• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK ELEKTROLIT GADOLINIUM DOPED CERIUM (GDC) DENGAN VARIASI TEMPERATUR KALSINASI UNTUK INTERMEDIATE TEMPERATURE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "KARAKTERISTIK ELEKTROLIT GADOLINIUM DOPED CERIUM (GDC) DENGAN VARIASI TEMPERATUR KALSINASI UNTUK INTERMEDIATE TEMPERATURE "

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK ELEKTROLIT GADOLINIUM DOPED CERIUM (GDC) DENGAN VARIASI TEMPERATUR KALSINASI UNTUK INTERMEDIATE TEMPERATURE

SOLID OXIDE FUEL CELL (IT SOFC)

SKRIPSI

WINDI AZIZAH FITRI

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018 M / 1439 H

(2)

KARAKTERISTIK ELEKTROLIT GADOLINIUM DOPED CERIUM (GDC) DENGAN VARIASI TEMPERATUR KALSINASI UNTUK INTERMEDIATE TEMPERATURE

SOLID OXIDE FUEL CELL (IT SOFC)

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

WINDI AZIZAH FITRI 1112096000047

PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018 M / 1439 H

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Windi Azizah Fitri. Karakteristik Elektrolit Gadolinium Doped Cerium (GDC) dengan Variasi Temperatur Kalsinasi untuk Intermediate Temperatur Solid Oxide Fuel Cell (IT SOFC). Dibimbing oleh Jarot Raharjo dan Nanda Saridewi.

Komponen utama dalam SOFC adalah elektrolit. Material berbasis cerium memiliki prospek yang menjanjikan untuk digunakan pada IT SOFC sebagai elektrolit padat karena mampu beroperasi pada temperatur rendah namun menghasilkan konduktivitas listrik yang baik. Produksi elektrolit SOFC biasanya menggunakan material komersial dengan harga tinggi. Untuk itu dalam penelitian ini dikembangkan material yang hemat biaya produksi yaitu buatan lokal. Pada penelitian ini serbuk Ce0.9Gd0.1O1.95 (GDC 10) dari bahan komersial (GDC K) maupun dari bahan lokal (GDC L) disintesis menggunakan metode solid state dengan variasi temperatur kalsinasi 0oC (non kalsinasi), 600 oC, 700 oC, 800 oC.

Serbuk GDC K dan GDC L dibuat pellet. Analisa yang dilakukan yaitu sifat kestabilan termal dengan TGA menunjukkan GDC K lebih stabil daripada GDC L. GDC K 800 mengalami pengurangan massa terkecil yaitu 1,653%. Analisa XRD menunjukkan GDC memiliki struktur kristal kubik. Hasil PSA menunjukkan Semakin kecil temperatur kalsinasi yang diberikan maka semakin kecil ukuran partikel. Ukuran partikel terkecil terdapat pada sampel GDC K 600 yaitu 647,3 nm, untuk GDC L 600 sebesar 463,3 nm. XRF mengkonfirmasi keberadaan unsur-unsur gadolinium, cerium dan oksigen. Hasil analisa densitas menunjukkan densitas tertinggi terdapat pada sampel GDC K 800 yaitu sebesar 99,94%.

Konduktivitas tertinggi dari hasil EIS terdapat pada sampel GDC K 600oC sebesar 0,0153 S.cm-1.

Kata kunci: Elektrolit, GDC, SOFC

(7)

ABSTRACT

Windi Azizah Fitri. Characteristics Electrolyte of Gadolinium Doped Cerium Electrolyte (GDC) with Variation Calcination Temperature for Intermediate Temperature Solid Oxide Fuel Cell (IT SOFC). Supervised by Jarot Raharjo and Nanda Saridewi.

Major components in SOFC is the electrolyte. Cerium based materials have promising prospects for use in medium temperature solid oxide fuel cells as solid electrolyte because they are able to operate at low temperatures but produce good electrical conductivity. SOFC electrolyte usually uses commercial material with high price. Therefore, this research will be developed cost effective material production and derived from natural resources or locally made. In this study, Ce0,9Gd0,1O1,95 (GDC 10) powder from commercial materials (GDC K) and from local materials (GDC L) was synthesized using solid state method with variation of calcination temperature, 0 oC (non calcine), 600 oC , 700 oC , 800 oC. GDC K and GDC L powder made pellets. The analyzes thermal stability with TGAshow GDC K more stable than GDC L. GDC K 800 has the smallest mass reduction that is 1,653%. XRD analysis shows that GDC has a cubic structure. The PSA results show PSA results show The smaller the calcination temperature given the smaller the particle size. The smallest particle size was found in GDC K 600 samples 647.3 nm, for GDC L 600 463.3 nm. XRF confirmed the existence of gadolinium, cerium and oxygen elements. The result of density analysis shows the highest density is in GDC K 800 sample that is 99,94%. The highest conductivity of the EIS results is in GDC K 600 oC samples of 0.0153 S.cm-1.

Keywords: electrolyte , GDC, SOFC

(8)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakteristik Elektrolit Gadolinium Doped Cerium (GDC) dengan Variasi Temperatur Kalsinasi untuk Intermediate Temperature Solid Oxide Fuel Cell (IT SOFC)”. Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Pusat Teknologi Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Puspiptek, Serpong pada bulan Januari-Agustus 2017. Penulis tidak mungkin selesai menyusun skripsi ini tanpa pihak-pihak yang terus memberikan bimbingan serta dukungannya. Oleh sebab itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Dr. Ir. Jarot Raharjo, M.Sc, selaku pembimbing I yang telah memberikan pengetahuan, arahan serta nasihat bagi penulis.

2. Nanda Saridewi, M.Si, selaku pembimbing II yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat bermanfaat bagi penulis.

3. Dr. Hendrawati, M.Si sebagai Penguji I yang telah memberi saran dan masukkan yang sangat bermanfaat bagi penulis pada skripsi ini.

4. Nurhasni, M.Si sebagai Penguji II yang telah memberi saran dan masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis untuk skripsi ini.

5. Damisih, M.Si dan Novita Amie Lestari, M.Si, selaku pembimbing teknis di laboratorium Pusat Teknologi Material yang telah membantu penulis dalam kegiatan di laboratorium.

(9)

6. Drs. Dede Sukandar, M.Si, selaku ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Dr. Agus Salim, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 8. Seluruh Dosen Program Studi Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

9. Orang tua saya Effendi Rusli (Bapak), Wiwi Kartini (Mama) yang tak pernah lelah mendoakan, mencurahkan kasih sayang, memberikan nasihat serta dukungan moril maupun materil kepada penulis.

10. Semua teman-teman mahasiswa tugas akhir di PTM BPPT, teman – teman Kimia UIN 2012, kakak-kakak dan adik-adik kelas yang telah membantu dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

Semoga arahan, motivasi, dan bantuan yang telah diberikan menjadi amal ibadah bagi keluarga, bapak, ibu, dan rekan-rekan, sehingga memperoleh balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca serta dapat dijadikan sebagai sumbangan pikiran untuk perkembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, Januari 2018

Windi Azizah Fitri

(10)

iii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ……….….iii

DAFTAR GAMBAR ………...v

DAFTAR TABEL ... vvi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 5

1.3.Hipotesis ... 5

1.4.Tujuan ... 5

1.5.Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1.Fuel Cell ... 7

2.2. Solid Oxide Fuel Cell (SOFC)……… 10

2.3. Prinsip kerja Solid Oxide Fuel Cell (SOFC) ... 11

2.4. Intermediete Temperature Solid Oxide Fuel Cell (IT-SOFC) ... 12

2.5. Komponen Penyusun SOFC ... 13

2.6. Elektrolit Berbasis Cerium ... 14

2.7. Struktur Florit Padatan Oksida (fluorite structure of solid oxides) ... 15

2.8. Metode Solid State ... 16

2.9. Ball Mill ... 17

2.10.Scanning Electron Microscope (SEM)... 18

2.11. Particle Size Analysis (PSA) ... 20

2.12. X-Ray Diffraction (XRD) ... 21

2.13. Thermal Gravimetric Analysis (TGA) ... 23

2.14. Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS) ... 25

2.15. X-Ray Flourecence (XRF) ... 26

(11)

iv

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

3.2. Alat dan Bahan ... 28

3.3 Prosedur Penelitian... 28

3.3.1 Preparasi sampel CeO2 lokal ... 28

3.3.2. Sintesis GDC dengan metode solid state………. 29

3.3.3. Pembuatan Pellet (Kompaksi) ... 30

3.3.4. Identifikasi Fasa dan Struktur Kristal dengan XRD ... 30

3.3.5. Identifikasi Ukuran Partikel dengan PSA(ASTM D422-63) ... 31

3.3.6. Identifikasi Permukaan Material dengan SEM (ASTM E1508-12a) ... 31

3.3.7. TGA (Termogravimetry Analysis)(ASTM E1131) ... 31

3.3.8. Analisa Densitas dengan Hukum Archimedes... 32

3.3.9. Identifikasi Nilai Konduktivitas Material dengan EIS ... 32

3.4.Diagram alir penelitian ... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1. Sintesis elektrolit GDC ... 35

4.2. Analisis Kestabilan Thermal dengan (Thermogravimetry analysis) TGA .... 36

4.3. Karakteristik GDC K variasi temperatur kalsinasi dengan XRD... 41

4.4 Analisis Komposisi Unsur GDC K dan GDC L dengan XRF ... 48

4.5. Analisis ukuran partikel GDC K dengan Particle Size Analyzer (PSA) ... 50

4.6. Analisis ukuran partikel GDC L dengan Particle Size Analyzer (PSA) ... 52

4.7. Analisis morfologi permukaan dengan menggunakan SEM ... 54

4.8. Densitas GDC K ... 55

4.9. Densitas GDC L ... 57

4.10. Pengukuran Konduktivitas GDC K dengan EIS ... 58

4.11. Pengukuran konduktivitas GDC L dengan EIS ... 61

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 64

5.1 Kesimpulan ... 64

5.2 Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 66

LAMPIRAN ... 71

(12)

v DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Prinsip Pengoperasian SOFC ... 12

Gambar 2. Struktur florit CeO2... 16

Gambar 3. Planetary Ball Mill ... 17

Gambar 4. Material dan bola penghancur didalam vial (dinding vial = lingkaran dengan garis putus-putus, bola penghancur = bulat hitam besar, material = bulat hitam kecil) ... 18

Gambar 5. Skema kerja SEM ... 19

Gambar 6. Skema DLS PSA... 21

Gambar 7. Difraksi Bragg ... 22

Gambar 8. Skema Kerja XRD ... 23

Gambar 9. (a) Instrumen TGA di Pusat Teknologi Material, BPPT (b) skema 24 Gambar 10. Skema kerja EIS ... 26

Gambar 11. Instrumen XRF ... 27

Gambar 12 Ilustrasi partikel yang bertumbukkan selama proses milling ... 35

Gambar 13 a) sampel GDC K variasi temperatur kalsinasi, b) sampel GDC L variasi temperatur kalsinasi ... 36

Gambar 14. Dekomposisi Massa TGA GDC K ... 37

Gambar 15. Dekomposisi Massa TGA GDC L ... 39

Gambar 16. Pola difraksi XRD GDC K variasi temperatur kalsinasi ... 41

Gambar 17. Pola difraksi XRD GDC L variasi temperatur kalsinasi ... 45

Gambar 18. Grafik analisis PSA GDC K variasi temperatur kalsinasi ... 50

Gambar 19. Grafik analisis PSA GDC L variasi temperatur kalsinasi ... 52

Gambar 20 (a) Morfologi serbuk GDC K 700oC (b) Morfologi serbuk GDC L 700oC ... 54

Gambar 21. Densitas GDC K ... 55

Gambar 22. Densitas GDC L ... 57

Gambar 23. Konduktivitas GDC K ... 59

Gambar 24. Konduktivitas GDC L ... 62

(13)

vi DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Tipe fuel cell berdasarkan temperatur operasi dan elektrolit ... 9

Tabel 2. Data berat masing-masing senyawa ... 29

Tabel 3. Puncak-Pucak tertinggi GDC K ... 43

Tabel 4. Puncak-puncak tertinggi GDC L ... 47

Tabel 5. Data analisa XRF GDC K dan GDC L... 48

Tabel 6. Data analisis XRF CeO2 L ... 49

Tabel 7 Hasil uji EIS Konduktivitas GDC K ... 60

Tabel 8 Hasil uji EIS konduktivitas GDC L ... 62

Tabel 9 Data hasil pengujian densitas GDC K ... 76

Tabel 10. Data hasil pengujian densitas GDC L ... 76

(14)

vii DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Perhitungan stoikiometri ... 72 Lampiran 2. Perhitungan ukuran kristal menggunakan persamaan Scherrer .... 74 Lampiran 3. Perhitungan porositas dan densitas dengan prinsip Archimedes .. 76 Lampiran 4. Foto penelitian ... 78 Lampiran 5. Analisis XRD menggunakan software HighScore... 84 Lampiran 6. Hasil analisa PSA ... 91

(15)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kebutuhan energi di Indonesia mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2,9%

setiap tahunnya (BPPT Outlook Energi Indonesia, 2014). Penggunaan minyak bumi di Indonesia sebagai bahan bakar fosil masih mendominasi yaitu sebesar 51,66 % (ESDM, 2008). Cadangan minyak bumi di Indonesia hanya 3,7 milyar barel dan diperkirakan akan habis dalam waktu 24 tahun (Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia, 2016). Perlu dilakukan upaya untuk menghasilkan sumber alternatif energi yang baru.

Solid Oxide Fuel Cell (SOFC) merupakan salah satu alternatif teknologi yang prospektif untuk digunakan. SOFC adalah suatu jenis perangkat elektrokimia yang menggunakan bahan bakar oksida padat yang dapat mengkonversi energi kimia menjadi energi listrik secara langsung sehingga lebih efisien dan bebas dari polusi (EG&G Technical Service Inc, 2004). Pengembangan energi alternatif ini berkaitan dengan surat Al Jatsiyah ayat 13.

Artinya: “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir”

Ayat ini menjelaskan bahwa semua ciptaan Allah tidak ada yang sia-sia, melainkan ada manfaat dan hikmah yang dapat diambil. Manusia sebagai kaum yang

(16)

2 diberi akal untuk kemampuan berpikir menggali ilmu pengetahuan dengan tujuan dapat memanfaatkan ciptaan-ciptaan Allah agar bisa digunakan atau dikembangkan untuk menjadi hal yang bermanfaat. Hal ini sesuai dengan adanya pengembangan energi alternatif SOFC karena lebih efisien dan bebas polusi.

Komponen utama dalam SOFC adalah elektrolit. Elektrolit SOFC berbasis zirconia, seperti yttria-stabilized-zirconia (YSZ) adalah material yang paling populer digunakan untuk elektrolit dalam SOFC (Raharjo et al., 2007). Kerapatan arus yang cukup tinggi dan daya output yang berguna didapatkan saat YSZ dioperasikan pada temperatur 800 – 1000°C (Sriyanti et al., 2009). Temperatur operasi SOFC yang tinggi merupakan kelemahan dalam skala komersial. SOFC yang beroperasi pada temperatur tinggi mudah rusak sehingga umur SOFC menjadi lebih pendek. SOFC yang beroperasi pada temperatur tinggi juga menyebabkan sistem yang digunakan untuk jangka panjang tidak stabil, dan memerlukan biaya yang tinggi. Penurunan temperatur operasi SOFC menjadi 600 oC hingga 800 oC menjadi suatu alternatif pilihan yang tepat (Raharjo et al., 2007).

Penurunan temperatur operasi akan menyebabkan penurunan performa SOFC,yang diakibatkan oleh penurunan konduktivitas secara drastis dari elektrolit YSZ. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah ini yaitu menggunakan material elektrolit alternatif yang konduktivitas ionnya lebih tinggi pada temperatur menengah, seperti mengganti elektrolit YSZ dengan elektrolit berbasis cerium. Elektrolit berbasis cerium pada temperatur kurang dari 700 oC memiliki konduktivitas lebih tinggi daripada YSZ sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai elektrolit SOFC pada temperatur menengah (Sriyanti et al., 2009).

(17)

3 Produksi elektrolit SOFC ini biasanya menggunakan bahan yang komersial dengan harga tinggi. Penelitian ini telah mengembangkan material yang hemat biaya dan yang berasal dari sumber daya alam atau buatan lokal. Penelitian ini sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian mengamanatkan peningkatan nilai tambah sumber daya alam, maka Pemerintah harus mendorong pengembangan industri pengolahan di dalam negeri.Sehingga dalam penelitian ini dilakukan pengolahan monasit dari PT. Timah untuk mendapatkan logam tanah jarang Cerium (Ce) sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dari bahan baku lokal.

Terdapat perbedaan tingkat kemurnian dari bahan komersial dan bahan lokal.

Bahan komersial memiliki tingkat kemurnian yang tinggi dibandingkan dengan bahan lokal. Hal tersebut akan mempengaruhi sifat fisik dan kimia kedua material tersebut.

Oleh karena itu, penelitian ini akan membandingkansifat fisik dan kimia kedua material tersebut.

Elektrolit pada SOFC harus memiliki konduktivitas ionik yang tinggi, densitas diatas 95% agar tidak terjadi kebocoran, stabil pada temperatur sedang (Fuentes & Baker, 2008). Salah satu strategi yang menunjukkan hasil konduktivitas ionik yang tinggi, kestabilan termal pada temperatur sedang dan densitas yang lebih baik dari pada sel elektrolit adalah penambahan doping (Ahmad, et al., 2016).

Doping adalah penambahan atom asing ke dalam kisi kristal dengan jumlah yang kecil. Doping biasanya mengganti kation valensi rendah dalam kisi untuk mempertahankan netralitas muatan oksigen dan dapat mengubah sifat listrik material (Kuphaldt, 2010).

Cerium yang didoping dengan unsur tanah jarang sangat potensial untuk menghasilkan konduktivitas ionik yang lebih tinggi dibanding YSZ (Abdullah et al.,

(18)

4 2008). Jika cerium didoping dengan oksida tanah jarang yang bervalensi dua atau tiga, maka kekosongan oksigen akan terbentuk didalam kisi sehingga meningkatkan konduktivitas ionik (Sriyanti et al., 2009). Doping yang paling sering digunakan adalah Gd3+. Gadolinium Doped Cerium telah merupakan salah satu elektrolit yang berpotensi untuk SOFC pada temperatur operasi yang rendah (Aydin et al., 2014).

Penelitian ini digunakan GDC dengan rumus stokiometri Ce0.9Gd0.1O1.95 (GDC10) karena memiliki konduktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan variasi konsentrasi lain (Burinkas et al., 2010).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode solid state menggunakan alat ball mill. Pemilihan metode ini dikarenakan metode ini biasa digunakan untuk mengubah ukuran partikel material menjadi lebih kecil (Chung, et al., 2002). Ball mill digunakan karena pada saat proses pencampuran (milling) bahan dari berbagai komposisi dicampur sampai homogen dan tidak ada kristal yang berdiri sendiri atau dominan. Ball mill sering digunakan karena prosesnya sederhana dan efektif untuk menghaluskan butiran sampai skala nanometer pada kebanyakan logam dan paduan logam (Xu, 2002). Parameter dalam penelitian ini adalah temperatur kalsinasi. Parameter ini sangat erat kaitannya dengan menentukan ukuran partikel yang dihasilkan. Hal ini akan berpengaruh terhadap sifat fisik maupun kimia sel elektrolit yang dihasilkan sehingga perlu diketahui pengaruh temperatur kalsinasipada partikel yang dihasilkan.

(19)

5 1.2.Rumusan Masalah

Permasalahan pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh variasi temperatur kalsinasi terhadap karakteristik GDC yang dihasilkan?

2. Bagaimanakah pengaruh variasi temperatur kalsinasi GDC terhadap konduktivitas?

3. Bagaimana pengaruh kemurnian CeO2 terhadap karakteristik GDC yang dihasilkan?

1.3.Hipotesis

1. Variasi temperatur kalsinasi berpengaruh pada ukuran partikel GDC yang dihasilkan.

2. Variasi temperatur kalsinasi berpengaruh terhadap konduktivitas, semakin kecil ukuran partikel maka akan semakin besar konduktivitas.

3. Kemurnian CeO2 berpengaruh pada karakteristik GDC yang dihasilkan 1.4.Tujuan

1. Menentukan pengaruh variasi temperatur kalsinasi terhadap karakteristik GDC yang dihasilkan.

2. Menentukan pengaruh variasi temperatur kalsinasi terhadap konduktivitas.

3. Menentukan pengaruh kemurnian GDC terhadap sifat fisik dan kimia yang dihasilkan.

(20)

6 1.5.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak terkait mengenai sintesis sel elektrolit Gadolinium Doped Cerium (GDC) untuk penggunaan SOFC (Solid Oxide Fuel Cell) sebagai salah satu energi alternatif yang ramah lingkungan yang menjanjikan untuk dikembangkan pada penelitian selanjutnya.

(21)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Fuel Cell

Fuel cell ditemukan oleh Francis Bacon (1904-1992), lulusan Cambridge University berkebangsaan Inggris. Fuel cell merupakan teknologi elektrokimia yang secara kontinyu mengkonversi energi kimia menjadi energi listrik selama terdapat bahan bakar dan pengoksidan (Idham, 2009). Fuel cell merupakan suatu alat/perangkat untuk menghasilkan energi listrik dengan hasil sampingan berupa air dan panas, dengan cara mengoksidasi bahan bakar secara elektrokimia (Raharjo, 2007). Fuel cell dikembangkan untuk mengatasi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang menghasilkan polusi. Di bawah ini merupakan beberapa jenis fuel cell yang saat ini masih dalam tahap pengembangan.

a. AFC (Alkaline Fuel Cell)

AFC menggunakan cairan elektrolit kalium hidroksida (KOH) karena konduktivitas alkali hidroksida tinggi. AFC beroperasi pada temperatur antara 100°C sampai 250°C. Sebagian besar AFC telah dirancang untuk aplikasi transportasi. Salah satu kelemahan utama dari AFC adalah terkait penggunaan cairan elektrolit yang harus sangat murni (Vaghari et al., 2013).

b. MCFC (Molten Carbonate Fuel Cell)

MCFC adalah sel bahan bakar temperatur tinggi yang menggunakan elektrolit yang terdiri dari garam campuran karbonat cair (garam natrium atau magnesium karbonat) yang tersuspensi ke dalam pori yang secara kimia inert terhadap matriks keramik lithium aluminium oksida (LiAlO2). Elektrolit MCFC beroperasi sampai 650°C. Kelemahan utama MCFC adalah komponen sel bahan

(22)

8 bakar yang mudah rusak karena temperatur operasi tinggi dan penggunaan elektrolit korosif (Vaghari et al., 2013).

c. PAFC (Phosphoric Acid Fuel Cell)

PAFC menggunakan asam fosfat (H3PO4) dengan konsentrasi tinggi (> 95 %) sebagai elektrolit dan katalis elektroda karbon berpori yang mengandung platinum dan secara signifikan meningkatkan biaya sel. PAFC biasanya beroperasi pada temperatur antara 170°C sampai 210°C. PAFC dapat mentoleransikehadiran karbon monoksida pada konsentrasi sekitar 1,5%, hal inilah yang memperluas pilihan penggunaannya (Vaghari et al., 2013).

d. PEMFC (Proton Exchange Membrane Fuel Cell)

Sel bahan bakar membran pertukaran proton (PEMFC) juga dikenal sebagai membran elektrolit polimer (PEM). Ada dua jenis sel bahan bakar membran pertukaran proton, yaitu: sel bahan bakar hidrogen dan sel bahan bakar metanol langsung (DMFC), keduanya memanfaatkan membran pertukaran proton untuk mentransfer proton hidrogen ke anoda. Kelemahan sel bahan bakar ini rentan terhadap pembengkakan osmotik, metanol crossover dan biaya tinggi merupakan salah satu faktor menghambat komersialisasi DMFC (Vaghari et al., 2013).

e. SOFC ( Solid Oxide Fuel Cell )

SOFC menggunakan elektrolit oksida padat yang terdiri dari campuran logam oksida yang tak berpori. Bahan bakar yang digunakan adalah hidrogen, metana dan gas alam. (Gregor, 2003).

(23)

9 Tabel 1. Tipe fuel cell berdasarkan temperatur operasi dan elektrolit

Jenis Fuel Cell Temperatur operasi

Elektrolit SOFC

MCFC

AFC

PAFC

PEMFC

DMFC

800-1000 oC

630- 650 oC

a.

b. 100°C- 250 oC c.

d.

e.

f. 170-210 oC g.

h.

i. 50-200 oC

j.

k.

l. 50-110 oC

Elektrolit berbasis zirconia, seperti YSZ(Yttrium-stabil zirkonia)

garam campuran karbonat cair (garam natrium atau magnesium

karbonat)

cairan elektrolit kalium hidroksida (KOH)

asam fosfat (H3PO4) dengan konsentrasi tinggi (> 95 %) asam sulfat atau larutan asam sulfat yang dicampurkan ke dalam membran padat atau larutan asam sulfat

asam sulfat atau larutan asam sulfat yang dicampurkan ke dalam membran padat atau larutan asam sulfat

(Sumber : Vaghari et al., 2013).

(24)

10 Perbedaan 6 tipe sel bahan bakar dapat diilustrasikan dari Tabel 1 bahwa setiap tipe fuel cell memiliki temperatur operasi yang berbeda dan jenis elektrolit yang digunakan juga berbeda untuk setiap fuel cell.

2.2 Solid Oxide Fuel Cell ( SOFC )

Solid oxide fuel cell adalah suatu jenis perangkat elektrokimia yang dapat mengkonversi energi kimia menjadi energi listrik secara langsung sehingga lebih efisien dan bahan bakarnya bebas dari polusi (EG&G Technical Service Inc., 2004).SOFC paling cocok untuk pembangkit listrik stasioner skala besar seperti pabrik dan kota. Satu sel perangkat SOFC terdiri dari sebuah anoda dan katoda yang dipisahkan oleh elektrolit. SOFC menggunakan senyawa logam keramik, seperti kalsium oksida atau oksida zirkonium sebagai elektrolit (Vaghari et al., 2013). SOFC beroperasi pada temperatur 800-1000°C dimana pada temperatur ini konduktivitas ionik pada elektrolit dapat berlangsung dengan baik (EG&G Technical Service Inc., 2004).

Perangkat SOFC sebagai energi alternatif memiliki beberapa keunggulan, diantaranya:

a. Jenis fuel cell yang paling efisien dalam hal menghasilkan listrik

b. Tidak seperti jenis-jenis fuel cell lain yang hanya menggunakan hidrogen sebagai bahan bakar, SOFC fleksibel dalam pilihan bahan bakar karena bisa berfungsi dengan hidrogen, butana, metanol, dan produk minyak bumi lainnya.

c. Memiliki emisi yang sangat rendah, sehingga ramah lingkungan (Fu, 2014)

(25)

11 2.3. Prinsip kerja Solid Oxide Fuel Cell (SOFC)

Prinsip operasi dari SOFC adalah kombinasi reaktan elektrokimia untuk menghasilkan listrik (Fu, 2014). SOFC tersusun atas anoda, katoda dan elektrolit (membrane). Anoda berperan sebagai tempat terjadinya pemecahan hidrogen (H2) menjadi proton dan elektron (listrik). Katoda berperan sebagai tempat terjadinya reaksi penggabungan proton, elektron dan oksigen untuk membentuk air. Elektrolit adalah media untuk mengalirkan proton. Elektrolit oksida padat juga berperan sebagai jembatan bagi ion oksigen dari katoda ke anoda (Raharjo et al., 2007).

Prinsip kerja SOFC diilustrasikan pada Gambar 1 dimana terdapat, 2 elektroda yaitu anoda dan katoda diantara elektrolit yang terpisah satu sama lain. Gas hidrogen yang digunakan sebagai bahan bakar akan dialirkan melalui anoda. Gas hidrogen akan mengalami reaksi oksidasi akibat adanya katalis Ni pada anoda.

Reaksi yang terjadi adalah 2H2(g) + 2O2- → 2H2O + 4e. Elektron yang dilepaskan dari anoda, akan dialirkan melalui sirkuit luar untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik. Elektron bergerak lagi menuju katoda sehingga terjadi reaksi reduksi ketika gas oksigen dialirkan ke dalam katoda.. Reaksi yang terjadi adalah O2(g) + 4e- → 2O2- . Ion oksigen yang dihasilkan di katoda, akan melewati elektrolit dengan bantuan oxygen vacancy yang tersedia. Ion oksigen kemudian dapat langsung bereaksi dengan ion hidrogen untuk membentuk air di anoda.Sehingga reaksi keseluruhan yang terjadi di dalam sel adalah sebagai berikut H2 2O2 → H2O (Sammes, 2006).

(26)

12 Gambar 1. Prinsip Pengoperasian SOFC

Sumber : (Sammes, 2006)

2.4. Intermediete Temperature Solid Oxide Fuel Cell (IT-SOFC)

SOFC dengan temperatur tinggi telah dikembangkan dengan elektrolit YSZ (Yttrium-stabil zirkonia) bahanfase tunggal yang telah membuat keberhasilan besar dalam teknologi. Namun, teknologi temperatur tinggi telah menyebabkan biaya tinggi yang menghambat komersialisasi SOFC (Zhu,2006). Selain itu temperatur operasional yang tinggi juga dapat menimbulkan masalah pada bahan, misalnya mengalami degradasi termal dan terjadi reaksi diantara komponen SOFC. (Fuentes &

Baker, 2008).

SOFC dengan temperatur rendah memiliki kecenderungan baru untuk dikembangkan. Salah satu komponen utama SOFC adalah sel elektrolit padat, yang membutuhkan konduktivitas ionik yang tinggi agar stabil pada keadaan oksidasi maupun reduksi. YSZ memiliki konduktivitas ionik yang rendah pada temperatur operasi dibawah 8000C dan tidak sesuai untuk SOFC temperatur rendah, maka dari itu diperlukan alternatif lain bahan sel elektrolit (Raharjo et al.,2007). Cerium ion doped (gadolinium dan samarium doping), dianggap sebagai yang kandidat yang

paling menjanjikan untuk temperatur menengah.

SOFC temperatur rendah menarik karena penurunan biaya produksi dan meminimalisir degradasi material sehingga life time penggunaan dapat lebih lama

(27)

13 (Ormerod, 2003). SOFC juga memiliki efisiensi yang tinggi serta bisa dioperasikan dengan beberapa jenis bahan bakar seperti batubara, biomassa, metanol dan etanol.

Pada temperatur rendah banyak peluang baru yang muncul untuk penggunaan bahan murah untuk seluruh sistem sel bahan bakar (Zhu, 2006)

2.5. Komponen Penyusun SOFC

SOFC tersusun dari beberapa komponen. Komponen tersebut berupa anoda, katoda dan elektrolit yang masing-masing memiliki peran penting dalam menghasilkan energi listrik. Di bawah ini merupakan komponen penyusun SOFC beserta fungsinya.

a. Anoda

Anoda dalam perangkat SOFC berperan sebagai tempat tereduksinya bahan bakar (gas hidrogen). Logam transisi adalah kandidat yang terbaik untuk material anoda SOFC sebab memiliki aktifitas katalitik yang tinggi dan stabilitas yang tinggi.Berdasarkan stabilitas kimia, aktifitas katalitik, dan biaya, nikel merupakan kandidat yang terbaik sebagai anoda logam (Raharjo et al., 2007).Bahan pembuat anoda untuk perangkat SOFC biasanya terdiri dari campuran nikel dan YSZ (Yttria Stabilized Zirconia). Komponen Ni/YSZ mampu menghasilkan konduktivitas ionic (EG&G Technical Services, Inc., 2004).

(28)

14 b. Katoda

Katoda dalam perangkat SOFC berperan sebagai tempat tereduksinya oksidan (gas oksigen). La1-xSrxMnO3 (LSM) adalah kandidat terbaik sebagai material katoda sebab stabilitas tinggi pada temperatur tinggi. Telah diketahui bahwa LSM adalah konduktor elektronik dengan konduktivitas ion oksigen yang rendah (Raharjo et al., 2007).

c. Elektrolit

Elektrolit merupakan komponen penting dalam SOFC karena berperan sebagai jembatan antara anoda dan katoda. Material yang berpotensi untuk digunakan sebagai elektrolit adalah zirkonia dan CeO2 yang berstruktur fluorit dan La2Ga2O3 yang berstruktur perovskit. Dari ketiga sistem elektrolit tersebut, zirkonia terstabilkan yttria (YSZ), lantanum galat terdoping stronsium dan magnesium (LSGM), dan CeO2

terdoping gadolinium atau samarium (GDC atau SDC), masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. CeO2 terdoping dengan logam tanah jarang dan metal oksida memiliki konduktivitas tinggi pada temperatur yang lebih rendah dibandingkan dengan YSZ (Jacobson, 2009).

Syarat sel elektrolit yang baik untuk perangkat SOFC antara lain memiliki kristal dengan bentuk kubik, konduktivitas ionik yang lebih dari 10-2 S/cm pada temperatur operasi, stabil terhadap temperatur operasi, densitas lebih dari 95% agar tidak mengalami kebocoran gas (Singhal dan Kendall, 2003).

2.6. Elektrolit Berbasis Cerium

SOFC beroperasi pada temperatur operasi yang tinggi merupakan kekurangan yang yang menghambat skala komersial SOFC. Temperatur menengah SOFC pada

(29)

15 saat ini menjadi perhatian sebab menurunkan temperatur dapat mengurangi permasalahan material dan pabrikasi, dan meningkatkan daya tahan waktu operasi.

Elektrolit berbasis zirconia, seperti YSZ adalah material yang paling populer digunakan untuk elektrolit dalam SOFC, sebab material ini memiliki konduktivitas yang tinggi, stabil dalam lingkungan oksidasi dan reduksi, serta sesuai dengan material elektroda. Namun, pada temperatur yang rendah, konduktivitas ionik YSZ lebih rendah daripada elektrolit berbasis cerium seperti gadolinia doped cerium (GDC) (Raharjo et al., 2007). Pemilihan cerium sebagai elektrolit karena cerium mampu menghasilkan konduktivitas ionik yang tinggi pada temperatur menengah (600-800 oC) (Huang et al., 2007). Konduktivitas ionik yang baik ini terjadi karena radius ionik dari Ce4+ (0.87 Å) lebih besar jika dibandingkan dengan Zr4+ (0.72 Å).

Ionik radius yang besar memungkinkan struktur Ce terbuka lebih lebar sehingga ion dapat bermigrasi lebih baik (Faro et al., 2009).

2.7. Struktur Florit Padatan Oksida (fluorite structure of solid oxides)

Cerium oxide memiliki struktur florit, yang terdiri dari sub-kisi oksigen kubik sederhana dengan ion cerium memenuhi bagian tengah kubik. Hal ini menyebabkan terjadinya migrasi anion melalui kisi. Material yang digunakan sebagai elektrolit untuk SOFC pada dasarnya merupakan material konduktor ion oksida (Ismunandar, 2006).

Struktur florit yang ideal ditunjukkan pada Gambar 2. ThO2,CeO2, UO2, dan PuO2, memiliki struktur ini dalam keadaan murni. Sebagian besar konduktor ion oksigen mengkristal dalam struktur fluorit kubik, yang meliputi seperti zirkonia, thoria, cerium dan bismut trioksida. Konduktivitas ionik oksida terutama dari ZrO2, ThO2 dan CeO2 sangat akan meningkat ketika didoping dengan oksida logam dan

(30)

16 diyakini terbentuk kekosongan oksigen berlebih. Konduktivitas ionik yang maksimum disebabkan oleh interaksi dari substitusi ion tanah jarang dan kekosongan oksigen (Chourashiya, 2007).

Doping dilibatkan dalam proses pembuatan sel elektrolit berbasis cerium untuk menggantikan kation dengan valensi yang lebih rendah ke dalam kisi. Agar dapat menjaga muatan netral, maka harus terbentuk kekosongan oksigen, yang memperbolehkan migrasi ion oksigen. Gd4+ digunakan sebagai dopan pada CeO2

karena merupakan kation yang relatif besar sehingga dapat menopang struktur fluorit pada temperaturmenengah (Dikmen et al., 2010). Maka dari itu GDC kandidat kuat sel elektrolit untuk digunakan dalam temperatur yang lebih rendah atau temperatur menengah.

Gambar 2. Struktur florit CeO2

2.8. Metode Solid State

Metode ini adalah metode yang paling sederhana dan paling umumdigunakan baik dalam industri dan di laboratorium. Metode solid state adalah metode yang dilakukan dengan mereaksikan padatan dengan padatan tertentu pada temperatur tinggi. Metode solid state digunakan dilakukan pada kondisi ekstrim, seperti temperatur tinggi dan tekanan, tanpa pelarut. Karena tidak ada pelarut yang diperlukan dalam reaksi maka tidak ada masalah dalam pembuangan limbah. Metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk sintesis bahan anorganik

(31)

17 dengan mengikuti rute yang hampir universal, yakni melibatkan pemanasan berbagai komponen pada temperatur tinggi selama periode yang relatif lama (Ismunandar, 2006).

2.9. Ball Mill

Metode solid state dengan menggunakan ball mill merupakan metode yang sering digunakan untuk mengubah ukuran partikel material menjadi lebih kecil.

Metode ball milling merupakan metode yang sering digunakan untuk mensintesis nanopartikel. Proses pengecilan ukuran partikel menggunakan ball mill ini dinamakan sebagai mechanical milling. Ball mill telah menjadi sebuah teknik inovatif di bidangsintesis bahan dan mechanochemistry (Chung, et al., 2002).

Metode ball mill ini berprinsip pada penghancuran bahan menggunakan sejumlah bola penumbuk dalam sebuah tabung horizontal yang berputar sehingga bola-bola akan terangkat pada sisi tabung kemudian jatuh ke bahan yang ditumbuk dan menyebabkan fragmentasi pada stuktur bahan menjadi ukuran yang sangat halus (Widjanarko et al., 2014).

Gambar 3. Planetary Ball Mill

(32)

18 2.9.1. Mekanisme Ball mill

Ball-mill merupakan salah satu instrumen/alat yang dapat digunakan untuk memproduksi nanomaterial. Komponen ball-mill ini terdiri atas sebuah tabung (vial) penampung material dan bola-bola penghancur. Pada proses pembuatan nanomaterial menggunakan ball mill ini, material yang akan dibuat ukurannya menjadi skala nano dimasukkan kedalam vial bersama bola-bola penghancur, lihat Gambar 3. Kemudian ball mill digerakan bisa secara rotasi maupun vibrasi dengan frekuensi tinggi.

Gerakan rotasi atau vibrasi ini dapat divariasi sesuai kebutuhan. Akibatnya material yang terperangkap antara bola penghancur dan dinding vial akan saling bertumbukkan menghasilkan deformasi pada material tersebut. Deformasi material tersebut menyebabkan fragmentasi struktur material sehingga terpecah menjadi susunan yang lebih kecil (Widjanarko et al., 2014).

Gambar 4. Material dan bola penghancur didalam vial (dinding vial = lingkaran dengan garis putus-putus, bola penghancur = bulat hitam besar, material = bulat

hitam kecil) 2.10.Scanning Electron Microscope (SEM)

Scanning Electron Microscope (SEM) digunakan untuk mengetahui morfologi dari senyawa hasil sintesis, distribusi pertumbuhan kristal, perubahan fisika yang terjadi pada kondisi preparasi. Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan

(33)

19 salah satu tipe mikroskop elektron yang mampu menghasilkan gambar beresolusi tinggi dari sebuah permukaan sampel. Selama ini SEM dikembangkan untuk mengatasi batasan-batasan pada mikroskop optik dan meningkatkan perbesaran dan resolusi jauh lebih besar dari sistem optikal. SEM merupakan alat yang sangat kuat untuk menguji dan mengintepretasikan mikro-struktur dari suatu material, dan digunakan secara luas pada material - material sains. Mikroskop ini digunakan untuk mempelajari struktur permukaan objek, yang secara umum diperbesar antara 1.000- 40.000 kali.

Gambar 5. Skema kerja SEM (Sumber : Hanke, 2001)

Berdasarkan Gambar 5 sebuah pistol elektron memproduksi berkas elektron dan dipercepat pada anoda. Lensa magnetik kemudian memfokuskan elektron menuju sampel. Berkas elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan diarahkan oleh kumparan pemindai. Ketika elektron mengenai sampel, maka sampel akan mengeluarkan elektron yang baru yang akan diterima oleh detektor (Hanke, 2001).

(34)

20 Energy Dispersive Spectroscopy (EDS) menghasilkan kandungan unsur secara kualitatif ataupun semi kuantitatif terhadap suatu permukaan spesimen.

Analisis menggunakan SEM yang digabung dengan EDS dapat mengidentifikasi unsur-unsur yang dimiliki oleh fasa yang terlihat pada gambar mikrostruktur. EDS dihasilkan dari sinar X karakteristik, yaitu dengan menembakkan sinar X pada posisi yang ingin diketahui komposisinya. Setelah ditembakkan pada posisi yang diinginkan maka akan muncul puncak–puncak tertentu yang mewakili suatu unsur yang terkandung. EDS juga dapat digunakan untuk menganalisa secara kuantitatif persentase masing–masing elemen (Cahyana et al, 2014).

2.11. Particle Size Analysis (PSA)

Ukuran dan distribusi partikel dapat ditentukan dengan menggunakan instrumen Particle Size Analysis (PSA) dengan prinsip Dynamic Light Scattering (DLS). DLS memberikan banyak keuntungan dalam analisis ukuran partikel karena dapat mengukur populasi partikel dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat, serta tidak dipengaruhi oleh medium. Metode ini dapat mengukur ukuran partikel dari 0.6 nm hingga 6 µm (Bumiller et al., 2006).

Ukuran partikel dihitung berdasarkan gerak Brown dari sampel. Gerak Brown adalah hasil pemboman partikel-partikel oleh molekul-molekul medium pendispersi (Martin, 2008). Ukuran partikel yang dihasilkan oleh alat ini merupakan hasil yang sebanding dengan kecepatan gerak partikel. Partikel yang memiliki ukuran yang lebih kecil akan bergerak lebih cepat di dalam medium dibandingkan dengan partikel yang berukuran lebih besar (Rawle, 2002).

(35)

21 Gambar 6. Skema DLS PSA

(Sumber : Rawle, 2002).

Penentuan ukuran dan distribusi partikel menggunakan PSA dapat dilakuan dengan : 1. Difraksi sinar laser untuk partikel dari ukuran submikron sampai dengan

milimeter.

2. Counter principle untuk mengukur dan menghitung partikel yang berukuran mikron sampai dengan milimeter.

3. Penghamburan sinar untuk mengukur partikel yang berukuran mikron sampai dengan nanometer (Etzler, 2004).

2.12. X-Ray Diffraction (XRD)

Teknik analisis XRD digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi. Mekanisme kerja analisis XRD ini yakni material yang akan dianalisis digerus sampai halus kemudian dipreparasi lebih lanjut menjadi lebih padat dalam suatu holder. Holder tersebut diletakkan pada alat XRD dan diradiasi dengan sinar X. Data hasil penyinaran sinar X berupa spektrum difraksi sinar X. Data difraksi tersebut direkam dan dicatat oleh komputer dalam bentuk grafik peak intensitas. Jarak antara bidang kisi kristal yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan hukum Bragg pada komputer dengan

(36)

22 menggunakan software General Structure Analysis System (GSAS) sehingga dapat menghasilkan suatu data (Sudarningsih dan Fahruddin, 2008).

Gambar 7. Difraksi Bragg

Gambar 7. memperlihatkan seberkas sinar mengenai atom A pada bidang pertama dan B pada bidang berikutnya. Jarak antara bidang A dengan bidang B adalah d, sedangkan adalah sudut difraksi. Berkas-berkas tersebut mempunyai panjang gelombang λ, dan jatuh pada bidang kristal dengan jarak d dan sudut θ. Agar mengalami interferensi konstruktif, kedua berkas tersebut harus memiliki beda jarak nλ. Sedangkan beda jarak lintasan kedua berkas adalah 2d sin θ. Interferensi konstruktif terjadi jika beda jalan sinar adalah kelipatan bulat panjang gelombang λ, sehingga dapat dinyatakan dengan persamaan: = 2d sin θ.

Prinsip dasar dari XRD adalah hamburan elektron yang mengenai permukaan kristal. Bila sinar dilewatkan ke permukaan kristal, sebagian kristal akan diteruskan ke lapisan berikutnya. Sinar yang dihamburkan akan berinterferensi secara konstruktif dan destruktif. Hamburan sinar yang berinterferensi konstruktif inilah yang digunakan sebagai analisis. Prinsip dasar yang digunakan untuk menentukan sistem kristal adalah dengan menggunakan persamaan hukum Bragg.

2𝑑 sin 𝜃 = 𝑛𝜆 ... (1)

(37)

23 Dimana d adalah jarak antar-bidang kisi, 𝑛 merupakan indeks difraksi, sedangkan 𝜆 adalah panjang gelombang sumber sinar-X dan 𝜃 adalah sudut pengukuran (Kittel, 1999).

Gambar 8.Skema Kerja XRD 2.13. Thermal Gravimetric Analysis (TGA)

Analisis termal merupakan suatu teknik pengukuran perubahan sifat fisik dan kimia suatu sampel sebagai fungsi perubahan temperatur. Pada umumnya, teknik analisa ini mengamati efek dari suatu material yang dipanaskan. Terdapat dua jenis analisa termal yang biasa digunakan yaitu Thermogravimetry Analysis (TGA) dan Differential Thermal Analysis (DTA) (Setiabudi et al., 2012).

Analisis Termogravimetri adalah teknik untuk mengukur massa sampel ketika sedang dipanaskan, didinginkan atau diadakan isotermal dalam suasana yang telah ditetapkan. Terutama digunakan untuk analisa kuantitatif produk. Kurva TGA yang khas menunjukkan langkah-langkah kehilangan massa berkaitan dengan hilangnya komponen volatil (kelembaban, pelarut, monomer), polimer dekomposisi, pembakaran karbon hitam, dan residu akhir (abu, filler, serat kaca). Metode ini memungkinkan untuk mempelajari dekomposisi produk dan bahan dan untuk

(38)

24 menarik kesimpulan tentang konstituen masing-masing. Turunan pertama dari kurva TGA terhadap waktu dikenal sebagai kurva DTG; kurva ini sebanding dengan laju dekomposisi sampel. Dalam pengukuran TGA / DSC, sinyal DSC dan informasi berat dicatat secara bersamaan. Hal ini memungkinkan efek endotermik atau eksotermik untuk dideteksi dan dievaluasi (Hammer. 2010).

Gambar 9. (a) Instrumen TGA di Pusat Teknologi Material, BPPT (b) skema kerja TGA

(Sumber: Perkin Elmer, 2010).

(39)

25 2.14. Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS)

Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS) adalah perangkat yang mampu mengkarakterisasi sifat listrik dari suatu material dan hubungannya dengan konduktivitas listrik elektroda. Evaluasi sifat elektrokimia dari elektrolit ataupun elektroda dilakukan dengan pemberian voltase dan mengamati respon yang terjadi.

EIS mempelajari sifat intrinsik dari material yang mempengaruhi konduktivitas dari sistem material itu sendiri. Terdapat dua parameter yang digunakan sebagai acuan. Parameter pertama adalah segala hal yang berhubungan langsung dengan material itu sendiri seperti konduktivitas dan konstanta dielektrik.

Parameter yang kedua berkaitan dengan hubungan antara elektrolit dengan elektroda seperti reaksi absorbsi dan koefisien difusi pada elektrolit itu sendiri (Barsoukov dan Macdonald, 2005)

Selama pengukuran impedansi, analisa respon frekuensi (FRA) digunakan untuk memaksakan sinyal amplitudo AC kecil untuk sel bahan bakar melalui beban (Gambar 10). Tegangan AC dan respon saat ini sel bahan bakar dianalisis oleh FRA untuk menentukan resistif, kapasitif dan perilaku induktif - impedansi - sel pada frekuensi tertentu. proses fisikokimia yang terjadi di dalam sel - elektron & transport ion, gas dan transportasi padat fase reaktan dan reaksi heterogen memiliki karakteristik waktu-konstanta yang berbeda, oleh karena itu diperlihatkan pada frekuensi AC yang berbeda. Ketika dilakukan atas berbagai frekuensi, impedansi spektroskopi dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengukur impedansi yang terkait dengan berbagai proses.

(40)

26 Gambar 10. Skema kerja EIS

(Sumber : Scribner Associates Inc., 2009) Keuntungan dari EIS: .

a. Pengukuran listrik yang relatif sederhana yang dapat otomatis. . b. Sebuah pengukuran presisi tinggi.

2.15. X-Ray Flourecence (XRF)

Spektrometri X-Ray Flourecence (XRF) adalah suatu metode analisis berdasarkan pengukuran tenaga dan intensitas sinar-X suatu unsur di dalam cuplikan hasil eksitasi sumber radioisotop. Spektrometer XRF didasarkan pada lepasnya elektron bagian dalam dari atom akibat dikenai sumber radiasi dan pengukuran intensitas pendar sinar-X karakteristik yang dipancarkan oleh atom unsur dalam sampel. Metode ini tidak merusak bahan yang dianalisis baik dari segi fisik maupun kimiawi sehingga sampel dapat digunakan untuk analisis berikutnya.

(41)

27 Uji XRF bertujuan menentukan jenis dan presentase komponen unsur-unsur penyusun dari sel elektrolit. XRF merupakan teknik analisa non-destruktif yang digunakan untuk identifikasi serta penentuan konsentrasi elemen yang ada pada sampel padat, bubuk ataupun cair.

Keunggulan dari metode ini adalah sampel yang dianalisis tidak perlu dirusak, memiliki akurasi yang tinggi, dapat menentukan unsur dalam material tanpa adanya standar, serta dapat menentukan kandungan mineral dalam bahan biologik maupun dalam tubuh secara langsung (Setiabudi et al., 2012).

Gambar 11. Instrumen XRF (Sumber : Setiabudi et al., 2012)

(42)

28 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2017 sampai dengan bulan Agustus 2017 pada Laboratorium Pusat Teknologi Material (PTM), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kawasan Puspiptek, Serpong.

Karakterisasi sampel dilakukan di beberapa instansi, seperti XRD di Puslit LIPI Fisika, PSA di P.T. DKSH, EIS di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM).

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas, mortarplanetary ball mill, oven, furnace, Instrumen XRD Rigaku, instrumen SEM Tescan Vega 3, instrumen PSA Malvern, TGA 51 Shimadzu, instrumen EIS tipe Solarton SI-1286, instrumen XRF Energi Dispersif Rigaku.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gadolinium (III) oksida (Gd2O3) dan cerium (IV) oksida (CeO2) yang berasal dari Sigma Aldrich (komersial), cerium (IV) hidroksida (Ce(OH)4) lokal, ethanol (pa).

3.3Prosedur Penelitian

3.3.1 Preparasi sampel CeO2 lokal

Penelitian ini diawali dengan preparasi sampel CeO2 lokal yaitu ditimbang sampel berupa Ce(OH)4 berbentuk pasta yang berasal dari Batan sebanyak 125 gram.

Sampel dimasukkan kedalam oven selama 24 jam dengan temperatur 110oC.

Kemudian sampel digerus hingga halus. Sampel dikalsinasi pada temperatur 1000 oC (Purwani et al., 2016).

(43)

29 3.3.2 Sintesis Gadolinium Doped Cerium (GDC) menggunakan metode solid state dengan proses milling.

Penelitian ini dilanjutkan dengan mensintesis serbuk GDC dengan menimbang bahan sesuai dengan rumus stokiometri. Berbagai jumlah variasi Gd doping digunakan untuk pembentukan elektrolit padat berbasis cerium. GDC dengan rumus stokiometri Ce0.9Gd0.1O1.95 (GDC10) memiliki konduktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan variasi konsentrasi lain (Burinkas et al., 2010). Metode yang digunakan adalah metode solid state dengan bantuan alat ball mill. Ada 2 jar milling yang digunakan dalam penelitian ini, masing-masing diberi jar milling A dan jar milling B.

Tabel 2. Data berat masing-masing senyawa Alat Gd2O3 sigma aldrich

(komersial)

CeO2 sigma aldrich (komersial)

CeO2

Local Jar milling A

Jar milling B

0,5236 gr 0,5236 gr

-

4,4766 gr

4,4766gr -

Data berat masing-masing senyawa tersebut berdasarkan perhitungan stoikiometri yang terdapat pada Lampiran 1. Semua bahan tersebut dimasukkan ke dalam pada jar milling A dan alat jar milling B yang berbahan dasar alumina kemudian ditambahkan etanol pada masing-masing jar milling sebagai media pencampuran agar serbuk yang dimilling tidak menggumpal. Etanol dipilih karena cepat menguap dan tidak menghasilkan reaksi samping etanol juga merupakan media pencampuran yang paling umum (Gupta et al.,2012). Kemudian, dimasukkan bola penumbuk dengan rasio serbuk dan bola 1:2.

(44)

30 Selanjutnya dilakukan milling selama 4 jam dengan kecepatan 240 rpm (Maca et al., 2007). Setelah milling, sampel kemudian dikeringkan pada temperatur 110˚C selama 24 jam menggunakan oven. Kemudian sampel dibagi menjadi 4 ada yaitu non kalsin dan 3 lainnya dilakukan kalsinasi dengan variasi temperatur 600 oC, 700 oC, 800 oC. Setelah itu serbuk dibuat menjadi pellet.

3.3.3. Pembuatan Pellet (Kompaksi)

Proses pemadatan dilakukan dengan mencampurkan serbuk sampel sebanyak 1,5 gram dan binder berupa Acrysol sebanyak 0,5 gram kedalam pelarut etanol (pa) sebanyak 10 mL dengan tujuan untuk menstabilkan bentuk pellet agar tidak mudah hancur. Kemudian dilakukan pengadukan dengan magnetic stirring selama 10 menit lalu dikeringkan dengan temperatur 110˚C selama 3 jam. Larutan yang telah kering dihaluskan dengan mortar dan kemudian dimasukkan ke dalam carver dan siap dikompaksi. Proses kompaksi dilakukan dengan tekanan 3 ton (Imperial College, 2013). Pellet yang sudah dikompaksi dikeluarkan dari carver, kemudian dilakukan proses sintering pada temperatur 1350oC (Dikmen et al., 2010).

3.3.4. Identifikasi Fasa dan Struktur Kristal dengan XRD(ASTM D3906-03) Sampel GDC yang dihasilkan dicetak pada cetakan alumunium yang merupakan cetakan standar untuk analisis XRD berukuran 20x10 mm dan tebal 1 mm.Pengujian menggunakan XRD Rigaku, XRD beroperasi pada tegangan 40kV dengan arus sebesar 30mA. Sumber radiasi sinar X pada alat XRD ini adalah Copper (Cu) yang memiliki panjang gelombang elektromagnetik, λ, sebesar 1,39225 Å.

Penentuan jenis fasa dan ukuran kristal menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) ditentukan dengan melihat dari puncak-puncak yang dihasilkan dari data

(45)

31 eksperimental XRD (besar sudut 2θ) dan membandingkannya dengan ICDD (International Center for Diffraction Data).

3.3.5.Identifikasi Ukuran Partikel dengan PSA (ASTM D422-63)

Uji ukuran partikel dilakukan menggunakan pengujian PSA (Partilces Size Analyzer) Malvern. Sampel diambil dengan menggunakan sudip, lalu diberi 1 tetes surfaktan, kemudian dilarutkan dalam 3 mL aquabidest dan diaduk sampai homogen.

Larutan kemudian dimasukan ke dalam tabung dengan tinggi larutan maksimum 1 cm. kemudian larutan sampel dianalisa menggunakan instrumen PSA dan ditentukan distribusi ukuran partikelnya.

3.3.6.Identifikasi Permukaan Material dengan SEM (ASTM E1508-12a)

Sampel yang akan dikarakterisasi dengan alat instrumentasi SEM terlebih dahulu dibersihkan dan dikeringkan lalu diletakkan pada specimen holder.

Selanjutnya sampel dilapisi dengan lapisan tipis logam aurum (Au). Pemotretan dilakukan dengan menggunakan perbesaran yang diinginkan untuk mengetahui butiran, batas butir, keretakan, dan dislokasi.

3.3.7. TGA (Termogravimetry Analysis) (ASTM E1131-03)

TGA merupakan teknik analisis yang digunakan untuk menentukan stabilitas panas suatu senyawa dengan melihat perubahan massa yang hilang ketika sampel dipanaskan. Uji dekomposisi material dilakukan dengan alat TGA berdasarkan ASTM E1131-03. Pengeluaran laju alir gas Ar2 dan O2 diatur untuk menyediakan lingkungan yang sesuai. Cuplikan sampel di tempatkan pada sample holder dan ditunggu hingga beratnya konstan. Pemanasan sampai temperatur 900oC dapat segera dimulai dengan diaktifkannya program. Pengurangan fraksi massa sampel selama eksperimen dicatat.

(46)

32 3.3.8.Analisa Densitas dengan Hukum Archimedes (ASTM, D792)

Pengukuran densitas pelaksanaannya mengacu pada standar ASTM C. 373 -72.

Prosedur kerja untuk menentukan besarnya densitas relatif (g/cm3) dengan hukum Archimedes.Pellet yang telah disinter ditimbang beratnya hingga konstan (Mk). Air dituangkan kira-kira 5/4 dari volume gelas beker dan diletakkan tiang penyangga sampel di atas neraca. Pellet yang sudah ditimbang berat keringnya kemudian dimasukkan ke dalam air dan ditimbang massa basahnya (Mb). Pellet diangkatdan dikeringkan permukaannya yang selanjutnya ditimbang kembali (Ms). Pellet yang telah ditimbang kemudian dikeringkan dalam oven pada temperatur 110oC selama 2

jam. Perhitungan densitas dapat dihitung dengan rumus Densitas = !00- (Ms)-(Mk)

Densitas air ...(2) 3.3.9. Identifikasi Nilai Konduktivitas Material dengan EIS

Analisis konduktivitas sampel dengan EIS tipe Solarton SI-1286 dan rangsangan frekuensi tinggi dengan alat HFRA Solarton 1255. Setelah pengukuran resistensi pada temperatur operasi 400-800 oC. Konduktivitas dari GDC dapat dihitung dengan persamaan

σ =

………...

(3)

Dimana :

𝜎

= Konduktivitas [Ω-1m-1] atau [S/m].

T = Ketebalan sampel (cm),

Rt = Tahanan elektrolit sampel(Ω), dan WA = Area kerja sampel (cm2)

Plot Arrhenius dari total konduktivitas itudiplot untuk ln (sT) sebagai fungsi temperatur (1000 / T / K) dari400oC sampai 800oC,

(47)

33 3.3.10. Analisis Komposisi Unsur dengan XRF (ASTM D5381-93)

Sampel ditimbang sebanyak 3 gram lalu dimasukkan kedalam sampel holder lalu dianalisis komposisi unsurnya. Hasil dari XRF yaitu tampilan presentase berupa (%

massa) dari unsur yang terkandung didalam bahan.

(48)

34 3.4.Diagram alir penelitian

Preparasi sampel

CeO2 (Sigma Aldrich)

Ce(OH)4 dikeringkan, kalsinasi 1000oC

Gd2O3

(Sigma Aldrich) CeO2 lokal

Ditimbang ssesuai dengan stoikiometri Ce0.9Gd0.1O1.95 (GDC10) CeO2 (Sigma Aldrich) + Gd2O3 (Sigma Aldrich)  GDC10 (K)

CeO2 lokal + Gd2O3 (Sigma Aldrich)  GDC10 (L)

Sintesis sel elektrolit GDC dengan metode solid state menggunakan alat ball mill selama 4 jam dengan kecepatan 240 rpm

Dikeringkan pada temperatur 110 o C selama 24 jam menggunakan oven.

Setelah kering sampel dikalsinasi dengan variasi temperatur 600 oC, 700 oC, 800 oC. Sampel dibagi dua yaitu powder dan sisanya dibuat menjadi pellet

GDC powder GDC pellet disintering dengan temperatur1350oC dikarakterisasi dengan:

TGA, XRD, XRF, PSA, SEM.

dikarakterisasi dengan:

Uji Densitas dan porositas, EIS.

(49)

35 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sintesis elektrolit GDC

Saat proses penggerusan atau proses milling bahan akan mengalami reaksi penggabungan partikel pada rentang waktu tertentu. Proses milling dilakukan sampai bahan dari berbagai komposisi tersebut tercampur sempurna dan tidak ada kristal yang berdiri sendiri atau dominan. Alat yang digunakan untuk proses milling adalah planetary ball mill. Bahan yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam jar alumina, kemudian di milling bersama ball mill dalam waktu 4 jam. Semua material dicampur menjadi satu agar didapatkan suatu fasa material yaitu Ce0.9Gd0.1O1.95. Terjadi reaksi kimia selama proses milling yaitu sebagai berikut:

0,9CeO2 + 0,05Gd2O3 Ce0.9Gd0.1O1,95……….( 4 )

Gambar 12 Ilustrasi partikel yang bertumbukkan selama proses milling (Sumber: Micro nano tools, 2017)

Selama proses milling yang terjadi di planetary ball mill sampel berada pada wadah atau yang biasa disebut dengan vial atau jar yang ditempatkan pada piringan berputar. Piringan akan berputar secara revolusi dan vial akan berputar secara rotasi.

Arah putar dari revolusi rotasi ini berlawanan arah sehingga partikel yang

(50)

36 dimasukkan ke dalam jar akan tertumbuk oleh bola dan dinding dari jar. Akibatnya material yang terperangkap antara bola penghancur dan dinding vial akan saling bertumbukkan menghasilkan deformasi pada material tersebut. Deformasi material tersebut menyebabkan fragmentasi struktur material sehingga terpecah menjadi susunan yang lebih kecil (Widjanarko et al., 2014).

Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa serbuk GDC K yang dihasilkan berwarna putih kekuningan sedangkan GDC L berwarna coklat muda.

(a) (b)

Gambar 13 a) sampel GDC K variasi temperatur kalsinasi, b) sampel GDC L variasi temperatur kalsinasi

4.2. Analisis Kestabilan Thermal dengan (Thermogravimetry analysis) TGA Thermogravimetry analysis merupakan suatu metode yang dapat mengidentifikasi sifat suatu material bila diberi perlakuan thermal. Pada karakterisasi GDC , TGA merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk mengetahui kestabilan termalnya.

(51)

37

200 300 400 500 600 700 800 900 94

95 96 97 98 99 100 101 102

III II

I

TG (%)

Temperature (oC) NonKalsin

600o C 700oC 800oC

GDC K

Gambar 14. Dekomposisi Massa TGA GDC K

Hasil TGA untuk serbuk GDC K non kalsinasi dan GDC K dengan variasi temperatur kalsinasi 600 – 800˚C , menunjukkan bahwa pada rentang temperatur 600 – 800˚C (Gambar 14) bobot yang hilang tidak terlalu signifikan sehingga material GDC stabil dan dapat beroperasi pada temperatur tersebut. Terdapat tiga tahapan pada analisis TGA. Pada tahap pertama, kehilangan bobot sampel dikaitkan dengan kehilangan unsur volatil dan karbon, diperkirakan juga karena kandungan air menguap, sehingga berat dari material berkurang (Chuang et al, 2012).

Tahap kedua dan ketiga yaitu temperatur 600°C-900°C terjadi eliminasi residu senyawa organik yang telah hampir selesai, selain itu merupakan fasa kestabilan termal. Dengan demikian, ini mewakili temperatur kalsinasi yang tepat untuk serbuk GDC K. Hal ini juga didukung dengan penelitian (Cheng et al., 2003) hasil serbuk sintesis GDC K dilakukan proses kalsinasi pada temperatur 600°C dan 800°C dengan metode gel casting, dan hal ini juga didukung dengan penelitian (Herle et al., 1996) hasil serbuk sintesis GDC K dilakukan proses kalsinasi pada temperatur 700°C dan 800°C dengan metode kopresitasi.

(52)

38 Sampel GDC K non kalsinasi pada tahap I mengalami pengurangan massa sebesar 1,971 %, pada tahap II hingga tahap III yaitu pada temperatur 600oC-900oC sebesar 1,748%, jadi total pengurangan massa pada sampel GDC K non kalsinasi adalah 3,719%. Sedangkan, pada tahap I sampel GDC K kalsinasi 600 oC, yaitu pada temperatur dibawah 200 oC mengalami pengurangan massa sebesar 1,569 %, pada tahap II hingga tahap III pada temperatur 600oC-900oC sebesar 1,044%, jadi total pengurangan massa pada sampel GDC K 600oC adalah 2,613%. Sementara itu, pengurangan massa pada sampel GDC K 700 oC saat tahap I yaitu pada temperatur dibawah 200 oC mengalami pengurangan massa sebesar 1,129 %, pada tahap II hingga tahap III pada temperatur 600oC-900oC sebesar 1,3%, jadi total pengurangan massa pada sampel GDC K 700oC adalah 2,429%. Pengurangan massa pada tahap I sampel GDC K 800 oC yaitu pada temperatur dibawah 200 oC sebesar 0,317 %, pada tahap II hingga tahap III pada temperatur 600-900oC sebesar 1,336%, jadi total pengurangan massa pada sampel GDC K 800oC adalah 1,653%.

Pengurangan massa terbesar terjadi pada sampel GDC K non kalsinasi sebesar 3,719 % dan pengurangan massa terkecil terjadi pada sampel GDC K 800oC sebesar 1,653 %. Pengurangan massa akan menurun seiring bertambahnya temperatur kalsinasi. Salah satu parameter penentu kestabilan sampel adalah pengurangan massa yang sedikit (Chuang et al., 2012). Temperatur operasi dari IT-SOFC adalah 600-800

oC. Diharapkan sel elektrolit GDC K akan stabil pada temperatur tersebut. Dari gambar diatas menunjukkan bahwa GDC K yang paling stabil untuk menjadi sel elektrolit IT SOFC adalah GDC K 800oC.

(53)

39 4.2.1. Analisis Kestabilan Thermal dengan TGA GDC L

200 300 400 500 600 700

Gambar

Gambar 2. Struktur florit CeO 2
Gambar 3. Planetary Ball Mill
Gambar 4. Material dan bola penghancur didalam vial (dinding vial = lingkaran  dengan garis putus-putus, bola penghancur = bulat hitam besar, material = bulat
Gambar 5. Skema kerja SEM                                          (Sumber : Hanke, 2001)
+7

Referensi

Dokumen terkait