• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERPIKIR KRITIS TERHADAP DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL

N/A
N/A
Raissa Athaya Hwardani

Academic year: 2023

Membagikan "BERPIKIR KRITIS TERHADAP DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

BERPIKIR KRITIS TERHADAP DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL

EDWIN ADRIANTA SURIJAH

(2)

STRUKTUR PRESENTASI

1

2 Transdiagnostic Dimensional Approach: HiTOP

3

Berpikir Kritis tentang Gangguan Mental

Network & Clinical Staging

Approach

(3)

(I-NAMHS, 2022) (Azizah, 2022)

satu dari tiga remaja atau 34.9% remaja Indonesia

memiliki satu masalah kesehatan mental selama 12

bulan terakhir.

CAPAIAN PEMBELAJARAN

13% anak usia sekolah yang menunjukkan gejala yang mengarah ke gangguan depresi

ringan hingga berat per Juli 2020

Dari 94 siswa, 25 siswa (26,6%) mengalami gejala depresi

ringan dan 2 siswa (2,1%) mengalami gejala depresi

sedang

(Ashrita dan Ariani 2019)

(4)

BAYANGKAN

Anda adalah seorang Psikolog yang didatangi oleh seorang klien. Klien mengeluhkan dirinya mengalami

gangguan psikis yaitu merasa sedih yang berkepanjangan, tidak ada

gairah hidup, tidak ingin bangun dari tempat tidur, tidak memiliki nafsu makan, dan tidak ingin

bekerja.

Apa yang akan Anda lakukan?

(5)

MODEL SEDERHANA

(6)

APA ITU GANGGUAN MENTAL?

(7)

DSM-5: Major Depressive Disorder (F32)

Five or more of the following A Criteria (at least one includes A1 or A2)

A1 Depressed mood—indicated by subjective report or observation by others (in children and adolescents, can be irritable mood).

A2 Loss of interest or pleasure in almost all activities —indicated by subjective report or observation by others.

A3 Significant (more than 5 percent in a month) unintentional weight loss/gain or

decrease/increase in appetite (in children, failure to make expected weight gains).

A4 Sleep disturbance (insomnia or hypersomnia).

A5 Psychomotor changes (agitation or retardation) severe enough to be observable by others.

A6 Tiredness, fatigue, or low energy, or decreased efficiency with which routine tasks are completed.

A7 A sense of worthlessness or excessive, inappropriate, or delusional guilt (not merely self-reproach or guilt about being sick).

A8 Impaired ability to think, concentrate, or make decisions —indicated by subjective report or observation by others.

A9 Recurrent thoughts of death (not just fear of dying), suicidal ideation, or suicide

attempts.

(8)

DSM 5 (continued)

• The symptoms cause clinically significant distress or

impairment in social, occupational, or other important areas of functioning.

• The symptoms are not due to the direct physiological effects of a substance (e.g., drug abuse, a prescribed medication’s side effects) or a medical condition (e.g., hypothyroidism).

• There has never been a manic episode or hypomanic episode.

• MDE is not better explained by schizophrenia spectrum or

other psychotic disorders.

(9)

Issue atau Tantangan Kita

• Akurasi diagnosis.

• Comorbidity.

Sudut pandang kita terhadap gangguan mental.

• Implikasi pada asuransi, pembayaran, dan

konsekuensi hukum.

(10)
(11)

SUDUT PANDANG

(12)

SUDUT PANDANG

(13)

SUDUT PANDANG: SOSIO-KULTURAL

• Gangguan perilaku dianggap sebagai produk dari efek sosial atau budaya.

• Misalnya: pengaruh buruk pergaulan atau kesalahan dalam pengasuhan.

• Dikritik sebagai pandangan yang

subjektif dan tidak akurat.

(14)

SUDUT PANDANG: BIOLOGIS

• Gangguan perilaku dianggap sebagai suatu penyakit patologis → mind – body

problem.

• Misalnya: efek genetis atau kerusakan pada struktur otak.

• Berdasarkan pandangan pengobatan Barat

→ dianggap sebagai standar utama.

• Diagnosis seharusnya berdasarkan kondisi medis yang dapat dijelaskan.

• Treatment baru terbatas pada pengelolaan

gejala → care of the human suffering.

(15)

Transgender Circumcision (sunat)

Implikasi dari Sudut Pandang Kita

(16)

Implikasi dari Sudut Pandang Kita

Apa jadinya kalau diagnosis gangguan mental

hanyalah perkara TAKDIR di mana dan kapan Anda dilahirkan?

• Anda terlambat menikah.

• Anda tidak tertarik untuk memiliki pasangan.

• Perempuan memiliki gaji yang lebih tinggi dari laki- laki atau tidak bisa memasak.

• Laki-laki yang hanya ingin menjadi Bapak Rumah Tangga.

• Anda mengidolakan Seventeen, Jungkook, dan Fifty Fifty.

• Anda suka ikutan TikTok Challenge.

(17)

KEMBALI KE DSM-5

• Di kalangan Psikolog (dan Dokter), ada

beberapa pedoman diagnosis dan klasifikasi penyakit yang seringkali digunakan.

• Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)

Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disoders (DSM-5-TR) → diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA)

International Classification of Diseases (ICD- 11) → dikembangkan oleh World Health

Organization

(18)

KARAKTERISTIK DSM-5

• Nosologies (klasifikasi)

• Polythetic Sets → Yes & No checklists.

• Tiap diagnosis independent satu sama lain.

• Satu diagnosis dapat menutupi kompleksitas gejala lain yang tidak memenuhi kriteria

diagnosis.

(19)

KELEMAHAN/KRITIK → DSM-5

• Symptoms overlap.

• Dua individu dengan symptoms yang berbeda, dapat memiliki diagnosis yang sama.

• Sudah ditinggalkan oleh NIMH.

(20)

APA ALTERNATIFNYA?

TRANSDIAGNOSTIC

DIMENSIONAL APPROACH

NETWORK APPROACH

CLINICAL STAGING APPROACH

1

2

3

(21)

BERPIKIR KRITIS TERHADAP DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL

Bagian 2

EDWIN ADRIANTA SURIJAH

(22)

APA ALTERNATIFNYA?

TRANSDIAGNOSTIC

DIMENSIONAL APPROACH

NETWORK APPROACH

CLINICAL STAGING APPROACH

1

2

3

(23)

TRANSDIAGNOSTIC

DIMENSIONAL APPROACH

(24)

TRANSDIAGNOSTIC DIMENSIONAL APPROACH

• Menerapkan continuous dimensions terhadap data psikopatologi (versus data dikotomi).

• Dimensi gangguan bukanlah refleksi dari dikotomi diagnosis gangguan kesehatan mental.

• Dimensi bersifat lintas batas (transdiagnosis).

• Dimensi gangguan merupakan potongan “lego” yang

menyusun variasi aneka gangguan kesehatan mental.

(25)

KARAKTERISTIK UTAMA

Dimensions with ranges of cutoff scores, not categories.

Hierarchical nature of illness.

Impairment rated separately.

Impairment is not symptom.

(26)

Hierarchical Taxonomy of

Psychopathology

(27)

Apa Maksudnya Hierarchical ?

• Faktor-faktor dianalisis secara empirik → dikelompokkan.

• Diagnosis menjadi lebih akurat karena tiap faktor tidak

mewakili diagnosis yang lain.

(28)

Hierarchical Taxonomy of Psychopathology

Spectra adalah major dimensions atau faktor yang utama.

Sub-type dari spectra.

Gejala di level individual.

Sindroma; disorder.

(29)

Spectra (Dimensi)

Internalising → gejala dirasakan oleh individu secara pribadi.

Externalising → gejala merugikan orang lain.

✓ Disinhibited → gejala muncul karena rendahnya kontrol atau regulasi diri.

✓ Antagonising → gejala bertentangan dengan orang lain.

Thought disorder → normal reality testing → maladaptive trait psychoticism → halusinasi dan delusi.

Detachment → introversion → maladaptive detachment → blunted affect dan avolition

Somatoform → bodily distress; conversion

(30)

Contoh Asesmen: Internalising

• Interview for Mood and Anxiety Symptoms (IMAS)

• Dinilai dari skala 0 (tidak ada gejala) – 1 (sub-threshold/sub-

clinical) – 2 (gejala tampak)

(31)

Contoh Asesmen: Thought Disorder

• Scale for the Assessment of Negative Symptoms (SANS)

(32)

Contoh Asesmen: Externalising

• Externalizing Spectrum Inventory (ESI)

• Direspon: T (true) – t (somewhat true) – f (somewhat false) – F

(false).

(33)

Contoh Asesmen: Detachment

• Detachment and Compartmentalization Inventory

(34)

Tiap Spectra memiliki sub-faktor

(35)

Contoh: Sub-faktor Externalizing Spectrum Inventory

• Alcohol Problems

• Alcohol Use

• Alienation

• Blame Externalization

• Boredom Proneness

• Dependability

• Destructive Aggression

• Drug Problems

• Drug Use

• Empathy

• Excitement Seeking

• Fraud

• Honesty

• Impatient Urgency

• Irresponsibility

• Marijuana Problems

• Marijuana Use

• Physical Aggression

• Planful Control

• Problematic Impulsivity

• Rebelliousness

• Relational Aggression

• Theft

(36)

Apa maksudnya Transdiagnosis ?

• Individu bisa saja memiliki dua atau lebih gangguan ketika ia menunjukkan gejala di faktor-faktor yang relevant.

• Komorbiditas bukan muncul karena bias dalam

pelaksanaan asesmen.

(37)

KELEBIHAN TDA atau HiTOP

• Data driven → mudah menentukan prognosis dan treatment plan.

• Akurasi diagnosis → embracing comorbidity.

• Fleksibel dan dinamis → membantu mengembangkan treatment baru yang inovatif.

• Dapat mendukung coding atau penomoran dalam

DSM-5 dan ICD-11.

(38)

KETERBATASAN TDA atau HiTOP

• Keterbatasan komunikasi hasil ke pasien atau stakeholders.

• Asesmen yang sejalan dengan framework HiTOP dapat memakan waktu yang lama.

• Standar Cut-off yang berbeda-beda untuk gangguan yang dialami.

• Reimbursement.

• Pengetahuan terhadap HiTOP masih rendah di

kalangan psikologi (Indonesia).

(39)

APA BEDANYA DENGAN DSM?

(40)

APA BEDANYA DENGAN DSM?

(41)

Transdiagnosis hingga ke

sub-profil/sub-faktor

(42)

IMPLIKASI KE INTERVENSI

• Klinisi dapat berfokus menurunkan gejala secara spesifik.

• Keberhasilan terapi dapat terukur dengan akurat.

• Pengukuran dapat dilakukan di level spectra atau sub-

faktor.

(43)

BERPIKIR KRITIS TERHADAP DIAGNOSIS GANGGUAN MENTAL

Bagian 3

EDWIN ADRIANTA SURIJAH

(44)

APA ALTERNATIFNYA?

TRANSDIAGNOSTIC

DIMENSIONAL APPROACH

NETWORK APPROACH

CLINICAL STAGING APPROACH

1

2

3

(45)

NETWORK APPROACH

• Berangkat dari prinsip yang serupa dengan TDA.

• TDA → berasal dari analisis faktor.

Network approach

menggunakan network

analysis.

(46)

CONTOH: DIMENSI DEPRESI

(PHQ-9)

(47)

CONTOH: DIMENSI DEPRESI

(PHQ-9)

(48)

NETWORK APPROACH

(49)

NETWORK APPROACH

• Dapat memprediksi transisi dari satu model gangguan ke gangguan lainnya → causal inference.

• Pemahaman yang lebih kompleks → Within-individual system dan larger system.

• Struktur network seperti “node centrality” (semakin

banyak garis tebal menuju ke satu titik) dan “density”

(jumlah ketebalan garis secara keseluruhan) dapat

memprediksi psikopatologi.

(50)

KETERBATASAN NETWORK APPROACH

• Ilmu tergolong baru.

• Network gangguan kesehatan mental belum terbentuk sempurna.

• Replicability masih dipertanyakan.

(51)

APA ALTERNATIFNYA?

TRANSDIAGNOSTIC

DIMENSIONAL APPROACH

NETWORK APPROACH

CLINICAL STAGING APPROACH

1

2

3

(52)

CLINICAL STAGING APPROACH

(53)

CLINICAL STAGING APPROACH

• Berasal dari dunia medis.

• Tujuannya ingin melihat progresi suatu disorder

menuju ke fase psikotik dan memperluas pemahaman klinisi terhadap klien yang mengalami gejala psikotik.

• Ada kemiripan dengan transdiagnostic → individu dapat mengalami overlapping symptoms.

• Gangguan kesehatan mental dipandang sebagai suatu

trajectory.

(54)

CLINICAL STAGING APPROACH

• Stage 0 → tanpa gejala

• Stage 1a → klien mengalami distress ringan

• Stage 1b → distress ringan namun membutuhkan penanganan yang lebih kompleks

• Stage 2 → disorder terbentuk (termanifestasi)

• Stage 3 → tanda-tanda Stage 2 berlangsung atau incomplete remission selama 12 bulan sejak pertama kali ditangani atau muncul lagi setelah 3 bulan recovery

• Stage 4 → tanda-tanda Stage 2 bertahan setelah ditangani

selama lebih dari 2 tahun

(55)

CLINICAL STAGING APPROACH

Microphenotypes → Early stage syndrome

development; terdiri dari gejala-gejala yang saling overlap.

Macrophenotypes → Late stage of syndrome

development; syndrome stabil, intens dan bertahan,

atau parah. For example: psychosis, mania, depression, anxiety, alcohol- and substance-use disorders, and

borderline personality disorder.

(56)

CLINICAL STAGING APPROACH

(57)

IMPLIKASI DI INDONESIA

Kendala Bahasa → Praktisi Indonesia sulit untuk

menggunakan PPDGJ; sementara ketergantungan pada DSM 5 menyebabkan diagnosis yang tidak sensitif pada konteks budaya.

Keragaman budaya → Apakah pedoman diagnosis

yang digunakan sudah mampu menjelaskan fenomena

gangguan psikologis yang khas di berbagai daerah di

Indonesia?

(58)

IMPLIKASI DI INDONESIA

CCMD-3 → Chinese Classification of Mental Disorder.

• Versi 3 sudah diterbitkan dalam Bahasa China dan Inggris; Mirip dengan ICD-10 dan DSM-IV

Brazil mengadopsi ICD-10 untuk pedoman klasifikasi.

• The Royal College of Psychiatrists of Thailand

menganjurkan penggunaan ICD-10 TM (Thailand

Modification).

(59)

IMPLIKASI BAGI ANDA

• Menurut Anda pendekatan mana yang terbaik?

Kategori dikotomi (DSM)? Diagnosis transdimensional (HiTOP)? Network? Clinical Staging?

• Apakah sebagai bagian dari HIMPSI, Anda akan berperan dalam mencermati pedoman klasifikasi diagnosis?

• Apakah sebagai peneliti, Anda akan mendorong pemahaman gangguan psikologis yang lebih

kontekstual?

(60)

KONTAK

Email:

edwin@adrianta.com

Research Interest:

❑ Single-session intervention

❑ Mental health intervention

❑ Resilience

❑ Bayesian analysis

❑ Mixed-effect modelling

❑ Data visualisation

(61)

Referensi

Boschloo L, van Borkulo CD, Rhemtulla M, Keyes KM, Borsboom D, Schoevers RA (2015) The Network Structure of Symptoms of the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. PLoS ONE 10(9): e0137621.

https://doi.org/10.1371/journal.pone.0137621

Campolonghi, S., & Orrù, L. (2023). Psychiatry as a medical discipline: Epistemological and theoretical issues. Journal of Theoretical and Philosophical Psychology. Advance online

publication. https://doi.org/10.1037/teo0000256

Eaton, N.R., Bringmann, L.F., Elmer, T. et al. A review of approaches and models in psychopathology

conceptualization research. Nat Rev Psychol (2023). https://doi.org/10.1038/s44159-023-00218-4

(62)
(63)

251023, Penggolongan asesmen & penanganan perilaku

Salam sejahtera, teman -teman sekalian. Selamat datang di Klasik Kopatologi. Hari ini saya Benadrin Tosurija, selama sekitar 1 jam ke depan, akan membahas tentang berfikir kritis terhadap diagnosis gangguan mental.

Sebelum saya mulai presentasi lebih lanjut, saya perlu melakukan untuk

"Acknowledgement of the Country" sebagai apresiasi saya terhadap tanah tempat saya berbijak. Saya "Acknowledge the Terbal and Yogura People" sebagai "Owner of

Manjinn",

di mana saya hidup, saya bermain kerja, dan saya menjelaskan proses ini. Pada hari ini, kita akan ada sekitar 3 video yang akan membahas tentang 3 topik beswarya,

yaitu yang pertama, kita akan berfikir kritis tentang gangguan mental secara umum.

Yang kedua, ada "Transdiagnostic Dimensional Approach", kemudian dengan pedomannya yang kerap dikenal sebagai "High Top",

dan yang ketiga, ada nama "Network and Clinical Staging Approach". Topik kita akan bahas sekitar 20 menit, sehingga total ada sekitar 60 menit yang berkaitan dengan berfikir kritis atau rethinking mengenai gangguan mental.

Sekarang saya akan mengajak teman -teman untuk mulai berfikir atau mulai membayangkan. Apabila teman -teman menjadi seorang klinisi,

menjadi seorang praktisi, menjadi seorang psikolog, kemudian kalian didatangnya oleh seorang klien. Kalian ini mengelokkan dirinya mengalami gangguan sikis,

yaitu merasa sedih yang berkepanjangan. Tidak ada gara hidup, tidak ingin bangun dari tempat tidur, tidak memiliki napsu makan, dan tidak ingin bekerja. Kira -kira teman

-teman tahu ada klien yang seperti ini datang,

apa yang akan teman -teman lakukan. Seterah umum sebagai psikolog, salah satu model sederhana yang kita lakukan biasanya adalah seperti ini.

Jadi kita akan melakukan intake assessment, dimana kita akan melanyakan tentang nama, usia, permasalahan awal yang dialami oleh si klien tersebut,

kemudian data diri yang lebih lanjut, yang bisa membantu kita memahami klien itu secara lebih utuh, kemudian kita akan melakukan yang namanya psychological

assessment, yaitu kita menggunakan alat -alat psikodiagnostik atau alat -alat tes psikologi untuk membantu kita menegakkan diagnosis.

Setelah kita melakukan penegakkan diagnosis, kemudian kita bisa membuat suatu treatment plan dari treatment plan tersebut, kemudian kita bisa memberikan intervensi kepada klien kita.

Nah, pada hari ini kita akan fokus berkaitan dengan penegakkan diagnosis yang saya beri dengan panam biru. Nah, kita akan bicara lebih lanjut tentang memikirkan kembali,

berfikir lebih kritis berkaitan dengan yang namanya penegakkan diagnosis tersebut. Nah, berkaitan dengan berfikir kritis, sebenarnya ketika kita bicara tentang gangguan mental,

kita tidak serta merta sebagai psikolog atau orang yang dengan latar belakang mendedikan psikologi bisa mengatakan seseorang mengalami gangguan atau tidak.

Kita setidaknya harus memikirkan ada empat karakteristik dari suatu perilaku dapat dikatakan sebagai suatu gangguan mental. Nah, karakteristik yang pertama disebut dengan defiance.

(64)

Artinya adalah ketika perilaku tersebut berbeda atau menyimpang dari kebanyakan perilaku lain, itu adalah kriteria pertama suatu perilaku kemungkinan dapat dikatakan sebagai gangguan mental.

Nah, tapi menyimpang saja itu tidak cukup karena bayangkan misalnya di antara satu kelas, teman -teman ada yang rambutnya pendek. Satu orang rambutnya pendek,

tapi semua kemudian rambutnya di kelas tersebut masih swaya yang lain rambutnya panjang. Apakah kita mengatakan masih swaya yang rambutnya pendek, itu kemudian mengamigang gua mental? Tentu satu kriteria saja tidak cukup,

perlu ada kriteria yang lain. Kriteria yang lain berikutnya adalah, selain perilaku orang tersebut menyimpang, orang tersebut juga mengalami distress. Atau dia mengalami beban,

terbeban, merasa terbeban karena perilaku yang dia tampilkan. Kebali, dua kriteria saja tidak cukup, perlu kita melambahkan kriteria yang lain sebagai suatu pernibangan,

yaitu kriteria dysfunction. Apakah ketika seseorang tersebut mengalami suatu perilaku yang menyimpang dan mengganggu dirinya, orang tersebut juga dampaknya tidak dapat berfungsi dengan optimal.

Misalnya dia menjadi tidak dapat bekerja dengan baik, tidak dapat berkoncentrasi dengan baik, tidak dapat pergi ke sekolah dan aneka disfungsi lain yang iyalami dalam hidup.

Dan terakhir untuk dapat memastikan suatu perilaku sebagai suatu gangguan mental, perilaku yang sudah berbeda, mengganggu dan membuat ia mengalami dysfunction.

Perilaku tersebut juga kemudian membahayakan orang lain atau membahayakan dirinya sendiri. Kombinasi dari keempat karakteristik ini, itu yang kemudian bisa membantu kita untuk memahami apakah suatu perilaku itu dapat digatakan sebagai suatu gangguan mental.

Nah, tetapi memahami 4 karakteristik ini saja juga belum cukup. Kita perlu tahu plasifikasi lebih lanjut dari suatu gangguan mental,

sehingga kita dapat menerapkan intervensi yang akurat dari diagnosis yang akurat pula.

Nah, salah satu pedoman kita dalam melakukan diagnosis,

diagnosis seringkali praktisi menggunakan yang namanya DSM -5. Berkaitan dengan cerita tadi di awal, ya ada seseorang yang mengeluhkan,

mengelamigang Goan Sikis seperti merasa sedih, tidak ada gara hidup, tidak ingin bangun dari tempat terusnya. Tampaknya, orang ini kemungkinan mengalami yang namanya Major Depressive Disorder atau kodanya F32.

Menurut DSM -5, Major Depressive Disorder ini ada 9 kriteria. Dari 9 kriteria tersebut, setidaknya orang tersebut harus menambilkan 5 atau lebih dari kriteria A dan harus memiliki setidaknya 1 itu kriteria dari kriteria A1 atau A2.

Nah, sebelum kriteria tersebut adalah bud yang buruk, bud yang negatif, depresmu, kemudian bud kriteria yang kedua adalah kehilangan interest,

kehilangan rasa enjoy ketika melakukan aktivitas yang biasanya dia senangi, kemudian signifikan unintentional weight loss /weight gain,

jadi dia mengalami perubahan berat badan secara signifikan, perubahan selera makan, baik selera makannya semakin berkurang atau malah semakin meningkat.

(65)

Kriteria yang ke -4 adalah adanya gangguan tidur, mulai dari tidak bisa tidur atau menjadi tidur yang berlebihan. Yang ke -5, yaitu adalah perubahan sikomotor dari gerakan tubuhnya yang kemudian bisa diamati oleh orang lain.

Yang ke -6 adalah rasa capek atau lelah atau kehabisan tenaga yang kemudian memengaruhi dalam pelaksanaan tugasnya dia sehari -hari,

A7, yaitu rasa tidak berharga yang berlebihan, rasa bersalah yang berlebihan atau rasa bersalah yang tidak wajar,

A8, atau kriteria ke D8, yaitu kemampuannya untuk berpikir, konsentrasi atau membuat decision atau keputusan menjadi terganggu dan yang terakhir yang kesembilan adanya pemikiran berulang tentang kematian seperti rasa takut untuk mati atau malah ada keinginan untuk bunuh diri atau melakukan percobaan bunuh diri.

Nah menurut DSM5 lebih lanjut, gengguan -gengguan dari A1 sempurna asing bilan tersebut dapat menyebabkan clinically significant distress,

jadi individu menerasa distress yang sangat kuat, kemudian adanya impermen atau dampak buruk dan dampak negatif di kontek sosial,

pekerjaan, dan area lain dalam hidupnya dan juga simtem -syimtem atau kejala yang ditunjukkan tersebut tidak disebabkan karena physiological effect atau misalnya karena dia mengkonsumsi suatu obat -obatan tertentu,

sehingga kemudian dia mengalami perubahan mood, bukan karena itu, dan individu supaya dapat dikatakan mengalami major depressive disorder, dia tidak boleh pernah mengalami manik episode atau hypomanik episode karena kalau sudah mengalami manik episode di diagnosisnya atau kode diagnosisnya akan berbeda,

dan juga depressive disorder ini tidak dijelaskan oleh spektrum sisofrenia atau gengguan psikotik lainnya,

jadi dia ingin spesifik, ya, mejor dipercaya disoder ini, kriterianya adalah seperti ini, menurut DSM5. Nah, kita udah mau melihat bahwa keinginan dari DSM5 atau pedoman diagnosis ini adalah dia berusaha secara spesifik mengklasifikasikan gangguan kesehatan mental tersebut dan mudah berusaha untuk mengeliminasi.

Kalau misalnya tidak gangguan ini muncul, kalau ada efek dari obat -obatan, berarti kita harus berhati -hati dalam penegangkan diagnosis.

Atau misalnya gangguan ini dapat dijelaskan dari sindrum atau gejala sysofrenia atau psikotik lainnya, ya, atau misalnya individu pernah mengalami mania atau rasa euphoria atau rasa bahagia yang berlebihan,

gitu. Nah, kemungkinan diagnosisnya harus berbeda. Nah, pada hal, kalau kita mencermati proses penegakan diagnosis seperti ini, kita bisa melihat kembali,

gitu ya, bahwa proses penegakan diagnosis ini sangat berdasarkan suatu kriteria, berdasarkan suatu checklist. Oh, kriteria A1 terpenuhi,

kriteria A3 terpenuhi. Seterusnya, berarti dia masuk, mejor depresif. Kalau tidak, terpenuhi 5 kriteria, berarti diagnosisnya berbeda. Nah, proses penegakan diagnosis seperti ini sangat perentang terhadap suatu kelemahan,

sehingga kemudian ada beberapa kritik dan menjadi tantangan kita sebagai psikolog ketika kita berusaha menegakkan diagnosis dengan menggunakan DSM5.

Nah, beberapa tantangan yang kiranya muncul berkaitan dengan akurasi diagnosis. Jadi ketika kita mau melakukan diagnosis,

(66)

kita bergantung pada checklist ini. Nah, kita harus yakin bahwa ketika kita menyatakan orang ini mengalami A1, A2, A5, A7, gitu ya.

Nah, itu harus benar -benar akurat, bukan hanya karena sesuatu yang subjektif, sesuatu yang dibuat -buat. Nah, tapi tantangan lain yang juga lebih berat dalam penegakan diagnosis ini supaya juga akurat adalah ada yang namanya Comorbidity,

atau Comorbiditas. Comorbiditas itu adalah ketika individu dalam suatu perudah waktu, dia mengalami lebih dari satu atau lebih dari dua gangguan kesehatan mental secara sekaligus.

Dan dalam praktek dilapangan, seringkali bagaimana kita menemui individu yang kemudian mengalami satu atau lebih gangguan kesehatan mental secara sekaligus,

yang kemudian menjadi sulit bagi psikolog atau praktisi ketika dia berusaha memahami gangguan mental yang dialami dengan menggunakan pendekatan DSM -IMA,

yang berusaha sangat hati -hati menegakkan diagnosis secara spesifik. Nah, selain itu tantangan lain kita berkaitan dengan penegakkan diagnosis adalah sudut berkaitan juga dengan akurasi,

bahwa kita sebagai praktisi, kita memiliki sudut pandang, kita memiliki suatu lensa tersendiri ketika kita menghadapi suatu perilaku yang kita anggap mengganggu.

Nah, sudut pandang ini kemudian menjadi berbahaya dalam rangka kita berusaha memahami pengalaman si individu atau klien yang kita coba bantu.

Nah, tantangan lain yang juga kita perlu perhatikan adalah ketika kita menggunakan DSM -IMA, ketika kita menggunakan suatu penegakkan diagnosis,

itu akan memiliki suatu implicasi pada asuransi, pada pembayaran, dan juga konsekuensi hukup. Mungkin pada konteks Indonesia,

implicasi pada asuransi tidak terlalu berdampak signifikan, Namun di Australia, penegakkan diagnoses ini sangat,

penegakkan diagnoses gengguan mental, ini sangat erat kaitannya dengan asuransi.

Pihak mana yang akan membayar, apakah ini dibayar pribadi, dibayar oleh asuransi untuk treatment -nya,

dan juga akan memiliki konsekuensi hukum. Ketika kita mengatakan seseorang

mengalami depresi, kita mengatakan seseorang mengalami sysofrenia, itu bisa jadi akan ada suatu ikatan atau konsekuensi hukum dari sana.

Walaupun itu, persentasi hari ini memang ingin mengajak teman -teman untuk melihat, secara lebih kritis proses penegakkan diagnoses,

dan apakah ada pendekatan yang bisa membantu kita memahami. Proses penegakkan diagnoses dengan lebih baik dan akurat. Perkaitan dengan akurasi diagnoses,

misalnya, ini ada suatu penenitian yang mencoba melakukan network analysis. Jadi dia mencoba mencari hubungan,

mencari kedekatan antara kriteria -kriteria suatu gengguan, dan gengguan yang lain, itu saling berkaitan atau tidak,

mirip satu sama lain atau tidak. Coba kita lihat yang misalnya warna putih, mejar depresif episode. Yang warna putih berarti regionnya ada di sini.

Di region yang berwarna putih, ternyata region yang warna putih, itu memang saling belajar. Kalau yang sama putih, itu saling berkaitan,

(67)

itu panjar. Tapi ternyata elemen yang berwarna putih ini juga masih berkaitan dengan yang berwarna biru muda, atau generalize anxiety disorder.

Beberapa sintom dari major depresif episode itu saling berkaitan, begitu dengan generalize anxiety disorder. disorder. Yang berwarna putih ini juga tampaknya dekat sekali,

atau berkaitan erat juga dengan yang berwarna abu -abu, atau mania dan hipomania.

Nah, oleh karena itu, padahal tadi sudah disampaikan ya di dasar 5 bahwa ini orang yang mengalai major depressive disorder itu tidak boleh menampilkan episode mania.

Nah, padahal, sintom -syintomnya ini masih sangat berkaitan satu sama lainnya. Oleh karena itu tidak jarang ketika si kolok berhadapan dengan suatu kasus yang ia tangani,

ketika sintomnya menjadi sangat ambigas, ia mengalami kesulitan untuk mendapat menegakkan diagnosis dengan akurat. Nah, di model gangguan yang lain,

misalnya yang warna kuning ya, alcohol abuse, yang mana merah nicot independence itu sangat berdekatan juga satu sama lain. Social phobia itu juga saling berkaitan gitu ya,

satu sama lain, tapi dia juga saling berhubungan juga dengan anxiety disorder, berhubungan dengan panic disorder, berkaitan dengan agoraphobia.

Nah, ilustrasi ini menunjukkan bahwa ternyata penegakkan diagnosis itu suatu yang lumayan rumit atau sangat rumit bahkan sehingga kita butuh untuk lebih berhati -hati ketika kita mau menegakkan suatu diagnosis.

Diagnosis. Nah, oleh karena itu, itu adalah tantangan yang pertama. Perkaitan dengan yang namanya akurasi diagnosis. Dan kemudian kalau aneka symptom atau gejala yang ada disaling berkaitan,

nah berarti kemungkinan yang namanya komorbiditas itu juga akan semakin tinggi. Ya, kemungkinan untuk muncul.

Nah, itu akan menjadi suatu tantangan besar bagi kita sebagai suatu rahsikolog atau praktisi. Nah, lebih lanjut, saya tertarik sekali dengan tulisan dari Sarah,

semoga prononsiasinya benar, Sarah Ciampolongi dan Luisa Oru, yang dia meneluskan tentang psychiatry as a medical discipline epistemological and theoretical issue.

Nah, jadi Sarah dan Luisa mencoba mencermati bahwa proses penegakkan diagnosis gangguan mental.

Proses kita memamai suatu gangguan mental dari sudut pandang psychiatry itu kan selama ini menggunakan proses medis. Menggunakan kacamata medis. Dan ternyata kacamata medis ini juga tidak sepenuhnya dapat menjawab.

Maksudnya dapat menjawab berbagai isu atau tantangan yang telah saya paparkan sebelumnya, bahkan memiliki beberapa kelemahan. Nah, maksud dari sudut pandang medis ini seperti apa ya?

Nah, jadi ketika kita bicara tentang gangguan psychiatry mental, setidaknya ada dua sudut pandang yang sangat antapopuler dan juga sangat polar,

sangat bersebrangan. Nah, yang pertama adalah sudut pandang sociokultural. Menurut pas sudut pandang sociokultural, disorder itu adalah suatu deviation sebagai suatu yang berbeda,

(68)

sebagai suatu yang menyimpan. Nah, namun menurut sudut pandang biologis atau sudut pandang medis, menurut sudut pandang psychiatry, disohodat itu adalah sudut penghakit.

Yang kemudian dia harus diobati. Dua sudut pandang ini memiliki kelebihan dan keleman yang satu sama lain. Nah,

sekarang kita coba lihat, kalau misalnya menurut sosio kultural, atau menurut sudut pandang budaya, berarti gangguan prilaku itu dianggap sebagai produk dari efek sosial atau budaya.

Jadi ketika seorang mengalami satu gangguan, selalu yang kemudian disalahkan itu adalah pengaruh buruk pergaulan, kesalahan dalam pengasuhan, jadi bagaimana interaksi dengan lingkungan sosialnya,

itu yang kemudian dianggap sebagai penyebab, yang memunculkan gangguan mental tersebut. Sudut pandang ini dikritik sebagai pandangan yang subjektif dan tidak akurat.

Oleh karena itu, muncullah, atau banyak orang yang kemudian berpendapat bahwa psikiatri atau gangguan mental harus dipahami secara medis,

supaya kita objektif, supaya kita bisa mengobati tanpa bias mengenai budaya. Sudut pandang biologis itu mereka melihat prilaku sebagai suatu penyakit,

karena bahwa tubuh kita dan pikiran kita itu saling berhubung satu sama lain sebagai suatu sistem, yang kemudian ketika ada yang salah dengan struktur biologis kita,

atau dari badan kita, itu kemudian bisa menyebabkan suatu gangguan mental. Misalnya ada kelinahan genetis atau penyakit turunan,

atau ada kerusakan pada struktur otak neurotransmitter kita, sehingga kemudian itu yang akan membuat seseorang mengalami gangguan mental. mental. Sudat pandang biologis ini berdasarkan pandangan dari pengubatan Barat dan seringkali dianggap sebagai standar utama ketika kita mencoba memahami tentang gangguan mental.

Menurut mereka yang percaya dengan pandangan ini, diaknoses itu seharusnya

berdasarkan kondisi medis yang dapat dijelaskan. Walaupun pandangan ini populer dan dianggap lebih objektif dalam memahami suatu gangguan mental,

namun sudah pandang ini juga belum sepenuhnya dapat mengatasi gangguan mental secara efektif. Pendanganan gangguan mental,

treatment -treatment dengan sudut pandang ini hanya terbatas pada pengelolaan gejala, hanya berupaya untuk mengurangi human suffering atau dampak penderitaan dari suatu gangguan mental tersebut.

Sudah begitu banyak penelitian yang berupaya untuk memahami kenapa seorang mengamisi sofrin, memahami depresi, berusaha menjelaskan penyebab dari sisi neurotransmitter,

penyebab dari sisi biologisnya. Namun belum ada suatu pendekatan yang benar -benar bisa menyembuhkan malahinkan baru hanya terbatas pada pengelolaan gejala saja.

Hanya menurunkan rasa sakitnya atau penderitaan yang dialami oleh individu tersebut.

Nah,

oleh karena itu Sarah dan Luisa tadi menyatakan bahwa gangguan mental itu tidak bisa, hanya di lihat,

hanya berdasarkan sosial budaya saja, dilihat hanya berdasarkan kondisi kesembangan cairan kimia diotak saja,

(69)

namun butuh suatu pemahaman yang lebih menyuruh, butuh pemahaman yang lebih baik lagi dalam menegakkan diagnosis dalam menangani atau mengintervensi gangguan tersebut dan juga intinya dalam membantu individu menjadi pulih lebih baik,

menjadi pulih dalam kondisi yang lebih baik. Nah ketika saya menyatakan bahwa kita perlu berpikir -pikir terhadap gangguan mental,

dari yang awal saya berbicara tentang memahami gangguan mental ada 4 kriteria, kemudian kita mencermati proses diagnosis dengan checklist -checklist dari DSM5 seperti ini,

tapi ternyata proses yang sudah ada, proses yang kita pakai sekarang itu ternyata memiliki suatu isu atau memiliki suatu tantangan. Kita bisa lihat bahwa kriteria atau checklist yang ada di DSM5 itu ternyata sangat saling berdekatan satu sama lain,

sehingga itu kita akan menjadi sulit ketika kita mau menegakkan suatu diagnosis. Nah sementara itu sudut pandang yang kita gunakan itu juga sangat berbahaya,

karena kalau kita hanya menggunakan sudut pandang sosio kultural saja, itu menjadi akan sangat rentan terhadap bias. Kalau kita mencoba meyakini bahwa ini hanya bisa diobati saja dengan pill,

dengan obat -obatan, namun ternyata temuan -temuan dari sudut pandang biologis ini juga belum sepenuhnya mampu untuk memahami dan menyembuhkan gangguan -gangguan kesehatan mental pada individu.

Nah sementara itu saya mengajak kita untuk berpikir karena teman -teman ini adalah calon -calon psikolog, calon -calon praktisi di masa mendatang, calon -calon orang yang mungkin akan diundang untuk menjadi nara sumber mungkin teman -teman akan

membuat suatu video tiktok gitu ya,

atau membuat satu real di Instagram berkaitan dengan keangguan kesehatan mental nah teman -teman harus berhati -hati ketika membuat suatu konten jangan sampai gitu ya,

kita terjubak dalam informasi yang tidak akurat yang kita berikan kepada publik nah, misalnya saja ketika kita melihat perilaku seperti atau isu berkaitan dengan transgender misalnya nah,

apakah kita katakan transgender itu sebagai suatu gangguan kesehatan mental atau bukan nah, kalau kita hanya menggunakan sudut pandang sosio kultural saja kita mungkin bisa lihat gitu ya di antara masyarakat kita secara jumlah gitu ya,

bisa jadi individu yang mengidentifikasi diri sebagai transgender dapat dikatakan defiant nah,

tapi kalau kita hanya menggunakan sudut pandang itu saja nah, bayangkan misalnya berkaitan dengan circumcision sunat nah, di budaya di luar Indonesia misalnya saja di negara -negara yang lain begitu budaya sunat ini bukan sesuatu yang diwajibkan bahkan ada beberapa gerakan yang mengandalkan bahwa circumcision itu melanggar haasasi anak -anak sehingga tidak boleh dilakukan ketika anak -anak itu belum bisa memotuskan sendiri nah,

jangan -jangan orang yang sudah disunat ketika dia pergi ke suatu budaya lain dia kemudian dianggap menyimpang nah, apakah kemudian itu menjadi suatu diagnosis yang akurat kita katakan bahwa orang yang disunat itu menyimpang nah,

(70)

oleh karena itu kita tidak bisa dengan mudah mengatakan apakah transgender transgender, circumsisi itu adalah suatu gangguan mental atau tidak nah kita harus berpikir kripis lebih hati -hati sebelum kita menyatakan oh ini adalah opinion profesional saya sebagai suatu praktisi atau ilmuwan psikologi nah apa jadinya kalau diagnosis gangguan mental itu hanyalah pekaratak dir dimana dan kapan teman -teman ini dilahirkan misalnya saja

gitu ya kalau teman -teman terlambat menikah oh dikatakan kemudian di suatu sosial budaya tertentu oh Anda mengalami gangguan mental bayangkan kalau Anda kalau Anda tidak tertarik memiliki pasangan terus dikatakan oh mengalami gangguan mental bayangkan kalau misalnya Anda sebagai perempuan kemudian memikir gajian lebih tinggi daripada suaminya atau kemudian perempuan tidak bisa menasak kemudian dikatakan oh ini termasuk ke DSM6 ini

gitu ya terus kemudian ada laki -laki yang hanya ingin menjadi bapak roman tanggas saja misalnya wah ini masuk kriteria A1 atau A7 A8 atau A9 misalnya bayangkan kalau misalnya Anda mengindolakan 17 atau jangkok atau 50 /50 gitu ya super shy terus kemudian ada yang bilang gitu ya si kulok yang bilang oh ini tidak sesuai ini

menyimpang ini nah jadi Anda ini harus dibawa ke psikiatr gitu ya kalau teman -teman suka tiktok

challenge misalnya buat video di lapangan kota nah kalau kita hanya menggunakan satu kriteria saja itu sangat berbahaya teman -teman bisa dikatakan mengalami nanggungan kesehatan mental nah oleh karena itu sebagai psikolog sebagai praktisi sesi kita hari ini kita hanya melihat suatu gangguan mental gitu ya tidak sebagai suatu checklist begitu saja yang bisa kita katakan katakan oh ya,

Anda mengalami F32 tidak hanya kita gunakan satu sudut pandang saja itu sudut pandang sosial muda saja bahkan sudut pandang medis pun juga memiliki

kelemahannya tersendiri nah,

oleh karena itu harapannya adalah ketika teman -teman sudah menyelesaikan diskusi kita pada hari ini kita dapat mencermati suatu gangguan mental penegakan diagnosis dan proses -proses terkait dengan itu dengan lebih rinci spesifik dan lebih berhati -hati nah,

kembali kita ke DSM -5 di kalangan psikolog dan dokter di Indonesia dan negara -negara lain itu mereka memiliki kelasifikasinya tersendiri setidaknya di Indonesia ada yang namanya ppdgj pedoman dan pegolongan diagnosis gengguan jiwa namun ada juga psikolog yang memang lebih mau menggunakan DSM -5 karena dianggap ini lebih berdasarkan data -data yang terbaru data -data yang lebih terkini nah,

DSM -5 atau diagnostic and statistical manual of mental disorder sekarang sudah di edisi yang ke -5 bahkan sudah ada edisi text revision itu diterbitkan oleh APA,

American Psychiatric Association tapi ada juga yang menggunakan ICD -10 atau International Classification of Diseases sorry, ICD -11 bukan ICD -10 sudah ada yang terbaru dan ini dikembangkan oleh World Health Organization intinya baik ppdgj,

DSM -5, ICD -11 mereka membantu para praktisi untuk menegakkan diagnosis dengan kriteria -kriteria diagnosis yang mereka miliki nah,

namun kriteria -kriteria diagnosis dari DSM -5 ini ini, dan PPDGJ maupun ICDTAN ini, semuanya itu bersifat nosologis atau klasifikasi.

(71)

Atau yang tadi saya bilang, semuanya itu mengenakan metode checklist yes dan no.

Nah, atau yang disatakan politetik set, jadi ada kriteria A1 sampai A9 misalnya yes dan no checklist.

Nah, itu namanya politetik set. Karakteristik lain dari DSM5 dan teman -temannya itu tadi, tiap diagnosis ini selalu independen satu sama lain.

Kalau dia mejar depresif di seorder, yaudah diagnosisnya adalah itu, dia harus dibedatan dari diagnosis yang lain. Nah, satu diagnosis dapat menutupi kompleksitas gejala lain yang tidak memenuhi kriteria diagnosis.

Nah, karena dia ada upaya untuk independen tersebut. Nah, kalau misalnya ada gangguan yang lain, baru kemudian itu dimasukkan sebagai suatu komorbiditas. Nah,

DSM5 ini memiliki kelemahan dari yang tadi saya coba utarakan. Kita bisa lihat bahwa ada yang namanya symptoms overlap. Ada beberapa symptom antar gangguan itu yang mirip dan berdekatan satu sama lain.

Sehingga kita menjadi sulit mau menegakkan diagnosis yang akurat. Selain itu, dua individu dengan symptom yang berbeda dapat memiliki diagnosis yang sama.

Misalnya saja yang tadi ya, teman -teman ada yang punya, misalnya ada klien dengan presentasi A1, A3, A5, A7, A9. Kemudian dia diagnosisnya mejar depresif.

Individu lain yang presentasinya adalah A2, A4, A8 yang berbeda, tapi tetap kriteria diagnosisnya adalah sama.

sama. Nah, sehingga... Banyak isu berkaitan dengan akurasi dari desam 5 dan termasuk juga yang lain,

kita menggunakan pendekatan nosologi atau pendekatan klasifikasi ini, yang dianggap ada isu dari akurasinya. Sehingga kemudian oleh, misalnya di Amerika, oleh National Institute of Mental Health,

itu sudah mulai ditinggalkan dan sudah ada mulai beberapa gerakan untuk tidak lagi menggunakan desam 5, menangiskan kita menggunakan alternatif yang lain.

Nah, apa saja alternatif dari desam 5 ini? Nah, ini yang akan kita bahas lebih lanjut di video berikutnya.

Nah, kita break dahulu berkaitan dengan berpikir kritis mengenai gangguan kisah mental, kita akan lanjutkan ketika kita akan membahas 3 sudut pandang lain yang dapat menjadi komplementer atau alternatif dari desam 5 atau pendekatan nosologis.

(72)

101123, Perspektif kontemporer perilaku abnormal (HiTOP; Network & clinical staging) (Pak Edwin, ABCDEF)

HiTOP

Ya, selamat datang kembali, teman -teman di bagian kedua dari berfikir kritis terhadap teknosis menggunakan mental. Walaupun awalnya saya menyenjikan ada 20 menit untuk tiap presentasi,

tampaknya di tiap topik ada sekitar 30 menit. Dan ya materi yang akan kita diskusikan atau akan perlu saya sampaikan pada hari ini.

Nah, di bagian sebelumnya saya telah berupaya mengajak teman -teman untuk berfikir kritis sebagai praktisi psikologi atau sebagi ilmuwan psikologi.

Ketika kita diminta untuk menegakkan seluruh diagnosis atau memberi informasi kepada publik dalam memahami suatu gangguan mental. Nah, saya berharap teman -teman memiliki sudut pandang yang baru bahwa dalam memahami suatu gangguan mental,

jangan sampai kita hanya menggunakan salah satu sudut pandang, jangan hanya kita

menggunakan suatu pijakan ternentu dan dengan mudah menatapkan suatu perilaku sebagai suatu gangguan.

Kita harus berhati -hati dalam akurasi kita memberikan informasi ke dalam konteks publik yang lebih luas berkaitan dengan gangguan kesehatan mental tersebut.

Nah, secara lebih khusus di perteman sebelumnya, kita telah membahas tentang DSM -5, karakteristik utamanya dari DSM -5 yang menggunakan nosologi atau klasifikasi,

dimana gangguan kesehatan mental ditentukan dari cek list ya dan tidak, dan aneka kelemahan atau kritik terhadap DSM -5 tersebut. Nah,

sekarang kita akan melihat apa saja alternatif dari DSM -5 yang diharapkan bisa menutupi atau menjawab kelemahan dari kritik yang ada berkaitan dengan DSM -5 tersebut.

Nah, pandangan yang pertama, alternatif yang pertama adalah transdiagnostik dimensional approach, yang kemudian nanti ada suatu pedoman diagnosisnya yang disebut sebagai high top.

Nah, transdiagnostik dimensional approach itu apa sih? Nah, untuk lebih mudah memahami apa itu transdiagnostik dimensional approach, kita bandingkan dulu perbedaan prosesnya,

perbedaan pendekatannya. Kalau kita menggunakan DSM -5 seperti yang saya sampaikan, DSM -5, mereka menggunakan suatu klasifikasi yang ditentukan dari checklist,

dan checklist itu harus kita jawab ya dan tidak. Jadi apakah individu mengalami gangguan tidur ya dan tidak? Apakah individu kehilangan interest, kehilangan rasa nyaman dalam melakukan kejutan ya dan tidak?

Nah, setelah itu mereka kemudian akan ditentukan, apakah dia mengalami major depresif atau tidak? Apakah dia mengalami bipolar atau tidak? Nah, itu ada pendekatan dari DSM -5.

Nah, sementara pendekatan dari transdiagnostik dimensional approach, kita akan menilai suatu individu dengan menggunakan suatu skala, dan skala tersebut diukur gitu ya,

dari misalnya di contoh yang seperti ini. Ada pertanyaan, apakah individu ekspresinya itu tidak berubah? Kemudian kita harus ukur itu dari nilai 0 sampai dengan 5.

Nah, untuk menegakkan suatu diagnosis, tidak hanya kita melihat dari oh dia nil -nilainya ada kriteria A1 sampai dengan A9 terpenuhi 5,

berarti dia major depresif. Itu adalah pendekatan dari DSM -5, pendekatan nosologis.

Nah, tapi kemudian kalau misalnya di transdiagnostik, ketika individu memiliki suatu skor tertentu, ini ada nilai cut off -nya. Jadi,

kalau misalnya dia mendapatkan nilai 10 untuk kategori ini. Nah, berarti dia kemungkinan mengalami depresi yang mail. Kalau dia mendapatkan skor 20,

(73)

berarti dia kategorinya sedang atau moderate depression. Nah, ini adalah perbedaan dari transdiagnostik dari segi proses. Ketika kita memahami proses penegakan diagnosisnya.

Nah, transdiagnostik dimensional approach itu menerapkan continuous dimension terhadap data psikopatologi, sehingga psikopatologi itu tidak dipahami sebagai suatu dikotomi.

Sebagai suatu dikotomi bahwa dia mengalami atau tidak mengalami. Itu menurut pandangan yang nusologi. Nah, sementara transdiagnostik dimensional approach ini,

gangguan itu dianggap sebagai dimensi yang continuum. Sebagai suatu dimensi yang continuum.

Nah, dimensi gangguan bukan refleksi dari dikotomi diagnosis gangguan keselamental,

yang sifatnya hitam dan putih, dan kemudian dimensi ini bersifat lintas batas. Nah, bila pada DSM -5, kita harus memikirkan bahwa diagnosis itu bersifat independent,

dan kalau misalnya, kita lihat, oh, dia mengalami major depresif disorder, tapi kemudian dia ada mengalami mania, kita menjadi bertanya, apakah ada kekeliruan dalam proses kita memahami diagnosis dalam kita menegakkan diagnosis.

Nah, sementara kalau menggunakan transdiagnostik dimensional approach, dimensi ini bersifat lintas batas, sehingga bukan menjadi sesuatu hal yang ame, bukan menjadi sesuatu hal yang keliru,

apabila seorang individu bisa memiliki gangguan yang kompleks, yang bisa muncul secara bersamaan. Nah, sehingga dimensi itu dipahami sebagai suatu potongan Lego yang menyusun variasi aneka gangguan keselamental untuk kita mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh terhadap gangguan yang dialami oleh suatu individu.

Nah, ada 3 karakteristik utama dari pendekatan Transtagnostic Dimensional Approach ini. Yang pertama adalah dimensi itu tidak lagi ditentukan oleh "ya" dan "tidak" saja,

namun dia memiliki "cut off score" yang terdiri dari "rentang -rentang nilai tertentu" yang seperti saya sampaikan ya, sehingga ketika orang mengalami kecemasan itu bukan masalah "ya" dan

"tidak" tapi ada "rentang continuum "nya.

Ketika dia nilai dari 0 sampai 10, oh ini artinya dia mengalami kecemasan rendah. Ketika nilainya 11 sampai 20, kecemasan sedang. 21 sampai 30,

kecemasan tinggi. Nah, itu adalah karakteristik yang pertama. Karakteristik yang kedua adalah

"Heral Kecal Nature of Nil Illness" bahwa dimensi -dimensi gangguan kesetamental itu memiliki struktur yang hirarkis,

bukan hanya sekedar klasifikasi -klasifikasi lepas seperti pada pendekatan nosologis. Saya akan bahas lebih lanjut mengenai "Heral Kecal Nature of Nil Illness" ini di selanjutnya.

Dan yang terakhir, "impermen" itu diukur berbeda dengan "symptom". Artinya apa bahwa "satu gejala" itu tidak sama dengan "impermen" atau gangguan fungsi yang mereka alam.

Misalnya saja, sesuai orang yang mengalami gejala -gejala depresi itu bisa jadi kemudian dia tidak mau pergi ke sekolah. Orang yang mengalami gejala -gejala kecemasan,

kemudian bisa juga tidak mau pergi ke sekolah. Ada juga orang yang mengalami sosial phobia tidak mau pergi ke sekolah karena takut untuk berintraksis secara sosial.

Oleh karena itu, tidak mau pergi ke sekolah, itu tidak bisa dijadikan sebagai suatu cara untuk menegakkan diagnosis. Karena "impermen" tidak mau pergi ke sekolah itu bukanlah suatu

"symptom".

Nah, tiga hal ini yang kemudian menjadi pedoman utama atau karakteristik utama transdiagnostik dimensional approach. Nah, salah satu pedoman yang menggunakan transdiagnostik dimensional approach itu adalah heral kikol taxonomy of psychopathology.

Nah, di sini kita bisa melihat bahwa suatu gangguan psikologis disusun oleh berbagai macam symptom dan symptom -symptom itu kemudian membentuk kumpulan dari syndrom -syndrom.

(74)

Syndrom tersebut kemudian membentuk subfaktor dan subfaktor itu membentuk spektra dan spektra itu kemudian tersendiri menjadi suatu higher order dimension.

Nah, di sini kita bisa melihat misalnya di spektra top disorder gitu ya, di bawahnya itu ada panah ke bawah di top disorder, ada satu panah ke bawah yang menunjukkan bahwa di dalam top disorder itu ada schizophrenia,

ada mood disorder, with psychosis, ada scissor tipple, ada ciszoid dan paranoid. Sementara di top disorder ini juga ada panah yang ke mania gitu ya,

kemudian di dalam mania itu ada bipolar 1 dan ada bipolar 2. Nah, artinya adalah gangguan kesehatan mental itu dia tersusun dalam suatu hierarki yang hierarki itu akan menjadi suatu payung yang mau wadahir ya,

aneka gejala yang ada di bawahnya. Nah, apa sih yang dimaksud dengan hierarki yang lebih lanjut ini tadi? Nah, misalnya saja gitu ya, kita lihat di dalam bagian ini ada satu bagian sederhana.

Nah, ada faktor 1, faktor 2, faktor 3. Ada gejala 1, gejala 2, gejala 3. Nah, ketika dia dianalisi secara empirik dan dikelompokkan, ternyata faktor 1 dan 2 dan 3 ini muncul di individu yang mengalami gangguan A.

Sementara faktor 4 dan faktor 5, itu muncul pada individu yang mengalami gangguan B. Jadi faktor -faktor ini dianalisis secara empirik dan dikelompokkan sehingga diagnosisnya menjadi lebih akurat.

Karena tiap faktor tidak memakili diagnosis yang lain. Namun di sisi lain, praktisnya juga tidak perlu kelar. Ketika misalnya kita menilain individu,

dia punya gejala 1. Ada skornya, dia ada 5. Gejala 2 ada skornya, gejala 3 ada skornya. Nah, kemudian kita bisa menentukan berapa derajat gangguan A yang dia miliki.

Nah, ketika individu ini juga memiliki gejala 4, gejala 5, praktisnya tidak perlu lagi masa bingung, jangan -jangan kita tidak akurat. Karena kita tahu bahwa gejala ini bisa saja muncul dan tinggal diukur dan ditentukan.

Apakah dia melewati cut -off atau skor amang batas tersebut. Diagnosis tetap akurat sambil kita tetap mengahami bahwa gangguan kesehatan,

gangguan perilaku yang dialami oleh suatu individu, itu adalah sesuatu yang kompleks dan perlu dipahami secara apuh. Nah, lebih lanjut ketika kita bicara tentang hierarki dalam taxonomy of psychological pathology.

Ada yang namanya symptom, berarti gejala yang di level individual. Ada syndrome, berarti gejala ini bisa diamati oleh orang lain.

Kemudian dia membentuk subfaktor. Dari subfaktor tersebut dia akan membentuk spektra atau major dimension. Dan kemudian dari spektra itu masih bisa dianalysi lagi menjadi superspektra.

Nah, hari ini kita akan memahami lebih lanjut yang namanya spektra atau dimension, major dimension dari gangguan kesehatan mental atau gangguan perilaku.

Nah, ada beberapa spectra sih, ya. Nah, spectra ini ada beberapa macem, ada Internalizing, Thought Disorder, Externalizing dan Detachment. Dan yang,

ini masih ada kota -kota yang saya beri bintik, ada garis -garis putus -putus, itu adalah

smartphone, karena penelitian belakangan ini mulai menemukan bahwa oh, ada spectra baru nih, yang baru diidentifikasi, yaitu smartphone. Nah, apa saja sih yang dimaksud dengan spectra ini?

Spectra yang pertama adalah Spectra Internalizing. Berarti spectra ini,

terdiri dari gangguan -gangguan, yang masuk dalam hierarki Internalizing ini, itu adalah gangguan -gangguan yang dirasakan dampaknya itu oleh individu.

Misalnya, ketika dia mengalami perasaan depresi, ketika dia merasa cemas, gitu ya. Nah, gejala itu dirasakan oleh individu, sehingga dia namanya adalah Internalizing.

(75)

Externalizing adalah ketika gejala ini muncul, gejala ini merugikan orang lain. Nah, Externalizing ini bisa dibagi lagi menjadi dua,

yaitu Externalizing and Disinhibited, berarti gejalan yang muncul, karena dia tidak memiliki kontrol diri, atau juga Externalizing yang Entegonizing, gejala yang ketika muncul,

dia itu muncul supaya perlakunya itu bertentangan dengan orang lain. Nah, selain itu, spectra berikutnya adalah Spectra Tot Disorder. Spectra ketika ditunjukkan dengan gejala bahwa individu tidak memiliki kemampuan untuk melakukan reality testing secara normal,

dan akibatnya, dia memiliki Maladaptive Trade Psychoticism, yang ditandai dengan adanya halusinasi dan delusi. Nah,

yang berikutnya ada yang namanya Detachment. Detachment berarti ada Maladaptive Introversion, atau menarik diri dari lingkungan sosialnya secara maladaptive,

yang kemudian juga ditandai dengan Affect atau Emosi yang Datar, atau Evolution, atau perilaku yang tampaknya seperti tidak memiliki suatu tujuan. Dan yang terakhir ada yang namanya somatofong.

Jadi ketika gangguan kesehatan mental ini atau gangguan ini, gejalannya ditunjukkan ke dalam sintom -sintom fisik melalui bodily distress atau conversion. Nah,

untuk semakin memahami apa sih yang dimaksud dengan spektra ini, kita lihat bagaimana praktis ini dapat mengukur internalizing dan macam -macam spektra yang lainnya.

Misalnya saja, internalizing, spektra internalizing. Ada alat ukur yang namanya interview for mood and anxiety symptoms. Yang dinilai dari skala 0,

1, dan 2. Nah, ini ada beberapa item, saya menunjukkan alat 3 contoh itemnya. Jadi apakah Anda merasa dalam beberapa hari ini atau lebih, Anda merasa sedih,

merasa hampah. Ini nilai dari 0, 1, atau 2. Untuk taut disorder, berarti kegagalan dalam reality testing, proses berfikir yang maladaptif.

Ada scale for the assessment of negative symptoms. Kita lihat apakah dia kemudian mengalami social inattentiveness.

Apakah ada inattentiveness during mental status testing. Kemudian dinilai dari 0, 1, 2, 3, 4, 5, atau U. U itu berarti undetermined. Tidak bisa ditentukan.

Nah, ini adalah contoh assessment for disorder. Untuk externalizing, berarti gejala -gejala yang kemunculannya merugikan orang lain. Ada misalnya alat ukur externalizing spectrum inventory, di -respond dengan menggunakan true, somewhat true, somewhat false, and false. dan "false"

nomer 2 gitu ya? karena kadang saya menikmati mendorong orang sampai jatuh externalizing, merugikan orang lain detachment ada alat ukur namanya "detachment and compartmentalization inventory" nomer 2 misalnya "but I see looks flat or lifeless" semua yang saya lihat itu rasanya itu terasa datar rasanya tidak ada jiwanya "as if I'm looking at a picture" apakah saya pernah merasakan itu zero?

never? 1, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 sampai dengan nomer 7 "daily in my life" itu detachment nah seperti yang tadi setelah saya sampaikan bahwa tiap spektra itu memiliki subfaktor kemudian dia akan memayungi komponen -komponen yang lebih spesifik di bawahnya misalnya saja "externalizing" itu subfaktornya ada apa saja subfaktor "externalizing" itu kalau menurut "externalizing" "spectrum inventory" maksudnya orang -orang yang gejalannya itu

merugikan orang lain itu ada "alcohol problems" "alcohol use" "alien nation" jadi dia mengucilkan orang lain "blaming" orang lain "burden promise,

dependability" penggunaan obat -obat agresi yang ber "destructive fraud" menipu orang lain tidak bisa berbicara jujur "impatian" mencuri "rebelliousness" tidak bisa apa namanya mengendalikan diri

"impulsive" dan sebagainya nah seharapannya teman -teman sekarang sudah bisa melihat bahwa gangguan psikologi tidak lagi dianggap sebagai satu gangguan -gangguan lepas,

(76)

begitu saja. Namun, dia saling berkaitan satu sama lain, dan kemudian dia memiliki hilaraki, dia memiliki susunan, gitu ya. Susunan yang lebih tinggi ini berarti dia memayungi komponen -komponen yang lebih spesifik yang ada di dalamnya.

Nah, oleh karena itu, namanya selain hilaraki, juga ada transdiagnosis. Nah, transdiagnosis itu maksudnya adalah individu bisa saja memiliki dua atau lebih gangguan ketika yang menunjukkan kejala di faktor -faktor yang relevan,

dan kemudian viditas itu bukan muncul karena biasa dalam kelasanaan asesmen. Oleh karena itu, transdiagnostic dimensional approach atau penggunaan high -top sebagai kelasifikasi gangguan mental,

cuma memiliki kelebihan. Yang pertama adalah, dia data driven, artinya kita menentukan diagnosis berdasarkan suatu data, bukan cuma kelasifikasi ya dan tidak,

tapi ada score -score yang bisa kita aju, sehingga kemudian kita jadi mudah menentukan

prognosis dan treatment plan -nya. Artinya adalah kalau misalnya depresi saya saat ini adalah 20, saya berarti tahu bahwa target saya berikutnya minggu depan saya mau menurunkan menjadi 18.

Satu bulan lagi saya mau menurunkan menjadi 15. Satu tahun lagi harapannya nilai depresi saya menjadi 10.

Ada treatment plan yang bisa kita gupato. Kita juga bisa menentukan prognosis ketika ada individu yang nilainya 20, itu berarti prognosisnya lebih buruk dibandingkan dengan individu yang nilainya 5 misalnya.

Nah ini menjadi lebih bisa tercapai dibandingkan dengan pendekatan yang nosologis yang berdasarkan ya dan tidak. Diagnosis menjadi lebih akurat karena memang dari awal pendekatan ini "embrace" gitu ya,

komorbiditi. Bahwa diagnosis yang kompleks, dimensi -dimensi yang kompleks dimiliki individu itu adalah sesuatu yang memang "wajar" gitu. Wajar dalam artian itu adalah suatu pengalaman yang bisa di,

banyak ditemui gitu ya oleh individu yang mengalami gangguan pesata mental. Pendekatan ini

"flexible" dan "dynamist" sehingga membantu mengembangkan kritismen baru yang inovatif dan juga dia bisa membantu gitu ya DSM -5 dan ICD -11 gitu ya.

Misalnya kita tetap menggunakan DSM -5 sebagai pedoman. Proces diagnosis ataupun

assessment dari transdiagnostik dimensional approach ini tetap bisa dipakai gitu ya untuk kita membantu memahami algejala -gejala yang ada di DSM -5 maupun di ICD -10.

Wapun begitu, TDA atau Hightop ini juga memiliki keterbatasan atau kelemahan. Yang pertama adalah karena sifatnya yang kompleks itu tadi sehingga mengkomunikasikan hasil kepasian menjadi lebih rumit atau ke stick holder.

Assessment kemudian juga dapat berlangsung lebih lama karena prosesnya lebih kompleks, kemudian standard cut -off bisa jadi berbeda -beda. Misalnya depression score kalau dia menggunakan alap ukur yang berbeda bisa jadi cut -off score -nya juga akan berbeda.

Karena juga misalnya di Australia mereka masih lebih lasim menggunakan DSM -5 sehingga penggunaan transdiagnostik dimensional approach atau Hightop ini membuat mereka lebih sulit untuk dipakai karena mereka sudah terlanjur menggunakannya ke dalam sistem untuk asuransi pembayaran dan sebagainya.

Nah, apalagi kita kayak ini mau dibawa dalam konteks Indonesia, bisa jadi pengetahuan terhadap head top yang masih rendah, itu menjadi suatu hambatan tersendiri ketika kita mau menggunakan transdaeknostik atau head top ini.

Nah, di awal saya sudah mencoba menunjukkan gitu ya, perbedaan dari nosologi ya dan tidak dengan head top yang bersifat dimensional untuk menunjukkan.

(77)

Nah, ketika saya sampaikan bahwa ada keterbatasan komunikasi, hasil, kepasian, tostik holder dan sebagainya, maksudnya seperti apa ya? Nah,

jadi misalnya begini, kalau misalnya saya sebagai psikolog, saya membuat laporan, gitu ya, menggunakan psychological assessment dan pendekatannya nosologi DSM5,

saya akan bilang bahwa berdasarkan psychological assessment 15 September 2022, individu namanya ini didiagnosis mengalami, ada major depresif,

post -traumatic stress disorder, borderline personality disorder dan avoidance personality disorder.

Jadi, ini dulu, diagnosisnya seperti ini, gitu ya. Komurditasnya adalah PTSD,

borderline dan avoidance. Nah, saya bisa menyatakan seperti itu dengan DSM. Nah, ketika dengan transdaeknostik approach, saya bisa membuatnya lebih detail,

karena saya punya data yang lebih banyak untuk saya tampilkan, gitu ya, ke pasian atau pun ke stik holder, gitu ya. Misalnya, pedasarkan assessment yang saya lakukan di 15 September,

gitu ya, individu ini, pasian saya ini mengalami internalizing dengan kategori severe dengan skornya 43. Prominensium temesnya yang muncul adalah dysphoria,

appetite loss, swastodalating, tidak bisa tidur, dan traumatic intrusion. Jadi, ketika saya bilang, ini loh, internalizing skornya 43, saya masih bisa breakdown lagi dengan lebih lanjut,

internalizingnya itu yang dialami seperti apa, gitu ya. Oh, individu ini mengalami disinhibited externalizing dengan skor sekian. Nah, subfaktor apa saja yang kemudian muncul?

Symptom apa saja yang kemudian menunjul? Nah, itu bisa saya deskripsikan sampai ke sub -profil dan subfaktor -nya. Contohnya adalah seperti ini.

Jadi benar -benar data -driven. Tapi akibatnya bisa jadi klien, warganya ataupun stakeholder yang lain menjadi overwhelm atau bingung.

Kita berhadapan dengan informasi yang demikian detail dibandingkan dengan DSM yang lebih one -dimensional dalam penyampaian informasinya.

Nah, oleh karena itu, implicasi dari pendekatan ini, klinisi dapat berfokus menunjukkan gejala secara spesifik, seperti yang saya sampaikan. Keberhasilan terapi dapat ukur dengan akurat dan pengukuran itu bisa dilakukan di level spektral hingga ke subfaktor dengan lebih detail atau spesifik.

Nah, selanjutnya kita akan masuk ke network approach. Namun, kita akan jeda sejenak sebelum kita lanjut ke bagian berikutnya.

Network & clinical staging, NCS

Referensi

Dokumen terkait

In the Chinese world – such as in China, Hong Kong, Macau and Taiwan –, when meals are eaten within a domestic setting, they consist of a staple food fan 飯 and accompaniments including

The second objective is to explore the strategic processes that accompany such transformation, such as rising productivity of rice farming and production of high-value crops and