Misalnya pada Ibnu Sina dan al-Farabi. 9

Ketika umat Islam berjuang melawan penindasan baik dari kaum kolonial maupun dari sesama mereka, demokrasi kelihatan sebagai sistem yang menarik.

Banyak buku ditulis untuk menunjukkan justifikasi umat Islam terhadap demokrasi. Salah satu contohnya adalah karya Khalid Muhammad Khalid, al- Dimuqratiyah. Demokrasi dipandang sebagai sistem pemerintahan yang ditegakkan di atas dua prinsip: pemerintahan partisipatif (participatory politics) dan hak-hak asasi manusia. Mereka melihat demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat dalam mengambil keputusan dan memperhatikan hak-hak yang diperintah, hak berekspresi, hak mengontrol tindakan penguasa, hak untuk diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law). 10

Demokrasi dalam pengertian di atas bukan saja tidak bertentangan dengan Islam, tetapi mewujudkan ajaran Islam itu dalam kehidupan bernegara. Secara singkat argumentasinya adalah sebagai berikut: 11

1. Banyak ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits yang memerintahkan untuk bermusyawarah. “Dan urusan meraka dimusyawarahkan di antara mereka

(QS. 42: 38), disebut sebagai ciri masyarakat mukmin. “Bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan”. (QS. 3: 159) adalah perintah kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits Nabi bersabda: “Tidak akan gagal orang yang bermusyawarah”. Konsultasi dengan yang diperintah, dicontohkah oleh para shahabat Nabi, bahkan Tuhan menyatakan bahwa pemerintahan yang Islami adalah khilafah. Khilafah ditandai antara lain dengan syura (musyawarah). Ia membandingkan pemerintahan pada masa Khulafa’ al-Rasyidin dengan pemerintahan Muawiyah seraya memberikan contoh-contoh berkenaan dengan ada atau tidaknya syura.

2. Islam seperti termaktub dalam al-Qur’an dan al-Sunnah menganjurkan orang untuk berani mengatakan yang benar. Nabi Muhammad SAW. Mengatakan kebenaran di depan penguasa yang dzalim, Islam melarang rakyat menanti pimpinan yang dzalim. Kontrol terhadap penguasa bahkan merupakan salah

9 Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Demokrasi, Cet. I (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1992), h. 40.

10 Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Demokrasi, h. 52.

11 Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Demokrasi, h. 52.

(5)

67 satu sendi ajaran Islam yang lazimnya disebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar. Hak untuk diperlakukan sama didepan hukum ditegaskan dengan merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW. Berkenaan dengan keadilan. Contoh-contoh tentang keadilan khulafa’ al-Rasyidin sering dikemukakan untuk memperkuatnya.

Yang terakhir ini lazim disebut dalil aqli. Tujuan syari’at Islam adalah memelihara kemashlahatan manusia (agama, jiwa, akal, harta dan keturunan).12 Tujuan ini tidak dapat dicapai kecuali dengan menegakkan demokrasi.

Berdasarkan kaidah “bila yang wajib tidak bisa ditegakkan kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib”, maka demokrasi harus dijalankan kaum muslimin.

Menurut Huwaydi sebenarnya Islam dan Demokrasi tidak ada pertentangan, itu bisa dilihat dari ciri-ciri negara menurut Islam yang menjadi tujuh ciri:13 Pertama, kekuasaan di pegang penuh oleh umat, kedua, masyarakat ikut berperan dan bertanggung jawab, ketiga, kebebasan adalah hak bagi semua orang, keempat, persamaan diantara semua manusia, kelima, kelompok yang berbeda juga memiliki legalitas, keenam, kezaliman mutlak tidak diperbolehkan dan usaha meluruskan adalah wajib, ketujuh, undang-undang di atas segalanya.

Ketika negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam melepaskan diri dari penjajahan, mereka memilih sistem demokrasi ini.

Pada praktiknya, secara berangsur-angsur negara-negara Islam diperintah secara otokratis. Orang yang mempromosikan demokrasi ketika mengajak rakyat untuk menggulingkan rezim yang lama sejatinya mematikan demokrasi.14 Bersamaan dengan itu, model-model pembangunan (ideology- ideology) Barat gagal memenuhi harapan umat Islam. Timbul negativisme terhadap pemikiran Barat, yang disertai dengan kecenderungan untuk menampilkan alternatif Islam, seperti diperlihatkan dalam berbagai proyek islamisasi. Demokrasi kini dipandang sebagai konsep Barat yang sekuler dan ambigu, pemikir Islam mutakhir menolak demokrasi dalam pengertian ini, dengan beberapa alasan antara lain:15

1. Demokrasi adalah pemerintahan yang sekuler, produk pemikiran politik Barat, kedaulatan berada di tangan rakyat. Dalam Islam, kedaulatan berada

12 Tujuan syari’at Islam tersebut yang kemudian dalam ilmu filsafat hukum Islam dinamakan “maqashid al-syari’ah”, yang artinya tujuan dari pembentukan hukum Islam. Tujuan tersebut guna memelihara kemashlahatan manusia. Dalam hal ini, maqashid al-Syari’ah dibagi ke dalam tiga peringkat, yaitu dharuriyah, hajiyyah dan tahsiniyyah untuk menjaga mukallaf dari lima hal, agama (hifdz al-din), jiwa (hifdz al-nafs), akal (hifdz al-aql), keturunan (hifdz al-nasl) dan harta benda (hifdz al-maal). Untuk selebihnya, lihat: Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 23-25.

13 Fahmi Huwaydi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani, (terj. oleh M. Abd.

Ghofar dalam al-Islam wa al-Dimuqratiyah, Bandung: Mizan, 1996), h. 161-176.

14 Lihat: Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Demokrasi, h. 85.

15 Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan Amin Rais , (Cet. 1, Jakarta: Teraju, 2005), h. 40-44.

(6)

68

di tangan Tuhan. Suara terbanyak tidak dapat dan tidak boleh mengubah syari’at. Syari’at bukan kehendak kebanyakan rakyat, yang harus mengarahkan dan membimbing para penguasa. Le verite n’est pas jamais un affair de majorite!

2. Dalam praktik, suara rakyat bisa dimanipulasikan, secara kasar, dengan menggunakan kekerasan atau penipuan dan secara halus dengan teknik- teknik persuasi. Ironisnya, suara rakyat yang diberikan tanpa kesadaran politik mempunyai nilai yang sama dengan suara rakyat yang mempunyai kesadaran politik tinggi.

Pepatah Latin, dikatakan bahwa suara rakyat adalah suarat Tuhan (Vox Populi Vox Dei). Oleh karena itu, semestinya kedaulatan rakyat tidak boleh dikompromikan dengan apa dan siapa pun, sehingga kehendak rakyat seakan- akan kehendak Tuhan. Di samping itu, ada juga pepatah yang mengatakan kekuasaan rakyat adalah hukum yang paling tinggi (Salus Populi Supreme Lex).

Oleh karena itu, dalam demokrasi ditetapkan bahwa hukum yang paling tinggi adalah kehendak rakyat.16

Isu negara Islam semakin kuat bergulir di tengah kehidupan public, seakan-akan negara Islam dianggap sebagai formulasi ideal bagi kehidupan politik di masa sekarang. Sehingga, teoritisasi dan konseptualisasi ulang terhadap al- Qur’an dan hadits tentang Negara. Kemungkinan-kemungkinan ini perlu ditelusuri lagi dalam doktrin Islam; penafsiran al-Qur’an dan al-hadits untuk menemukan kejelasan teologis mengenai negara Islam. Dengan demikian karena tidak semua ayat atau hadis menggariskan secara jelas, muamalat bukan ibadah, sehingga dengan sendirinya membuka peluang munculnya intrepretasi baru terhadap Al-Quran dan al-Hadis sebagai selusi problem yang dihadapi manusia.

Kenyataan ini juga tidak bisa dielakkan dalam memahami relasi Islam dan demokrasi, paling tidak dalam pemetaan pemikiran Islam ada lima kecendrungan dalam menerjemahkan al-Qur’an dan al-Hadis yaitu : Pertama, Pundamentalistik.

Kelompok yang sepenuhnya percaya kepada dokterin Islam sebagai satu-satunya alternative bagi kebangkitan umat manusia. Mereka ini dikenal sangat commeted dengan aspek religious budaya Islam. Kelompok pemikira ini antara lain, Sayyid Husein Naser, Sayyid Qutuhb, Muhammad Qutuhb, Al-Maududi, Sayyid Hawa, Abu Bakar Baasyir, Jakfar Umar Thalib. Kedua, Kelompok Tradisionalistik (Salaf) kelompok ini berusaha untuk berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang mapan. Bagi mereka semua persoalan umat sudah diselesaikan dalam sejarah, termasuk pada zaman Khulafaurrasyidin, tetapi perlu mengadopsi perubahan.

Diantara mereka adalah Said Khusein Naser, Muthaharri, Naquip Al Attas, dan Ismail Faruqi. Ketiga. Kelompok reformistik, mereka berusaha merekonstruksi ulang warisan Islam dengan penafsiran baru. Tradisi yang lama dan mapan dalam Islam harus ditafsirkan dengan perkembangan modern, hal ini berbeda dengan kelompok tradisional yang lebih mengembalikan, melanggengkan tradisi

16 M. Amien Rais, “Masalah-masalah yang Dihadapi Bangsa Indonesia”, dalam Millennium: (Jurnal Agama dan Tamaddun, Nomor I Tahun 1, Januari-April 1998), h. 7.

(7)

69 lama. Mereka ini antara lain, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Bint Asy Syathi, Amina Wadudu, M. Imarah. Bagi Hanafi Rekonstruksi adalah pembangunan kembali warisan-warisan Islam berdasarkan spirit modernitas muslim komtemporer. Keempat, Postradisionalistik kelompok pemikir yang berusaha mendekonstruksi warisan-warisan budaya Islam berdasarkan Standaar Modernitas. Seperti Al-Jabiri, Arkoun, Fatimah Marnissi, Ulil Absar Abdallah, Masdar F Masudi. Kelima, Modernistik yaitu kelompok yang hanya mengakui sipat Rasionalitas Ilmiah, mereka ini dipengaruhi pemikiran Marxisme (Aspek Intelektualnya Bukan Ideologi) seperti Kassim Ahmad, Thaiyyib Thayzini, Faud Zakaria.17

Dari lima kecendrungan di atas, secara garis besarnya dapat di kecilkan menjadi dua kelompok utama, yaitu yang lebih melihat al-Quran secara literalal tekstual dan kelompok yang melihat al-quran secara esensial kontekstual yaitu :

Pertama, Kelompok yang sedikit tektual dan pundamental termasuk Abu A’la al-Maududi (1967) yang berpendapat bahwa, “negara Islam diletakkan pada prinsip utamanya pada pengakuan kedaulatan Tuhan sebagai sumber segala hukum. Maka, tidak seorang pun yang dapat menetapkan hukum, kecuali Allah Swt. sebagai pemilik kedaulatan tunggal. Al-Maududi dalam “al-Hukumah al- Islamiyah” menegaskan bahwa pemerintahan Islam atau negara Islam diambil dari kata “khalifah” dalam al-Qur’an, yang pada hakikatnya adalah khilafah Ilahiyah (khilafah Islamiah). Gagasan ini dapat dilihat dari rumusan konstitusi versi Abu A’la Al-Maududi yang terkenal dengan “Tuntutan Empat Butir” di Pakistan: (1) Sesungguhnya kedaulatan di Pakistan adalah di (tangan) Allah, dan oleh karenanya pemerintah (Pakistan) sebagai pelaksana kedaulatan itu tidak boleh melampaui batas yang ditentukan oleh pemilik kedaulatan (Allah). (2) Syari’at Islam merupakan hukum dasar bagi Pakistan. (3) Pembatalan semua undang-undang yang ada dan bertentangan dengan Syari’at Islam dan kemudian menangguhkan semua undang-undang yang tidak sesuai dengan Syari’at Islam. (4) Pemerintah Pakistan (harus) mempergunakan kekuasaannya sesuai dengan batas-batas yang telah ditetapkan oleh Syari’at Islam”.18

Senada dengan Abu A’la Al Maududi, Ibnu Khaldun, al-Mawardi, dan al- Ghazali serta sejumlah pemikir politik Islam lainnya berpandangan bahwa mendirikan negara adalah suatu naluri manusia yang hidup bermasyarakat. Dalam prakteknya, pendirian negara Islam dimaksudkan untuk menjamin berlakunya Syari’at Islam, seperti pelaksanaan hukum hudud/ jinayat. Karena itu, al-Qur’an lebih sering menggunakan kalimat “ahkama bainahum” yang disertai dengan

17Mulyadi Karta Negara (Pengantar), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta, Jendela, 2013) h. xv-xxii.

18Kedaulatan Tuhan sebagai prinsip dasar negara Islam sebenarnya diambil oleh para pemikir berasal dari al-Qur’an ; “Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS.

Al-Baqarah: 110) “Katakanlah Ya Allah yang memiliki kerajaaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa saja yang dikehendaki.” (QS. Ali Imran: 26-27)

(8)

70

kalimat “bima anzalallah,” atau kalimat “litahkuma bainannas” dibarengi dengan kalimat “bima arakallah.”19

Dari sinilah kemudian ditarik pengertian bahwa mendirikan negara bagi pendukung negara Islam adalah untuk menegakkan Syari’at Islam. Pendapat ini dianut oleh al-Nasafi, al-Syahrastani dan Ibnu Taimiyah bahwa kaum Muslimin berkewajiban mendirikan negara (mengangkat imam) untuk memberlakukan hukum Islam. Menjadi jelas, negara Islam adalah negara yang memberlakukan Syari’at Islam. Sebaliknya, negara yang tidak memberlakukan Syari’at Islam bukan disebut sebagai negara Islam. 20

Kedua, Berbeda dengan aliran di atas, aliran esensial dan kontekstual seperti ; Asghar Ali Engineer (2000) berpendapat, “tidak ada konsep baku tentang negara Islam, apalagi yang bersifat ilahiah dan kekal. Al-Qur’an hanya menjelaskan konsep tentang masyarakat, bukan tentang negara. Teori negara Islam mengalami proses perubahan dan cenderung menyesuaikan diri terhadap situasi konkret, bukannya terhadap suatu keadaan tertentu. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad di Madinah adalah negara historis, yang senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan. Evolusi negara yang dimulai sejak Nabi Muhammad di Madinah sampai masa Khilafah Turki Utsmani adalah negara historis, bukan negara ideologis-teokratik yang sudah dibakukan di dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Karena itu, negara di Madinah hanyalah sekadar kebutuhan manusiawi, yang aturannya diserahkan kepada manusia. 21

Beberapa pemikir Islam kontemporer lebih cendrung melihat bahwa Islam bukan menawarkan bentuk Negara seperti kelopok pertama tetapi secara substansinya termasuk dalam masyarakat madani (civil society), Budi Munawwar menggariskan beberapa ciri dan cita-cita masyarakat madani. Pembicaraan tentang masyarakat madani ini pada umumnya dikaitkan dengan soal politik, yakni “civil” dalam pengertian “pemerintahan sipil yang berlawanan dengan pemerintahan militer, atau eklesiastik.” Lebih spesipik menurut Mulyadi Karta Negara sebagai ciri dan tujuan masyarakat madani ini terdiri dari beberapa hal :

Pertama: Ingklusif, Sipat keterbukaan masyarakat terhadap kebaikan dari berbagai sumber dan kitab suci. Kedua; Humanisme, (Egalitarianisme) yang dimaksud dengan humanisme disini adalah cara pandang yang memperlakukan manusia karena kemanusiaannya, tidak karena sebab yang lain di luar itu, seperti ras, kasta, warna kulit, kedududukan, kekayaan atau bahkan agama. Al-Hujwiri mengisahkan sikap Nabi Muhammad disaat seorang kepala suku datang menemuinya, secara spontan Nabi melepas dan menghamparkan jubahnya untuk tempat duduk sang kepala suku, (padahal ia tahu bahwa ia bukanlah seorang Muslim), seraya berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Hormatilah setiap kepala suku, (apapun agamanya).” Ini adalah contoh Humanis Nabi Muhammad, yang

19 Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, (UI Press, 1990) h. 70.

20 Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, 70.

21 Abdurrahman Kasdi, Karakteristik Politik Islam: Mencari Relevansi Antara Doktrin Dan Realitas Empirik, (Volume 9, Nomor 2, Desember 2015, STAIN Kudus), h. 305-308

(9)

71 memandang manusia, bukan karena keturunan maupun agamanya, tetapi karena kemanusiaannya.

Ketiga, Toleransi, umat Islam dapat dilihat pada waktu yang relatif singkat telah menaklukan beberapa wilayah sekitarnya, seperti Mesir, Siria dan Persia. Di pusat-pusat ilmu ini, kajian-kajian filosofis dan teologis oleh para sarjana Kristen tetap berjalan sebagaimana biasanya, dan mereka menikmati kebebasan berfikir yang diberikan oleh para penguasa Muslim. Keempat, Demokrasi: (kebebasan berpikir) Menurut Abdolkarim Soroush, dalam bukunya Reason, Freedom and Democracy in Islam, salah satu sifat yang tidak boleh ditinggalkan dalam demokrasi adalah kebebasan individu untuk mengemukakan pendapatnya, dengan kata lain harus ada kebebasan berpikir.22

Sejalan dengan pokok pikiran di atas Nur Cholish Madjid, Islam dan Negara, “menekankan pentingnya kualitas daripada kuantitas, esensi daripada eksistensi, yang te-rangkum dalam bentuk masyarakat Madani. Civil society adalah tidak hanya sekedar campuran berbagai bentuk asosiasi, tetapi pengertian civil society juga mengacu pada kualitas civility, tanpa civility lingkungan hidup sosial hanya terdiri dari faksi-faksi, klik-klik, dan serikat-serikat rahasia yang saling menyerang. Civility mengandung makna toleransi, kesediaan individu- individu untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial, bersedia untuk menerima pandangan penting bahwa tidak ada jawaban yang selalu benar atas suatu permasalahan”. 23

Civil society juga musuh dari otrokrasi, kediktatoran dan bentuk-bentuk lain dari kekuasaan arbitrer. Civil society merupakan bagian organik dari demokrasi, dan dia musuh atau lawan dari rezim-rezim absolutis.24 Mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan manusia-manusia yang secara pribadi berpandangan hidup dengan semangat ketuhanan, dengan konsekuensi berbuat baik kepada sesama manusia, dan juga dibutuhkan adanya keterlibatan dan partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, Nabi SAW telah memberikan keteladanan dalam mewujudkan ciri-ciri masyarakat madani, yaitu:

egalitarianisme, keterbukaan, penegakan hukum dan keadilan, toleransi, kemajemukan, dan musyawarah.

Egalitarianisme, menyatakan bahwa faktor yang sangat fundamental dan dinamis dari etika sosial yang diberikan oleh Islam ialah egalitarianisme, semua anggota keimanan, tidak peduli warna kulit, ras, maupun status sosial atau ekonominya adalah partisipan yang sama dalam komunitas. Selain tercermin pada berbagai peristilahan seperti bahasa, egalitarianisme adalah sebagai aspek paling dinamis dari ajaran sosial-politik Islam.25 Egalitarianisme diwujudkan oleh Nabi

22 (http://psikparamadina.blogspot.com/2006/06/masyarakat-madani-dalam)

23 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, h. 148.

24 Muhammad Wahyuni Nafis, Cak Nur, Sang Guru Bangsa: Biografi Pemikiran Prof. Dr.

Nurcholish Madjid (Jakarta: Kompas, 2014), h.29, dan lihat juga, Al-Lubb, (Vol. 2, No. 1, 2017), h. 206-225.

25 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), h.

71.

(10)

72

Saw. dalam rintisannya untuk membentuk komunitas negara yang berkonstitusi.

Setiap konstitusi mengikat semua warga masyarakat, dan harus ditaati dan dipatuhi dengan konsekuen sesuai dengan perintah agama untuk mentaati setiap perjanjian dan kesepakatan bersama. 26

Keterbukaan yaitu kesediaan menerima dan mengambil nilai-nilai (duniawi) yang mengandung kebenaran. Perintah al-Quran bagi kaum Muslim untuk mendengarkan ide-ide (pikiran-pikiran) dan mengikuti mana yang paling baik, Nurcholish mengibaratkannya sebagai berdada sempit dan sesak seperti orang yang terbang ke langit, dan itu merupakan salah satu tanda kesesatan.

Sedangkan sikap terbuka merupakan salah satu tanda bahwa seseorang memperoleh petunjuk dari Allah Swt.27 Korelasi pandangan hidup yang seperti ini merupakan sikap terbuka kepada sesama manusia dalam bentuk kesediaan untuk mengikuti mana yang terbaik. Tidak hanya itu, sikap terbuka sesama manusia dalam arti saling menghargai dan tidak lepas dari sikap kritis adalah indikasi dari adanya petunjuk dari Tuhan, karena rasa itu sejalan dengan rasa ketaqwaan.28

Penegakan Hukum dan Keadilan, keadilan dalam al-Quran dinyatakan dengan istilahistilah ‘adl dan qisth. Pengertian adil dalam al-Quran juga terkait dengan sikap seimbang dan menengahi (fair dealing), dalam semangat moderniasasi dan toleransi, yang dinyatakan dengan istilah wasath (pertengahan).

Dengan sikap berkeseimbangan tersebut, kesaksian dapat diberikan dengan adil, karena dilakukan dengan pikiran tenang dan bebas dari sikap berlebihan. Seorang saksi tidak bisa mementingkan diri sendiri, melainkan dengan pengetahuan yang tepat mengenai suatu persoalan dan mampu menawarkan keadilan.29 Penegakan hukum dan keadilan, Nabi tidak pernah membedakan antara orang kaya dengan orang miskin, orang atas dengan orang bawah. Nabi menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa pada zaman dahulu itu karena jika orang atas berbuat kejahatan dibiarkan begitu saja, tetapi jika orang bawah yang berbuat kesalahan maka akan dan pasti dihukum.30

Toleransi dan kemajemukan, toleransi adalah salah satu asas masyarakat madani (civil society) yang dicita-citakan oleh semua orang. Berpangkal dari berbagai pandangan asasi mengenai toleransi Islam, al-Quran mengajarkan bahwa umat Islam harus menghormati semua pengikut kitab suci (Ahl al-Kitâb).31 Maka

26 Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, h. 73-74.

27Ahmad Gaus Af., Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta:

Kompas Media Nusantara, 2010), h. 98.

28 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 117.

29 Ibid., h. 116., (Q.S. An-Nisa: 135) Mendalamnya makna keadilan juga terlihat dari tugas Nabi Saw yang utama, yaitu menegakkan keadilan dan tugas ini sebenarnya juga merupakan tanggung jawab bagi seluruh masyarakat dan badan-badan pemerintahan. Lihat juga, Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 240.

30 Nurcholish Madjid, Menuju Masyarakat Madani, (Jurnal Ulumul Quran, No. 2/VII/96, Jakarta: LSAF-PPM, 1996), h. 51-55. Berikut hadis Nabi mengenai keadilan: Artinya: Demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, kalau seandainya Fathimah bintu Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya. (HR. Bukhari)

31 Ibid., h. 34, (Lihat dalam Q. S. Al-Maidah: 82).

(11)

73 dari itu, Nabi Saw yang ditegaskan sebagai suri tauladan umat manusia adalah seorang pribadi yang sangat toleran kepada sesama manusia, khususnya para sahabat karena adanya rahmat Allah Swt.32 Pola hidup manusia menganut hukum Sunnatullāh tentang kemajemukan (pluralitas), antara lain karena Allah Swt menetapkan jalan dan pedoman hidup (syir’ah dan minhāj) yang berbeda-beda untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisihan dan permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan kearah kebaikan (alkhayrāt). 33

Musyawarah. konsep musyawarah selalu menjadi tema penting dalam setiap pembicaraan tentang politik demokrasi, dan tidak dapat dipisahkan dari konsep politik Islam. Musyawarah merupakan perintah Allah Swt yang langsung diberikan kepada Nabi Saw sebagai teladan untuk umat. Musyawarah adalah suatu proses pengambilan keputusan dalam masyarakat yang menyangkut kepentingan bersama. Mufakat (muwāfaqah atau muwāfaqat) adalah terjadinya persetujuan atas suatu keputusan yang diambil melalui musyawarah.34 Dalam musyawarah terkandung sejumlah elemen yang dengan sendirinya akan ditemukan berkaitan dengan proses politik, yaitu yang disebut dengan istilah partisipasi, kebebasan, dan persamaan. Tidak mungkin sebuah musyawarah dijalankan tanpa kehadiran dari ketiga elemen tersebut. Musyawarah juga tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat atau freedom of expression.35 Masyarakat yang diatur oleh prinsip-prinsip musyawarah, tidak ada kebenaran mutlak ataupun dalil-dalil mati (artinya yang tidak dapat ditawar-tawar) yang menentukan tingkah laku manusia. 36

Bebersapa poin penting di atas tentang civil sociaty merupakan inti dan cita cita Negara dalam Islam. Sejak pemikir Islam kelasik sampai kontemporer kelihatannya sampai pada kesimpulan akan pentingnya sebuah tatanan Negara yang Islami, dimana urusan umat Islam dapat berjalan dengan baik, ibadah dan muamalah. Menyangkut tujuan penegakan ibadah, pemikir Islam kontemporer memberikan garisan yang jelas yaitu sebuah nilai melingkupi keduanya, ibadah dan muamalah sehingga persoalan bentuk dan sipat negara tidak menajadi tujuan seperti jargon yang disebutkan oleh Nur Cholish Madjid, Islam, Yes, Partai Islam, No.37 Islam tidak mempersoalkan menawarkan bentuk negara, demokrasi, dinasti, parlementer, presidencial, namun jauh lebih penting dari itu, nagara menurut padangan Islam harus dapat mengakomodir kepentingan umat Islam, dan

32 Nurcholish Madjid, Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996), h.

44.

33 Nurcholish Madjid, Agama dan Dialog Antar Peradaban, h. 43.

34 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 2004), h.8.

35 Komaruddin Hidayat, dkk. 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 350.

36 Nurcholish Madjid, dkk, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 214. Banyak ayat Alquran dan Hadis Nabi Saw yang menyatakan tentang musyawarah, di antaranya lihat Q.S. Ali Imran:159.

37 Nur Cholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, h. 226.

(12)

74

menjalankan perintah Allah didalamnya. Inilah tujuan dan cita-cita masyarakat madani, civil society. Hal inilah yang juga dimaksudkan oleh Ibn Rusyd, bahwa

“tujuan kota utama adalah memberi kemudahan pada setiap penduduknya dalam mencapai kesempurnaan-kesempunaan manusia”. 38

Sepertinya sangat pentas di sampaiakan dalam makalah ini, Azyumadi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, menggambarkan, “dua wajah Islam yang ada di Indonesia, Islam kultural dan Islam politik namun memiliki tujuan yang sama, yaitu penerapan hukum Islam dalam sebuah Negara dan pendirian Negara Islam (Negara berdasarkan Syariat Islam). Menyimpulkan bahwa Islam politik dengan agenda tersebut telah melahirkan, dalam batas-batas tertentu, radikalisme. Azra lebih jauh menegaskan dan menawarkan wajah Islam yang lain yaitu Islam kultural yang demokratis di Indonesia.39 Islam politik ini digambarkan berorientasi pada kekuasaan dan jabatan yang menjadikan partai sebagai media untuk mendapatkannya, seperti DII/TII zaman Orde baru, dan partai partai Islam seperti PKS, PPP, Partai Bintang Reformasi, Partai Bulan Bintang pada zaman orde reformasi. Sedangkan Islam kultural yang menginginkan Islam sebagai pedoman hidup namun melakukannya dengan jalan dakwah, seperti yang dilakukan oleh ormas seperti NU dan Muhammadiyah.

Politik Identitas 1. Pengertian

Dalam Kamus Inggris-Indonesia, identity dialihbahasakan menjadi identitas, yaitu ciri-ciri dan tanda-tanda yang khas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), identitas merupakan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau jatidiri. Dengan demikian, identitas merupakan situasi di mana manusia mampu mengaca diri dan menemukan berbagai tanda khas atau unik yang diperolehnya melalui pertautan kisi internalnya dengan yang eksternal dan lingkungan sosialnya. Oleh karenanya identitas dapat mengacu pada bentuk konotasi apapun, seperti: sosial, politik, budaya, psikoanalisis, dsb. Pencarian identitas baik kolektif maupun individual sendiri. 40

Donald L. Morowitz (1998), pakar politik dari Univeritas Duke, mendefinisikan: “Politik identitas adalah pemberian garis yang tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. Karena garis-garis penentuan tersebut tampak tidak dapat dirubah, maka status sebagai anggota bukan anggota dengan serta merta tampak bersifat permanen. Baik Agnes Heller maupun Donald L. Morowitz memperlihatkan sebuah benang merah yang

38 Ibn Rusyd, Republik Plato ala Ibn Rusyd, (Sadra Press, 2016), h. 76

39 Ayumadi Azra, Revitalisasi Islam Politik dan Islam Kultural, (Indo-Islamika, Vol. I no.

2. 2012/1433), h. 233

40 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBIH) dan menurut Manuel Castell, merupakan sumber paling dasar dari makna atau the fundamental source of meaning (Putranto, 2004), 86-87

(13)

75 sama yakni politik identitas dimaknai sebagai politik berbedaan. Sementara Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan, menyebutkan bahwa: Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi “orang pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan.

Jadi, singkatnya politik identitas sekedar untuk dijadikan alat memanipulasi—alat untuk menggalang politik-guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya”.

41

Muhammad Habibi, ahli politik dari Universitas Mulawarman, Samarinda42 menjelaskan, “Politik identitas adalah nama lain dari biopolitik dan politik perbedaan. Biopolitik mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang timbul dari perbedaan tubuh. Dalam filsafat, sebenarnya wacana ini sudah lama muncul, namun penerapannya dalam kajian ilmu politik mengemuka setelah disimposiumkan pada suatu pertemuan internasional Asosiasi Ilmuan Politik Internasional di Wina pada 1994.43 Pertemuan tersebut menghasilkan konsepsi tentang dasar-dasar praktek politik dan menjadikannya sebagai kajian dalam bidang ilmu politik. Agnes Haller mengambil definisi politik identitas sebagai konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference) sebagai suatu kategori politik yang utama.

Setelah kegagalan narasi besar (grand narative), ide perbedaan telah menjanjikan suatu kebebasan (freedom), toleransi dan kebebasaan bermain (free play), meskipun kemudian ancaman baru muncul. Politik perbedaan menjadi suatu nama baru dari politik identitas; rasisme (race thinking), biofeminimisme dan perselisihan etnis menduduki tempat yang terlarang oleh gagasan besar lama.

Berbagai bentuk baru intoleransi, praktek-praktek kekerasan pun muncul.

Purwanto, seorang ahli politik menyebutkan, “politik identitas merujuk pada praktik politik yang berbasiskan identitas kelompok— sering atas dasar etnis, agama, atau denominasi sosial-kultural lainnya—yang merupakan kontras terhadap praktik politik yang berbasiskan kepentingan (interest). Kecenderungan akan berkembangnya politik identitas sama sekali tidak berkait dengan sistem politik tertentu. Politik identitas bahkan dapat berkembang subur dalam sistem demokrasi sekalipun. 44

Di Indonesia, kecenderungan itu terlihat lebih jelas justru ketika terdapat ruang untuk mengekspresikan kebebasan. Praktik politik identitas di negeri ini

41 Abdullah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis. (Magelang: Yayasan Adikarya IKAPI), h.

147

42 Muhammad Habibi, (Jurnal 2017) Analisis Politik Identitas Di Indonesia (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, Samarinda), https://www.researchgate.net/publication

43 Simposium ini diadakan oleh European Centre for Social Welfare Policy dan Dr. Karl Renner Institute, serta disponsori oleh Jewish Museum of Vienna, dan Department of Scientifict Affairs. Hasil simposium tersebut dibukukan dalam bentuk antologi yang dieditori oleh Agnes Heller dan Sonja Puntscher Riekmann dengan judul Biopolitics: The Politics of The Body, Race and Nature, (Brookfield:Avebury, 1996).

44 Purwanto, Politik Identitas Dan Resolusi Konflik Transformatif, (Jurnal Review Politik Volume 05, No 01, Juni 2015), h. 62

(14)

76

dapat dikenali melalui berbagai bentuk, mulai dari yang samar-samar hingga agak jelas. Sebagian orang berpendapat bahwa pembentukan partai nasional yang berbasis agama dan daerah administratif setingkat provinsi dan kabupaten atas dasar ikatan etnis di beberapa wilayah di luar Jawa merupakan indikasi akan terjadinya kecenderungan itu. Dalam kasus yang terakhir, pembentukan daerah- daerah administratif di beberapa wilayah memperlihatkan sekaligus terjadinya teritorialisasi identitas.

Lebih lanjut Purwanto menjelaskan, “Politik identitas (dalam buku teks sering disebut dengan dua terminologi yang saling dipertukarkan: “identity politics” atau “politics of identity”) merujuk pada berbagai bentuk mobilisasi politik atas dasar identitas kolektif yang sebelumnya seringkali disembunyikan (hidden), ditekan (suppressed), atau diabaikan (neglected), baik oleh kelompok dominan yang terdapat dalam sistem demokrasi liberal atau oleh agenda politik kewarganegaraan yang diusung untuk dan atas nama demokrasi yang lebih progresif. Tidak semua politik identitas mengambil bentuk sebuah perjuangan pemisahan diri. Gerakan gay dan lesbian—atau, perjuangan yang dilakukan oleh kelompok “orang cacat” (diffable persons)—adalah contoh lain dari politik identitas yang terutama ditujukan untuk memperoleh pengakuan politik yang lebih mendasar untuk memungkinkan diterimanya perlakuan yang lebih adil atas dasar kebedaan yang bersifat khusus (peculiar) yang dimiliki dan atau melekat pada individu”.45

Identitas tidak pernah tunggal melainkan majemuk. Identitas selalu

“berubah” menurut konteks sosial. Dengan kata lain, identitas selalu ditemukan dalam kaitannya dengan “yang lain” (“other”). Multiplicity of identity adalah sebuah fenomena umum yang terbentuk oleh berbagai elemen dan melalui interaksi sosial. Elemen-elemen penting identitas dapat mengambil bentuk yang sangat beragam: dari yang fisik (misalnya warna kulit, rambut, dan mata) sampai yang bersifat sosial seperti sejarah, nasionalitas, gender, etnisitas, agama, tradisi, bahasa dan dialek, kelas dan gaya hidup, serta ideologi, kepercayaan dan sentimen. 46

Identitas ini selalu dihubungkan dengan agama atau atnisitas. Dari sudut pandang etimologis, etnis berasal dari bahasa Yunani ‘ethnos’ yang berarti

‘penyembahan’ atau pemuja berhala’. Di Inggris, terminologi ini digunakan mulai pertengahan abad XIV yang dalam perjalanannya mengalami reduksi ke arah penyebutan karakter ras. Sementara di Amerika Serikat, terminologi ini digunakan secara massif pada saat Perang Dunia I sebagai penghalus penyebutan bangsa- bangsa yang dianggap inferior.

Meskipun terjadi perbedaan pandangan mengenai etnis, namun ditangan para ilmuwan politik konsepsi mengenai hakekat etnisitas dimaknai dua hal:

Pertama, pembacaan realitas perbedaan bentuk penciptaan, yaitu wacana batas

45 Purwanto, Politik Identitas Dan Resolusi Konflik Transformatif, (Jurnal Review Politik Volume 05, No 01, Juni 2015), h. 62

46 Ibid., h. 63-64

(15)

77 yang bersifat oposisioner dan dikotomis. Kedua, suatu konstruksi pemahaman yang didasarkan atas pandangan dan bangunan sosial. Etnis merupakan konsep relasional yang berhubungan dengan indetifikasi diri dan askripsi sosial. Dua makna ini bisa kita tarik sebuah pemahaman bahwa etnisitas selalu akan terbaca sebagai realitas perbedaan yang selalu dipandang dikotomis dalam mengidentifikasi diri. Karena itu identitas etnis relatif sulit diubah karena pemahaman ini dibangun di atas persamaan darah (kelahiran), warna kuliat, kepercayaan yang mencakup ‘suku’, ‘ras’ , ‘nasionalitas’ dan ‘kasta’.47

Sejalan dengan Purwanto, Muhtar Haboddin menjelaskan, “dalam literatur ilmu politik, politik identitas dibedakan secara jelas antara identitas politik (political identity) dengan politik identitas (political of identity). Political identity merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas politik sedangkan political of identity mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber dan sarana politik”. 48

2. Menguatnya Politik Identitas a. Konteks Gelobal

Dilihat dari rentang waktu, ilmuwan sosial baru tertarik kepada isu politik identitas pada 1970-an, bermula di Amerika Serikat, ketika menghadapi masalah minoritas, jender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang merasa terpinggirkan, merasa teraniaya. Perkembangan selanjutnya cakupan politik identitas ini meluas kepada masalah agama, kepercayaan, dan ikatan-ikatan kultural yang beragam.

Politik identitas kerangkat teori dan bentuk praksisnya di berbagai kawasan, L.A. Kauffman yang pertama kali menjelaskan dengan melacak asal- muasalnya pada gerakan mahasiswa anti-kekerasan yang dikenal dengan SNCC (the Student Nonviolent Coordinating Committee), sebuah organisasi gerakan hak- hak sipil di Amerika Serikat di awal 1960-an. Secara substantif, politik identitas dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau negara. Di sinilah ide tentang keadilan untuk semua menjadi sangat relevan. Di Amerika Serikat, para penggagas teori politik identitas berdalil bahwa praktik pemerasanlah yang membangun kesadaran golongan yang diperas, khususnya masyarakat kulit hitam, masyarakat yang berbahasa Spanyol, dan etnis-etnis lainnya yang merasa terpinggirkan oleh roda kapitalisme yang berpihak kepada pemilik modal yang umumnya dikuasai go longan kulit putih tertentu.49

47 Muhtar Haboddin, Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal, (http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0007, Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya, Malang).

48 Muhtar Haboddin, Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal

49 L.A. Kaufffman, ”The Anti Politics of Identity,” Socialist Review, (No.1, Vol. 20 Jan.‐ March 1990), hal. 67‐ 80. Analisis yang lebih komprehensif tentang politik identitas ini

(16)

78

Bentuk ekstrem politik identitas adalah mencuatnya sampai batas-batas tertentu gagasan tentang separatisme. Ini terlihat misalnya di Quebeck, yang berbahasa dan berbudaya Perancis, yang ingin memisahkan diri dari bangsa Kanada yang berbahasa Inggris. Begitu juga terbaca dalam gerakan Islam tipikal Louis Farrakhan (l. 1933) dengan The Nation of Islam-nya di Amerika Serikat, tetapi yang ditolak oleh kelompok hitam Muslim arus besar lainnya. Tetapi pada tahun 2000 politik identitas keagamaan model ini dapat diatasi dengan tercapainya perdamaian antara Farrakhan dengan Wareeth Din Muhammad, mantan saingannya, untuk meredam politik identitas kelompok Muslim Hitam untuk kemudian menyatukan dirinya dengan arus besar bangsa Amerika yang plural.

Dalam pandangan Gutmann, politik identitas, yang juga terlihat pada gerakan Martin Luther King dan uskup-uskup Katolik di Amerika, sesungguhnya lebih didorong oleh argumen keadilan sosial, bukan karena alasan agamanya.50

Kajian terbaru dikemukakan oleh, Cynthia B. Dillard, penulis di International Journal of Qualitative Studies in Education, menggambarkan peragaan politik identitas, “momen politik di AS dan dunia, diiringi oleh pemilihan dan pemerintahan seseorang yang, menurut pendapat saya, mengesahkan pandangan rasis, seksis, otoriter dan narsis secara terbuka dalam keputusannya maupun sebagai Presiden AS. Protes yang terjadi diberbagai belahan dunia termasuk Inggris, kami melihat hal ini dalam sikap moral yang telah mengerahkan dalam gerakan hitam hidup masalah dan protes lainnya sebagai akibat dari meningkatnya direstui negara kekerasan di AS, bahkan sebagai protes terhadap kebijakan yang tidak adil dan tidak manusiawi rezim dalam respon langsung terhadap negara-negara ketidakadilan dan kebrutalan berdasarkan ras, gender, sexualitas, kebangsaan dan akses untuk hidup. Kuncinya di sini adalah bahwa setiap orang hitam harus bekerja dengan kebebasan untuk kita semua, terlepas dari mana kita berada di dunia.51

Kegelisahan meningkatnya politik identitas juga tergambar dalam tulisan Amanda Keddiea, seorang penulis British Journal Inggris perjuangan siswa imigran muslim di Inggris, dimana pada satu sisi pelajar muslim yang telah memiliki budaya agama (etno religious) berhadapan dengan kaum liberalis, dan perjungan jender. Posisi ini berjalan sangat rumit sehingga perlu lahirnya sebuah

“pengaturan kongkrit”, “Keragaman budaya yang belum pernah terjadi sebelumnya dari negara-negara liberal barat dan meningkatnya kehadiran dalam politik pengakuan telah melihat peningkatan tuntutan publik untuk menghormati dan melestarikan budaya kelompok minoritas.

dapat dibaca dalam karya Amy Gutmann, Identity in Democracy (Princeton, New Jersey:

Princeton University Press, 2003), setebal 211 halaman plus catatan akhir dan indeks.

50 Syafii Maarif, Politik Identitas Dunia, (Jakarta, edisi digital 2012)

51 Cynthia B. Dillard (Nana Mansa II of Mpeasem, Ghana), To stand steadfast and love Blackness in these political times: a comparative reflection from Ghana to the US and back again (InternatIonal Journal of QualItatIve StudIeS In educatIon, 2017 vol. 30, no. 10, 982–987 https://doi.org/10.1080/09518398.2017.1312611) , h. 983-987

(17)

79 Tuntutan ini cenderung didukung oleh kekhawatiran bahwa budaya minoritas 'terancam punah dan harus dilindungi oleh hak-hak khusus'. Anggapan abadi yang tetap menonjol dalam wacana populer - di mana praktik gender kelompok minoritas secara teratur diposisikan sebagai oposisi terhadap kerangka liberal barat yang lebih tercerahkan - adalah bahwa melindungi budaya-budaya ini sama dengan mempertahankan tradisi patriarki”. Dengan demikian ruang-ruang penentuan nasib sendiri bagi perempuan dan anak perempuan Muslim harus memberikan status kepada, dan disajikan di dalam, wacana framing tentang agama, gender dan budaya yang membentuk kehidupan mereka. Pendekatan ini mencerminkan perhatian feminis Muslim untuk mendukung pemberdayaan atau pemerataan perempuan dalam konteks mempertahankan integritas agama. 52

b. Konteks lokal

Seiring dengan kajian Islam dan demokrasi, fenomena kontemporer yang menjadi mengemuka baik perhatian dikalangan ekademisi maupun yang terjadi dalam dunia politik peraksis termasuk persoalan politik identitas, yang menurut realitasnya suatu hal yang tidak bisa dielakan, bukan hanya di Indonesia tetapi juga diseluruh dunia. Hampir di seluruh belahan dunia, para politisi menggunakan strategi ini termasuk Donald Trump, di Amerika, pada pemilu 2016, pemilihan Presiden Ghana di Afrika Selatan.

Menguatnya politik identitas di ranah lokal bersamaan dengan politik desentralisasi. Pasca pemberlakuan UU No. 22/1999, gerakan politik identitas semakin jelas wujudnya. Bahkan, banyak aktor politik lokal maupun nasional secara sadar menggunakan isu ini dalam power-sharing. Di Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Irian Jaya yang secara nyata menunjukkan betapa ampuhnya isu ini digunakan oleh aktor-aktor politik, ketika berhadapan dengan entitas politik lain. 53

Yosafat Hermawan Trinugraha, dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi dan Antropologi FKIP UNS menggambarkan, “Paska runtuhnya Orde Baru, terjadi booming organisasi Tionghoa di Indonesia. Hal ini menjadi respon atas pengekangan kebebasan organisasi bagi masyarakat Tionghoa selama Orde Baru.

Menurut catatan PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia), terdapat 176 organisasi sosial Tiong Hoa di Jakarta , Di luar data tersebut, terdapat pula data dari Eddie Kusuma, seorang aktivis sosial yang mendukung pluralisme dan Ketua Perkumpulan Marga Wu, yang menyebutkan bahwa jumlah organisasi Tionghoa di Indonesia bisa mencapai 540 pada tahun 2008, dengan berbagai

52 Amanda Keddiea, British Journal of Sociology of Education, (Identity politics, justice and the schooling of Muslim girls: navigating the tensions between multiculturalism, group rights and feminism, http://www.tandfonline.com/loi/cbse20a School of Education, The University of Queensland, Brisbane, Queensland, Australia. Published online: 28 May 2013).

53 Muhtar Haboddin , Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal (Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012, ttp://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0007 Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya, Malang)

(18)

80

klasifi kasi seperti organisasi yang berdasarkan nasionalisme, partai politik, organisasi yang berdasarkan kelompok bahasa, berdasarkan kesamaan nama keluarga, berdasarkan kesamaan daerah asal di Tiongkok, berdasarkan kesamaan visi Indonesia-Tionghoa, alumni sekolah menegah Tionghoa, perkumpulan keagamaan, dan organisasi yang berdasarkan kesamaan minat dan aktivitas.

Politik Identitas Anak Muda Minoritas bertujuan untuk regenerasi juga untuk mengumpulkan pengusaha-pengusaha muda agar punya jaringan dalam berbisnis”.54

Senada dengan Muhatar Ubaddin menjelaskan, “politik identitas merupakan bentukan dari Negara Orde Baru. Pandangan ini senada dengan Rachmi Diyah Larasati yang mengatakan bahwa ‘negara sangat berperan dalam pembentukan politik identitas’. Dua pandangan ini menguatkan pemahaman bahwa politik etnisitas merupakan kreasi negara yang monumental dalam rangka pelabelan warga negaranya. Pelabelan ini menjadi penting dalam urusan politik pengaturan atau bisa juga sebagai politik kontrol negara terhadap warganya untuk mengetahui ‘siapa lawan’ dan ‘siapa kawan’. Pengaturan dan kontrol negara terhadap warganya tidak berhenti sampai di sini. Menurut pandangan Henk (2007) ada empat kebijakan yang dijalankan Orde Baru untuk melemahkan politik identitas di tanah air. Pertama, tidak ada daerah yang asli. Maksud semua daerah terbuka sebagai daerah migrasi maupun transmigrasi sehingga semua komunitas tercerabut dari akar sosio-kultural dan politiknya. Kedua, pemerintah Orde Baru menghindari terbentuknya kelas karena itu persoalan SARA dikontrol sedemikian ketat. Dan yang berhak menggunakan SARA hanya pemerintah dalam menjustifikasi kelompok mana yang bersalah dan dikucilkan relasi sosial- politiknya. Ketiga, modernisasi dijalankan supaya pengaruh etnis dan agama merosot. Keempat, negara mengatur supaya jangan ada yang tumpang tindih antara agama dan suku. Karena dengan cara ini persatuan tidak pernah ada dan pemerintah pusat tidak terancam. Keempat kebijakan diatas, mempunyai implikasi politis yang sangat besar dalam pengelolaan relasi pusat dengan daerah, pemerintah dengan rakyatnya. Karena itu gairah etnisitas dan agama tidak lagi menjadi tempat orang mengespresikan diri secara politik dan mengungkapkan diri secara budaya, tetapi akan berubah menjadi tempat orang menyembunyikan diri secara politik dan mencari keamanan diri secara budaya. Pilihan politik maupun budaya masyarakat menutup diri merupakan jalan terbaik dalam mengikuti jejak langkah politik kekuasaan Orde Baru.

Karena itu ketika Negara sudah mengalami pelemahan basis materialnya maka masyarakat meminjam istilah Henk (2007) mencari perlindungan pada kelompok agama maupun etnistas. Pencarian perlindungan masyarakat kepada etnisitas maupun agama cepat atau lambat akan membahayakan posisi pemerintah dalam bangunan relasi vertikalnya tetapi juga rawan, rentan, penuh resiko dan sangat berbahaya dalam relasi horizontalnya. Ternyata, dugaan ini benar adanya.

54 Yosafat Hermawan Trinugraha, Politik Identitas Anak Muda Minoritas: Ekspresi Identitas Anak Muda Tionghoa melalui Dua Organisasi Anak Muda Tionghoa di Surakarta Pasca Orde Baru, (Jurnal Studi Pemuda • Vol. 2, No. 2, September 2013, Jurusan Pendidikan Sosiologi dan Antropologi FKIP UNS) h. 172

(19)

81 Aneka konflik yang terjadi di ranah lokal, pada 1995-an hingga Orde Baru rontok membuktikan betapa dahsyatnya kekerasan politik di tanah air. Benturan yang berbau politik identitas tidak hanya mempermalukan para penguasa tetapi juga para cendekiawan-ilmuwan yang selama ini merasa optimis bahwa agama, ras dan suku bangsa akan segera hilang kekuatannya karena sudah mengalami pencerahan dan kemajuan. Pada kenyataannya optimisme itu meleset karena mereka lupa bahwa sentimen-sentimen primordial yang sejak semula telah ada dan akan selamanya tetap bertahan—bahkan identitas kelompok akan mengguncang tatanan politik yang selama ini diduga kokoh bangunannya. Pengamatan Lucian W Pye (1993) terbukti, goncangan politik karena ledakan politik etnisitas sudah kita rasakan pengaruhnya. Celakanya negara absen dalam melindungi warganya. Hal ini nampak dalam pertikaian Dayak-Madura, peristiwa kekerasan politik Mei 1998 di Jakarta, pengusiran etnis Buton-Bugis dan Makassar (BBM) di Ambon.

Selain berbau kekerasan sebagaimana dijelaskan di atas politik etnisitas juga hadir dan mengental dalam era politik desentralisasi. Pencarian politik etnisitas, baik kolektif maupun individual menjadi sumber paling mendasar dan bermakna untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di daerah. 55

C. Kesimpulan

Demokrasi bukan saja tidak bertentangan dengan Islam, tetapi mewujudkan ajaran Islam itu wajib dalam kehidupan bernegara. Banyak ayat- ayat al-Qur’an dan Hadits yang memerintahkan untuk bermusyawarah. Juga dicontohkah oleh para shahabat Nabi, bahkan Tuhan menyatakan bahwa pemerintahan yang Islami adalah khilafah. Dan khilafah ditandai antara lain dengan syura (musyawarah).

Islam menginginkan terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang aman, sejahtera, makmur dan bahagia, oleh sebab itu perangkat yang dibutuhkan dalam menjalankannya adalah: keadilan, kebersamaan, kesamaan, musyarah, merupakan instrument yang wajib ada dalam system pemerintahan yang Islam sehingga Islam tidak menawarkan satu bentuk Negara yang baku dan menjadi kewajiban bagi warganya untuk menggunakannya.

Dunia yang semakin menggelobal menciptakan keterkaitan, dan ketergantungan satu dengan yang lain semakin kuat, namun kenyataannya di masyarakat kesenjangan semakin menganga, baik antar individu mapun kelompok atau Negara. Menurut Ronald F. Inglehart, peneliti bidang ekonomi dan politik Universitas Michigen, “populis terjadi dua factor, kesenjangan sosial, dan benturan kebudayaan”. Inilah diantara pemicu munculnya politik identitas. Dalam konteks ke Indonesiaan Politik Identitas dipersubur oleh, kesenjangan sosial, lemahnya literasi, buruknya kelembagaan politik, polarisasi politik yang tidak

55 Muhtar Haboddin, Melacak Politik Etnisitas di Indonesia ; Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal (http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0007, Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya, Malang. Email: [email protected])

(20)

82

merata. Politik identitas sesungguhnya bertentangan dengan ajaran Islam dan merusak sendi-sendi kehidupan bernegara bahkan bertentangan dengan nilai kemanusiaan, dan keadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis. Magelang: Yayasan Adikarya IKAPI.

Abdurrahman Kasdi, Karakteristik Politik Islam: Mencari Relevansi Antara Doktrin Dan Realitas Empirik, (Volume 9, Nomor 2, Desember 2015, STAIN Kudus)

Ahmad Gaus Af., Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010)

Amy Gutmann, Identity in Democracy (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 2003)

Ibn Rusyd, Republik Plato ala Ibn Rusyd, (Sadra Press, 2016)

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBIH) dan menurut Manuel Castell, merupakan sumber paling dasar dari makna atau the fundamental source of meaning

L.A. Kaufffman, ”The Anti‐Politics of Identity,” Socialist Review, No.1, Vol. 20 (Jan.‐March 1990)

Mulyadi Karta Negara (Pengantar) Pemikiran Islam Kontemporer, .

Muhammad Wahyuni Nafis, Cak Nur, Sang Guru Bangsa: Biografi Pemikiran Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Jakarta: Kompas, 2014)

Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, (UI Press, 1990)

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia, 2008)

Muhammad Habibi, (Jurnal 2017) ANALISIS POLITIK IDENTITAS DI INDONESIA (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, Samarinda), https://www.researchgate.net/publication Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi

---, dkk, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1994)

---, Islam, Doktrin dan Peradaban Komaruddin Hidayat, dkk. 70 Tahun Prof.

Dr. Munawir Sjadzali, Cet. I (Jakarta: Paramadina, 1995) ---, Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996)

---, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Cet-XI (Bandung: Mizan, 1998) ---, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan

Masyarakat, Cet. III (Jakarta: Paramadina, 2004)

(21)

83 ---, Menuju Masyarakat Madani, dalam Jurnal Ulumul Quran, No. 2/VII/96,

Jakarta: LSAF-PPM,

Simposium ini diadakan oleh European Centre for Social Welfare Policy dan Dr.

Karl Renner Institute, serta disponsori oleh Jewish Museum of Vienna, dan Department of Scientifict Affairs. Hasil simposium tersebut dibukukan dalam bentuk antologi yang dieditori oleh Agnes Heller dan Sonja Puntscher Riekmann dengan judul Biopolitics: The Politics of The Body, Race and Nature, (Brookfield:Avebury, 1996).

Purwanto, Politik Identitas Dan Resolusi Konflik Transformatif, (Jurnal Review Politik Volume 05, No 01, Juni 2015), h. 62

Jurnal : (http://dx.doi.org/10.18196/jgp.2012.0007, Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya, Malang). Muhtar Haboddin, Menguatnya Politik Identitas di Ranah Lokal ,

British Journal of Sociology of Education:

(http://www.tandfonline.com/loi/cbse20a School of Education, The University of Queensland, Brisbane, Queensland, Australia. Published online: 28 May 2013).

Jurnal Studi Pemerintahan Vol.3 No.1 Februari 2012, (Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya, Malang)

Jurnal Studi Pemuda. Vol. 2, No. 2, September 2013, Jurusan Pendidikan Sosiologi Dan Antropologi Fkip Uns

(22)

84

Blank page

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tentang pendidikan Islam berbasis demokrasi ajaran KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur) studi situs di Madrasah Tsanawiyah

Islam sebagai hasil hubungan sosial bukan berarti menjauhkan manusia dari ajaran dasarnya. Ajaran dasar yang dimaksudkan adalah menunjuk pada nilai-nilai teologis maupun

Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi karena konsep syura’, ijtihad, dan Ijma’ merupakan konsep yang sama dengan demokrasi.. Kedua, menolak bahwa Islam berhubungan

35 Penelitian tesis ini menggunakan pendekatan yang pertama (klasik-normatif) dalam membahas demokrasi dalam Islam dengan menjadikan isu-isu otoritas, syariah, dan

Dengan menggunakan kaedah studi kepustakaan, artikel ini menemukan menurunnya peran politik partai-partai Islam pada masa reformasi dalam mempengaruhi perkembangan sistem demokrasi

Artikel ini membahas tentang konsep moderasi beragama dalam ajaran Islam, yang menekankan pentingnya menghindari sikap ekstrem dan mencari solusi damai dalam menyelesaikan

Demokrasi pendidikan Islam bertujuan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang memadukan prinsip-prinsip demokrasi dengan nilai-nilai Islam, sehingga proses pendidikan tidak hanya

Berdemokrasi memang boleh-boleh saja, tetapi jika ekspresi demokrasi itu kemudian ternyata mengganggu orang lain, maka dalam kontek ini, demokrasi menjadi tidak relevan dengan Islam..