• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum pidana kelas o - Spada UNS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Hukum pidana kelas o - Spada UNS"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Alasan Penghapus dan jenis penuntutannya alasan Pembenar dan Jenisnya

t o p i k 1 2

Hukum pidana kelas o

Rama Aryayudha Trisnantara (E0021372) Raihan Akbar Syahdewa (E0021368) Raihan Muti Zain (E0021370) Nadhila Tsabita Fathurrahman (E0021315)

Nicolaus Rakhel Danny Cesario (E0021336)

(2)

ALASAN PENGHAPUS

Alasan Penghapus

Hal-hal atau keadaan yang mengakibatkan tidak dijatuhkannya pidana

pada seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas

dilarang dan diancam dengan sanksi pidana karena terdapat alasan yang

dapat memaafkan dan alasan yang membenarkan perbuatan tersebut.

(3)

Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang terletak pada diri orang tersebut seperti yang dijelaskan dalam Pasal 44 KUHP.

Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang terletak di luar orang tersebut seperti yang dijelaskan dalam Pasal 48-51 KUHP.

Alasan Pembenar Alasan Pemaaf

Alasan Penghapusan Tuntutan

Tindakan penghukuman yang didasarkan pada hak mendidik oleh orang tua, wali, guru, dan pendidik lainya Tindakan yang bersumber pada hak jabatan dokter, apoteker, dan ahli kebidanan

Tindakan yang telah mendapat persetujuan dari pihak yang dirugikan mengenai suatu perbuatan pidana Mewaliki urusan orang lain

Alasan-alasan penghapusan pidana telah disebutkan di dalam Buku I BAB III KUHP yang menjelaskan mengenai alasan penghapusan pidana umum. M.v.T dari KUHP Belanda juga telah membagi alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang sehingga orang tersebut tidak dipidana, sebagai berikut:

1.

2.

Buku II KUHP juga menjelaskan mengenai alasan penghapusan pidana khusus yang menjelaskan mengenai delik tertentu. Seperti pada Pasal 221 dan Pasal 310 KUHP.

Dalam teori hukum pidana, alasan-alasan penghapusan pidana dibagi sebagai berikut 1.

2.3.

Terdapat pula alasan penghapusan pidana di luar undang-undang:

2.1.

4.3.

(4)

PASAL 44 KUHP TENTANG TIDAK MAMPU BERTANGGUNG JAWAB

Di dalam Pasal 44 KUHP dijelaskan bahwa seseorang dikatakan tidak dapat bertanggung jawab karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, sehingga tidak dipidana. Selanjutnya hakim pada tingkat Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri dapat memerintahkan agar orang tersebut dimasukkan ke rumah sakit jiwa dengan masa percobaan satu tahun.

Contoh:

Sidang Mahkamah Militer mengadili terdakwa seorang Sersan Mayor Polisi Polda Nusra yang melakukan penembakan terhadap tiga orang hingga meninggal dunia. Berdasarkan keterangan saksi ahli Dokter Jiwa yang diuraikan dalam persidangan, ternyata terdakwa mengalami stress berat sehingga mengalami gangguan “amok” (suatu keadaan jiwa yang tidak sadar) waktu melakukan penembakan. Orang semacam ini telah terganggu pikiran sehatnya (ziekelijk storing derverstandelijk vermogens). Oleh karena itu, ia tidak memiliki unsur kesalahan sehingga Pasal 44 KUHP dapat diterapkan dalam kasus ini. Mahkamah Agung dalam putusannya No.

33.K/Mil/1987 tanggal 27 Februari 1988 menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan sehingga dilepas dari segala tuntutan hukum.

(5)

PASAL 48 KUHP TENTANG DAYA PAKSA DAN KEADAAN DARURAT

Pasal 48 KUHP menjelaskan mengenai seseorang yang melakukan sesuatu karena adanya Daya Paksa atau overmacht, sehingga orang itu tidak dipidana. Overmacht ini kemudian dibagi menjadi dua :

1. Vis absoluta (paksaan absolut)

Daya paksa yang disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tidak dapat ditahan.

2. Vis Compulsiva (paksaan relatif)

Paksaan yang timbul tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat mengadakan perlawanan.

Pasal 48 KUHP juga menjelaskan mengenai Keadaan Darurat atau noodtoestand yaitu daya paksa yang timbul pada saat orang itu dalam keadaan darurat sehingga menjadikan seseorang yang membela diri seolah-olah main hakim sendiri. Terdapat tiga bentuk dari keadaan darurat :

1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum.

2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum.

3. Pertentangan antara kewajiban hukum dan kewajiban hukum.

(6)

PASAL 49 AYAT (1) TENTANG PEMBELAAN TERPAKSA

Pasal 49 ayat (1) menyebutkan “Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.

Contoh:

Seseorang yang dibegal melakukan pembelaan diri agar dirinya selamat sekalipun melukai pelaku begal.

PASAL 49 AYAT (2) TENTANG PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES)

Pasal 49 ayat (2) tersebut menyebutkan “Tidak dipidana seseorang yang melampaui batas pembelaan yang diperlukan, jika perbuatan itu merupakan akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa yang hebat yang disebabkan oleh serangan itu”. Berdasarkan pasal tersebut terdapat tiga syarat yang harus terpenuhi :

1. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas;

2. Pembelaan itu yang langsung disebabkan oleh guncangan jiwa yang hebat atau sangat panas hatinya;

3. Pembelaan itu karena terdapat serangan atau ancaman serangan.

Contoh:

Seseorang yang dibegal menggunakan pisau di tengah jalan melakukan perlawanan diri dengan menusukkan pisau si pelaku begal hingga menyebabkan begal tersebut meninggal dunia.

PASAL 51 AYAT (2) TENTANG PERINTAH JABATAN TIDAK SAH

Pasal 51 Ayat (2) KUHP yang berbunyi, “Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah mengira dengan itikad baik bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.”

(7)

ALASAN PENGHAPUS PIDANA KHUSUS

Pasal 221 KUHP

Perbuatan yang disebutkan dalam Pasal 221 ayat (1) KUHP adalah perbuatan menyembunyikan, menolong untuk menghindarkan diri dari penyidikan atau penahanan, serta menghalangi atau mempersulit penyidikan atau penuntutan terhadap orang yang melakukan kejahatan. Kemudian pada Pasal 221 ayat (2) KUHP aturan diatas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk menghindar atau menghalau bahaya penuntutan terhadap seseorang keluarga sedarah atau dalam garis lurus atau garis menyimpang derajat dua atau tiga atau terhadap suami/istri atau bekas suami/istri

Ketentuan ayat 2 pasal 221 KUHP sebagai alasan penghapus pidana jika suatu perbuatan dilakukan oleh keluarga termasuk suami/istri atau bekas suami/istri. Disini perbuatan yang dilakukan tetaplah pidana, namun elemen yang dicela pelaku yang dihapuskan.

Pasal 310 KUHP

Unsur unsur yang terdapat dalam pasal 310 KUHP:

1. Pasal 310 ayat (1) mengenai pencemaran nama baik

“Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh suatu hal, yaitu yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”

2. Pasal 310 ayat (3) KUHP menyebutkan

“Bukan merupakan pencemaran tertulis jika perbuatan dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”

(8)

ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTAN

Alasan Penghapus Penuntutan merupakan keadaan tertentu yang dapat menyebabkan seorang pelaku tindak pidana tidak dapat dituntut oleh jaksa penuntut umum dengan alasan penghapusan penuntutan atau dasar-dasar yang menghilangkan penuntutan.

Dalam hal ini letak masalah bukan pada alasan pembenar atau

alasan pemaaf, namun pemerintah menganggap atas dasar

kemanfaatanya kepada masyarakat penuntutan tersebut lebih

baik untuk ditiadakan.

(9)

ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA TELAH DIATUR DI DALAM PASAL-PASAL BERIKUT:

Pasal 2-3 dan Pasal 7-9 KUHP yang mengatur tentang ruang lingkup berlakunya Undang- Undang Pidana Indonesia.

Pasal-pasal 61 dan 62 KUHP yang menentukan bahwa pencetak dan penerbit tidak dapat dituntut jika di dalam cetakan tersebut tercantum nama dan alamatnya serta diketahui siapa pembuatnya atau jika diberitahukan pada saat teguran pertama bahwa akan dilakukan penuntutan.

Pasal 71-75 KUHP yang mengatur dicabutnya pengaduan dalam delik aduan. Penyidik boleh melakukan penyidikan terbatas serta tidak dapat dilakukan penuntutan sebelum adanya aduan.

Pasal 76 KUHP tentang Neb Bis In Indem yaitu asas hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan apabila telah terdapat keputusan hakim yang memiliki kekuatan hukum baik yang menghukum atau membebaskannya.

Pasal 77 KUHP yang menentukan bahwa kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia.

1.

2.

3.

4.

5.

(10)

Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda menjadi hapus, jika secara suka rela dibayar maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan.

Jika di samping pidana denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai perampasan wajib diserahkan pula atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat yang berwenang.

Dalam hal pidana diperberat karena pengulangan, pemberatan itu tetap berlaku sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan lebih dulu telah hapus karena penyelesaian di luar pengadilan.

Ketentuan-ketentuan tersebut tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa, yang pada saat melakukan perbuatan belum 16 tahun.

6. Pasal 78 KUHP tentang Daluwarsa Penuntut Pidana. Daluwarsa adalah suatu keadaan lewatnya waktu atau jangka waktu kadaluwarsa yang ditentukan oleh Undang-Undang,yang menjadi sebab gugurnya atau hapusnya hak untuk menuntut dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Maka terdakwa tidak dapat diajukan ke Pengadilan untuk dilakukan proses penuntutan. Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Tetapi terdapat asas Oportunitas yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah melakukan tindak pidana demi kepentingan umum.

7. Pasal 82 KUHP tentang penyelesaian diluar pengadilan. Pasal ini mengatur hal diantaranya:

1.

2.

3.

4.

(11)

ALASAN PEMBENAR

Alasan Pembenar

Merupakan alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak

pidana, sehingga perbuatan terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan

dibenarkan. Dalam sisi perbuatannya (objektif).

(12)

Alasan pembenar menghapuskan sifat

melawan hukumnya perbuatan, meskipun

perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik

dalam undang-undang. Jika perbuatannya

tidak melawan hukum, maka tidak mungkin

ada pemidanaan. Alasan pembenar yang

terdapat dalam KUHP ialah Pasal 49 ayat (1)

mengenai pembelaan terpaksa, Pasal 50

(peraturan undang-undang), dan Pasal 51 ayat

(1) (perintah jabatan).

(13)

PASAL 48 KUHP TENTANG DAYA PAKSA (overmacht)

Pasal yang mengatur masalah kedaruratan ini berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.” Keadaan memaksa dalam hukum pidana,

merupakan kondisi seseorang melakukan tindak pidana karena dalam keadaan yang benar- benar terpaksa. Keadaan terpaksa itu, bisa disebabkan oleh karena kekuasaan yang tidak bisa dihindarinya atau keadaan dari luar yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan

yang melawan hukum.

Paksaan Mutlak.

Paksaan Relatif.

Keadaan Darurat.

Daya paksa terbagi menjadi tiga, yaitu:

Contoh kasus :

Seseorang yang dihipnotis sehingga melakukan perbuatan melawan hukum seperti

membunuh atau mencuri.

(14)

PASAL 49 AYAT 1 KUHP TENTANG PERBUATAN PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER)

“Untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat.”

Contoh kasus :

Membunuh begal dalam keadaan untuk pembelaan darurat.

PASAL 50 KUHP TENTANG MELAKSANAKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG

“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.”

Contoh kasus :

Seorang eksekutor yang mengeksekusi narapidana yang dijatuhi hukuman mati tidak dipidana karena ia melaksanakan ketentuan undang-undang

PASAL 51 AYAT 1 KUHP TENTANG MELAKSANAKAN PERINTAH JABATAN

“Orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak boleh dipidana.”

Contoh kasus :

Polisi diperintah oleh seorang Penyidik Polri dengan menerbitkan suatu Surat Perintah Penangkapan untuk menangkap seorang yang telah melakukan kejahatan. Pada hakekatnya polisi ini merampas kemerdekaan seorang lain, akan tetapi karena penangkapan itu dilaksanakan berdasarkan perintah yang sah, maka polisi bersangkutan tidak dapat dipidana.

(15)

TERIMA KASIH

Referensi

Dokumen terkait

Ayat (2) ini tidak terlalu jauh berbeda dengan ayat (1) dimana ayat satu berkenaan dengan penuntutan sedangkan ayat dua adalah mengenai perbuatan seperti apakah

a) Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang merupakan kejahatan di Indonesia. Jika seorang Indonesia yang melakukan delik di luar negeri yang digolongkan

Yang mana juga dijelaskan dalam KUHP pasal 49 ayat 1, barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena adanya serangan yang melawan hukum saat itu, terhadap

Dalam KUHP tepatnya pada Pasal 221 ayat (1), dan secara khusus tindakan Obstruction of Justice diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perbuatan Trading in Influence pada Pasal 435 ayat (2) dan (4) KUHP Perancis mengatur mengenai memperdagangkan pengaruh pasif dan aktif. Subjek hukum dalam KUHP Perancis

Unsur yang ada di pasal 364 KUHP menjelaskan bahwa perbuatan yang diterapkan dalam Pasal 362 KUHP, Pasal 363 ayat (1) ke-4 dan ke-5 apabila tidak dilakukan

Moeljatno menyatakan bahwa hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar aturan untuk (a) menentukan perbuatan

5 menjelaskan lebih lanjut mengenai asas legalitas yaitu “Tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang Pasal 1 Ayat 1 KUHP atau