KEBEBASAN PERS JURNALIS PAPUA: STUDI FENOMENOLOGI INTERPRETASI
Lifita Yiska Tabita Lumenta1, Veronika 2
1,2
Pers dianggap sebagai media untuk menyalurkan informasi dari fakta-fakta yang ditemukan di lapangan kepada orang-orang yang membutuhkan informasi. Hal yang menarik dari jurnalis adalah membuat teks media massa;
melalui teks, orang-orang mengetahui realitas. Artinya, teks dapat menyampaikan realitas dunia, tetapi teks juga dapat menjadi bagian dari deskripsi fenomena karena cara Riwayat Artikel Diterima :
24 Januari 2022 Direvisi : 23 Agustus 2022 Diterima : 13 September 2022 Kata Kunci Kata Kunci_1 : Fenomenologi Kata Kunci_2 : Jurnalis Kata Kunci_3 : Hak Asasi Manusia Kata Kunci_4 : Papua Kata Kunci_5 : -
Universitas Multimedia Nusantara
1 [email protected] *; 2 [email protected]
* penulis korespondensi
1.Pendahuluan
ABSTRAK
Media massa dan isu HAM Papua saling berkaitan. Dalam proses peliputannya, ada satu pihak yang terlibat, dan yang paling dominan adalah wartawan. Wartawan perlu mempersiapkan diri dan kemampuan khusus ketika hendak meliput. Sayangnya, belum banyak yang mengetahui tentang pengalaman wartawan meliput isu HAM Papua. Oleh karena itu, peneliti merasa hal ini penting untuk mengisi kekosongan dan menambah pengetahuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana memaknai pengalaman wartawan dalam meliput dan memproduksi berita tentang isu HAM di Papua.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Fenomenologi dengan pendekatan Interpretative Phenomenology Analysis (IPA) dari Edmund Husserl. IPA dinilai mampu menjelaskan makna pengalaman secara rinci. Informan kunci, peneliti memilih tiga orang wartawan yang memiliki pengalaman lebih dari tujuh hingga dua puluh tahun meliput isu HAM Papua, dengan tujuan mendapatkan informasi yang lebih luas dan mendalam dari mereka. Hasil penelitian tersebut ternyata menghasilkan tiga tema pembahasan. 1) Memaknai profesionalisme kerja wartawan, yakni harus bekerja dari hati, memahami dan menaati Kode Etik Jurnalistik, memiliki idealisme tinggi, serta mampu memahami karakter kodrat orang Papua; 2) Mendefinisikan self-censorship dengan memiliki mental tangguh, berani, informatif, dan menghasilkan berita yang dapat dipertanggungjawabkan; 3) Kemerdekaan Pers yang masih sangat kurang, khususnya di Papua.
Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC–BY-SA.
W: http://spektrum.stikosa-aws.ac.id/index.php/spektrum | Alamat: spektrum@stikosa- Media yang menyajikan realita akan menghasilkan informasi yang berbeda- beda untuk dipahami.
Sayangnya, kenyataan ini tidak dapat disebarluaskan secara objektif karena peran pers masih terbatas.
Meski secara keseluruhan, kebebasan pers di Indonesia semakin membaik, di beberapa daerah, kondisinya masih memprihatinkan. Salah satunya adalah kebebasan pers di Papua. Komite Kebebasan Media (MFC) mengirimkan tim untuk melihat kondisi pers di Timika, Jayapura, dan Merauke.
Akibatnya, terjadi perlakuan diskriminatif dari pemerintah dan aparat keamanan terhadap wartawan asli Papua (OAP) dan warga non-pribumi Papua. Adanya stigmatisasi terhadap wartawan yang kerap mengkritik kebijakan pemerintah. Mereka dicap pro-
Jurnalis independen Papua dan digunakan sebagai senjata oleh pihak berwenang untuk mengintimidasi mereka.
Jurnalis di Papua merasa kesulitan untuk meliput dampak kerusakan lingkungan dan penggusuran masyarakat adat. Banyak intimidasi dan pembatasan yang dilakukan (Putra, 2017).
Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, situasi kebebasan pers telah berubah, di mana jurnalis asing diizinkan meliput Papua (Armenia, 2015). Namun, masih ada perlakuan berbeda bagi jurnalis asing yang mencoba meliput Papua. Pemerintah memberi kesan Papua sebagai daerah otonom terbuka, tetapi tetap mempersulit jurnalis asing untuk meliput. Pola kebebasan pers yang minim rentan disalahgunakan sebagai celah untuk menutupi informasi penting tentang Papua. Hal ini karena media asing dan domestik di Indonesia selama ini banyak memberitakan tentang Papua berdasarkan isu dan informasi sepihak yang diperoleh (Komarudin, 2016, para. 4).
Pemerintah saat ini juga dianggap mencampuri urusan pers nasional.
Papua dinilai sebagai wilayah paling tertutup bagi pers. Selain itu, upaya pengendalian akses informasi di Papua juga dilakukan dengan pemblokiran situs (Mubarok, 2021). Selain wartawan asing, wartawan lokal dan dalam negeri juga kerap menghadapi kendala dan berbagai bentuk intimidasi. Dalam catatan LBH Pers, terdapat kasus tewasnya Adriansyah Marais, wartawan Merauke TV di Sungai Maro, Merauke, pada Juli 2010 yang hingga kini masih misterius. LBH Pers juga menunjukkan masih adanya kekerasan dan pembatasan terhadap pers di Papua dalam tiga tahun terakhir (Manan, 2011).
Pertanyaan muncul dari Asep Komarudin (2016, para. 9), apakah "pembungkaman berita"
tentang Papua terjadi karena perintah dari pihak lain kepada media dan jurnalis yang berujung pada penyensoran diri? Hal ini diakui oleh Kapolres Sorong yang telah sepakat dengan jurnalis di Kota Sorong untuk tidak meliput 106 aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Sorong saat melaksanakan ibadah dalam rangka HUT KNPB ke-VIII (Komarudin, 2016, para. 9).
Dalam konteks ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana proses peliputan dan produksi berita tentang isu HAM di Papua didasarkan pada pemaknaan pengalaman dengan memahami dunia di sekitarnya. Fenomenologi merupakan pendekatan untuk mempelajari pengalaman. Ada banyak penekanan dan minat di kalangan fenomenolog, tetapi semuanya berfokus pada pengalaman manusia dalam segala hal, terutama dalam hal-hal yang dianggap perlu oleh manusia. Fenomenologi juga melihat bagaimana manusia dapat memahami seperti apa pengalaman itu (Smith et al., 2009).
Terdapat dua definisi populer ketika membahas konteks penelitian fenomenologi. Pertama, penelitian fenomenologi adalah studi reflektif tentang pengalaman subjektif partisipan.
Kedua, penelitian fenomenologi adalah penelitian tentang pengalaman partisipan dari sudut pandang orang pertama (Kahija, 2017, hlm. 35). Dalam penelitian, fenomenologi memiliki dua ideologi praktik, yaitu ideologi deskriptif dan interpretatif, yang biasa disebut IPA.
(Interpretatif Fenomenologis Analisa). Deskriptif ideologi cara
bahwa penelitian fenomenologi murni dilakukan dengan melihat pengalaman orang lain tanpa adanya asumsi atau prasangka dari peneliti (Kahija, 2017, hlm. 142). Sedangkan pendekatan interpretatif atau IPA berarti penelitian fenomenologi dari peneliti sudah memiliki asumsi- asumsi dasar (Kahija, 2017, hlm. 143).
IPA berkaitan dengan pemeriksaan rinci pengalaman hidup manusia dan mengejar komitmen idiografis, menempatkan peserta dalam konteks tertentu, mengeksplorasi
2. Metode
perspektif, dan dimulai dengan pemeriksaan terperinci dari setiap kasus sebelum beralih ke klaim yang lebih umum. IPA selalu bersifat interpretatif, tetapi ada beberapa tingkatan interpretasi. Interpretasi yang berhasil adalah interpretasi yang secara teoritis didasarkan pada konteks dalam teks yang dihasilkan oleh para peserta (Smith et al., 2009).
Dalam penelitian ini, konteks teks yang digunakan adalah self-censorship. Self-censorship adalah sebuah tindakan
pemantauan diri, terutama dalam memenuhi kepentingan masyarakat dan pasar.
Dalam penelitiannya, Tapsell (2012) menjelaskan bahwa penyensoran diri diasumsikan terjadi ketika jurnalis membatasi atau mengabaikan aspek-aspek dari sebuah berita karena mereka takut akan dampak dari subjektivitas atau masalah pribadi yang mereka kutip. Hal ini biasanya terjadi ketika jurnalis percaya bahwa mereka harus mengikuti agenda pemilik berita pada masalah-masalah tertentu daripada melaporkan secara bebas dan komprehensif pada semua topik.
Secara internal, media melakukan penyensoran diri, seperti pemilihan judul atau tajuk berita dalam surat kabar. Permasalahan yang timbul akibat pemberitaan di media mengharuskan adanya penyensoran diri. Dalam menghadapi tuntutan publik, media secara sadar berupaya memenuhi selera publik dan industri. Khususnya pemilik media, terus berupaya menerapkan penyensoran diri secara sistematis atas dasar kepentingan pasar. Bahkan dalam sistem pers yang liberal, penyensoran diri tampak jelas dalam proses seleksi (Artini, 2011, hlm. 116).
Terdapat sembilan unsur yang harus dipenuhi wartawan dalam menjalankan kegiatan jurnalistik secara profesional, yakni: 1) harus menegakkan kebenaran, 2) setia kepada masyarakat, 3) berfungsi sebagai forum publik, 4) disiplin dalam melakukan verifikasi pers, 5) menjaga kemerdekaan pers dari berbagai tekanan setiap tahun, 6) pengawasan independen terhadap berbagai bentuk kekuasaan, 7) menyediakan berita yang penting dan relevan, 8) menyediakan berita yang komprehensif dan proporsional, 9) mempertimbangkan hati nurani (Kovach & Rosentiel, 2001, hlm. 12-13).
IPA merupakan pendekatan penelitian kualitatif yang mengkaji bagaimana orang memaknai pengalaman hidupnya. IPA bersifat fenomenologis karena berkaitan dengan eksplorasi pengalaman (Smith et al., 2009). Peneliti IPA harus memiliki karakteristik seperti berpikiran terbuka, fleksibel, sabar, empati, dan bersedia terlibat serta menanggapi dunia partisipan.
Dalam penelitian fenomenologis, peneliti akan menentukan topik, pertanyaan penelitian, pertanyaan penelitian yang mengacu pada suatu teori, dan menentukan sampel. Peneliti IPA biasanya berusaha mencari sampel yang cukup homogen untuk siapa pertanyaan penelitian akan bermakna. Sementara itu, jumlah sampel yang disarankan berkisar antara 3-6 orang.
Selanjutnya, peneliti akan mengumpulkan data. Proses pengumpulan data yang disarankan adalah melakukan wawancara mendalam dan membuat buku harian atau jurnal pribadi.
Wawancara memungkinkan peneliti dan partisipan untuk terlibat dalam dialog di mana pertanyaan dimodifikasi berdasarkan respons partisipan, dan penyelidik dapat menanyakan hal-hal menarik lainnya yang muncul. Dalam penelitian ini, disarankan untuk melakukan wawancara dengan setiap partisipan lebih dari satu kali. Pada tahap berikutnya, peneliti akan melakukan transkrip dari setiap wawancara. IPA juga memerlukan catatan kata demi kata dari peristiwa pengumpulan data. Jika peristiwa tersebut merupakan kegiatan menulis (seperti buku harian), maka materi tertulis mungkin perlu dipindahkan ke transkrip bernomor baris.
Jika peristiwa tersebut merupakan interaksi, maka peristiwa tersebut harus direkam dalam media audio atau video (Smith et al., 2009).
Analisis data dalam penelitian IPA digambarkan sebagai suatu siklus. Dimulai dari baris ke baris.
analisis garis transkrip. Identifikasi pola yang muncul (yaitu, tema) dalam materi pengalaman ini, dengan menekankan konvergensi dan divergensi, kesamaan dan nuansa, biasanya pertama untuk satu kasus dan kemudian dalam beberapa kasus. Kemudian pengembangan 'dialog' antara peneliti, data berkode mereka, dan pengetahuan psikologis mengarah pada pengembangan akun yang lebih interpretatif. Mereka diikuti dengan pengembangan struktur atau kerangka yang menggambarkan hubungan tema. Atur semua materi ini dalam format yang memungkinkan data dianalisis melalui proses, dari komentar awal pada transkrip hingga
W: http://spektrum.stikosa-aws.ac.id/index.php/spektrum | Alamat: spektrum@stikosa-
Prosesnya mulai dari menjalin hubungan baik dengan para informan, melakukan penelitian, menyiapkan mental keberanian, dan lain sebagainya, hingga mengalami berbagai kendala meliput isu HAM Papua.
Informan pertama, Fabio M Lopes Costa, merupakan kontributor wartawan Papua di media Harian Kompas dan Kompas.com yang telah menekuni profesinya selama tujuh tahun.
Fabio memiliki latar belakang pendidikan yang berkaitan dengan bidang jurnalistik, yakni lulusan ilmu komunikasi. Narasumber kedua adalah wartawan asal Papua bernama Lucky Ireeuw. Lucky merupakan Pemimpin Redaksi media cetak lokal Cenderawasih Pos. Selama 21 tahun berkarya di media Cenderawasih Pos, Lucky telah melalui berbagai proses promosi dari wartawan lapangan menjadi editor, pimpinan eksekutif, hingga kini menjadi Pemimpin Redaksi.
Narasumber ketiga, Victor Mambor, adalah Direktur Media Jubi Papua, yang berdarah campuran Papua dan Palembang. Victor telah bekerja sebagai wartawan selama sekitar 25 tahun. Sebelum menerbitkan media Jubi, Victor bekerja sebagai wartawan di media "Pikiran Rakyat" pada tahun 1996. Tugas Victor di "Pikiran Rakyat" adalah bagian seni budaya. Tugas tersebut juga sejalan dengan jurusan seni yang ditempuh Victor saat kuliah di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI). Setelah keluar dari "Pikiran Rakyat" pada tahun 2007, Victor dan rekan-rekannya kembali menerbitkan media Jubi yang sempat berhenti memuat berita.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan, peneliti memahami bahwa pengalaman masing- masing informan bersifat unik dan berbeda. Namun, peneliti mencoba mengelompokkan hasil wawancara ke dalam tiga tema besar. Tema-tema tersebut adalah 1) Mendefinisikan profesionalisme kerja jurnalis; 2) Mendefinisikan self-censorship; 3) Kebebasan Pers.
pengelompokan inisial dan pengembangan tematik, menjadi tema akhir. Penggunaan supervisi, kolaborasi, atau audit ditujukan untuk membantu menguji dan mengembangkan interpretasi yang terorganisasi dengan baik dan masuk akal. Pengembangan naratif yang lengkap mencerminkan persepsi, konsepsi, dan proses seseorang (Smith et al., 2009).
Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan tiga narasumber kunci: 1. Fabio M Lopes Costa, wartawan kontributor Papua di media Harian Kompas dan Kompas.com. Latar belakang pendidikan jurusan Komunikasi di Universitas Katolik Media Mandira Kupang pernah menjabat sebagai wartawan kontributor Papua di media Kompas dan Kompas.com. Sebelumnya, Fabio pernah bekerja di sebuah koperasi simpan pinjam di NTT (Nusa Tenggara Timur) sembari menunggu rekrutmen staf di media Kompas pada tahun 2012.
2. Lucky Ireeuw, a senior journalist at the Cenderawasih Pos print media. Lucky started his career at Cenderawasih Pos after graduating from Cenderawasih University, Faculty of Law, in 2000 in Papua.
3. Victor Mambor, Direktur perusahaan Jubi Papua. Selain menjadi wartawan dan direktur di media Jubi, Victor bekerja sebagai pekerja lepas di beberapa media internasional dan nasional, yaitu ABC, Guardian, Al Jazeera, dan The Jakarta Post.
3. Hasil dan Pembahasan
Tabel 1. Tema Utama Setiap Informan
Tema/Transkrip
A. Menafsirkan Profesionalisme Kerja Wartawan Makna Profesionalisme Kerja Wartawan Bagi Kehidupan Fabio: Penting karena kita adalah telinga masyarakat, mulut rakyat. (…) melalui wartawan menyampaikan suara hati nurani Publik. (…) Ia harus tetap di Papua
Lucky: agama kita, kepercayaan kita adalah jurnalistik. Jadi, kita benar-benar mengikuti aturan yang ada, menaati kode etik dengan baik. Kita juga tidak mau dikendalikan orang untuk kepentingan pribadi, karena pasti ada urusan pribadi, apapun yang kita mau pasti ada yang bersifat pribadi, tetapi kalau kita jaga amanah itu dengan baik dan jujur dalam memberitakan, menyampaikan fakta yang ingin kita publikasikan.
Victor: Pertama, wartawan harus paham apa itu HAM, harus jelas. (…) Kemudian, karakter orang Papua sendiri. Juga masalah mentalitas orang Papua.
C. Kebebasan Pers Kurangnya kebebasan pers Fabio: Meliput di Papua, terutama HAM, memang berisiko. (…) ada yang sembunyi-sembunyi, masing-masing cari jalan.
Lucky: Kebebasan pers di Papua tidak pernah baik. (…) Wartawan juga masih mendapat
tekanan, (…) Kasus kekerasan terhadap wartawan masih terjadi. (…) Termasuk pers asing tidak diperbolehkan masuk ke sini. Victor: Kebebasan pers di Papua sebetulnya sudah berubah,
kurang lebih. Jadi begini, kalau Anda bilang sekarang orang boleh bikin media, semua orang boleh. Dulu tidak mungkin.
Sumber: Analisis penulis
Menafsirkan profesionalitas kerja wartawan, Fabio menjelaskan bahwa kisah awal kiprahnya sebagai wartawan kontributor di Papua menuntutnya untuk beradaptasi dengan lingkungan dan karakter masyarakat yang baru.
Seseorang yang ingin memahami Papua harus hidup di Papua. Ia pun tidak merasa kesulitan untuk berinteraksi dengan masyarakat Papua. Jika sulit berinteraksi atau mencari informasi dari masyarakat, Fabio tidak memaksakannya sebagai wartawan. Sebaliknya, Fabio mencari cara lain untuk mendapatkan informasi dari informan kedua atau orang yang berpengaruh sebagai informan pengganti. Adapun kendala yang dirasakan Fabio selama di Papua adalah biaya hidup yang cukup mahal.
Isu HAM Papua menjadi salah satu isu dominan yang kerap diliput wartawan, misalnya penembakan, situasi keamanan, dan gangguan dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) maupun Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Fabio mengakui wartawan wajib meliput isu pelanggaran HAM di Papua untuk menyuarakan hati nurani masyarakat Papua dan membantu Komnas HAM dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua. Hal ini dikarenakan belum adanya solusi dari pemerintah dalam menangani kasus pelanggaran HAM di Papua. Fabio membantu meliput suara hati masyarakat dengan kewajiban dan keyakinan. Salah satu contoh pemberitaan tentang gizi buruk di Asmat menjadi
Lucky: Sebuah panggilan rasa tanggung jawab, rasa bahwa kita adalah bagian dari Papua. (…) Maka dari itu, kita betul-betul mengikuti aturan yang ada, dalam kode etik yang kita patuhi dengan baik.
Victor: Itu pilihan saya sebagai wartawan. Lebih baik daripada saya mengatakan perang. (…) Kaum profesional sulit menjadi kaya karena kita punya idealisme. (…) Memperlakukan orang Papua lokal dengan pendatang itu beda.
B. Makna Self-censorship Hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh Jurnalis yang meliput isu HAM Papua Fabio: Tidak ada batasan dalam meliput. Itu saja syarat yang saya sampaikan tadi, geografis, keamanan menjadi ancaman dalam meliput isu tertentu.
W: http://spektrum.stikosa-aws.ac.id/index.php/spektrum | Alamat: spektrum@stikosa- kontroversial dan hanya dimiliki oleh media Kompas, yang pertama kali membagikan informasi tersebut.
"Meliputi isu HAM itu pelanggaran. Bahkan dalam perjalanan jauh pun saya masih menemukannya. Hampir tujuh puluh anak meninggal, saat saya masuk rumah sakit, ada seorang anak yang sedang sekarat. Saya menonton sampai ia meninggal, menghembuskan nafas terakhirnya karena kekurangan gizi. (…) Hanya Kompas eksklusif yang muncul lebih dulu. (…) Setelah itu, media lain menyusul."
Fabio juga menekankan, meliput isu HAM Papua sangat berisiko.
Selain itu, mereka meliput kerusuhan atau demonstrasi masyarakat, seperti kerusuhan Jayapura.
Para wartawan berhamburan menyelamatkan diri saat meliput aksi unjuk rasa di Jayapura. Berita itu berharga untuk nyawa, begitulah yang dijelaskan Fabio. Mereka harus bisa cepat mengambil gambar di tengah kerumunan yang tidak kondusif dan segera bergegas mencari tempat berteduh. Jika tidak mendapat tempat berteduh, nyawa menjadi taruhannya. Namun, jika aksi unjuk rasa berlangsung damai dan tidak rusuh, para wartawan harus memposisikan diri di tengah-tengah demonstran dan polisi untuk mencegah adanya keberpihakan kepada salah satu pihak.
"Meliputi Papua, khususnya HAM, memang berisiko. Apalagi dalam kasus kerusuhan, kami terjebak. Di tengah kerusuhan, kami dibakar orang. Kami terjebak di hotel, melihat orang membakar rumah, kantor Telkomsel dibakar, mobil dibakar, dan suara tembakan di mana-mana. Kalau kami terus berusaha masuk ke kerumunan, kami akan kena tembak, dan akhirnya kami bersembunyi di hotel. (…) Kami terpencar, ada yang di sana, ada yang di sini, ada yang bersembunyi, dan masing-masing wartawan mencari jalan."
Menurut Lucky, informan kedua, wartawan yang berkomunikasi langsung dengan informan, harus menjalin hubungan baik dengan masyarakat dan menjaga kepercayaan publik terhadap informasi yang diberikan. Dalam interaksi lainnya, Lucky mengajak wartawan untuk bersikap terbuka dan tidak diskriminatif. Sikap ini diterapkan Lucky demi kebaikan bersama.
"Benar, yang pertama adalah kepercayaan. Kita harus menulis dengan jujur dan terus menjaga kepercayaan informan. Kita harus meyakinkan mereka bahwa kita hanya penyalur informasi karena kita tidak punya kepentingan apa pun dalam menjalankan tugas kita secara profesional. (…) Jadi, wartawan harus terbuka kepada siapa saja untuk bisa dekat dengan siapa saja. Apa yang harus dia lakukan dan tidak diskriminatif."
Selain berkarier di bidang jurnalistik, Lucky juga pernah bergabung dengan sejumlah organisasi pers di Papua, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Lucky merupakan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) wilayah Papua. Dengan nada penuh semangat, Lucky menyampaikan tiga modal utama yang ia persiapkan saat meliput isu HAM Papua, yakni keberanian, kejujuran, dan tidak bekerja untuk diri sendiri melainkan untuk kepentingan publik sehingga dampaknya dapat dirasakan oleh jurnalis atau media dan masyarakat.
"Kalau kita tidak berani, kita tidak akan bisa menulis apa-apa nanti. Ya, kita berani dan jujur, maka kita harus merasa terpanggil. Tanpa mereka, kita hanya bekerja untuk mendapatkan penghasilan. Kita tidak akan bisa menulis tentang HAM di Papua, khususnya orang Papua. Secara umum, menjadi wartawan di Papua seperti yang disebutkan tadi. Kalau hanya untuk "yang penting saya punya pekerjaan dan bekerja dengan baik"-itulah semangat yang akan kita dapatkan. Toh, pekerjaan jurnalistik itu bekerja untuk kepentingan publik, bukan bekerja untuk diri sendiri."
Berbicara tentang makna profesionalisme, Lucky menjabarkan wartawan sebagai pekerjaan yang dilandasi keyakinan. Amanah dalam arti wartawan harus taat dan patuh pada pedoman Kode Etik Jurnalistik dalam menjalankan tugasnya. Lebih lanjut, Lucky menyatakan bahwa dirinya menjadi wartawan karena terpanggil untuk membantu dan bertanggung jawab terhadap kampung halamannya. Sebagai bagian dari Papua, Lucky tetap bersemangat menyuarakan hak-hak masyarakat.
"Bagi saya, itu seperti panggilan—panggilan untuk rasa tanggung jawab kita, rasa bahwa kita adalah bagian dari Papua. Kita di sini. Siapa lagi yang ingin menulis tentang apa yang dialami orang-orang di sini? Apa yang ingin dikatakan orang-orang di sini? Bagaimana dengan hak-hak mereka? Kita punya tanggung jawab moral, tanggung jawab seperti apa, kita sebagai orang Papua di sini dan sebagai orang beragama."
Sementara pembicara ketiga, Victor, ingin membantu mengubah kondisi HAM di Papua, dengan nada prihatin dan wajah yang ceria, Victor mengakui bahwa saat ini dirinya sedang berada di titik jenuh. Sebab selama Victor bekerja sebagai jurnalis Papua dan membuat media yang fokus meliput isu HAM Papua, kasus HAM di Papua tidak pernah berubah.
"Sekarang saya hanya beternak ayam, dan saya juga pusing. Apalagi saya sudah sampai titik jenuh juga. Bukan bosan, saya hanya butuh istirahat. Karena saya sudah menulis sejak 2007 tentang isu HAM, bahkan untuk media yang fokus pada HAM, saya tidak melihat ada perubahan.
Jadi, mungkin aku perlu istirahat dulu. Sekarang, aku memutuskan untuk beternak ayam."
Dalam dunia jurnalistik, Victor harus bisa menjalin hubungan baik dengan para informannya. Victor dengan tegas mengakui bahwa membangun hubungan dengan masyarakat Papua bukanlah hal yang mudah. Harus bisa melatih kesabaran dalam prosesnya. Victor telah menanamkan prinsip sebagai sesama manusia agar saling menghargai, mampu menjaga dan membangun kepercayaan dengan masyarakat Papua. Hal ini agar hubungan Victor dengan masyarakat Papua terjalin baik dan tidak memicu kesalahpahaman.
"Oleh karena itu, kalau mau mengerti Papua, ya harus ke Papua dulu. (…) Ini Papua, sekarang lagi konflik, Papua kan punya otonomi khusus, semua orang harus saling menghargai, apalagi orang yang misalnya ngaku pendatang, harus bisa menghargai itu. (…) Sebetulnya kepercayaan itu yang paling sulit. (…) Jadi, harus dapat kepercayaan dulu baru mereka mau diwawancara, secara terbuka, jujur."
Victor menjelaskan, menjadi wartawan profesional sangat sulit untuk menjadi kaya raya, sebab seorang wartawan harus memiliki idealisme dan dedikasi yang tinggi. Selain itu, Victor memaknai profesionalisme sebagai panggilan hati sebagai anak Papua, untuk memberitakan situasi Papua. Victor lebih memilih menjadi wartawan yang menulis tentang situasi HAM di Papua sebagai senjata utamanya.
"Profesional itu susah kaya, punya cita-cita, punya dedikasi tinggi. (…) Pertama, saya orang Papua.
Saya tahu orang Papua itu sedikit. Jadi kalau orang ngomong ya bilang atas nama Tuhan, karena memang begitulah. Artinya orang Papua itu sedikit, tanahnya luas, sementara integrasi harus terus masuk. Kalau saya tidak meliput pembunuhan, masalah HAM, dan perampasan tanah, itu akan memakan waktu lama. Jadi apa yang saya lakukan sekarang ini adalah pilihan saya sebagai wartawan. Itu lebih baik daripada, katakanlah perang. Tugas saya sebagai wartawan adalah menulis tentang situasi itu, situasi yang sebenarnya terjadi pada orang Papua, terutama dalam konteks HAM."
Berbicara tentang makna profesi, wartawan merupakan profesi yang harus dijalani dengan benar, penuh pertimbangan, dan ikhlas sehingga dapat disebut sebagai wartawan profesional (Herfan, 2015, hlm. 23).
Ketiga narasumber memberikan jawaban terkait makna profesional yang menarik dan unik dari kerja jurnalistik. Informan pertama menyampaikan bahwa menjadi wartawan yang kerap meliput isu HAM Papua sangatlah penting untuk menjadi telinga dan mulut masyarakat, menyampaikan suara hati rakyat. Menurut Herfan (2015, hlm. 24), wartawan profesional harus peka terhadap tanggung jawab sosial. Wartawan harus mampu menyadari, memahami, dan memiliki keterampilan dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu, meliput isu HAM Papua menjadi hal yang penting karena adanya pembatasan bagi wartawan untuk masuk ke Papua.
Keterbatasan yang terjadi misalnya adalah minimnya kebebasan pers asing untuk masuk ke Papua.
Hasil penelitian Nahria, dkk. (2014) menunjukkan bahwa pembatasan akses bagi wartawan asing karena pemerintah mencurigai wartawan asing atas dasar memiliki kepentingan politik terhadap isu Papua. Berbeda dengan pendapat informan pertama, ia mengatakan bahwa seorang wartawan yang ingin meliput HAM Papua harus bisa berada di Papua untuk bisa lebih dekat dan memahami topik tersebut secara mendalam. Informan kedua memaknai profesi ini sebagai panggilan hati. Sebagai anak Papua, informan kedua memiliki rasa tanggung jawab untuk menulis berita. Ia menilai bahwa wartawanlah yang menyuarakan dan menulis apa yang menjadi haknya.
W: http://spektrum.stikosa-aws.ac.id/index.php/spektrum | Alamat: spektrum@stikosa-
pengalaman masyarakat. Atas dasar itu, standar kompetensi pembaca juga mensyaratkan informasi sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik (Herfan, 2015, hlm. 24). Dengan demikian, Lucky mengartikan bahwa profesionalisme kerja wartawan harus berlandaskan pada kaidah atau pedoman seperti Kode Etik Jurnalistik. Mematuhi Kode Etik Jurnalistik dapat membentuk karakter wartawan yang profesional dan menjadi kontrol sosial masyarakat (Purnomo, 2020).
Berbeda dengan informan ketiga, ia mendefinisikan profesinya sebagai sebuah tanggung jawab sebagai bagian dari Papua. Selain itu, informan ketiga memilih menjadi wartawan untuk memperjuangkan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua. Menurut Purnomo (2020),
wartawan profesional adalah pribadi yang bersemangat, agresif, memiliki rasa tanggung jawab, serta dapat mencari dan berbagi berita dengan baik. Dengan rasa tanggung jawab dan semangat untuk memperjuangkan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua, Victor
menambahkan bahwa menjadi wartawan profesional sangatlah sulit. Wartawan profesional harus memiliki idealisme yang tinggi. Idealisme berkaitan dengan ide dan pendapat wartawan (Armanda, 2019). Dari pengalaman informan ketiga, dijelaskan bahwa sebagian besar
wartawan melakukan peliputannya hanya untuk mendapatkan imbalan, bukan untuk bekerja sepenuh hati. Selain itu, makna profesionalisme wartawan menurut informan ketiga adalah mampu membedakan wartawan Papua dan non-Papua.
wartawan asli Papua. Sebagai Direktur media Jubi Papua, narasumber ketiga memberikan kemudahan yang berbeda bagi wartawan Papua, yakni dengan memberikan kesempatan yang lebih banyak untuk belajar dan mendalami profesi sebagai wartawan, dan tujuannya agar wartawan Papua tidak terbelakang dan bisa sejajar dengan wartawan nasional bahkan internasional.
Makna yang berbeda dari setiap informan merupakan hal yang wajar dari sudut pandang fenomenologi. Frege (dalam Kuswarno, 2009. p. 8) menyatakan bahwa apabila terdapat beberapa pernyataan mengenai suatu objek yang sama, ada kemungkinan makna, interpretasi, dan penyajiannya akan berbeda. Dengan demikian, fenomenologi dapat melihat suatu peristiwa tidak hanya dari depan saja tetapi juga dapat melihat makna yang terjadi.
Dari pernyataan tersebut, pada akhirnya fenomenologi tidak terbatas pada ilmu psikologi saja tetapi digunakan secara luas sebagai ilmu sosial (Kuswarno, 2009, p.7).
Meskipun makna profesi yang dimaknai masing-masing informan berbeda, namun peneliti menyimpulkan bahwa ketiga informan tersebut tidak hanya memaknai profesi sebagai pekerjaan. Akan tetapi, ketiga informan tersebut memaknai profesinya sebagai saluran ekspresi dan penyalur suara rakyat. Dari makna tersebut, peneliti mengartikan bahwa ketiga informan tersebut bekerja dengan sungguh-sungguh dalam memberikan informasi untuk kepentingan publik.
Tiga informan dalam penelitian ini, Fabio, Lucky, dan Victor, menceritakan pengalaman mereka bekerja sebagai jurnalis yang kerap meliput isu HAM di Papua. Dalam liputannya, Fabio juga menegaskan bahwa meliput isu HAM Papua sangatlah berisiko. Terlebih, mereka meliput kerusuhan atau demonstrasi masyarakat, seperti kerusuhan Jayapura. Para jurnalis berhamburan menyelamatkan diri saat meliput demonstrasi di Jayapura. Berita bernilai nyawa, begitulah yang dijelaskan Fabio. Mereka harus bisa cepat mengambil gambar di tengah kerumunan yang tidak kondusif dan segera bergegas mencari tempat berteduh. Jika tidak mendapatkan tempat berteduh, nyawa menjadi taruhannya.
Namun, apabila demonstrasi tersebut bersifat damai dan tidak disertai kekerasan, maka jurnalis harus menempatkan diri di tengah-tengah demonstran dan polisi agar tidak terkesan memihak salah satu pihak.
"Meliputi Papua, khususnya HAM, memang berisiko. Apalagi dalam kasus kerusuhan, kami terjebak. Di tengah kerusuhan, kami dibakar orang. Kami terjebak di hotel, melihat orang membakar rumah, kantor Telkomsel dibakar, mobil dibakar, dan suara tembakan di mana- mana. Kalau kami terus berusaha masuk ke kerumunan, kami akan kena tembak, dan akhirnya kami bersembunyi di hotel. (…) Kami terpencar, ada yang di sana, ada yang di sini, ada yang bersembunyi, dan masing-masing wartawan mencari jalan."
Menurut Lucky, informan kedua, yakni wartawan yang berkomunikasi langsung dengan informan, harus menjalin hubungan baik dengan masyarakat dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang diberikan. Dalam interaksi lainnya, Lucky mengajak wartawan untuk bersikap terbuka dan tidak
diskriminatif. Lucky menerapkan sikap ini demi kebaikan bersama. "Benar, yang pertama adalah kepercayaan. Kita harus menulis dengan jujur dan terus menjaga kepercayaan informan. Kita harus meyakinkan mereka bahwa kita hanya penyalur informasi karena kita tidak punya kepentingan apa pun dalam menjalankan tugas kita secara profesional. (…) Jadi, wartawan harus terbuka kepada siapa saja untuk bisa dekat dengan siapa saja. Apa yang harus dia lakukan dan tidak diskriminatif."
Selain berkarier di bidang jurnalistik, Lucky juga pernah bergabung dengan sejumlah organisasi pers di Papua, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Lucky merupakan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) wilayah Papua. Dengan nada penuh semangat, Lucky menyampaikan tiga modal utama yang ia persiapkan saat meliput isu HAM Papua, yakni keberanian, kejujuran, dan tidak bekerja untuk diri sendiri melainkan untuk kepentingan publik sehingga dampaknya dapat dirasakan oleh jurnalis atau media dan masyarakat.
"Kalau kita tidak berani, kita tidak akan bisa menulis apa-apa nanti. Ya, kita berani dan jujur, maka kita harus merasa terpanggil. Tanpa mereka, kita hanya bekerja untuk mendapatkan penghasilan.
Kita tidak akan bisa menulis tentang HAM di Papua, khususnya orang Papua. Secara umum, menjadi wartawan di Papua seperti yang disebutkan tadi. Kalau hanya untuk "pokoknya saya punya pekerjaan dan bekerja dengan baik"-
Itulah semangat yang akan kita dapatkan. Toh, pekerjaan jurnalistik itu kan untuk
kepentingan publik, bukan untuk diri sendiri." Berbicara tentang makna profesionalisme, Lucky menjabarkan wartawan sebagai pekerjaan yang dilandasi keyakinan. Amanah dalam arti wartawan harus taat dan patuh pada tuntunan Kode Etik Jurnalistik dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, Lucky menyatakan bahwa dirinya menjadi wartawan karena terpanggil untuk membantu dan bertanggung jawab terhadap kampung halamannya. Sebagai bagian dari Papua, Lucky tetap bersemangat menyuarakan hak-hak masyarakat.
"Bagi saya, ini seperti panggilan—panggilan untuk rasa tanggung jawab, rasa bahwa kita adalah bagian dari Papua. Kita ada di sini. Siapa lagi yang mau menulis tentang apa yang dialami orang- orang di sini?
Apa yang ingin disampaikan oleh masyarakat di sini? Bagaimana dengan hak-hak mereka?
Kami punya tanggung jawab moral, tanggung jawab seperti apa, kami sebagai orang Papua di sini dan sebagai orang beragama." Sementara pembicara ketiga, Victor, ingin membantu mengubah kondisi HAM di Papua, dengan nada prihatin dan wajah yang tersenyum, Victor mengakui bahwa saat ini dirinya sedang berada di titik jenuh. Sebab selama Victor bekerja sebagai jurnalis Papua dan membuat media yang fokus meliput isu-isu HAM Papua, kasus- kasus HAM di Papua tidak pernah berubah.
"Dan sekarang saya hanya beternak ayam, dan saya juga pusing. Apalagi saya sudah sampai titik jenuh juga. Bukan bosan, saya hanya butuh istirahat. Karena saya sudah menulis sejak 2007 tentang isu HAM, bahkan untuk media yang fokus pada HAM, saya tidak melihat ada perubahan.
Jadi mungkin saya perlu istirahat dulu. Kemudian sekarang, saya baru memutuskan untuk beternak ayam." Dalam dunia jurnalistik, Victor harus bisa menjalin hubungan baik dengan para informannya.
Victor dengan tegas mengakui bahwa membangun hubungan dengan masyarakat Papua
bukanlah hal yang mudah. Harus bisa melatih kesabaran dalam prosesnya. Victor menanamkan prinsip untuk menjadi sesama manusia agar bisa saling menghargai, mampu menjaga dan membangun rasa percaya dengan masyarakat Papua. Hal ini agar hubungan Victor dengan masyarakat Papua berjalan baik dan tidak menimbulkan kesalahpahaman.
“Makanya kalau mau ngerti Papua, harus ke Papua dulu. (…) Ini Papua, sekarang lagi konflik, Papua punya otonomi khusus, semua harus saling menghargai, apalagi
W: http://spektrum.stikosa-aws.ac.id/index.php/spektrum | Alamat: spektrum@stikosa-
Orang yang misalnya mengaku pendatang, harusnya bisa menghargai itu. (…) Sebetulnya kepercayaan itu yang paling sulit. (…) Jadi, harus dapat kepercayaan dulu baru mau diwawancara, secara terbuka, jujur." Victor menjelaskan, menjadi wartawan profesional itu susah banget kalau mau kaya, karena wartawan harus punya idealisme dan dedikasi yang tinggi. Selain itu, Victor memaknai profesionalisme sebagai panggilan hati sebagai anak Papua, untuk meliput situasi Papua.
Victor lebih suka menjadi jurnalis yang menulis tentang situasi hak asasi manusia di Papua sebagai senjata utamanya.
“Orang profesional itu susah kayanya, punya cita-cita, punya dedikasi tinggi. (…) Pertama, saya orang Papua.
Saya tahu orang Papua itu sedikit jumlahnya. Jadi kalau ada yang ngomong, tolong bilang atas nama Tuhan, karena memang begitulah. Artinya orang Papua itu sedikit jumlahnya, tanahnya luas, sementara integrasi harus terus masuk.
Kalau saya tidak meliput pembunuhan, masalah HAM, dan perampasan tanah, itu akan memakan waktu lama. Jadi apa yang saya lakukan sekarang ini adalah pilihan saya sebagai wartawan. Itu lebih baik daripada, katakanlah perang. Tugas saya sebagai wartawan adalah menulis tentang situasi itu, situasi yang sebenarnya terjadi pada orang Papua, terutama dalam konteks HAM."
Berbicara tentang makna profesi, wartawan merupakan profesi yang harus dijalani dengan benar, penuh pertimbangan, dan ikhlas sehingga dapat disebut sebagai wartawan profesional (Herfan, 2015, hlm. 23). Ketiga narasumber memberikan jawaban terkait makna profesional yang menarik dan unik dari kerja jurnalistik. Informan pertama menyampaikan bahwa menjadi wartawan yang kerap meliput isu HAM Papua sangatlah penting untuk menjadi telinga dan mulut masyarakat, menyampaikan suara hati rakyat. Menurut Herfan (2015, hlm. 24), wartawan profesional harus peka terhadap tanggung jawab sosial. Wartawan harus mampu menyadari, memahami, dan memiliki keterampilan dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu, meliput isu HAM Papua menjadi hal yang penting karena adanya pembatasan bagi wartawan untuk masuk ke Papua.
Keterbatasan yang terjadi misalnya adalah minimnya kebebasan pers asing untuk masuk ke Papua.
Hasil penelitian Nahria, dkk. (2014) menunjukkan bahwa pembatasan akses bagi wartawan asing karena pemerintah mencurigai wartawan asing atas dasar memiliki kepentingan politik terhadap isu Papua. Berbeda dengan pendapat informan pertama, ia mengatakan bahwa seorang wartawan yang ingin meliput HAM Papua harus bisa berada di Papua untuk bisa lebih dekat dan memahami topik secara mendalam. Informan kedua memaknai profesi ini sebagai panggilan hati. Sebagai anak Papua, informan kedua memiliki rasa tanggung jawab untuk menulis berita. Ia menilai bahwa wartawanlah yang menyuarakan dan menulis apa yang dialami masyarakat. Atas dasar itu, standar kompetensi pembaca pun mensyaratkan informasi sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik (Herfan, 2015, hlm. 24). Dengan demikian, Lucky memaknai bahwa profesionalisme kerja wartawan haruslah berlandaskan pada kaidah atau pedoman seperti Kode Etik Jurnalistik. Mematuhi Kode Etik Jurnalistik dapat membentuk karakter jurnalis profesional dan menjadi kontrol sosial masyarakat (Purnomo, 2020).
Berbeda dengan informan ketiga, ia mendefinisikan profesinya sebagai sebuah tanggung jawab sebagai bagian dari Papua. Selain itu, informan ketiga memilih menjadi wartawan untuk memperjuangkan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua. Menurut Purnomo (2020), wartawan profesional adalah pribadi yang bersemangat, agresif, memiliki rasa tanggung jawab, serta dapat mencari dan berbagi berita dengan baik. Dengan rasa tanggung jawab dan semangat untuk memperjuangkan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua, Victor menambahkan bahwa menjadi wartawan profesional sangatlah sulit.
Wartawan profesional harus memiliki idealisme yang tinggi. Idealisme berkaitan dengan ide dan pendapat wartawan (Armanda, 2019). Dari pengalaman informan ketiga, dijelaskan bahwa sebagian besar wartawan melakukan peliputannya hanya untuk mendapatkan imbalan, bukan untuk bekerja sepenuh hati. Selain itu, makna profesionalisme wartawan menurut informan ketiga adalah mampu membedakan wartawan Papua dan non-Papua.
wartawan asli Papua. Sebagai Direktur media Jubi Papua, narasumber ketiga memberikan kemudahan yang berbeda bagi wartawan Papua, yakni dengan memberikan kesempatan yang lebih banyak untuk belajar dan mendalami profesi sebagai wartawan, dan tujuannya agar wartawan Papua tidak terbelakang dan bisa sejajar dengan wartawan nasional bahkan internasional.
Makna yang berbeda dari setiap informan merupakan hal yang wajar dari sudut pandang fenomenologi. Frege (dalam Kuswarno, 2009. p. 8) menyatakan bahwa apabila terdapat beberapa pernyataan mengenai suatu objek yang sama, ada kemungkinan makna, interpretasi, dan penyajiannya akan berbeda. Dengan demikian, fenomenologi dapat melihat suatu
peristiwa tidak hanya dari depan saja tetapi juga dapat melihat makna yang terjadi. Dari pernyataan tersebut, pada akhirnya fenomenologi tidak terbatas pada ilmu psikologi saja tetapi digunakan secara luas sebagai ilmu sosial (Kuswarno, 2009, p.7).
Meskipun makna profesi yang dimaknai masing-masing informan berbeda, namun peneliti menyimpulkan bahwa ketiga informan tersebut tidak hanya memaknai profesi sebagai
pekerjaan. Akan tetapi, ketiga informan tersebut memaknai profesinya sebagai saluran ekspresi dan penyalur suara rakyat. Dari makna tersebut, peneliti mengartikan bahwa ketiga informan tersebut bekerja dengan sungguh-sungguh dalam memberikan informasi untuk kepentingan publik.
Arti dari sensor diri
Liputan Fabio tentang HAM berujung pada kekerasan verbal yang dilakukan oleh orang- orang yang tidak senang kepadanya. Mulai dari Fabio diikuti dan diawasi di kediamannya, mendapat ancaman akan dipukul, hingga mendapat kekerasan fisik, yakni dicekik. Kendala- kendala tersebut menjadikan Fabio sebagai kebiasaan. Kebiasaan meliput pasti akan menemui kendala dan hambatan serta intimidasi. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi dan mengatasinya, Fabio menyiapkan modal utama sebagai bekal saat meliput isu HAM Papua.
Modal utama yang dipaparkan Fabio adalah mental.
Sementara itu, Lucky yang menulis berita berjudul "Aparat Lakukan Pembunuhan Cepat"
menuai kontroversi hingga dipanggil polisi karena menulis keterangan dan judul berita yang dinilai berlebihan. Dengan nada prihatin, Lucky menyayangkan, saat itu wartawan masih belum mengetahui haknya untuk menolak. Khususnya wartawan bisa menolak ditahan atau dipanggil polisi karena menurut mereka berita yang ditulis wartawan adalah kesaksiannya.
"... karena waktu itu judulnya memang "Pihak Berwenang Lakukan Pembunuhan Cepat" Nah, setelah berita itu keluar, saya dipanggil polisi waktu itu. (...) Waktu itu saya belum masuk organisasi pers, jadi kami belum tahu hak kami karena kami bisa menolak juga, kan tidak boleh dipanggil polisi. Kami punya hak menolak diperiksa, kalau polisi mau memanggil kami untuk berita yang kami tulis, ya berita kami itu kesaksian kami."
Pemimpin redaksi tempatnya bekerja saat itu mengatakan Lucky tidak diperbolehkan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Ternyata bukan hanya Lucky, Direktur ELSAM pun ikut ditangkap saat itu karena polisi ingin mempertanggungjawabkan hasil dari bocornya informasi pembunuhan oleh aparat di Abepura.
"... Saya baru ingat waktu itu diperintahkan untuk tidak menandatangani BAP Berita Acara Pemeriksaan di kepolisian. Mereka minta pertanggungjawaban atas apa yang disampaikan ke media, ke publik tentang polisi yang melakukan pembunuhan cepat, karena situasi belum kondusif."
Menurut Lucky, perlindungan media lokal bagi jurnalis Papua berbeda dengan perlindungan jurnalis media nasional. Misalnya, media nasional memiliki standar keamanan, tetapi di Papua tidak. Kemudian, di Papua, tidak ada LBH Pers yang siap menangani masalah dan kekerasan terhadap jurnalis. Kemudian dengan raut wajah sedih, Lucky menegaskan bahwa hampir semua jurnalis di Papua tidak memiliki serikat pekerja, yang bertujuan untuk menjamin hak-hak jurnalis agar tidak ada perusahaan yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis.
W: http://spektrum.stikosa-aws.ac.id/index.php/spektrum | Alamat: spektrum@stikosa-
"Kalau media nasional besar, dia sudah punya standar itu, dan safety-nya ada. Di tempat-tempat yang berbahaya saja, misalnya, dia pakai rompi anti peluru, atau anti peluru, itu sama sekali tidak ada. (…) Kadang-kadang masalah-masalah itu tidak diselesaikan dengan baik karena kita belum punya LBH pers di Papua. (…) Di sini juga kita tidak punya serikat pekerja di media. (…) Itu untuk menjamin hak-hak jurnalis di media, dan dia punya posisi tawar dengan manajemen seperti itu. (…).
Itu juga sebenarnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, tapi jarang diterapkan seperti itu."
Lucky mengakui meliput isu hak asasi manusia Papua bukanlah hal yang sulit dan mudah.
Wartawan pasti akan mengalami kendala ketika meliput. Faktor yang menghambat kinerja wartawan lapangan adalah pertama karena letak geografis, dan kedua, situasi keamanan yang tidak terjamin. Namun, Lucky yakin untuk mengatasi kendala tersebut, sesama wartawan dan Pemimpin Redaksi suatu media dapat bekerja sama untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sebagai individu, self-censorship atau sensor pribadi merupakan tanda konsep diri atau pilihan nilai seseorang dalam menyikapi suatu permasalahan. Namun, pada level organisasi dan komunitas, self-censorship merupakan tindakan pengawasan pribadi untuk memenuhi berbagai kepentingan masyarakat dan pasar atau sosial (Artini, 2011). Dalam meliput isu HAM Papua, memang tidak mudah, dan banyak tantangannya.
Jika menilik berbagai kasus yang terjadi dalam kehidupan wartawan, seperti tindakan intimidasi, kekerasan, diskriminasi, hingga pembunuhan, maka betapa vitalnya self- censorship bagi wartawan dan medianya (Artini, 2011). Artinya, jurnalis perlu mendapatkan perlindungan dari berbagai pihak, mempersiapkan diri saat melakukan peliputan, dan meminimalisir risiko.
Narasumber pertama menyampaikan dua modal utama yang harus dimiliki wartawan ketika meliput isu HAM Papua. Pertama, keberanian mental. Wartawan harus berani menghadapi tantangan berupa ancaman, kekerasan, dan intimidasi karena hal tersebut kerap terjadi pada wartawan Papua. Selain itu, keberanian mental dan fisik untuk melakukan perjalanan meliput lapangan di daerah pedalaman atau desa-desa yang jauh dan tidak memiliki akses kendaraan.
Kedua, kecerdasan. Wartawan harus memiliki wawasan yang luas dan informatif, selain itu, harus memahami topik yang akan diliput (McQuail, 2005, hlm. 234). Dengan begitu, wartawan tidak akan kesulitan mencari informasi di lapangan. Senada dengan narasumber pertama, narasumber kedua menerapkan mental dan keberanian sebagai modal utama dalam meliput isu HAM Papua. Dengan keberanian, wartawan tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkan informasi.
Wartawan tidak akan merasa lemah saat menghadapi tantangan. Persiapan lain yang dilakukan oleh narasumber kedua adalah mempersiapkan kinerja wartawan agar lebih profesional.
Informan ketiga menyiapkan satu modal utama saat meliput isu HAM Papua: belajar. Sebelum meliput, kita harus belajar memahami isu HAM Papua yang berarti belajar dari sejarah pelanggaran HAM Papua. Dengan demikian, wartawan tidak buta terhadap topik liputannya dan memahami akar penyebab pelanggaran HAM di Papua. Setelah itu, wartawan harus belajar karakter orang Papua.
Hal ini bertujuan agar wartawan dapat lebih dekat dengan narasumbernya dan tidak merasa kesulitan dalam melakukan wawancara. Terakhir adalah belajar memahami permasalahan yang terjadi di Papua untuk menambah persepsi baru bagi wartawan dan menambah wawasan wartawan dalam memahami permasalahan HAM di Papua.
Ketiga wartawan ini tidak melakukan penyensoran diri dalam aktivitas kerja mereka. Mereka memahami makna menjadi wartawan yang harus memberikan informasi yang benar dan tepat. Namun, mereka tetap menyadari adanya ancaman yang mungkin mereka hadapi dari tulisan-tulisan berbagai peristiwa, termasuk pelanggaran hak asasi manusia.
Kebebasan Pers
Lucky juga menjelaskan bahwa kebebasan pers di Papua masih rendah. Wartawan yang meliput dan ingin menulis berita yang baik dan jujur sering dicurigai, diawasi, dan
identitasnya disebarluaskan tanpa izin (doxing). Wartawan juga sering mendapat tekanan dan kekerasan dalam bentuk intimidasi.
"Itulah yang dilakukan orang lokal di sini, bahkan setelah reformasi, orang belum bisa bicara terbuka soal Papua. (…) Termasuk wartawan yang sebenarnya mau menulis dengan baik, jujur, apa adanya, tapi dia dicurigai, dia tidak bebas di mana pun, dia diawasi, dia didoxing,
identitasnya diunggah ke publik baru (tapi) dia hanya mendukung satu ideologi politik tertentu, lalu dia dianggap wartawan separatis, medianya dianggap media OPM, atau sebaliknya dia dianggap media pemerintah, media tentara." Kebebasan pers bagi wartawan asing di Papua juga minim. Wartawan asing harus menjalani beberapa pemeriksaan ketat saat hendak meliput Papua. Menurut Lucky, pers asing menganggap Papua sebagai wilayah gelap karena sulit diliput.
Lucky mewakili organisasi AJI yang punya semangat memperjuangkan akses wartawan asing ke Papua tanpa dipersulit. "Oleh karena itu, pers asing menganggap Papua masih daerah gelap, yang tidak bisa mendapatkan informasi apa pun dari Papua. Karena kami, tetapi kami di AJI berjuang agar daerah ini dibuka, dibuka saja supaya kami tahu apa masalahnya "kenapa pemerintah sembunyi-sembunyi seperti itu" seolah-olah ingin menutupi situasi yang terjadi di sini."
Tantangan dan hambatan yang dialami Victor dalam meliput isu HAM Papua adalah ancaman ditembak oleh pihak-pihak yang tidak senang padanya. Kekerasan, intimidasi, dan hambatan lainnya terkait informasinya yang disebarkan tanpa izin melalui internet atau yang biasa dikenal dengan doxing.
"Saya hampir ditembak. (…) Saya pulang dari peliputan di Kaledonia Baru, dicegat di perbatasan. (…) Banyak, kalau intimidasi, kekerasan, paling sering doxing." Dari kendala yang dialami, Victor merasa tidak ada kesulitan karena sudah paham HAM. Victor tidak akan menghindar lagi kalau mendapat ancaman, intimidasi, dan kekerasan lainnya. Victor sudah lelah dengan situasi yang dialaminya dan pasrah. Namun, Victor dengan nada prihatin menyayangkan iklim kinerja jurnalis Papua yang tidak semuanya berjalan baik. Banyak jurnalis yang bekerja hanya demi uang, tanpa memberikan informasi yang faktual. Menurut Victor, kebebasan pers di Papua sedikit mengalami perubahan, yakni kini bebas berkarya, berbeda dengan masa lalu.
Namun, Victor juga menjelaskan bahwa kebebasan pers di Papua masih dangkal. Pembatasan jurnalis asing yang masuk ke Papua membuat Papua menjadi wilayah yang sulit diliput. Selain itu, masih minimnya jurnalis idealis yang bekerja jujur untuk membantu menyelesaikan masalah HAM Papua.
"Kalau kita bilang kebebasan pers di Papua, pasti ada perubahan. Nah, begini, kalau sekarang orang boleh bikin media, semua orang boleh. Dulu kan tidak mungkin, tapi kalau dibatasi wartawan asing, terus wartawan macam apa, idealis banget, susah. (…) Wartawannya banyak, tapi wartawannya sedikit banget." Sebagai wartawan yang kerap meliput isu-isu sensitif di Papua, Victor menyiapkan beberapa hal untuk diliput. Modal utamanya adalah memahami akar penyebab pelanggaran HAM, memahami sejarah Papua, dan mengenali karakter orang asli Papua, tidak boleh diskriminatif.
W: http://spektrum.stikosa-aws.ac.id/index.php/spektrum | Alamat: spektrum@stikosa-
Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti membuat simpulan berdasarkan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Dalam memaknai profesionalisme wartawan, ketiga informan sepakat bahwa profesi wartawan khususnya yang meliput isu HAM Papua sangatlah penting. Profesi wartawan sangat dibutuhkan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat, membantu menyelesaikan pelanggaran HAM Papua, dan memperjuangkan kebebasan pers.
Dari uraian tema-tema penting sebelumnya, dapat diketahui bahwa profesi wartawan khususnya yang meliput isu HAM Papua mengalami beberapa faktor penghambat, sehingga dapat dikatakan bahwa pekerjaan wartawan bukanlah profesi yang mudah. Menurut laporan data AJI, kondisi kebebasan pers di Papua merupakan salah satu pekerjaan terbesar bagi Indonesia (AJI, 2015). Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat kebebasan pers di Papua, hampir 15 tahun reformasi kebebasan pers belum sepenuhnya terlaksana. Wartawan kerap mendapatkan kekerasan fisik, larangan meliput, ancaman teror, dan menyebarluaskan informasi privasi wartawan tanpa izin (Nahria dkk., 2014). Minimnya kebebasan pers juga dirasakan oleh ketiga informan saat meliput isu HAM Papua.
Informan pertama menilai meliput isu HAM Papua adalah hal yang berbahaya.
Informan tersebut memberi contoh dirinya harus bersembunyi untuk meliput kerusuhan Jayapura.
Beberapa rekan wartawan yang meliput saat itu juga harus mencari tempat bersembunyi karena situasi yang menegangkan. Selain itu, informan pertama kerap mendapatkan kekerasan verbal seperti diancam, dicekik, dan diteror. Hal ini terkait dengan hasil penelitian Mulya (2017, para. 2) bahwa tanah Papua berbahaya bagi wartawan, kebebasan wartawan sangat terancam, dan karakter yang dominan adalah kekerasan sebagaimana yang dialami oleh informan.
Informan kedua, selaku Ketua AJI Papua periode ini, mengakui bahwa situasi kebebasan pers di Papua tidak pernah baik. Wartawan selalu mendapat tekanan, tekanan dalam bentuk kekerasan dan intimidasi.
Selain itu, adanya pembatasan peliputan pers asing ke Papua membuat Papua menjadi wilayah gelap, sulit untuk diliput (Nahria dkk, 2014). Selain itu, tidak seperti daerah lain di Indonesia, hukum dan lembaga negara seolah tidak bekerja efektif untuk melindungi profesi wartawan di Papua (Mulya, 2014).
2017, para. 2). Informan ketiga yang merupakan pembina AJI Papua juga sepakat bahwa kebebasan pers di Papua masih dangkal. Sama halnya dengan informan pertama dan kedua bahwa kebebasan pers terjadi karena masih adanya kekerasan, diskriminasi, dan pembatasan terhadap jurnalis asing untuk masuk ke Papua. Maka, berbagai upaya dilakukan untuk melindungi jurnalis yang meliput Papua. Salah satu upayanya adalah memperjuangkan agar tidak ada pembatasan dalam meliput Papua, khususnya bagi jurnalis asing. Kebebasan pers asing yang semakin terbuka tanpa adanya pembatasan dapat membuat jurnalis lebih leluasa dalam mengumpulkan berita (Nahria dkk., 2014).
Penelitian terdahulu milik Nahria et al. (2014) menunjukkan hasil bahwa wartawan asing berhak memperoleh kebebasan dalam mencari dan memberikan informasi. Apabila wartawan mengalami pembatasan, maka hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Pers yang menjamin kemerdekaan pers, selain itu pemerintah dinilai sengaja menyembunyikan informasi tentang Papua (Nahria et al., 2014). Oleh karena itu, informan kedua dan ketiga sepakat bahwa membuka akses bagi wartawan asing untuk meliput Papua merupakan cara terbaik agar informasi yang ada tidak tertutupi. Dari keterangan informan di atas, peneliti mengartikan bahwa minimnya kebebasan pers di Papua dari dulu hingga sekarang membuat wartawan dan media di Indonesia maupun di luar Indonesia tidak dapat memberitakan informasi Papua secara detail. Masyarakat umum pun tidak dapat mengetahui kondisi Papua karena keterbatasan informasi (Komarudin, 2016).
Wartawan juga perlu dilindungi agar tidak menjadi trauma dan tetap menjadi bagian dalam menyuarakan suara masyarakat dan kepentingan publik (Malang, 2014).
4.Kesimpulan
Referensi
AJI. (2014). Kode Etik Jurnalis Indonesia. Semarang: Aliansi Jurnalis Independen di Papua. Profesionalisme wartawan dapat dilihat dari bagaimana wartawan memahami dan menaati Kode Etik Jurnalistik untuk menghasilkan berita yang baik. Narasumber ketiga menjelaskan bahwa menjadi wartawan profesional itu sulit karena wartawan harus memiliki cita-cita yang tinggi. Wartawan profesional bekerja dari hati tanpa memikirkan uang atau imbalan. Selain itu, wartawan profesional harus mampu memperlakukan wartawan asli Papua secara adil, menyiapkan sarana belajar bagi pengembangan wartawan asli Papua, dan tidak melakukan diskriminasi terhadap orang asli Papua.
Ketika wartawan dihadapkan pada penentuan peristiwa yang tepat untuk dijadikan berita, masih saja ada kendala, ancaman, dan keterbatasan peliputan. Kendala tersebut berasal dari sisi geografis wilayah Papua dan keterbukaan informasi kepada wartawan dan masyarakat.
Meski begitu, ketiga departemen ini bebas membagikan informasi sesuai kebenaran, dengan penyensoran diri yang minimal atau tidak pernah sama sekali dalam tulisannya, tidak menjalankan fungsinya berdasarkan tuntutan media atau kebutuhan pasar.
Ketiga informan menafsirkan faktor penghambat yang dialami ketika meliput isu HAM Papua.
Mereka masih merasakan terjadinya hambatan, ancaman, kekerasan, bahkan pembunuhan bagi jurnalis yang khusus meliput isu HAM Papua. Selain itu, masih minimnya kebebasan pers asing untuk meliput Papua. Para informan menjelaskan bahwa hingga saat ini, kondisi kebebasan pers di Papua masih sangat kurang. Mereka menunjukkan terjadinya pembatasan pers asing ke Papua seolah-olah pemerintah sengaja menutup informasi tentang Papua. Topik Papua kritis dan telah menjadi isu global untuk dipublikasikan. Maka jurnalis di Papua meminta upaya pemerintah agar akses informasi tentang Papua tidak lagi dibatasi dan memperjuangkan keadilan bagi jurnalis, utamanya yang meliput Papua.
Jurnalis.
AJI. (28 April 2015). Diskusi Kebebasan Pers di Papua. Diambil dari aji.or.id:
https://aji.or.id/read/agenda/41/diskusi-kebebasan-pers-di-papua
Alfraita, A., Widiyani Roosinda, F., & Bilga Ayu Permatasari, D. (2021). Joko Widodo’s anger 104.
di
dalam pembingkaian on line media. Jurnal spektrum Komunikasi, 9(1), 90 -
https://doi.org/10.37826/spektrum.v9i1.139
Ansori, E. T. (2017, April 01). Isu-isu Terkini Jurnalisme Online. Diambil dari
kompasiana.com:https://www.kompasiana.com/elviratria/58df2ea32f7a61601674e3 0e/isu- terkini-jurnalisme-online?page=all
Armenia, R. (2015, 10 Mei). Jokowi Izinkan Jurnalis Asing Meliput Papua. Diambil dari CNNIndonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150510135725-20-
52357/jokowi-izinkan-jurnalis-asing-meliput-ke-papua/
Artini. A (2011). Self Censorship dan Tanggung Jawab Sosial Media Massa. Jurnal Studi Komunikasi dan Media, 15(1), 111-125.
Baran, S. J., & Davis, D, K. (2010). Teori Fundamental, Pergolakan Komunikasi, Dan Dampaknya Future Of The Mass. Jakarta: Salemba Humanika.
Herfan, J. (2015). Liputan Investigasi, Profesionalisme Jurnalis Investigasi, dan Interaksi Antara Struktur dan Agensi (Studi Kasus dalam Praktik di Majalah Tempo).
Jurnal Studi Komunikasi dan Media, 19(1), 15-45.
Kahija, Y. F. L. (2017). Penelitian Fenomenologi: Sebuah Jalan Menuju Pemahaman Pengalaman Hidup.
W: http://spektrum.stikosa-aws.ac.id/index.php/spektrum | Alamat: spektrum@stikosa- Yogyakarta: PT Kanisius, 21-30
Komarudin, A. (2016, September 16). Quo Vadis Press Freedom in Papua? Retrieved dari LIPI: http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/kolom- Papua- 2/1078-quo-vadis-kebebasan-pers-di-papua
Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. (2001). Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa Yang Harus Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik. Pantau: Jakarta.
Kuswarno, E. (2009). Metode Penelitian Komunikasi Fenomenologis:
Conceptions, Guidelines, and Research Examples. Bandung: Widya Padjadjaran.
LIPI. (17 Desember 2017). LIPI: Ada Perbedaan Persepsi Mengenai
Kondisi Papua. Diambil dari LIPI: http://lipi.go.id/lipimedia/LIPI-Ada- Perbedaan- Persepsi-Soal-Kondisi-Papua/19620
LIPI. (2017, 19 Desember). Pelanggaran HAM dan Kualitas Pendidikan Papua
dalam sorotan publik. Diambil dari LIPI: http://lipi.go.id/lipimedia/pelanggaran- ham-dan-kualitas-pendidikan- papua-jadi-sorotan-masyarakat/19619
Littlejohn, S, W,. (2014). Theories of Human Communication. Edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika.
Malang, H. (2014). Perlindungan Hukum Jurnalis dalam Meliput Berita Pemerintah dan Publik.
Jurnal Hukum Unsrat 2(1), 1-15.
Manan, A. (2011). Menjelang Sinyal Merah Laporan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen Journalists (AJI) 2011. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen.
McQuail. D (2011). Mass Communication Theory. Edisi 6 Buku 1. Jakarta: Salemba Humanika.
McQuail. (2005). Teori Komunikasi Massa. London: Sage Publishing.
Moleong, L. J. (2011). Qualitative Research Methodology Revised Edition. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulya, E. D. S. (2017). Kebebasan Jurnalis di Papua (Studi Fenomenologi Jurnalis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam Pemberitaan di Papua. (S3)
disertasi, Uin Nama Gunung Bahasa Indonesia:
Douglas Bandung). Diperoleh kembali dari
http://digilib.uinsgd.ac.id/6247/
Nahria, Rismawati, & Siahaan, C. (2014). Kebebasan Pers Dalam Perspektif Jurnalis Di Daerah Konflik (Studi Kasus Pembatasan Akses Jurnalis Asing Di Papua). Retrieved from http://repository.uki.ac.id/1664/
Purnomo, E. (2020). Journalistic Code of Ethics Study by Journalists in Article 6. (Doctoral dissertation, IAIN Metro). Retrieved from Studi Kode Etik Jurnalistik oleh Wartawan
tentang Artikel 6 - Repositori IAIN (metrouniv.ac.id)
Putra, B. S. (2017, 7 Februari). Tingkat kebebasan pers di Papua masih rendah. RAPPLER.
Diperoleh
kembali April 8, Tahun2022, dari https://www.rappler.com/world/bahasa- indonesia/160713-tingkat-kebebasan-pers-papua-rendah/
Putri Aisyiyah. (2019). Hijabers Community: an Effort to Create Feminine Space. Jurnal Spektrum Komunikasi, 7(2), 73-81. https://doi.org/10.37826/spektrum.v7i2.54
Smith, J. A., dkk. (2009). Analisis Fenomenologi Interpretatif. Teori, Metode dan Penelitian. California: SAGE Publications.
Suprihatin. (2019). Identitas Diri Perempuan di Facebook. Jurnal Spektrum Komunikasi, 7(1), 62-77. https://doi.org/10.37826/spektrum.v7i1.30
Tapsell, R. (2012). Trik lama di era baru: Sensor diri dalam jurnalisme Indonesia.
Jurnal Studi Asia, 36(2), 227-245.