• Tidak ada hasil yang ditemukan

inventarisasi jamur makro di kawasan cagar alam

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "inventarisasi jamur makro di kawasan cagar alam"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

INVENTARISASI JAMUR MAKRO DI KAWASAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

SUMATERA BARAT

ARTIKEL ILMIAH

LINDA YULIANTI NIM. 11010146

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) PGRI SUMATERA BARAT

PADANG

2015

(2)
(3)

INVENTARISASI JAMUR MAKRO DI KAWASAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

SUMATERA BARAT

Linda Yulianti1, Mades Fifendy2, Rizki1

1Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat

2Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Padang linda.zhypy@gmail.com

ABSTRACT

Macro fungi is heterotrophic organism that has some positive and negative roles, such as decomposer, food resources, and even dangerous for consumption. Physical factors mostly affect the growth of the macro fungi. Cagar Alam Lembah Harau in Lima Puluh Kota is one of location that has appropriate physical factor for the growth of macro fungi. The purpose of this research is to inventory the species of macro fungi that have found in Cagar Alam Lembah Harau, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. This study was conducted from June to September 2015 by using descriptive survey method. Identification carried out in the Laboratory of Botany STKIP PGRI Sumatera Barat. After doing the study, found 36 species that consist of 21 species belong to Ordo Agaricales, 13 species belong to Ordo Aphylloporales, then 2 other species belong to Ordo Dacrymycetales. Those fungi were live in conditions of ambient temperatures between 22oC-26oC, substrate pH 6.2-7, and the humidity is 72%-88%.

Keywords: inventory, macro fungi, cagar alam

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang dikenal memiliki sumber daya hayati yang beraneka ragam, mulai dari organisme tingkat rendah hingga tingkat tinggi. Salah satu keunikan yang memperkaya serta berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati yang terdapat di Indonesia adalah jamur makro (macro fungi). Jamur makro banyak tersebar dan memiliki peran penting sebagai pengurai utama yang dapat mempengaruhi keseimbangan ekosistem serta bermanfaat sebagai agen produsen di bidang farmasi dan industri pangan (Campbell, 2003).

Beberapa jenis jamur makro ada tumbuh secara liar, sebagian jenis lainnya sudah mulai dimanfaatkan bahkan telah dibudidayakan oleh masyarakat, bahkan ada sebagian jamur makro yang mengandung racun hingga menyebabkan kematian (Suriawiria, 1986). Masih banyak jenis jamur makroskopis yang tumbuh liar belum dikenal dan diketahui manfaatnya oleh masyarakat, hal ini disebabkan karena kurangnya

informasi dan literatur mengenai jamur yang tersebar di Indonesia.

Jamur makro dapat tumbuh dengan baik jika faktor lingkungan yang ditempati sesuai dengan kebutuhan kehidupannya.

Salah satu tempat yang memungkinkan jamur makro dapat tumbuh baik adalah di daerah pegunungan. Hiola (2011) menuturkan pada wilayah tersebut memiliki kelembaban yang cukup tinggi serta banyaknya kayu lapuk dan serasah daun. Salah satu hutan yang terdapat di Sumatera Barat ini adalah hutan di kawasan Cagar Alam Lembah Harau Kabupaten Lima Puluh Kota. Kondisi wilayah dari Cagar Alam Lembah Harau ini memiliki kelembaban yang tinggi, yaitu 60%-90%, curah hujan rata-rata dari 30 tahun terakhir yaitu 2.673,50 mm (tahunan), temperatur dari kawasan ini rata-rata minimum 0o-17o C dan rata-rata maksimum 25oC-33oC. Kawasan ini juga ditumbuhi oleh pohon-pohon yang tumbuh secara alami dan didominasi oleh pohon berdiameter kecil sampai menengah (BKSDA Sumbar, 2012).

(4)

Hasil observasi lapangan, kawasan ini mempunyai keragaman jamur yang cukup tinggi, kondisi wilayah tersebut menjadi suatu indikasi bagi pertumbuhan jamur.

Menurut Suriawiria (1986) jamur makro dapat tumbuh di serasah daun dan kayu lapuk serta kawasan yang memiliki kelembaban yang tinggi dan pada temperatur rata-rata 23oC-30oC.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 02 Agustus 1979 sebagian kawasan Cagar Alam (CA) Lembah Harau dialihfungsikan menjadi Taman Wisata Alam (TWA). Berdasarkan informasi dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat, ketidakpastian batas Cagar Alam menyebabkan masyarakat tanpa sengaja menggarap lahan di kawasan Cagar Alam menjadi lahan perkebunan. Dari pengalaman pengelolaan kawasan, daerah Cagar Alam juga cukup rawan kebakaran.

Hal tersebut dapat menyebabkan rusaknya keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya, ditambah lagi belum adanya data literatur tentang jamur makro yang terdapat di kawasan Cagar Alam Lembah Harau.

Untuk mendukung upaya konservasi wilayah ini, maka perlu diketahui terlebih dahulu data tentang jenis flora, salah satunya jamur makro.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis melakukan penelitian yang bertujuan untuk menginventarisasi species jamur makro yang ditemukan di kawasan Cagar Alam Lembah Harau Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni-September 2015. Metode yang digunakan adalah Survey deskriptif dengan menjelajahi kawasan Cagar Alam Lembah Harau. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat tulis, parang, pisau, kamera digital, kertas label, baki, kantong kertas, toples, Thermohygrometer, Soil tester, altimeter, dan GPS. Bahan yang akan digunakan adalah Formaldehid Acetid Acid (FAA) dan jamur makroskopis.

Penelitian ini diawali dengan tahap persiapan, yaitu peninjauan lokasi penelitian serta mempersiapkan alat, bahan, dan surat perizinan yang dibutuhkan saat penelitian.

Kemudian dilanjutkan dengan tahap

pelaksanaan di lapangan, yaitu pengambilan sampel dilakukan melalui jalur yang dimulai dari area parkir kemudian dilanjutkan berjalan menuju arah Bukik Rangkak hingga menuju mengitari hutan. Jamur yang ditemukan langsung diamati dan dilakukan pengukuran kelembaban, suhu, pH, ketinggian, dan titik koordinat. Sampel tersebut difoto, diambil, dan dilakukan pencatatan berdasarkan karakter makroskopisnya. Agar tetap dalam kondisi baik, jamur yang lunak ditempatkan dalam kotak koleksi dan direndam menggunakan FAA, sedangkan untuk jamur yang kering dan keras dimasukkan ke dalam kantong kertas. Setiap jamur yang ditemukan dengan species yang sama diambil satu sampel saja.

Di laboratorium, jamur yang dikumpulkan di lapangan diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri yang ada.

Pengidentifikasian dilakukan dengan mencocokkan specimen menggunakan buku identifikasi, internet, dan jurnal. Buku pedoman yang digunakan adalah Alexopoulus (1986), Unus Suriawiria (1986), John Webster (2007), dan Muzayyinah (2009). Sampel yang telah diidentifikasi dilakukan pengawetan basah untuk jamur yang lunak dengan menggunakan FAA dan pengawetan kering untuk jamur yang keras dikeringkan di dalam oven pada suhu 45oC sampai specimen benar-benar kering.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ditemukan 36 species jamur Basidiomycota yang terdiri dari 2 kelas, 4 ordo, 15 familia, dan 22 genus. Jamur yang paling banyak ditemukan adalah dari ordo Agaricales dan Aphylloporales dan yang paling sedikit adalah dari Ordo Dacrymycetales.

Tabel 1.Hasil Pengukuran Faktor Fisik di Kawasan Cagar Alam Lembah Harau Kabuaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.

Faktor Fisik Hasil Pengukuran Suhu

Kelembaban pH Substrat

22-26 (oC) 72-88 (%)

6.2-7

(5)

Tabel 2.Species Jamur Makro yang Ditemukan di Kawasan Cagar Alam Lembah Harau Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.

Kelas/Ordo Species

Agarycomycetes 1. Agaricales

2. Aphylloporales

3. Auriculariales Dacrymycetes

4. Dacrymycetales

1. Collybia sp 2. Mycena galopus 3. Tricholoma fulvum 4. Cortinarius iodes 5. Gymnopilus aeruginosus 6. Russula aeruginea 7. Crepidotus mollis 8. Gymnopus foetidum 9. Marasmieus siccus 10. Marasmieus oreades 11. Marasmieus candidus 12. Coprinus disseminatus 13. Coprinus micaceus 14. Coprinus impatiens 15. Boletus suillus 16. Boletus edulis 17. Boletus ortanipes 18. Boletus bicolor 19. Boletus sp 20. Species 1 21. Species 2

22. Lentinus polychrous 23. Lentinus sajorkaju 24. Polyporus cratecellus 25. Polyporus varius 26. Earliella scrabosa 27. Microporus xantopus 28. Trametes elegans 29. Trametes versicolor 30. Ganoderma lucidum 31. Ganoderma aplanatum 32. Amauroderma rugosum 33. Amauroderma longipes 34. Schizophyllum commune 35. Auricularia auricula 36. Dacrymyces stillatus

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Ordo Agaricales yang ditemukan terdiri atas 21 species. Penelitian Tampubolon dkk. (2013) di Hutan Pendidikan USU yang menemukan Ordo Agaricales sebagai Ordo dengan species terbesar ditemukan, yaitu sebanyak 18 species. Dalam beberapa penelitian, species dari ordo Agaricales selalu ditemukan dan merupakan ordo dengan jumlah species terbesar yang ditemukan (Tampubolon dkk., 2013).

Ordo Aphylloporales juga merupakan ordo terbesar yang ditemukan

pada penelitian ini, terdiri dari 4 familia dan 13 species. Familia Polyporaceae merupakan familia terbesar dengan 6 species. Species dari familia ini ditemukan dibeberapa tempat pada ketinggian yang berbeda. Menurut Tampubolon dkk. (2013) Familia Polyporaceae memiliki kemampuan adaptasi yang baik di beberapa tempat pada ketinggian yang berbeda dengan kelembaban yang tinggi sehingga dapat ditemukan dengan mudah. Alexopoulus et al. (1979) juga mengungkapkan bahwa species yang tergolong Ordo Aphylloporales merupakan jenis jamur yang paling banyak ditemukan tumbuh pada batang pohon, baik pohon yang masih hidup maupun yang telah kering atau lapuk, dan sebagian jenis lainnya dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan.

Jamur dari Ordo Dacrymycetales yang paling sedikit ditemukan di lokasi ini, yaitu sebanyak 1 species. Umumnya Dacrymycetales hidup pada habitat yang alami dan tidak memiliki anggota yang banyak sehingga sulit dijumpai (Sari dkk., 2014). Ordo ini merupakan jamur yang memiliki tubuh buah seperti jelly hidup saprofit. Ketika masih muda, jamur ini memiliki tubuh buah berwarna orange, setelah dewasa tubuh buah jamur ini berwarna kuning (Alexopoulus et al., 1996).

Dari 36 jenis jamur makro yang ditemukan di Cagar Alam Lembah Harau ini, sebagian besar jamur tumbuh pada substrat kayu lapuk dan di tumpukan serasah/tanah.

Menurut Suriawiria (1986) jamur makro dapat tumbuh di serasah daun dan kayu lapuk serta kawasan yang memiliki kelembaban yang tinggi. Fuhrer dalam Syafrizal dkk.

(2013) menyatakan jamur makroskopis yang terdapat di hutan umumnya tumbuh pada kayu lapuk, dan serasah daun.

Jamur yang ditemukan di kawasan Cagar Alam Lembah Harau, ada yang tidak ditemukan pada beberapa sumber penelitian yang dipublikasikan. Penelitian Jusana (2013) di Cagar Alam Lembah Anai, Wahyudi dkk. (2012) di Kubu Raya, dan Tampubolon dkk. (2013) di Hutan Pendidikan USU tidak menemukan species jamur Tricholoma fulvum, Gymnopilus aeruginosus, Lentinus sajorkaju, Crepidotus mollis, dan Dacrymyces stillatus. Keadaan ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berbeda di tiap daerah. Suin dalam Sari (2014) menyatakan faktor lingkungan sangat

(6)

menentukan penyebaran dan pertumbuhan organisme jamur makro.

Banyaknya species jamur makro yang ditemukan di kawasan Cagar Alam Lembah Harau Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat, karena lokasi penelitian ini merupakan daerah hutan lindung yang ditumbuhi oleh pohon-pohon yang hidup secara rapat dan alami. Hiola (2011) menuturkan hutan merupakan lokasi yang memiliki kelembaban yang cukup tinggi serta banyaknya kayu lapuk dan serasah daun, sehingga sangat cocok untuk menjadi habitat tumbuh berkembangnya jamur makro.

Kawasan ini juga memiliki kisaran pH substrat 6,2-7, suhu lingkungan berkisar antara 22oC-26oC, sedangkan kelembaban udara berkisar antara 72%-88%. Berdasarkan kondisi tersebut sangat mendukung untuk pertumbuhan jamur terutama jamur makroskopis. Menurut Gunawan dalam Syafrizal (2013) jamur makro dapat tumbuh dengan, kelembaban relatif 80%-90%, pH optimum 5,5-7,5 dan kisaran suhu 20oC- 30oC.

KESIMPULAN DAN SARAN

Ditemukan 36 species jamur makro yang termasuk ke dalam 2 kelas, 4 ordo, 15 familia, 23 genus, dan ada 2 species jamur yang tidak teridentifikasi.

Disarankan kepada peneliti lain untuk melanjutkan penelitian mengenai jenis- jenis jamur yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di kawasan Cagar Alam Lembah Harau Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Alexopoulus, C.J., C.W Mims, M. Blacwell.

1996. Introductory Mycology.

Fourth Edition. Jonh Wiley & Sons, Inc : New York.

BKSDA. 2012. Buku Informasi Kawasan Konservasi Balai KSDA Sumatera Barat. BKSDA Sumatera Barat:

Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Campbell, N. A.,Reece J. B., dan Mitchell, L.

G. 2003. Biologi. Edisi ke- 5 Jilid 2.

Jakarta: Erlangga.

Hiola, F. 2011. Keanekaragaman Jamur Basidiomycota Di kawasan Gunung

Bawakaraeng (Studi Kasus: Kawasan Sekitar Desa Lembanna Kecamatan Tinggi Moncong Kabu paten Gowa).

Jurnal. Bionature. Jurusan Biologi Universitas Negeri Makasar. Vol. 12 (2): 93-100

Jusana, S, P. 2013. Inventarisasi Jamur Tingkat Tinggi Di Kawasan Cagar alam Lembah Anai Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat. Skripsi.

Jurusan Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat.

Sari, I. M. 2014. Jenis-Jenis Jamur Basidiomycetes di Hutan Bukit Beluan Kecamatan Hulu Gurung Kabupaten Kapuas Hulu. Jurnal.

Program Studi Biologi Universitas Tanjungpura.

Suriawiria, U. 1986. Pengantar untuk Mengenal dan Menanam Jamur.

Bandung: Angkasa.

Syafrizal S., Laili,F., Titin. 2013.

Inventarisasi Jamur Makroskopis Di Hutan Adat Kantuk Dan Implementasinya Dalam Pembuatan Flipbook. Jurnal. Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Untan.

Tampubolon, S., Budi, U., Yunasfi. 2015.

Keanekaragaman Jamur

Makroskopis di Hutan Pendidikan Universitas Sumatera Utara Desa Tongkoh Kabupaten Karo Sumatera Utara. Jurnal. Protobiont. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Vol. 4 (1): 22-28.

Referensi

Dokumen terkait

Berikut ini adalah tahapan dalam menghitung sumber daya alam suatu hutan lindung sampel di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu hutan lindung di wilayah Kabupaten Muara Enim:.. Total