• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Nugget Jamur Tiram Putih Dengan Variasi Rasio Sera Mocaf Dan Tapioka

N/A
N/A
Raoul Chesta adabi

Academic year: 2024

Membagikan "Karakteristik Nugget Jamur Tiram Putih Dengan Variasi Rasio Sera Mocaf Dan Tapioka"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

109 Diterima 09/12/2021, Direview: 14/03/2022, Diterbitkan: 30/04/2022

KARAKTERISTIK NUGGET JAMUR TIRAM PUTIH DENGAN VARIASI RASIO SERA MOCAF DAN TAPIOKA

Characteristics of White Oyster Mushroom Nugget with Various Sera Mocaf and Tapioca Ratio

Ni Ketut Leseni*, Nugraha Yuwana

Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember Jalan Kalimantan No. 37, Jember, 68121

*Penulis Korespondensi, Email: [email protected]

....

ABSTRAK

Nugget merupakan produk olahan berbahan daging hewani yang dapat diubah menjadi olahan berbasis nabati dengan bahan utama jamur tiram (kandungan protein 10.50–

30.40%). Kekurangan dari jamur tiram ketika digunakan sebagai bahan baku utama berupa kelebihan kadar air (86.00–87.50%) yang dapat diatasi menggunakan campuran sera mocaf (bahan tidak lolos ayakan 100 mesh dari produksi MOCAF) dan tapioka. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor berupa formulasi sera mocaf : tapioka, digunakan dalam penelitian ini untuk variasi sampel sebanyak 5 jenis dengan 3x pengulangan. Variasi sera mocaf banding tapioka diketahui memberikan pengaruh yang signifikan (ANOVA 95%) terhadap nilai tekstur (6.27-864 g/mm), kadar air (52.70-54.47%), kadar protein (3.66-5.96%), dan kadar serat kasar (1.14-6.02%). Peninjauan dari segi penerimaan konsumen/organoleptik berada pada rentang skala netral sampai suka. Nugget jamur dengan variasi penambahan 75% sera mocaf dan 25% tapioka menjadi sampel dengan formulasi terbaik yang paling disukai secara keseluruhan oleh konsumen.

Kata kunci: Jamur tiram, Mocaf, Nugget, Sera mocaf, Tapioka.

ABSTRACT

Nuggets were processed products made from animal meat that can be converted into vegetable-based preparations with the main ingredient being oyster mushrooms (protein content 10.50–30.40%). The disadvantage of oyster mushrooms when used as the main raw material was high moisture content (86.00–87.50%) which can be overcome used a mixture of mocaf sera (material that does not pass the 100 mesh sieve from MOCAF production) and tapioca. Completely Randomized Design (CRD) with one factor in the form of mocaf sera:

tapioca formulation, was used in this study with 5 types sample variation and 3 repetitions.

Variations in mocaf versus tapioca were known have a significant effect (95% ANOVA) on the texture value (6.27-864 g/mm), water content (52.70-54.47%), protein content (3.66-5.96%), and crude fiber content (1.14-6.02%). In terms of consumer acceptance/organoleptic evaluation, the scale ranged from neutral to liking. Mushroom nuggets with the addition of 75%

mocaf sera and 25% tapioca became the best formulation sample which most preferred by consumers overall.

Keywords: Mocaf, Nugget,Oyster mushroom, Sera mocaf, Tapioca

PENDAHULUAN

Nugget merupakan produk hewani dengan bahan utama daging yang diproses dengan cara penghalusan, pencetakan, pencampuran dan diakhiri dengan pengaplikasian bahan

(2)

110 pelapis serta dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain atau BTP yang diperbolehkan (Badan Standardisasi Nasional, 2014). Variasi jenis daging yang dapat dijadikan sebagai bahan utama nugget diantaranya daging ayam, sapi, ataupun ikan.

Konsumsi nugget di masyarakat dapat dijadikan sebagai lauk makan atau camilan. Selain itu makanan ini cukup digemari karena makanan ini bersifat tahan lama (pada penyimpanan freezer). Konsumsi nugget berlebih secara tidak langsung meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap daging hewani (daging sapi 9 kg/minggu dan daging ayam 124 kg/minggu, BPS 2020). Hal ini dapat memicu timbulnya berbagai penyakit akibat konsumsi lemak berlebih dari daging hewani seperti kardiovaskular, hipertensi, diabetes, kanker, dan lain sebagainya (Lanham-New et al., 2011). Selain itu penggunaan tepung terigu pada pembuatan nugget juga dapat memicu alergi gluten pada beberapa konsumen (Richana, 2010).

Berbagai jenis jamur seperti tiram, kancing, merang, shiitake dan enoki dapat diolah menjadi nugget. Kandungan protein jamur tiram kisarannya sekitar 10.50–30.40% (Suwito, 2006) dan jumlah tersebut lebih tinggi dibanding jamur merang (16.00%), jamur kuping (7.70%) dan jamur shiitake (17.70%) (Chang & Miles, 1989). Hal ini menjadikan jamur tiram sebagai salah satu alternatif bahan untuk pembuatan nugget nabati selain dari harganya yang lebih ekonomis dan lebih banyak dibudidayakan masyarakat (8.60 ton khusus provinsi Jawa Timur, BPS 2020). Disamping kadar proteinnya yang tinggi, jamur tiram putih juga memiliki rasa yang enak, mudah diolah dan mudah didapat, meskipun diluar hal tersebut masih ada kekurangan dalam pengaplikasiannya pada nugget yaitu kelebihan kadar air (86.00–87.50%, (Alam et al., 2010). Alternatif untuk mengatasi hal tersebut ialah menggunakan bahan nabati tinggi serat seperti sera mocaf.

Mocaf merupakan tepung yang dibuat dari singkong yang telah difermentasi menggunakan bakteri asam laktat sehingga karakteristiknya seperti warna dan aroma menjadi lebih baik (Badan Standardisasi Nasional, 2011). Produksi mocaf menggunakan acuan standar ayakan 100 mesh untuk tepung yang siap dikemas dan dipasarkan sehingga tepung dengan ukuran partikel lebih besar dibuang sebagai limbah. Bahan tidak lolos ayakan ini dikenal dengan sebutan ‘sera’ (Diniyah et al., 2018). Berdasarkan ukuran partikelnya yang cukup besar karena tidak mampu dipecah oleh enzim selama fermentasi, sera mocaf diasumsikan dapat memperbaiki tekstur nugget menjadi lebih kompak. Selain itu sebagai alternatif pengganti tepung terigu, digunakan tapioca yang berfungsi sebagai bahan pengikat dari kandungan amilopektin didalamnya (mencapai sekitar 80%, (Gaman dan Sherrington, 1994).

Kajian lebih lanjut mengenai formulasi dari jamur, sera mocaf dan tapioka perlu dilakukan agar dapat menghasilkan nugget nabati dengan tekstur yang kompak, kandungan gizi yang cukup dan karakteristik organoleptik yang diterima oleh konsumen.

BAHAN DAN METODE Bahan

Kebutuhan bahan dalam produksi nugget antara lain singkong segar, senyawa aktif A, starter mocaf, senyawa aktif C, jamur tiram, tapioca, bawang putih, merica bubuk, pala, garam, gula, STPP, minyak goreng, telur, dan air. Bahan untuk pengujian nugget antara lain selenium, asam borax 4%, NaOH 30%, HCl 0.02 N, NaOH 0.313 N, H2SO4 0.255 N, K2SO4

10%, Ethanol 95%, MMMB, dan aquadest.

Alat

Alat yang dibutuhkan untuk produksi mocaf dan pembuatan nugget antara lain slicer singkong, loyang, tampah kayu, neraca, ayakan 100 mesh, saringan, blender, gelas ukur 100 ml, gelas ukur pisau, plastik 1000 ml, kotak makanan, kompor, panci, baskom, piring, talenan, sotil kayu, food processor, kulkas, freezer, dan spatula. Alat pengujian yang digunakan berupa rheotex, oven memmert, dekstruktor, destilator, labu kjeldahl, spatula besi, spatula kaca,

(3)

111 erlenmeyer 250 ml, buret 50 ml, beaker glass 50 ml, beaker glass 1 liter, corong kaca 75 mm, penangas air, kondensor dan alat uji sensoris (piring, sendok, ruang sensoris).

Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang menggunakan satu faktor yaitu formulasi sera mocaf yang disubstitusikan dalam pembuatan nugget jamur. Variasi formula yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan Dalam Pembuatan Nugget Jamur

Jenis bahan Formulasi nugget (gram)

1 2 3 4 5

Jamur tiram 200 200 200 200 200

Tepung sera mocaf 75 50 25 0 0

Tapioka 25 50 75 100 0

Terigu protein sedang 0 0 0 0 100

Bawang putih 25 25 25 25 25

Merica bubuk 5 5 5 5 5

Pala 5 5 5 5 5

Garam 5 5 5 5 5

Penyedap makanan 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50

Gula 10 10 10 10 10

STPP 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50

Minyak goreng 40 40 40 40 40

Telur 25 25 25 25 25

Air 75 75 75 75 75

Tahapan Penelitian

Produksi MOCAF (Subagio et al., 2008).

Tahap awal produksi MOCAF yaitu sortasi singkong kemudian kulitnya dikupas dan dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Setelah itu singkong diiris dengan ketebalan ± 1–

1.50 mm menggunakan slicer. Chip singkong selanjutnya direndam dulu dengan senyawa A (0.10 g/L) selama 10 menit. Perendaman ini berfungsi untuk memberi komponen nutrisi, mineral dan mengatur pH pada chip sebelum dilakukan fermentasi dengan BAL. Selanjutnya rendaman tersebut diinokulasi dengan starter MOCAF (10 ml/L) selama 24 jam lalu dihentikan dengan merendam chip singkong dalam larutan senyawa B (1 g/L) selama 10 menit. Chip yang sudah selesai direndam kemudian dicuci lagi dengan air mengalir dan diperas hingga airnya kesat. Setelah itu dikeringkan dibawah sinar matahari. Chip yang sudah kering selanjutnya digiling dengan blender lalu diayak menggunakan ayakan 100 mesh. Hasil MOCAF yang tidak lolos ayakan (SERA) ditampung dan digunakan dalam produksi nugget jamur

Pembuatan Nugget Jamur

Tahap awal pembuatan nugget dilakukan dengan mensortasi jamur tiram dan dicuci menggunakan air mengalir. Setelah itu, diblanching selama 3 menit untuk memperbaiki tekstur, dan warna lalu ketika sudah dingin, dihaluskan menggunakan food processor.

Disamping itu, bawang putih, pala, gula, dan garam dihaluskan terlebih dahulu menggunakan blender atau ulekan lalu dicampur dalam adonan jamur. Setelah itu, merica bubuk, telur dan STPP dimasukkan dalam food processor lalu giling. Ketika campuran sudah kalis/halus, tapioka dan tepung sera dimasukkan sesuai dengan variasi formula (25%, 50%, 75%, 100%).

(4)

112 Kemudian tambahkan air dan minyak goreng pada bagian akhir lalu adonan dimasukkan dalam loyang yang beralaskan kertas roti. Adonan yang sudah siap dalam cetakan dikukus selama ±15 menit lalu didinginkan dalam kulkas selama semalam. Setelah nugget mengeras, dikeluarkan dari cetakan dan diiris dadu atau memanjang. Nugget selanjutnya dilapisi menggunakan adonan telur kocok yang sudah dicampur dengan maizena, bawang putih halus dan garam lalu dicover bagian luarnya dengan tepung panir. Hasil nugget yang telah dilapisi kemudian digoreng untuk selanjutnya diuji karakteristiknya atau dimasukkan freezer terlebih dahulu untuk penyimpanan.

Metode Analisis

Karakteristik fisik nugget jamur diuji menggunakan rheotex, yang berfungsi untuk mengukur kekerasan/tekstur (Subagio et al., 2003). Karakteristik kimia berupa kadar air dan kadar protein diuji menggunakan metode (AOAC, 2005); serta kadar serat kasar melalui metode (Sudarmadji et al., 1997). Data uji fisik dan kimia dianalisis lebih lanjut menggunakan metode sidik ragam (95%) dan duncan melalui program SPSS 16.0. Karakteristik organoleptik diukur berdasarkan tingkat kesukaan 25 panelis tidak terlatih dengan rentang nilai kesukaan dari angka 1-5 (tidak suka hingga suka) (Adawiyah dan Waysima, 2009). Data organoleptik dianalisis secara deskriptif berdasarkan rata-rata kesukaan panelis terhadap nugget jamur.

Penetapan perlakuan terbaik dari formulasi nugget jamur ditentukan dengan metode efektivitas (De Garmo et al., 1984).

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tekstur Nugget Jamur

Berdasarkan hasil sidik ragam (95%), dapat diketahui bahwa penggunaan variasi formula sera mocaf dan tapioka pada pembuatan nugget jamur memberi pengaruh yang signifikan pada hasil uji tekstur. Nilai tekstur nugget jamur pada sampel dengan variasi formula sera mocaf dan tapioka (F1-F4) berkisar antara 6.27 g/mm hingga 8.64 g/mm, sedangkan sampel kontrol dengan bahan pengisi berupa terigu (F5) memiliki nilai tekstur sebesar 6.84 g/mm Gambar 1. Semakin banyak persentase sera mocaf yang ditambahkan, akan membuat tekstur menjadi semakin keras (F1). Hal ini dikarenakan sera mocaf merupakan bahan tidak lolos ayakan 100 mesh dari pembuatan tepung mocaf. Mocaf dibuat dengan prinsip fermentasi oleh bakteri asam laktat sehingga karbohidratnya terpecah dan meningkatkan karakteristik tepungnya (Edam, 2017). Bagian mocaf yang tidak terfermentasi mengandung komponen serat yang banyak sehingga ukuran butirannya menjadi lebih besar dibanding tepung yang terfermentasi. Kandungannya berkisar antara 18.11-22.76% (Diniyah et al., 2018). Total serat pada sera mocaf lebih besar jika dibanding tapioka (maks 0.4%, (Badan Standardisasi Nasional, 2011)) dan terigu (0.3%, (Kementerian Kesehatan RI, 2018)). Besarnya jumlah serat ini menyebabkan ikatan di bagian dalam sampel menjadi lebih kompak sehingga teksturnya menjadi lebih keras jika dibandingkan dengan sampel yang mengandung sera mocaf lebih sedikit.

Namun penggunaan tapioka tanpa adanya sera juga menghasilkan tekstur nugget jamur yang keras (F4) dibanding kontrol (F5) walaupun tidak sekeras nugget jamur dengan tambahan sera (F1). Hal ini dikarenakan efek retrogradasi dan sineresis dari tapioka. Gel pati yang didinginkan akan mengalami agregasi dan menghasilkan gel dengan tekstur yang lebih kuat. Retrogradasi umumnya terjadi pada gel pati dengan kandungan amilosa yang lebih banyak. Namun, gel pati dengan kandungan amilopektin yang besar seperti tapioka tetap dapat mengalami retrogradasi walau kekuatan gelnya lebih rendah dibanding amilosa (Syamsir et al., 2011). Retrogradasi terjadi pada saat nugget jamur disimpan dalam freezer, tetapi pengukuran tekstur pada nugget jamur dilakukan saat nugget sudah selesai dicairkan dari freezer sehingga terjadi proses sineresis selama pendiaman pada suhu ruang. Hal ini menyebabkan hasil pengukuran nugget dengan bahan pengisi terigu (F5) lebih rendah teksturnya dibanding tapioka (F4). Haryanti et al., (2014) menyatakan bahwa persentase sineresis dari pati tinggi amilosa lebih tinggi dibanding pati tinggi amilopektin sehingga tekstur

(5)

113 pasta menjadi lebih lunak pada sampel yang mengalami sineresis lebih banyak. Selain itu, nilai tekstur F4 lebih besar dibandingkan F2 dan F3, walaupun pada F2 dan F3 terdapat penambahan sera mocaf. Hal ini dikarenakan serat dapat membuat gelatinisasi berlangsung kurang maksimal sehingga terbentuk ruang kosong pada adonan nugget yang memicu penurunan kekerasan. Hasanah et al., (2020) mendukung pernyataan ini melalui hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa hardness nugget nangka muda semakin menurun dengan adanya peningkatan proporsi tempe.

Gambar 1. Tekstur nugget jamur dengan variasi formula sera mocaf dan tapioka

2. Kadar Air Nugget Jamur

Karakteristik selanjutnya adalah kadar air nugget jamur dengan nilai yang berkisar antara 52.70% hingga 54.47% Gambar 2. Hasil sidik ragam (95%), menunjukkan bahwa penggunaan formula sera mocaf dan tapioka yang berbeda, memberikan pengaruh yang signifikan. Kadar air tertinggi ada pada sampel F1 (54.47%) yang menggunakan 75% sera mocaf dan 25% tapioka, sedangkan kadar air terendah (52.70%) ada pada sampel F3 dengan formulasi sera mocaf 25% dan tapioka 75%. Hal ini menandakan bahwa dengan semakin banyak sera mocaf yang ditambahkan dalam variasi formula, maka akan membuat kadar air nugget semakin meningkat. Hal ini dikarenakan kandungan serat kasar yang ada pada sera mocaf memiliki kemampuan mengikat air sehingga kadar airnya lebih tinggi dibanding sampel lainnya. Serat kasar memiliki gugus hidroksil yang bersifat polar sehingga air bebas dapat terikat pada gugus tersebut. Tingginya jumlah gugus polar pada suatu bahan dipengaruhi oleh peningkatan serat kasar pada bahan tersebut sehingga kemampuan pengikatan airnya juga meningkat (Praseptiangga et al., 2016).

Gambar 2. Kadar air nugget jamur dengan variasi formula sera mocaf dan tapioka

Namun jika dibandingkan dengan kadar air sampel kontrol yang berbahan terigu, nilai kadar air sampel F4 dan F5 tidak berbeda signifikan. Hal ini dapat dilihat dari notasi hasil uji lanjut Duncan pada sampel tersebut. Sampel F4 menggunakan formulasi 100% tapioka yang memiliki kandungan amilopektin sekitar 83% (Jayanti et al., 2017) sehingga tingginya kadar

8.64d

7.02b

6.27a

7.76c

6.84b

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00

F1 F2 F3 F4 F5

Tekstur (g/mm)

54.47d

53.57b52.70a54.08c

54.20cd

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00

F1 F2 F3 F4 F5

Kadar Air (%)

(6)

114 air pada sampel ini disebabkan karena terjadinya pembentukan gel oleh amilopektin. Sampel F5 terbuat dari 100% terigu sebagai sampel kontrol, tingginya kadar air pada sampel ini disebabkan karena kandungan protein yang lebih tinggi dibanding bahan lainnya. Protein memiliki sifat ampifatik yaitu dapat mengikat air dan lemak melalui gugus hidrofilik dan hidrofobik yang ada di dalam ikatannya, sehingga dengan semakin banyak protein, maka kadar air juga bisa meningkat (Simamora, 2015). Selain itu, Cato et al.,(2015) dan Lekahena (2016), menyatakan bahwa tepung tapioka umumnya berfungsi sebagai bahan pengikat dalam pembuatan nugget sehingga peningkatan proporsinya akan mempengaruhi jumlah air yg terikat, yaitu semakin banyak.

Standar kadar air nugget yang ada di Indonesia mengacu pada produk nugget berbahan dasar ayam dengan jumlah maksimal sebesar 50% pada daging ayam biasa dan 60% pada daging ayam kombinasi (Badan Standardisasi Nasional, 2014). Nilai kadar air nugget jamur melebihi ketentuan SNI jika dibandingkan dengan kadar air nugget ayam biasa tetapi masih memenuhi ketentuan SNI jika pembandingnya nugget ayam kombinasi. Hal ini menjadikan nugget jamur dapat diterima dari segi standar kandungan airnya, tetapi bukan sebagai acuan utama dikarenakan bahan utama yang digunakan berbeda. Umumnya bahan pangan nabati seperti sayur dan buah memiliki kadar air yang lebih tinggi (90-95%) jika dibanding bahan hewani (60-70%) sehingga potensi nugget nabati untuk memiliki kadar air diatas SNI menjadi lebih besar (Koeswardhani, 2014).

3. Kadar Protein Nugget Jamur

Hasil sidik ragam pada taraf 95% menunjukkan bahwa variasi formula sera mocaf dan tapioka memberikan pengaruh yang signifikan pada kadar protein nugget jamur Gambar 3.

Sumber protein utama dari nugget jamur berasal dari bahan berprotein seperti jamur tiram putih, telur, bawang putih, dan pala. Namun sera mocaf, tapioka maupun terigu masih memiliki kandungan protein dalam jumlah kecil sehingga dapat memberi pengaruh pada protein akhir dari nugget jamur. Nilai tertinggi (5.96%) ada pada protein sampel kontrol (F5), sedangkan nilai terendah (3.66%) ada pada sampel dengan formula 75% sera mocaf : 25% tapioka.

Variasi nilai kadar protein yang berbeda disebabkan karena perbedaan penambahan bahan pengisi pada pembuatan nugget. Terigu terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan kandungan proteinnya berupa tinggi protein (12-14%), protein sedang (10.50-11.50%) dan protein rendah (8-9%) sedangkan menurut syarat (Badan Standardisasi Nasional, 2009), kandungan protein terigu minimal sebesar 7%. Tapioka memiliki kandungan protein sekitar 5% dan sera mocaf kandungan proteinnya sebesar 1.31-2.34% (Diniyah et al., 2018). Hal ini menandakan bahwa dengan semakin banyaknya sera mocaf, maka kandungan protein yang ada pada nugget jamur akan semakin rendah. Hasil yang sama juga diperoleh pada penelitian (Cato et al., 2015; Rahmah dan Handayani, 2018; Simbolon et al., 2016), yang menunjukkan bahwa kandungan protein pada nugget ayam, nugget ikan dan nugget nabati dipengaruhi oleh proporsi bahan berprotein yang ditambahkan, bukan dari bahan pengikat atau pengisi.

Gambar 3. Kadar protein nugget jamur dengan variasi formula sera mocaf dan tapioka

4. Kadar Serat Kasar Nugget Jamur

3.66a 4.10c 4.45d 3.95b

5.96e

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00

F1 F2 F3 F4 F5

Kadar Protein (%)

(7)

115 Parameter keempat yang diuji pada nugget jamur ialah kadar serat kasar. Setelah dilakukan uji sidik ragam pada taraf kepercayaan 95%, diketahui bahwa penggunaan formula sera mocaf dan tapioka yang berbeda pada pembuatan nugget jamur, memberikan pengaruh yang signifikan. Nilai kadar serat nugget jamur berkisar antara 1.14% hingga 6.02% Gambar 4. Kadar serat tertinggi (6.02%) ada pada sampel dengan formula sera mocaf 75% : tapioka 25% (F1), sedangkan kadar serat terendah (1.14%) ada pada sampel dengan formula 100%

tapioka (F4). Perbedaan kadar serat kasar ini disebabkan karena sera mocaf memiliki kandungan serat kasar yang paling tinggi jika dibandingkan bahan pengisi lainnya. Serat kasar pada sera mocaf mencapai 22.76% (Diniyah et al., 2018) sedangkan pada tapioka hanya sebesar 0.40% (Badan Standardisasi Nasional, 2011) dan terigu 0.30% (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Semakin banyak sera mocaf yang ditambahkan dalam nugget jamur maka kandungan serat kasarnya juga akan semakin meningkat. Jika dibandingkan dengan nugget jamur kontrol, secara keseluruhan hasil uji lanjut menunjukkan notasi yang berbeda sehingga semua sampel uji tidak ada yang memenuhi standar sampel kontrol dari segi serat kasarnya. Namun, jika dibandingkan dengan SNI nugget ayam (Badan Standardisasi Nasional, 2014), nugget tidak memiliki batas minimal atau maksimal pada kandungan serat kasar sehingga nugget tinggi serat dapat diajukan sebagai alternatif pangan tinggi serat yang berguna untuk diet atau perbaikan gizi lainnya. (Simbolon et al., 2016) menyatakan bahwa serat merupakan bahan yang tidak dapat terhidrolisis oleh enzim pencernaan dan jumlah kandungannya pada suatu produk juga didasarkan pada proporsi bahan berserat tinggi yang ditambahkan, sehingga pada penelitiannya, dengan semakin banyak jantung pisang dalam adonan maka kadar seratnya juga meningkat.

Kadar serat F4 merupakan nilai terkecil dari keseluruhan sampel. Hal ini disebabkan karena tidak ada penambahan bahan berserat di dalam adonannya. Tapioka merupakan pati dari ubi kayu/singkong. Pembuatannya diawali dengan mengekstrak ubi kayu dengan cara di tekan atau di pres lalu diambil endapan cairannya sehingga kandungan serat kasar akan tertinggal pada residu (Syamsir et al., 2011). Sedangkan pada terigu, tepungnya dibuat dengan menghancurkan dan mengeringkan keseluruhan gandum sehingga kandungan seratnya masih terikut dalam hasil akhir tetapi dengan jumlah yang lebih kecil jika dibandingkan dengan bahan berserat tinggi seperti jewawut atau sera mocaf (Arif et al., 2018).

Gambar 4. Kadar serat kasar nugget jamur dengan variasi formula sera mocaf dan tapioka

5. Nilai Organoleptik Warna

Parameter selanjutnya yang akan dianalisis dari nugget jamur ialah karakteristik organoleptik. Pembahasan ini diawali dengan parameter warna seperti yang tertera pada Gambar 5. Kesan pertama yang muncul dan dilihat saat memberikan penilaian pada suatu bahan atau produk pangan ialah warna. Warna produk yang menarik akan mengundang selera panelis atau konsumen untuk mencicipi produk (Lamusu, 2018). Hasil organoleptik warna pada nugget jamur menunjukkan bahwa sampel F1 (75% sera dan 25% tapioka) memiliki tingkat kesukaan paling tinggi jika dibandingkan sampel lainnya. Hal ini dapat disebabkan karena sampel F1 memiliki kandungan protein yang paling kecil diantara sampel

6.02e

5.10d 3.85c

1.14a

2.52b

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00

F1 F2 F3 F4 F5

Kadar serat kasar (%)

(8)

116 lain sehingga ketika digoreng, potensi untuk terjadi pencoklatan akan semakin kecil dan membuat warnanya terlihat lebih cerah serta lebih disukai oleh panelis.

Gambar 5. Nilai organoleptik warna nugget jamur dengan variasi formula sera mocaf dan tapioka

6. Nilai Organoleptik Aroma

Parameter kedua yang dianalisis dari segi organoleptik yaitu aroma. Aroma ialah sensasi subyektif dari penciuman (pembauan) yang dipicu oleh adanya senyawa volatil (kandungan bahan pangan yang dapat diisolasi dengan konsentrasi yang umumnya kurang dari 100 ppm) pada suatu produk (Lamusu, 2018). Aroma yang paling terdeteksi selama pengujian organoleptik berupa aroma gurih dan manis. Timbulnya aroma ini dipicu oleh penggunaan jamur tiram dan bahan bumbu seperti bawang putih dan pala. Persentase bahan bumbu dan jamur yang ditambahkan saat pembuatan nugget sama, satu dengan lainnya.

Namun perbedaan kandungan serat dari penambahan sera membuat tingkat kesukaan panelis berbeda pada tiap sampel. Semakin banyak kandungan serat membuat ikatan pada sampel makin kompak sehingga molekul aroma terperangkap dan lebih terdeteksi saat diuji.

Hal ini membuat sampel F1 (75% sera dan 25% tapioka) menjadi sampel paling disukai aromanya Gambar 6.

Gambar 6. Nilai organoleptik aroma nugget jamur dengan variasi formula sera mocaf dan tapioka

7. Nilai Organoleptik Rasa

Selanjutnya, parameter ketiga dari pengujian organoleptik yaitu rasa. Rasa adalah rangsangan yang diterima oleh lidah dengan empat sensor utama yaitu manis, asin, asam dan pahit serta tambahan respon lainnya apabila dilakukan modifikasi (Lamusu, 2018). Hasil uji pada Gambar 7, menunjukkan bahwa rasa sampel yang paling disukai panelis ada pada kode F3 (25% sera dan 75% tapioka). Sama seperti parameter aroma, pembentuk utama rasa pada sampel ialah jamur dan bahan bumbu. Penggunaan sera dengan kandungan serat tinggi akan membantu sampel agar semakin kompak strukturnya. Namun sera meninggalkan rasa singkong yang agak kuat, sehingga dengan penambahan sera yang terlalu tinggi (F1), dapat membuat sampel terasa agak apek dan kurang disukai panelis.

3,75 3,53 3,47 3,45 3,51

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00

F1 F2 F3 F4 F5

Kesukaan Warna

3,40 3,32 3,20 3,13 3,08

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00

F1 F2 F3 F4 F5

Kesukaan Aroma

(9)

117 Gambar 7. Nilai organoleptik rasa nugget jamur dengan variasi formula sera mocaf dan

tapioka

8. Nilai Organoleptik Tekstur

Parameter keempat dari analisis organoleptik ialah tekstur. Tekstur merupakan penginderaan suatu produk dengan cara disentuh dan diraba yang mengacu pada tingkat kekerasan, kekohesifan, dan kandungan air pada suatu bahan atau produk (Lamusu, 2018).

Hasil uji organoleptik tekstur tertera pada Gambar 8, yang menunjukkan hasil berupa sampel F3 (25% sera dan 75% tapioka) yang mendapat nilai kesukaan tertinggi. Penggunaan sera dapat meningkatkan kekerasan sampel akibat adanya kandungan serat yang cukup tinggi sehingga dengan semakin banyak penambahan maka sampelnya akan semakin keras.

Berdasarkan hal tersebut panelis lebih memilih sampel F3 karena tekstur sampel cukup kompak tetapi tidak terlalu keras layaknya sampel F1.

Gambar 8. Nilai organoleptik tekstur nugget jamur dengan variasi formula sera mocaf dan tapioka

9. Nilai Organoleptik Keseluruhan

Parameter terakhir dari analisis organoleptik adalah penilaian keseluruhan. Ditinjau dari empat parameter awal, secara keseluruhan panelis diminta menilai dan memilih sampel yang paling disukai. Berdasarkan Gambar 9, diketahui bahwa sampel F1 (75% sera dan 25%

tapioka) secara keseluruhan paling disukai oleh panelis. Parameter sampel ini juga melebihi nilai kesukaan pada sampel kontrol sehingga dapat diasumsikan bahwa nugget jamur dengan variasi penambahan sera dan tapioka sudah dapat diterima konsumen apabila kedepannya akan ada rencana pemasaran.

3,45 3,45 3,51 3,37 2,89

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00

F1 F2 F3 F4 F5

Kesukaan Rasa

3,40 3,31 3,32

3,00 3,31

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00

F1 F2 F3 F4 F5

Kesukaan Tekstur

(10)

118 Gambar 9. Nilai organoleptik keseluruhan nugget jamur dengan variasi formula sera mocaf

dan tapioka

Analisis lebih lanjut untuk menentukan perlakuan terbaik dari empat formulasi dan satu kontrol yang digunakan dalam pembuatan nugget jamur, berupa uji efektivitas. Hasil perhitungan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sampel F1 (75% sera dan 25% tapioka) memiliki jumlah nilai hasil (NH) tertinggi (0.72) dari keempat sampel lainnya. Hal ini juga didukung dari penilaian organoleptic keseluruhan yang menyatakan bahwa sampel F1 merupakan sampel yang paling disukai sehingga formula F1 dapat dinyatakan sebagai formula terbaik.

Tabel 2. Hasil uji efektivitas nugget jamur dengan variasi formula sera mocaf dan tapioka

Sampel Warna Aroma Rasa Tekstur Keseluruhan

Bv 0.7 0.8 0.9 1 0.6

Bn 0.13 0.15 0.17 0.18 0.11

NH

F1 0.13 0.15 0.15 0.18 0.11

F2 0.04 0.11 0.15 0.14 0.08

F3 0.01 0.06 0.17 0.15 0.07

F4 0.00 0.02 0.13 0.00 0.03

F5 0.03 0.00 0.00 0.14 0.00

Sampel Air Protein Tekstur Serat Jumlah NH

dari semua parameter

Bv 0.3 0.2 0.5 0.4

Bn 0.06 0.04 0.09 0.07

NH

F1 0.06 0.00 1.00 0.04 0.72

F2 0.03 0.01 0.81 0.04 0.52

F3 0.00 0.01 0.55 0.07 0.45

F4 0.04 0.01 0.00 0.01 0.18

F5 0.05 0.04 0.28 0.00 0.17

SIMPULAN

Penggunaan variasi formulasi sera mocaf dan tapioka memberikan pengaruh yang signifikan pada karakteristik fisik dan kimia nugget jamur. Nilai tekstur nugget jamur berkisar antara 6.27 g/mm hingga 8.64 g/mm. Karakteristik kimia berupa kadar air berkisar antara 52.70-54.47%; kadar protein berkisar antara 3.66-5.96%; dan kadar serat kasar berkisar antara 1.14-6.02%. Secara keseluruhan nilai kesukaan panelis pada nugget jamur berada

3,72 3,55 3,51 3,31 3,17

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00

F1 F2 F3 F4 F5

Kesukaan Keseluruhan

(11)

119 pada rentang netral dan suka, dengan sampel yang mendapat nilai kesukaan tertinggi yaitu nugget jamur dengan variasi 75% sera dan 25% tapioka.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih ditujukan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M), Universitas Jember atas dukungan finansial terkait pelaksanaan penelitian melalui program Hibah Pembinaan Bagi Tenaga Fungsional Non Dosen Tahun Anggaran 2020.

DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, D., dan Waysima. (2009). Buku Ajar Evaluasi Sensori Produk Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Alam, N., Lee, J. S., and Lee, T. S. (2010). Mycelial Growth Conditions and Molecular Phylogenetic Relationships of Pleurotus ostreatus. World Applied Sciences Journal, 9(8), 928–937.

AOAC. (2005). Official Methods of Analysis of the Association of Analytical Chemist.

Association of Official Analytical Chemist, Inc.

Arif, D. Z., Cahyadi, W., dan Firdhausa, A. S. (2018). Kajian Perbandingan Tepung Terigu (Triticum aestivum) dengan Tepung Jewawut (Setaria italica) terhadap Karakteristik Roti Manis. Pasundan Food Technology Journal, 5(3), 180–189.

Badan Standardisasi Nasional. (2009). SNI 3751:2009 Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan.

Badan Standardisasi Nasional. (2011a). SNI 3451:2011 Tapioka. www.bsn.go.id Badan Standardisasi Nasional. (2011b). SNI 7622:2011 Tepung Mokaf. www.bsn.go.id Badan Standardisasi Nasional. (2014). SNI 6683:2014 Naget Ayam (Chicken Nugget).

www.bsn.go.id

Cato, L., Rosyidi, D., dan Thohari, I. (2015). Pengaruh Subtitusi Tepung Porang (Amorphophallus oncophyllus) pada Tepung Tapioka terhadap Kadar Air, Protein, Lemak, Rasa dan Tekstur Nugget Ayam. J. Ternak Tropika, 16(1), 15–23.

Chang, S. T., & Miles, P. G. (1989). Edible Mushrooms and Their Cultivation. CRC Press.

De Garmo, E. P., Sullivan, W. G., & Candra, R. C. (1984). Engineering Economy. Mc. Millan.

Publ. Co.

Diniyah, N., Yuwana, N., Purnomo, H.,dan Subagio, A. (2018). Karakterisasi Sera MOCAF (MODIFIED CASSAVA FLOUR) dari Ubikayu Varietas Manis dan Pahit. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian, 15(3), 131–139.

Edam, M. (2017). Aplikasi Bakteri Asam Laktat untuk Memodifikasi Tepung Singkong Secara Fermentasi. Jurnal Penelitian Teknologi Industri, 9(1), 1–8.

Gaman, P. M., dan Sherrington, K. B. (1994). Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi (2nd ed.). Gadjah Mada University Press.

Haryanti, P., Setyawati, R., & Wicaksono, R. (2014). Pengaruh Suhu dan Lama Pemanasan Suspensi pati serta Konsentrasi Butanol terhadap Karakteristik Fisikokimia Pati Tinggi Amilosa dari Tapioka. AGRITECH, 34(3), 308–315.

Hasanah, U., Ulya, M., dan Purwandari, U. (2020). Pengaruh Penambahan Tempe dan Tepung Tapioka terhadap Karakteristik Fisikokimia dan Hedonik Nugget Nangka Muda (Artocarpus heterophyllus MK). Jurnal Pangan Dan Agroindustri, 8(3), 154–162.

Jayanti, U., Dasir, & Idealistuti. (2017). Kajian Penggunaan Tepung Tapioka dari Berbagai Varietas Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) dan Jenis Ikan terhadap Sifat Sensoris Pempek. EDIBLE, 4(1), 59–62.

Kementerian Kesehatan RI, D. J. K. M. (2018). Tabel Komposisi Pangan Indonesia.

Kementerian Kesehatan RI.

Koeswardhani, M. (2014). Dasar-dasar Teknologi Pengolahan Pangan. Bahan Ajar, 1–60.

Lamusu, D. (2018). Uji Organoleptik Jalangkote Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L) sebagai

(12)

120 Upaya Diversifikasi Pangan. Jurnal Pengolahan Pangan , 3(1), 9–15.

Lanham-New, S. A., Macdonald, I. A., dan Roche, H. M. (2011). Metabolisme Zat Gizi. EGC.

Lekahena, V. N. J. (2016). Pengaruh Penambahan Konsentrasi Tepung Tapioka Terhadap Komposisi Gizi dan Evaluasi Sensori Nugget Daging Merah Ikan Madidihang. Jurnal Ilmiah Agribisnis Dan Perikanan, 9(1), 1–8.

Praseptiangga, D., Aviany, T. P., & Parnanto, N. H. R. (2016). Pengaruh Penambahan Gum Arab terhadap Karakteristik Fisikokimia dan Sensoris Fruit Leather Nangka (Artocarpus heterophyllus). Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, 9(1), 71–83.

Rahmah, S., dan Handayani, M. N. (2018). Penambahan Tepung MOCAF (MODIFIED CASSAVA FLOUR) dalam Pembuatan Nugget Nabati. EDUFORTECH, 3(1), 14–23.

http://ejournal.upi.edu/index.php/edufortech/indexEDUFORTECH3

Richana, N. (2010). Tepung Jagung Termodifikasi sebagai Pengganti Terigu. Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, 32(6), 5–7.

Simamora, A. (2015). Asam amino, Peptida, dan Protein. In BUKU AJAR BLOK 3 BIOLOGI SEL. Fakultas Kedokteran UKRIDA.

Simbolon, M. V. T., Pato, U., dan Restuhadi, F. (2016). Kajian Pembuatan Nugget dari Jantung Pisang dan Tepung Kedelai dengan Penambahan Ikan Gabus (Opiocephalus striatus). JOM Faperta, 3(1), 1–15.

Subagio, A., Windrati, W. S., dan Witono, Y. (2003). Pengaruh Penambahan Isolat Protein Koro Pedang (Canavalia ensiformis L.) terhadap Karakteristik Cake. Jurnal. Teknol. Dan Industri Pangan, 16(2), 136–143.

Subagio, A., Windrati, W. S., Witono, Y., dan Fahmi, F. (2008). Prosedur Operasi Standar (POS) Produksi Mocal Berbasis Klaster. PEMDA Kabupaten Trenggalek.

Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi. (1997). Prosedur Analisis untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty Yogyakarta.

Suwito, M. (2006). Resep Masakan Jamur dari Chef Ternama. Agromedia Pustaka.

Syamsir, E., Hariyadi, P., Fardiaz, D., Andarwulan, N., dan Kusnandar, F. (2011). Karakteristik Tapioka dari Lima Varietas Ubi Kayu (Manihot utilisima Crantz) Asal Lampung. Jurnal Agroteknologi, 5(1), 93–105.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan jamur tiram dan tapioka memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar serat kasar,

D.8 Data Hasil Uji Friedman pada Taraf 5% terhadap Kenampakan Irisan Nugget dengan Variasi Rasio Jamur Merang dan Tepung Koro Pedang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan semakin besar konsentrasi tepung daging bekicot yang ditambahkan berpengaruh terhadap kualitas nugget jamur tiram, dan dengan variasi

nugget jamur tiram adalah tepung daging bekicot yang sekaligus digunakan. untuk memvariasi penggunaan

Data yang Diperoleh, Uji ANAVA, dan Uji Duncan Kadar Lemak Nugget Jamur Tiram dengan Variasi Tepung Daging Bekicot.

Hasil uji organoleptik terhadap kesukaan keseluruhan nugget jamur tiram yang dihasilkan menunjukkan bahwa keseluruhan produk nugget jamur tiram yang lebih disukai oleh panelis

Berdasarkan dari hasil penelitian chicken nugget jamur tiram dengan pengaruh suhu dan waktu penggorengan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1.. Suhu dan waktu

Ada perbedaan variasi campuran jamur tiram putih dan tepung labu kuning terhadap sifat fisik nugget, yaitu semakin banyak pencampuran labu kuning maka warna nugget