• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Middle East and Islamic Studies Jurnal Middle East and Islamic Studies

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Jurnal Middle East and Islamic Studies Jurnal Middle East and Islamic Studies"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 8

Number 1 Volume 1 Januari-Juni 2021 Article 4

June 2021

Identitas dan Kebijakan Luar Negeri: Konstruksi Identitas dalam Identitas dan Kebijakan Luar Negeri: Konstruksi Identitas dalam Kebijakan Luar Negeri Tunisia Pasca Revolusi

Kebijakan Luar Negeri Tunisia Pasca Revolusi

Faizul Ibad

Universitas Indonesia, [email protected] Abdul Muta’ali

Universitas Indonesia, [email protected]

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/meis Part of the Near and Middle Eastern Studies Commons

Recommended Citation Recommended Citation

Ibad, Faizul and Muta’ali, Abdul (2021) "Identitas dan Kebijakan Luar Negeri: Konstruksi Identitas dalam Kebijakan Luar Negeri Tunisia Pasca Revolusi," Jurnal Middle East and Islamic Studies: Vol. 8: No. 1, Article 4.

DOI: 10.7454/meis.v8i1.130

Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/meis/vol8/iss1/4

This Article is brought to you for free and open access by the School of Strategic and Global Studies at UI Scholars Hub. It has been accepted for inclusion in Jurnal Middle East and Islamic Studies by an authorized editor of UI Scholars Hub.

(2)

IDENTITAS DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI:

KONSTRUKSI IDENTITAS DALAM KEBIJAKAN LUAR NEGERI TUNISIA PASCA REVOLUSI

Faizul Ibad, Abdul Muta’ali

Sekolah Kajian Stratejik dan Global Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia Email: [email protected], [email protected]

Abstrak

This study aims to examine the construction of identity in post-revolutionary Tunisian foreign policy. This research is interesting because Tunisia is the only country in the Middle East that has successfully passed the Arab Spring wave and formed a democratic government. While many other Arab countries did not make it through the wave of democratization, some of them even fell into protracted civil conflict. The polarization of Arab countries as a result of the Arab spring has caused fragmentation among other Arab countries. Saudi Arabia and the United Arab Emirates tried to block the revolution because it would threaten the integrity of their monarchy. On the other hand, Qatar and Turkey in every narrative support Arab pro-revolution groups. This polarization will affect Tunisia's foreign policy, especially since only Tunisia managed to pass the Arab spring wave. Based on the pattern of identity formation, due to changes in the domestic structure, the Tunisian revolution has given birth to the Tunisian identity as a democratic country. This study uses the constructivist concept of identity as the theoretical framework. The finding in this study is that Tunisian foreign policy in two different governments (Moncef Marzouki and Beji Caid Essebsi) shows the influence of identity, in which Tunisia considers Qatar and Turkey as friends because they have the same identity. Even though Qatar is not a democracy, its support for the democratization of Tunisia shows a common perception. While relations with Saudi and the United Arab Emirates are conflicting, they even consider the two as enemies. This is because of the difference in identity between Tunisia as a democracy and Saudi Arabia-United Arab Emirates as a monarchy.

Keywords: identity, ideology, Tunisia, Arab spring.

PENDAHULUAN

Gelombang demokratisasi di dunia Arab atau yang biasa disebut sebagai Arab spring berawal dari serangkaian aksi protes massa di Tunisia sebagai respons atas tewasnya Mohamed Bouazizi— seorang pedagang buah dan sayuran—karena frustasi atas sikap represif pihak keamanan yang

menyita gerobak dagangannya, sehingga ia tidak bisa lagi berjualan untuk menghidupi keluarganya. Kasus Bouazizi merupakan gambaran umum bagaimana kehidupan rakyat Tunisia khususnya di kalangan pemuda yang kesulitan mencari pekerjaan, ditambah lagi harus berhadapan dengan

(3)

rezim pemerintah otoriter Ali Zainal Abidin (Ben Ali) yang dikenal anti-kritik.

Aksi protes massa yang awalnya dilakukan di kota Sidi Bouzid (daerah tempat tinggal Mohamed Bouazizi) secara cepat dan massif menyebar ke seluruh kota-kota di Tunisia, khususnya kota dengan tingkat pengangguran dan kemiskinan tinggi seperti Kasserine, Sfax, Gafsa, Menzel Bouzaiane, Regueb, dan Meknassy. Tidak sampai disitu, kota-kota yang lain di Tunisia juga melakukan aksi serupa menunjukkan rasa empati atas tewasnya Bouazizi. Protes massa yang meluas ke seluruh negeri, secara mengejutkan mengarah pada upaya revolusi menuntut mundurnya Ben Ali dari kursi Presiden Tunisia.

Tuntutan massa terhadap perubahan politik di Tunisia tidak lepas dari kepemimpinan Ben Ali yang dikenal otoriter, mulai dari membatasi kebebasan politik, tidak adanya kebebasan pers, dan kriminalisasi terhadap aktivis terutama dari kalangan Islamis telah mewarnai pemerintahannya selama kurang lebih dua puluh tiga tahun (7 November 1987 sampai 15 Januari 2011). Bahkan, demi membangun citra masyarakat Tunisia agar patuh terhadap rezim, Ben Ali menggunakan berbagai narasi visual salah satunya dengan menampilkan

poster besar bergambar dirinya di ruang publik beserta angka tujuh sebagai simbol naiknya Ben Ali ke tampuh kekuasaan yaitu pada 7 November 1987 (Chomiak, 2011:71).

Selain itu, upaya tersebut dilakukan seolah- olah ingin menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa rakyat Tunisia patuh dan mencintai pemimpinnya.

Selain masalah politik di atas, berbagai masalah lain seperti tingginya angka pengangguran, kemiskinan, korupsi, dan disparitas antar wilayah, turut serta menjadi andil dalam menyulut revolusi politik Tunisia. World Bank (2014:2) bahkan menilai, pengangguran dan kemiskinan menjadi faktor paling kuat yang mendorong revolusi Tunisia, apalagi sebagian besar pengangguran di Tunisia berusia muda.

Kendatipun secara umum, angka pengangguran di Tunisia sebelum revolusi berada diangka 12 hingga 13 persen (periode 2005-2010), yang jika mengacu pada periode sebelumnya tentu lebih rendah, karena selama periode 2000 hingga 2004 pengangguran Tunisia menyentuh angka 14 persen. Akan tetapi yang menjadi fokus perhatian ialah, meskipun angka pengangguran periode 2005-2010 lebih rendah dibandingkan periode tahun 2000- 2004, tingkat pengangguran di kalangan usia muda pada periode 2005-2010 lebih tinggi

(4)

yakni mencapai 30,7 persen (usia 15-24), sedangkan pengangguran secara keseluruhan 14 persen (World Bank, 2014:2).

Sumber: The World Bank

Tingginya angka pengangguran usia muda di atas tampaknya belum mampu diselesaikan Ben Ali, terlebih angka pengangguran mencakup mereka yang lulusan perguruan tinggi hingga mencapai 20 persen pada tahun 2010 (AfDB, 2011:2).

Ketidaksesuaian antara kualifikasi pekerjaan dengan latar belakang pendidikan disinyalir memicu lonjakan pengangguran di kalangan lulusan sarjana. Menurut data AfDB (2011:2), jumlah pengangguran lulusan magister ekonomi dan hukum mencapai 47,1 persen, dan 43,2 persen untuk magister ilmu sosial. Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan pengangguran lulusan ilmu teknik yang hanya 24,5 persen. Ini menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan di

Tunisia lebih banyak berorientasi pada sektor industri, sementara untuk sektor lainnya sangat terbatas dan penuh dengan persaingan ketat untuk memasukinya, seperti sektor publik.

Tingginya angka pengangguran juga tidak lepas dari kebijakan pembangunan Tunisia yang lebih memprioritaskan wilayah pesisir sebagai pusat ekonomi melalui sektor industri. Selain karena dekat dengan ibukota (Tunis), wilayah pesisir juga secara geografis sangat mendukung untuk tujuan ekspor yang dihasilkan dari industri-industri di Tunisia.

Diperkirakan, sekitar 65 persen investasi publik di Tunisia mengalir ke wilayah pesisir (AfDB, 2011:4), sehingga wajar kiranya jika

30.98

30.15 30.57 30.7 30.46

28.06 27.81 28.03 28.59 31.02

29.49

26 28 30 32 34 36 38 40 42 44

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Angka dalam %

Tingkat Pengangguran Usia Muda di Tunisia

(5)

85 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dihasilkan dari wilayah ini seperti Tunis, Sfax, dan Sousse. Sementara itu, kegiatan ekonomi di wilayah yang tergolong dalam daerah miskin menyumbang sekitar 13 persen (World Bank, 2014:281). Perbedaan yang mencolok ini sebagai bukti bahwa pemerataan pembangunan di Tunisia selama era pemerintahan Ben Ali belum optimal.

Bahkan, terjadi kesenjangan ekonomi yang tajam antara wilayah pesisir dengan wilayah lainnya, terutama wilayah pedalaman yang berbatasan langsung dengan Libya (lihat Ebel, 2021). Pola pembangunan seperti itu menurut beberapa pengamat diwariskan sejak era kolonial dan berlangsung hingga sekarang (Sadiki, 2019).

Disamping itu, korupsi juga menjadi salah satu isu yang menjadi perhatian pengunjuk rasa di Tunisia. Pemerintahan Ben Ali diduga menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Hasil penyelidikan pihak berwenang Tunisia pasca revolusi menemukan setidaknya terdapat 662 perusahaan di Tunisia yang terkait dengan Ben Ali, belum lagi aset yang disita seperti properti, perahu dan yacht, portofolio saham, rekening bank, dan lain sebagainya yang jika ditotal dari keseluruhan aset yang disita mencapai 13 miliar USD, lebih dari

seperempat dari PDB Tunisia tahun 2011 (Rijkers, Freund, & Nucifora, 2017:6).

Prilaku korup ini tidak hanya terjadi di lingkup keluarga Ben Ali-Trabelsi, melainkan juga sudah tersistematis dalam setiap lembaga pemerintahan baik pusat maupun di daerah.

Tampaknya, rentetan permasalahan mulai dari sosial-politik, ekonomi hingga pembangunan seperti yang telah diuraikan di atas semacam fait accompli rakyat Tunisia selama pemerintahan Ben Ali. Sehingga, aksi bakar diri Mohamed Bouazizi dijadikan sebagai momentum untuk membangitkan perlawanan rakyat Tunisia terhadap Ben Ali dan menuntut perubahan menyeluruh dalam politik, sosial, dan ekonomi. Karena bagaimanapun, permasalahan di atas tidak dapat diselesaikan jika berada dalam sistem pemerintahan otoriter. Rakyat Tunisia menyadari akan pentingnya perubahan menuju pemerintahan demokratis yang menjamin kebebasan berpendapat, kebebasan pers, menghargai hak asasi manusia, sistem pemilu yang adil, dan keterlibatan warga negara dalam pengambilan keputusan politik, yang mana semuanya itu belum mereka dapatkan sebelumnya.

(6)

Harapan baru tercipta ketika Ben Ali mengumumkan bahwa dirinya tidak akan mencalonkan lagi dalam pemilu yang digelar tahun 2014. Sehari setelahnya, tepatnya pada tanggal 14 Januari 2011, Ben Ali dan istrinya meninggalkan Tunisia menuju Arab Saudi untuk mencari perlindungan. Kepergian Ben Ali secara tidak langsung menandakan akhir dari kekuasaannya selama kurang lebih 23 tahun, meskipun ia sendiri tidak secara resmi menyatakan pengunduran dirinya sebagai Presiden Tunisia. Segera setelah itu, Dewan Konstitusi menunjuk Fouad Mebazaa sebagai presiden sementara Tunisia, sedangkan perdana menteri dijabat oleh Mohamed Ghannouchi. Tetapi, rakyat Tunisia tampaknya menolak kepemimpinan Ghannouchi karena masih terdapat pengaruh kuat Rassemblement Constitutionnel démocratique (RCD)—partai pendukung Ben Ali—dalam kabinetnya. Ia mengundurkan diri pada 27 Februari 2011, dan digantikan oleh Beji Caid Essebsi.

Untuk mensukseskan transisi politik, berbagai upaya dilakukan oleh Komisi Tinggi seperti pembentukan komisi pemilihan independen—supérieure independante pour les élections (ISIE), menetapkan undang-undang terkait partai politik, pembentukan Majelis Konstituante melalui pemilihan umum, serta pembubaran

terhadap partai RCD dan sejumlah divisi keamanan yang digunakan Ben Ali untuk membungkam perbedaan pendapat (Zoubir, 2015:12). Meskipun transisi politik kerap diwarnai oleh perdebatan nasional dan kebuntuan politik, nyatanya Tunisia mampu membentuk Majelis Konstituante sebagai dewan yang akan merumuskan konstitusi baru Tunisia, serta membentuk pemerintahan sementara.

Pemilihan Majelis Konstituante yang dilakukan pada 23 Oktober 2011 dimenangkan oleh partai Islamis Ennahda dengan persentasi suara 41 persen atau menduduki 89 dari 217 kursi yang diperebutkan (The Carter Center, 2011:54).

Karena belum dapat mengamankan suara mayoritas absoulut, Ennahda terpaksa berkoalisi dengan partai sekuler seperti Congrès pour la République (CPR) yang dipimpin Moncef Marzouki dengan 29 kursi, dan Forum démocratique pour le travail et les libertés (Ettakatol) dengan 20 kursi.

Koalisi Islamis-sekularis atau yang dikenal dengan koalisi troika—tiga serangkai—

menempatkan Moncef Marzouki sebagai Presiden Tunisia, sementara Hamadi Jebali dari Ennahda menjabat sebagai Perdana Menteri.

(7)

Kesuksesan proses transisi demokrasi di Tunisia sebagai milestone bagi dunia Arab.

Sebab, hanya Tunisia di dunia Arab yang mampu melewati Arab spring hingga membentuk pemerintahan demokratis.

Tentunya, keberhasilan ini mendapat perhatian besar dari negara-negara Arab lainnya. Beberapa di antaranya mendukung keberhasilan transisi ini, namun juga banyak yang menganggap kesuksesan revolusi Tunisia akan menciptakan efek domino bagi negara-negara Arab. Salah satu kawasan yang paling terancam ialah negara-negara Teluk, sebuah kawasan yang mana seluruhnya berbentuk monarki. Mereka khawatir gelombang Arab spring ditambah lagi dengan kesuksesannya di Tunisia akan mengancam eksistensi monarki.

Disamping itu, yang patut diperhatikan ialah gelombang Arab spring berkontribusi pada kebijakan luar negeri negara-negara Teluk. Qatar melalui jaringan televisi Al Jazeera berperan besar dalam menyebarkan informasi revolusi Tunisia ke seluruh wilayah Timur Tengah dan dunia, sehingga revolusi Tunisia menyebar ke tetangganya di semenanjung Arab. Hal ini seolah Qatar mendukung revolusi dan demokratisasi di Tunisia, dan gelombang revolusi itu diharapkan akan meningkatkan pengaruh dan citra internasionalnya sebagai negara pro-

demokrasi, meskipun negaranya sendiri berbentuk monarki (Colombo, 2012:118).

Sementara itu, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab justru dari awal berusaha agar revolusi Tunisia tidak menyebar, karena tidak hanya mengancam kelangsungan monarki mereka, melainkan juga mengancam sekutu dekatnya di kawasan Arab. Dengan kata lain, Saudi dan UEA menentang proses demokratisasi di dunia Arab. Perbedaan kepentingan ini menunjukkan adanya polarisasi negara- negara Teluk sebagai dampak dari revolusi Arab. Bukan tidak mungkin, persaingan dua poros (Saudi-UEA versus Qatar) tersebut juga akan berpengaruh pada hubungan bilateral dengan pemerintahan Tunisia yang baru terbentuk. Apalagi, kesuksesan partai Islamis Ennahda dalam perpolitikan Tunisia, seakan menjauhkan Tunisia dari poros Saudi- UEA. Sebagaimana dalam kebijakan politiknya, UEA dikenal sangat memusuhi setiap manifestasi dari politik Islam, kontras dengan Saudi yang sedikit lebih lunak terhadap politik Islam (Harvey, 2020).

Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan bagaimana konstruksi identitas dalam kebijakan luar negeri Tunisia pasca revolusi? Ini dilakukan dengan melihat relasi yang dibangun antara pemerintahan Tunisia dengan Qatar maupun dengan Saudi-UEA.

Konsepsi identitas nantinya akan

(8)

menjelaskan apakah terjadi perbedaan pola hubungan antara Tunisia dengan Qatar dan Tunisia dengan Saudi-UEA. Mengingat saat ini, Tunisia merupakan satu-satunya negara demokrasi di dunia Arab. Sehingga secara tidak langsung, identitasnya sebagai negara demokrasi tersebut adalah bagian dari kepentingan yang harus diperjuangkan.

Adapun pembahasan dalam artikel ini akan difokuskan pada dua pemerintahan berbeda yakni Moncef Marzouki dan Beji Caid Essebsi, yang mana keduanya dipilih berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi.

Belum banyak penelitian yang membahas mengenai identitas dan kebijakan luar negeri khususnya dalam konteks politik Tunisia. Berbagai penelitian sebelumnya menjelaskan bagaimana hubungan luar negeri Tunisia pasca revolusi dengan banyak kekuatan besar. Jebel (2014) menjelaskan bahwa pasca revolusi, terjadi pergeseran kebijakan luar negeri Tunisia dari sebelumnya pro-Barat menjadi lebih dekat dengan negara-negara Teluk. Pergerseran kebijakan luar negeri tersebut didasarkan pada kepentingan ideologis dan ekonomi (pembangunan dan investasi). Meskipun demikian, Tunisia tetap menjaga hubungan baik dengan aliansi tradisionalnya di kawasan Eropa. Pragmatisme ini yang mencoba untuk terus dipertahankan oleh

Tunisia, karena hubungan dengan Eropa juga sangat penting untuk perekonomian Tunisia—dalam hal ini ekspor.

Sementara dalam penelitian yang berbeda, Jebel (2014) menulis bagaimana kondisi politik domestik Tunisia mempengaruhi dalam kebijakan luar negerinya. Ia meneliti dari pemerintahan berbeda yang dimulai sejak era Bourguiba hingga Moncef Marzouki. Penelitian tersebut memfokuskan pada kebijakan luar negeri Tunisia terhadap negara-negara di kawasan Afrika Utara dan Arab. Menurutnya, kalkulasi kebijakan luar negeri Tunisia dalam pemerintahan berbeda, sebagian besar berdasarkan pada pengaruh lingkungan terdekat presiden sebagai pembuat kebijakan.

Namun, setelah revolusi meskipun inner circle presiden tampaknya masih berpengaruh, faktor lain seperti opini publik juga dipertimbangkan. Sehingga kebijakan luar negeri Tunisia pasca revolusi lebih fleksibel untuk menyesuaikan lingkungan domestik dan internasional.

Upaya untuk menjelaskan pengaruh lingkup internasional dalam kebijakan luar negeri juga dilakukan oleh Mansour (2020), yang meneliti bagaiman rivalitas di antara negara-negara Maghrib mempengaruhi kebijakan luar negeri Tunisia. Menurutnya,

(9)

sejak era kemerdekaan Tunisia hingga terbentuknya pemerintahan tahun 2011, kebijakan luar negeri Tunisia berkomitmen pada upaya menjauhkan dari keterlibatan regional. Berbagai upaya perjanjian internasional hanya sebatas di atas kertas, sementara tidak ada implementasi untuk mewujudkannya. Begitu juga dengan persaingan di kawasan—misalnya antara Aljazair dengan Libya ataupun Maroko dengan Aljazair—Tunisia lebih menekankan pada mekanisme hukum internasional untuk menyelesaikannya. Selain itu, konsolidasi dengan Prancis juga menjadi bentuk dari upaya Tunisia untuk menjauhkan diri dari isu-isu ataupun persaingan regional.

IDENTITAS DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL

Secara umum, banyak teori dalam hubungan internasional meletakkan dasar teoritisnya pada elemen material seperti distribusi kekuasaan, perimbangan kekuatan, aliansi, dan lain sebagainya. Mungkin sejauh ini, hanya konstruktivisme yang memfokuskan kajiannya pada kesadaran manusia (sosial) atau aspek sosial dalam hubungan internasional. Menurut konstruktivisme hubungan internasional terdiri dari gagasan/ide bukan berdasarkan pada elemen material. Pandangan itu menjadi

dasar agumen konstruktivis terkait dunia sosial dan politik yang dibentuk berdasarkan gagasan manusia bukan ada dengan sendirinya (Jackson & Sørensen, 2013:211- 212). Karena itu, wajar jika konstruktivis menganggap bahwa sistem internasional sebagai buatan manusia, yang kemudian melahirkan makna intersubjektif (shared understanding).

Pandangan konstruktivisme bertentangan dengan neorealis misalnya terkait anarki. Dalam pandangan neorealis, dunia internasional penuh dengan anarki dan konfliktual yang mengharuskan negara untuk bertindak melindungi dirinya sendiri (self- help). Namun, yang menjadi titik penolakan konstruktivis ialah pada makna anarki itu sendiri yang menurut konstruktivis sebagai buatan manusia, bukan ada dengan sendirinya (Wend, 1999:6). Artinya, sistem anarki yang kemudian mengarah pada upaya self-help itu tergantung pada interaksi antar negara. Pada proses interaksi ini nantinya melahirkan identitas dan kepentingan nasional (Jackson & Sørensen, 2013:216).

Identitas menjadi salah satu konsep dalam konstruktivisme. Secara umum, pembentukan identitas tidak lepas dari adanya proses identifikasi diri atau dengan bahasa lain disebut sebagai kategorisasi diri.

(10)

Pada proses identifikasi diri ini, individu akan memposisikan dirinya dalam relasi sosial berdasarkan perbedaan dan persamaan antara dirinya dengan yang lain (Stets &

Burke, 2000:225). Sementara itu, Wendt (1999:224) menganggap bahwa identitas itu pada dasarnya bersifat subyektif. Artinya, pemahaman diri aktor akan identitasnya bergantung pada aktor lain. Sehingga dalam pandangan Wendt, identitas itu dibentuk oleh struktur internal (self) dan eksternal (other).

Lebih jauh, Wendt (1999) membagi identitas negara menjadi empat macam yaitu identitas personal (corporate identity), identitas golongan (type identity), identitas peran (role identity), dan identitas kolektif (collective identity). Identitas persoal merupakan identitas yang dibentuk berdasarkan pada pemahaman mengenai diri sendiri yang berbeda dengan yang lain.

Dalam konteks negara, identitas personal ini berhubungan dengan nasionalisme, kedaulatan, dan wilayah. Identitas golongan menyandarkan pada kategorisasi sosial, yang mana setiap negara memiliki karakteristik khas yang disematkan kepadanya.

Karakteristik khas itu dapat berupa nilai-nilai (ideologi—termasuk sistem politik), prilaku, sejarah, bahasa, dan lain sebagainya (Wendt, 1999:225). Sementara identitas peran mengharuskan adanya keterlibatan aktor lain

yang membentuk identitasnya, yang berarti identitas jenis ini tidak berdiri sendiri melainkan bergantung pada aktor lain.

Identitas terakhir yaitu identitas kolektif, yang mana identitas jenis ini lebih mengutamakan kerjasama dibandingkan konfliktual.

Konsepsi identitas di atas, dapat diaplikasikan dalam upaya untuk memahami pola hubungan yang terjadi antara Tunisia dengan Qatar maupun Tunisia dengan Saudi- UEA berdasarkan identitas yang terbentuk.

Mengacu pada tipologi identitas di atas, maka identitas golongan (type identity) sesuai untuk menjelaskan kaitan identitas sebagai pembentuk dalam kebijakan luar negeri Tunisia.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk melihat kaitan ataupun pengaruh identitas dalam kebijakan luar negeri Tunisia pasca revolusi. Untuk mencari relevansi antara identitas dan kebijakan luar negeri adalah dengan mengamati perubahan elit politik Tunisia pasca revolusi sebagai faktor domestik yang membentuk suatu identitas. Sementara, faktor eksternal berkaitan dengan polarisasi yang terjadi di antara negara-negara Arab sebagai dampak dari gelombang Arab spring, sehingga hal ini

(11)

dapat berpengaruh dalam pembentukan kebijakan luar negeri Tunisia.

Adapun jenis penelitian ini menggunakan studi kasus dengan mengkaji dua pemerintahan yang terbentuk pasca revolusi yaitu pemerintahan Moncef Marzouki dan Beji Caid Essebsi.

Pemerintahan Marzouki dipilih sebagai studi kasus adalah karena selama pemerintahannya Tunisia lebih dekat dengan Qatar dibandingkan dengan poros Saudi-UEA.

Sedangkan pemerintahan Essebsi, meskipun awalnya mendapat dukungan UEA, tetapi pada akhirnya harus kecewa karena Essebsi menjalin koalisi dengan partai Ennahda.

Sehingga dalam perjalanannya pemerintahan Essebsi diwarnai konflik diplomatik dengan UEA.

HASIL DAN PEMBAHASAN Tunisia sebagai Negara Demokrasi

Di awal telah diuraikan secara singkat proses transisi politik di Tunisia sebagai dasar bagi pembentukan negara demokrasi.

Tidak mudah bagi Tunisia, apalagi secara khusus bagi negara-negara Arab untuk menerapkan sistem demokrasi. Hal ini karena dalam sejarahnya masyarakat Arab—

termasuk wilayah Maghrib—telah lama hidup dalam sistem monarki dan rezim otoriter. Sehingga perubahan ke arah

demokrasi menghadapi tantangan baik dari dalam—seperti perdebatan politik, polarisasi masyarakat, dan afiliasi kesukuan—ataupun tantangan dari luar yang dalam hal ini intervensi dari negara-negara Teluk.

Keberhasilan Tunisia melewati proses transisi tersebut memberikan harapan bagi rakyat Tunisia akan terwujudnya pemerintahan demokratis. Pasalnya, berbagai elemen dasar demokrasi seperti kebebasan berpendapat, adanya pemilihan umum yang adil, penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), serta kebebasan pers telah terpenuhi. Bahkan, sebelum pemilihan Majelis Konstituante dilaksanakan telah banyak bermunculan partai-partai baru (lihat, Hanlon, 2012:3). Ini mengindikasikan bahwa masyarakat Tunisia perlahan memiliki kesadaran akan hak politik mereka. Tetapi memang, tidak semua rakyat memiliki kesadaran politik yang sama. Masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan—dengan tingkat ekonomi yang berkecukupan—dapat dipastikan menaruh perhatian pada isu-isu politik, tetapi tidak bagi mereka yang tinggal di wilayah pedesaan. Mereka yang tinggal di wilayah pedesaan hanya memikirkan apa yang mereka butuhkan untuk hari esok.

Munculnya demonstrasi secara terus menerus hingga menggulingkan perdana

(12)

menteri sementara, Mohamed Ghannouchi, disinyalir karena adanya kekhawatiran rakyat Tunisia akan munculnya rezim baru pengganti Ben Ali. Memang, tidak menutup kemungkinan pada waktu itu sebagian besar yang duduk dalam pemerintahan sementara Tunisia memiliki hubungan dengan rezim sebelumnya. Disamping itu, tuntutan para demonstran juga tidak jauh dari masalah ekonomi. Mereka menuntut pemerintahan baru agar melakukan langkah percepatan untuk mengatasi masalah pengangguran, kemiskinan, korupsi, dan ketimpangan antara wilayah. Uniknya, walaupun isu perbaikan ekonomi masih menjadi fokus tuntutan rakyat Tunisia, isu tersebut diimbangi oleh adanya seruan untuk kebebasan politik dan emansipasi (Mansouri, 2020:2). Sehingga tidak menimbulkan gejolak politik yang mengarah pada kegagalan demokratisasi, laiknya negara Arab lainnya seperti Yaman, Libya, dan Suriah.

Tunisia, walaupun waktu itu berada dalam pemerintahan otoriter, tampaknya selangkah lebih maju dari negara Arab lainnya dalam hal kebebasan dan kesetaraan bagi perempuan. Pemerintahan Bourguiba melalui Kode Status Pribadi (The Code of Personal Status (CPS)) memberikan aturan dasar untuk isu-isu yang berkaitan dengan keluarga, perceraian, warisan, tunjangan, hak

asuh anak dan adopsi (Khedher, 2017:30).

Beberapa dalam aturan tersebut misalnya menghapus poligami, yang secara tidak langsung memberikan keuntungan bagi kaum perempuan Tunisia. Sebagaimana waktu itu, poligami dalam masyarakat Arab sebagai hal yang biasa dan banyak dipraktekkan. Kode Status Pribadi (Code of Personal Status) yang dianggap progresif itu menunjukkan bahwa, pada dasarnya akar modernitas masyarakat Tunisia telah ada sejak negara itu merdeka. Sehingga tidak menjadi tantangan berarti untuk menerapkan sistem demokrasi di Tunisia, meskipun juga dalam perjalanan transisi politik tahun 2011-2014 kerap diwarnai berbagai peristiwa penting yang mengarah pada kegagalan demokrasi.

Selain itu, yang harus juga menjadi perhatian penting ialah peran serta masyarakat sipil dalam perpolitikan Tunisia.

Masyarakat sipil di Tunisia telah ada sejak era Bourguiba, namun pengaruh mereka dalam politik sangat terbatas. Berbeda dengan era pasca revolusi, organisasi seperti Serikat Kerja Tunisia (Union Générale Tunisienne du Travail—UGTT) dan kalangan profesional (dokter, pengacara, dosen, dan lainnya) memiliki pengaruh politik yang cukup kuat. Bahkan dalam beberapa kasus tertentu seperti pembunuhan aktivis kiri, Chokri Belaid dan Mohamed

(13)

Brahmi pada tahun 2013, masyarakat sipil bersama partai politik lainnya di parlemen mendesak agar pemerintahan Troika mewujudkan keamanan dan stabilitas negara.

Desakan ini dan tuntutan terus menerus hingga menimbulkan demonstrasi massa, menyebabkan bubarnya pemerintahan koalisi Troika pada Januari 2014. Setelah pembubaran itu, pemerintahan sementara dipimpin oleh Mehdi Jomaa yang merupakan seorang teknokrat (Zoubir, 2015:14).

Stabilitas politik pasca pembubaran koalisi Troika sedikit terkendali, karena masing-masing pihak berkepentingan untuk terus mengawal jalannya pemerintahan teknokrat sampai terselenggaranya pemilihan legislatif dan presiden. Pemilihan legislatif yang dilakukan pada 26 Oktober 2014 seolah mengembalikan persaingan antara partai Islam—yang diwakili Ennahda—dengan partai sekularis. Meskipun pada akhirnya, partai sekularis Nidaa Tounes yang dipimpin Beji Caid Essebsi berhasil memenangkan pemilihan umum dengan 37.56 persen suara atau menduduki 86 dari 217 kursi yang diperebutkan (Zoubir, 2015:15). Sementara itu, pada pemilihan presiden yang diselenggarakan dalam dua putaran dimenangkan oleh Essebsi dengan 39.46 persen suara. Sedangkan pesaingnya, yang merupakan Presiden Tunisia saat itu, Moncef

Marzouki memperoleh 33.43 persen suara.

Turunnya suara partai Ennahda dibandingkan pada pemilu majelis konstituante sebelumnya disebabkan oleh banyak faktor seperti kegagalan pemerintahan troika dalam menangani permasalahan ekonomi, stabilitas politik dan keamanan. Hal itu juga kemudian berpengaruh pada perolehan suara Marzouki yang meskipun berasal dari partai sekularis, sering dikaitkan dengan Ennahda.

Selain itu, elemen demokrasi lainnya yang berhasil tercipta selama proses transisi politik Tunisia serta mejadikan Tunisia sebagai negara demokrasi ialah disahkannya Konstitusi Tunisia tahun 2014. Konstitusi itu memuat landasan aturan yang memberikan arahan bagi pemerintahan demokrasi Tunisia, karena memuat beberapa prinsip-prinsip negara demokrasi seperti; adanya sirkulasi kekuasaan secara berkala melalui pemilu, pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, supremasi hukum, dan menghargai prinsip-prinsip pluralisme (Tunisia's Constitution of 2014, Constituteproject.org). Suatu terobosan penting yang tidak pernah ada sebelumnya dalam perpolitikan di dunia Arab, bahkan dapat dikatakan konstitusi Tunisia tahun 2014 merupakan konstitusi paling liberal di antara negara Arab lainnya.

(14)

Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa demokrasi sebagai identitas baru Tunisia. Berbagai elemen yang menunjukkan keberhasilan implementasi dari prinsip- prinsip demokrasi itu sendiri dapat dilihat seperti adanya pemilihan umum yang adil dan terbuka, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, distribusi kekuasaan secara adil, dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Semua yang menyangkut prinsip demokrasi tersebut dimuat dan diatur dalam Konstitusi tahun 2014 yang telah disetujui bersama oleh seluruh anggota Majelis Konstituante. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa Tunisia menjadi satu-satunya negara di wilayah Afrika Utara dan semenanjung Arab yang berhasil menerapkan sistem pemerintahan demokrasi. Sehingga hal itu yang kemudian membentuk identitas baru Tunisia sebagai negara demokrasi. Tentunya, identitas baru itu secara tidak langsung berpengaruh dalam kebijakan luar negeri Tunisia, karena harus menyesuaikan dengan kondisi politik kawasan yang mayoritas berbentuk monarki dan otoritarianisme.

Identitas dalam Kebijakan Luar Negeri Tunisia

Sebagaimana konsep identitas dalam pandangan konstruktivis yang menyebut bahwa identitas itu bersifat subyektif, dan bergantung pada struktur internal dan

eksternal. Maka, dalam hal ini, identitas Tunisia sebagai negara demokrasi terbentuk karena adanya perubahan aktor domestik (internal), yang mana perubahan aktor tersebut secara tidak langsung menghasilkan perubahan dalam struktur politik nasional dari sebelumnya otokrasi menjadi demokrasi.

Adanya konsensus nasional pasca revolusi untuk membentuk pemerintahan demokrasi, menunjukkan bahwa aktor-aktor yang terlibat dalam konsensus tersebut memiliki ideologi yang sama yaitu demokrasi, bahkan secara kesuluruhan rakyat juga sepakat terhadap konsensus itu.

Sementara, struktur eksternal berkaitan dengan polarisasi di negara-negara Arab yang terbentuk pasca revolusi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa revolusi Tunisia telah menghasilkan dua kubu yang saling berseberangan. Qatar dan Turki mendukung revolusi dan transisi demokrasi di Tunisia karena dianggap sebagai sebuah kemajuan. Sebaliknya, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab tidak setuju dengan revolusi tersebut karena dapat mengancam kedaulatannya. Dari itu maka, elit politik Tunisia dapat mempersepsikan mana negara yang dianggap “teman” dan mana yang dianggap sebagai “musuh”. Dalam arti, mana negara yang mengakui identitasnya sebagai negara demokrasi, dan mana negara yang

(15)

tidak mengakui identitas tersebut.

Karenanya, faktor itu yang menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan luar negeri.

Periode Moncef Marzouki

Pemerintahan Moncef Marzouki terbentuk setelah pemilihan umum Majelis Konstituante yang dilaksanakan pada 23 Oktober 2011. Pemerintahan yang disebut sebagai awal dari kemajuan demokrasi Tunisia ini merupakan hasil koalisi antara partai beraliran Islamis moderat Ennahda dengan partai sekularis dan sosialis yaitu Congrès pour la République (CPR) dan Forum démocratique pour le travail et les libertés (Ettakatol). Tidak lama setelah pembentukan pemerintahan sementara, Marzouki sebagai Presiden sementara menunjuk Hamadi Jebali dari Ennahda untuk menjabat Perdana Menteri dan menyusun kabinet. Kabinet Jebali yang telah disetujui Majelis sebagian besar diisi dari partai Ennahda, termasuk juga kementerian strategis meliputi; kementerian dalam negeri, kementerian luar negeri, kementerian kehakiman, dan kementerian investasi dan kerjasama internasional.

Dominasi Ennahda dalam pemerintahan Marzouki sebagai upaya Ennahda untuk mengontrol jalannya

demokrasi Tunisia. Sebab Ennahda mengambil pelajaran dari kasus Ben Ali yang awalnya menjanjikan pemerintahan demokratis, tetapi justru beralih ke model pemerintahan otoriter sebelumnya.

Kemenangan Ennahda dalam pemilu majelis konstituante memberikan legitimasi politik untuk membendung pengaruh kelompok sekularis yang masih menaruh curiga dengan agenda politik Ennahda. Mungkin ini juga yang menjadi alasan mengapa jabatan presiden berasal dari CPR bukan dari Ennahda. Disamping itu, dengan menduduki banyak kursi di kabinet Jabali, Ennahda tampaknya ingin mengambil peran menonjol untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi yang selama ini menjadi masalah akut Tunisia (Özcan, 2018:211).

Terlepas dari itu, komposisi di dalam kabinet Jebali berpengaruh pada hubungan luar negeri Tunisia dengan aktor lainnya di kawasan. Di tengah polarisasi kawasan yang begitu tajam seiring dengan meningkatnya demontrasi massa di dunia Arab, menyebabkan para pembuat kebijakan Tunisia bersikap hati-hati agar tidak masuk dalam persaingan yang akan mengancam kepentingan nasionalnya. Akan tetapi, faktor kedekatan ideologi dan persamaan persepsi menyebabkan pemerintahan Marzouki lebih dekat dengan poros Qatar dan Turki. Alasan

(16)

dibalik kedekatan itu ialah selama proses revolusi Tunisia, Qatar melalui jaringan televisi Al Jazera memainkan peran penting dalam menyebarkan isu revolusi Tunisia ke seluruh wilayah Arab. Sehingga secara tidak langsung membangkitkan kesadaran masyarakat Arab akan pentingnya kebebasan dan perubahan ke arah pemerintahan demokratis (Nuruzzaman, 2015:228). Selain itu, adanya persamaan pandangan antara elit politik Tunisia—secara khusus Ennahda—

dengan elit politik Qatar mengenai demokrasi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kedekatan kedua negara.

Walaupun Qatar sendiri bukan negara demokrasi, dukungannya terhadap kelompok pro-revolusi di Timur Tengah seakan menyetujui pembentukan pemerintahan demokrasi di wilayah itu, tetapi tidak bagi negaranya.

Sementara kedekatan secara ideologis tampak terlihat antara Ennahda Tunisia dengan Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkinma Partisi—AKP) Turki yang mana keduanya menjadi partai penguasa di negara masing-masing. Kedua partai itu memiliki persamaan ideologi yaitu sama-sama Islamis moderat. Sehingga wajar jika hubungan antara Tunisia di bawah Ennahda dengan Turki di bawah AKP sangat dekat.

Kontra dengan hubungan dekat antara Tunisia dengan Qatar-Turki, hubungan Tunisia dengan Saudi dan UEA tampaknya tidak berjalan baik. Apalagi sejak pengasingan Ben Ali ke Saudi yang memunculkan anggapan bahwa Saudi melindungi Ben Ali. Ditambah lagi dengan keputusan Saudi yang menolak ekstradisi Ben Ali ke Tunisia semakin memanaskan hubungan kedua negara (Mogielnicki, 2018).

Sama halnya dengan Saudi, elit politik Tunisia pun melihat UEA sebagai musuh karena selain tidak setuju dengan penggulingan Ben Ali dan proses demokratisasi Tunisia, juga karena UEA memandang negatif kelompok Islamis. Hal ini karena keberhasilan politik Islam di Tunisia ditandai dengan kemenangan Ennahda akan mengancam eksistensi kerajaan, karena kesuksesan tersebut dapat menjadi inspirasi bagi Islamis di UEA untuk melakukan pemberontakan (Harvey, 2020).

Oleh karena itu, pola kedekatan hubungan yang berbeda antara Tunisia dengan poros Qatar-Turki dan disisi lain Saudi–Emirat terlihat adanya pengaruh identitas, yang mana dengan itu elit politik Tunisia dapat menafsirkan poros mana yang dianggap sebagai teman dan mana lawan.

Akan tetapi, jika kemungkinan adanya perubahan dalam kebijakan luar negeri

(17)

Tunisia di atas, itu tergantung pada perubahan dalam struktur politik domestik Tunisia.

Periode Beji Caid Essebsi

Pemilihan umum tahun 2014 yang bertujuan untuk memilih anggota legislatif dan eksekutif menjadi salah satu tonggak sejarah karena untuk pertama kalinya Presiden Tunisia dipilih langsung oleh rakyat. Pada pemilu kali ini, partai Islamis Ennahda harus mengakui keunggulan partai Nidaa Tounes yang beraliran sekularis.

Kemenangan Nidaa Tounes pada pemilu legislatif menandai pergantian kekuasaan dari pemerintahan Islamis ke sekularis.

Selain itu, tokoh sentral Nidaa Tounes yaitu Beji Caid Essebsi juga berhasil memenangkan pemilu presiden melawan Moncef Marzouki.

Kemenangan partai Nidaa Tounes dan Essebsi tidak hanya menjadi kemenangan kelompok sekular, serikat buruh, atau mereka yang anti-Islamis, tetapi juga kemenangan bagi UEA. Karena bagi UEA, dukungannya terhadap Nidaa Tounes menjadi penting untuk menyingkirkan kelompok Islamis di Tunisia. Contoh kasus seperti penarikan duta besanya dari Tunisia pada tahun 2013, diartikan sebagai upaya untuk melemahkan kepemimpinan Ennahda, seraya memberikan

dukungan kepada Nidaa Tounes (Trotta, 2018). Diharapkan, dengan mendukung pemerintahan sekuler dapat melemahkan posisi partai Islamis, sehingga pamor Islamis di Ennahda tergantikan oleh kelompok sekularis. Begitu juga Nidaa Tounes, yang memerlukan pengaruh dan dukungan finansial dari UEA untuk memenangkan pemilu. Begitu juga setelahnya, dukungan dari UEA sangat diperlukan untuk membangun perekonomian Tunisia (Cherif, 2014).

Akan tetapi, aturan sistem politik Tunisia yang tidak menghendaki adanya dominasi satu partai di pemerintahan menghalangi tujuan di atas. Harapan akan terbentuknya pemerintahan yang didominasi dari kalangan sekularis atau bahkan yang lebih ekstrem pemerintahan satu partai, tidak terwujud. Hal itu yang megharuskan Nidaa Tounes berbagai kekuasaan dengan partai lain yaitu Partai Afek Tounes, Free Patriotic Union (Union patriotique libre—UPL) dan Ennahda. Masuknya Ennahda dalam pemerintahan Essebsi mengartikulasikan kepentingan partai. Sejak kampanye, Ennahda selalu mengutamakan pemerintahan pluralistik yang mengakomodir dari seluruh faksi politik dan ideologi (Jamaoui, 2015).

Untuk itu, tidak mengherankan jika Ennahda bergabung dengan pemerintahan Essebsi,

(18)

meskipun hanya mendapat satu posisi dalam kabinet Habib Essid.

Meskipun pengaruh Ennahda dalam pemerintahan Essebsi tidak sekuat pengaruhnya dalam pemerintahan Marzouki sebelumnya, tetapi kehadirannya dalam koalisi tersebut mendapat perhatian serius dari UEA. Karena bagaimanapun akan semakin sulit bagi UEA untuk melemahkan Ennahda jika partai tersebut duduk di pemerintahan. Di samping itu, keputusan Essebsi untuk mengakomodir Ennahda dalam pemerintahannya seolah ingin memberikan pesan kepada UEA bahwa dalam negara demokrasi koalisi merupakan hal yang wajar, lebih-lebih lagi dengan partai Ennahda yang keterwakilannya cukup diperhitungakan di parlemen.

Pola konsensus seperti yang ditunjukkan dua partai besar di atas, disamping dapat meredam polarisasi antara Islamis versus sekularis, juga dapat menghindari dari kemungkinan munculnya pemerintahan otoriter. Dorongan ke arah otoritarianisme tidak hanya berasal dari dalam negeri, melainkan juga bisa berasal dari aktor luar yang ingin menggagalkan pemerintahan demokrasi Tunisia dan menggantinya dengan pemerintahan otoriter.

UEA tampaknya merencanakan agenda

seperti itu, yaitu ingin membajak demokratisasi Tunisia dan menggantinya dengan pemerintahan otoriter dan militeristik laiknya Mesir di bawah Jenderal As-sisi.

Rencana itu datang setelah Essebsi terpilih menjadi presiden Tunisia, elit politik UEA memerintahkan kepada Essebsi untuk menerapkan pemerintahan otoriter dengan menguatkan pengaruhnya di parlemen dan militer, disertai janji imbalan bantuan finansial untuk pembangunan Tunisia. Akan tetapi, tawaran UEA ditolak oleh Essebsi karena memandang upaya itu akan menghancurkan demokrasi Tunisia (Middle East Eye, 2015).

UEA sepertinya belum berhenti untuk menggagalkan demokratisasi di Tunisia.

Pasalnya, muncul pemberitaan yang menyebutkan rencana penggulingan Essebsi oleh mantan menteri dalam negeri, Brahem, yang diduga bekerjasama dengan intelijen UEA (Middle East Eye, 2015). Meskipun rencana itu gagal, tetapi publik Tunisia merasa khawatir dengan isu yang beredar sehingga mereka melakukan demonstrasi mengecam intervensi UEA dalam pemerintahan Tunisia. Tentunya, kekhawatiran rakyat ini menjadi pertimbangan pemerintahan Essebsi untuk melihat kembali hubungannya dengan UEA.

(19)

Hubungan konfliktual antara UEA dengan Tunisia di era pemerintahan Essebsi tidak berlaku dengan hubungan Tunisia dengan Arab Saudi. Pada awalnya, Saudi juga khawatir akan gelombang Arab spring yang akan mengancam kerajaan, tetapi setelah proses transisi politik Tunisia berjalan baik Saudi mengubah arah kebijakannya menjadi lebih kooperatif.

Tidak seperti pemerintahan Marzouki sebelumnya, pemerintahan Essebsi mencoba menekankan kebijakan luar negerinya dengan sikap netral, khususnya yang terkait dengan konflik antara Qatar dengan poros Saudi-UEA. Walaupun dalam beberapa kesempatan terlihat bagaimana Essebsi menaruh harapan besar terhadap Qatar dalam mendukung demokrasi dan pembangunan ekonomi di Tunisia. Misalnya, Essebsi mengatakan bahwa Qatar merupakan negara pertama yang mengakui pemerintahan demokrasi Tunisia (Ghannoushi, 2018). Oleh karena itu, dapat dilihat bagaimana kebijakan luar negeri Essebsi, yang meskipun pada awalnya bersikap netral tetapi kemudian terjadi pergeseran ke arah poros Qatar-Turki.

Khususnya, ketika ia mengidentifikasikan aktor-aktor yang akan mengancam kepentingan nasional Tunisia yaitu kelangsungan sistem demokrasi itu sendiri.

KESIMPULAN

Sebagai kesimpulan ialah bahwa identitas memiliki pengaruh penting bagi kebijakan luar negeri Tunisia, yang mana kebijakan luar negeri Tunisia di dua pemerintahan berbeda tersebut mengarah pada upaya untuk melindungi identitasnya yang dalam hal ini ialah demokrasi itu sendiri. Baik pemerintahan Marzouki maupun Essebsi keduanya melihat UEA dan Saudi sebagai aktor yang akan mengancam identitas nasionalnya. Sehingga hubungan kedua negara cenderung bersifat konfliktual.

Sementara dengan Qatar dan Turki, karena memiliki cara pandang yang sama memunculkan relasi kerjasama daripada konfliktual.

Selain itu, perubahan aktor juga turut serta mempengaruhi kebijakan luar negeri Tunisia, karena aktor ini lah yang membawa identitas tersebut. Terlihat bagaimana elit politik Tunisia mencoba mengidentifikasi aktor di luar dirinya yang berbeda dengan identitas yang disematkannya. Karena itu, identitas Tunisia sebagai satu-satunya negara demokrasi di kawasan Arab menjadi keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh negara Arab lainnya. Sehingga, bagaimana pun elit politik Tunisia mencoba

(20)

mempertahankan identitas tersebut yang diartikulasikan dalam kepentingan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

AfDB, A. (2011). The Revolution in Tunisia-Economic Challenges and Prospects. African Development Bank.

Alexander, W. (1999). Social Theory of International Politics. Cambridge University Press.

Center, C. (2011). National Constituent Assembly Elections in Tunisia: Final Report.

Chomiak, L. (2011). The Making of a Revolution in Tunisia. Middle East Law and Governance, 3(1-2), 68-83.

Colombo, S., (2012), The GCC and the Arab Spring: A Tale of Double Standards, The International Spectator, 47:4, 110-126.

Guéraiche, W. (2017). The UAE-Tunisia Diplomatic Relations: a Subtle Balance between Economy and Security? International Journal of Diplomacy and Economy, 3(4), 316- 329.

Hanlon, Q. (2012). Security Sector Reform in Tunisia. US Institute of Peace.

Jackson, R., & Sørensen, G.,(2013).

Introduction to International

Relations: Theories and Approaches.

Oxford University Press, USA.

Jamaoui, A. (2015). The Impact of the Coalition on Ennahda and Nidaa

Tounes. 11 March, 2015. Open Democracy.

Jebel, A. (2014), Tunisia’s Domestic Politics and Foreign Policy from President Bourguiba to President Marzouki.

International Journal of Political Science, Law and International Relations (IJPSLIR), 4 (1), 1-12.

Jebel, A. (2014). Tunisia’s Foreign

Relations Before and After the Arab Spring: Relations with Major Powers.

International Journal of Business and Management Study, 1(4), 44-50.

Khedher, R. (2017). Tracing the

Development of the Tunisian 1956 Code of Personal Status. Journal of International Women's Studies, 18(4), 30-37.

Mansour, I. (2020). Explaining the Influence of Maghrebi Rivalries on Tunisian Foreign Policy. The Journal of North African Studies, 1-29.

Mansouri, F. (2020). Youth and Political Engagement in Post-Revolution Tunisia. British Journal of Middle Eastern Studies, 1-17.

Masri, S. M. (2017). Tunisia: an Arab Anomaly. Columbia University Press.

Nuruzzaman, M. (2015). Qatar and the Arab Spring: Down the Foreign Policy Slope. Contemporary Arab Affairs, 8(2), 226-238.

Özcan, S. A. (2018). The Role of Political Islam in Tunisia’s Democratization Process: Towards a New Pattern of Secularization? Insight Turkey, 20(1), 209-226.

Rijkers, B., Freund, C., & Nucifora, A.

(2017). All in the Family: State

(21)

Capture in Tunisia. Journal of

Development Economics, 124, 41-59.

Stets, J. E., & Burke, P. J. (2000). Identity Theory and Social Identity Theory.

Social Psychology Quarterly, 224-237.

Wendt, A.,(1999). Social Theory of International Politics. Cambridge University Press.

World Bank (IBRD) Observatoire National de La Jeunesse (Tunisia). (2014).

Tunisia: Breaking the Barriers to Youth Inclusion.

World Bank (IBRD) Observatoire National de La Jeunesse (Tunisia). (2014).

Tunisia: Breaking the Barriers to Youth Inclusion.

World Bank (IBRD) Observatoire National de La Jeunesse (Tunisia). (2014).

Tunisia: Breaking the Barriers to Youth Inclusion.

Zoubir, Y. H. (2015). The Democratic Transition in Tunisia: a Success Story in the Making. Conflict Trends, (1), 10-17.

Cherif, Y., “Tunisia’s Elections amid a Middle East Cold War”, Atlantic Council, 23 Oktober 2014,

https://www.atlanticcouncil.org/blogs/

menasource/tunisian-elections-amid-a- middle-eastern-cold-war/, diakses pada 23 Desember 2020.

Ebel, F., The Tunisia Heist, New Lines Magazine, 7 Mei 2021,

https://newlinesmag.com/reportage/the -tunisia-heist/, diakses pada 20 Juli 2021.

Ghannoushi, S., “The UAE is Determined to Punish Tunisians for the Sin of

Democracy,”Middle East Eye, 1

Januari 2018,

https://www.middleeasteye.net/opinio n/uae-determined-punish-tunisians- sin-democracy, diakses pada 15 Oktober 2020.

Ghannoushi, S., “The UAE is Determined to Punish Tunisians for the Sin of

Democracy,”Middle East Eye, 1 Januari 2018,

https://www.middleeasteye.net/opinio n/uae-determined-punish-tunisians- sin-democracy, diakses pada 15 Oktober 2020.

Gulf Times, “Essebsi Hails ‘Historic’

Tunisian-Qatari Relations,” 17 Mei 2016, https://m.gulf-

times.com/story/493708/Essebsi-hails- historic-Tunisian-Qatari-relations, diakses pada 30 Oktober 2020.

Harvey, J.F., What Drives the United Arab Emirates’ War on Political Islam?, Inside Arabia, 14 Februari 2020, https://insidearabia.com/what-drives- the-united-arab-emirates-war-on- political-islam/, pada 11 April 2021.

Middle East Eye, “Row in Tunisia over Claims that UAE is Buying Political Influence,” 25 Mei 2015,

https://www.middleeasteye.net/news/r ow-tunisia-over-claims-uae-buying- political-influence, diakses pada 30 Oktober 2020.

Mogielnicki, R., “Saudi-Tunisian Relations:

Balancing Fiscal Support and Foreign Policy”, Middle East Institute, 10 Desember 2018,

https://www.mei.edu/publications/sau di-tunisian-relations-balancing-fiscal- support-and-foreign-policy, diakses pada 11 Oktober 2020.

(22)

Sadiki, L., Regional Development in Tunisia: The Consequences of Multiple Marginalization, Brookings, 14 Januari 2019,

https://www.brookings.edu/research/re gional-development-in-tunisia-the- consequences-of-multiple-

marginalization/, diakses pada 08 Juli 2021.

Trotta, E., Between Qatar, Saudi Arabia, and the UAE: Tunisia’s Quest for

Neutrality, Geopolitical Monitor, 15 Agustus 2018, diakses dari

https://www.geopoliticalmonitor.com/

between-qatar-saudi-arabia-and-the- uae-tunisias-quest-for-neutrality/, pada 10 April 2021.

TRT World, “UAE Tried to Topple the Government in Tunisia: ex-president Marzouki,” 15 Jan 2019,

https://www.trtworld.com/mea/uae- tried-to-topple-the-government-in- tunisia-ex-president-marzouki-23353, diakses pada 13 Oktober 2020.

Tunisia's Constitution of 2014, Constituteproject.org,

https://www.constituteproject.org/cons titution/Tunisia_2014.pdf, (diakses pada 10 Oktober 2020).

Referensi

Dokumen terkait