• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Kependudukan Indonesia - LIPI

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Jurnal Kependudukan Indonesia - LIPI"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

In addition, the effect of women's knowledge of danger signs of pregnancy complications on maternal health care utilization can be analyzed to some extent using the Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS) 2002–2003. Results from the 2002-03 iDHS reveal that only 40.7 percent of women who had their last delivery in the five years prior to the survey were aware of signs of pregnancy complications. Other health problems, such as fainting, convulsions and shortness of breath, were mentioned by less than 5 percent of women as signs of pregnancy complications.

The IDHS 2002-03 data show that only 28.7 percent or less than a third of women who had their most recent birth in the five years before the survey were informed about the danger signs of pregnancy complications through their antenatal health providers (BPS) & ORC Macro 2003: 235). More than 90 percent of women who had their most recent birth in the five years preceding the survey received prenatal care from health care professionals, but a third of these women received treatment from traditional birth attendants (TBAs), family members. or others during delivery. Based on IDHS 2002-03 data, only 40.62 percent of the women, who gave birth at a health facility in the five years preceding the survey, gave birth to their last child.

More than 10 percent of women who had a score of 0 went to a TBA or other health provider for antenatal care. In contrast, of women who did not know of any health problems during delivery (ie, those who scored 0) only about 31 percent gave birth in a health facility.

Figure  1.  Percentage of  women who had their most recent birth in the five years preceding  the survey and knew the signs of  complication during pregnancy, during delivery  and after delivery, by action taken to treat the problems, Indonesia  2002-03
Figure 1. Percentage of women who had their most recent birth in the five years preceding the survey and knew the signs of complication during pregnancy, during delivery and after delivery, by action taken to treat the problems, Indonesia 2002-03

Kesenjangan APS akibat perbedaan status sosial ekonomi

Saat ini, dibandingkan tahun 1980-an, negara-negara berkembang semakin memperhatikan bidang pendidikan. Namun, porsi pengeluaran publik untuk pendidikan di negara berkembang masih lebih rendah dibandingkan negara maju. Berikut data pengeluaran publik untuk pendidikan di empat negara ASEAN, yaitu Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia.

Sementara itu, Malaysia dan Thailand menduduki posisi teratas untuk belanja pemerintah di bidang pendidikan sebesar 27%, sedangkan Filipina sebesar 16%. Setelah diketahui bahwa komitmen pemerintah Indonesia pada bidang pendidikan paling rendah diantara negara Malaysia, Thailand dan Filipina. Seperti apa pembagian kekuasaan dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah setelah era desentralisasi dan otonomi daerah?

Berikut adalah tabel yang menunjukkan komposisi belanja negara di bidang pendidikan menurut tingkat pemerintahan. Memang, pemerintah kabupaten/kota memberikan kontribusi paling besar terhadap belanja publik untuk sektor pendidikan pada periode 2001-2004. Namun demikian, porsi belanja pemerintah kabupaten/kota yang lebih besar untuk bidang pendidikan tidak ditujukan untuk belanja pembangunan, melainkan untuk belanja rutin berupa belanja negara untuk gaji pegawai.

Hal ini menunjukkan bahwa setelah otonomi daerah, pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki banyak kemampuan untuk meningkatkan pelayanan publik di bidang pendidikan. Di beberapa daerah, pasca otonomi justru membuat layanan pendidikan menjadi lebih mahal dan jauh dari jangkauan masyarakat. Melemahnya komitmen pemerintah terhadap kewajiban penyelenggaraan pendidikan dasar semakin terlihat dalam pasal 46 ayat 1 UU No.20 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa pembiayaan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat;

Strategi yang paling tepat untuk mengatasi masalah ini adalah dengan meningkatkan alokasi APBN dan APBD untuk bidang pendidikan;

Grafik 3. Persentase Pengeluaran Publik untuk Bidang Pendidikan
Grafik 3. Persentase Pengeluaran Publik untuk Bidang Pendidikan

REFLEKSIATAS

BEBERAPA ISU KEBIJAKAN PENDIDIKAN 1

Untuk menata kembali perekonomian, menghadapi globalisasi dan tuntutan demokratisasi, generasi baru ini membutuhkan pendidikan yang layak, lapangan kerja dan tatanan politik sosial ekonomi yang memadai. Oleh karena itu kebijakan pendidikan yang tepat pada umumnya harus secara struktural mampu mengintegrasikan kekuatan masyarakat, negara, dan dunia usaha dengan cara yang tepat dan secara individual memunculkan mobilitas budaya, vertikal, dan horizontal individu, ketiganya pada gilirannya produktivitas budaya, sosial, dan ekonomi. pada saat yang sama pengembangan habitat yang baik membutuhkan demokrasi. Krisis multidimensi mengandaikan penurunan kepercayaan terhadap sistem budaya, sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan lama karena sistem tersebut dianggap tidak lagi mampu memahami masalah dan mengakomodasi aspirasi dan tuntutan kontekstual baru.

Rupanya, hal ini juga terlihat dalam orientasi pendidikan yang diungkapkan secara lisan dan dalam bentuk kebijakan yang disetujui antara lain oleh Menteri Pendidikan Nasional. Orientasi pendidikan yang dipilih secara resmi adalah sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar, yaitu pendidikan bangsa dan pengembangan potensi manusia Indonesia seutuhnya dan seutuhnya (UU 20/2003 Sisdiknas). Yang dibutuhkan adalah perbaikan sekolah melalui review kurikulum dan manajemen pendidikan yang memberikan tanggung jawab kepada masyarakat dan bukan kepada pembangunan yang dibiayai negara.”

Dihadapkan pada tuntutan berbagai orientasi pendidikan di atas, Mendiknas telah menyampaikan pandangannya yang berbeda-beda, seperti humanis-demokratis, namun belum mengelaborasi dan mengimplementasikannya ke dalam program nyata. Yang sangat terasa justru nada neokonservatifnya, yakni biaya pendidikan yang ia berikan untuk ruang publik. Selain itu, pemerintah sejauh ini belum berupaya untuk memfasilitasi lahirnya lembaga evaluasi pendidikan mandiri yang akan mewakili kepentingan (penilaian) masyarakat sebagaimana disyaratkan undang-undang.

Lebih dari itu, bahkan kemudian terlihat bahwa desain, proses pembentukan dan unsur-unsur anggota Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan pada awalnya dimaksudkan sebagai lembaga (manajemen) oleh. Secara garis besar pengaturan di bidang pendidikan bertujuan untuk membentuk sistem pendidikan nasional yang maju dan berkeadilan dengan menuju penyelenggaraan pendidikan yang lebih otonom di daerah. Sementara itu, standarisasi dan akreditasi diharapkan tercapai, selain kualitas layanan pendidikan yang kurang lebih sama menurut jenjang dan jenis pendidikan, serta terjaminnya peluang mobilitas horizontal ke sekolah/daerah lain (integrasi nasional). ), adanya pembedaan peringkat sekolah diharapkan dapat memberikan peluang kompetisi sekolah, siswa dan lulusan (meningkatkan daya saing bangsa).

Paket kebijakan yang menggabungkan beberapa program di atas juga kurang mampu memperkuat institusi pendidikan yang lemah.

KEKERASAN SIMBOLIK SUAMI TERHADAP ISTRI DALAM PERSPEKTIF BUDAYA JAWA

Misalnya penelitian Sciortino dan Smith (1999) dengan judul “Victory of Harmony: Denial of Domestic Violence in Java”, atau penelitian terbaru Hakimi et al. Demikian pula dalam kasus KTI, analisis ini cukup efektif untuk memahami bagaimana mekanisme dominasi laki-laki bekerja dalam praktik kehidupan rumah tangga sehari-hari antara suami dan istri. Ia bertanggung jawab untuk mensosialisasikan aturan yang ditetapkan suami kepada seluruh anggota keluarga, membantu suami mengatur keuangan rumah tangga dan ikut mencari penghasilan tambahan, serta menjaga nama baik suami dan keharmonisan keluarga.

Dengan kata lain, pertengkaran dalam rumah tangga yang berujung pada CTI cenderung dipahami sebagai kesalahan dua pihak yang dipandang tidak bertanggung jawab atas tugasnya masing-masing. Wajar laki-laki marah." Sementara itu, ButT punya pendapat yang sedikit berbeda, "Kekerasan juga bisa terjadi ketika perempuan tidak bekerja dan hanya (secara ekonomi) bergantung pada laki-laki. Pemahaman tentang CTI sebagaimana diungkapkan oleh perempuan kampung di atas sebenarnya merupakan hasil tekanan dari tradisi laki-laki priyayi, yang menurut Bourdieu merupakan bentuk kekerasan simbolik terhadap perempuan.

Ibu Widuri selalu mengajarkan bahwa seorang istri harus patuh dan hormat kepada suaminya, karena ini satu-satunya cara untuk menjaga keutuhan rumah tangga. 34; senajan tiyang jaler sewiyah-wiyah, berputar ngantos kula dame/ cemare tiyang jaler (walaupun suami bertindak seenaknya, jangan biarkan dia memfitnah suaminya). Wid uri juga menghadapi dilema antara mengikuti larangan suaminya, bahwa dia tidak boleh bekerja. atau bertekad untuk mendukung keuangan rumah tangga. Sampai akhirnya Widuri memutuskan : “Tudi kula saniki, thai ajeng kirain aku harus ngurus sekolah, yang penting aku semangat main jadi pemandu sorak sekolah (sekarang udah gak mikirin gimana biar rumah tangga tetap utuh, yang penting hal adalah untuk anak-anak bisa makan dan pergi ke sekolah).

Namun, Dyah mengaku lebih memilih menjadi ibu rumah tangga, karena sejak kecil ibunya mengajarkannya untuk lebih mementingkan anak dan urusan rumah tangga. Kehadiran saya di rumah sebagai seorang istri dan ibu sangat penting untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan bahagia.”

Karena kekerasan simbolik yang dilakukan oleh suami terhadap istri melibatkan pemeliharaan nilai, norma dan keyakinan yang melegitimasi ketidaksetaraan gender, maka isu politik yang dapat dipertimbangkan adalah terkait dengan kekuatan advokasi melalui media massa yang bertujuan untuk mempromosikan ide-ide tentang relasi gender. kehidupan rumah tangga yang lebih seimbang.

Tabel 1. Hubungan Gender yang Ideal dalam Rumah Tangga
Tabel 1. Hubungan Gender yang Ideal dalam Rumah Tangga

DYNAMICS OF ILLEGAL LOGGING .FROM THE SOEHARTO REGIME

TO REGIONAL AUTONOMY

Since 1998, 'disorganized illegal logging' has been increasingly facilitated by inherent weaknesses in Indonesia's law enforcement process. The seriousness of illegal logging and smuggling in the Indonesian forestry sector has not gone unnoticed by the international community. This growth is largely based on illegal logging and smuggling practices in Indonesia (Kompas, February 18, 2005).

Emphasis will also be placed on the causes of illegal logging and their wider implications for the forestry industry and local people. There is a specific grouping of stakeholders that are typically considered to operate in the classification of illegal logging actors. Casson and Krystor's statements were supported by Walhi's observation and Dudley's opinion on causes of "illegal logging".

In this context, this investigation endorses Dudley's "system dynamics" approach in relation to the analysis of illegal logging. In a sense, this type of 'illegal' logging can also be seen as a manipulation of policy by industry. The second model in terms of 'timber management' is reviewed on 'illegal' logging at the local level after the resignation of the Soeharto regime.

As highlighted in the previous section, a major type of illegal logging is the purchase of "illegal" logs by HPH concessionaires. This practice also highlights that HPH holders collaborate with local people in illegal logging activities. A large amount of money from foreign donor countries has been allocated to overcome illegal logging.

The government and other stakeholders must seriously manage the solution to overcome 'illegal' logging in the near future. 34;From New Order to Regional Autonomy: Changing Dynamics of Illegal Logging in Kalimantan, Indonesia." World Development. 34;Dynamics of Illegal Logging in Indonesia." Colfer, Carol Pierce and Resosudarmo, Ayu Pradnja (eds.) What Way Forward.

Figure 1. the Power of Soeharto to strengthen control of timber interests  Note:  ~  : support to Soeharto regime by power and financial access
Figure 1. the Power of Soeharto to strengthen control of timber interests Note: ~ : support to Soeharto regime by power and financial access

JURNAL KEPENDUDUKAN INDONESIA Ketentuan untuk penulis

KEPENDUDUKAN

Gambar

Figure  1.  Percentage of  women who had their most recent birth in the five years preceding  the survey and knew the signs of  complication during pregnancy, during delivery  and after delivery, by action taken to treat the problems, Indonesia  2002-03
Figure 2.  Antenatal  care practices for  live births during five years  preceding the survey  in  Indonesia,  I  991-1997
Figure 3.  Percentage of ever-married women who had a live birth  in  the five years preceding  survey and who had received antenatal care, by place of residence and treatment  during antenatal care for the most recent birth, Indonesia 2002-03
Figure 4.  Percentage of women who had last birth in the 5 years preceding swvey by score  of knowledge  about  danger  signs  during  pregnancy,  utilisation  maternal  care  services for antenatal care and place of antenatal care, Indonesia 2002-03  The
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nugroho, et al., 2020 Transmisi COVID-19 dari manusia ke manusi di Asia Transmisi COVID-19 dari manusia ke manusia dapat terjadi melalui kontak langsung dengan