1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Jumlah penduduk yang semakin meningkat merupakan masalah besar bagi negara-negara di dunia khususnya negara yang berkembang seperti Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan jumlah peduduk terbesar ke-4 di dunia setelah china, india, dan amerika serikat. Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat dapat menimbulkan permasalahanyang kompleks bagi suatu negara seperti masalah ekonomi,social,Pendidikan budaya dan kriminal. Keadaan masyarakat Indonesia pada saat ini dirasakan masih sangat memprihatinkan . banyaknya masyarakat yang belum mendapatkan kesejahteraan yang layak untuk keberlangsungan hidupnya. Minimnya lapangan pekerjaan, pembangunan yang tidak merata dan kepadatan penduduk di masing-masing daerah menjadi salah satu contoh penyebab banyaknya kemiskinan di Indonesia. Hal tersebut ditambah dengan kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilakukan oleh masyarakat indonesia seperti merokok.
Kemiskinan merupakan sebuah masalah yang memiliki sifat multidimensional karena berkaitan dengan aspek social, ekonomi, budaya dan lainnya. Rumah tangga miskin yang menerima bantuan seperti program Indonesia pintar, Raskin dan jamkesda merupakan rumah tangga yang berpotensi memiliki pengeluaran konsumsi rokok setara dengan beras. Indonesia merupakan salah satu negara konsumen dan produsen rokok terbesar di dunia.Indonesia merupakan salah satu negara konsumen tembakau yang tinggi di ASEAN. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) prevalensi orang dewasa
2
yang merokok di Indonesia setiap hari cukup tinggi. Konsumsi rokok merupakan suatu kekhawatiran bagi negara berkembang seperti Indonesia. Sebagian besar dari penduduk Indonesia merupakan perokok aktif yang berarti besarnya penyumbang kemiskinan di Indonesia.
Gambar I.1
Diagram Batang Perkembangan tingkat kemiskinan di Kota Medan
Berdasarkan gambar diagram diatas secara umum, pada periode Maret 2011 – Maret 2022 tingkat kemiskinan di SumateraUtara secara linear cenderung menurun meskipun terjadi fluktuasi dalam jumlah maupun persentase penduduk miskin. Ada dua (2) fase turun naik yang terjadi, fase pertama dari Maret 2011 cenderung menurun hingga Maret 2014 dan kemudian meningkat hingga Maret 2017. Fase kedua terjadi penurunan pada September 2017 hingga Maret 2020, lalu mulai meningkat pada September 2020. Kenaikan tingkat kemiskinan pada fase pertama, khususnya pada Maret 2015 hingga Maret 2017 dipicu oleh kenaikan harga barang kebutuhan pokok sebagai akibat dari kenaikan harga bahan bakar minyak. Sementara itu, kenaikan jumlah dan persentase penduduk miskin pada fase kedua, periode Maret 2020 hingga Maret
Sumber : BPS Sumut Tahun 2011-2022
2021 merupakan dampak terjadinya pandemi Covid-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia. Sebaliknya keadaan sejak September 2021 hingga Maret 2022 terjadi penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan pada bulan Maret 2022 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 1.268,19 ribu jiwa atau sebesar 8,42 persen terhadap total penduduk Provinsi Sumatera Utara. Jumlah penduduk miskin tersebut menurun jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2021. Tercatat jumlah penduduk miskin sebanyak 1.343,86 ribu jiwa atau sebesar 9,01 persen pada Maret 2021, dimana terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 76 ribu jiwa pada periode Maret 2021 - Maret 2022, dan penurunan persentase penduduk miskin sebesar 0,59 poin. Jika dibandingkan dengan keadaan semester lalu pada September 2021, dimana jumlah penduduk miskin sebanyak 1.273,07 ribu jiwa dengan persentase 8,49 persen, terjadi penurunan sebanyak 4,9 ribu jiwa dan penurunan persentase penduduk miskin sebesar 0,07 poin. Berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode September 2021 - Maret 2022, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan meningkat sebanyak 14,82 ribu jiwa, sedangkan di perdesaan turun sebanyak 19,70 ribu jiwa. Persentase penduduk miskin di perkotaan meningkat dari 8,68 persen menjadi 8,76 persen, sebaliknya di perdesaaan, turun dari 8,26 persen menjadi 7,98 persen.
Indonesia merupakan salah satu negara konsumen tembakau yang tinggi di ASEAN. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) prevalensi orang dewasa yang merokok di Indonesia setiap hari cukup tinggi. Konsumsi rokok merupakan suatu kekhawatiran bagi negara berkembang seperti Indonesia. Sebagian besar dari penduduk
4
Indonesia merupakan perokok aktif yang berarti besarnya penyumbang kemiskinan di Indonesia.
Rokok masih menjadi konsumsi utama masyarakat Indonesia pada 2021.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pengeluaran per kapita di Indonesia untuk tembakau dan sirih mencapai Rp76.583 setiap bulan pada 2021 dan setahun mencapai Rp918.996. Pengeluaran per kapita untuk rokok berada di posisi kedua tertinggi dalam kelompok bahan makanan. Posisinya hanya berada di bawah makanan, jadi yang pengeluaran per kapitanya sebesar Rp197.682 setiap bulan atau setahun mencapai Rp2.372 juta. Sementara berdasarkan hasil survei Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang dirilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Juni 2022, selama 10 tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang. Pada 2011 lalu, jumlah perokok sekitar 60,3 juta orang, kemudian bertambah menjadi 69,1 juta jiwa di 2021. Sementara berdasarkan hasil survei Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang dirilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Juni 2022, selama 10 tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang. Pada 2011 lalu, jumlah perokok sekitar 60,3 juta orang, kemudian bertambah menjadi 69,1 juta jiwa di 2021. Berdasarkan data tersebut boleh dibilang pengeluaran rokok masyarakat Indonesia yang sebanyak 69,1 juta perokok mencapai Rp64 triliun pertahun.
Table I.1
Persentase perokok masyarakat menengah bawah dan menengah atas
Sumber :Databoks tahun 2020
Atlas Tembakau Indonesia 2020 melaporkan semakin miskin masyarakat maka konsumsi rokok semakin tinggi. Ini terbukti dari konsumsi rokok laki-laki tertinggi berada pada kuintil kalangan terbawah dengan persentase 82%.Konsumsi rokok tertinggi kedua berasal dari kalangan kuintil menengah bawah sebesar 77,1%.
Kemudian disusul kuintil menengah sebesar 73,3% dan menengah atas 70,2%.
Sementara itu, konsumsi terendah berasal dari masyarakat terkaya. Konsumsi rokok masyarakat dari kuintil atas sebanyak 58,4%. Rokok mempengaruhi tingkat kemiskinan karena bukan bahan makanan pokok, namun tingkat konsumsinya tinggi.
Pasalnya, pengeluaran untuk rokok tersebut mengganggu pendapatan real masyarakat.
Harga roko0k memiliki kontribusi terhadap faktor kemiskinan 11.38% di pedesaan dan 12.22% di perkotaan. Selain itu, anak-anak dari orang tua perokok (perokok kronis) memiliki pertumbuhan berat badan secara rata-rata lebih rendah 1,5 kg dibandingkan dengan anak-anak dari orang tua bukan perokok.
NO NAMA NILAI/%
1 Terbawah 82
2 Menengah Bawah 77,1
3 Menengah 73,3
4 Menengah Atas 70,2
5 Teratas 58,4
6
Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik, rokok masih menjadi konsumsi utama masyarakat Indonesia. Rata-rata pengeluaran rokok dantembakau sebesar Rp 76.583 per kapita per bulan pada maret 2021. Konsumsi rokok tersebut naik 4,3% dari Rp 73.442 per kapita per bulan pada maret 2020. Selain itu konsumsi rokok merupakan yang kedua tertinggi di antara kelompok pengeluaran lainnya. Menurut data yang dikeluarkan oleh BPS, dalam satu bulan, pengeluaran masyarakat Indonesia untuk konsumsi rokok setara dengan gabungan dari konsumsi susu, telur, ayam, dan sayur-sayuran. Pengeluaran masyarakat Indonesia untuk rokok masih menjadi komoditas yang menjadi penyumbang kemiskinan terbesar kedua setelah makanan. Persentase penyebab kemiskinan dari konsumsi rokok hanya kalah dari konsumsi beras yang berada pada posisi pertama dengan kontribusi 20,35 persen di perkotaan dan 25,82 persen di pedesaan. Pengeluaran masyarakat yang sangat besar untuk rokok ini memiliki dampak yang positif untuk pemerintah karena menjadi pemasukan yang besar bagi pemerintah, akan tetapi juga menjadi penyebab kemiskinan bagi masyarakat Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2018 persentase penduduk merokok di Sumatera Utara penduduk usia 15-24 tahun sebanyak 22,4% pada umur 25- 34 sebanyak 35,5% lalu pada umur 35-44% sebanyak 36,4% pada umur 45-54 sebanyak 35% lalu pada umur 55-64 sebanyak 31,6%. Kemudian berdasarkan data BPS tahun 2020 persentase penduduk usia 15 tahun keatas yang merokok di Kota Medan umur 15- 24 tahun sebanyak 12,42% pada umur 25-34 tahun sebanyak 30,7% pada umur 35-44 sebanyak 29,5% pada umur 45-54 sebanyak 35,9% lalu terakhir pada umur 55-65 tahun sebanyak 36,3%.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang “Analisis Konsumsi Rokok Pada Rumah Tangga Miskin Di Kecamatan Medan Marelan”.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat masalah-masalahyang berkaitandengan penelitian ini. Masalah tersebut diidentifikasikansebagai berikut :
1. Tingginya jumlah konsumen rokok dikalangan rumah tangga miskin di Kecamatan Medan Marelan
2. Tingginya angka kemiskinan akibat pengeluaran konsumen rokok diKecamatan Medan Marelan
3. Dampak buruk yang disebabkan dari kebiasaan merokok pada rumah tangga miskin di Kecamatan Medan Marelan
1.3 Batasan dan Rumusan masalah 1.3.1 Batasan masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, permasalahan yang ada cukup luas, sehingga perlu adanya pembatasan masalah yang akan diteliti , serta memperjelas ruang lingkup permasalahan untuk menghasilkan uraian yang sistematis maka batasan masalah dalam penelitian ini adalah tentang Analisis konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Kecamatan MedanMarelan.
1.3.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana pengaruh harga rokok terhadap konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Kecamatan Medan Marelan?
8
2. Bagaimana pengaruh pengeluaran konsumsi rokok terhadap angka kemiskin di Kecamatan Medan Marelan?
3. Bagaimana dampak buruk perekonomian yang disebabkan dari kebiasaan merokok pada rumah tangga miskin di Kecamatan Medan Marelan
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk :
1. Untuk mengetahui pengaruh harga rokok terhadap konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Kecamatan Medan Marelan
2. Untuk mengetahui pengaruh pendapatan konsumsi rokok terhadap angka kemiskinan pada rumah tangga miskin Kecamatan Medan Marelan
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh harga rokok dan konsumsi rokok terhadap angka kemiskinan pada rumah tangga miskin di Kecamatan Medan Marelan.
1.5 Manfaat Penelitian
Peneliti berharap bahwa hasil penelitian ini tidak sekedar menjadi syarat untukmemperoleh gelar master di bidang Ekonomi namun lebih dari itu diharapkanmemberi kemanfaatan bagi berbagai pihak yaitu berupa:
a. Penelitian ini dapat dijadikan tambahan verifikasi empiris pengujianeksistensi teori yang ada.
b. Dapat digunakan untuk menambah referensi di bidang ilmu ekonomi.
c. Dapat menjadi tolak ukur baru atas implikasi kebijakan terhadap strategi pengentasan kemiskinan yang disampaikan oleh pakar yang terhimpun dalam eksplorasi data yang dilakukan dalam penelitian ini.
d. Dapat menjadi tolok ukur baru dan menyemai pertanyaan empiris yang lebih kritis dari para agen ekonomi praktis terkait studi konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Kecamatan Medan Marelan.
10 BAB II
LANDASAN TEORI 2.1 Uraian Teoritis
2.1.1 Teori Kemiskinan
Kemiskinan menurut Badan Pusat Statistika (2000) merupakan keadaan dimanaseseorang individu atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi kebutuhandasarnya, seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dan memiliki standart tertentu.
Ukuran standar hidup layak yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistika pada 2012 yaitu sebesar Rp 355,740.00/bulan, dengan kata lain, per-individu memiliki penghasilan sebesar Rp 11,000.00/hari. Penduduk yang memiliki penghasilan di bawah standar yang telah ditentukan oleh Badan Pusat Statistika dianggap sebagai penduduk miskin.
Kemiskinan menurut World Bank merupakan keadaan dimana seorang individu atau kelompok tidak memiliki pilihan atau peluang untuk meningkatkan taraf hirdupnya guna menjalani kehidupan yang sehat dan lebih baik sesuai standar hidup, memiliki harga diri dan dihargai oleh sesamanya. standar rasio tingkat kemiskinan yang ditetapkan oleh WorldBank sebesar $2/day atau sekitar Rp 22,000.00/hari.
Kemiskinan menjadi salah satu penyakit dalam perekonomian suatu negara, terlebih lagi pada negara-negara yang masih berkembang atau negara ketiga, dimana masalah kemiskinan bersifat kompleks dan multidimensional. Kemiskinan bersifat kompleks artinya kemiskinan tidak muncul secara mendadak, namun memiliki latar belakang yang cukup panjang dan rumit sehingga sangat sulit untuk mengetahui akar dari masalah
kemiskinan itu sendiri, sedangkan kemiskinan bersifat multidimensional artinya melihat dari banyaknya kebutuhan manusia yang bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki aspek primer berupa kemiskinan akan aset, organisasi sosial politik, pengetahuan, dan keterampilan, serta aset sekunder berupa kemiskinan akan jaringan sosial, sumber-sumber keuangan, dan informasi. Sebagai dampak dari sifat kemiskinan tersebut tergambarkan dalam bentuk kekurangan gizi, air, dan perumahan yang tidak sesuai, pelayanan kesehatan yang kurang baik, serta rendahnya tingkat pendidikan. Pola kemiskinan Menurut Sumitro Djojohadikusumo (1995:21) terbagi menjadi empat bagian, yaitu :
Persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun-temurun.
Cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan .
Seasonal poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti dijumpai pada kasusnelayan dan petani tanaman pangan.
Accidental poverty, yaitu kemiskinan karena terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan penduduk.
Kondisi kemiskinan dapat menyebabkan dampak atau akibat. Kemiskinan sebagaimana permasalahan sosial dampak memberikan dampak individu tersebut serta masyarakat luas. Berikut ini beberapa dampak kemiskinan di Indonesia, diantaranya :
1. Meningkatnya angka pengangguran
12
2. Banyaknya kasus putus sekolah
3. Muncul berbagai masalah Kesehatan di masyarakat 4. Meningkatnya tindakan kriminalitas
5. Angka kematian meningkat
6. Konflik yang terjadi di masyarakat akan bermunculan
Demikian persentase merokok dari badan pusat statistik penduduk di Sumatera Utara pada tahun 2020 sebanyak 27,28% pada tahun 2021 sebanyak27,24% lalu pada tahun 2022 sebanyak 25,32% dan sudah jelas bahwa angka kemiskinan di Kota Medan juga pasti meningkat pesat pada tahun 2020 sebanyak 8,75% pada tahun 2021 sebanyak 9,01% dan pada tahun 2022 sebanyak 8,42%.
2.1.2 Pengertian Teori Konsumsi
Teori Konsumsi Keynes Teori konsumsi yang diungkapkan oleh Keynes adalah teori konsumsi yang akan menjadi alat analisis dalam penelitian ini. Teori konsumsi Keynes diungkapkan pada tahun 1936 dalam bukunya yang berjudul the General Theory of Employment, Interest and Money. Teori konsumsi Keynes menjelaskan adanya hubungan antara pendapatan yang diterima saat ini (pendapatan disposable) dengan konsumsi yang dilakukan saat ini juga. Dengan kata lain pendapatan yang dimiliki dalam suatu waktu tertentu akan mempengaruhi konsumsi yang dilakukan oleh manusia dalam waktu itu juga. Apabila pendapatan meningkat maka konsumsi yang dilakukan juga akan meningkat, begitu pula sebaliknya.
1. Hubungan Antara Pendapatan Disposable dan Konsumsi.
Seperti penjelasan sebelumnya mengenai hubungan pendapatan disposable dengan konsumsi, Rahardja dan Manurung (2008) menjelaskan teori konsumsi Keynes adalah, konsumsi yang dilakukan saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan
disposable saat ini. Jika pendapatan disposable meningkat, maka konsumsi juga akan meningkat. Selanjutnya menurut Keynes ada batas konsumsi minimal yang tidak tergantung pada pendapatan. Artinya tingkat konsumsi itu harus dipenuhi, walaupun tingkat pendapatan sama dengan nol. Itulah yang disebut dengan konsumsi otonomus.
Fungsi persamaan 1 (teori konsumsi Keynes) : C = C0 + bYd
Di mana:
C = Konsumsi
C0 = Konsumsi otonomus
b = Marginal Propensity to Consume (MPC) Yd = Pendapatan Disposable
0 ≤ b ≥ 1
Yang perlu diperhatikan dalam fungsi konsumsi Keynes adalah:
1. Merupakan variabel riil/nyata, yaitu bahwa fungsi konsumsi menunjukkan hubungan antara pendapatan dengan pengeluaran konsumsi yang keduanya dinyatakan dengan menggunakan tingkat harga konstan, bukan hubungan antara pendapatan nominal dengan pengeluaran konsumsi nominal.
2. Merupakan pendapatan yang terjadi, bukan pendapatan yang diperoleh sebelumnya, dan bukan pendapatan yang diperkirakan terjadi di masa datang.
3. Merupakan pendapatan absolut, bukan pendapatan relatif atau pendapatan permanen, sebagaimana dikemukakan oleh ahli ekonomi lainnya. Untuk lebih memahami hubungan antara pendapatan disposable dengan konsumsi dapat diperhatikan pada tabel 1.1
14
Tabel 1.1 : Hubungan Antara Pendapatan Disposable dan konsumsi Pendapatan
Disposabel
Konsumsi ∆ Pendapatan Disposabel
∆ Konsumsi
0 200
1000 1000 1000 800
2000 1800 1000 800
3000 2600 1000 800
4000 3400 1000 800
5000 4200 1000 800
Keterangan : Δ = perubahan
Sumber: Rahardja dan Manurung. Teori Ekonomi Makro.
Tabel di atas menjelaskan, pada saat tingkat pendapatan sama dengan nol, tingkat
konsumsi adalah 200. Dengan demikian berarti konsumsi minimal (autonomous consumption) sama dengan 200. Ketika pendapatan disposable meningkat menjadi 1.000, 2.000, 3.000, dan seterusnya, konsumsi juga meningkat menjadi 1.000, 1.800, 2.600, dan seterusnya. Kenaikan konsumsi tersebut disebabkan setiap 1.000 unit kenaikan pendapatan disposable, sebanyak 800 digunakan untuk tambahan konsumsi.
Terlihat bahwa tambahan konsumsi tidak sebesar tambahan pendapatan disposable.
Tingkat pendapatan 1.000 merupakan tingkat pendapatan minimal agar rumah tangga mampu membiayai seluruh konsumsinya, tanpa harus mengorek tabungan.
2. Kecenderungan Mengkonsumsi Marjinal (Marginal Propensity to Consume) Kecenderungan mengonsumsi marjinal (Marginal Propensity to Consume, disingkat (MPC) adalah konsep yang memberikan gambaran tentang berapa konsumsi akan bertambah bila pendapatan disposabel bertambah satu unit.
Fungsi persamaan MPC (2) :
MPC =
Seperti pada uraian tabel 1, jumlah tambahan konsumsi tidak akan lebih besar daripada tambahan pendapatan disposable, Sehingga angka MPC tidak akan lebih besar dari satu. Angka MPC juga tidak mungkin negatif, dimana jika pendapatan disposable terus meningkat, konsumsi terus menurun sampai nol (tidak ada konsumsi). Sebab manusia tidak mungkin hidup di bawah batas konsumsi minimal. Karena itu 0 < MPC <
1. Dalam persamaan 1, koefisien parameter b adalah MPC. Besarnya MPC menunjukkan kemiringan (slop) kurva konsumsi. Gambar 1 yang dibuat berdasarkan tabel 1, menunjukkan grafik konsumsi yang berbentuk garis lurus. Kurva konsumsi yang sudut kemiringannya lebih kecil daripada susut 45 derajat memunjukkan bahwa MPC tidak mungkin lebih besar dari satu. Hal ini dibuktikan bahwa ketika pendapatan disposable meningkat 1000 unit, konsumsi hanya meningkat 800 unit, atau angka MPC sama dengan 0,8.
Gambar 1.1 : Kurva Konsumsi
Sumber: Rahardja dan Manurung. Teori Ekonomi Makro.
16
Nilai MPC akan semakin kecil pada saat pendapatan disposable meningkat.
Pertambahan konsumsi semakin menurun bila pendapatan disposable terus meningkat.
2.1.4 Pengertian Teori Permintaan
Pada prinsipnya, teori permintaan menjelaskan mengenai ciri hubungan antara jumlah permintaan dan harga. Apabila hubungan antara permintaan dan harga tersebut kita gambarkan dalam sebuah grafik maka grafik tersebut kita kenal dengan kurva permintaan. Kurva permintaan secara umum bersifat positif.
1.1 Beberapa penentu permintaan
Permintaan terhadap suatu barang ditentukan oleh banyak faktor. Di antara faktor-faktor tersebut yang dominan berpengaruh antara lain adalah :
- Harga barang itu sendiri
- Pendapatan rumah tangga dan pendapatan rata-rata masyarakat - Jumlah penduduk
Merupakan hal yang relatif sulit apabila kita menganalisis pengaruh berbagai faktor tersebut terhadap permintaan suatu barang. Oleh karena itu, dalam menganalisis teori permintaan perlu untuk dibuat analisis yang lebih sederhana. Yang perlu menjadi pertimbangan penting adalah dalam analisis ekonomi dianggap bahwa permintaan suatu barang terutama dipengaruhi oleh harganya, sehingga dengan kata lain dalam teori permintaan yang utama dianalisis adalah hubungan antara jumlah permintaan suatu barang terhadap harga barang tersebut. Hal tersebut diasumsikan bahwa faktor-faktor lain tidak mengalami perubahan atau ceteris paribus. Tetapi asumsi ini tidak berarti bahwa kita dapat mengabaikan faktor-faktor yang dianggap tetap tersebut. Setelah
menganalisis hubungan antara jumlah permintaan dengan tingkat harga maka selanjutnya boleh mengasumsikan bahwa harga adalah tetap dan kemudian menganalisis mengenai permintaan suatu barang yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya atau faktor selain harga. Dengan demikian dapat diketahui mengenai bagaimana permintaan terhadap suatu barang akan berubah apabila harga barang lain yang sejenis atau pendapatan masyarakat misalnya mengalami perubahan.
1.2 Harga dan Permintaan.
Pada hakekatnya hukum permintaan merupakan suatu pernyataan yang menyatakan bahwa makin rendah harga suatu barang maka semakin banyak permintaan akan barang tersebut. Sebaliknya, makin tinggi harga suatu barang maka semakin sedikit permintaan terhadap barang tersebut. Mengapa hal tersebut demikian ?
a. Kenaikan harga akan menyebabkan pera pembeli mencari barang lain yang sejenis yang dapat digunakan sebagai pengganti terhadap barang yang mengalami kenaikan. Demikian pula sebaliknya, apabila harga turun maka orang akan mengurangi pembelian terhadap barang lain yang sama jenisnya dan menambah pembelian terhadap barang yang mengalami penurunan harga tersebut.
b. Kenaikan harga akan menyebabkan pendapatan riil berkurang atau merosot. Pendapatan yang merosot tersebut memaksa para pembeli untuk mengurangi pembeliannya terhadap berbagai jenis barang, terutama barang yang mengalami kenaikan harga.
1.3. Pengertian Teori Permintaan
18
berbagai tingkat harga selama periode tertentu. Teori permintaan menerangkan tentang ciri hubungan antara jumlah permintaan dan harga. Dalam menganalisa permintaan perlu dibedakan antara permintaan dan jumlah barang yang diminta.
Permintaan menggambarkan keadaan keseluruhan hubungan antara harga dan jumlah permintaan. Sedangkan jumlah barang yang diminta merupakan banyaknya permintaan pada tingkat harga tertentu. Hubungan antara jumlah permintaan dan harga ini menimbulkan adanyanya hukum permintaan. Hukum permintaan pada hakekatnya merupakan suatu hipotesis yang menyatakan bahwa semakin rendah harga suatu barang maka semakin banyak permintaan atas barang tersebut, begitupun sebaliknya.
Berdasarkan ciri hubungan antara permintaan dan harga dapat dilihat pada Gambar kurva II.1 adalah sebagai berikut :
Gambar kurva II.1 Teori Permintaan
Untuk barang normal, pada harga yang sama bertambahnya pendapatan konsumen dan meratanya pendapatan bisa menyebabkan meningkatnya permintaan.
Dengan demikian, kurva permintaan barang yang arahnya negatif ini akan bergeser ke kanan, dengan syarat ceterisparibus. Sebaliknya untuk barang inferior, bertambahnya
pendapatan justru mengakibatkan berkurangnya permintaan. Ini berarti dengan analisis permintaan naiknya pendapatan, kuva permintaan akan bergeser ke kiri, ceteris paribus.
Untuk barang netral, bertambah atau berkurangnya pendapatan tidak akan mempengaruhi fungsi permintaan. Barang-barang normal, seperti kacang kedelai, pakaian, dan sebagainya, selalu mengikuti hokum permintaan yang menyatakan bahwa makin tinggi harga, makin berkurang permintaan, atau sebaliknya. Sedangkan pada barang netral, seperti garam, tinggi rendahnya harga tidak akan (sedikit sekali) mempengaruhi fluktuasi. Sebab, walaupun harga garam turun, orang tidak akan menambah konsumsi garam. Begitu juga sebaliknya bila harga garam naik, konsumen tidak bisa mengurangi kebutuhannya akan garam, kecuali bagi konsumen yang mengalami penyakit tertentu. (Daniel, M., 2001:16)
2.2 Penelitian Terdahulu
Tabel II.1 Penelitian Terdahulu No Nama Penelitian Judul
Penelitian
Metode Analisis
Hasil Penilitian 1. Surjono, Nasruddin
Djoko dan Piping Setyo Handayanis
Dampak pendapatan dan
harga rokok terhadap tingkat konsumsi rokok
pada rumah tangga miskin di Indonesia
Model Linear Approximation Almost Ideal Demand System (LA/AIDS)
Rokok merupakan barangnormal bagi rumah tangga miskin, ketika terdapat kenaikan pendapatan maka konsumsi rokok juga akan meningkat. Ketika terjadi kenaikan harga rokok, maka rumah tangga miskin
Mengorbankan konsumsi kelompok komoditi yang lain.
2. Firdaus,Muhammad dan
TriSuryaningsih
Kemiskinan dan tingginya konsumsi rokok : Faktor penyebab
Metode OLS Faktoryangmempengaruhikonsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa adalah pendapatan, anggota rumah tangga dewasa dan konsumsi non rokok.
20
sulitnya implementasi Green
Economic di Pulau Jawa 3. Siahpush, M, Sosioeconomic
Status and Tobacco
Metode OLS Sebagian besar pendapatan rumah tangga yang merokok dengan sosial ekonomi rendah.
Sumber : Jurnal dan Penelitian terdahulu 1.3 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual diperlukan untuk memudahkan penelitian, sebab itu merupakan pedoman berpikir bagi peneliti. Oleh karena itu, seseorang peneliti harus terlebih dahulu memiliki suatu kerangka konsep sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana ia menyoroti masalah yang akan dipilihnya.
Berdasarkan pada landasan teoritis, maka kerangka konseptual yang disajikan dalam penelitian dapat dilihat pada gambar berikut ini :
G a
m b a r
I
I.2 Kerangka Konseptual
Harga Rokok (X₁)
Pendapatan Keluarga Miskin (X₂)
Konsumsi Rokok Keluarga Miskin (Y)
1. Harga Rokok terhadap Konsumsi Rokok keluarga miskin
Secara umum, rokok telah menjadi kebutuhan dasar setara dengan kebutuhan pangan. Pengeluaran untuk rokok bagi keluarga miskin menjadi prioritas mencapai 400.000 perbulan. Sementara itu, rokok mempengaruhi tingkat kemiskinan karena bukan bahan makanan pokok, namun tingkat konsumsinya tinggi. Menurut hasil dari databoks tahun 2022 pengeluaran rokok tersebut menganggu pendapatan masyarakat miskin. Harga rokok memiliki kontribusi terhadap faktor kemiskinan 11.38%
dipedesaan dan 12.22% di perkotaan.
2. Pendapatan keluarga miskin terhadap konsumsi rokok keluarga miskin
Keluarga miskin menghabiskan Sebagian pendapatan mereka untuk membeli rokok, merokok juga meningkatkan kemiskinan individu dan keluarga dengan cara mengalihkan penggunaan pendapatan rumah tangga dari kebutuhan pokok manusia, seperti pangan, perumahan, Pendidikan dan kesehatan. Menurut hasil dari databoks tahun tahun 2022 perokok rumah tangga miskin menghabiskan rata-rata 11.5% dari pendapatan rumah tangga tersebut untuk produk-produk tembakau, dibanding 11%
untuk daging, ikan, telur, beras, dan susu. Setelah itu 2,3% untuk kesehatan dan 3,2%
untuk pendidikan. Konsumsi rokok oleh anggota rumah tangga miskin dapat mempersulit upaya mengatasi kemiskinan karena pendapatan rumah tangga keluarga miskin yang sudah terbatas makin tidak mencukupi ketika mereka harus mengeluarkan biaya rokok.
22
2.3 Hipotesis
Hipotesis ialah suatu pendapat atau kesimpulan yang sifatnya masih sementara atau suatu kemungkinan jawaban dari masalah yang diajukan. Hipotesis muncul sebagai dugaan yang tegas dari peneliti berdasarkan teori yang telah ada.
Berdasarkan kerangka konseptual di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut:
1. Harga Rokok berpengaruh pada konsumsi rokok rumah tangga miskin di Kecamatan Medan Marelan
2. Pendapatan keluarga miskin berpengaruh terhadap konsumsi rokok keluarga miskin di Kecamatan Medan Marelan
3. Harga Rokok dan pendapatan keluarga miskin berpengaruh terhadap konsumsi rokok keluarga miskin di Kecamatan Medan Marelan