• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Waris sendiri adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli waris

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Hukum Waris sendiri adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli waris"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

44

BAB III

PEMBAGIAN WARIS BAGI ANAK DARI PERKAWINAN PERTAMA DAN KEDUA

A. Pembagian Waris Pada Anak Berdasarkan Hukum Perdata

Pembagian harta warisan secara adil sesuai aturan hukum yang berlaku merupakan hal utama dalam proses pewarisan. Keselarasan, kerukunan, dan kedamaian merupakan hal terpenting yang harus mampu dijalankan.

Kesepakatan dalam musyawarah merupakan suatu nilai dasar kebersamaan dalam kehidupan keluarga yang harus dikedepankan. Kebersamaan tanpa harus terjadi perselisihan atau sengketa dalam proses pembagian harta warisan merupakan hal terpenting, karena dalam hal ini nilai kebersamaan dan kekeluargaan seharusnya mampu menjadi pijakan tanpa harus mengedepankan ego dan kepentingan masing-masing pihak. Secara sederhana pewaris dapat diartikan sebagai seorang peninggal warisan yang pada waktu wafatnya meninggalkan harta kekayaan pada orang yang masih hidup. Sedangkan ahli waris adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia yang menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena meninggalnya pewaris.

Pengertian warisan sendiri adalah soal apakah dan bagaimanakah hak- hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. Hukum Waris sendiri adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli waris. Keberadaan

(2)

45

hukum waris sangat penting dalam proses pembagian warisan, karena dengan keberadaanya tersebut mampu menciptakan tatanan hukumnya dalam kehidupan masyarakat. Salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk melahirkan dan menciptakan kesinambungan keturunan. Secara naruliyah, pasangan suami istri sangat mendambakan akan kehadiran seorang anak yang akan menjadi pewaris keturunan, tempat curahan kasih sayang dan perekat tali perkawinan.

Perkawinan tanpa kehadiran seorang anak akan terasa gersang dan tidak lengkap, karena kehadiran anak dalam keluarga mempunyai banyak makna.

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Keberadaan anak dalam hukum waris mempunyai kedudukan yang sangat penting. Keberadaan anak secara langsung akan mengakibatkan terjadinya proses pewarisan antara orang tua kepada anaknya. Perpindahan warisan dari orang tua kepada anaknya harus dilakukan secara baik, sesuai aturan hukum yang berlaku dengan mengedepankan musyawarah untuk mencapai kesepakatan.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan menegaskan bahwa anak memiliki hak untuk mewarisi harta kekayaan kedua orang tuanya ketika kedua orang tua atau si pewaris itu telah meninggal dunia. Untuk melanjutkan kedudukan hukum bagi harta seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu.

Undang-Undang berprinsip bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya

(3)

46

tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Namun, bila orang dimaksud tidak menentukan sendiri ketika ia masih hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya, dalam hal demikian Undang-Undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan oleh seseorang dimaksud.

Pada saat orang tua atau salah satu suami atau istri meninggal maka akan terbuka harta warisannya untuk dibagi menurut pasal 35 ayat (1) Undang- Undang perkawinan menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dengan demikian maka harta tersebut harus dibagi menjadi 2 bagian terlebih dahulu, dimana ½ bagian menjadi hak suami dan ½ bagian menjadi hak istri sesuai ketentuan pembagian harta bersama.

Berdasarkan Pasal 128 KUHPerdata, kemudian anak-anak akan mendapatkan bagian baik dari pihak ayah maupun pihak ibu karena dalam hukum perdata menganut asas bilateral dalam pembagian warisan dan bagian waris anak laki- laki dan perempuan tidak dibedakan jadi mereka mendapatkan bagian masing- masing sama besarnya.

B. Pembagian Waris Bagi Anak Dari Perkawinan Pertama Dan Kedua Menurut Hukum Perdata

Hukum waris menurut hukum perdata tidak membedakan ahli waris menurut jenis kelamin. Seseorang menjadi ahli waris menurut hukum waris perdata disebabkan oleh perkawinan dan hubungan darah, baik secara sah maupun tidak. Orang yang memiliki hubungan darah terdekatlah yang berhak

(4)

47

untuk mewaris. Jauh dekatnya hubungan darah dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu:

1. Ahli waris golongan I, termasuk dalam ahli waris golongan I yaitu anak- anak pewaris berikut keturunannya dalam garis lurus ke bawah dan janda/duda. Pada golongan ini dimungkinkan terjadinya penggantian tempat(cucu menggantikan anak yang telah meninggal). Mengenai penggantian tempat ini pasal 847 KUHPerdata menentukan bahwa tidak ada seorangpun dapat menggantikan tempat seseorang yang masih hidup, misalnya anak menggantikan hak waris ibunya yang masih hidup, apabila si ibu dalam situasi menolak warisan sang anak bertindak selaku diri sendiri dan bukan menggantikan kedudukan ibunya;

2. Ahli waris golongan II, termasuk ahli waris dalam golongan ini yaitu:

ayah, ibu dan saudara-saudara pewaris;

3. Ahli waris golongan III, termasuk ahli waris golongan ini adalah: kakek, nenek baik dari garis ayah maupun dari garis ibu;

4. Ahli waris golongan IV, termasuk ahli waris golongan ini adalah: sanak saudara dari pihak ayah dan sanak saudara dari pihak ibu sampai derajat keenam.

Adapun ketentuan-ketentuan menjadi ahli waris menurut hukum waris perdata, yaitu sebagai berikut:

1. Memiliki hak atas harta. Ab intestato, maksudnya ahli waris yang mendapatkan bagian menurut ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang, misalnya ahli waris anak, suami, isteri, kakek, nenek,

(5)

48

sebagaimana diatur dalam ahli waris golongan I sampai dengan IV.

Testamenter, 5 maksudnya ahli waris yang mendapatkan bagian berdasarkan wasiat dari pewaris yang dibuat sewaktu hidupnya.

Perhatikan ketentuan Pasal 2 KUHPerdata. Pasal 2 KUHPerdata memuat ketentuan bahwa anak yang masih dalam kandungan ibunya, dianggap telah dilahirkan apabila untuk kepentingan si anak dalam menerima bagian dalam harta warisan.

2. Dinyatakan patut mewaris. Menurut Pasal 838 KUHPerdata seseorang yang dianggap tidak patut untuk mewaris dari pewaris adalah sebagai berikut:

a. Mereka yang telah dihukum karena membunuh atau melakukan percobaan pembunuhan terhadap pewaris;

b. Mereka yang pernah divonis bersalah karena memfitnah pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman lima tahun atau lebih;

c. Mereka yang mencegah pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat;

d. Mereka yang terbukti menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris.

Berikut hak-hak yang dimiliki oleh ahli waris menurut hukum waris perdata, yaitu:

1. Hak untuk menuntut pemecahan harta peninggalan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1066 KUHPerdata, setelah pewaris meninggal maka

(6)

49

harta warisan terbuka untuk dibagi namun ada kesepakatan yang dilakukan para ahli waris mau dibagi sekarang atau kemudian.

Kesepakatan untuk tidak membagi warisan adalah dalam waktu lima tahun, setelah lima tahun tersebut dapat diadakan kesepakatan kembali di antara para ahli waris;

2. Hak Saisine. Berdasarkan ketentuan Pasal 833 KUHPerdata, seseorang dengan sendirinya karena hukum mendapatkan harta benda, segala hak, dan piutang dari pewaris, namun seseorang dapat menerima atau menolak bahkan mempertimbangkan untuk menerima suatu warisan.

Konsekwensi dari Pasal ini maka semua kewajiban pewaris merupakan tanggungjawab ahli waris;

3. Hak Beneficiary. Berdasarkan ketentuan Pasal 1023 KUHPerdata, hak beneficiary yakni hak untuk menerima warisan dengan meminta pendaftaran terhadap hak dan kewajiban, utang, serta piutang dari pewaris;

4. Hak Hereditas Petitio. Berdasarkan ketentuan Pasal 834 KUHPerdata, hak Hereditas Petitio yakni hak untuk menggugat seseorang atau ahli waris lainnya yang menguasai sebagian atau seluruh harta warisan yang menjadi haknya.

Untuk itu bila suami yang meninggal meninggalkan anak-anak baik dari istri pertama maupun dari istri kedua maka pada saat terbuka warisan harusnya dilakukan pembagian dari awal mulai meninggalnya istri pertama. Pada saat orang tua atau salah satu suami atau istri meninggal maka akan terbuka harta

(7)

50

warisannya untuk dibagi menurut pasal 35 ayat (1) Undang-Undang perkawinan menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dengan demikian maka harta tersebut harus dibagi menjadi 2 bagian terlebih dahulu, dimana ½ bagian menjadi hak suami dan ½ menjadi bagian istri sesuai ketentuan pembagian harta bersama berdasarkan Pasal 128 KUHPerdata. Kemudian anak-anak akan mendapatkan bagian baik dari pihak ayah maupun pihak ibu karena dalam hukum perdata menganut asas bilateral dalam pembagian warisan dan bagian waris anak laki- laki dan perempuan tidak dibedakan jadi mereka mendapatkan bagian masing- masing sama besarnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 852 KUHPerdata: Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dari berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu. Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan yang meninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri; mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka semua atas sebagian mewarisi sebagai pengganti.

Selanjutnya sesuai ketentuan Pasal 852a KUHPerdata, bahwa begitupun dengan istri yang hidup terlama, yang disamakan besarannya dengan anak.

Namun ada keadaan-keadaan tertentu istri yang hidup terlama haknya tidak

(8)

51

sama dengan anak, karena istri/suami yang hidup terlama tidak berhak atas legitieme portie.

Dari perkawinan yang dulu ada anak-anak atau keturunan-keturunan anak-anak itu, suami atau isteri yang baru tidak boleh mewarisi lebih dan bagian terkecil yang diterima oleh salah seorang dan anak-anak itu, atau oleh semua keturunan penggantinya bila ia meninggal lebih dahulu, dan bagaimanapun juga bagian warisan isteri atau suami itu tidak boleh melebihi seperempat dan harta peninggalan si pewaris.28 bila suami atau isteri yang hidup terlama membagi warisan dengan orang-orang lain yang bukan anak- anak atau keturunan-keturunan lebih lanjut dan perkawinan yang dahulu, maka ia berwenang untuk mengambil bagi dirinya sebagian atau seluruhnya perabot rumah tangga dalam kuasanya.

Jika setelah pembagian warisan ayah menikah lagi maka ayah mempunyai harta ½ harta perkawinan ditambah dengan warisan dari istri yang tidak boleh lebih dari 1/3 bagian dibawa masuk ke perkawinan keduanya, dan ini merupakan harta bawaan dan kalau diperjanjikan akan menjadi harta bersama. Dalam perkawinan dengan istri kedua maka harta mereka itu merupakan harta bersama yang pembagiannya sama dengan ketentuan Undang- Undang perkawinan terkait harta bersama. Pasal 35 ayat (1) menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

Dengan demikian, harta bersama adalah harta yang diperoleh selama masa perkawinan, apabila tidak ada perjanjian perkawinan. Dalam hal waris

28 Efendi Purangin, 1997, Hukum Waris, Jakarta, Raja Gravindo, hal. 198

(9)

52

merupakan harta bersama, maka harta tersebut harus dibagi menjadi 2 bagian terlebih dahulu, dimana ½ bagian menjadi hak suami (sesuai ketentuan pembagian harta bersama berdasarkan Pasal 35 UU Perkawinan jo. Pasal 128 KUHPerdata jo. Pasal 126 KUHPerdata) dan ½ bagian lagi akan dibagi rata antara suami dan anak-anaknya

Dengan demikian bila suami meninggal, meninggalkan istri kedua dan ke empat anak yaitu istri pertama mempunyai 2 anak dan istri kedua mempunyai 2 anak maka pisahkan bagian harta bawaan suami kemudian harta bersama dibagikan kepada istri kedua dan suami masing-masing ½ bagian dan kemudian bagian suami digabungkan ke harta bawannya yang akan dijadikan warisan bagi anak-anak suami baik dari istri pertama maupun dari istri kedua.

terkait pembagian harta warisan dari perkawinan yang kedua, terlepas dari ada atau tidaknya perjanjian pisah harta, istri kedua tidak mendapat bagian harta bawaan suami.

Untuk perkawinan kedua, juga berdasarkan Pasal 852 dan Pasal 852a KUHPerdata harta waris dibagikan kepada istri yang masih hidup dan 1 anak laki-laki dengan porsi bagian yang sama yakni masing-masing mendapat ½ dari jumlah harta waris. Pembagian Harta Waris Terhadap Anak dalam Perkawinan Poligami, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Poligami adalah sebuah sistem sosial yang berbeda-beda interpretasi dan implementasinya antara beberapa masyarakat, disesuaikan dengan budaya dan agama dari masing-masing masyarakat, dan berkembang sejarahnya dari masa ke masa, seperti halnya di Agama Kristen yang awalnya boleh menjadi tidak

(10)

53

diperbolehkan. Dinamika Pro-kontra terhadap perkawinan poligami ini akan selalu berjalan seiring dengan perkembangan sistem sosial di masyarakat.

Karena bila dikaji lebih teliti dan mendalami, dampak dan realitas sejarah perkawinan poligami dari dulu hingga sekarang tidak selamanya menuai kontroversi. Poligami merupakan suatu realitas dalam perkawinan yang terjadi di masyarakat, dimana seorang laki-laki memiliki istri lebih dari seorang.

Dalam antropologi sosial poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang yang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, dimana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat) dan poligami terbagi tiga bentuk, yaitu poligami seseorang pria memiliki beberapa istri sekaligus, dan poliandri dimana seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus dan pernikahan kelompok (group marriage) yaitu kombinasi poligami dan poliandri dan ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namun poligami merupakan bentuk yang paling umum terjadi.29 Poligami yang berlangsung saat ini tidak mengenal batas baik dalam hal jumlah istri maupun syarat moralitas keadilan. Terutama poligami yang banyak terjadi di masyarakat saat ini adalah poligami (kawin kontrak) dilakukan secara diam- diam dengan maksud perkawinan poligami itu tidak tercatat di Lembaga Pencatat Perkawinan. Istilah poligami berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari polu yang berarti banyak dan kata gune yang berarti perempuan. Jadi poligami mempunyai arti suatu perkawinan antara satu orang laki-laki dengan

29 Wikipedia Ensiklopedia bebas, 11 Agustus 2009 diakses tanggal 24 Februari 2021

(11)

54

lebih dari seorang perempuan. Dalam perkawinan poligami merupakan perbuatan hukum sebagaimana pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dan perkawinan poligami yang dilakukan secara konstitusional dan akan melahirkan generasi penerus (anak-anak) sebagai maksud dan tujuan dari perkawinan itu yaitu hidup yang bahagia dan melahirkan keturunan.

Terlepas dari perkawinan poligami di atas penulis menulis perkawinan kedua tapi bukan poligami karena poligami berarti mempunyai beberapa istri tapi perkawinan kedua yang dimaksudkan disini bukan poligami karena hanya mempunyai satu istri karena istri yang satu meninggal dan ini dibolehkan oleh hukum bahwa bila seorang pria atau wanita telah putus perkawinan karena kematian maupun putusan pengadilan maka boleh menikah lagi asalkan sesuai aturan hukum yang berlaku. Perkawinan kedua akan berakibatkan dan melahirkan peristiwa hukum yaitu hukum waris sebab anak yang lahir atau anak di dalam kandungan apabila dia lahir dengan selamat dia sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pada dasarnya hak-hak dan kewajiban- kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan atau harta benda yang dapat diwaris. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.

Dalam perkawinan kedua pada dasarnya tidak bedanya dengan perkawinan pertama sebagaimana dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dan kemudian dicatatkan pada

(12)

55

Catatan Sipil dan tidak berlaku baginya ketentuan pada Pasal 4 ayat (1) berbunyi dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya karena perkawinan yang pertama tidak mempunyai akibat lagi untuk menghalangi dilakukan perkawinan kedua kecuali kalau istri masih hidup maka dalam perkawinan berikutnya harus terpenuhi beberapa syarat yaitu:

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan;

4. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

5. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; dan

6. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Dengan demikian dalam perkawinan kedua yang sesuai sebagai yang diamanatkan Undang-Undang perkawinan dan memenuhi persyaratan maka istri kedua dan seterusnya dan anak yang dilahirkan dapat disebut sebagai ahli waris, dan perkawinan tersebut harus tercatat.

Pada dasar hukum waris yang berlaku dan diterima masyarakat Indonesia ada tiga yaitu hukum waris berdasarkan hukum Islam, hukum waris berdasarkan hukum adat dan hukum waris berdasarkan hukum perdata. Hukum waris dalam sistem hukum perdata sangat berbeda dengan sistem waris Islam

(13)

56

dan waris adat. Hukum perdata merupakan hukum yang meliputi semua hukum (privat materiil) yaitu hukum pokok yang mengatur kepentingan perorangan, hak dan kewajiban diantara anggota masyarakat khususnya wilayah keluarga.

Dalam pembagian waris menurut hukum perdata yaitu tidak seorang ahli warispun dapat dipaksa untuk membiarkan harta waris tidak terbagi dan pembagian harta waris dapat dituntut setiap saat. Harta warisan tersebut harus segera dibagikan dan setiap waris mendapatkan pembagian warisan untuk dapat menguasai atau memiliki harta warisan menurut bagian-bagiannya masing-masing. Adapun harta warisan ini kemudian diadakan pembagian yang berakibat para waris dapat menguasai dan memiliki bagian-bagian tersebut untuk dinikmati, diusahakan, ataupun dialihkan kepada sesama waris, anggota kerabat, ataupun orang lain. Begitu pewaris wafat, harta warisan harus segera dibagikan atau dialihkan kepada ahli warisnya. Pasal 833 KUHPerdata menyatakan bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya secara hukum memperoleh hak waris atas barang, segala hak, dan segala piutang dari pewaris. Berkaitan dengan hak tersebut setiap ahli waris dapat menuntut agar harta warisan yang belum dibagikan untuk segera dibagikan, meskipun ada perjanjian yang bertentangan dengan itu.30

Berdasarkan ketentuan hukum perdata menyebutkan harta waris dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing- masing terpisah dan berdiri sendiri dan ketentuan ini menjelaskan bahwa harta waris dalam perkawinan kedua tetap ada, tetapi dipisahkan antara milik istri

30 Eman Suparman, “Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat, Bw”, Bandung : PT Refika Aditama, 2014, hal. 2

(14)

57

pertama, istri kedua dan seterusnya. Penentuan tentang kepemilikan harta waris dalam hal perkawinan kedua ini ditentukan pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua. Dengan demikian jelas dimana kedudukan harta waris istri pertama dari suami dan istri kedua, karena masing-masing mempunyai hak atas harta waris yang dimilikinya bersama dengan suaminya. Istri kedua dan seterusnya berhak atas harta waris bersama dengan suaminya sejak perkawinan mereka berlangsung dan kesemua istri memiliki yang sama atas harta waris tersebut.

Selanjutnya apabila dalam pembagian harta waris tidak dapat dilakukan secara bermusyawarah oleh para ahli waris dan terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta waris, maka penyelesaian perselisihannya itu diajukan kepada Pengadilan Negeri dan penyelesaian melalui jalur pengadilan adalah sebuah pilihan. Secara umum pembagian harta waris pada perkawinan kedua baru bisa dilakukan setelah adanya kematian baik istri maupun suami namun dalam kasus yang diceritakan sang suami meninggal duluan sehingga meninggalkan 2 anak dari istri pertama dan istri kedua beserta dua anak. Dan pada saat terbukanya warisan maka pembagian sama dengan yang dilakukan pada saat meninggalnya istri pertama yaitu dalam perkawinan dengan istri kedua maka harta mereka itu merupakan harta bersama yang pembagiannya sama dengan ketentuan Undang-Undang perkawinan terkait harta bersama Pasal 35 ayat (1) menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dengan demikian, harta bersama adalah harta yang diperoleh selama masa perkawinan, apabila tidak ada perjanjian

(15)

58

perkawinan. Dalam hal waris merupakan harta bersama, maka harta tersebut harus dibagi menjadi 2 bagian terlebih dahulu, dimana ½ bagian menjadi hak suami yang meninggal dan ½ bagian milik istri kedua (sesuai ketentuan pembagian harta bersama berdasarkan Pasal 35 UU Perkawinan jo. Pasal 128 KUHPerdata jo. Pasal 126 KUHPerdata) kemudian bagian suami secara keseluruhan dibagi rata antara anak-anaknya baik dari perkawinan pertama maupun kedua.

Dalam melakukan gugatan waris penggugat hendaknya membuat daftar- daftar harta waris dan bukti-buktinya bahwa harta yang digugat tersebut adalah harta waris artinya bahwa harta tersebut bukan harta bawaan dari istri yang lain dan harta tersebut harus dapat dibuktikan sebagai harta bersama atau harta tersebut diperoleh selama perkawinan dan dan disebutkan dalam alasan pengajuan gugatan (posita) yang kemudian disebut dalam permintaan pembagian harta dalam berkas tuntutan (petitum). Ketentuan tentang pembagian waris didasarkan pada kondisi yang menyertai hubungan hukum perkawinan, seperti kematian, perceraian dan sebagainya.

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 45 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan gugatan pembagian harta bersama tidak dapat diterima, karena Penggugat dan Tergugat telah menggabungkan

Menurut R. Subekti, perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami-istri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas dan pola yang