PENGARUH PAJAK, UKURAN PERUSAHAAN,
PROFITABILITAS, DAN LEVERAGE TERHADAP transfer pricing DI SEKTOR PERTAMBANGAN TAHUN 2021-2023
Laela1; Purwantoro2; Bambang Minarso3
1
Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Dian Nuswantoro Semarang 1
Email : [email protected]1; [email protected]2; [email protected]3
ABSTRAK
Studi ini memiliki fokus untuk mengkaji bagaimana aspek perpajakan, skala entitas bisnis, kemampuan menghasilkan laba (profitabilitas), serta tingkat utang (leverage) memberikan pengaruh terhadap praktik penetapan harga transfer (transfer pricing) dalam industri pertambangan selama kurun waktu 2021 hingga 2023. Dalam riset ini, transfer pricing ditetapkan sebagai variabel terikat, sedangkan faktor pajak, ukuran perusahaan, profitabilitas, dan leverage menjadi variabel bebasnya. Pengambilan sampel dilakukan pada perusahaan-perusahaan multinasional yang sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui teknik purposive sampling. Sebanyak 63 perusahaan diamati selama periode tiga tahun, menghasilkan data observasi. Sumber data utama adalah Laporan Keuangan perusahaan dari tahun 2021 sampai 2023.
Analisis data menggunakan metode regresi logistik yang diolah memakai perangkat lunak SPSS. Temuan riset mengindikasikan bahwa faktor pajak dan tingkat profitabilitas menunjukkan hubungan negatif dengan keputusan transfer pricing.
Sebaliknya, ukuran perusahaan dan rasio leverage memperlihatkan adanya korelasi positif dengan praktik transfer pricing.
Kata kunci : Pajak, Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, Leverage, transfer pricing.
ABSTRACT
This study focuses on examining how taxation, company size, profitability, and leverage influence transfer pricing practices within the mining industry for the period 2021 to 2023. In this research, transfer pricing is the dependent variable, while tax, company size, profitability, and leverage serve as the independent variables. Sampling was conducted on multinational companies whose shares are traded on the Indonesia Stock Exchange (IDX) using the purposive sampling technique. A total of 63 companies were observed over a three-year period, yielding the observation data. The primary data source was the companies' Financial Reports from 2021 to 2023. Data analysis utilized logistic regression processed using SPSS software. The research findings indicate that tax and profitability exhibit a negative relationship with transfer pricing decisions.
Conversely, company size and leverage ratios show a positive correlation with transfer pricing practices.
Keywords : Tax, Company Size, Profitability, Leverage, transfer pricing.
PENDAHULUAN
Merujuk pada pandangan Adelia & Santioso (2021), penetapan harga transfer atau transfer pricing merupakan sebuah isu ekonomi krusial yang berpotensi membawa dampak negatif bagi suatu negara. Praktik ini dapat memengaruhi penerimaan negara melalui dua jalur: langsung dan tidak langsung. Dampak langsung terjadi ketika
manipulasi harga dalam transaksi antar entitas yang berafiliasi mengakibatkan berkurangnya beban pajak yang harus dibayar, sehingga mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak. Sementara itu, dampak tidak langsung dapat berupa terhambatnya investasi di dalam negeri, terganggunya iklim persaingan usaha yang sehat, serta menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap efektivitas sistem perpajakan, yang pada akhirnya juga akan memengaruhi penerimaan negara.
Berdasarkan laporan dari Tax Justice Network (2021), praktik penetapan harga transfer (transfer pricing) diestimasi telah mengakibatkan Indonesia mengalami potensi kehilangan pendapatan pajak sebesar 2,27 miliar USD, dimana 2 miliar USD diantaranya berasal dari skema penghindaran pajak lintas negara. Sektor pertambangan, terutama batu bara, merupakan kontributor signifikan bagi penerimaan negara Indonesia. Produksi batu bara nasional pada tahun 2021 saja mencapai 613,99 juta ton, yang menempatkan Indonesia sebagai produsen terbesar ketiga di dunia pada saat itu (Jatnika et al., 2024). Beberapa kasus dugaan terkait pajak di sektor ini melibatkan tunggakan signifikan dari tiga perusahaan besar: PT Kaltim Prima Coal (KPC) dengan Rp1,5 triliun, PT Bumi Resources Tbk sebesar Rp376 miliar, dan PT Arutmin Indonesia sekitar Rp300 miliar. Lebih lanjut, beban bunga pinjaman yang besar pada PT Bumi Resources Tbk juga tercatat berpotensi mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkan. PT Kaltim Prima Coal bahkan pernah mengajukan gugatan untuk pengembalian pajak senilai Rp30 miliar terkait Surat Pemberitahuan (SPT) tahun 2007.
Perusahaan ini juga disinyalir melakukan praktik transfer pricing melalui penjualan batu bara kepada PT Indocoal Resource Limited, yang merupakan entitas anak usaha PT Bumi Resources Tbk, dengan harga di bawah standar pasar wajar, sehingga berdampak pada penurunan omzet yang dilaporkan dan kewajiban pajak perusahaan (Choirunnisa, 2024).
Sebagaimana dijelaskan oleh Zikri (2024), transaksi antar entitas yang memiliki hubungan afiliasi dalam satu kelompok usaha, baik karena kepemilikan saham maupun hubungan pengendalian, merupakan hal yang lazim terjadi dalam dunia bisnis. Cledy (2020) menambahkan bahwa perusahaan yang memiliki hubungan istimewa atau afiliasi seringkali memanfaatkan mekanisme transfer pricing, di mana harga transaksi atas barang atau jasa dapat diatur secara strategis untuk mencapai tujuan korporasi tertentu.
Khususnya dalam industri pertambangan, transfer pricing menjadi persoalan krusial
yang sering dikaitkan dengan upaya penghindaran pajak serta strategi optimalisasi laba perusahaan secara keseluruhan (Siregar W, 2022). Kebijakan perpajakan yang berlaku di suatu negara diidentifikasi sebagai salah satu elemen kunci yang memengaruhi keputusan perusahaan terkait praktik ini (Saputra, 2023).
Aspek perpajakan kerap menjadi motivasi utama bagi perusahaan untuk mengimplementasikan strategi transfer pricing sebagai upaya meminimalkan kewajiban fiskal mereka (Yusuf H, 2022). Salah satu indikator yang sering diamati adalah rasio antara beban pajak penghasilan terhadap laba sebelum pajak. Perusahaan dapat secara strategis merelokasi laba ke negara-negara dengan tarif pajak yang lebih rendah untuk memaksimalkan laba bersih konsolidasi (Choirunnisa, 2024). Sektor pertambangan, yang dicirikan oleh volume transaksi lintas batas negara yang besar, memberikan ruang bagi perusahaan untuk memindahkan keuntungan ke yurisdiksi dengan beban pajak yang lebih ringan (Wijaya et al., 2023). Konsekuensinya, beban pajak yang tinggi dapat mendorong perusahaan untuk menggunakan transfer pricing sebagai alat pengurangan pajak. Namun, temuan penelitian mengenai pengaruh pajak terhadap transfer pricing menunjukkan hasil yang beragam; studi oleh Cledy (2020), Najwa et al. (2024), dan Yolanda et al. (2024) menemukan adanya pengaruh signifikan, sementara riset dari Prabaningrum et al. (2021) dan Jannah (2022) justru menyimpulkan tidak adanya korelasi yang berarti.
Faktor lain yang turut memengaruhi praktik transfer pricing adalah skala atau ukuran perusahaan. Entitas bisnis berskala besar umumnya memiliki kapasitas dan sumber daya yang lebih memadai untuk melakukan perencanaan pajak internasional yang kompleks, termasuk skema transfer pricing. Afifah & Hasymi (2020) berpendapat bahwa perusahaan besar memiliki probabilitas lebih tinggi untuk menerapkan transfer pricing karena volume transaksi internal grup dan jumlah afiliasi global yang lebih banyak. Hasil penelitian empiris terkait pengaruh ukuran perusahaan juga bervariasi:
beberapa studi seperti yang dilakukan oleh Putri et al. (2023) dan Naili et al. (2024) menunjukkan adanya dampak signifikan ukuran perusahaan terhadap transfer pricing, namun penelitian lain oleh Putri (2023) serta Yudiman et al. (2025) tidak menemukan adanya pengaruh tersebut. Secara umum, terdapat kecenderungan bahwa semakin besar skala perusahaan, semakin tinggi pula potensinya untuk terlibat dalam praktik transfer pricing.
Profitabilitas, sebagai indikator performa finansial perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dari aset yang dikelola, juga merupakan faktor signifikan dalam konteks transfer pricing. Tingkat profitabilitas yang tinggi seringkali berkorelasi dengan beban pajak yang lebih besar (Hayani & Darmawati, 2023). Oleh karena pendapatan memiliki hubungan langsung dengan besaran pajak, perusahaan yang mencatatkan keuntungan tinggi mungkin terdorong untuk melakukan rekayasa pajak (Najwa et al., 2024). Seperti faktor lainnya, temuan riset mengenai hubungan profitabilitas dan transfer pricing juga tidak seragam. Penelitian oleh Prasetio & Mashuri (2020), Zulaikah (2023), serta Rizal
& Heriyah (2024) menemukan adanya pengaruh profitabilitas, sedangkan studi oleh Wahyudi et al. (2021) dan Kusumaningrum (2022) menyimpulkan sebaliknya. Di sisi lain, Miranty et al. (2022) mengemukakan bahwa perusahaan dengan laba tinggi mungkin lebih memilih menggunakan sumber dana dari dalam (internal funding), yang bisa jadi mengurangi insentif untuk melakukan transfer pricing.
Tingkat leverage atau rasio utang perusahaan juga dapat memengaruhi keputusan terkait transfer pricing. Leverage mengukur seberapa efektif perusahaan memanfaatkan pinjaman, dan tingkat utang yang tinggi dapat memberikan peluang pengurangan beban pajak melalui bunga utang (Adilah et al., 2022). Umumnya diukur menggunakan rasio utang terhadap ekuitas (Debt-to-Equity Ratio), perusahaan dengan tingkat leverage tinggi diduga lebih cenderung menerapkan transfer pricing untuk mereduksi pajak terutang dan memperbaiki arus kas (Sari R, 2024). Penelitian oleh Widiyastuti (2021), Hayani & Darmawati (2023), serta Zikri (2024) mendukung adanya pengaruh leverage terhadap transfer pricing. Studi lain oleh Hariaji & Akbar (2021) dan Maulana &
Kurnia (2024) juga dilaporkan menemukan pengaruh leverage terhadap praktik tersebut.
Salah satu mekanismenya adalah dengan mengalihkan beban pinjaman ke anak perusahaan di yurisdiksi pajak yang lebih menguntungkan, sehingga secara agregat pajak yang dibayar menjadi lebih rendah.
Pemilihan sektor pertambangan sebagai fokus studi ini didasarkan pada minat yang tinggi dari investor asing terhadap industri ini, yang dibuktikan oleh tingginya nilai investasi dan aktivitas akuisisi (Miranty et al., 2022). Daya tarik ini bersumber dari potensi keuntungan yang besar serta kelimpahan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Selain itu, karakteristik perusahaan pertambangan yang umumnya memiliki jejaring hubungan kuat dengan entitas induk dan anak perusahaan di luar negeri turut
menjadi pertimbangan. Hubungan internasional ini tidak hanya memperkuat kedudukan global perusahaan tetapi juga memfasilitasi transfer teknologi dan perluasan akses ke pasar internasional (Choirunnisa, 2024).
Adapun tujuan spesifik yang ingin dicapai melalui penelitian ini meliputi: mengkaji bagaimana variabel pajak memengaruhi keputusan transfer pricing di perusahaan pertambangan; menyelidiki dampak ukuran perusahaan terhadap praktik transfer pricing pada sektor ini; menelaah pengaruh tingkat profitabilitas terhadap adopsi strategi transfer pricing oleh perusahaan pertambangan; serta menganalisis peran leverage dalam memengaruhi keputusan transfer pricing di kalangan perusahaan pertambangan.
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Teori Agensi (Agency Theory)
Teori agensi merupakan hubungan antara agen (manajemen) dan prinsipal (pemilik), di mana prinsipal memberikan wewenang kepada agen untuk mengambil keputusan. Teori ini berpusat pada konflik kepentingan yang mungkin terjadi antara agen dan prinsipal, dalam hal perusahaan, prinsipal adalah pemegang saham/pemilik, sedangkan agen adalah manajemen yang dipekerjakan untuk menjalankan perusahaan.
Konflik kepentingan antara agen dan prinsipal, agen dapat membuat keputusan yang bertentangan dengan kepentingan principal Jensen & Meckling, (1976). Kaitan antara teori transfer pricing dan teori agensi didasarkan pada gagasan bahwa sifat dasar manusia adalah setiap orang cenderung lebih mementingkan kepentingannya sendiri. Ini dapat menyebabkan masalah keagenan, terutama ketika pihak-pihak dengan kepentingan yang berbeda terus bekerja sama untuk membagi tugas. Permasalahan prinsipal hanya memiliki akses ke informasi yang terbatas, mereka yang tidak secara langsung terlibat dalam pengelolaan perusahaan dapat mengalami masalah keagenan.
Dengan memberikan agen kewenangan untuk mengelola aktiva perusahaan, prinsipal dapat memanfaatkan insentifnya untuk melakukan transfer pricing dan menghilangkan kepentingan pemegang saham. untuk mengurangi pajak yang harus dibayar (Cledy, 2020). Oleh karena itu, teori agensi diharapkan dapat mengurangi tingkat kepentingan yang berbeda antara agen dan prinsipal. Selain itu, mekanisme pengendalian yang efektif diperlukan untuk mengimbangi potensi konflik kepentingan antara keduanya.
Transfer pricing
Transfer pricing merupakan variabel dependen yang mengacu pada penetapan harga transaksi barang atau jasa antara perusahaan berafiliasi, baik domestik maupun internasional. Praktik ini digunakan untuk mengatur harga transaksi guna mengurangi pajak yang dibayarkan kelompok perusahaan (Rizal & Heriyah, 2024). Menurut Yolanda et al., (2024), transfer pricing sering menetapkan harga lebih rendah dari harga pasar dalam transaksi antar perusahaan afiliasi.
Pajak
Berdasarkan definisi legal dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, pajak merupakan iuran mandatori yang dibayarkan kepada negara oleh individu atau badan usaha. Dalam konteks industri pertambangan, terdapat indikasi bahwa aset atau laba cenderung dialihkan dari wilayah yurisdiksi dengan tarif pajak tinggi ke wilayah dengan tarif yang lebih kompetitif atau rendah (Zikri, 2024). Untuk mengukur beban pajak riil yang ditanggung perusahaan, sering digunakan Tarif Pajak Efektif atau Effective Tax Rate (ETR), yang dinilai memberikan gambaran lebih tepat dibandingkan hanya melihat tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan. ETR bermanfaat untuk mengevaluasi dampak nyata dari kebijakan fiskal terhadap kewajiban pajak perusahaan, sehingga membantu dalam memahami relasi antara perpajakan dan keputusan transfer pricing, khususnya di sektor pertambangan (Novira et al., 2020).
Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan merefleksikan skala atau besarnya suatu entitas bisnis, yang umumnya didasarkan pada nilai total aset yang dimiliki. Perusahaan dapat diklasifikasikan ke dalam kategori besar, menengah, atau kecil berdasarkan kriteria tertentu. Perusahaan berskala besar biasanya memiliki struktur manajemen yang lebih kompleks dan cenderung menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan kecil (Putri et al., 2023). Dalam analisis komparatif, ukuran perusahaan seringkali diukur menggunakan logaritma natural (ln) dari total aset.
Penggunaan nilai aset ini dianggap lebih stabil dan representatif daripada nilai penjualan untuk menggambarkan skala perusahaan (Adilah et al., 2022).
Profitabilitas
Profitabilitas mengindikasikan kapasitas sebuah perusahaan dalam menciptakan laba selama periode waktu tertentu. Indikator ini juga berfungsi sebagai tolok ukur efektivitas manajemen dalam memanfaatkan aset perusahaan untuk menghasilkan pendapatan (Adelia & Santioso, 2021). Salah satu proksi yang paling umum digunakan untuk mengukur profitabilitas adalah Return On Assets (ROA). Rasio ROA menunjukkan seberapa efisien perusahaan menggunakan total asetnya untuk menghasilkan laba bersih setelah dikurangi pajak. Perhitungan ROA dilakukan dengan membagi laba bersih sesudah pajak dengan total nilai aset perusahaan (Sanusi &
Fidiana, 2022).
Leverage
Leverage merupakan rasio keuangan yang menunjukkan tingkat proporsi pendanaan aset perusahaan yang berasal dari sumber utang atau pinjaman. Menurut Zikri (2024), leverage juga dapat diartikan sebagai ukuran kapasitas perusahaan dalam memenuhi kewajiban finansialnya, baik jangka pendek maupun jangka panjang, terutama relevan saat perusahaan menghadapi kondisi likuidasi atau pembubaran.
Secara umum, leverage digunakan untuk menganalisis seberapa besar ketergantungan perusahaan pada utang (baik jangka pendek maupun panjang) untuk mendanai total asetnya (Hayani & Darmawati, 2023).
HIPOTESIS
1. Pengaruh Pajak terhadap transfer pricing
Kebijakan perpajakan suatu entitas dapat secara signifikan memengaruhi penerapan strategi transfer pricing. Praktik ini sendiri merujuk pada bagaimana harga ditetapkan dalam transaksi yang melibatkan pihak-pihak berelasi atau perusahaan yang memiliki hubungan istimewa. Khususnya dalam sektor pertambangan, transfer pricing sering menjadi pilihan strategis mengingat besarnya nilai transaksi lintas batas negara, yang membuka peluang bagi perusahaan untuk menggeser atau mengalokasikan laba ke negara-negara yang menawarkan beban pajak lebih ringan (Naili et al., 2024).
Dalam kerangka teori keagenan yang diperkenalkan oleh Jensen &
Meckling (1976), dijelaskan bahwa pemilik (prinsipal) mendelegasikan
kewenangan pengelolaan perusahaan kepada manajemen (agen). Agen ini memiliki diskresi operasional, termasuk dalam hal pengelolaan kewajiban pajak perusahaan. Sejalan dengan ini, Widiyastuti (2021) mengemukakan bahwa adanya peningkatan beban pajak cenderung mendorong manajemen untuk mempertimbangkan keputusan terkait transfer pricing sebagai upaya mereduksi total pajak yang harus dibayar. Manajemen, dalam perannya sebagai agen, dapat mengatur beban pajak melalui transfer pricing, misalnya dengan cara mengalihkan profit ke entitas terafiliasi yang berlokasi di negara dengan tarif pajak lebih rendah, sehingga menghindari tarif pajak domestik yang mungkin lebih tinggi (Zikri, 2024).
Argumen ini didukung oleh sejumlah temuan empiris. Penelitian yang dilakukan oleh Adilah et al. (2022), Naili et al. (2024), Anggriani (2024), Prananda A (2020), Novira et al. (2020), serta Lisfiana (2024) secara konsisten menunjukkan bahwa variabel pajak memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan transfer pricing. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi beban pajak yang dihadapi perusahaan, semakin besar pula insentifnya untuk terlibat dalam praktik transfer pricing. Tujuannya adalah untuk mengalihkan penghasilan kena pajak demi mengurangi kewajiban fiskal dan, pada saat yang sama, berpotensi meningkatkan profitabilitas grup melalui skema transfer pricing tersebut. Berdasarkan landasan teori dan temuan empiris ini, hipotesis pertama dalam studi ini dirumuskan sebagai berikut:
H1 : Pajak berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap transfer pricing.
2. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap transfer pricing
Skala operasional atau ukuran perusahaan, yang dapat diukur melalui berbagai indikator seperti total pendapatan, total aset, maupun total modal (Lisfiana, 2024), merupakan faktor lain yang diduga memengaruhi kebijakan transfer pricing. Nilai aset yang dimiliki sering dianggap sebagai salah satu proksi utama untuk merefleksikan besar kecilnya suatu entitas bisnis (Cledy, 2020).
Teori keagenan (Jensen & Meckling, 1976) relevan dalam konteks ini karena menyoroti potensi perbedaan kepentingan antara manajemen (agen) yang
mungkin berfokus pada kesejahteraan pribadi dan pemilik (prinsipal) yang bertujuan memaksimalkan nilai perusahaan. Keputusan manajemen dapat dipengaruhi oleh insentif pribadi, yang mungkin tidak selalu selaras dengan kepentingan pemilik atau keberlanjutan jangka panjang perusahaan. Ukuran perusahaan dapat memperbesar peluang ini; perusahaan berskala besar umumnya memiliki sumber daya finansial dan manajerial yang lebih besar serta struktur operasional yang lebih kompleks. Kondisi ini dapat meningkatkan kesempatan sekaligus insentif bagi manajemen untuk melakukan transfer pricing, baik untuk tujuan penghindaran pajak maupun manipulasi laba, meskipun tindakan tersebut membawa risiko reputasi dan kepatuhan (Susilawati et al., 2024).
Berbagai penelitian empiris telah menguji hubungan ini. Studi oleh Dede Marliana (2022), Kusumaningrum (2022), Miranty et al. (2022), Nurfadilla (2023), Putri et al. (2023), dan Atika Tri Yudiman (2025) menemukan bahwa ukuran perusahaan memang berpengaruh signifikan terhadap transfer pricing.
Logikanya, perusahaan dengan total aset besar cenderung lebih mapan, stabil, dan mampu menghasilkan laba yang lebih tinggi, sehingga memiliki kecenderungan lebih besar untuk memanfaatkan praktik transfer pricing sebagai strategi untuk meminimalkan beban pajaknya. Dengan demikian, hipotesis kedua dirumuskan sebagai:
H2 : Ukuran perusahaan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap transfer pricing.
3. Pengaruh Profitabilitas terhadap transfer pricing
Profitabilitas didefinisikan sebagai kapasitas perusahaan untuk menghasilkan laba secara maksimal, dan seringkali menjadi dasar utama dalam pengambilan kebijakan dan keputusan strategis. Return on Assets (ROA) merupakan salah satu rasio yang paling lazim digunakan untuk mengukur tingkat profitabilitas ini.
Dari perspektif teori keagenan, manajemen (agen) memiliki tanggung jawab untuk melaporkan kinerja dan keputusan kepada berbagai pemangku kepentingan (prinsipal), termasuk pemegang saham, investor, dan kreditur
(Zikri, 2024). Tingkat profitabilitas yang tinggi, meskipun positif, secara langsung dapat meningkatkan jumlah pajak yang harus dibayar perusahaan. Hal ini dapat menciptakan insentif bagi manajer untuk menggunakan mekanisme transfer pricing sebagai cara mengurangi laba kena pajak, sehingga dapat menekan kewajiban pajak dan pada akhirnya meningkatkan laba bersih yang dilaporkan (Cledy, 2020). Analisis profitabilitas juga menjadi perhatian utama investor jangka panjang, seperti pemegang saham, yang fokus pada potensi return investasi mereka, misalnya melalui dividen (Sanusi & Fidiana, 2022).
Penelitian yang dilakukan oleh Khairun Najwa (2024), Lisfiana (2024), dan Zikri (2024) mengkaji hubungan antara profitabilitas dan transfer pricing.
Hasil studi mereka mengindikasikan bahwa profitabilitas, yang diukur menggunakan ROA, memiliki pengaruh signifikan terhadap keputusan perusahaan terkait transfer pricing. Sanusi & Fidiana (2022) juga menguatkan bahwa tingkat profitabilitas yang tinggi memang dapat menjadi faktor pendorong bagi perusahaan dalam melakukan transfer pricing. Oleh karena itu, hipotesis ketiga dalam penelitian ini adalah:
H3 : Profitabilitas berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap transfer pricing.
4. Pengaruh Leverage terhadap transfer pricing
Leverage adalah rasio keuangan yang mengindikasikan sejauh mana pendanaan aset perusahaan bergantung pada sumber utang. Perusahaan kerap dihadapkan pada tantangan dalam mengelola struktur pembiayaan dan kewajiban pajaknya. Tingkat leverage yang tinggi mencerminkan ketergantungan besar pada utang untuk operasional, dan hal ini dapat berimplikasi pada kebijakan transfer pricing perusahaan (Cledy, 2020).
Mengacu pada teori keagenan (Jensen & Meckling, 1976), terdapat potensi perbedaan preferensi antara pemilik (prinsipal) yang menginginkan optimalisasi keuntungan jangka panjang dan manajemen (agen) yang mungkin memiliki agenda pribadi. Zikri (2024) bahkan berpendapat bahwa struktur modal yang sama sekali tidak melibatkan utang dapat dianggap kurang optimal karena
berpotensi mengakibatkan beban pajak yang lebih tinggi. Sebaliknya, perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan menanggung beban bunga yang signifikan. Kondisi ini dapat mendorong manajemen untuk menggunakan transfer pricing sebagai alat untuk mengoptimalkan laba kena pajak. Tingginya jumlah utang secara efektif dapat mengurangi laba kena pajak melalui pembayaran bunga, sehingga secara otomatis menurunkan beban pajak perusahaan (Siagian & Dalimunthe, 2022).
Penelitian empiris oleh Zikri (2024) dan Najwa et al. (2024) menemukan bahwa leverage berpengaruh positif dan signifikan terhadap transfer pricing.
Temuan ini menyiratkan bahwa semakin tinggi rasio utang perusahaan, semakin besar pula kecenderungannya untuk terlibat dalam praktik transfer pricing.
Berdasarkan argumentasi ini, hipotesis keempat dirumuskan sebagai berikut:
H4 : Leverage berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap transfer pricing.
METODE PENELITIAN
Studi ini mengadopsi metodologi kuantitatif yang berorientasi pada pengujian hipotesis. Pendekatan ini melibatkan pengolahan dan kajian data numerik menggunakan teknik analisis statistik. Fokus utama penelitian adalah untuk menyelidiki interaksi dan hubungan kausalitas antara variabel dependen (transfer pricing) dengan variabel- variabel independen yang telah ditentukan sebelumnya.
Populasi dan Sampel
Keseluruhan subjek penelitian (populasi) mencakup seluruh perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama kurun waktu 2021 hingga 2023. Untuk memilih sampel yang representatif dan sesuai dengan tujuan studi, digunakan teknik penarikan sampel bertujuan (purposive sampling). Metode ini memungkinkan peneliti memilih sampel berdasarkan pemenuhan kriteria spesifik yang telah ditetapkan. Adapun kriteria seleksi sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Perusahaan pertambangan yang secara konsisten terdaftar di BEI dan telah menerbitkan laporan keuangan selama periode penuh tiga tahun (2021-2023).
2. Perusahaan pertambangan yang secara konsisten mencatatkan laba (tidak mengalami kerugian) selama periode observasi tiga tahun (2021-2023).
3. Perusahaan pertambangan yang mempublikasikan laporan keuangannya melalui Bursa Efek Indonesia untuk setiap tahun dalam periode 2021-2023.
4. Perusahaan pertambangan yang dalam laporan keuangannya menunjukkan adanya piutang kepada pihak berelasi (related-party receivables) selama periode 2021-2023.
Definisi Operasional Variabel 1. Transfer pricing
Dalam konteks penelitian ini, transfer pricing (sebagai variabel dependen) diproksikan melalui rasio antara nilai piutang kepada pihak berelasi atau Related Party Transactions (RPT) receivables terhadap total piutang yang dimiliki perusahaan. Penggunaan rasio ini bertujuan untuk mengindikasikan tingkat keterlibatan perusahaan dalam transaksi dengan entitas terafiliasi, khususnya yang berbentuk piutang (Lisfiana, 2024). Perhitungan rasio RPT dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
RPT : Related Party Transaction
Piutang Pihak
Berelasi
: Piutang usaha Berelasi yang tercatat dalam laporan posisi Keuangan
Total Piutang : Piutang usaha dari pihak berelasi ditambah piutang usaha pada
pihak ketiga yang tercatat dalam laporan posisi keuangan 2. Pajak
Dalam studi ini, variabel pajak diproksikan dengan Effective Tax Rate (ETR). ETR merepresentasikan proporsi dari total beban pajak penghasilan yang ditanggung perusahaan relatif terhadap total laba sebelum pajak yang dihasilkannya. Penggunaan ETR bertujuan untuk menilai besaran kewajiban
pajak aktual perusahaan dibandingkan dengan profitabilitas komersialnya (Naili et al., 2024). Perhitungan ETR mengikuti formula standar sebagai berikut:
3. Ukuran Perusahaan
Variabel ukuran perusahaan dalam penelitian ini didasarkan pada nilai total aktiva yang dimiliki oleh entitas bisnis, yang sering digunakan untuk mengindikasikan skala operasionalnya. Untuk keperluan analisis, ukuran perusahaan ini ditransformasikan menggunakan logaritma natural (Ln) dari total aset (Susilawati et al., 2024). Kalkulasi ukuran perusahaan dengan Ln total aset dilakukan sesuai rumus berikut:
SIZE = Ln (Total Aset) 4. Profitabilitas
Profitabilitas dalam kerangka penelitian ini diukur menggunakan rasio Return on Assets (ROA). Rasio ini berfungsi untuk menilai efektivitas perusahaan dalam menciptakan keuntungan netto setelah pajak dengan memanfaatkan keseluruhan aktiva yang dimilikinya (Adelia & Santioso, 2021).
Formula perhitungan ROA adalah sebagai berikut:
5. Leverage
Variabel leverage dalam studi ini diproksikan melalui Debt to Equity Ratio (DER). DER menunjukkan rasio antara total kewajiban (utang) perusahaan dibandingkan dengan total modal sendiri (ekuitas). Rasio ini berguna untuk mengukur tingkat ketergantungan perusahaan pada pendanaan eksternal (pinjaman) versus pendanaan internal (ekuitas pemilik) dalam membiayai kegiatan usaha dan investasinya (Miranty et al., 2022). Perhitungan DER menggunakan rumus sebagai berikut:
Metode Analisis Data
Teknik analisis data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda. Sebelum melakukan analisis regresi, dilaksanakan serangkaian pengujian awal, meliputi statistik deskriptif serta pengujian asumsi klasik yang mencakup uji normalitas data, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi. Selanjutnya, dilakukan pengujian hipotesis menggunakan uji statistik t (uji parsial) dan analisis koefisien determinasi (R²). Seluruh proses pengolahan dan analisis data ini dibantu oleh perangkat lunak SPSS versi 26.
Penguji Hipotesis
Untuk mengetahui pengaruh variabel pajak, ukuran perusahaan, profitabilitas, dan leverage yang diteliti terhadap transfer pricing, maka penelitian menggunakan regresi linier berganda.
Model regresi linier berganda yang digunakan peneliti adalah:
Y=β0+β1X1+β2X2+β3X3+β4X4+ϵ Dimana:
Y: Variabel dependen (transfer pricing)
X1: Pajak (Effective Tax Rate atau beban pajak) X2: Ukuran Perusahaan (Logaritma total aset) X3: Profitabilitas (ROA)
X4: Leverage (Debt-to-Equity Ratio) β0: Konstanta
β1,β2,β3,β4: Koefisien regresi masing-masing variabel independen ϵ: Error atau residual
HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI Analisis statistik Deskriptif
Statistik deskriptif dimanfaatkan dalam penelitian ini untuk meringkas dan menyajikan profil data penelitian. Analisis ini mencakup penggambaran karakteristik utama setiap variabel melalui identifikasi nilai tertinggi (maksimum), nilai terendah (minimum), rataan (mean), serta tingkat sebaran data (standar deviasi). Variabel yang dianalisis meliputi Pajak (X1), Ukuran Perusahaan (X2), Profitabilitas (X3), Leverage (X4), serta variabel dependen Transfer Pricing (Y).
Hasil olah data (merujuk pada Tabel 1) menunjukkan bahwa untuk variabel Transfer Pricing (Y), data berkisar antara 0,33 sebagai nilai minimum hingga 0,62 sebagai nilai maksimum. Nilai rataan untuk variabel ini adalah 0,4620, dengan simpangan baku tercatat sebesar 0,07231.
Sementara itu, variabel Pajak (X1) memiliki nilai terendah -0,14 dan nilai tertinggi 0,84. Nilai rata-rata untuk pajak dalam sampel penelitian ini adalah 0,3637, dengan standar deviasi sebesar 0,19193.
Untuk variabel Ukuran Perusahaan (X2), rentang nilainya teridentifikasi dari 12,77 sebagai angka minimum sampai 29,35 sebagai angka maksimum. Rataan ukuran perusahaan dalam penelitian ini adalah 21,1428, dan nilai simpangan bakunya adalah 4,14175.
Selanjutnya, variabel Profitabilitas (X3) mencatatkan nilai minimum sebesar - 0,33 dan nilai maksimum 0,30. Nilai rataan untuk profitabilitas ditemukan sebesar 0,0188, dengan standar deviasi 0,14694.
Terakhir, variabel Leverage (X4) menunjukkan nilai terendah -0,15 dan nilai tertinggi 0,95. Rataan nilai leverage dalam sampel ini adalah 0,3796, dengan standar deviasi tercatat sebesar 0,21739.
Uji Asumsi Klasik Uji Normalitas
Pengujian normalitas bertujuan mengevaluasi apakah sisaan (residual) dari model regresi mengikuti sebaran normal. Untuk mencapai tujuan ini, peneliti menerapkan metode Kolmogorov-Smirnov (Uji K-S) yang dilengkapi dengan exact test Monte Carlo, menggunakan tingkat kepercayaan (confidence level) 95%. Kriteria penentuan normalitas data menggunakan pendekatan exact test Monte Carlo ini, merujuk pada panduan dari Ghozali (2018) serta Hariaji & Akbar (2021), adalah sebagai berikut:
1. Sebaran data residual dianggap normal jika nilai signifikansi probabilitasnya (Monte Carlo sig.) lebih besar dari 0,05.
2. Sebaliknya, sebaran data residual dianggap tidak normal jika nilai signifikansi probabilitasnya lebih kecil dari 0,05.
Hasil analisis normalitas yang dilakukan (merujuk pada Tabel 2) menghasilkan angka signifikansi Monte Carlo (2-tailed) sebesar 0,178. Oleh karena nilai 0,178 ini lebih besar dari ambang batas 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data residual yang dihasilkan oleh model regresi dalam penelitian ini terdistribusi secara normal.
Uii Multiokolinieritas
Uji multikolinieritas dilaksanakan untuk mendeteksi adanya korelasi yang tinggi antar variabel independen dalam model regresi. Berdasarkan hasil analisis (merujuk pada Tabel 3), ditemukan bahwa seluruh variabel independen memiliki nilai tolerance di atas 0,10 dan nilai VIF (Variance Inflation Factor) di bawah 10. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terdapat masalah multikolinieritas yang serius dalam model regresi yang dibangun.
Uji Heterokedastisitas
Pengujian heteroskedastisitas, menurut Ghozali (2016), bertujuan untuk memeriksa apakah terdapat ketidaksamaan varians dari residual antara satu pengamatan ke pengamatan lainnya. Hasil uji (merujuk pada Tabel 4) menunjukkan bahwa nilai signifikansi untuk semua variabel independen (X1, X2, X3, dan X4) lebih besar dari tingkat signifikansi 0,05. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa model regresi ini tidak mengalami gejala heteroskedastisitas.
Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya korelasi antara error (kesalahan pengganggu) pada periode waktu tertentu (t) dengan error pada periode sebelumnya (t-1) dalam model regresi linier. Berdasarkan hasil uji Durbin- Watson (DW), diperoleh nilai statistik DW sebesar 1,991. Nilai ini kemudian dibandingkan dengan kriteria batas atas (du) sebesar 1,7390 dan batas (4-du) sebesar 2,261. Karena nilai DW (1,991) berada di antara du (1,7390) dan 4-du (2,261), sesuai kriteria (du < DW < 4-du), maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat masalah autokorelasi dalam model regresi ini.
Analisis Regresi Linear Berganda
Penelitian ini menerapkan analisis regresi linear berganda untuk menguji hubungan antara variabel independen dan dependen. Hasil analisis menghasilkan model persamaan regresi sebagai berikut:
Y = -0,246 - 0.008(X1) + 0,011(X2) - 0.433(X3) + 0.004(X4) + e Interpretasi dari persamaan regresi tersebut adalah:
1. Nilai konstanta (-0,246) mengindikasikan nilai prediksi Transfer Pricing (Y) ketika semua variabel independen (X1, X2, X3, X4) bernilai nol.
2. Koefisien regresi Pajak (X1) sebesar -0,008 menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu satuan pada variabel Pajak cenderung menurunkan Transfer Pricing (Y) sebesar 0,008 satuan, dengan asumsi variabel lain konstan.
3. Koefisien regresi Ukuran Perusahaan (X2) sebesar 0,011 menyiratkan bahwa setiap peningkatan satu satuan pada Ukuran Perusahaan cenderung meningkatkan Transfer Pricing (Y) sebesar 0,011 satuan, ceteris paribus.
4. Koefisien regresi Profitabilitas (X3) sebesar -0,433 berarti bahwa setiap peningkatan satu satuan pada Profitabilitas cenderung menurunkan Transfer Pricing (Y) sebesar 0,433 satuan, ceteris paribus.
5. Koefisien regresi Leverage (X4) sebesar 0,004 menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu satuan pada Leverage cenderung meningkatkan Transfer Pricing (Y) sebesar 0,004 satuan, ceteris paribus.
Uji t
Uji t digunakan untuk menentukan signifikansi pengaruh masing-masing variabel independen secara individual terhadap variabel dependen. Keputusan diambil berdasarkan perbandingan nilai signifikansi (Sig.) dengan α = 0,05.
1. Variabel Pajak (X1) ditemukan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Transfer Pricing (koefisien -0,008; Sig. 0,001 < 0,05). Dengan demikian, H1 ditolak (karena hipotesis awal menyatakan pengaruh positif).
2. Variabel Ukuran Perusahaan (X2) terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap Transfer Pricing (koefisien 0,011; Sig. 0,000 < 0,05). Oleh karena itu, H2 diterima.
3. Variabel Profitabilitas (X3) menunjukkan pengaruh negatif dan signifikan terhadap Transfer Pricing (koefisien -0,433; Sig. < 0,05). Akibatnya, H3 ditolak (karena hipotesis awal menyatakan pengaruh positif).
4. Variabel Leverage (X4) ditemukan berpengaruh positif dan signifikan terhadap Transfer Pricing (koefisien 0,004; Sig. 0,026 < 0,05). Dengan demikian, H4 diterima.
Uji F
Uji F (Pengujian Hipotesis Simultan) dilakukan untuk menilai apakah seluruh variabel independen secara bersama-sama (simultan) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.1 Hasil uji F (merujuk pada tabel terkait) menunjukkan nilai signifikansi 0,000, yang lebih kecil dari 0,05. Ini berarti bahwa secara simultan, variabel Pajak, Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, dan Leverage memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Transfer Pricing.
Koefisien Determinasi
Koefisien Determinasi (R²) bertujuan untuk mengukur seberapa besar proporsi varians dalam variabel dependen (Transfer Pricing) yang dapat dijelaskan oleh varians variabel-variabel independen dalam model regresi.
Nilai R² yang mendekati 1 mengindikasikan kemampuan model yang lebih baik dalam menjelaskan variasi variabel dependen.
PEMBAHASAN
Pengaruh Pajak Terhadap transfer pricing
Hasil pengujian empiris dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa variabel pajak memiliki dampak negatif dan signifikan terhadap praktik transfer pricing pada perusahaan sektor pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2021-2023. Temuan ini didukung oleh nilai signifikansi 0,01 dan koefisien regresi sebesar -0,008. Interpretasi dari hubungan negatif ini menyiratkan bahwa semakin tinggi beban pajak yang dihadapi perusahaan, semakin rendah tendensi perusahaan tersebut untuk terlibat dalam praktik transfer pricing. Praktik transfer pricing itu sendiri seringkali diwujudkan melalui penyesuaian harga jual dalam transaksi antar entitas
berelasi dalam satu grup, dengan tujuan potensial untuk merekayasa tingkat keuntungan agar tampak lebih rendah atau bahkan merugi, yang secara tidak langsung dapat meminimalkan jumlah pajak terutang.
Meskipun prinsip kewajaran harga (arm's length principle) seharusnya menjadi panduan dalam transaksi afiliasi untuk tujuan perpajakan, banyak perusahaan diduga lebih memilih menggunakan transfer pricing. Strategi umum yang kerap diadopsi perusahaan multinasional adalah memindahkan laba dari negara dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah (minimal), tempat salah satu entitas grup beroperasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Khotimah (2018), perusahaan multinasional cenderung menggeser beban pajak dari negara bertarif tinggi (high tax countries) ke negara bertarif rendah (low tax countries), salah satunya dengan cara menurunkan harga jual pada transaksi internal grup. Namun, temuan studi ini justru menunjukkan bahwa beban pajak tidak mendorong penerapan transfer pricing.
Penjelasan yang mungkin adalah bahwa peningkatan tarif pajak seringkali diimbangi dengan peningkatan supervisi dan pengawasan dari otoritas fiskal. Kondisi ini membuat perusahaan menjadi lebih berhati-hati dalam merancang kebijakan harga transfernya, yang pada akhirnya dapat mengurangi frekuensi penggunaan praktik tersebut.
Temuan penelitian ini tampak bertentangan dengan kerangka teori keagenan sebagaimana sering diinterpretasikan dalam konteks ini. Teori tersebut umumnya menyarankan adanya hubungan positif, di mana peningkatan potensi manfaat pajak (misalnya dari pengurangan beban pajak) akan meningkatkan insentif bagi manajemen (agen) untuk melakukan transfer pricing, sekalipun mungkin tidak selaras dengan kepentingan pemilik (prinsipal). Sebaliknya, hasil studi ini menunjukkan hubungan negatif: beban pajak yang lebih tinggi berkorelasi dengan tingkat transfer pricing yang lebih rendah, dan sebaliknya, tarif pajak yang lebih rendah mungkin justru berkaitan dengan tendensi transfer pricing yang lebih tinggi.
Hasil penelitian ini konsisten dengan beberapa studi sebelumnya. Penelitian oleh Sari & Mubarok (2016) serta Linda Santioso (2021) juga menemukan bahwa variabel pajak berpengaruh negatif signifikan terhadap transfer pricing. Demikian pula, studi oleh Marfuah & Azizah (2014) dan Yolanda et al. (2024) melaporkan adanya pengaruh negatif pajak terhadap transfer pricing. Beberapa penelitian tersebut juga menyinggung bahwa mekanisme seperti kesepakatan harga transfer (Advance Pricing
Agreement/APA) antara wajib pajak dan otoritas pajak dapat membantu mencegah penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional.
Di sisi lain, temuan ini tidak sejalan dengan hasil penelitian dari Naili et al.
(2024), Saputra (2023), serta Olimsar et al. (2024), yang justru melaporkan adanya pengaruh positif dan signifikan pajak terhadap transfer pricing. Argumen pendukung temuan positif ini adalah bahwa perbedaan tarif pajak antar yurisdiksi menciptakan peluang signifikan untuk melakukan manajemen fiskal melalui transfer pricing, di mana perusahaan mempertimbangkan aspek pajak dalam penetapan harga transfernya untuk tujuan optimalisasi laba dan pengurangan beban pajak global. Menurut pandangan ini, transfer pricing menjadi alat bagi bisnis untuk menghindari pajak dengan merekayasa laporan keuangan dan harga transaksi antar pihak berelasi (seperti diungkapkan Yuniasih). Turwanto et al. (2022) juga menyatakan bahwa pajak sering dianggap sebagai faktor pemicu utama tindakan transfer pricing.
Pengaruh Ukuran perusahaan terhadap transfer pricing
Berdasarkan hasil pengujian statistik, teridentifikasi adanya pengaruh positif dan signifikan dari ukuran perusahaan terhadap transfer pricing, yang ditunjukkan oleh nilai signifikansi 0,000 dan koefisien regresi 0,011. Temuan ini mengindikasikan bahwa skala operasional perusahaan merupakan determinan penting dalam praktik transfer pricing. Ukuran perusahaan, yang seringkali direfleksikan dari total aset, dapat dianggap sebagai cerminan kapasitas entitas dalam mengelola sumber dayanya untuk mencapai tujuan strategis, baik jangka pendek maupun panjang. Pengelolaan aset yang optimal memerlukan kebijakan dan strategi terencana, termasuk evaluasi atas keputusan manajemen dan penyelesaian isu operasional. Konsekuensinya, probabilitas perusahaan untuk mengadopsi kebijakan transfer pricing tampak berkorelasi positif dengan skala perusahaan yang lebih besar (nilai aset tinggi). Lebih lanjut, hasil studi ini menyiratkan bahwa semakin besar entitas bisnis, semakin kompleks pula strategi harga transfer yang mungkin diterapkannya. Hal ini bisa jadi merefleksikan upaya perusahaan besar untuk mengoptimalkan alokasi sumber daya dan memanfaatkan skala ekonomis dalam mengelola beban pajak serta memaksimalkan profitabilitas di berbagai yurisdiksi operasinya.
Pandangan ini didukung oleh Fitri & Pratiwi (2021) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan dapat menjadi indikator kapasitasnya dalam merespons dan membuat keputusan terkait perpajakan. Jumlah aset yang signifikan seringkali diasosiasikan dengan potensi pertumbuhan jangka panjang yang baik bagi perusahaan.
Dari sudut pandang teori keagenan, meskipun pemilik (prinsipal) berharap manajemen (agen) bertindak demi memaksimalkan nilai pemegang saham, peningkatan skala dan kompleksitas perusahaan seiring bertambahnya aset juga memperluas ruang lingkup pengambilan keputusan manajerial. Hal ini dapat memunculkan potensi konflik kepentingan, di mana keputusan (termasuk terkait transfer pricing) mungkin dipengaruhi oleh insentif manajerial yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan prinsipal.
Temuan studi ini konsisten dengan beberapa penelitian sebelumnya. Gurusinga et al. (2024), misalnya, juga melaporkan adanya pengaruh positif dan signifikan dari ukuran perusahaan (diukur dengan total aset) terhadap transfer pricing. Serupa dengan itu, penelitian Agustina (2019) mengungkap bahwa ukuran perusahaan secara positif dan signifikan memengaruhi praktik transfer pricing. Argumentasinya adalah bahwa perusahaan dengan aset besar cenderung lebih matang, memiliki arus kas lebih baik, prospek jangka panjang yang positif, serta stabilitas dan potensi laba lebih tinggi. Selain itu, perusahaan besar umumnya mendapat sorotan publik yang lebih intens, yang dapat mendorong manajer untuk menunjukkan kinerja unggul, salah satunya mungkin melalui strategi transfer pricing untuk mengelola laba yang dilaporkan.
Pernyataan ini juga didukung oleh Sa’diah & Afriyenti (2021), yang menemukan pengaruh positif signifikan ukuran perusahaan terhadap transfer pricing.
Mereka berpendapat bahwa skala yang lebih besar, didukung oleh ketersediaan sumber daya yang melimpah, memudahkan perusahaan melakukan transaksi transfer pricing antar entitas dan memungkinkan pendirian anak perusahaan di berbagai negara untuk tujuan optimalisasi keuntungan. Sorotan publik yang lebih besar juga mendorong upaya peningkatan laba untuk menarik minat investor.
Namun, temuan yang kontras dilaporkan oleh peneliti lain. Studi oleh Marliana et al. (2022) serta Putri et al. (2023) menyimpulkan bahwa ukuran perusahaan tidak memengaruhi praktik transfer pricing, yang berarti perubahan skala perusahaan tidak berdampak pada keputusan terkait harga transfer. Lebih lanjut, penelitian oleh Lisfiana
(2024) bahkan menunjukkan hasil yang berbeda arah, yaitu pengaruh negatif ukuran perusahaan terhadap transfer pricing. Temuan Lisfiana (2024) ini mengindikasikan bahwa perusahaan dengan skala yang lebih besar (diukur dari total aset) justru cenderung kurang termotivasi untuk terlibat dalam praktik transfer pricing.
Pengaruh Profitabilitas Terhadap transfer pricing
Hasil pengujian empiris dalam studi ini mengungkapkan bahwa profitabilitas berkorelasi negatif dan signifikan dengan praktik transfer pricing. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi 0,000 (lebih kecil dari 0,05) dan koefisien regresi -0,433, yang mengarahkan pada penolakan hipotesis H3 (yang mengasumsikan hubungan positif).
Interpretasi dari temuan ini adalah bahwa perusahaan yang mampu menghasilkan tingkat keuntungan lebih tinggi cenderung memiliki ketersediaan sumber pendanaan internal yang lebih besar. Akibatnya, kemungkinan perusahaan memanfaatkan dana internal ini sebagai modal sendiri juga meningkat, yang mungkin mengurangi insentif untuk terlibat dalam skema transfer pricing tertentu.
Meskipun demikian, temuan ini tetap dapat dikaitkan dengan teori keagenan, yang menekankan bahwa manajemen (agen) dipercaya untuk mengelola modal demi menghasilkan laba dan dividen bagi pemilik (prinsipal). Kemampuan perusahaan untuk meraih profitabilitas tinggi dan mencatatkan peningkatan laba merupakan sinyal kinerja positif. Hal ini umumnya akan memicu reaksi positif dari pemegang saham dan berpotensi meningkatkan valuasi saham perusahaan.
Temuan negatif signifikan ini konsisten dengan beberapa penelitian sebelumnya.
Studi oleh Lestari (2020) menemukan bahwa profitabilitas (diukur dengan ROA) berpengaruh negatif terhadap penerapan transfer pricing, menyiratkan bahwa perusahaan yang sangat profitabel mungkin mengurangi praktik tersebut karena memiliki kapasitas finansial untuk memenuhi kewajiban pajaknya secara langsung.
Senada dengan itu, Mineri & Paramitha (2021) juga melaporkan pengaruh negatif signifikan, dengan argumen bahwa ketersediaan dana internal yang melimpah pada perusahaan berlaba tinggi mengurangi ketergantungan pada strategi pembiayaan atau pengalihan laba tertentu. Fernanda et al. (2023) dan Susilawati et al. (2024) juga melaporkan temuan serupa mengenai pengaruh negatif profitabilitas terhadap transfer pricing.
Namun, hasil penelitian ini berbeda dari temuan yang dilaporkan oleh Sanusi &
Fidiana (2022) dan Gurusinga et al. (2024). Studi-studi tersebut justru menemukan adanya pengaruh positif dan signifikan profitabilitas terhadap transfer pricing. Logika di balik temuan ini adalah bahwa tingkat profitabilitas yang tinggi dapat mendorong perusahaan untuk menetapkan harga transfer yang lebih tinggi antar entitas grup.
Motivasi di baliknya bisa jadi adalah upaya untuk mengoptimalkan pelaporan keuangan (misalnya, mengalihkan laba ke entitas di negara berpajak rendah) atau untuk menunjukkan performa yang kuat di pasar tertentu.
Pengaruh leverage terhadap ukuran perusahaan
Hasil pengujian hipotesis untuk variabel leverage menunjukkan nilai signifikansi 0,026 (lebih kecil dari 0,05) dengan koefisien regresi positif sebesar 0,008.
Temuan ini mengindikasikan adanya pengaruh positif dan signifikan leverage terhadap transfer pricing, sehingga hipotesis H4 diterima. Artinya, semakin tinggi tingkat leverage (rasio utang) suatu perusahaan, semakin besar pula kecenderungannya untuk terlibat dalam praktik transfer pricing. Pengaruh ini merefleksikan bagaimana struktur pendanaan perusahaan, khususnya penggunaan utang, dapat memengaruhi strategi penetapan harga dalam transaksi antar entitas berelasi.
Secara konseptual, leverage adalah pemanfaatan dana pinjaman untuk mendanai aset atau operasi dengan ekspektasi meningkatkan imbal hasil atas ekuitas (Gurusinga et al., 2024). Temuan studi ini menyiratkan bahwa tingkat leverage yang lebih tinggi, yang seringkali berarti beban bunga lebih besar, dapat menurunkan laba kena pajak. Oleh karena itu, pendanaan melalui utang dapat dipandang sebagai strategi manajerial untuk menekan kewajiban pajak, yang mungkin berjalan seiring dengan praktik transfer pricing. Wahyudi & Fitriah (2021) juga menemukan pengaruh positif signifikan leverage terhadap transfer pricing, dengan argumen bahwa beban bunga dari utang yang tinggi menurunkan laba kena pajak (dan ETR), sehingga leverage dapat berfungsi sebagai alat untuk menekan pajak dan mungkin mendorong tindakan transfer pricing yang lebih agresif.
Lebih lanjut, hasil ini sejalan dengan penelitian Mayzura & Apriwenni (2021) yang mengungkapkan korelasi positif antara tingkat leverage dan tendensi penerapan transfer pricing. Mereka berargumen bahwa peningkatan biaya bunga akibat utang membantu mengurangi beban pajak perusahaan. Perusahaan yang menghadapi beban
pajak tinggi mungkin terdorong meningkatkan penggunaan utang untuk mendapatkan insentif pajak (pengurangan bunga), dan pada saat yang sama memanfaatkan transfer pricing untuk lebih mengoptimalkan laba.
Namun, terdapat pula temuan yang tidak sejalan dalam literatur. Penelitian oleh Gurusinga et al. (2024), Aulia (2022), serta Ramadhany & Amin (2023) melaporkan bahwa leverage tidak berpengaruh terhadap transfer pricing. Sementara itu, studi oleh Dewi et al. (2024) bahkan menemukan pengaruh negatif, yang mengindikasikan bahwa peningkatan leverage justru menurunkan kecenderungan melakukan transfer pricing.
Interpretasi dari temuan yang tidak signifikan atau negatif ini adalah bahwa karena leverage (melalui pengurangan bunga) sudah secara efektif menurunkan beban pajak, maka penggunaan utang dapat berfungsi sebagai alternatif atau substitusi dari praktik transfer pricing, bukan sebagai pendorongnya.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis serta pembahasan yang telah dilakukan menggunakan aplikasi SPSS versi 26 mengenai dampak variabel pajak, ukuran perusahaan, profitabilitas, dan leverage terhadap praktik transfer pricing pada perusahaan sektor pertambangan selama periode 2021–2023, dapat ditarik beberapa rangkuman temuan sebagai berikut:
1. Variabel Pajak teridentifikasi memiliki arah pengaruh negatif terhadap transfer pricing, namun dampak tersebut tidak menunjukkan tingkat signifikansi statistik yang kuat.
2. Variabel Ukuran Perusahaan ditemukan mempunyai pengaruh positif yang signifikan secara statistik terhadap praktik transfer pricing.
3. Variabel Profitabilitas menunjukkan adanya kecenderungan pengaruh negatif terhadap transfer pricing, akan tetapi pengaruh ini tidak signifikan secara statistik.
4. Variabel Leverage terbukti memiliki dampak positif dan signifikan secara statistik terhadap keputusan perusahaan terkait praktik transfer pricing.