• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jabariyyah dan Qadariyyah

N/A
N/A
Rahayu MPd.

Academic year: 2023

Membagikan " Jabariyyah dan Qadariyyah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

JABARIYYAH DAN QADARIYYAH

Achmad Mubarak,1 Fakhri Putra Tanoto,2 Firman Al-amin,3 Khairana Filzah Faradis 4

1Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta ([email protected])

2Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta ([email protected])

3Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta ([email protected])

4Jurusan Manajemen Pendidikan Islam – Institut PTIQ Jakarta ([email protected])

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan membahas secara mendasar mengenai Jabariyyah dan Qadariyyah. Metode penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif melalui analisis teori serta studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa aliran Jabariyyah dan Qadariyyah memiliki perbedaan yang siginifikan, seperti perspektif keduanya tentang segala perbuatan manusia ada atau tidak adanya intervensi dari Tuhan. Penelitian ini memiliki signifikasi untuk pengembangan diskursus teologi Islam, mengingat diskursus mengenai teologi Islam sangatlah banyak. Kesimpulan pada penelitian ini adalah kajian tentang teologi Islam khususnya tentang Jabariyyah dan Qadariyyah memiliki peran penting dalam memahami sejarah hingga perkembangan pemikiran Islam.

ABSTRACT

This study aims to discuss fundamentally about Jabariyyah and Qadariyyah. This research method is qualitative by using descriptive method through theoretical analysis and literature study. The results of this study conclude that the Jabariyyah and Qadariyyah schools have significant differences, such as their perspective on all human actions whether or not there is intervention from God. This research has significance for the development of Islamic theological discourse, considering that there are many discourses on Islamic theology. The conclusion of this research is the study of Islamic theology, especially about Jabariyyah and Qadariyyah, has an important role in understanding history and the development of Islamic thought.

Keyword: Jabariyyah, Qadariyyah, Akal, Wahyu

(2)

1. PENDAHULUAN

Pembahasan yang menarik dan perlu diulas dalam ilmu teologi Islam adalah tentang perbuatan manusia. Pada pembahasan ini membicarakan tentang kehendak dan daya manusia. Hal ini karena setiap perbuatan berhajak kepada daya dan kehendak. Permasalahannya adalah apakah manusia bebas menentukan perbuatannya sesuai kehendak yang diinginkan, atau memang sudah diatur perbuatannya melalui qadha dan qadhar.1

Dalam sejarah teologi Islam, hal ini yang akhirnya muncul aliran Jabariyyah dan Qadariyyah. Mengenai hal ini Ahmad Amin mengemukakan pendapat bahwa timbulnya aliran ini karena manusia dari satu segi melihat dirinya bebas berkehendak, bisa melakukan apa saja yang ia inginkan. Namun, dari segi lain, manusia melihat pula bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu. Tuhan mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi, bahkan Tuhan mengetahui kebaikan dan keburukan yang akan terjadi pada diri seseorang.

Hal ini menimbulkan asumsi bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali sesuai dengan apa yang sudah dikehendaki Allah Swt. Maka muncullah persoalan jabar dan ikhtiyar, yakni apakah manusia itu terpaksa atau bebas memilih?

2. METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif-deskriptif.2 Penelitian kualitatif dikatakan sebagai rangkaian penelitian yang mampu menghasilkan data berupa deskriptif kata-kata baik tertulis atau lisan dari objek atau perilaku manusia yang dapat diamati.3 Penelitian ini juga menggunakan analisis teori dan studi kepustakaan.

Analisis teori adalah salsah satu teknik dalam penelitian yangg menjadiikan teori sebagai acuan dari kebenaran, fakta, dan keadaan objek yang diteliti. Analisis teori digunakan sebagai alat pembacaan realitas yang kemudian dikonstruksikan menjadi deskripsi yang argumentatif.4 Studi kepustakaan dipakai untuk memperkaya literatur penelitian, agar kemudia dapat ditarik sebuah kesimpulan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Definisi Jabariyyah dan Qadariyyah

Jabariyyah berasal dari kata Jabara yang mengandung arti memaksa. Di dalam kamus Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama Jabariyyah berasal dari kata Jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu.5 Menurut Asy- Syahratasani menegaskan bahwa paham Al-Jabr berarti menghilangkan perbuatan

1 Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), 18.

2 Wahyudin Darmalaksana, “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi Lapangan,” Pre- Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6, http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian Kualitatif.pdf.

3 L. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 8.

4 Hamad, “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana,” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.

5 Al-Yusu’i, Al-Munjid, 78.

(3)

manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkan kepada Allah Swt.6 Dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa atau perbuatan manusia sudah ditentutkan dari semula oleh qada dan qadar Tuhan.7

Paham Jabariyyah timbul bersamaan dengan Qadariyyah. Daerah tempat timbulnya paham Jabariyyah di Khurasan Persia. Paham ini dikenal sebagai pelopor teologi fatalis dalam Islam. Menurut Jabariyyah, segala yang dialami manusia, baik musibah atau keberuntungan, telah ditentukan oleh Allah Swt. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menimbulkan paham Jabariyyah, yaitu terdapatt pada surah Ash- Shaffat ayat 96.

َنوُلَمْعَ ت اَمَو ْمُكَقَلَخ ُهللَّاَو

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.

Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut menceritakan tentang Nabi Ibrahim A.S yang menghancurkan berhala-berhala kaum musyrikin, berita tersebut sampai kepada masyarakat umum. Mereka data kepada Nabi Ibrahim A.S untuk menuntut pertanggungjawaban. Mereka bertanya, “Apakah engkau yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?” Beliau menunjuk berhala yang paling besar dan berkata, “Coba tanyakan kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” Maka Nabi Ibrahim dengan lantang mengencam mereka. Ia berkata menunjukkan kesalahan mereka: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu buat sendiri? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.8

Sedangkan Qadariyyah berasal dari kata dalam bahasa Arab yaitu qadara artinya kemampuan dan kekuatan.9 Menurut pengertian terminologi, Qadariyyah adalah satu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat tiap-tiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya. Dia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri, tanpa perintah dari yang lain. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyyah dipakai untuk satu paham yang memberikan penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan- perbuatannya.

Dalam hal ini Harun Nasution menegaskan bahwa nama Qadariyyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunya qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia

6 Muhammad ibn ‘Abd al-Karim Al-Syahrastāni, Al-Milal Wa Al –Nihal (Beirut: Al-akhatahulukiyah, 1998), 85.

7 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Depok: Univesitas Indonesia, 2018), 31.

8 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 58.

9 Luwis Ma’luf Al-Yusu’i, Al-Munjid (Beirut: Al-akhatahulukiyah, 1945), 436.

(4)

tunduk pada qadar Tuhan. Dalam istilah bahasa Inggrisnya paham ini dikenal dengan sebutan free will dan free act.10

Dalam beberapa sumber tentang kapan Qadariyyah muncul dan siapa tokohnya masih dalam perdebatan. Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Al-Dimasyqi. Ma’bad adalah seorang tabi’in yang dapatt dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Basri. Sedangkan Ghailan adalah seorang orator yang berasal dari Damaskus.11

Ibnu Nabatah dalam kitab Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, memberii informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan paham Qadariyyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudia masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil paham tersebut. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa lahirnya Qadariyyah dipengaruhi oleh paham bebas yang berkembang dikalangan pemluk agama Masehi.

Sumber lain mengatakan bahwa Qadariyyah pertama muncul sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh Ma’bad Al-Jauhani, Al-Bisri, dan Ja’ad ibn Dirham pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M).

3.2 Perbuatan Allah Swt dan Hamba dalam Perspektif Jabariyyah

Menurut Asy-Syarastani, Jabariyyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Diantara doktrin Jabariyyah ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Diantara pemuka Jabariyyah ekstrim adalah Abu Mahrus Jahm ibn Sofyan. Pendapatnya yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:

1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan

2. Surga dan neraka tidak kekal

Pendapat ekstrim yang kedua adalah Ja’ad ibn Dirham seorang maulana Bani Hakim, doktrinnya sebagai berikut:

1. Al-Qur’an itu adalah makhluk dan karenanya Al-Qur’an itu baru (hadits).

Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.

2. Allah tidak mempunyai sifat yg serupa dengan makhluk; berbicara, mellihat, dan mendengar. Allah juga tidak berbicara kepada Nabi Musa, dan tidak menjadikan Nabi Ibrahim sebagai Khalil (kekasih).

3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.12

10 Muliati, “Paham Qadariyah Dan Jabariyah: Suatu Kajian Teologi,” Istiqra’ 3, no. 2 (2016): 254–60, http://jurnal.umpar.ac.id/index.php/istiqra/article/view/256%0A.

11 Ahmad Amin, Fajr Al-Islam (Singapura: Sulaeman Maraghi, 1965), 286.

12 Rosihon Anwar Abdul, Ilmu Kalam, Cet. II (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), 67-68.

(5)

Aliran ini kemudian disebarkan oleh Jahm Ibnu Shafwan dari Khurasan (Persia). Jahm bin Shafwan ini adalah orang yang sama dengan Jahm yang mendirikan aliran Murji`ah ekstreem. Jahm ibnu Shafwan digelari Abu Makhroj. Dia adalah seorang pemipin Bani Roshab dari Azd. Ia pandai berbicara dan seorang orator ulung. Karena kepandaiannya berbicara serta kefasihannya, Al-Harits Ibn Sarij al- Tamimi pada waktu berada di Khurasan mengangangkatnya sebagai juru tulis dan seorang mubaligh. Di samping sebagai mubaligh ia juga dikenal sebagai seorang ahli debat.13 Sejarah mencatat bahwa Jahm bin Shafwan turut dalam gerakan perlawanan terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Ia kemudian ditangkap dan dihukum mati pada tahun 131 H.

Adapun pendapat-pendapat Jahm bin Shafwan yang dinilai ekstrim adalah sebagai berikut: Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri. Tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam perbuatannya dipaksa, tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan.Perbuatan- perbuatan diciptakan Tuhan dalam diri manusia,seperti gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati. Oleh karenanya manusia dikatakan “berbuat” hanya dalam arti kiasan, semisal air mengalir, batu bergerak, matahri terbit dan yang sejenis itu.

Segala perbuatan manusia dipaksakan oleh Tuhan terhadap dirinya.

Menurut Jabariyyah ekstrim ini segala perbuatan manusia tidak merupakan perbuatan yang timbul dari kemauan sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan oleh dirinya sendiri. Contohnya kalau seorang pencuri umpamanya, maka perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi itu adalah qada dan qadar Tuhan, dengan kata lain ia mencuri bukan atas kehendaknya tetapi Tuhanlah yang memaksanya mencuri.

Doktrin Jabariyyah moderat berpendapat bahwa manusia punya andil dalam mewujudkan perbuatannya. Dalam pandangan Dhirar, satu perbuatan dapat ditimbulkan Dan inilah yang dimaksud dengan kasb atau acquisition. Ajaran-ajarannya antara lain adalah:

1. Beliau sependapat dengan An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Menurutnya, suatu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku, yaitu Tuhan dan manusia. Tuhan menciptakan perbuatan dan manusia memperolehnya. Tuhan adalah pencipta hakiki dari perbuatan manusia, manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan- perbuatannya. Dhirar dan juga An-Najjar mengatakan bahwa perbuatan- perbuatan dilakukan oleh dua orang pelaku.

2. Tentang melihat Tuhan. Menurutnya Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijma’ saja, sedangkan yang bersumber dari hadits ahad dipandang tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.

13 Rusli, Ris’an, Pemikiran Teologi Islam Modern (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006).

(6)

3. Menurut Dhirar imamah bisa dipegang oleh orang lain selain bangsa Quraisy.

Timbulnya paham Jabariyyah yaitu faktor intern yang merupakan reaksi terhadap paham Jabariyyah dan merupakan upaya protes terhadap tindakan- tindakan penguasa Bani Umayyah yang bertindak atas nama Tuhan dan berdalih kepada takdir Tuhan. Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit. Namun tanpa pengaruh asing itu, paham Jabariyyah muncul juga di kalangan umat Islam.

3.3 Perbuatan Allah Swt dan Hamba dalam Perspektif Qadariyyah

Qadariyyah adalah sekte dari para pengikut Ma’bad al-Juhani, Ghailan al- Dimasyqi, para pengikut Wasil ibn ‘Atha, ‘Umar ibn ‘Ubaid dari kalangan Mu’tazilah dan orang-orang yang sepemikiran dengan mereka. Kelompok ini berkeyakinan bahwa takdir adalah independensi seorang manusia atas perbuatannya (amalnya) dalam iradah (keinginan) dan qudrah (kekuasaan), dimana tidak ada kehendak dan kekuasaan Allah Ta’ala sedikit pun yang dapat mempengaruhinya. Mereka meyakini bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukanlah makhluk (ciptaan) Allah, tapi manusia sendirilah yang menciptakannya. Sebagaimana kelompok ini mengatakan bahwa dosa-dosa yang terjadi tidaklah terjadi karena kehendak Allah.14

Menurut harun nasution, kaum Qadariyyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya, Dan juga manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyyah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada Qadar atau kadar Tuhan. Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free-will dan free-act.15

Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Dalam paham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik adalah atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Demikian pula ia berbuat jahat atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Di sini tak terdapat paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah

14 Ronny Mahmuddin dan Syandri, “Special Issue: Islamic Law Perspective on Covid-19,” Bustanul Fuqaha 1 (2020): 2.

15 Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, 31.

(7)

ditentukan kan terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak ajal.16

Kelompok ekstrim Qadariyyah mengingkari bahwa Allah mengetahui perbuatan-perbuatan buruk (dosa) manusia yang terjadi, mereka pun mengingkari kehendak dan kekuasaan Allah yang bersifat universal. Oleh karena itu, aliran teologi ini dijuluki sebagai Majusinya umat ini,17 hal ini dapat kita lihat dari hadist tentang Qadariyyah:

ةملاا هذه سومج ةيردقلأ

"Kaum Qadariyyah merupakan majusi umat Islam," dalam arti golongan yang tersesat.

Lantaran mereka menyerupai kaum Majusi yang mengatakan bahwa alam ini memiliki dua tuhan, yaitu tuhan cahaya, yang menciptakan kebaikan dan tuhan kegelapan yang menciptakan keburukan. Jika diperhatikan secara seksama, Qadariyyah telah menjadikan sekutu bagi Allah dalam proses penciptaan. Mereka meyakini bahwa manusia yang menciptakan perbuatan mereka sendiri. Untuk memuluskan pemikirannya, kelompok ini menyebutkan beberapa dalil. Di antaranya firman Allah dalam Q.S. al-Takwir/81: 28, Allah Ta’ala berfirman:

مْيُقَ تْسَي نأ ْمُكْنِم َءاَش ْنَمِل

(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.

Begitu pun dalam Q.S. al-Kahf, Allah Swt berfirman:

ْرُفْكَيْلَ ف َءاَش ْمُكْنِم ِو ْنِمْؤُ يْلَ ف َءاَش ْنِمِف

Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.

Asal penyimpangan mereka pada mulanya adalah karena keinginan mereka untuk mensucikan Allah dari segala keburukan, sehingga mereka pun terjatuh pada pengingkaran terhadap takdir.18 Al-Qadariyyah adalah kelompok yang menafikan takdir. Mereka adalah sekte yang menyakini bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu sebelum terjadi, dan tidak mengetahui sesuatu kecuali jika sudah terjadi, dan jika Allah memerintahkan atau melarang hamba-Nya itu berarti Allah tidak mengetahui

16 Ibid.

17 Syandri, “Special Issue: Islamic Law Perspective on Covid-19.”

18 Muḥammad bin Ibrāhīm Al-amd, Al-Imān Bi Al-Qada Wa Al-Qadr, Cet. III (Riyad: Dar Ibn Khuzaimah, 1419), 165.

(8)

siapa yang akan mentaati dan ingkar kepada-Nya. Pernyataan keliru ini muncul pada akhir-akhir masa zaman sahabat nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Menurut ahmad amin, pokok-pokok ajaran qadariayah adalah sebagai berikut:19 a. Orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mu’min, akan tetapi

fasik, dan orang fasik kekal di dalam neraka.

b. Allah Swt tidak menciptakan perbuatan manusia, melainkan manusia yang menciptakannya, dan oleh karena itulah manusia menerima balasan bai katas kebaikannya dan menerima balasan buruk atas keburukannya, maka allah baerhak disebut maha adil.

c. kaum Qadariyyah mengatakan bahwa Allah Swt itu Maha Esa atau satu dalam arti bahwa Allah Swt tidak memiliki sifat-sifat azali, seperti al-‘ilm, al-hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan dzat-Nya sendiri. Menurut mereka Allah Swt., itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan melihat dengan dzat-Nya sendiri.

d. Kaum Qadariyyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah Swt tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.

Pokok-pokok ajaran Qodariah, menurut Prof. Dr. Ahmad dalam bukunya "Fajrul Islam" di kelompokkan terdiri dari beberapa bagian, yaitu:20

a. Tentang perbuatan manusia

b. Menurut Qodariah, bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk berbuat dan bertindak. Oleh karena itu manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatan sendiri. Manusia itu bebas berbuat atau tidak berbuat.

c. Itulah sebabnya manusia berhak menerima pujian dan pahala atas perbuatannya yang baik, dan menerima celaan atau hukuman atas perbuatannya yang salah.

d. Tentang dosa besar

e. Perbuatan dosa besar yang dilakukan oleh seorang mukmin kemudian mati sebelum taubat maka orang tersebut kafir.

f. Tentang keesaan tuhan

g. Menurut faham Qodoriah bahwa Allah itu esa dalam arti lain Allah itu tidak mempunyai sifat wajib dan jaiz. Menurut mereka Allah itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar dan melihat dengan dzat nya sendiri.

19 Ahmad Amin, Fajr Al-Islam (Kairo: Maktabat al-Nahdhat al-Mishriah, 1975), 297-298.

20 Ibid.

(9)

h. Pendapat yang menyatakan bahwa Allah memiliki sifat qadim, mennurut Qodoriah sama dengan mengatakan bahwa Allah itu lebih dari satu dan tidak bersekutu dengan segala hal.

i. Tentang akal manusia

j. Menurut Qodoriah bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun allah tidak menurunkan agama. Sebab, kata mereka sesuatu ada memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk misalnya "benar" itu memiliki sifat yang menyebabkan baik, dan sebaliknya,

"bohong" itu juga memiliki sifat sendiri yang menyebabkan buruk.

3.4 Konsep Akal dan Wahyu Menurut Jabariyyah dan Qadariyyah Akal Menurut Jabariyyah

Jabariyyah murni atau ekstrim dibawa oleh Jahm bin Shafwan, paham fatalisme ini beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia, tanpa ada kaitan sedikit pun dengan manusia, tidak ada kekuasaan, kemauan, dan pilihan baginya. Manusia sama sekali tidak mampu untuk berbuat apa-apa, dan tidak memiliki daya untuk berbuat. Manusia bagaikan selembar bulu yang diterbangkan angin, mengikuti takdir yang membawanya. Sebagaimana ciri-ciri ajaran Jabariyyah adalah manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata-mata Allah yang menentukannya.21

Pemahaman tersebut menunjukkan bahwa akal bagi aliran Jabariyyah ektstrim adalah tidak berfungsi, sebab mereka berpendapat segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Sehingga mereka menganggap dirinya bagaikan pohon yang ditiup angin tergantung ke mana arah angin bertiup.

Sedangkan akal menurut Jabariyyah moderat sebagaimana dikemukakan oleh al-Najjar adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.

Berdasarkan pendapat di atas, berarti akal bagi aliran Jabariyyah moderat yaitu untuk mengimbangi perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan, sebab manusia mempunyai andil dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya, baik itu bersifat

21 Edi Sumanto, “Akal, Wahyu Dan Kasb Manusia Menurut Jabariyyah Dan Qadariyyah,” Jurnal Manthiq 1 (2016): 83.

(10)

positif maupun negatif. Manusia dalam posisi ini tidak terpaksa, tetapi ada bagian dari akalnya yang dapat memahami dan mengerti tentang perbuatan yang diciptakannya.22

Akal Menurut Qadariyyah

Al-Nazzham menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya. Adapun ciri-ciri corak pemikiran paham Qadariyyah di antaranya adalah kedudukan akal lebih tinggi, dan dinamika dalam sikap dan berpikir.23

Dengan demikian, Qadariyyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya berdasarkan daya nalar yang ada dalam pikirannya, karena manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.

Konsep Wahyu Menurut Jabariyyah dan Qadariyyah

Wahyu bagi Jabariyyah adalah sandaran bagi paham mereka dalam melakukan segala aktifitas yang akan dilakukannya, sebab bagi Jabariyyah segala perbuatannya bersumber dari wahyu Tuhan. Ini sesuai dengan pendapat mereka bahwa semua perbuatan dalam keadaan terpaksa, dan segala perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Sebagaimana pendapat Sirajuddin Abbas yang menyebutkan bahwa bagi Jabbariyah tidak ada ikhtiar bagi manusia. Jadi manusia dianggap bagai wayang yang digerakkan oleh dalang.

Ayat pendukung yang digunakan oleh aliran Jabriyah adalah:

َنوُلَمْعَ ت اَمَو ْمُكَقَلَخ ُهللَّاَو

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.

Sedangkan dalam paham Qadariyyah, mereka menempatkan wahyu sebagai penghambat dalam ruang gerak mereka, sebab wahyu dapat membuat kemunduran.24

Berdasarkan penjelasan di atas, wahyu menurut Qadariyyah adalah penghambat bagi manusia dalam melakukan perbuatannya, sebab mereka dalam berpendapat tidak berdasarkan wahyu tetapi rasio yang diutamakannya yang harus diikuti, karena semua perbuatannya tergantung dari usaha

22 Ibid, 84.

23 Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, 112.

24 Sumanto, “Akal, Wahyu Dan Kasb Manusia Menurut Jabariyyah Dan Qadariyyah.”, 84.

(11)

mansuia itu sendiri. Hal tersebut sesuai dengan ayat yang digunakan oleh mereka yaitu firman Allah:

ۗ ْمِهِسُفنَِبِ اَم ۟اوُِِيَّغُ ي ٰهتََّح ٍمْوَقِب اَم ُِِيَّغُ ي َلا َهللَّٱ هنِإ

Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, selama mereka tidak mengubah sebab- sebab kemunduran mereka. (QS. Al-Ra’d: 11)

4. KESIMPULAN

Qadariyyah berasal dari kata dalam bahasa Arab yaitu qadara artinya kemampuan dan kekuatan. Menurut pengertian terminologi, Qadariyyah adalah satu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat tiap-tiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya. Sedangkan Jabariyyah berasal dari kata Jabara yang mengandung arti memaksa. Di dalam kamus Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama Jabariyyah berasal dari kata Jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. Menurut Asy-Syahratasani menegaskan bahwa paham Al-Jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkan kepada Allah Swt.

Menurut Asy-Syarastani, Jabariyyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Diantara doktrin Jabariyyah ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Diantara pemuka Jabariyyah ekstrim adalah Abu Mahrus Jahm ibn Sofyan.

Pendapatnya yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:

1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan

2. Surga dan neraka tidak kekal

Jabariyyah murni atau ekstrim dibawa oleh Jahm bin Shafwan, paham fatalisme ini beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia, tanpa ada kaitan sedikit pun dengan manusia, tidak ada kekuasaan, kemauan, dan pilihan baginya. Manusia sama sekali tidak mampu untuk berbuat apa-apa, dan tidak memiliki daya untuk berbuat. Manusia bagaikan selembar bulu yang diterbangkan angin, mengikuti takdir yang membawanya. Sebagaimana ciri-ciri ajaran Jabariyyah adalah manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata-mata Allah yang menentukannya. Pemahaman tersebut menunjukkan bahwa akal bagi aliran Jabariyyah ektstrim adalah tidak berfungsi, sebab mereka berpendapat segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia sudah ditentukan oleh Tuhan. Sehingga mereka menganggap dirinya bagaikan pohon yang ditiup angin tergantung ke mana arah angin bertiup.

(12)

Al-Nazzham menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya. Adapun ciri-ciri corak pemikiran paham Qadariyyah di antaranya adalah kedudukan akal lebih tinggi, dan dinamika dalam sikap dan berpikir.

Wahyu bagi Jabariyyah adalah sandaran bagi paham mereka dalam melakukan segala aktifitas yang akan dilakukannya, sebab bagi Jabariyyah segala perbuatannya bersumber dari wahyu Tuhan. Sedangkan dalam paham Qadariyyah, mereka menempatkan wahyu sebagai penghambat dalam ruang gerak mereka, sebab wahyu dapat membuat kemunduran.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Cet. II. Bandung: CV Pustaka Setia, 2006.

Al-Ḥamd, Muḥammad bin Ibrāhīm. Al-Imān Bi Al-Qada Wa Al-Qadr. Cet. III. Riyad:

Dar Ibn Khuzaimah, 1419.

Al-Syahrastāni, Muhammad ibn ‘Abd al-Karim. Al-Milal Wa Al –Nihal. Beirut: Al- akhatahulukiyah, 1998.

Al-Yusu’i, Luwis Ma’luf. Al-Munjid. Beirut: Al-akhatahulukiyah, 1945.

Amin, Ahmad. Fajr Al-Islam. Singapura: Sulaeman Maraghi, 1965.

———. Fajr Al-Islam. Kairo: Maktabat al-Nahdhat al-Mishriah, 1975.

Darmalaksana, Wahyudin. “Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka Dan Studi Lapangan.” Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020, 1–6.

http://digilib.uinsgd.ac.id/32855/1/Metode Penelitian Kualitatif.pdf.

Hamad. “Lebih Dekat Dengan Analisis Wacana.” Jurnal Komunikasi, 2007, 325–44.

Hanafi, Ahmad. Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang, 1982.

Moleong, L. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.

Muliati. “Paham Qadariyah Dan Jabariyah: Suatu Kajian Teologi.” Istiqra’ 3, no. 2 (2016): 254–60. http://jurnal.umpar.ac.id/index.php/istiqra/article/view/256%0A.

Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Depok:

Univesitas Indonesia, 2018.

Ris’an, Rusli. Pemikiran Teologi Islam Modern. Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Sumanto, Edi. “Akal, Wahyu Dan Kasb Manusia Menurut Jabariyyah Dan Qadariyyah.” Jurnal Manthiq 1 (2016): 83.

Syandri, Ronny Mahmuddin dan. “Special Issue: Islamic Law Perspective on Covid- 19.” Bustanul Fuqaha 1 (2020): 2.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun terhadap ahli ikhtiar, baik rakyat umum maupun wakil-wakil rakyat, diajukan tiga syarat ringan, diantaranya adalah mempunyai sifat jujur, tidak jahat dan berilmu artinya,

Ajaran liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu telah memberikan kebebasan untuk mengeksplorasi kemampuan berpikir dengan baik, sehingga diharapkan akan lahir

Menurut ajaran Islam, tawakal itu adalah landasan atau tumpuan terakhir dalam sesuatu usaha atau perjuangan. Lalu berserah diri kepada Allah setelah menjalankan ikhtiar. 10

Ajaran liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu telah memberikan kebebasan untuk mengeksplorasi kemampuan berpikir dengan baik, sehingga diharapkan akan lahir

Menentukan baik dan buruk, layak atau tidak suatu perbuatan, sifat dan perangai dalam akhlak bersifat universal dan barometer atau ukurannya dari ajaran Allah

Pertama,bersikap pasrah (tawakal) dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWTtanpa disertai ikhtiar apapun untuk menghindari wabah penyakit mematikan ini. Bagi mereka,

Manusia berhak menentukan perbuatannya (Perbuatan baik dan perbuatan buruk). Jika manusia tidak dapat menjaga akidahnya, maka akan rusaklah akidahnya. Jika manusia

Ini ditegaskan oleh Nabi SAW dalam sebuah hadith ertinya : "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan buruk dan perbuatannya tatkala puasa, maka tiada hajat Allah