• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Pidana Semester 2

N/A
N/A
fadrian limbong

Academic year: 2023

Membagikan "Hukum Pidana Semester 2"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH HUKUM PIDANA

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN DALAM UNDANG UNDANG KHUSUS

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Pidana Dosen Pengampu : Agus Takariawan, S.H., M.Hum.

Disusun oleh :

Nama : Felix Adrian Limbong NPM : 110110220336

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN 2023

(2)

A. Latar Belakang

Kejahatan merupakan salah satu bentuk “penyimpangan”, yang selalu ada dan

melekat pada setiap formasi sosial, sehingga tidak ada masyarakat yang bebas dari kejahatan.

Penyimpangan tersebut merupakan ancaman nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau tatanan sosial; dapat menimbulkan ketegangan pribadi dan ketegangan sosial; dan merupakan ancaman nyata atau potensial terhadap kelangsungan tatanan sosial.1 Dalam kerangka tersebut, Marc Ancel menyatakan bahwa kejahatan adalah

“masalah manusia dan sosial”. Artinya, kejahatan bukan hanya masalah sosial tetapi juga masalah kemanusiaan2

Dalam rangka penanggulangan kejahatan-kejahatan tersebut di atas, banyak langkah yang telah dilakukan dan dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu upaya penanggulangan perilaku kriminal adalah dengan memberikan sanksi berupa sanksi pidana melalui

penggunaan hukum pidana. Penanggulangan kejahatan melalui penggunaan sanksi pidana pada hakekatnya merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.3 Namun, penggunaan sanksi pidana jelas tetap menjadi sarana penanggulangan perilaku kriminal. Hal ini terlihat pada sebagian besar produk hukum saat ini yang hampir semuanya memuat bab tentang “klausula hukum pidana”. Dalam kerangka seperti itu, tampaknya tidak lengkap atau "membosankan" untuk membuat atau mengusulkan undang-undang tanpa ketentuan pidana. Pencantuman pasal “Ketentuan Pidana” ini terkadang malah

dilatarbelakangi oleh sikap atau anggapan bahwa “tidak cukup aman” atau “tidak aman” jika suatu produk hukum tidak memiliki ketentuan pidana.4

Produk perundang-undangan yang memuat “ketentuan hukum pidana” dapat dikatakan sebagai hukum pidana khusus pada hakekatnya. Sudarto mencontohkan, KUHP khusus adalah KUHP selain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan KUHP pokok.5 Lebih lanjut Sudarto menjelaskan bahwa, jika hukum pidana dibagi menurut sifatnya, hukum pidana dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam “arti sebenarnya” dan ketentuan hukum pidana dalam undang-undang tersendiri. Hukum pidana dalam “arti yang sebenarnya” adalah yang menurut tujuannya mengatur tentang kekuasaan pemidanaan dalam negara, seperti KUHP. Sedangkan ketentuan hukum pidana dalam undang-undang tersendiri adalah ketentuan yang hanya dimaksudkan untuk memberikan sanksi pidana terhadap aturan- aturan yang berhubungan dengan bidang di luar hukum pidana, seperti UU Dasar Pertanahan.

6Dari sudut pandang Sudarto dapat disimpulkan bahwa hukum pidana khusus selain hukum pidana meliputi hukum pidana dalam arti sebenarnya dan hukum administrasi yang memuat ketentuan-ketentuan hukum pidana.

KUHP yang merupakan induk hukum pidana Indonesia, masih membedakan

kejahatan pidana dengan menjadi kejahatan dan pelanggaran delik. Pidana atas tindak pidana

1 Barda Nawawi Arief, 2010, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta,

2 Marc Ancel, 1965, Social Defence: A Modern Approach to Criminal Problems, Routledge & Paul Kegan, London

3 Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung

4 Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung

5 Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung 6 Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung

(3)

diatur dalam Buku II KUHP, sedangkan pemidanaan atas tindak pidana diatur dalam Buku III KUHP. Hal ini berbeda dengan UU KUHP (2012) yang secara jelas tidak lagi mencirikan tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran. Tafsir umum UU KUHP menyatakan bahwa UU KUHP tidak lagi membedakan antara bentuk kejahatan (misdrijven) dan

perbuatan pidana (strafbaarfeit) yang berupa tindak pidana (overtredingen). Untuk keduanya, istilah perilaku kriminal digunakan. Oleh karena itu, Undang-Undang Hukum Pidana hanya terdiri dari 2 (dua) buku, buku pertama memuat ketentuan-ketentuan umum dan buku kedua memuat ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana. Adapun jilid ketiga "Hukum Pidana"

yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum dan pidana akan dihapus, dan materinya akan dimasukkan secara selektif ke dalam jilid kedua "Hukum Pidana".7

Dicabut karena secara konseptual pembedaan antara kejahatan sebagai “rechtsdelict”

dan delinquency sebagai “wetsdelict” tidak dapat dipertahankan, karena cukup banyak

“rechtsdelict” yang dalam perkembangannya memiliki kualifikasi illegal dan illegal.

Sebaliknya, beberapa tindakan yang seharusnya "wetsdelict" didefinisikan sebagai kejahatan hanya karena ancaman kriminal yang meningkat. Persoalan keseriusan, kualitas dan dampak kejahatan dan kenakalan juga terbukti relatif, sehingga standar kualitatif yang realistis ini tidak lagi dapat dipertahankan secara konsisten.

Dalam kasus konkret, seseorang dapat dianggap melakukan kejahatan seperti pencucian uang jika ia dengan sengaja melakukan transaksi keuangan untuk

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang yang berasal dari tindak pidana, atau melakukan transaksi keuangan atas nama orang lain untuk menyembunyikan atau

menyamarkan asal usul uang yang berasal dari tindak pidana.

Salah satu contoh kasus tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Dirut PT Jiwasraya, PT Jiwasraya merupakan salah satu perusahaan asuransi yang dikelola oleh BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Ada banyak nasabah yang memilih untuk mendaftar ke PT Jiwa Saraya. Namun ternyata, beberapa petinggi dari PT Jiwasraya ini melakukan

pelanggaran TPPU. Total kerugian Negara ini mencapai 16 triliun rupiah. Selain itu, klaim asuransi dari nasabah juga tidak dapat dipenuhi. Akibatnya, PT Jiwasraya dianggap gagal bayar terhadap klaim polis dari nasabah. Salah satu pejabat asuransi dari asuransi Jiwasraya Heru Hidayat didakwa dengan UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU dan dakwaan ketiga Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 berbunyi “ Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”8

B. Permasalahan

7 Topo Santoso, Hukum Pidana: Suatu Pengantar. (Rajawali Pers, Depok, 2021) 8 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). (2021). (n.p.): Bumi Aksara.

(4)

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang di bahas mengenai :

1. Bagaimanakah penetapan tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran dalam undang- undang pidana khusus di luar KUHP selama ini?

C. Analisis

Dalam penelitian ini dikaji 7 (tujuh) undang- undang pidana khusus yang bersifat intra aturan pidana. Ketujuh undang-undang tersebut adalah:

a. Undang-Undang Nomor 7/Drt./1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi;

b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

c. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;

d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pem- berantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

e. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pem- berantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme; dan

f. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pem- berantasan Perusakan Hutan.

Hasil kajian terhadap ketujuh undang-undang pidana khusus yang bersifat intra aturan pidana di atas menunjukkan bahwa undang-undang pidana khusus a quo tidak semuanya menetapkan dan membedakan tindak pidananya menjadi kejahatan dan pelanggaran. Undang- undang pidana khusus yang bersifat intra aturan pidana yang menetapkan dan membedakan tindak pidananya menjadi kejahatan dan pelanggaran hanya dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955 atau Undang- Undang Tindak Pidana Ekonomi.

Meskipun undang-undang pidana khusus yang bersifat intra aturan pidana tidak menetapkan dan membedakan tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran, namun dalam undang-undang pidana khusus a quo membuat aturan khusus menyangkut ancaman pidana terhadap percobaan dan/atau pembantuan tindak pidana. Aturan khusus tersebut dapat ditemukan dan dilihat dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, Pasal 10 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013.

Aturan khusus mengenai ancaman pidana untuk percobaan dan pembantuan tindak pidana dalam undang-undang di atas pada hakikatnya merupakan penyimpangan dari aturan umum pemidanaan percobaan tindak pidana dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP dan Pasal 57 ayat (1) KUHP, dimana ancaman pidananya dikurangi sepertiga dari maksimum ancaman pidana

(5)

pokok. Pasal 54 ayat (2) KUHP menyatakan bahwa “maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dapat dikurangi sepertiga”. Sedangkan Pasal 57 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa “dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga”.

Ketujuh undang-undang pidana yang diterbitkan selama tahun 2005-2024 dan menetapkan tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran yaitu:

a. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah;

b. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;

c. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan;

d. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang;

f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat; dan

g. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Walaupun undang-undang pidana khusus yang bersifat ekstra aturan pidana di atas tidak menetapkan dan membedakan tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran, namun terdapat satu undang-undang pidana khusus yang di dalamnya membuat aturan khusus menyangkut ancaman pidana terhadap percobaan dan/atau pembantuan tindak pidana, yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Dalam Pasal 132 ayat (1) undang-undang ini ditegaskan bahwa “percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129, pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut”. pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dapat dikurangi sepertiga”. Sedangkan Pasal 57 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa “dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga”.

D. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan permasalahan dan pembahasan di atas dapat disampaikan.

Bahwa realita memperlihatkan tidak semua undang-undang pidana khusus melakukan penetapan tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran. Hasil kajian terhadap 7 (tujuh) undang-undang pidana khusus yang bersifat intra aturan pidana menunjukkan hanya terdapat 1 (satu) undang-undang yang menetapkan tindak pidana sebagai kejahatan dan pelanggaran yaitu Undang-Undang Nomor 7/ Drt/1955. Hasil kajian terhadap 84 (delapan puluh empat) undang-undang pidana khusus yang bersifat ekstra aturan pidana yang diterbitkan dalam 2005- 2014 hanya ditemukan 7 (tujuh) undang-undang yang menetapkan tindak pidana

(6)

sebagai kejahatan dan pelanggaran, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008, Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.

Daftar Pustaka

(7)

Ancel, M. (1965). Social Defense: A Modern Approach to Criminal Problems. London:

Routledge & Paul Kegan.

Arief, B. N. (1998). Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Arief, B. N. (2010). Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara. Yogyakarta: Genta Publishing.

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). (2021). (n.p.): Bumi Aksara.

Prabowo, D. (2020, 10 27). Vonis Lengkap 6 Terdakwa Jiwasraya yang Diganjar Hukuman Seumur Hidup. Retrieved from Kompas.com:

https://nasional.kompas.com/read/2020/10/27/15011141/vonis-lengkap-6-terdakwa- jiwasraya-yang-diganjar-hukuman-seumur-hidup

Santoso, T. (2021). Hukum Pidana: Suatu Pengantar. Depok: Rajawali Pers.

Sudarto. (2006). Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Referensi

Dokumen terkait

Visualization of the J48 Algorithm Tree Use Cross Validation ● Application of Naïve Bayes on Performance of Employee For Naïve Bayes processing, it is almost the same as using the

1 A person is directly or indirectly the beneficial owner of any equity security with respect to which he has or shares: A Voting power which includes the power to vote, or to direct