Tabel 4 1. Tabel indentifikasi pada titik FAO pada tempat Berkemah No. Karakteristik
Tanah
Deskripsi Indikasi Klasifikasi FAO 1 Penggunaan lahan Tempat berkemah (wisata
eksplorasi)
(konteks penggunaan lahan)
2 Drainase Terhambat Gleysols (drainase buruk)
3 Permeabilitas Lambat Mendukung Gleysols
4 Tekstur permukaan Pasir berlempung (sandy loam)
Umum pada berbagai jenis tanah
5 Kedalaman batuan 30 cm Leptosols (tanah dangkal)
6 Kandungan
kerikil/kerakal 10% Mendukung Leptosols
7 Kandungan batu 0,24% Mendukung tanah berbatu
(Leptosols)
8 pH tanah 8 (alkalis) Kemungkinan ke arah Calcisols
(jika ada kapur) 9 Warna tanah
permukaan
7,5 YR 4/1 “dark grey” Gleysols (reduksi, kejenuhan air) 10 Struktur tanah Granular Struktur baik, umum di horizon
atas Sumber: Hasil obsevasi lapangan, 2025
Tabel 4 2. Tabel Jenis Tanah FAO dan Pertimbangannya untuk Kesesuaian Lahan atau Geowisata
Jenis Tanah
FAO Alasan Pemilihan
Leptosols Tanah sangat dangkal (kedalaman 30 cm), berbatu, cocok untuk geowisata/geologi
Gleysols Warna gelap, drainase terhambat → kejenuhan air secara periodik atau permanen
Calcisols pH tinggi (8), tapi tidak cukup bukti adanya karbonat dimungkinkan rendah
Sumber: Hasil observasi lapangan, 2025
Tabel 4 3. Tabel Pertimbangan Geografis Berdasarkan Jenis Tanah untuk Pengembangan Wisata Alam
Faktor Keterangan
Leptosols Cocok untuk wisata geologi dan edukasi, tanah dangkal memperlihatkan batuan induk, kurang cocok untuk pertanian atau bangunan permanen Gleysols Perlu mitigasi drainase jika untuk aktivitas wisata, berpotensi
becek/basah saat musim hujan Penggunaan
Lahan Eksplorasi geografi (kemah, hiking, wisata geologi) cocok jika infrastruktur disesuaikan dengan kondisi fisik tanah
Sumber: Hasil observasi lapangan, 2025
Berdasarkan hasil identifikasi sifat-sifat tanah di Desa Gosong Panjang, Pulau Laut Tanjung, Kabupaten Kotabaru, diketahui bahwa karakteristik utama tanah antara lain adalah drainase yang terhambat, permeabilitas lambat, serta warna tanah permukaan 7,5 YR 4/1 "dark grey". Kondisi ini menunjukkan indikasi kejenuhan air secara periodik atau permanen, yang secara taksonomi FAO mengarah pada klasifikasi Gleysols. Tanah jenis ini biasanya terbentuk di lingkungan yang selalu atau sering tergenang air, dan memiliki keterbatasan dalam penggunaan tertentu seperti pembangunan atau pertanian intensif tanpa pengelolaan drainase.
Selain itu, data menunjukkan bahwa kedalaman batuan hanya sekitar 30 cm dengan kandungan kerikil sebesar 10% dan batu 0,24%. Kondisi ini mengindikasikan tanah yang dangkal dan berbatu, yang sesuai dengan klasifikasi Leptosols menurut FAO. Leptosols merupakan tanah yang memiliki kedalaman efektif sangat terbatas (Yunus et al., 2024), biasanya langsung di atas batuan induk atau material keras, serta miskin dalam kemampuan menahan air dan unsur hara.
Hal ini memberikan tantangan bagi kegiatan budidaya, tetapi justru memberi potensi untuk pengembangan wisata berbasis geologi atau edukasi lahan.
Meskipun nilai pH mencapai 8 yang menunjukkan kondisi agak alkalis, tidak ditemukan indikasi jelas adanya akumulasi kalsium karbonat bebas (seperti nodul kapur), sehingga klasifikasi ke dalam Calcisols belum dapat ditegaskan tanpa data tambahan. Nilai pH ini tetap menjadi perhatian dalam pengelolaan vegetasi penutup dan interpretasi kesuburan tanah. Struktur tanah granular dan tekstur pasir berlempung menunjukkan adanya potensi aerasi dan porositas yang cukup baik di permukaan, namun tetap dibatasi oleh kedalaman dangkal dan drainase buruk.
Pengembangan pariwisata eksplorasi seperti berkemah atau geowisata, kombinasi antara Leptosols dan Gleysols menunjukkan bahwa wilayah ini lebih cocok untuk kegiatan wisata alam non-permanen yang berorientasi pada pendidikan dan observasi lingkungan, hal ini selaras dengan hasil pengamatan dari penelitian Putri, (2016) ketimbang untuk pembangunan fasilitas permanen. Tantangan utama adalah pengelolaan air dan pemilihan lokasi yang tidak terlalu jenuh air. Dengan perencanaan tapak yang hati-hati serta pendekatan ekowisata, tanah di kawasan ini tetap memiliki nilai strategis untuk pengembangan sektor pariwisata berbasis bentang alam dan keunikan geologis.
DAFTAR PUSTAKA
Putri, A. M. S. (2016). Penataan Kawasan Wisata Pesisir Sendang Biru Yang Optimal Sebagai Kawasan Terintegrasi Dengan Pendekatan ICZM (Integrated Coastal Zone Management). Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Yunus, A. I., Suyadi, S., Cengristitama, C., Marlina, L., Yuliatri, Y., Rahman, F. A., Supriyadi, S., Ningsih, M. S., Raco, B., & Sari, M. W. (2024). Ilmu Tanah. CV. Gita Lentera.