• Tidak ada hasil yang ditemukan

MACAM - MACAM HUKUM DAN METODE PENEMUAN HUKUM

N/A
N/A
nurilkhamida

Academic year: 2023

Membagikan "MACAM - MACAM HUKUM DAN METODE PENEMUAN HUKUM "

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

MACAM - MACAM HUKUM DAN METODE PENEMUAN HUKUM A. Macam-macam dan Jenis Hukum

Walaupun definisi hukum terlalu luas sehingga orang tak dapat membuat definisi singkat yang meliputi segala-galanya, namun dapat juga hukum dibagi dalam beberapa golongan menurut beberapa asas pembagian, sebagai berikut:1

a. Menurut sumbernya;

b. Menurut bentuknya;

c. Menurut tempat berlakunya;

d. Menurut waktu berlakunya;

e. Menurut cara mempertahankannya;

f. Menurut sifatnya;

g. Menurut wujudnya;

h. Menurut isinya.

I. Pembagian Hukum Menurut Sumbernya:

a. Hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

b. Hukum kebiasaan (adat), yaitu hukum yang terletak di dalam peraturan- peraturan kebiasaan (adat).

c. Hukum traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh negara-negara di dalam suatu perjanjian antara negara (traktat).

d. Hukum yurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim.

II. Pembagian Hukum Menurut Bentuknya Menurut bentuknya, hukum dapat dibagi dalam:

1 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2011), hal 79-82

(2)

a. Hukum tertulis, yaitu hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundangan. Hukum tertulis ada dua macam:

(a) Hukum tertulis yang telah dikodifikasikan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (1848) dan Kitab Undang undang Hukum Pidana (1918). Kodifikasi ialah pembukuan bahan-bahan hukum yang sejenis secara sistematis dan lengkap dalam satu kitab undang- undang.

(b) Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, seperti hukum perkoperasian, hak paten, hak cipta, hukum agraria, dan lain-lain.

b. Hukum tak tertulis, yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat tetapi tidak tertulis (disebut hukum kebiasaan).2

III. Pembagian Hukum Menurut Tempat Berlakunya:

a. Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu negara.

b. Hukum internasional, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum dalam dunia internasional.

c. Hukum asing, yaitu hukum yang berlaku dalam negara lain.

d. Hukum gereja, yaitu kumpulan norma-norma yang ditetapkan oleh gereja untuk para anggotanya.

IV. Pembagian Hukum Menurut Waktu Berlakunya Menurut waktu berlakunya, hukum dapat dibagi dalam:

a. Ius Constitutum (Hukum Positif), yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu. Singkatnya: Hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, dalam suatu tempat tertentu. Ada sarjana yang menamakan hukum positif itu 'Tata Hukum. Ius constitu-tum mencakup pengertian mengenai hukum yang dikodifikasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Karakter dasar dari ius consti-tutum

2 Ibid, hlm 80

(3)

adalah adanya peraturan dasar ( groundnorm) yang memayungi semua peraturan yang ada di bawahnya. Ius constitutum ini merupakan hukum yang tertulis pada suatu negara, atau sering disebut dengan jar-gon hukum positif.

Hukum yang telah dipositifkan, secara de facto dan de jure merupakan hukum yang berlaku di negara tersebut, serta pada-nya melekat daya memaksa bagi setiap warga negara untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.3

b. Ius Constituendum yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang. contoh: RUU, RAPBN, RAPBD.4

c. Hukum asasi (hukum alam), yaitu hukum mana-mana dalam segala waktu dan untuk segala bangsa d yang berlaku di dunia. Hukum ini tak mengenal batas waktu melainkan berlaku untuk selama-lamanya (abadi) terhadap siapa pun juga di seluruh tempat. Ketiga macam hukum ini merupakan hukum duniawi.

V. Pembagian Hukum Menurut Cara Mempertahankan Menurut cara mempertahankan, hukum dapat dibagi dalam:

a. Hukum Material, yaitu hukum yang memuat peraturan peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan. Contoh Hukum Materiil: Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang, dan lain-lain. Jika orang berbicara tentang hukum pidana, hukum perdata, maka yang dimaksudkan ialah Hukum Pidana Materiil dan Hukum Perdata Material.

b. Hukum Formal (hukum proses atau hukum acara) yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum mate Jurial atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara cara mengajukan sesuatu perkara ke muka pengadilan dan bagaimana cara-cara hakim memberi keputusan. Contoh Hukum Formal:

Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata.

3 Sri Warjiyati, Memahami Dasar Ilmu Hukum: Konsep Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), hlm 52

4 Ibid

(4)

VI. Pembagian Hukum Menurut Sifatnya Menurut sifatnya, hukum dapat dibagi dalam:

a. Hukum yang memaksa (Imperatif), yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimanapun juga harus dan mempunyai paksaan mutlak. Ketentuan- ketentuan yang bersifat memaksa itu berlaku bagi para pihak yang bersangkutan maupun hakim sehingga hukum itu sendiri harus diterapkan meskipun para pihak mengatur sendiri hubungan mereka. Sebagai contoh adalah ketentuan Pasal 913 burgerlijk wetboek Indonesia yang berbunyi:

“Legitieme portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah suatu bagian dari harta benda yang harus di berikan kepa-da ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadap-nya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup maupun sebagai wasiat”5

b. Hukum yang mengatur (hukum Fakultatif), yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian. Sebagai contoh dalam Pasal 119 KUH Perdata berbunyi: “Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum, berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan harta kekayaan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetuju-an antara suami dan istri”6

VII. Pembagian Hukum Menurut Wujudnya Menurut wujudnya, hukum dapat dibagi dalam:

5Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.S., LL.M., Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana-Prenada Media Group), 2008.

6 Sri Warjiyati, Op. cit., hlm. 52

(5)

a. Hukum obyektif, yaitu hukum dalam suatu negara yang berlaku umum dan tidak mengenai orang atau golongan tertentu. Hukum ini hanya menyebut peraturan hukum saja yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih.

b. Hukum subjektif, yaitu hukum yang timbul dari hukum objektif dan berlaku terhadap seseorang tertentu atau lebih. Hukum subjektif disebut juga hak.

VIII. Pembagian Hukum Menurut Isinya Menurut isinya, hukum dapat dibagi dalam:

a. Hukum Privat (Hukum Sipil), yaitu hukum yang mengatur hubungan- hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.

b. Hukum publik (Hukum Negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan perseorangan (warga negara).

B. Berbagai Aliran Penemuan Hukum

Dalam penemuan hukum untuk mengaplikasikan hukum pada peristiwa konkret, ada berbagai macam aliran. Pada tahun 1800 sebagian besar hukum merupakan hokum kebiasaan.

Hukum kebiasaan ini ada beraneka ragam dan kurang memberikan jaminan kepastian hukum.

Keadaan ini kemudian menimbulkan gagasan untuk menyatukan hukum dan menuangkannya dalam sebuah kitab undang-undang (index), maka timbullah gerakan kodifikasi, Timbulnya gerakan kodifikasi ini disertai timbulnya aliran legisme yaitu aliran dalam ilmu pengetahuan hukum dan peradilan mengakui hukum di luar undang-undang, Hukum dan undang-undang itu yang identik, sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahuan diakui sebagai hukum kalau undang- undang menunjuknya. Menurut aliran ini hakim tidak tidak menciptakan hukum. Ajaran ini

(6)

didasarkan pada pandangan Montesquieu tentang Negara ideal. Dalam Negara ideal menurut Montesquieu hakim itu harus runduk pada undang-undang Menurut aliran ini semua hukum itu terdapat dalam undang-undang Hakim menerapkannya pada peristiwa konkret. Hakim tidak bertanggung jawab dan tidak dapat dicela. Pandangan. ini berkuasa di Eropa antara tahun 1830- 1880. Namun demikian Portalis. memiliki pandangan yang berbeda dan berpendapat bahwa undang-undang meskipun nampaknya lengkap, tetapi tidak pernah selesai, sebab ribuan permasalahan yang tidak terduga akan diajukan kepada hakim. Undang undang yang sudah ditetapkan itu tidak akan berubah. Sedangkan manusia tidak pernah berhenti dan perkembangan itu akan selalu menimbulkan peristiwa baru. Oleh karena itu diserahkan kepada kebiasaan, para sarjana hukum dan pendapat hakim.7

Undang-undang ternyata tidak lengkap dan sering tidak jelas. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat di mana undang-undang itu berada se nantiasa mengalami perubahan dan perkembangan, sedangkan undang undang tidak mungkin selalu berubah karena pembuatan undang-undang membutuhkan waktu yang tidak pendek. Berbagai peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat diajukan ke pengadilan. Dalam menghadapi berbagai macam permasalahan konkret ini hakim diharapkan menyesuaikan undang-undang dengan keadaan. Aliran legisme makin lama makin diting galkan. Peradilan mempunyai peranan penting dan yurisprudensi makin bertambah kewibawaannya.

Pada abad ke-19 di Jerman lahir aliran yang lebih lunak, yaitu Mazhab Historis dan Freirechtschule.8

Menurut Mazhab Historis, undang-undang tidak lengkap. Di samping undang-undang masih ada sumber hukum lain yaitu kebiasaan. Menurut Von Savigny hukum itu berdasarkan sistem asas-asas hukum dan penger tian dasar dari mana untuk setiap peristiwa dapat diterapkan kaidah yang cocok (Begriffjurisprudenz). Hakim memang bebas dalam menerapkan undang- undang, tetapi tetap bergerak dalam sistem hukum yang tertutup.9

Diadakannya kodifikasi di Jerman pada tahun 1900 menimbulkan pandangan bahwa di dalam undang-undang tidak terdapat kekosonga kekosongan atau kekurangan kekurangan.

7 Sudikno Mertokusumo dan Mr. A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, 1993, Citra Aditya Bakti Bekerjasama dengan Konsorsium Ilmu Hukum, Dept Pendidikan dan Kebudayaan dan The Asia Foundation, hlm 10.

8 Sudikno Mertokusumo dan Mr. A. Pitlo

9 Algra dalam Sudikno Mertokusumo dan Mr. A. Pitlo, hlm 11.

(7)

Namun demikian kemudian dengan berkembangnya berbagai kasus dalam masyarakat maka terdap pandangan bahwa undang-undang tidak sempurna, banyak kekuranga kekurangan yang harus dilengkapi atau dusi oleh hakim. Dengan maka melepaskan diri dari sistem timbulah pandangan bahwa putusan itu tidak begitu saja berasal dari undang-undang maupun dari sistem as sas hukuman pengertian hukum, tetapi ada unsur lain yang memegang peran yaira unsur penilaian (freichtbewegung).

C. Metode Penemuan Hukum

Menemukan hukum adalah permasalahan yang tidak akan pernah selesai karena permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat selalu muncul yang tidak selalu sama satu dengan yang lainnya sedangkan pera taran perundang-undangan tidak berubah. Menemukan hukum pada pe stiwa konkret yang merupakan penemuan hukum untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat pencari keadilan ini ada berbagai macam metode.

Menurut Sudikno Mertokusumo metode 10penemuan hukum ini di lihat dari dua hal, yaitu:

1. Dalam hal peraturan perundang-undangannya tidak jelas, maka tersedia metode interpretasi atau penafsiran

2. Dalam hal peraturannya tidak ada maka tersedia metode penalaran (deering, reasoning, argumentasi).

I. Metode Penafsiran

Penafsiran sudah lama dikenal yang disebut dengan bermeneutik yuridis Jazim Hamadi

11mengemukakan bahwa hermeneutika (hermeneutics) berasal dari istilah Yunani berupa kata kerja bermencari yang berarti menafsirkan, dan kata benda bermeneia artinya penafsiran atau interpretasi. Sebagai esensi dari pembagian tersebut, pertama, sebagai sebuah metode interpretast

10 Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, Hlm 55-64.

11 Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, UII Press, Yogyakarta, Hlm 28.

(8)

(penafsiran) bermeneutika tidak hanya mengandung teks dan berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, bermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon atau cakrawala yang melingkupi teks tersebut. Horizon yang dimaksud adalah horizon teks, horizon pengarang, dan horizon pembaca. 12Selanjutnya Jazim Hamidi mengemukakan bahwa sebagai sebuah metode penafsiran, bermeneutika harus selalu memerhatikan tiga komponen pokok yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi.

Kedua, sebagai landasan kefilsafatan ilmu hukum, filsafat hermeneutic adalah filsafat tentang hal mengerti atau memahami (rerstehen) sesuatu, yakni refleksi kefilsafatan yang menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan pergaulan manusiawi dengan kenyataan, termasuk peristiwa mengerti dan/atau interpretasi. Hal atau kegiatan mengerti sesuatu itu pada intinya adalah sama dengan kegiatan menginterpretasi. Jadi memahami sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu, dan sebaliknya dengan menginterpretasi sesuatu maka tercapai pemahaman tentang sesuatu itu. Hal memahami atau menginterpretasi adalah aspek hakiki dalam keberadaan manusia yang membedakannya dari hewan, tanaman dan benda-benda lainnya.

Artinya keberadaan manusia dan kegiatan menjalankan kehidupannya berlangsung berlandaskan atau dipengaruhi proses dan produk pemahaman atau interpretasinya.13

Penafsiran ini tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga oleh peneliti hukum dan mereka yang berhubungan dengan kasus atau konflik dan peraturan-peraturan hukum. Dalam buku ini yang diuraikan adalah penafsiran oleh hakim karena penafsirannya mempunyai wibawa dan dituangkan dalam suatu putusan. Penafsiran oleh hakim yang dimaksudkan adalah penafsiran atau penjelasan yang harus menuju pada penerapan atau tidak menerapkan suatu peraturan hukum umum terhadap peristiwa konkret yang dapat diterima oleh masyarakat. Ini bukan menerapkan per aturan dan bukan melakukan subsumpsi. Namun dalam hal ini hakim juga memahami makna teks, konteks, dan melakukan kontekstualisasi. Dengan demikian hakim harus benar-benar memahami nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, supaya dapat memberikan putusan yang dapat memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat.

12 Fakhruddin Faiz, dalam Jazim Hamidi, loc.cit.

13 Jazim Hamidi, loc.cit.

(9)

Ada berbagai macam metode interpretasi, , namun tidak mudah un memisahkannya satu sama lain. Mengenai batasan atau definisi masing masing metode tidak ada kata sepakat.

Sudikno Mertokusumo" mengemukakan bahwa berbagai metode interpretasi merupakan argumentasi yang membenarkan formulasi (rumusan) suatu peraturan. Di samping itu metode interpretasi itu dapat digunakan juga untuk membenarkan analogi, a contrario dan rechtsver atau penyempitan hukum.

Penafsiran ini mulai berkembang sejak abad 19 yang sangat dipengaruhi pandangan Von Savigny dan memberikan batasan tentang pe nafsiran sebagai rekonstruksi pikiran yang tersimpul dalam undang undang. Menurut Von Savigny penafsiran ini tidak dapat digunakan secara bebas tetapi untuk berbagai kegiatan yang kesemuanya harus dilaksanakan bersamaan untuk mencapai tujuan, yaitu penafsiran undang-undang.

Metode penafsiran/interpretasi menurut Sudikno Mertokusumo din A. Pitlo ini dibagi menjadi empat yaitu interpretasi gramatikal, sistematis, historis dan teleologis.

a. Interpretasi Gramatikal

Metode interpretasi gramatikal merupakan interpretasi menurut bahasa, yaitu penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Hukum selalu memerlukan bahasa Hukum tidak mungkin ada tanpa ada bahasa. Dalam pembuatan undang undang dan peraturan perundang-undangan lain, putusan hakim, perjanjian dan dokumen-dokumen lain tentu dibutuhkan bahasa.

Untuk mengetahui makna suatu ketentuan undang-undang misalnya maka undang- undang tersebut ditafsirkan atau dijelaskan dengan cara menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari.

Pada dasarnya penafsiran undang-undang itu selalu akan merupakan penafsiran atau penjelasan dari segi bahasa dan disebut juga metode objektif. Pada Pasal 432 ayat (1) KUHP disebutkan: "Seorang pejabat suatu lembaga pengangkutan umum yang dengan sengaja memberikan kepada orang lain daripada yang berhak, surat tertutup, kartu pos atau paket yang dipercayakan kepada lembaga itu, atau menghancurkan, menghilangkan, memiliki sendiri atau mengubah isinya, atau

(10)

memiliki sendiri barang sesuatu yang ada didalamnya diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun". Itu merupakan contoh penggunaan interpretasi gramatikal, istilah "dipercayakan" dari Pasal 432 ayat (1) KUH Pidana ditafsirkan sebagai

"diserahkan".

b. Interpretasi Sistematis atau Logis

Interpretasi sistematis adalah menafsirkan undang-undang sebagai ba gian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghu bungkan dengan undang-undang lain.

Suatu peraturan hukum, misalnya undang-undang merupakan ba gian dari keseluruhan sistem hukum. Arti pentingnya suatu peraturan hukum terletak di dalam sistem hukum. Di luar sistem hukum lepas dari hubungannya dengan peraturan- peraturan hukum yang lain, suatu peraturan hukum tidak memiliki arti karena antara satu peraturan dengan peraturan-peraturan lain selalu berkaitan dalam suatu sistem.

Dalam interpretasi sistematis ini hakim menafsirkan peraturan per undang- undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan-peratu ran hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Dalam hal ini hukum dilihat sebagai satu kesatuan sebagai sistem peraturan. Suatu peraturan tidak dilihat sebagai peraturan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari sistem. Dalam menafsirkan undang undang tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem. Tidak hanya suatu peraturan dalam satu himpunan peraturan dapat membenarkan penafsiran tertentu dari peraturan itu, juga pada beberapa peraturan dapat mempunyai dasar tujuan atau asas yang sama. Hubungan antara keseluruhan peraturan tidak semata- mata ditentukan oleh tempat peraturan itu terhadap satu sama lain, tetapi oleh tujuan bersama atau asas-asas yang bersamaan yang mendasarkan pada peraturan-peraturan itu.

Contoh penggunaan interpretasi sistematis adalah kalau hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

(11)

Perdata saja, tetapi harus dihubungkan juga dengan Pasal 278 KUH Pidana. Apabila akan mengetahui apakah mayat manusia merupakan objek pemilikan sehingga jika ada pertanyaan apakah dapat menjadi objek pencurian? Dalam sistem-sistem perdata mayat manusia tidak merupakan objek pemilikan sehingga tidak ada yang memiliki.

Namun dalam sistem hukum pidana mayat manusia merupa milik ahli warisnya sehingga jika ada yang mengambil mayat manusia secara melawan hukum berarti mengambil mayat tersebut dari pemiliknya atau dari ahli warisnya (HR 25 Juni 1946).

c. Interpretasi Historis

Interpretasi historis ini dilakukan dengan cara meneliti sejarah terjadin undang- undang tersebut. Jadi merupakan penjelasan menurut sejan hukumnya dan sejarah terjadinya undang-undang. Undang-undang in tidak terjadi begitu saja. Undang- undang selalu merupakan reaksi terhadap kebutuhan sosial untuk mengatur yang dapat dijelaskan secara histons Keluarnya suatu peraturan dapat dilihat sebagai langkah-langkah dalam perkembangan masyarakat, dan maknanya dapat diketahui dengan meneli langkah-langkah sebelumnya. Dalam hal ini meliputi seluruh lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan undang-undang. Contoh penerapan interpreta historis jika ingin mengerti makna Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya dapat dimengerti dengan meneliti sejarah tentang emansipasi wanita.

Kalau penafsiran peraturan tertentu didasarkan pada maksud atau tujuan pembentuk undang-undang peraturan tersebut maka dilakukan dengan meneliti hasil pembicaraan dan dokumen di DPR yang men dahului terciptanya peraturan tersebut.

Maksud pembentuk undang undang ini dapat dilihat dari hasil pembicaraan di DPR.

Dalam hal ini yang dicari adalah maksud suatu peraturan seperti yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang Kehendak pembentuk undang-undang ber sifat menentukan, Penafsiran ini disebut juga penafsiran subjektif karena penafsiran dipengaruhi oleh pandangan subjektif dari pembentuk undang andang Dengan makin tua usia undang-undang maka makin berkuranglah kegunaan interpretasi historis dan makin beralasan untuk menggunakan interpretasi sosiologis.

(12)

d. Interpretasi Teleologis atau Sosiologi

Interpretasi teleologis digunakan apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan dari pembentuk undang-undang yang sesuaikan dengan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau tidak sesuai lagi diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan di kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada waktu di undangkan peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang terjadi pada saat ini. Peraturan perundang undangan disesuaikan dengan peristiwa yang terjadi sekarang.

Contoh penggunaan Interpretasi teleologis penafsiran kata barang pada Pasal 362 KUH Pidana juga termasuk aliran listrik karena ber sifat mandiri dan mempunyai nilai tertentu. Padahal pada perumusan pasal tersebut perihal mengenai barang tidak menunjukkan kepada listrik. Pada hakikatnya semua penafsiran merupakan penafsiran teleologis. Makin usang suatu undang-undang maka makin banyak dicari tujuan pembentuk undang-undang yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Di samping empat macam interpretasi sebagaimana terurai di atas, masih ada metode interpretasi komparatif dan antisipant.

e. Interpretasi Komparatif

Interpretasi komparatif atau penafsiran dengan jalan memperbanding kan adalah penjelasan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan mem perbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan undang undang Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian international ini penting karena dengan pelaksanaan yang seragam direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum objektif atau kaidah hukum untuk beberapa negara. Pada interpretasi komparatif maka penafsiran peraturan itu dibenarkan dengan mencari titik temu pada penyelesaian yang dikemukakan diberbagai negara. Di luar hukum perjanjian internasional kegunaan metode ini terbatas.

(13)

f. Interpretasi Futuristis

Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif adalah mencari pemecahan dengan berpedoman pada undang undang yang belum mempunyai kekuatan hukum stau belum berlaku yaitu dalam rancangan undang- undang Misalnya ketika hakim hendak memutus suatu perkara hakim sudah membayangkan bahwa undang-undang yang digunakan akan segara diganti dengan undang-undang baru yang masih menjadi rancangan undang-undang. Untuk mengantisipasi perubahan itu hakim berfikir futuristis jika ternyata rancangan undang-undang itu disahkan maka putusan ini akan berdampak berbeda oleh karena itu hakim memutus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lain di luar undang undang yang berlaku saat itu. Contoh: Putusan mengena pencurian aliran listrik (Electriciteitsarrest, NJ 1921). Pada tanggal 23 Mei 1921 HR memutuskan bahwa listrik termasuk barang yang dapat dicuri (310 Sr, 362 KUHP) 162 KUHP) sudah dicaalan undang-undang yang menyadari perbuatan tersebut dinyatakan diancam dengan pidana. Semua itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai metode ideologis dan fungsional Langemeyer memandangnya sebagai interprestasi ekstentif. Contoh lainnya adalah putusan pengadilan Amsterdam yang harus menjawab apakah seorang yang sakit ingatan yang mengambil truk dari pabrik dan memasaki sebuah rumah dengan truk tersebut bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya beradasarkan perbuatan melawan hukum. (Pasal 1401 BWN, Pal 1365 KUH Perdata).

Dalam hal ini Pengadilan Amsterdam dengan mendasarkan pengertian kesalahan pada BW baru yang baelum berlaku. Pengertian schuld ditafsirkan lain dari biasanya menurut BWN.

Adapun beberapa jenis interpretasi hukum dalam rechtsvinding:

1. Gramatikal

Interpretasi gramatikal adalah cara menafsirkan istilah dalam undang- undang sesuai dengan kaidah bahasa hukum yang berlaku. Pada umumnya, hakim menggunakan interpretasi gramatikal bersamaan dengan interpretasi logis, yakni memberikan makna terhadap suatu aturan hukum melalui penalaran hukum untuk diterapkan terhadap teks yang kabur atau kurang jelas artinya.

(14)

Sebagai contoh, arti “pihak ketiga” dalam perjanjian atau kontrak seringkali tidak jelas. Terkadang, pihak ketiga mengacu pada pihak lain yang tidak terkait dalam kontrak atau perjanjian, namun terkadang pihak ketiga juga diartikan sebagai kreditur konkuren. Dengan demikian, biasanya hakim menggunakan interpretasi gramatikal bersamaan dengan interpretasi logis berdasarkan penalaran hukum.14

2. Historis Undang-Undang

Interpretasi historis undang-undang adalah metode penafsiran terhadap makna undang-undang menurut terjadinya dengan cara meneliti sejarah, meliputi interpretasi terhadap sejarah undang-undang (wet historisch) dan sejarah hukum (recht historisch).

Wet historisch adalah mencari maksud dari peraturan perundang- undangan itu seperti apa yang dilihat oleh pembuat undang-undang ketika undang-undang itu dibentuk. Sedangkan recht historisch adalah metode interpretasi yang memahami undang-undang dalam konteks sejarah

hukumnya. Misalnya, untuk mengetahui sistem pemilu serentak yang diatur dalam undang-undang pemilu, maka hakim harus mengetahui sejarah penyusunan undang-undang beserta ratio legis-nya.15

3. Sistematis

Interpretasi sistematis merupakan metode untuk menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkan dengan peraturan hukum yang lain, atau dengan keseluruhan sistem hukum. Dalam metode ini, penafsiran atas suatu ketentuan undang-undang harus dihubungkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain sehingga dalam menafsirkan peraturan perundang- undangan tidak boleh keluar atau menyimpang dari sistem hukum suatu negara.

Sebagai contoh, jika hendak mengetahui sifat pengakuan anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan orang tua, hakim tidak hanya cukup mencari

14 Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 235.

15 Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 236-237.

(15)

ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUH Perdata saja, akan tetapi harus dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUHP16.

4. Teleologis

Interpretasi teleologis merupakan penafsiran terhadap undang-undang sesuai dengan tujuan pembentukannya. Hakim dalam menggunakan penafsiran teleologis ini harus menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan situasi sosial. Sebagai contoh, dalam menafsirkan ketentuan Pasal 362 KUHP tentang pencurian, hakim harus memperluas makna kalimat “barang” dalam pasal tersebut dengan berbagai macam benda yang dapat dimiliki, baik berwujud maupun tidak berwujud. Misalnya aliran listrik, pulsa dan lain-lain. Sehingga jika seseorang dengan sengaja tanpa hak mengambil aliran listrik untuk dimiliki, pelaku harus dihukum.17

5. Komparatif

Interpretasi komparatif merupakan metode penafsiran dengan membandingkan berbagai sistem hukum. Dengan melakukan perbandingan, hakim dapat mencari makna ketentuan peraturan perundang-undangan. Metode ini digunakan oleh hakim pada saat menangani kasus yang menggunakan dasar hukum positif yang timbul dari perjanjian bersifat internasional. Contoh kasus, dalam penafsiran kalimat di perjanjian antara dua orang yang tunduk pada hukum yang berbeda, maka hakim harus mencari makna kalimat tersebut. Sebagai contoh pada perjanjian antara orang Indonesia dan orang Australia, hakim harus membandingkan makna kalimat yang disengketakan dari kedua Negara tersebut.18

6. Futuristik

16 Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 235.

17 Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 237.

18Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 237-238.

(16)

Interpretasi futuristik disebut juga metode penemuan hukum antisipatif.

Interpretasi ini menjelaskan arti undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. Dengan pengertian lain, interpretasi futuristik menjelaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang (ius contitutum) dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang akan datang atau yang dicita-citakan (ius constituendum). Misalnya peraturan-peraturan yang masih dalam proses legislasi atau rancangan undang-undang (“RUU”), hakim dapat menggunakan interpretasi ini dengan sebuah keyakinan, bahwa RUU akan segera diundangkan.19 7. Restriktif

Interpretasi restriktif adalah metode penafsiran yang sifatnya membatasi atau mempersempit makna dari suatu aturan. Sebagai contoh, hakim dalam menafsirkan batasan ”tetangga” dalam Pasal 666 KUH Perdata, yakni membatasi hanya pada tetangga rumah dan bukan termasuk penyewa rumah.20

8. Ekstensif

Interpretasi ekstensif adalah metode penafsiran yang membuat sebuah penafsiran melebihi batas biasa yang dilakukan melalui interpretasi gramatikal.

Misalnya, hakim dalam menafsirkan kata ”menjual” dalam Pasal 1576 KUHPerdata tidak hanya bermakna jual beli, akan tetapi bisa bentuk peralihan yang lain, sewa atau tukar menukar.

9. Autentik

Interpretasi autentik adalah metode penafsiran yang dilakukan dengan melihat arti dari istilah yang dimuat dalam sebuah undang-undang itu sendiri.

Interpretasi ini dikenal dengan interpretasi resmi atau autentik. Metode penafsiran ini melarang hakim menafsirkan selain apa yang telah ditentukan pengertianya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Contohnya, hakim dalam

19 Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 238.

20 Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 238.

(17)

menafsirkan kata ”hari” dalam Pasal 98 KUHP harus melihat ketentuan dalam KUHP yang diartikan sebagai waktu antara matahari terbenam hingga matahari terbit.21

10. Interdisipliner

Interpretasi interdisipliner adalah metode penafsiran yang dilakukan oleh hakim jika menghadapi kasus yang melibatkan berbagai macam disiplin ilmu hukum. Misalnya hakim berhadapan dengan hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi negara atau hukum internasional. Dengan demikian, hakim harus berpedoman pada asas-asas yang bersumber pada berbagai disiplin ilmu hukum tersebut. Sebagai contoh ketika hakim menangani kasus korupsi, maka hakim harus menggunakan penafsiran dari aspek hukum pidana, hukum administrasi, dan hukum perdata.22

11. Multidisipliner

Interpretasi multidisipliner adalah metode penafsiran yang digunakan oleh hakim dalam menangani perkara dengan mempertimbangkan berbagai kajian ilmu di luar ilmu hukum. Dalam praktiknya, hakim akan mendatangkan ahli atau pakar dari berbagai macam ilmu terkait dengan kasus yang ditangani. Sebagai contoh ahli yang didatangkan dalam kasus cybercrime, white collar crime, atau terorisme.23

Di samping beberapa metode interpretasi sebagaimana disebutkan di atas terdapat juga metode interpretasi onenti yang tidak pernah dibicarakan bersama-sama dengan metode-metode interprestasi lainnya karena metode ini bukan merupakan metode penemuan hukum oleh hakim melainkan penafsiran oleh pembentuk undang-undang yang dimuat dalam undang- undang.

21 Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 239.

22 Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 240.

23 Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017, hal. 240.

(18)

Dari hasil atau akibat penemuan hukum berbagai metode interprestasi dapat dibedakan antara interpretasi restriktif dan eksternatif. Karena interpretasi itu sebagai akibat dari adanya rumusan suatu peraturan maka dapat menyebabkan lingkungan penerapan tersebut menjadi dibatasi atau diperluas, Oleh karena itu, disebut interpestasi restriktif atau eksternatif. Dalam hal ini bukan interpretasinya sendiri yang restrictif atau eksternatif tetapi pembedaan ini adalah sebagai akibat formulasi tertentu dari suatu peraturan yang dibenarkan dengan bantuan interpretasi. Akibat inilah yang dapat membatasi atau memperluas lingkungan penerapan peraturan perundang- undangan.

Suatu peraturan hanya dapat ditetapkan dengan jalan penafsiran baru kemudian dapat dilihat apakah bersifat diperluas atau dipersempit. Interpretasi gramatikal pada umumnya bersifat membatasi sedangkan interpretasi historis menurut undang-undang bersifat memperluas Interpretasi teleologis sifatnya memperluas, sedangkan interpretasi sistematis bersifat membatasi.

Interpretasi restriktif dalam hal ini untuk menjelaskan ketentuan undang-undang dan ruang lingkup undang-undang itu dibatasi. Metode ini merupakan metode penafsiran dengan mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa.

Contohnya menurut interpretasi gramatikal "tetangga" dalam Pasal 666 KUH Perdata dapat diartikan setiap tetangga termasuk seorang penyewa kamar dari tetangga sebelah. Kalau tetangga ditafsirkan tidak termasuk tetangga penyewa maka ini merupakan interpretasi restriktif.

Interpretasi ekstensif dalam hal ini dilampaui batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal. Misalnya penafsiran kata "menjual" dalam Pasal 1576 KUH Perdata. Sudah sejak tahun 1906 kata menjual dalam Pasal 1576 KUH Perdata (Pasal 1612 BWN) oleh HR ditafsirkan luas, yaitu bukan hanya berarti jual beli saja, tetapi setiap peralihan hak milik.

Dari berbagai metode interpretasi tidak ada salah satu metode yang harus diprioritaskan.

Undang-undang tidak memberi petunjuk bagaimana menafsirkan. Menafsirkan bukan kegiatan rasional logis. Dalam meng gunakan berbagai metode interpretasi hasilnya bisa berbeda-beda.

Hakim mempunyai kebebasan dalam menafsirkan yang harus dilakukannya karena hakim memutuskan terhadap peristiwa konkret yang diajukan kepadanya dan tidak dapat menolak sehingga harus memutuskan berdasarkan pan dangan dan penilaiannya. Hal ini merupakan pandangan pribadi hakim yang merupakan pilihan pertanyaan putusan mana yang paling tepat yang dapat diterima masyarakat. Hakim harus mendasarkan keputusannya pada kelayakan dan

(19)

kepatutan. Hakim akhirnya akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan pertimbangan metode mana yang paling meyakinkan dan yang hasilnya paling memuaskan.24

Metode-metode interpretasi ini sering digunakan bersama-sama atau campuran sehingga batasnya tidak dapat ditarik secara tajam. Dalam setiap interpretasi terdapat unsur-unsur gramatikal, sistematis, historis dan teleologis.

II. Metode Argumentasi/ Penalaran/Redenering/Reasoning

Selain metode interpretasi, dalam penemuan hukum juga dikenal metode argumentasi atau lebih dikenal dengan metode penalaran. Visser't Hooft dengan mengutip pendapat A.G Guest mengemukakan bahwa the object of a scientific inquiry is discovery, the object of a legal inquiry is decision25 Sidharta berpandangan bahwa beranjak dari pendapat tersebut mereka sesungguhnya ingin menegaskan bahwa penalaran hukum pada dasarnya adalah kegiatan berpikir problematis. Kegiatan berpikir ini berada dalam wilayah berpikir praktis. 26Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Mac Cormick bahwa legal reasoning as one branch of practical reasoning, which is the application by bumans of their reason to deciding bow it is right ieluss right to condu themselves in situations of choice.27

Penalaran hukum adalah kegiatan berpikir problematis dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Namun demikian penalaran hukum tidak mencari penye lesaian ke ruang-ruang yang terbuka tanpa batas. Ada tuntutan bagi pena laran hukum untuk menjamin stabilitas dan prediktabilitas dari putusannya dengan mengacu pada sistem hukum positif. Supaya terdapat kepastian hukum, argumentasi yang dilakukan harus mengikuti asas penataan ini. Dengan demikian putusan-putusan misalnya antara hakim yang satu dengan yang lainnya dalam mengadili kasus serupa relatif terjaga konsistensinya (asas similia similibus). Menurut B. Arief Sidharta 28tipe argumentasi dalam penalaran hukum sebagai berpikir "problematika tersistematisasi (gerytematiseerd probleemdenken).

24 Algudikno Mertokusumo, ibid hlm.62

25 Visser’t Hooft dalam Shidarta, 2006, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, Utomo, Bandung, Hlm. 155

26 Shidarta, loc cit.

27 Mac Cormick dalam Shidarta, ibid loc.cit.

28 B. Arief Sidharta dalamShidarta, ibid hlm 156.

(20)

Subjek hukum dalam hal ini perlu diberi penekanan sendiri karena menunjukkan bahwa kegiatan berpikir ini adalah aktivitas terfokus yang hanya menyoroti problema yang relevan dengan kepentingan (kedudukan dan peranan) para subjek hukum, bukan sebagai subjek dalam konteks lain. Artinya problema hukum adalah problema kepentingan manusia se bagai makhluk berbudaya. Pada dasarnya semua subjek hukum mampu melakukan penalaran hukum ini, namun aktivitas yang terfokus seperti itu secara intens merupakan ranah kegiatan para pengemban hukum yang dalam tulisan ini lebih terfokus pada hakim karena para hakim inilah sebagai pengambil keputusan (legal decision maker).

Berbeda dengan metode ini digunakan dalam hal ada peristiwa belum ada aturan hukumnya atau tidak lengkap atau ada kekosongan hukum, sedangkan pada metode interpretasi peristiwa tersebut sudah diatur di dalam undang-undang hanya saja pengaturannya masih belum jelas.

Berdasarkan asas ius curia novit (hakim tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan dalil hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya atau tidak lengkap) maka metode argumentasi ini sangat penting demi menjamin keadilan.

Pembentuk undang-undang tidak mungkin membuat aturan selengkap lengkapnya. Ada kemungkinan suatu perbuatan atau perbuatan tertentu belum di atur atau undang-undang tidak lengkap. Hal ini karena pembentuk undang-undang sebagai manusia tentu tidak mungkin sempurna. Dalam hal suatu perbuatan tidak ada aturan hukumnya apakah dapat dikatakan dibolehkan atau dilarang. Hal demikian tentu saja dilihat secara kasuistis, tidak dapat diperlakukan sama atas peristiwa satu terhadap yang lainnya. Metode argumentasi ini dapat dibagi sebagai berikut:

a. Metode Argumentum Per Analogiam (Analogi)

Analogi merupakan metode penemuan hukum yang dalam hal ini hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturannya. Ada kemungkinan peraturan perundang undangan terlalu sempit ruang lingkupnya, sehingga untuk menerapkan undang-undang pada peristiwanya hakim akan memperluasnya dengan Argumentum per analogian.

(21)

Menurut Zevenbergen29, analogi digunakan apabila menghadapi peristiwa- peristiwa yang analog atau mirip Tidak hanya mirip, tetapi juga apabila kepentingan masyarakat hukum menuntut penilaian yang sama.

Sebagai contoh dapat dilihat Pasal 1576 KUH Perdata yang mengatur bahwa jual beli tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa. Kemudian dalam praktik, perkara yang dihadapi adalah apakah hibah juga tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa atau sebaliknya? Karena undang undang hanya mengatur tentang jual beli dan tidak tentang hibah, maka hakim harus melakukan penemuan hukum agar dapat membuat purusan dalam perkara tersebut. Dengan metode analogi pertama-tama hakim mencari esensi dari perbuatan jual beli, yaitu peralihan hak, dan kemudian dicari esensi dari perbuatan hibah, yaitu juga peralihan hak. Dengan demikian, ditemukan bahwa peralihan hak merupakan genus (peristiwa umum), sedangkan jual beli dan hibah masing-masing adalah species (peristiwa khusus), sehingga metode analogi ini menggunakan penalaran induksi yaitu berfikir dari peristiwa khusus ke peristiwa umum. Kesimpulannya hibah juga tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa. Dengan analogi maka peristiwa yang serupa, sejenis, atau mirip dengan yang diatur undang-undang diperlakukan sama.

b. Metode Argumentum a Contrario

Metode ini memberikan kesempatan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya. Karena ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang. Jadi metode ini mengedepankan cara penafsiran yang berlawanan pengertiannya antara peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.

Sebagai contoh ketentuan adanya masa iddah dan waktu menunggu bagi seorang janda yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Namun bagaimana halnya dengan seorang duda? Apakah mempunya masa iddah? Undang-Undang Nomor 1

29 Zevenbergen dalam Sudikno Mertokusumo, op,cit, hlm 65.

(22)

Tahun 1974 tentang perkawinan memang secara tegas tidak mengatur mengenai masa iddah bagi seorang duda oleh karena itu, dengan digunakannya logika a contrario yaitu memperlakukan kebalikannya dari Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut sehingga seorang duda tidak perlu menunggu waktu tertentu apabila hendak kawin lagi.

c. Metode Penyempitan Hukum

Kadang-kadang peraturan perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Dalam penyempitan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpangan penyimpangan baru dan peraturan-peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.

Sebagai contoh penyempitan hukum adalah pengertian "perbuatan melawan hukum" yang tercantum dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang cakupan maknanya luas apakah yang dimaksud dengan hukum itu sendiri? akibatnya ruang lingkupnya dipersempit menjadi apa yang dijumpai dalam yurisprudensi putusan HR 31 Januari 1919 dalam kasus Lindenbaum v Calen yaitu perbuatan melawan hukum dipersempit menjadi perbuatan melawan undang-undang dan kepatutan.

d. Masyarakat Prismatik dan Sistem Penemuan Hukumnya

Tidak dapat dipungkiri pada masa sekarang di seluruh dunia sedang mengalami globalisasi, yang menjadikan batas antara satu Negara dengan Negara lainnya menjadi makin tipis. Hal ini pun terjadi di Indonesia yang tentunya tidak mungkin menutup diri dari pengaruh global. Menurut Scholten 30 ada lima kategori besar definisi globalisasi, yaitu: 1) Globalisasi adalah internasionalisasi; 2) Globalisasi sebagai liberalisasi. Free trade merupakan slogan utama; 3) Globalisasi adalah universalisasi. Dalam penggunaannya global berarti worldwide, sedangkan globalisasi adalah proses menyebarnya barang-barang dan ilmu kepada seluruh penjuru dunia; 4) Globalisasi

30 Nanang Pamudji Muga Sejati dan Ucu Martanto(Editor), Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Yogyakarta, 2006, hlm. 2-3

(23)

adalah westernisasi atau modernisasi atau bahkan amerikanisasi; 5) Globalisasi adalah deteritorialisasi atau superteritorialisasi. Globalisasi menyebabkan rekonfigurasi geografis, sehingga ruang-ruang sosial tidak lagi terpetakan utuh dalam wilayah teritorial, jarak teritorial, dan batas teritorial. Nieminen mengatakan 31"in fully globalized world all social subsystems are tied into comprehensive global social system. So, the fully globalized world consist of one closed system". Hirst dan Grahame Thomson"

mendefinisikan istilah globalisasi sebagai "large and growing flows of trade and capital investment between countries". Menurut George C. Lodge: 32"Globalization is the process where the word's people are becoming are becoming increasingly interconnected in all facets of their lives cultural, economic, political, technological and environmental. A major impetus to globalization in the ever increasing flow of information, money, and goods though multinational corporation.

Globalisasi semestinya disikapi dengan baik, karena globalisasi dapat membawa pengaruh besar bagi seluruh bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Globalisasi mempunyai makna yang sangat dalam. Heru Nugroh mengemukakan bahwa globalisasi dapat diibaratkan sebagai "sebua pisau bermata dua". Pada satu sisi, proses globalisasi telah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kelimpahruahan material yang menakjubkan, sedangkan pada posisi lain memunculkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengancam kelangsungan peradaban manusia. Globalisasi ditandai dengan berbagai bentuk perluasan dan integrasi pasar, baik d negara-negara maju maupun negara-negara berkembang seperti terben tuknya pasar-pasar regional antar Negara.

Akibatnya wilayah-wilayah geografis dan kebudayaan yang sebelum globalisasi tiba bersifat subsistem berubah menjadi berorientasi pasar. Dampak sosiologis dari ekspansi pa sar adalah munculnya perilaku konsumtif masyarakat.33

Menurut Muladi, 34Globalisasi bagi Indonesia dapat bermakna an caman atau bahaya sekaligus kesempatan emas (golden opportunity). An caman atau bahaya yang dimaksud misalnya globalisasi ternyata dapat menimbulkan mudharat yang bersifat

31 Hirst and Thomson, Globalization: Ten Frequently Asked Question and Some Supprising Answer, Sounding, Vol.4 (Autumn), 1996, hlm 48.

32 George C. Lodge, Managing Globalization in The Age Independence, Pfeier & Company, San Diego,1995 hlm. 18.

33 Heru Nugroho, Negara, Pasar dan Keadilan Sosial, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm 28-29.

34 Muladi, HukumPositif Indonesia dalam Penanggulangan Kejahatan di dalam Masalah-Masalah Hukum FH Undip, Vol.XXXI Januari-Maret 2006, hlm 64-65.

(24)

eksesif dalam bentuk kehancuran bagi negara-negara yang tidak siap, perusakan lingkungan hidup, runtuhnya tradisi-tradisi nasional yang bersifat partikularistik, berkembangnya kejahatan-kejahatan baru yang bersifat transnasional (organize transnational crimes) yang memanfaatkan perkembangan alat transportasi, komunikasi dan informatika modern. Kesempatan emas juga terbuka lebar bagi negara-negara yang siap terjun di kancah globalisasi seperti penyediaan dan pemanfaatan perkembangan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi modern yang dahsyat, pengarusutamaan terhadap hak asasi manusia dan demokrasi, munculnya konsep kesejahteraan regional dan global misalnya Asia Free Trade Area (AFTA), North Asia Free Trade Area (NAFTA), Europe Uni (EU) dan sebagainya. Oleh karena itu, pembangunan hukumpun seharusnya memerhatikan kecenderungan kecenderungan internasional yang diakui oleh masyarakat dunia. Dalam hal ini Muladi mengemukakan bahwa dalam konteks global, Sistem Hukum Nasional di samping mengandung local character, seperti ideologi bangsa, kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa, juga harus mengandung kecenderungan- kecenderungan internasional yang diakui masyarakat dunia beradab. Dalam pembaruan hukum, aspirasi yang juga perlu diperhatikan adalah aspirasi masyarakat internasional.

Hal ini berarti bahwa Sistem Hukum Nasional harus mampu mengakomodasi sejumlah asas hukum yang pada satu sisi merupakan penjabaran nilai-nilai fundamental (Pancasila dan UUD 1945), pada sisi lain merupakan penjabaran nilai-nilai instrumental yang bersumber pada nilai-nilai fundamental sekaligus nilai nilai kecenderungan internasional yang diakui oleh masyarakat beradab.35

Dalam menghadapi globalisasi perlu diperhatikan masalah struktur masyarakat Indonesia yang memiliki dua karakteristik yang bersifat unik, yaitu secara horizontal dan secara vertikal dan horizontal. Secara horizontal, masyarakat Indonesia ditandai dengan kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku-suku, agama, adat dan kedaerahan. Masyarakat Indonesia oleh Furnivall disebut sebagai masyarakat majemuk (plural societies). Masyarakat seperti ini menurut Fred W. Riggs disebut sebagai masyarakat prismatik (prismatic society).36 Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan perbedaan vertikal berupa lapisan atas dan

35 Paulus Hadi Suprapto, pembangunan Hukum Indonesia dalam Visi Global, Majalah Masalah-Masalah Hukum FH Undip, Vol.XXXII No. 1, Januari 2003, hlm 36.

36 Fred W. Riggs dalam Ronny Hanitjo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, Alumni Bandung, 1985, hlm.80

(25)

lapisan bawah, agraris dan industri. Oleh karena karakteristik tersebut, maka perkembangan kehidupan masyarakat juga tidak dapat serempak. Di satu sisi sebagian masyarakat masih berkutat di bidang agraris, di sisi lain sebagian sudah melangkah ke dunia industri bahkan sebagian lagi sudah berada pada taraf dunia informasi.

Kondisi masyarakat yang plural dan prismatik tersebut harus disikapi dengan arif agar bangsa Indonesia dapat menjadi survival of the fittes di dunia internasional dalam era globalisasi. Dalam kondisi demikian, sistem yang diharapkan mampu mengantisipasi berbagai perubahan sosial adalah sistem hukum. Hukum tampil sebagai kekuatan untuk mengatur (regulative) dan melakukan integrasi37 (law as an integrative mechanism) sebagaimana di kemukakan oleh Harry C. Bredemeier, sistem hukum tidak dapat bersifat statis dalam menghadapi globalisasi. Sistem hukum harus senantiasa response terhadap segala perubahan yang terjadi, terlebih perkembangan internasional. Oleh karena itu Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia pun dapat mengikuti perkembangan masyarakat pada era globalisasi.

Pada awalnya Sistem Hukum Indonesia banyak dipengaruhi oleh sis tem Hukum Belanda yang mengikuti sistem Hukum Civil Law. Pada per kembangan saat ini, berbagai macam perjanjian yang berasal dari sistem hukum Common Law masuk ke Indonesia, terlebih sejak era globalisasi Hal demikian memberikan pengaruh besar dalam perkembangan Sistem Hukum di Indonesia. Kondisi demikian diikuti pula sistem penemuan hukumnya. Semula sistem Penemuan Hukum menggunakan sistem pene muan hukum heteronom bergerak ke arah otonom. Hukum Kontinental/ Civil Law, termasuk Hukum Indonesia mengenal penemuan hukum heteronom sepanjang hakim terikat pada undang-undang tetapi penemuan hukum ini mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat, karena seringkali hakim harus menjelaskan atau melengkapi undang-undang menurut pandangannya sendiri.

Dalam masyarakat prismatik seperti Indonesia maka dapat dikatakan sistem penemuan hukumnya pun seharusnya menggunakan sistem pene muan hukum prismatik, yang merupakan integrasi terpadu antara sistem penemuan hukum heteronom yang sekaligus juga mengandung unsur unsur sistem penemuan hukum otonom.

37 Harry C Bredemeier, ‘’Law as An Integrative Mechanism’’, dalam Vihelm Sociologi of law, Middlesex: Penguin Books, 1973, hlm 52-67.

(26)

BAB III

DAFTAR PUSTAKA

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2011)

Sri Warjiyati, Memahami Dasar Ilmu Hukum: Konsep Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta:

Prenadamedia Group, 2018)

Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.S., LL.M., Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana-Prenada Media Group), 2008.

Sudikno Mertokusumo dan Mr. A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, 1993, Citra Aditya Bakti Bekerjasama dengan Konsorsium Ilmu Hukum, Dept Pendidikan dan Kebudayaan dan The Asia Foundation

Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta

(27)

Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, UII Press, Yogyakarta

Muwahid, Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim dalam Upaya Mewujudkan Hukum yang Responsif, Jurnal Al-Hukama The Indonesian Journal of Islamic Family Law, Vol. 7, No. 1, 2017

Visser’t Hooft dalam Shidarta, 2006, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, Utomo, Bandung, Hlm. 155

Nanang Pamudji Muga Sejati dan Ucu Martanto(Editor), Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Yogyakarta, 2006

Hirst and Thomson, Globalization: Ten Frequently Asked Question and Some Supprising Answer, Sounding, Vol.4 (Autumn), 1996

George C. Lodge, Managing Globalization in The Age Independence, Pfeier &

Company, San Diego,1995

Heru Nugroho, Negara, Pasar dan Keadilan Sosial, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001

Muladi, HukumPositif Indonesia dalam Penanggulangan Kejahatan di dalam Masalah- Masalah Hukum FH Undip, Vol.XXXI Januari-Maret 2006, hlm 64-65.

Paulus Hadi Suprapto, pembangunan Hukum Indonesia dalam Visi Global, Majalah Masalah-Masalah Hukum FH Undip, Vol.XXXII No. 1, Januari 2003, hlm 36.

Fred W. Riggs dalam Ronny Hanitjo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, Alumni Bandung, 1985, hlm.80

Harry C Bredemeier, ‘’Law as An Integrative Mechanism’’, dalam Vihelm Sociologi of law, Middlesex: Penguin Books, 1973, hlm 52-67.

(28)

Referensi

Dokumen terkait

Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding ) yang dilakukan oleh hakim pada tindak pidana korupsi adalah pembentukan hukum secara operasional dilakukan dengan terlebih

melakukan penemuan hukum Pertanyaannya: Bagaimana

Dengan demikian, penemuan hukum terhadap Pasal 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta akan dilakukan dengan metode interpretasi hukum karena telah

Mochamad Fuad Hasan, 08210045, 2012, Penerapan Metode Penemuan Hukum (Rechtsvinding) oleh Hakim Pengadilan Agama Blitar dalam Perkara Dispensasi Nikah, Skripsi, Jurusan

Sains dapat digunakan sebagai salah satu metode penemuan Hukum Islam dalam hal ini dilakukan integrasi antara metode ilmiah ( scientific methode, eksperimen) dan metode

Dari sini dapat ditarik definisi hermeneutika hukum adalah ajaran filsafat mengenai hal mengerti /memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi terhadap teks

Usaha pembaruan metode penemuan hukum Islam dengan pendekatan terpadu berupa analisis inferensi historis dan tekstual, merupakan satu capaian intelektual yang cukup

Metode interpretasi adalah penafsiran terhadap teks undang-undang yang masih tetap berpegang pada bunyi teks itu. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa metode