• Tidak ada hasil yang ditemukan

kawin paksa dalam perspektif fiqih islam dan gender

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "kawin paksa dalam perspektif fiqih islam dan gender"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

KAWIN PAKSA DALAM PERSPEKTIF FIQIH ISLAM DAN GENDER

SKRIPSI

Oleh:

MISBAKHUL MUNIR NPM: 21601012034

UNIVERSITAS ISLAM MALANG FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

2020

(2)

KAWIN PAKSA DALAM PERSPEKTIF FIQIH ISLAM DAN GENDER

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Malang Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana (S1)

Pada Program Studi Hukum Keluarga Islam

Oleh:

Misbakhul Munir NPM: 21601012034

UNIVERSITAS ISLAM MALANG FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

2020

(3)

ABSTRAK

Munir, Misbakhul, 2020. Kawin Paksa Dalam Perspektif Fiqih Islam dan Gender. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Fakultas Agama Islam.

Universitas Islam Malang. Dosen Pembimbing I: Drs. H. Ahmad Subekti, M.Hi. Dosen Pembimbing II Dr. Dzulfikar Rodafi, Lc. MA .

Kata Kunci: Kawin Paksa dan Konsep Gender

Dalam kehidupan berumah tangga dalam kehidupan sehari-hari perkawinan adalah kebutuhan bagi umat manusia, Oleh karena itulah apabila ada didalam rumah tangga laki-laki maupun perempuan menggunakan banyak pertimbangan- pertimbangan untuk pilihan aknya dalam penentuan jodoh, tidak banyak ditemukan kasus seperti ini ditengah banyaknya masyarakat yang lebih luas, di dalam masalah problem terhadap perkara masyarakat dalam membentuk suatu rumah tangga yang melatar belakangi dalam memilih pilihan jodohnya. hal ini bisa di bedakan menjadi perbedaan calon mempelai yang akan melaksanakan suatu perkawinan serta pihak wali atau orangtua yang melakukan tindakan memaksakan anaknya untuk menikahkan secara paksa jadi bisa disebutkan atau dikenal sebagai kawin paksa. kawin paksa adalah orangtua mejodohkan atau memaksakan anaknya untuk menikah tanpa ada persetujuan dan kerelaan sang anak dan bukan hak pilihanya dalam memilih pasangannya. Didalam hukum islam disini tidak ada paksaan bagi seseorang untuk menikah dengan pilihan orang tuanya dalam konsep gender secara tindakan tersebut adalah tindakan kawin secara paksa yakni dianggap sebagai suatu diskriminasi terhadap anak wanita atau disebut kaum perempuan.

Di latar belakang diatas maka penulis merumuskan masalah antara lain:

Bagaimana hukum kawin paksa menurut fiqh islam dan bagaimana kawin paksa

(4)

menurut perspektif gender. Tujuannya dari penelitian ini untuk mendiskripsikan hukum kawin paksa menurut fiqh islam dan untuk mendiskripsikan kawin paksa menurut perspektif gender.

Adapun untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, Yuridis Normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan mengutamakan meneliti bahan pustaka yaitu (library research) atau sekunder yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

Dari analisis atau penelitian ini didalam kalangan madzhab imam syafi'i berpendapat bahwa kawin paksa dibenarkan yang berlandaskan konsep ijbar serta menurut imam hanabilah sepakat bahwa kawin paksa dengan adanya hak ijbar dengan adanya wali atau orangtua dalam artian bukan hak untuk memilih kehendaknya dengan adanya keterpaksaan didalam melaksanakan akad yaitu mengenai kawin paksa adalah tindakan yang terlarang dan tidak dibenarkan oleh ajaran hukum islam, sedangkan menurut konsep gender kawin paksa diartikan sebagai bentuk ketimpangan atau ketidakadilan gender, dinilai sebagai diskriminasi terhadap kaum perempuan salah satunya jenis kelamin pada kaum perempuan tersebut, dikarenakan kaum perempuan tidak memiliki kesempatan dalam hak memilih pasangan yang pilih seakan-akan layaknya seorang kaum laki- laki atau pria.

(5)

ABSTRACT

Munir, Misbakhul, 2020. Forced Marriage in the Perspective of Islamic Fiqh and Gender. Islamic Family Law Department. Faculty of Islamic Religion.

University Of islam. Supervisor I: Drs. H. Ahmad Subekti, M.Hi.

Supervisor II Dr. Dzulfikar Rodafi, Lc. MA.

Keywords: Forced Marriage and Gender Concept

In household life, marriage is a necessity for mankind. Therefore, if there are men and women in the household use a lot of considerations for their choice in determining a mate, there are not many cases like this in the midst of many societies. more broadly, in the problem of problems with society in forming a household which is the background in choosing a mate. This can be differentiated into differences between the prospective bride and the groom who will carry out a marriage and the guardian or parent who takes action to force their child to marry by force so it can be called or known as a forced marriage. Forced marriage is a parent who matches or forces their child to marry without the consent and willingness of the child and it is not their choice of partner. In Islamic law, there is no compulsion for someone to marry the choice of their parents in the concept of gender in that action is an act of forced marriage, which is considered a discrimination against girls or women.

In the background above, the authors formulate problems, among others: How is the law of forced marriage according to Islamic fiqh and how is forced marriage from a gender perspective. The aim of this research is to describe the law of forced marriage according to Islamic fiqh and to describe forced marriage from a gender perspective.

(6)

As for getting the maximum results possible this type of research is normative juridical research, Normative Juridical is legal research conducted by prioritizing researching library materials, namely (library research) or secondary which may include primary, secondary and tertiary legal materials.

From this analysis or research within the Imam Syafi'i school of thought that forced marriage is justified on the basis of the concept of ijbar and according to Imam Hanabilah agrees that forced marriage with the right of ijbar with the presence of a guardian or parent in the sense that it is not the right to choose his will due to compulsion in carrying out the contract, namely regarding forced marriage is an act that is prohibited and not justified by the teachings of Islamic law, whereas according to the gender concept forced marriage is defined as a form of gender inequality or injustice, is considered as discrimination against women, one of which is gender among these women, because women are not have the opportunity in the right to choose a partner who chooses as if it were a man or a man.

(7)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejarah islam sebagai sebuah konstruksi budaya dan sosial, gender memberikan kebebasan salah satunya dengan mengatur hubungan antara kaum laki-laki maupun kaum perempuan terhadap pemenuhan kebutuhan memperoleh keturunan. Dengan adanya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah menjadi kodrat akan timbul pembagian kerja atau peran dalam masyarakat yang luas. Akan tetapi, menurut realita yang terjadi pembagian peran dan kerja antara laki-laki dan perempuan tidak didasarkan pada budaya yang mengedepankan kaum perempuan (Ichsan, 1979: 18).

Dalam agama islam mengatur tentang tata cara ibadah dalam menjalin suatu hubungan antara lak-laki dan perempuan dengan mlaksanakan sebuah pernikahan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini, menunjukkan bahwa islam merupakan agama yang komprehensif dan memperhatikan umatnya. Perkawinan dalam islam merupakan suatu hal yang sakral bagi kedua mempelai dan keluarga yang melaksanakan, perkawinan juga merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan biologis dan non biologis. Umumnya perkawinan adalah ikatan maupun perjanjian hukum antara pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan merupakan suatu pranata sosial dalam budaya setepat untuk meresmikan hubungan pribadi, dan dijalankan dengan maksud untuk membangun rumah tangga dan keluarga yang bahagia.

(8)

2 Perkawinan yang diridhoi oleh Allah adalah pernikahan yang didasari oleh taqwa dan niat melakukan perannya sebagai manusia dengan tujuan beribadah, seperti firman Allah SWT :

اَي اَهُّيَأ ساٌَّلا اى قَّتا ن كَّبَر يِذَّلا ن كَقَلَخ يِه س فًَ

ةَدِحاَو َقَلَخَو اَه ٌِه اَهَج وَس َّثَبَو اَو ه ٌِه ًلاَجِر اًزيِثَك

ًءاَسًَِو اى قَّتاَو ََّاللّ

يِذَّلا َىى لَءاَسَت ِهِب

َماَح رَ لْاَو َّىِإ

ََّاللّ

َىاَك ن ك يَلَع اًبيِقَر

Artinya: Hai manusia bertakwalah kepada tuhanmu yang menciptakan kamu dari satu jiwa dan darinya dia menciptakan jodohnya dan mengembang-biakan dari keduanya banyak laki-laki dan perempuan dan bertakwalah kepada Allah swt. Yang dengan namanya kamu saling bertanya, terutama dengan mengenai hubungan tali kekerabatan sesungguhnya Allah swt adalah pengawas atas kamu (QS.an-Nisa: 1).

Secara luas perkawinan dalam islam merupakan untuk memenuhi kebutuhan emosional dan seksual yang sah dan benar dan suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan serta memperoleh keturunan yang sah dan salah satu dari fungsi sosial dan begitu juga untuk memenuhi hubungan solidaritas untuk keluarga, kerabat dalam bermasyarakat menuju perbuatan ibadah dengan pengabdian kepada Allah swt dan mengikuti sunnah rasul, Perkawinan sebagai hak dan kebutuhaan bagi manusiawi.

Nikah adalah terkumpul dan menyatu, memiliki keistimewaan seseorang sehingga keterpaksaan orang tua ataupun orang tua menghadapi anaknya untuk menikahkan dengan orang yang tidak diinginkan atau tidak disukai maka hukumnya haram secara syar’i yaitu perbuatan dzalim dan melanggar hak orang lain. Pemilihan pasangan tidak hanya hak yang dimiliki oleh anak peremuan namun juga dengan lak-laki oleh karena itu

(9)

3 untuk laki-laki tidak dipersyaratkan berbagai hal dalam pemilihan pasangan kecuali dengan syarat yang telah menjadi kebiasaan. Melainkan dimana kriteria anak perempuan tersebut nantinya akan terikat dengan pernikahan dan sulit untuk memutuskan ikatan tersebut (Zuhaili, 1997).

Asas-asas atau prinsip suatu perkawinan dalam tujuan membangun keluarga sakinah yang berdasarkan nash antara lain (Nasution, 2009: 231).

a. Masing-masing pasangan suami dan isteri mempunyai tekat hanya mempunyai seorang sebagai pasangan dalam kehidupan rumah tangga.

b. Ada kerelaan dan persetujuan antara suami dan isteri.

c. Perkawinan untuk selamanya.

d. Anggota keluarga memenuhi dan melaksanakan norma agama e. Kehidupan berkeluarga berjalan secara musyawarah dan

demokrasi

f. Berusaha menciptakan rasa aman, nyaman dan tenteram dalam kehidupan berkeluarga

g. Menghindariterjadinya kekerasan

h. Bahwa hubungan suami isteri adalah hubungan partnership, yang berarti saling menolong, membantu dalam menyelesaikan semua urusan rumah tangga

i. Ada keadilan

j. Terbangun komunikasi antar anggota keluarga.

Banyak lagi kasus-kasus dalam berumah tangga yang berakibat fatal didalam masyarakat dengan keluarga yang salah menentukan dan

(10)

4 memilih pasangan hidupnya, dalam melangsungkan perkawinan dengan problem kedua mempelai tidak sebanding dan tidak seimbang mengenai status sosial dan secara terpaksa untuk melakukan sebuah pernikahan yang disebut kawin paksa. Contoh kasus yang paling rumit yaitu didalam masyarakat yang terletak di desa “Gampingan kecamatan pagak kabupaten malang”, yang dimana masyarakatnya banyak didapati melakukan kawin paksa dari lembaga keagamaan seperti pondok pesantren dan pengajian- pengajian didesa tersebut. Ketika banyak didapati melakukan kawin paksa karena didalam agama sebenarnya perkawinan atas dasar paksaan itu tidak dibenarkan. Mengenai peran para tokoh masyarakat desa tersebut dalam menyikapi dan mensosialkan kawin paksa yang sudah menjadi kebiasaan penduduk didesa tersebut. Sedangkan mengenai pekerjaan penduduk sekitar rata-rata penduduk laki-laki Desa Gampingan bekerja sebagai buruh pabrik PT. Ekamas Putra dan bertani, sedangkan penduduk perempuan rata-rata hanya sebagai ibu rumah tangga dan sebagian kecil pedagang. Pendidikan formal hanya tingkat SMP untuk laki-laki serta setingkat SMP untuk perempuan. Tercatat sekitar 32 pasangan suami istri yang dinikahkan oleh orang tua dengan paksaan (Tamimi, 2015).

Dengan demikian perkawinan tidak bisa ditafsirkan sebagai masalah agama Perkawinan adalah jaminan sosial karena perkawinan juga menjaga kehidupan seorang perempuan ditinjau dari segi agama,ekonomi dan sosial masyarakat. Perkawinan secara “paksa” secara umum biasanya hasil dari keputusan keluarga sendiri, perkawinan paksa merupakan salah satu persoalan masalah HAM. Terkait pelanggaran hak asasi manusia

(11)

5 dengan keputusan pemerintah yang sudah ditetapkan dan bermacam- macam persoalan, oleh karena itu diperlukan penyelesaian yang baik dari aspek hukum norma dan agama. Jika ditinjau dari hukum dalam UU Nomor 39 tahun 1999 juga diatur tentang hak berkeluarga dan hak- hakanak perempuan. Dalam peraturan menteri Negara pemberdayaan perempuan nomor 2 disebutkan bahwa:

Deskriminasi terhadap perempuan adalah setiap pembedaan dan pengecualian atau pembatasan yang dibuat atas terdasar dari jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapukan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan (UU Permenpppa, 2008).

Selain itu aturan tentang hak-hak perempuan juga diatur oleh dunia internasional, yaitu pada Konvensi CEDAW, di mana di dalamnya dalam pasal 16 Pasal Konvensi ini menjamin tentang hak-hak perempuan di dalam perkawinan. Sesuai dengan aturan tersebut sebenarnya masyarakat perlu memahami bahwa kawin paksa termasuk melanggar hak-hak atas perempuan untuk menentukan siapa pilihan hidupnya dan merupakan tindakan diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Meskipun aturan-aturan tersebut sudah ada dan bahkan tertulis, namun fenomena-fenomena dalam masyarakat, masih saja

(12)

6 mendiskriminasikan perempuan, salah satu contohnya adalah kawin paksa, bahkan beberapa daerah kawin paksa dijadikan sebagai tradisi.

Persoalan seperti yang tersebut di atas merupakan isu-isu gender pada saat ini semakin marak-maraknya dibicarakan dalam berbagai kesempatan, baik dalam pertemuan-pertemuan formal maupun informal sehingga secara terus menerus. Berkaitan perbedaan gender, yang melahirkan ketidakadilan bahkan kekerasan terhadap kaum perempuan, pada dasarnya konstruksi sosial dan budaya yang terbentuk melalui proses yang panjang. Namun karena konstruk sosial-budaya semacam itu telah menjadi kebiasaan dalam waktu yang sangat lama, maka kemudian perbedaan gender tersebut menjadi keyakinan dan ideologi yang mengakar atau tertanam dalam kesadaran masing-masing individu, masyarakat, dan negara. Perbedaan gender dianggap sebagai ketentuan Tuhan yang tidak dapat diubah dan bersifat kondrati atau alami.

Berangkat dari latar belakang tersebut peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “KAWIN PAKSA DALAM PERSPEKTIF FIQIH ISLAM DAN GENDER”.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana hukum kawin paksa menurut fiqh islam?

2. Bagaimana kawin paksa dalam perspektif gender?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mendiskripsikan hukum kawin paksa dalam fiqh islam 2. Untuk mendiskripsikan kawin paksa dalam perspektif gender D. MANFAAT PENELITIAN

(13)

7 Dalam penelitian ini terdapat manfaat yang diperoleh dari terciptanya penelitian ini, yaitu manfaat secara teoritis, manfaat secara praktis, dan dimnafaatkan secara akademis dan keilmuan. Manfaat itu sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Dengan adanya hasil penelitian “Kawin Paksa Dalam Perpektif Fiqih Islam dan Gender” diharapkan mampu menambahkan wawasan serta pengalaman yang mampu menjadikan dasar dalam penentuan jodoh, pernikahan yang manfaat dan maslahat, serta menaati peraturan agama, negara maupun aturan perundang- undangan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Penulis dari hasil penelitian skripsi kali ini penulis berharap bisa menambahkan wawasan dan pengetahuan bagi penulis terkait kawin paksa dalam perspektif fiqh islam dan gender.

b. Bagi Masyarakat Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa pemikiran dan pengetahuan kepada masyarakat dan memberikan informasi kepada mereka khususnya yang sedang menjalani perkara tentang kawin paksa dalam perspektif fiqh islam dan gender. Mereka dapat mengetahui wewenang mereka masing-masing dalam urusan pernikahan, baik wali terhadap anak perempuan.

Sehingga kehidupan pernikahan mereka dapat menjadi

(14)

8 keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, dan dapat memenuhi hak anak terhadap wali atau orangtua.

c. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terutama dalam pemikiran bagi perkembangan prodi hukum keluarga islam pada umumnya dan ilmu perdata pada khususnya yang berkaitan tentang kawin paksa dalam perspektif fiqh islam dan gender.

E. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang disampaikan peneliti, peneliti ini merupakan peneliti dalam bidang hukum. Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan daam penelitian ini, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif (Amiruddin, 2004:18)

Yuridis Normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan mengutamakan meneliti bahan pustaka atau sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier. (Soekanto, 2015:52). Metode pendekatan dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis tentang kawin paksa dalam perspektif fiqh islam dan gender.

2. Sumber Data

Lazimnya dalam sebuah penelitian terdapat data-data yang diperoleh. Data-data tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu data

(15)

9 primer dan data sekunder (pendukung). Sumber data Primer yakni hasil-hasil penelitian atau tulisan-tulisan karya peneliti atau teoritisi yang orsinil. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari dokumen-dokumen, Jurnal ilmiah, buku-buku, buku harian, hasil penelitian yang berwujud laporan, dan seterusnya yang berbentuk Dokumen, sumber data sekunder yang menjadi pendukung dalam melakukan penelitian ini berupa dokumen resmi dalam berbentuk buku (Soerjono Soekanto, 2010; 11).

3. Tekhnik Pengumpulan Data

Baik bahan hukum primer maupun sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan sistem dokumentasi. (Jhon W.Cresell, 2010:269). Yang memungkinkan peneliti untuk mendalami bahan-bahan yang diperoleh dan diklarifikasikan menurut sumber dan tingkat nya untuk dikaji secara komprehensif.

Merupakan kajian dari bahan dokumenter yang tertulis berupa buku atau teks, surat kabar, catatan harian, naskah, artikel, jurnal ilmiah dan sejenisnya bahan juga berasal dari pikiran seseorang yang tertuang didalam buku atau naskah-naskah yang dipublikasikan. Untuk guna yang dianalisis, serta diinterprestasikan digali untuk menentukan tingkat pencapaian pemahaman terhadap topik tertentu dari sebuah bahan atau teks tersebut. (V.Wiratna Sujarweni, 2014:23)

4. Teknik Analisis Data

Sekumpulan bahan hukum yang didapat dalam penulisan studi kepustakaan ini, yang berupa peraturan perundang-undangan dan artikel

(16)

10 dipaparkan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan. Data yang diperoleh, baik dari studi pustaka pada dasarnya dianalisis secara yuridis normatif, yaitu data yang terkumpul disajikan dalam uraian logis dan sistematis, kemudian dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, selanjutnya ditarik kesimpulan secara deduktif yaitu dari hal yang bersifat umum menuju ke hal yang bersifat khusus.

F. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi Operasional merupakan hal yang sangat penting dalam membahas skripsi agar dapat dipahami dengan mudah dan jelas sesuai dengan arahan dan tujuan. Serta agar tidak terjadi kesalah pahaman degan pengertian dan penafsiran penulisan skripsi ini, Definisi operasional dari judul “Kawin Paksa Dalam Perspektif Fiqh Islam Dan Gender” adalah membahas mengenai Bagaimana pandangan fiqh islam dan gender tentang kawin paksa. Tujuan penelitian mempertegas judul penelitian agar terhindar dari kekeliruan serta pemahaman yang tidak benar yaitu sebagai berikut:

1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kawin paksa adalah kawin yang tidak didasarkan keikhlasan salah satu atau kedua pasangan, tetapi dipaksa oleh wali atau keluarga, maksdnya Kawin paksa adalah kawin tidak dengan kemauan sendiri atau perkawinan yang terjadi karena adanya kemauan orang tua ataupun kemauan orang tua desakan atau tekanan.

(17)

11 2. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Gender adalah

“kelamin” yang memiliki arti 1 jodoh (laki-laki dan perempuan atau jantan dan betina) sepasang 2 sifat jasmani atau rohani yang membedakan dua makhluk sebagai betina dan jantan atau wanita dan pria”. Gender adalah konsep yang mengacu pada seseorang yang berperan serta tanggung jawab dari laki-laki dan perempuan yang berakibat berubahnya keadaan sosial dan budaya masyarakat.

3. Fikih Islam adalah mengungkapkan tentang hukum-hukum yang disyariatkan Allah swt kepada hambanya demi mengayomi seluruh kemashlahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqh Islam dating memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.

(18)

56 BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis hasil penelitian diatas bisa diambil kesimpulan bahwa kawin paksa masih banyak diperdebatkan dikalangan ulama fiqh dan didalam adat kebiasaan terhadap masyarakat:

1. Menurut hukum islam kawin paksa disebutkan bahwa dalam melaksanakan suatu pernikahan bukan kehendak sendiri atau tidak dalam keputusanya sendiri melainkan atas keterpaksaan dari wali atau orang tuanya. Dari pendapat para ulama madzhab fiqh, mengatakan, Tidak sah perkawinan dua orang calon mempelai tanpa kerelaan mereka berdua, atau atas perkara keterpaksaan antara kedua mempelai.

Menurut kedua ulama fiqih dalam mengambil kesimpulan bahwa melakukan tindakan perkawinan secara paksa maka perkawinan tersebut atas dasar ketidak relaan antara kedua mempelai maka perkawinan tersebut tidak sah. Hal tersebut harus ada akad dan persetujuan dari kedua mempelai atas kesukarelaan, meskipun pernikahan itu merugikan dan tidak dibenarkan kawin secara paksa tidak di benarkan oleh pemegang suatu hak asasi manusia, dengan demikian seseorang yang masih memperlakukan suatu tindakan tersebut seseorang akan melakukan tindakan yang dilarang dan merugikan diri

(19)

57 sendiri dan orang lain serta meninggalkan suatu perbuatan yang dibenarkan.

2. Dalam perspektif gender, kawin paksa dinilai sebagai salah satu bentuk ketimpangan dan ketidakadilan gender, bahkan dinilai merupakan diskriminasi terhadap salah satu jenis kelamin terutama perempuan, karena mereka tidak diberikan kesempatan untuk memilih pasangan hidupnya layaknya kaum pria.

B. SARAN

Setelah memaparkan beberapa pendapatan yang berkaitan mengenai kawin paksa kali ini akan memberikan saran-saran diantaranya:

1. Tindakan kawin paksa yang masih ada didalam masyarakat yang berkaitan dengan hukum, himbauan kepada seluruh para kaum perempuan yang berperan aktif memajukan posisi dengan berbagai aspek pengetahuan, pembangunan, pembangkitan serta dalam memutuskan perkara dan keputusan dalam pengambilan hak dalam guna perempuan dalam hak untuk hidup secara terhormat bebas dari rasa takut dalam berkarir karena tuntutan peranya sebagai ibu rumah tangga.

2. masyarakat penelitian ini menjadi penambah ilmu pengetahuan tentang kawin paksa.

(20)

58 3. Pendidikan kesetaraan gender sebagai semestinya diberikan kepada keseluruhan dengan keberadaan seorang kaum perempuan yang mulia banyak yang tertindas atas peraturan dan tuntutan yang merupakan penindasan secara kultural.

(21)

59 DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin. 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum. Raja Granfindo Persada, Jakarta

Ch, Mufidah, (2008), Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang:

UIN Malang Press

Enginieer, Ashgar Ali, (1994), Hak-hak Perempuan Dalam Islam, Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya.

Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve

Fakih, Mansur, (1996), Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar Yogyakarta

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt50c9f71e463aa/hukum- perkawinan-sesama-jenis/ Diakses 28 April 2020 waktu 05:20

https://gagasanriau.com/news/detail/42018/kedudukan-hukum-pernikahan-siri- dalam-perspektif-uu-perkawinan

Ichsan, Ahmad, (1979), Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam Jakarta:

Pradnya Pramita

Lopa, Baharuddin, (1996), Al-quran dan Hak Asasi Manusia, Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa.

Nasution, Khoiruddin, (2009), Hukum Perdata Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim,Studi Sejarah, metode, Pembaruan dan Materi dan Status Perempuan dalam Perundang-undangan Perkawinan Muslim, Yogyakarta : Academia

Ramulyo, Moch.Idris. (2002), Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.

Syarifudin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana.

Sabiq, Said, (1981) Fiqh Sunnah, jilid 6, Bandung, Al-Ma’arif.

(22)

60 Soekanto. Soerjono dan Sri Mahmudji, (2001) Penelitian Hukum Normatif, Suatu

Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press

Soekanto, Soerjono, (2005), Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia.

Sasongko, Sri Sundari, (2007), Isu Global Gender Modul 1, (BkkbN, 6) Sasongko, Sri Sundari, (2007) Modul 2 Konsep dan Teori Gender, BKKBN

Setiawati, Effy, (2005), Nikah Sirri Tersesat Dijalan Yang Benar , Bandung:

Kepustakaan Eja Insani.

Soemiyati, (1999) Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), Yogyakarta: Liberty.

Taimiyah, Ibnu, (1997) Hukum-hukum Perkawinan, alih bahasa Rusnan Yahya, cet. I (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar).

Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung : Citra Umbara

Referensi

Dokumen terkait

ZiZa disputed that its defective application was a nullity, since it notified the Department of ZiZa’s intention to convert its unused old-order right to a new-order prospecting right

Sebagaimana Imam Syaf‟i dan Imam Maliki berpendapat bahwa kesaksian perempuan itu tidak diterima sesuai dengan karya beliau dalam kitab Al-Umm juz VII mengatakan bahwa “Apabila ada