• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isi Sejarah lahirnya UU No 23 Tahun 2014

N/A
N/A
fahri fahrii

Academic year: 2024

Membagikan "Isi Sejarah lahirnya UU No 23 Tahun 2014"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

A. PENDAHULUAN

Undang-undang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu kebijakan politik yang dirancang untuk membangun format pemerintahan yang bisa memberikan dukungan  terhadap kekokohan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu  upaya menjaga keutuhan NKRI, struktur pemerintahan harus dirancang  sentralistis. Ide revisi itu berangkat dari kesatuan, sedangkan kemajemukan  masyarakat daerah hanya sekadar diakomodasi.

Undang-undang akan selalu berubah mengikuti zaman. Hal ini dikarenakan tidak semua pasal dalam undang-undang pas atau sesuai untuk diterapkan disepanjang zaman. Demikian juga dengan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Dulu undang-undang yang digunakan adalah UU No. 5 tahun 1974, kemudian seiring berjalannya waktu diganti menjadi UU No. 22 tahun 1999, lalu diganti lagi menjadi UU No. 32 tahun 2004 . dan yang terakhir digunakan sekarang adalah UU No.

23 tahun 2014. Sebelum UU No.5 digunakan, terlebih dahulu ada UU No.18 tahun 1965.

Mengenai Pemerintahan Daerah, diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi: “Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pamerintahannya ditetapkan dengan UU dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam Daerah- Daerah yang bersifat istimewa ”

Dari ketentuan pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Wilayah Indonesia dibagi ke dalam daerah-daerah, baik yang bersifat otonom maupun yang bersifat administratif

2. Daerah-daerah itu mempunyai pemerintahan

3. Pembagian wilayah dan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan atau atas kuasa UU

4. Dalam pembentukan daerah-daerah itu, terutama daerah-daerah otonom dan dalam menentukan susunan pemerintahannya harus diingat permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Letak geografis Indonesia yang berupa kepulauan sangat berpengaruh terhadap mekanisme pemerintahan Negara Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan ini menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan adanya berbagai suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan mandiri tetapi tetap dibawah pengawasan  dari pemerintah pusat.

Di era reformasi ini sangat dibutuhkan sistem pemerintahan yang memungkinkan cepatnya penyaluran aspirasi rakyat di daerah, namun itu juga tetap berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. Hal tersebut sangat diperlukan karena mulai terdapat munculnya ancaman- ancaman terhadap keutuhan NKRI, hal tersebut ditandai dengan banyaknya daerah-daerah yang

(2)

ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumber daya alam daerah di Indoinesia yang tidak merata juga merupakan salah satu penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan yang memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang merupakan sumber pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan nasional.

Oleh sebab itu, Pemerintah daerah di Lahirkan di Indonesia. Agar Masyarakat Indonesia yang berada jauh dari Ibu kota bisa juga merasakan Kesejahteraan hidup dalam suatu pemerintahan.

Dari latar belakang di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana Pengertian Dari Pemerintah Daerah?

b. Apa saja fungsi dan tujuannya?

c. Apa saja Sistem Pemerintah Daerah Indonesia?

d. Bagaimana sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah?

(3)

B. PENGERTIAN DARI PEMERINTAHAN DAERAH

Definisi Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (2) adalah sebagai berikut:

“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Melihat definisi pemerintahan daerah seperti yang telah dikemukakan di atas, maka yang dimaksud pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan  urusan-urusan yang menjadi urusan daerah (provinsi atau kabupaten) oleh pemerintah daerah dan DPRD.

C. FUNGSI DAN TUJUAN

Berbagai argument dan penjelasan mengenai fungsi Pemerintah Daerah yaitu :

a.   Untuk terciptanya efisiensi-efektivas penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri, dll. Selain itu juga mempunyai fungsi distributif akan hal yang telah diungkapkan, fungsi regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa, dan fungsi ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka sarana membiayai aktifitas penyelenggaraan negara.

b. Sebagai sarana pendidikan politik. Banyak kalangan ilmuan politik berargumentasi bahwa pemerintahan daerah merupakan kancah pelatihan (training ground) dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara. Alexis de’ Tocqueville mencatat bahwa “town meetings are to leberty what primary schools are to science; the bring it within the people reach, they teach men how to use and how to enjoy it. John Stuart Mill dalam tulisannya “Represcentative Goverment”

menyatakan bahwa pemerintahan daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik.

c. Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan. Banyak  kalangan ilmuan politik sepakat bahwa pemerintah daerah merupakan langkah persiapan untuk meniti karir lanjutan, terutama karir di bidang politik dan pemerintahan ditingkat nasional.

(4)

d. Stabilitas politik, Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas politik nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Hal ini dilihat dari terjadinya pergolakan daerah pada tahun 1957 – 1958 dengan puncaknya adalah kehadiran dari PRRI dan PERMESTA, karena daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan.

e. Kesetaraan politik (political equality). Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka kesetaraan politik diantara berbatgai komponen masyarakat akan terwujud.

f. Akuntabilitas publik. Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada masyarakt, termasuk didaerah, untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara.

D. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA

A. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

Era demokratisasi terpimpin telah berakhir dan diganti oleh era pemerintahan Orde Baru.

Dalam pengaturan pemerintahan daerah, UU 18 Tahun 1965 diganti dengan UU No. 5 Tahun 1974.

Ada tiga prinsip dasar yang dianut  oleh UU No. 5 Tahun 1974, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prakteknya, prinsip dekonsentrasi lebih dominan. Struktur pemerintahan daerah terdiri dari kepala Daerah Otonom dan sebagai Kepala Wilayah (yaitu Wakil Pemerintah di Daerah). DPRD mempunyai kewenangan melakukan pemilihan calon Kepala Daerah, namun keputusan akhir ada di tangan Pusat. Bangunan Pemerintah Daerah yang demikian, kondusif untuk menciptakan landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi. Sistem tersebut pada satu sisi telah menciptakan stabilitas, kondusif untuk menjalankan program-program nasional yang dilaksanakan di daerah. Namun pada sisi lain, kondisi telah menciptakan ketergantungan yang tinggi dalam melaksanakan otonominya, seperti ketergantungan dalam aspek keuangan, kewenangan, kelembagaan, personil, perwakilan termasuk pelayanan yang dihasilkan oleh Pemerintah Daerah.

 B. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimaksudkan untuk mengoreksi UU 5 Tahun 1974 yang dirasa  sentralistik menjadi desentralistik dan mendekatkan pelayanan masyarakat menjadi pelayanan local, serta meningkatkan pendidikan politik masyarakat. Prinsif otonomi seluas-luasnya menjiwai hampir di semua pasal. Bahkan manajemen kepegawaian dan keuangan yang di UU pendahulunya diatur dengan ketat oleh Pusat didelegasikan secara penuh kepada Daerah. Sebagian besar istilah yang dipakai di UU ini mengadopsi dari UU No. 5 Tahun 1974, namun istilah “subsidi”, “ganjaran” dan “sumbangan” dihapus sama sekali, diganti dengan dana perimbangan. Menurut UU ini, Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat Daerah; DPRD berada di luar Pemerintah Daerah berfungsi sebagai Badan legislatif Daerah yang

(5)

mengawasi jalannya pemerintahan. Otonomi daerah tetap dititik beratkan di Kabupaten/Kota, namun Bupati/Walikota tidak lagi bertindak selaku Wakil Pemerintah di Daerah. Fungsi ini dipegang hanya oleh Gubernur sebagai bagian dari Integrated Prefectoral System, Secara eksplisit, UU ini juga menyebutkan tidak ada hubungan hierarkhis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Dalam penyelenggaraannya, ternyata otonomi daerah yang diselenggarakan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 menghadapi berbagai potensi permasalahan,  antara lain (1) terjadinya konflik kewenangan seperti di Pelabuhan, Kehutanan, Investasi, Otorita Batam, dan banyak lagi lainnya; (2) Lembaga Daerah membengkak, pengelompokan tugas tidak tepat, biaya organisasi tinggi, biaya operasi dan infrastruktur terabaikan; (3) rekruitmen, pembinaan dan mutasi personil tidak berdasar kompetensi dan profesionalisme, pendekatan kedaerahan didahulukan; (4) sarana dan prasarana organisasi terabaikan, teknologi informasi belum terpakai optimal; (5) manajemen pembangunan dan pelayanan belum mengalami reformasi (perubahan) mendasar; (6) dalam menggali sumber penerimaan daerah telah terjadi pula berbagai ekses antara lain: peningkatan PAD yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi, ketergantungan daerah dari DAU yang mematikan kreatifitas daerah dan penerimaan sah lainnya yang belum dioptimalkan; (7) standar pelayanan minimum yang belum terumuskan dengan baik; dan (8) DPRD dalam system perwakilan (baru) menjadi sangat powerfull, Kepala Daerah (eksekutif) tersandera oleh Laporan Pertanggungjawaban.

C. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai amanat UUD 1945 yang telah di amandemen, maka UU No. 22 Tahun 1999 telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ini  merupakan penyempurnaan dalam rangka menyesuaikan dengan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.

Secara garis besar penyempurnaan terhadap UU No. 22 Tahun 1999 didasarkan untuk penyesuaian ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dengan UUD 1945, Ketetapan dan Keputusan MPR serta penyerasian dan penyelarasan dengan undang¬-undang bidang politik dan undang-undang lainnya. Di samping itu juga melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang menimbulkan permasalahan, menyebabkan penafsiran ganda dan belum lengkap.

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004. Undang-undang tersebut secara substansial mengubah  beberapa paradigma penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999. Salah satunya adalah desentralisasi dan dekonsentrasi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat kontinum bukan bersifat dikotomis. Secara filosofi, keberadaan Pemerintahan Daerah disebabkan karena adanya masyarakat pada daerah otonomi. Pemerintahan Daerah dibentuk untuk memberikan pelayanan

(6)

kepada masyarakat, sehingga keberadaan Pemerintahan Daerah dalam rangka pemberian pelayanan merupakan inti dari penyelenggaraan otonomi daerah. Orientasi pemberian pelayanan kepada masyarakat ini dapat dilihat antara lain dalam hal pembentukan daerah yang dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik, mempercepat kesejahteraan masyarakat, serta sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Untuk itu maka pembentukan daerah mempertimbangkan berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan dan pertimbangan dari aspek politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan serta pertimbangan dan syarat lain yang memungkinkan daerah itu menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan dibentuknya otonomi daerah. Dalam pembentukan daerah, UU No. 32 Tahun 2004 juga mengatur persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan.  Hal ini dimaksudkan agar pembentukan daerah dapat menjamin terselenggaranya pelayanan secara optimal

Akar masalah yang muncul adalah kesalahan dalam mempersepsikan otonomi daerah.

Otonomi seringkali diukur dengan kemampuan keuangan daerah. Akibatnya konsep “urusan”

lebih dikaitkan dengan “keuangan”, yaitu hak daerah untuk menggali sumber keuangan dan bukan untuk memberikan pelayanan. Akibatnya,  terjadi perebutan urusan antar tingkatan pemerintahan dengan justifikasinya masing-masing yang bermuara pada terlantarnya pelayanan masyarakat.

Orientasi pelayanan masyarakat di dalam UU No. 32 Tahun 2004, dicerminkan dalam pembagian urusan antar tingkat pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan dalam konteks desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada daerah otonom. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah hanyalah urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah saja (eksekutif), tidak termasuk urusan yang menjadi kewenangan legislatif (pembuatan UU) dan urusan yang menjadi kewenangan yudikatif (peradilan), Pembagian urusan pemerintahan berangkat dari adanya diktum tidak mungkin urusan diselenggarakan semuanya oleh Pemerintah atau semuanya diserahkan kepada daerah.

Berkenaan dengan pembagian urusan pemerintahan terdapat pembagian urusan yang spesifik. Pertama, urusan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah Pusat, meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama. Kedua, urusan yang bersifat concurrent atau urusan yang dapat dikelola bersama antara Pusat, provinsi, atau pun kabupaten/Kota. Pembagian urusan ini  diatur dalam pasal 11 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, dengan menggunakan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dalam rangka mewujudkan proporsionalitas pembagian urusan pemerintahan, sehingga ada kejelasan siapa melakukan apa.

Dalam urusan bersama yang menjadi kewenangan daerah terbagi dua, yakni urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat pilihan adalah hal yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan.

Adanya pengaturan yang bersifat wajib, sangat terkait dengan kebutuhan mendasar masyarakat, sehingga menjadi kewajiban bagi Pemerintah Daerah untuk menyediakan pelayanan yang prima. Adanya pengaturan tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan daerah melakukan urusan yang kurang relevan dengan kebutuhan warganya dan tidak terperangkap untuk melakukan

(7)

urusan atas pertimbangan pendapatan semata. Selanjutnya agar penyediaan pelayanan kepada masyarakat mampu memenuhi ukuran kelayakan minimal, pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat oleh Pemerintah Daerah harus berpedoman kepada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah. Selain melaksanakan urusan yang bersifat wajib, dalam menyelenggarakan otonomi, daerah juga mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004, sebagai penegasan bahwa Pemerintahan Daerah merupakan sub-sistem dari sistem pemerintahan Nasional dalam perspektif pemberian pelayanan umum. Sebagai implikasi dari penataan urusan perlu dilakukan penataan kelembagaan yang pada prinsipnya merupakan pewadahan dari urusan yang diserahkan kepada daerah yaitu lembaga Pemerintahan Daerah (Pemerintah Daerah dan DPRD), serta ditetapkan organisasi dan tata kerja Perangkat Daerah melalui Peraturan Daerah.

Aspek penting lainnya adalah aspek demokratisasi yang diukur dari unsur keterlibatan masyarakat dalam menentukan pejabat publik di daerah. Berdasarkan konsep ini, pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila para pejabat yang memimpin Pemerintahan Daerah itu dipilih secara langsung dan bebas oleh masyarakat dengan cara yang terbuka dan jujur. Oleh sebab itu, maka berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah akan dipilih secara langsung oleh rakyat yang selambat-lambatnya akan dilaksanakan pada bulan Juni Tahun 2005. Melalui Pemilihan yang demokratis ini diharapkan akan memperkuat posisi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam mewujudkan Hubungan Kemitraan antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan Otonomi Daerah sesuai fungsi masing-masing, sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung, bukan merupakan lawan ataupun pesaing dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Keberadaan DPRD yang merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah haruslah mampu menciptakan check and balances disamping melalui fungsi anggaran yaitu dalam menyusun APBD juga melalui fungsi legislasi dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah, untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.

D. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

UU No. 23 tahun 2014 merupakan makanan pokok bagi praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri yang nantinya akan dijadikan acuan dalam bertugas di pemerintah daerah. Secara keseluruhan undang-undang tersebut memiliki kesamaan dengan UU No. 32 tahun 2004 namun ada beberapa pasal yang mengalami perubahan.

(8)

Kemudian ditambahkan, prinsip secara umum atau garis besar UU Nomor 23 tahun 2014 ini merupakan kombinasi UU Nomor 5 tahun 1974 dan UU Nomor 32 tahun 2004. Sehingga fungsi Gubernur bukan hanya sebagai kepala daerah melainkan juga sebagai kepala wilayah .

Di sisi lain, pada pasal 2 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibagi atas daerah provinsi, provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan kota, kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau desa. Jadi, pasal ini menegaskan bahwa atasan kepala desa/lurah adalah camat, atasan camat adalah bupati/walikota, dan seterusnya.

Karna melaksanakan urusan pemerintahan umum. Bupati dan walikota melibatkan urusan pemerintahan umum kepada camat, otomatis camat merupakan kepala wilayah.

E. SEJARAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NO.23 TAHUN 2014

Sejak reformasi sampai saat ini, sudah beberapa kali terjadi perubahan UU Pemerintah Daerah.

UU Pemerintahan Daerah yang pertama kali pasca reformasi adalah UU 22 Tahun 1999 sebagai pengganti UU nomor 5 Tahun 1974, kemudian diganti menjadi UU Nomor 32 tahun 2004, UU ini dilakukan perubahan menyangkut pelaksanaan pemilihan kepala daerah tetapi substansi kebijakan pengelolaan pemerintah daerah tidak mengalami perubahan. Terakhir adalah UU 23 tahun 2014 yang kemudian dilakukan perubahan dalam perpu No 2 Tahun 2014. Perpu tersebut hanya membatalkan 2 pasal yakni pasal yang mengatur pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Berbagai dinamika dalam  perubahan kebijakan pemerintahan daerah tersebut mulai dari arah sentralisitik sampai desentralistik. Sebagai negara kesatuan Indonesia  tentu menerapkan pembagian urusan pusat dan daerah dengan tetap mengacu pada pola desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind.

Perubahan kebijakan hubungan pusat dan daerah di Indonesia pada dasarnya mengacu pada ultra vires doctrine  (merinci satu persatu urusan pemerintahan yang diberikan kepada daerah) dan risidual power atau open end arrengement (konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa). Ultra vires doctrine lebih terasa pada pola sentralisitik sementara residual power lebih mengarah ke desentralistik. Bahkan ada menganggap bahwa residual power sebenarnya merupakan pola hubungan pemerinta pusat dan daerah yang biasa diterapkan dalam konsep negara federal.

Sementara dalam negara kesatuan kekuasaan sisa idealnya berada ditangan pusat.

Pola hubugan  pusat dan daerah sejak pemberlakuan UU Nomor 5 tahun 1974 sampai UU Nomor 23 Tahun 2014 mengalami dinamika perubahan. UU Nomor 5 tahun 1974 lebih tepat dikatakan sebagai pola ultra  vires doctrine karena kewenangan yang diberikan kepada daerah dirinci satu persatu. Sementara UU Nomor 22 Tahun 1999, UU 32 tahun 2004 dan UU 23 tahun 2014 kewenangan yang diberikan bersifat residual power atau open and arrengmet atau general competence karena semua kewenangan diberikan kepada daerah kecuali  urusan yang ditangani oleh pemerintah pusat, yakni moneter dan fiskal nasional, pertahanam dan keamanan, urusan luar negeri, peradilan, dan agama

(9)

Selain itu sistem pembagian kekuasaan yang didesentralisasikan ke daerah di Indonesia juga menerapkan desentralisasi a simteris dan desentraisasi simetris. Desentralisasi a simetris terasa dalam UU No 22 Tahun 1999, dimana ada pemberian otonomi khusus bagi beberapa daerah (Aceh, Jogya dan Papua). Sementara dalam UU No 5 tahun 1974 hanya desentralisasi simetris (biasa) Perubahan Kebijakan dalam berbagai Perspektif

Perubahan kebijakan dalam  hubungan pusat dan daerah tidak bisa dilepaskan dari konteks, format dan ideologi politik penguasa. Ketika penguasa baru saja tampil dan menyusun kekuatan, maka dikembangkan kebijakan yang agak terbuka. Namun ketika kekuasaan sudah berhasil mengkonsolidasi diri, maka kebijakan bisa dirubah dengan tertutup, otoritarisme atau malah totaliterisme.

Hal ini sejalan yang dikemukakan Stefaan Walgrave bawha perubahan kebijakan menjadi masalah agenda-setting,  kondisi penting bagi perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik. Perubahan UU pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan agenda reformasi pasca pemerintahan Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat dan daerah yang melahirkan UU nomor 22 tahun 1999 yang berlaku efektif di tahun 2001. Semangat perubahan tersebut lebih kepada keinginan memberi kewenangan yang lebih luas kepada daerah karena kebijakan UU sebelumnya yang sangat sentralisitik dianggap gagal dan  cenderung melahirkan “riak-riak” di daerah untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesi (NKRI).    

Selain persoalan agenda setting  seperti dikemukan diatas, Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson dalam melihat perubahan kebijakan di Inggris antara tahun 1945-1999  melihat lebih lengkap menguraikan variabel perubahan kebijakan dalam sebuah  negara.  Bahwa ada empat variabel utama dalam perubahan kebijakan yang dikenal dengan konsep 4 I, yakni: ide-ide, interests (kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu (individu-individu)

Empat variabel ini dapat membantu melihat perubahan kebijakan pengaturan pemerintah daerah yang terjadi di Indonesia. Ide-ide untuk lebih memberikan kewenangan lebih luas muncul pasca tumbangnya rezim Soeharto yangg dianggap gagal membawa Indonesia lebih demokratis.

Bahkan munculnya gerakan separatis seperti Papua Merdeka, Aceh Merdeka, Republik Maluku Serikat, akibat kekecewaan daerah terhadap pusat.  Varibel interest (kepentinga-kepentinga) juga terasa dalam perubahan kebijakan pengaturan pemerintah daerah. Adanya interest masing-masing daerah serta problem-problem kedaerahan yang dialami masing-masing provinsi membawa pola hubungan pusat dan daerah hampir terjadi ‘lost control’ dengan meneriakkan federalisme.

Sementara institusions (lembaga-lembaga) khususnya pemerintahan dilakukan restrukturisasi agar bisa bekerja maksimal. khususindividu-individu khususnya elit mulai lebih banyak bersuara untuk mendesak agar pengelolaan pemerintahan daerah untuk ditinjau sebelum isu-isu federalisme tidak semakin luas diteriakkan di daerah.

(10)

Pokok Perubahan UU Pemerintahan Daerah UU No 23 Tahun 2014

Pada UU 23 tahun 2014, masih menerapakan pola residual power atau open arrangement, bahkan urusan pemerintah dibagi menjadi urusan pemerintah absolut, urusan pemerintah konkruen dan urusan pemerintahan umum (pasal 9) urusan pemerintah absolut adalah urusan pemerintah yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat (politik luar negeri, pertahanan,  keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, dan agama) urusan pemerintah konkruen adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.  Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Selain itu dalam UU 23 Tahun 2014 DPRD masih sama kedudukannya dengan UU No 23 Tahun 2004 yakni sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan daerah

Selain persoalan filosofis dalam urusan pemerintah pusat dan daerah seperti diatas diatur dalam UU 23 Tahun 2014 juga ada perbedaan yuridis. Perbedaan yuridis tertuang dalam bentuk pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam UU sebelumnya.  Perbedaan secara yuridis, sangat terlihat dengan tidak adanya pasal-pasal yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Perihal pemilihan daerah telah diatur dalam UU no 22 tahun 2014 yang sudah dibatalkan dengan Perpu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Dipisahkannya UU Pemda dengan UU Pilkada dimaksudkan agar kedua UU tersebut dapat berjalan secara maksimal sesuai dengan isu sentralnya masing-masing. Selain itu, dalam pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pilkada dimaksudkan untuk mempertegas posisi dan perbedaan Gubernur dan Walikota/Bupati.

Hal ini dikarenakan Gubernur yang dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung.

Namun, secara sepihak dikooptasi dengan menempatkan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Dalam perspektif akademis posisi Gubernur dapat dikategorikan sebagai “unit antara”. Ciri khas dari “unit antara” dalam penyelenggaraan pemerintahannya bersinggungan dengan kegiatan dekonsentrasi daripada desentralisasi. Dengan demikian, Gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat, kewewenangannya “terkebiri” karena status gandanya yang juga sebagai wakil pemerintah pusat. Berbeda dengan Walikota dan Bupati yang sama-sama dipilih oleh rakyat tapi statusnya sebagai daerah otonom yang mengedepankan prinsip atau azas desentralisasi. Disinilah urgensi pemisahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemilihan pilkada mejadi dua UU yang berbeda.

(11)

Mengapa Berubah

Setiap negara mengalami dinamika dalam perubahan kebijakan, dan tentunya faktor perubahan berbeda antara satu negara dengan negara lain. Namun tidak ada salahnya dalam melihat dinamika perubahan pemerintaha daerah kita mengacu pada dinamika perubahan kebijakan pada beberapa pendapat yang telah melakukan kajian dan analisis terhadap suatu negara dalam melihat dinamika perubahan kebijakannya.

Olehnya untuk melihat dinamika perubahan pengelolaan pemerintah daerah di Indonesia, seperti pendapat Hall sebagaimana di kutif oleh Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson bahwa perubahan orde ketiga mungkin unsur-unsur mencerminkan suatu proses yang berbeda, yang ditandai oleh perubahan-perubahan radikal dalam lingkup ketentuan-ketentuan wacana kebijakan yang berkaitan dengan pergeseran paradigma. Jika perubahan-perubahan ode pertama dan kedua mempertahan kan kontinuitas-kontinuitas luas yang lazimnya ditemukan dalam pola-pola kebijakan, maka perubahan ‘orde ketiga’ seringkali merupakan suatu proses yang lebih disjunctive yang berkaitan dengan diskontinuitas-diskontinuitas berkala dalam kebijakan. Masih mengutip dari Hall bahwa implikasi dari analisis ini yaitu perubahan-perubahan orde pertama dan orde kedua dalam kebijakan tidak secara otomatis mendatangkan perubahan- perubahan orde ketiga. Degan perkataan lain, tidak boleh terperangkap anggapan bahwa pergeseran paradigmatik melibatkan hanya suatu versi yang lebih intens tentang pengambilan kebijakan normal yang didominasi oleh komunitas-komunitas dan jaringan-jaringan kebijakan.

Perubahan-perubahan kebijakan ‘orde ketiga’ mungkin akan mencakup lebih banyak dinamika tiga-dimensi dan spatial, yang melibatkan sejangkauan variabel-variabel. Dinamika ini bisa kompleks, namun unsur-unsur tertentu, dan antar-hubungan antara mereka, terlihat krusial. 

Variabel-variabel penentu utama dari perubahan kebijakan ‘orde ketiga’, yakni: ide-ide, interests (kepentingan-kepentingan), institutions (lembaga-lembaga) dan individu-individu (individu- individu)

Empat I ini kalau melihat dalam perubahan UU Pemerintahan daerah dapat kita lihat dalam aspek Ide-ide Aspek ideologi, perubahan UU 5 tahun 1974 menjadi UU Nomor 22 tahun 1999 disebabakan perubahan paradigma pengelolaan hubungan pusat dan daerah. Perubahan tersebut adalah perubahan arah sentralisitik ke arah desentralisitik. Sementara UU 32 Tahunn 2004 dan UU 22 Tahun 2014 menerapkan pola ultra vire doctrine atau residual power hal ini terlihat betapa

banykanya urusan yang diberikan kepada daerah.

Selain aspek ide-ide, dinamika perubahan kebijakan pemerintah daerah juga dipengaruhi aspek institusi. Institusi khususnya lembaga-lembaga negara dilakukann restrukturisasi di pemerintah daerah agar bisa melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal.

Namun yang paling mejadi perhatian adalah soal insterest, perubahan kebijakan pemerintah daerah adalah aspek kepentingan elit dan kepentingan daerah. Elit khususnya intelektual kampus menganggap bahwa untuk mencapai tujuan negara negara kesatuan Republik Indonesia harus dikelolah dengan memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengurus dan mengelola daerahnya sesuai dengan potensi dan kemampuan daerah melalui pemberian otonomi secara luas dan bertanggung jawab.

(12)

Selain itu aspek lain dalam dinamika perubahan kebijakan adalah individu, dengan reformasi yang terjadi dan perubahan lima paket UU politik yang ada di Indonesia turut mempengaruhi perubahan prilaku (behavioralis) masyarakat Indonesia. Perubahan lima paket UU politik juga semakin meningkatkan tingkat pendidikan politik warga negara, sehingga kesadaran dan partisipasi politk warga negara terhadap pengelolaan negara juga semakin meningkat.

Akan tetapi, ada satu unsur kunci lebih lanjut dalam menentukan dinamika perubahan kebijakan ‘orde ketiga’ — yaitu tentang waktu. Meskipun ada pengaruh pervasifnya, namun waktu seringkali dilupakan sebagai variabel vital, dan namun dalam studi longitudinal hal pentingnya menjadi jelas. Perubahan pemerintahan daerah di Indonesia kalau mengacu dimensi waktu, sebenarnya relatif tidak panjang, apalagi kalau melihat perubahan pemerintahan daerah pasca reformasi, hanya kurung satu dasawarsa perubahan pengelolaan pemerintahan daerah mengalami berbagai perubahan.

Sementara Peter John melihat bahwa pengaruh institusional, pilihan rasional, jaringan, pendekatan sosio-ekonomi dan ideasional bahwa teori evolusi mungkin berguna mengungkap proses mikro-tingkat di tempat kerja, khususnya karena beberapa tiga kerangka mengacu pada model dinamis dan metode, apa yang dikemukakan oleh Peter John juga terlihat dalam perubahan kebijakan pemerintahan daerah di Indonesia, bahwa pilihn rasional akan pemeberian urusan pemerintahan secara residual power atau open arrangement merupakan pilihan rasional yang diambil oleh negara khususnya pemerintah pusat dalam memberikan otonomi secara luas dan bertanggung jawab kepada daerah baik UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU 32 Tahun 2004 dan UU 23 Tahun 2014.

Pemikiran Stefaan Walgrave tentang perubahan kebijakan juga dapt kita lihat dalam perubahan pemerintahan daerah, Stefaan mengungkapkan bahwa perubahan kebijakan menjadi masalah agenda-setting,  kondisi penting bagi perubahan kebijakan adalah masalah perhatian politik. Perubahan UU pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan agenda reformasi pasca pemerintahan Soeharto. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi masing-masing`daerah, maka kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelolaan hubungan pusat dan daerah yang melahirkan UU nomor 22 tahun 1999 yang berlaku efektif di tahun 2001. Semangat perubahan tersebut lebih kepada keinginan memberi kewenangan yang lebih luas kepada daerah karena kebijakan UU sebelumnya yang sangat sentralisitik dianggap gagal dan  cenderung melahirkan “riak-riak” di daerah untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesi (NKRI). 

(13)

F. KESIMPULAN

A. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B.  Berbagai argument dan penjelasan mengenai fungsi Pemerintah Daerah yaitu :

a. Untuk terciptanya efisiensi-efektivas penyelenggaraan pemerintahan.

b. Sebagai sarana pendidikan politik.

c. Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.

d. Stabilitas politik, Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas politik nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal

e. Kesetaraan politik (political equality).

f. Akuntabilitas publik.

C. Tujuan dari Pemerintah Daerah adalah:

a. mencegah pemusatan keuangan

b. sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan.

c. Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat local sehingga dapat lebih realistis.

D.    Alasan pentinya di bentuk Pemerintah Daerah Ialah:

a. Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain di lalaikan

b. Pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata

c. Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Widarta.2001. Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Jakarta : Larela Pustaka Utama Hanif,  Teori dan Parktek Pemerintahan, Grafindo, Jogyakarta, 2003

JPP-UGM (2010). Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi.

Yogyakarta, Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.

Stevaan Walgrave, Governance: an International Journal of Policy, Administration, and Institutions, Vol 21, No 3 july 2008 (pp.365-395)

Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson, Simultaneously published in the US and Canada by Routledge 29 West 35th Street, New York, NY 10001

Peter John, Is there life after policy stremas, advocacy  caolitions, and punctuations : using evolutionary theory to explain policy change, The Policy Studies Jurnal, Published by blackwell publishing.

Inc..350

Wilson, Carter A. 2000. “Policy Regimes and Policy Change.” Journal of Public Policy 20(3):

247-274.

Mudiyati, Decentralization and Democratization in  the Post Suharto Era: Lessons from Kota

Cirebon, West Java, Indonesia,

http://asaa.asn.au/ASAA2010/reviewed_papers/Decentralization_and_Democratization_i n_the_Post.pdf(11 Mei 2017).

Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson, Simultaneously published in the US and Canada by Routledge 29 West 35th Street, New York, NY 10001

Rozali Abdullah. 2007. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Jakarta : PT Raja Grasindo.

Anonim. "Review UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah."

Blog Kado Untuk Dunia. http://harryuban.blogspot.co.id/2014/12/review-uu-no-23-tahun- 2014-tentang.html (11 Mei 2017).

Asrifai. “Dinamika Perubahan UU Pemerintahan Daerah”

asrifai.co.cc. http://asrifai.blogspot.co.id/2015/04/dinamika-perubahan-uu- pemerintahan_4.html (11 Mei 2017).

SUDUT HUKUM™. “Latar Belakang Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004”

SUDUT HUKUM™. http://www.suduthukum.com/2015/07/latar-belakang-lahirnya-uu- no-23-tahun.html (11 Mei 2017).

Didi, Suryadi. “MAKALAH Sistem Pemerintahan Daerah dalam pembahasan UU No. 5 tahun 1974, UU No. 22 tahun 1999, UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah” http://didisuryadi94.blogspot.co.id/2015/04/makalah-sistem- pemerintahan-daerah.html (11 Mei 2017).

Referensi

Dokumen terkait

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan

Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang

Berdasarkan ketentuan Pasal 177 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pembentukan Badan Usaha Milik Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara

bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyusunan,