STUDI FENOMENOLOGI: PENGALAMAN PSIKOLOGIS
PADA PASANGAN DARI PENDERITA GAGAL GINJAL
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Stephani Romaria Rinanti
NIM: 07 9114 025
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
ii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 31 Agustus 2012. Peneliti,
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 31 Agustus 2012. Peneliti,
v
STUDI FENOMENOLOGI: PENGALAMAN PSIKOLOGIS PADA PASANGAN DARI PENDERITA GAGAL GINJAL
Stephani Romaria Rinanti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengalaman psikologis yang terjadi pada pasangan dari penderita gagal ginjal. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana makna pengalaman psikologis yang terjadi pada pasangan dari penderita gagal ginjal. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif, yaitu analisis fenomenologi interpretatif. Subjek dalam penelitian ini berjumlah empat orang. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara semi terstruktur. Proses validasi yang digunakan adalah member checking, dimana data yang diperoleh dapat dipercaya jika informan merasa bahwa data tersebut mampu menggambarkan realitas yang dialami olehnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman psikologis pada pasangan dari penderita gagal ginjal memiliki dua makna: 1) pengabdian hidup menuju pada kebahagiaan, 2) penyerahan hidup kepada sesuatu yang lebih besar, yaitu Tuhan. Makna tersebut menjadi tujuan pengalaman menuju pemaknaan hidup yang positif.
vi
THE PSYCHOLOGICAL EXPERIENCE OF THE SPOUSE FROM CHRONIC RENAL FAILURE PATIENT: A PHENOMENOLOGICAL
STUDY
Stephani Romaria Rinanti
ABSTRACT
This research aims to seek understanding of psychological experiences of the spouse from chronic renal failure patient. The research question here is how is meaning of psychological experience in the spouse from chronic renal failure patient. This study employed qualitative method, interpretative phenomenology analysis. The subjects of this research are four. The data gathering process was done through semi-structured interview. Data validation was done through member checking, in which the acquired data is reliable when the subjects felt that the data illustrate his/her experiences. Result of the research shows that the psychological experience of the spouse from chronic renal failure patient had two meanings: 1) life devotion to gain happiness, 2) complete life surrender to a greater being, God. Those meanings become the goal experience towards a positive interpretation of life.
vii
HALAMAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma
NAMA : STEPHANI ROMARIA RINANTI NIM : 079114025
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Studi Fenomenologi: Pengalaman Psikologis
pada Pasangan dari Penderita Gagal Ginjal
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 31 Agustus 2012 Yang menyatakan,
viii
KATA PENGANTAR
Tugas akhir ini adalah salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tugas akhir yang
berbentuk skripsi ini dibuat atas kepedulian peneliti terhadap kesehatan mental
dan kepribadian pada pasangan dari penderita Gagal Ginjal Kronis yang menjalani
Hemodialisa.
Berdasarkan pengalaman pribadi sebagai anak dari penderita gagal ginjal
yang mengalami pengalaman psikologisnya sendiri, peneliti berkeinginan untuk
melihat bagaimana fenomena pengalaman psikologis pada pasangan dari
penderita gagal ginjal. Penelitian ini juga merupakan sumbangsih ide dan
penerapan ilmu yang telah didapatkan bagi para pasangan dan keluarga penderita
gagal ginjal serta para medis yang berkaitan.
Akhirnya peneliti memberikan penghargaan yang tinggi pada semua pihak
yang membantu berjalannya penelitian ini dan proses penulisannya sehingga
penelitian ini dapat terwujud dan mampu mewujudkan dirinya. Terima kasih
peneliti haturkan kepada :
1. Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat anugrahNya peneliti mampu
menyelesaikan salah satu proses kehidupan ini dengan baik.
2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, selaku dekan Fakultas Psikologi USD
beserta seluruh staff dosen, dan karyawan, yang telah memberikan
banyak kesempatan, arahan, perhatian, pengalaman, dan dukungan
kepada peneliti dalam memproses diri untuk menjadi lebih dari
ix
3. Ibu P.Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi., M.A., selaku dosen pembimbing
skripsi. Terima kasih atas kesabaran, diskusi, masukan, dan
persahabatan yang diberikan selama proses studi dan pembuatan
penelitian ini.
4. Bpk. V. Didik Suryo H., S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing
akademik dan dosen penguji skripsi yang dengan sedia memberikan
masukan serta kesempatan berdiskusi dalam penyelesaian studi dan
penelitian ini.
5. Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum M.App.Psych., selaku dosen
penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang mendukung
dalam penyelesaian penelitian ini ke arah yang lebih baik.
6. Bpk. De, Ibu Sri, Ibu Was, dan Ibu Dar, yang telah bersedia menjadi
informan dalam penelitian ini. Peristiwa kehidupan menjadi suatu
proses yang perlu dimaknai untuk bisa tetap bersyukur dan berjalan
maju sehingga mampu menjadi manfaat bagi kehidupan bersama.
7. F.A. Soedarta dan Lusia Partidarmanastiti, orang tua yang selalu
memberikan pengalaman, dukungan, doa, dan cara pandang yang
berbeda sehingga membuat peneliti mampu melihat lebih jelas arti
kehidupan ini.
8. Daniel Nurindra Adi, seorang kakak yang mampu memberikan
perhatian terbaik supaya peneliti mau dan mampu kembali melihat ke
dalam diri sendiri sebelum melakukan sesuatu supaya menghasilkan
x
9. Keluarga besar, yang selama ini menjadi salah satu sumber semangat
tersendiri bagi peneliti.
10. Teman-teman seperjuangan angkatan 2007, yang telah banyak
memberikan dinamika kehidupan di balik tembok Fakultas Psikologi
USD. Tanpa kesediaanmu, menjadi bagian di dalamnya tak akan
pernah bisa berarti.
11. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu,
yang membantu peneliti untuk menyelesaikan studi, skripsi, dan
menjalani kehidupan ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tulisan sebagai gambaran ide tidak
akan bisa dimaknai tanpa adanya tujuan yang bermanfaat. Secara sadar peneliti
merasa bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan dengan senang hati diterima demi kepatutan karya
tulis ini. Terima Kasih.
Yogyakarta, 31 Agustus 2012 Peneliti,
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING …………..….. ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………. vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR SKEMA ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ... 10
A. Penderita Gagal Ginjal ... ... 10
1. Pengertian Penderita Gagal Ginjal ... 10
xii
B. Pengalaman Pasangan dari Penderita Penyakit Kronis…….. 14
C. Pertanyaan Penelitian ... 20
BAB III. METODE PENELITIAN ... 22
A. Jenis Penelitian ... 22
B. Fokus Penelitian ... 22
C. Subjek Penelitian ... 23
D. Metode Pengumpulan Data ... 24
E. Metode Analisis Data ... 26
F. Kredibilitas Penelitian ... 28
G. Kode Etik Penelitian ... 29
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 31
A. Kemungkinan Partisipatisasi (Bias) Peneliti ... 31
B. Profil Subjek ... 32
1. Subjek 1 ………... 32
2. Subjek 2 ……….. 34
3. Subjek 3 ……….. 37
4. Subjek 4 ………. . 38
C. Hasil Penelitian ... 41
1. Sikap ketika awal sakit penderita ……… 42
2. Dunia yang dialami dan menjadi titik balik ………. 47
3. Makna hidup pengalaman ………. 51
D. Pembahasan ... 60
xiii
2. Dunia yang dialami dan menjadi titik balik ………... 67
3. Makna hidup pengalaman psikologis pada pasangan dari penderita gagal ginjal ……… 69
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 74
A. Kesimpulan ... 74
B. Saran ... 75
DAFTAR PUSTAKA ... 77
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Panduan Pertanyaan Wawancara ……….. 26
Tabel 2 Rangkuman Deskripsi Informan ... 40
Tabel 3 Jadwal Wawancara ... 41
xv
DAFTAR SKEMA
Skema 1. Pengalaman Psikologis pada
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Informed Concern ………... 81
Lampiran 2 Verbatim Wawancara Informan 1: Pak De ... 82
Lampiran 3 Tabel Tema Utama Informan 1: Pak De... 92
Lampiran 4 Tabel Tema Utama Informan 2: Bu Sri ... 94
Lampiran 5 Tabel Tema Utama Informan 3: Bu Was ... 96
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gagal ginjal merupakan salah satu penyakit kronis. Penyakit kronis
merupakan keadaan sakit yang berlangsung selama 12 bulan atau lebih dan
membutuhkan perawatan intensif baik di rumah sakit maupun di rumah,
beberapa di antaranya dapat menimbulkan keterbatasan serta ketidakmampuan
pada penderita (JAMA dalam Aritonang, 2008). Sedangkan gagal ginjal adalah
sebuah penyakit dimana fungsi organ ginjal tidak berfungsi dengan sempurna
bahkan bisa tidak berfungsi sama sekali dalam hal penyaringan dan
pembuangan elektrolit tubuh serta menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia
tubuh seperti sodium dan kalium dalam darah atau produksi urine (Colvy,
2010). Selain itu, gagal ginjal juga tidak dapat disembuhkan sehingga untuk
mempertahankan hidupnya penderita perlu melakukan terapi pengganti fungsi
ginjal yaitu melakukan cuci darah atau Hemodialisa (HD).
Saat ini, kasus gagal ginjal di Indonesia setiap tahunnya masih
terbilang tinggi, pasalnya masih banyak masyarakat Indonesia tidak menjaga
pola makan dan kesehatan tubuhnya. Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD.
KGH. (dalam Penyakit Gagal Ginjal Menjadi Pembunuh Masaal, 2011)
mengungkapkan berdasarkan data WHO diketahui bahwa pada tahun 2000
hanya 1,1 juta pasien cuci darah, sedangkan pada 2010 sudah mencapai 2,1 juta
Iskandarsyah (2006) dalam penelitiannya mengatakan bahwa
penderita gagal ginjal memiliki permasalahan yang cukup serius dari segi fisik
dan psikis sebagai akibat dari penyakit yang dideritanya. Perubahan fisik yang
dialami oleh penderita gagal ginjal selain akibat dari tidak berfungsinya ginjal
dengan sempurna seperti kelebihan cairan dalam tubuh penderita juga
mengalami permasalahan fisik seperti anemia, tulang mudah rapuh dan
penurunan masa otot (Iskandarsyah, 2006). Keluhan fisik lain yang sering
dialami oleh penderita gagal ginjal bisa berupa kesemutan, gatal-gatal, perut
buncit karena urine tidak bisa keluar, mual, perut buncit, kurang gizi, dan tidak
nafsu makan.
Perubahan psikologis yang dialami oleh penderita gagal ginjal
biasanya berawal dari perasaan tidak terima terhadap kenyataan bahwa dirinya
divonis menderita gagal ginjal. Hal ini mengakibatkan munculnya
perasaan-perasaan lain dalam diri penderita seperti cemas dan takut akan perubahan pola
hidup yang besar seperti kematian, adanya rasa rendah diri dan putus asa
karena menggagap tidak lagi berguna bagi diri sendiri dan orang lain serta tidak
adanya kesempatan untuk kembali sembuh, adanya rasa kecewa dan marah
karena menolak adanya fakta yang terjadi. Semua perasaan ini memuncak dan
akhirnya dapat memicu terjadinya depresi pada penderita gagal ginjal.
Depresi yang dialami oleh penderita mengakibatkan munculnya
tuntutan-tuntutan baru dalam kehidupan penderita. Tuntutan-tuntutan ini
merupakan bentuk dari salah satu simtom mengenai depresi yaitu simtom
keinginan untuk mendapatkan perhatian, bantuan, bimbingan, dan arahan dari
orang lain meskipun nyatanya penderita berusaha menarik diri dari lingkungan
sosial (Beck dalam Iskandarsyah, 2006). Pemenuhan akan
kebutuhan-kebutuhan tersebut hanya bisa dilakukan oleh keluarga yang merupakan
kumpulan orang terdekat dari penderita. Dengan demikian, ternyata dampak
dari penyakit gagal ginjal tersebut tidak hanya dialami oleh penderita, tetapi
dialami juga oleh anggota keluarga yang mendampingi maupun memberikan
perawatan (Berk dalam Widiastuti, 2009).
Lubis (2011) mengatakan bahwa penderita gagal ginjal bukan saja
orang dewasa berusia 40 tahun keatas melainkan ada yang berusia 25 tahun.
Usia penderita pada kisaran tersebut memiliki kemungkinan bahwa penderita
sudah menikah dan memiliki pasangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2008), pasangan berarti pelengkap bagi yang lain sedangkan pasangan hidup
berarti suami atau istri. Pasangan adalah anggota keluarga yang paling dekat,
sehingga dampak depresi dari penderita gagal ginjal juga dirasakan secara jelas
oleh pasangan dari penderita. Hal ini dapat terjadi karena dalam hubungan
perkawinan, pasangan yang berkeluarga memiliki dua ikatan yaitu ikatan lahir
dan ikatan batin (Walgito, 2010).
Ikatan lahir dipahami sebagai ikatan berdasarkan hal-hal yang
nampak seperti peraturan-peraturan sehingga bersifat mengikat. Ikatan batin
dipahami sebagai ikatan yang tidak nampak dan lebih dikenal dengan ikatan
psikologis. Ikatan batin lebih didasarkan pada perasaan cinta, ketulusan, dan
langsung memberikan suatu hubungan dimana setiap pasangan dapat
merasakan satu sama lain, bahkan dalam hal merasakan penderitaan dan
kesadaran akan adanya tanggungjawab sebagai seorang pasangan untuk
memberikan yang terbaik bagi pasangannya. Pada akhirnya kemampuan untuk
berempati dan kesadaran akan tanggungjawab memunculkan beban dalam diri
pasangan.
Ohman dan Soderberg (2004) mengatakan bahwa ketika seseorang
menderita penyakit kronis maka hal tersebut dapat memberikan ancaman
secara langsung pada kondisi kesehatan keluarganya. Pasaribu (2008)
mengatakan bahwa perasaan terbebani muncul karena adanya kesadaran bahwa
penyakit tersebut akan merepotkan, terlebih bagi keluarga yang masih
membutuhkan tenaga dan pikiran penderita. Hal ini didukung oleh Sutrisno
(dalam Pasaribu, 2008) yang mengatakan bahwa pihak keluarga akan terbebani
karena adanya biaya yang besar dan waktu yang tersita dalam perawatan
penderita tersebut. Bakas, Austin, Lewis, dan Chadwick (dalam Pasaribu,
2008) mengatakan juga bahwa keluarga yang menjadi perawat penderita
cenderung tidak siap dengan perubahan emosi dan fisik saat sedang merawat
seseorang yang memiliki ketidakmampuan fisik.
Hal serupa nampak pada pengalaman ST yang didapatkan melalui
juga kan kerja, jadi mau ngga mau ya Ibu habis pulang kerja langsung tetep ngurus Bapak. Sedangkan kakak udah kerja di luar kota, adek saya masih SMP, dan saya sendiri kuliah jadi ya ngga bisa selalu bantuin Ibu. Ibu sering pesen ke kita-kita buat bisa mandiri dan berusaha ngga nambahin masalah, karena Bapak udah bikin Ibu cukup bingung dan sedih,” (anak ST, 2010).
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya beban tambahan yang dialami oleh
ST. Di sini, ST memiliki tugas tambahan yaitu tetap menjalankan pekerjaan
sehari-hari lalu berusaha memenuhi kebutuhan suaminya yang menderita gagal
ginjal. Kebutuhan ini bisa termasuk tuntutan-tuntutan yang muncul dari
penderita ataupun kebutuhan dari perubahan fisik yang terjadi pada penderita.
Selain itu, dijelaskan bahwa ST sering merasakan kesedihan karena ikut
merasakan penderitaan yang dirasakan oleh sang suami, seperti perubahan pola
hidup yang tidak lagi sekuat dulu. Kesedihan ini secara tidak langsung
membuat ST mengalami kebingungan dan kerepotan sehingga sedikit meminta
anak-anaknya untuk bisa mandiri dan tidak lagi menambahkan beban sehingga
ST tidak tambah tertekan.
Stephen dan Clark (dalam Pasaribu, 2008) menambahkan bahwa
pasangan yang menjadi perawat dari pasangannya yang menderita penyakit
kronis memiliki tantangan yang serius terlebih dalam hal penyesuaian diri. Hal
ini dapat dijelaskan melalui penelitian Ohman dan Soderberg (2004) yang
mengatakan bahwa pasangan mengambil tanggung jawab penuh terhadap
penderita sehingga kewajiban dan kehidupan pasangan menjadi nomor dua
setelah kehidupan penderita. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya
oleh peneliti sekitar pertengahan bulan Februari tahun 2011 di salah satu
Rumah Sakit di Yogyakarta.
“Saya bingung mbak harus bagaimana dengan istri saya. Dia itu kalau di rumah sekarang rewel dan marah-marah. Kalau keinginannya tidak terpenuhi, dia marah padahal kondisi tidak memungkinkan untuk memenuhi keinginannya. Jadi, terkadang saya bingung harus bagaimana. Saya ingin membuat istri saya senang dan nyaman, tapi ada tuntutan lain di luar yang sebenarnya istri saya sudah tahu akan hal itu, misalnya pekerjaan saya,” (DK, 2010).
Pernyataan tersebut secara jelas menunjukkan bahwa sang istri sebagai
penderita gagal ginjal mengalami perubahan perilaku, yaitu sering marah dan
rewel jika keinginannya tidak terpenuhi. DK yang merupakan pasangan dan
orang terdekat dengan penderita merasa perlu untuk memenuhi kebutuhan
istrinya. Dalam usaha memenuhi kebutuhan sang istri DK cukup mengalami
kebingungan. Hal ini terjadi karena DK juga memiliki tuntutan yang lain, yaitu
pekerjaan rutin yang menjadi tanggungjawabnya. Tuntutan istri yang meminta
DK untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya menyebabkan DK mengalami
kebingungan bagaimana harus bersikap terhadap sang istri, dirinya sendiri, dan
tuntutan-tuntutan lain yang juga berhubungan dengan kebutuhan keluarganya.
Sehingga DK menjadi lebih labil dan tertekan.
Rogers (dalam Feist dan Feist, 2010) mengatakan bahwa pengalaman
yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak pernah diperhitungkan sebelumnya
membuat individu merasa gelisah karena tidak siap untuk menghadapinya.
Hal ini bisa mengakibatkan pasangan mengalami stress pada hubungan yang
tidak dapat dihindarkan (Cavanaugh dan Blanchard dalam Pasaribu, 2008).
oleh pasangan akan mempengaruhi kesehatan mereka sendiri yaitu imun yang
rendah, hormon stress yang tinggi, bahkan bisa memunculkan tingkat
kematian.
Fenomena-fenomena dalam pengalaman pasangan menghadapi
kenyataan tersebut menunjukkan adanya perasaan terancam akan diri
pasangan. Hal ini dikarenakan pasangan tidak mampu melihat dan memahami
realitas secara utuh. Dalam hal ini, individu membutuhkan makna dari
pengalamannya sehingga mampu memproses diri untuk menjadi lebih baik
dalam pengalaman yang terjadi. Dengan demikian, makna menjadi modal
bagi individu untuk mampu memproses dirinya menjadi pribadi yang utuh
menuju pada pemaknaan hidup yang positif. Makna juga dimengerti sebagai
tujuan hidup yang perlu dicari karena menyebabkan kehidupan menjadi lebih
berarti dan berharga (Bastaman, 1996).
Berdasarkan pada penggambaran tersebut maka peneliti merasa bahwa
proses pengalaman pasangan perlu dieksplorasi untuk menemukan makna
dari pengalaman yang terjadi. Segala gejala psikologis yang muncul pada
pasangan akan mengarahkan pasangan pada tujuan hidup. Makna yang
ditemukan menyebabkan individu terhindar dari keputusasaan (Bastaman,
1996). Berdasarkan pada hal-hal tersebut, peneliti merasa penting untuk
melihat bagaimana makna pada pasangan dari penderita gagal ginjal,
bagaimana mereka berproses hingga menemukan makna menuju pada kondisi
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah bagaimana makna pengalaman psikologis yang terjadi
pada pasangan dari penderita gagal ginjal?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami makna pengalaman
psikologis yang terjadi pada pasangan dari penderita gagal ginjal dalam
mencapai pemaknaan hidup yang positif.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan dibidang
psikologi khususnya psikologi kesehatan dalam memberikan
gambaran akan makna pengalaman psikologis pada pasangan dari
penderita gagal ginjal. Hal ini bertujuan supaya psikologi kesehatan
mampu memahami makna dari pengalaman psikologis pada
pasangan dari penderita gagal ginjal sehingga bisa membantu
pasangan dari penderita gagal ginjal atau penyakit kronis lain untuk
mampu melihat realitas secara utuh dan mampu menentukan sikap
2. Manfaat Praktis
2.1.Penelitian ini bermanfaat bagi pasangan penderita penyakit
gagal ginjal atau penyakit kronis lain dan keluarga penderita
untuk memahami tentang makna pengalaman psikologis pada
pasangan dari penderita gagal ginjal, sehingga para pasangan
mampu saling belajar dan berbagi pengalaman serta mampu
mengusahakan pemaknaan hidup yang positif dalam diri untuk
melihat realitas secara lebih utuh.
2.2.Penelitian ini juga membantu pihak medis dan psikolog
kesehatan untuk mampu memberikan bantuan atau tindakan
yang tepat kepada pasangan dari penderita penyakit gagal ginjal
atau penyakit kronis yang lain berkaitan dengan makna
pengalaman psikologis pada pasangan dari penderita gagal
10 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penderita Gagal Ginjal
1. Pengertian Penderita Gagal Ginjal
Ginjal merupakan organ tubuh yang sangat penting karena
memainkan peran kunci dalam tubuh (Colvy, 2010). Ginjal tidak hanya
berfungsi sebagai penyaring darah dan mengeluarkan produk-produk sisa,
namun ginjal juga memiliki peran dalam menyeimbangkan elektrolit
dalam tubuh seperti sodium, potassium, dan asam-basa, mengontrol
tekanan darah, dan menstimulasi produksi sel-sel darah merah (Colvy,
2010). Kerusakan atau gangguan pada ginjal akan menimbulkan
permasalahan pada fungsi ginjal sehingga berakibat buruk pada daya tahan
tubuh. Akibatnya, kinerja tubuh mengalami penurunan seperti mudah
lelah, lemas, dan bisa mengakibatkan penyakit tertentu bahkan penyakit
kronis. Salah satu penyakit kerusakan ginjal yang saat ini banyak diderita
adalah gagal ginjal.
Dalam bukunya, Colvy (2010) mengatakan bahwa gagal ginjal
merupakan sebuah penyakit dimana fungsi organ ginjal tidak berfungsi
dengan sempurna bahkan bisa tidak berfungsi sama sekali dalam hal
penyaringan pembuangan elektrolit tubuh serta menjaga keseimbangan
cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium dalam darah atau
11
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed. ke-4, 2008), penderita
diartikan sebagai orang yang menderita (kesusahan, sakit, cacat, dsb).
Sehingga penderita gagal ginjal dapat dimengerti sebagai orang yang
mengalami sakit gagal ginjal dimana fungsi organ ginjalnya tidak
berfungsi dengan sempurna.
2. Perubahan yang terjadi pada Penderita Gagal Ginjal
Penyakit gagal ginjal memberikan masa-masa yang sulit bagi
penderitanya. Dalam penelitiannya, Yana (2011) menjelaskan bahwa gagal
ginjal bukanlah penyakit yang bisa disembuhkan sehingga penderitanya
perlu mempertahankan hidup dengan melakukan terapi pengganti fungsi
ginjal yaitu melakukan cuci darah atau Hemodialisa (HD). Hal ini
didukung oleh Colvy (2010) yang menjelaskan bahwa hemodialisa adalah
terapi yang bertujuan menggantikan fungsi ginjal yaitu membuang zat sisa
dan membuang kelebihan cairan dalam tubuh dengan menggunakan mesin dialiser yang berfungsi sebagai “ginjal buatan”. Proses hemodialisa ini
dilakukan sebanyak 1-3 kali dalam seminggu di rumah sakit dan setiap
prosesnya membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam. Proses yang lama serta
adanya keharusan untuk melakukannya secara rutin tentu saja merupakan
tekanan tersendiri bagi penderita gagal ginjal.
Tekanan yang dialami oleh penderita gagal ginjal selama menjalani
proses HD bisa mengakibatkan perubahan fisik dan psikologis dalam diri
maupun orang lain. Iskandarsyah (2006) menjelaskan bahwa perubahan
fisik yang dialami oleh penderita gagal ginjal selain akibat dari tidak
berfungsinya ginjal dengan sempurna seperti kelebihan cairan dalam tubuh
penderita juga mengalami permasalahan fisik seperti anemia, tulang
mudah rapuh dan penurunan masa otot. Keluhan fisik lain yang sering
dialami oleh penderita gagal ginjal bisa berupa kesemutan, gatal-gatal,
perut buncit karena urine tidak bisa keluar, mual dan muntah, sakit kepala,
sakit dada, sakit punggung demam dan menggigil.
Penelitian Cengic, Resic, Spasovki, Avdic, dan Alajbegovic (2010)
menyatakan bahwa hampir semua penderita gagal ginjal menderita
gangguan tidur singkat. Gangguan tidur yang sering dialami adalah
insomnia, terjadi pembalikan antara waktu tidur siang dan malam seperti
kantuk yang berlebihan di siang hari, mimpi buruk, gangguan pernafasan
sehingga mengakibatkan munculnya dengkuran di saat tidur. Selain itu,
Suwitra (dalam Yana, 2011) menambahkan adanya komplikasi fisik yang
jarang terjadi namun bisa sangat membahayakan nyawa penderita adalah
kejang, emboli udara, tamponade jantung, serta pendarahan intrakranial.
Yana (2011) menjelaskan bahwa perubahan psikologis yang
dialami oleh penderita gagal ginjal biasanya dipicu dari perasaan tidak
terima terhadap kenyataan bahwa dirinya divonis menderita gagal ginjal.
Hal ini didukung oleh penelitian Iskandarsyah (2006) bahwa perasaan
tidak terima terhadap kenyataan tersebut mengakibatkan munculnya
perubahan pola hidup yang besar seperti kematian, adanya rasa rendah diri
dan putus asa karena menggagap tidak lagi berguna bagi diri sendiri dan
orang lain serta tidak adanya kesempatan untuk kembali sembuh, adanya
rasa kecewa dan marah karena menolak adanya fakta yang terjadi. Semua
perasaan ini memuncak dan akhirnya memicu terjadinya depresi pada
penderita gagal ginjal.
Depresi secara psikologis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(ed. ke-4, 2008), dimengerti sebagai gangguan jiwa pada seseorang yang
ditandai dengan perasaan yang merosot (seperti muram, sedih, tertekan,
kecewa, dll). Sedangkan arti depresi dalam Kamus Psikologi adalah suara
hati yang dicirikan perasaan tidak nyaman, sebuah perasaan murung,
sebuah punurunan di dalam aktivitas maupun reaktivitas, pesimisme,
kesedihan, dan simtom-simtom terkait (Reber dan Reber, 2010).
Berdasarkan dua arti tersebut, maka depresi dapat disimpulkan sebagai
gangguan jiwa atau suara hati seseorang yang ditandai dengan perasaan
yang merosot, tidak nyaman, sebuah perasaan murung, sebuah penurunan
di dalam aktivitas maupun reaktivitas, pesimisme, kesedihan, dan
simtom-simtom terkait.
Arti depresi memang memiliki kecenderungan-kecenderungan
perilaku yang negatif, namun secara tidak langsung penderita yang
mengalami depresi dalam hal ini adalah penderita gagal ginjal tenyata juga
memiliki keinginan akan adanya motivasi. Hal ini nampak jelas pada salah
2006), yaitu simptom motivasional. Simptom ini menjelaskan bahwa para
penderita depresi sangat berkeinginan untuk mendapatkan perhatian,
bantuan, bimbingan, dan arahan dari orang lain meskipun nyatanya
penderita berusaha menarik diri dari lingkungan sosial dan pola aktivitas
yang rutin. Secara lebih ekstrim, mereka bisa menumbuhkan harapan
positif dari harapan negatif, seperti “Saya adalah orang yang menderita,”
menjadi “Saya paling menderita dan saya harus bahagia”. Akibat dari
penarikan diri yang dilakukan pada lingkungan sosial, pola aktivitas yang
rutin, keinginan dalam bentuk harapan positif yang berkelanjutan secara
otomatis membawa dampak pada orang-orang terdekat, dalam hal ini
adalah keluarga. Berdasarkan data, Lubis (2011) menyatakan bahwa
penderita gagal ginjal tidak saja orang dewasa berusia 40 tahun keatas
melainkan ada yang berusia 25 tahun dan dengan usia demikian ada
kemungkinan bahwa penderita sudah menikah. Hal ini menjelaskan bahwa
orang terdekat yang lebih intens ditemui adalah pasangan dari si penderita.
Sehingga kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari penderita tersebut
menjadi tuntutan tersendiri bagi pasangannya dalam hal memenuhinya.
B. Pengalaman Pasangan dari Penderita Penyakit Kronis
Ohman dan Soderberg (2004) mengatakan bahwa ketika seseorang
menderita penyakit kronis maka hal tersebut dapat memberikan ancaman
secara langsung pada kondisi kesehatan keluarganya. Hal ini dikarenakan
penderita maupun bagi kehidupan keluarga. Muliadinata dan Partasari (2007)
mengatakan bahwa penelitian terhadap keluarga dari penderita penyakit
kronis masih jarang ditemukan, padahal keluargapun merasakan beban yang
sama beratnya dengan yang dirasakan oleh penderita. Beban ini diawali oleh
adanya kenyataan bahwa salah satu anggota keluarga menderita penyakit
kronis. Selain itu, Pasaribu (2008) mengatakan bahwa perasaan terbebani
muncul karena adanya kesadaran bahwa penyakit tersebut akan merepotkan,
terlebih bagi keluarga yang masih membutuhkan tenaga dan pikiran
penderita. Hal ini didukung oleh Sutrisno (dalam Pasaribu, 2008) yang
mengatakan bahwa pihak keluarga akan terbebani karena adanya biaya yang
besar dan waktu yang tersita dalam perawatan penderita tersebut. Bakas,
Austin, Lewis, dan Chadwick (dalam Pasaribu, 2008) juga mengatakan
bahwa keluarga yang menjadi perawat penderita cenderung tidak siap dengan
perubahan emosi dan fisik saat sedang merawat seseorang yang memiliki
ketidakmampuan fisik.
Perasaan cemas dan adanya beban dalam menghadapi kenyataan
penderita yang sakit kronis akan mengakibatkan adanya ketidaksesuaian
dalam diri pasangan. Stephen dan Clark (dalam Pasaribu, 2008) mengatakan
bahwa pasangan yang menjadi perawat dari pasangannya yang menderita
penyakit kronis memiliki tatangan yang serius terlebih dalam hal penyesuaian
diri. Penelitian Ohman dan Soderberg (2004) juga mengatakan bahwa
kewajiban dan kehidupan pasangan menjadi nomor dua setelah kehidupan
penderita.
Hal ini juga dapat terjadi pada pasangan dari penderita gagal ginjal
karena gagal ginjal termasuk penyakit kronis. Penderita gagal ginjal
mengalami perubahan secara fisik dan psikis. Perubahan tersebut
memunculkan tuntutan-tuntutan kepada pasangan untuk dipenuhi. Pasangan
sebagai anggota keluarga terdekat dan telah diikatkan dalam pernikahan
merasa perlu untuk memenuhi tuntutan-tuntutan penderita tersebut dan ingin
membahagiakan penderita.
Tanggungjawab baru pasangan tersebut dapat memicu munculnya
berbagai dampak dalam proses perawatan atau pendampingan penderita.
Cavanaugh dan Blanchard (dalam Pasaribu, 2008) mengatakan bahwa
pasangan yang merawat akan mengalami stress pada hubungan yang tidak
dapat dihindarkan. Sedangkan menurut Saravino (dalam Widiastuti, 2009),
stress yang dialami oleh pasangan akan mempengaruhi kesehatan mereka
sendiri yaitu imun yang rendah, hormon stress yang tinggi, bahkan bisa
memunculkan tingkat kematian. Meski demikian, Levinas (dalam Ohman &
Soderberg, 2004) menegaskan bahwa manusia tidak akan bisa melepaskan
diri dari tanggung jawab karena tidak ada yang bisa menggantikan tempat
manusia tersebut. Kenyataan ini dapat mengakibatkan munculnya
inkongruensi dalam diri pasangan.
Inkongruensi dimengerti sebagai tidak adanya kesesuaian yang baik
dimengerti sebagai keadaan “diri” sebagaimana adanya jika sesuatunya
berjalan dengan baik (Rogers dalam Boeree, 2006). Sedangkan diri ideal
dimengerti sebagai pandangan seseorang atas dirinya berdasarkan
syarat-syarat dan kepatuhan yang ada di luar dirinya, misalnya keinginan masyarakat
(Rogers dalam Boeree, 2006). Rogers (dalam Gari dan Azizi, 1998)
mengatakan bahwa inkongruensi merupakan indikasi ketidakpuasan,
gangguan ambiguitas, dan kebingungan dalam diri seseorang. Inkongruensi
merupakan bentukan dari manusia yang tidak sehat atau manusia yang
bermasalah. Hal ini menunjukkan adanya kondisi yang tidak seimbang
dimana pasangan tidak siap menerima kenyataan yang terjadi dengan segala
aktivitas baru yang menyertainya sebagai rutinitas pasangan.
DesRosier, Catanzaro, and Piller, O’Brien, Robinson, and Scholte op
Reimer, de Haan, Rijinders, Limburg, and van den Bos (dalam Cheung &
Hocking, 2004) menyatakan bahwa para pasangan yang menjadi perawat bagi
pasangannya yang menderita penyakit kronis merasa bahwa mereka
kehilangan waktu untuk diri mereka sendiri, kehilangan gaya hidup, dan
kehilangan hubungan sosial. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ohman
dan Soderberg (2004) yang mengatakan bahwa pasangan merasa memiliki
hidup yang kering. Mereka tidak bisa lagi merasakan sukacita yang timbul
dari hubungan sosial dengan teman dan kegiatan mereka karena kebebasan
mereka mulai terbatas.
Hal ini sesuai dengan Rogers (dalam Info Seputar Skripsi, 2011) yang
terancam. Selain itu, Rogers (dalam Feist dan Feist, 2010) mengatakan bahwa
individu memiliki diri riil yang dipengaruhi oleh pengalaman. Pengalaman
yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak pernah diperhitungkan sebelumnya
mengakibatkan individu merasa gelisah karena tidak siap untuk
menghadapinya.
Kegelisahan ini secara tidak langsung dapat memunculkan depresi dan
kebingungan pada diri pasangan penderita gagal ginjal. Rogers (dalam
Boeree, 2006) mengatakan bahwa jika seseorang mengalami inkongruensi
maka dirinya berada pada situasi yang mengancam. Kondisi mengancam ini
akan membawa seseorang pada kecemasan. Kecemasan adalah kondisi yang
tidak menyenangkan atau adanya tekanan dari suatu sumber yang tidak
diketahui (Rogers dalam Feist dan Feist, 2010). Hal ini terjadi karena
pasangan belum memahami realitas yang terjadi secara utuh.
Menanggapi perasaan-perasaan yang muncul tersebut, pasangan perlu
berusaha untuk memahami penyakit yang diderita oleh pasangannya yang
sakit. Hal ini dijelaskan oleh Cheung dan Hocking (2004) serta Ohman dan
Soderberg (2004) bahwa pasangan perlu untuk bisa menyikapi segala
perubahan yang terjadi. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan
merombak pola pikir. Rogers (dalam Feist dan Feist, 2010) menjelaskan
bahwa seseorang membutuhkan kesadaran untuk bisa terlepas dari kondisi
terancam dan cemas. Kesadaran dibutuhkan agar pasangan mampu melihat
Keterbukaan yang terjadi mampu memberikan pemaknaan pada pengalaman
pasangan.
Makna dimengerti sebagai tujuan hidup yang perlu dicari dalam proses
kehidupan karena menyebabkan kehidupan tersebut menjadi lebih berarti dan
berharga (Bastaman, 1996). Makna yang ditemukan akan menyebabkan
individu terhindar dari keputusasaan (Bastaman, 1996). Bastaman (1996)
menjelaskan bahwa penghayatan individu akan makna nampak pada
perilaku-perilaku yang muncul, yaitu: 1) menjalani hidup dengan semangat, 2)
memiliki tujuan hidup yang jelas, 3) merasakan kemajuan yang telah
diperoleh, 4) dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, 4) menyadari
bahwa makna hidup dapat ditemukan, 5) mampu bersikap sabar dan tabah
dalam keadaan apapun, 6) dan benar-benar menghargai kehidupan.
Beberapa literatur sebelumnya yang berkaitan dengan penghayatan
makna nampak pada penelitian Ohman dan Soderberg (2004) yang
mengatakan bahwa pasangan akan selalu berusaha untuk memberikan
bantuan kepada penderita. Pasangan tetap berjuang untuk mendapatkan
kekuatan dan tidak ingin meninggalkan tanggung jawabnya meskipun banyak
perasaan-perasaan negatif yang muncul disertai kondisi fisik yang kian
menurun. Ohman dan Soderberg (2004) juga menjelaskan bahwa pasangan
berjuang untuk tetap memiliki kehidupan yang normal. Salah satu usaha
tersebut adalah dengan mengkondisikan rumah menjadi lebih nyaman. Hal ini
sesuai dengan Levinas (dalam Ohman & Soderberg, 2004) yang mengatakan
seseorang dapat merasakan sukacita, penderitaan, keiintiman, dan
kelembutan.
Berdasarkan pada literatur-literatur sebelumnya, nampak adanya proses
pengalaman yang terjadi pada pasangan dari penderita penyakit kronis. Meski
demikian, rangkaian dari proses pengalaman psikologis yang terjadi belum
terankai dengan jelas sehingga pemaknaan terhadap pengalaman belum
terungkap. Berdasarkan hal tersebut, peneliti merasa perlu untuk melakukan
penelitian mengenai makna pengalaman psikologis pada pasangan dari
penderita gagal ginjal.
C. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian merupakan suatu hal yang penting dan mendasar
dalam penelitian kualitatif. Creswell (1998) menjelaskan bahwa ada dua
macam pertanyaan penelitian pada penelitian kualitatif yang akan
memperjelas tujuan dari penelitian ini, yaitu:
1. Central Question
Central question merupakan pertanyaan utama pada penelitian.
Central question dalam penelitian ini adalah bagaimana makna
pengalaman psikologis yang terjadi pada pasangan dari penderita gagal
ginjal?
2. Subquestion
Subquestion adalah pertanyaan yang mengarah pada pertanyaan
2.1.Bagaimana sikap pasangan ketika awal sakit penderita?
2.2.Bagaimana dunia yang dialami pasangan?
22 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitiatif
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian analisis fenomenologi
interpretatif (AFI).
Penelitian AFI memiliki dua tahapan, pertama adalah proses
fenomenologi dimana informan perlu berusaha memahami kembali dunianya
sesuai dengan pengalaman yang terjadi. Tahap kedua adalah proses
interpretatif dimana peneliti akan menanggapi pengalaman tersebut dengan
berusaha berada pada posisi informan sehingga mampu melihat “seperti apa”
peristiwa yang terjadi dari sudut pandang informan dan dapat memahaminya
(Smith, 2009). Proses ini diharapkan dapat membantu peneliti agar mampu
memahami bagaimana informan memandang, berpikir, merasakan, dan
menentukan sikap dalam peristiwa yang terjadi sehingga didapatkanlah data
yang lebih terperinci & mendalam tentang proses psikologis yang terjadi
dalam dirinya yang berdasarkan pengalamannya tersebut.
B. Fokus Penelitian
Fokus pada penelitian ini adalah makna pengalaman psikologis pada
pasangan dari penderita gagal ginjal. Pengalaman psikologis pasangan dari
diperoleh dari partisipasi di dalam fenomena sakit gagal ginjal penderita yang
berkaitan dengan sifat mental dari informan. Pasangan dari penderita gagal
ginjal mengalami suatu pengalaman yang kemungkinan besar akan
berpengaruh pada kehidupannya sehingga ada perubahan pada perkembangan
pembentukan dirinya, baik dari struktur dan proses yang dialami. Proses ini
akan memunculkan pemaknaan sebagai bentuk dari pengalaman psikologis
yang terjadi sehingga pasangan mampu melihat realita secara lebih utuh &
bersikap secara lebih tepat. Makna adalah suatu tujuan yang dianggap penting
sehingga mampu menuju pada kebahagiaan yang berarti.
C. Subjek Penelitian
Informan penelitian ini adalah pasangan dari penderita gagal ginjal.
Informan yang dipilih adalah yang memiliki pasangan yang menderita gagal
ginjal dan telah menjalani HD selama ± 1-3 tahun. Hal ini dikarenakan
peneliti merasa bahwa waktu ± 1-3 tahun merupakan waktu yang masih baru
bagi informan untuk memproses diri seperti beradaptasi dengan penyakit
penderita. Penderita yang sudah menjalani HD merupakan seseorang yang
menderita Gagal Ginjal Kronik (GGK) atau sering disebut dengan Chronic
Renal Failure (CRF). Gagal ginjal kronis merupakan penyakit gagal ginjal
yang terjadi secara perlahan-lahan dan tidak dapat disembuhkan.
Pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan criterion
sampling. Criterion sampling merupakan suatu cara penentuan informan yang
dalam penelitian ini adalah pasangan dari penderita gagal ginjal yang
menjalani HD. Selain itu, pemilihan informan dalam penelitian ini juga
menggunakan theorical sampling. Theorical sampling ini merupakan suatu
cara penentuan informan yang didasarkan pada pemeriksaan peneliti terhadap
data informan dimana sudah tidak ditemukannya data baru untuk menambah
informasi dalam penelitian (Creswell, 1998).
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan metode wawancara. Wawancara yang dilakukan bisa lebih dari
satu kali pada satu informan. Wawancara yang digunakan adalah wawancara
semi-terstruktur yaitu suatu wawancara yang memiliki daftar pertanyaan yang
menjadi panduan untuk melakukan wawancara (Smith, 2009). Wawancara
semi-terstruktur bukanlah suatu wawancara yang kaku sehingga dalam
melakukan wawancara, peneliti lebih memiliki kebebasan untuk menanyakan
lebih jauh mengenai bagian cerita yang menarik atau dirasa kurang mampu
dimengerti. Hal ini tentu saja membutuhkan suatu hubungan yang baik antara
peneliti dengan informan, selain itu wawancara juga lebih menjadi milik
informan dimana wawancara mengikuti minat atau perhatian informan
(Smith, 2009).
Proses pengumpulan data wawancara yang dilakukan adalah dengan
pola “zig-zag” (Creswell, 1998). Pola ini berarti peneliti mengumpulkan
lapangan untuk mendapatkan informasi tambahan hingga akhirnya dianalisis
kembali, dan begitu seterusnya hingga informasi yang dibutuhkan dirasa
cukup mampu menggambarkan pengalaman informan secara utuh (Creswell,
1998). Data wawancara akan direkam menggunakan digital recorder yang
nanti akan disalin dalam transkip wawancara verbatim
Berdasarkan metode pengumpulan tersebut maka peneliti merancang
proses pengambilan/pengumpulan data dengan cara sebagai berikut:
1. Menentukan informan penelitian dan mencari informan yang sesuai
dengan kriteria penelitian yang dibutuhkan.
2. Menemui para informan satu per satu dan memberitahukan mengenai
kebutuhan peneliti terkait dengan usaha memperoleh data.
3. Menjelaskan kepada informan mengenai tujuan penelitian.
4. Meminta bantuan kepada informan supaya bersedia menjadi informan
penelitian.
5. Melakukan rapport.
6. Membuat informed concent sebagai pernyataan tertulis akan kesediaan
sebagai informan dengan segala kesepakatan yang telah dijelaskan
sebelumnya.
7. Menanyakan kesediaan waktu informan untuk melakukan wawancara.
8. Datang ke rumah setiap informan untuk melakukan wawancara secara
9. Setiap akhir wawancara, peneliti selalu berusaha untuk membuat skema
sederhana dari cerita informan sampai informan menyetujui skema
tersebut.
10.Informan membuat verbatim yang akan diserahkan kepada informan
untuk diperiksa apakah informan berkenan dengan verbatim tersebut
atau tidak. Jika tidak maka peneliti akan menggantinya dan kembali
menyerahkan kepada informan untuk diperiksa. Begitu seterusnya
hingga informan merasa verbatim tersebut pantas.
11.Peneliti membuat skema yang lebih rinci mengenai verbatim yang ada
di saat wawancara terakhir sampai informan menyetujuinya.
Tabel 1. Panduan Pertanyaan Wawancara
1. Bagaimana riwayat penyakit penderita? 2. Apa yang terjadi?
a. Apa yang terjadi pada penderita setelah dinyatakan GG? b. Bagaimana pasangan menyikapi sakit GG penderita?
3. Apa pendapat dan perasaan pasangan tentang penyakit penderita? 4. Apa yang pasangan lakukan menanggapi penyakit penderita? 5. Apa harapan pasangan ke depan berkaitan dengan sakit penderita?
E. Metode Analisis Data
Penelitian analisis interpretative fenomenologis menekankan pada
analisis yang berkempentingan untuk mempelajari sesuatu mengenai dunia
psikologis informan (Smith, 2009). Langkah-langkah dalam metode analisis
1. Mencari tema-tema dalam kasus pertama
Transkip verbatim dibaca berulang-ulang. Dalam penulisannya
akan dibuatkan kolom yang akan terbagi menjadi tiga bagian. Bagian
tengah akan menjadi tulisan transkrip verbatim. Sebelah kiri akan
menjadi bagian untuk melampirkan keterangan yang dianggap menarik
dan bermakna dalam cerita informan. Hal ini dilakukan sampai transkrip
pertama selesai dan kembali ke awal transkrip untuk mengisi kolom
sebelah kanan. Kolom sebelah kanan ini akan diisi dengan tema-tema
yang muncul. Tema-tema ini merupakan transformasi dari cerita yang
ada menjadi kualitas esensial dari apa yang ditemukan dalam teks. Dua
tahapan ini dilakukan terus menerus hingga semua transkrip verbatim
selesai.
2. Mengaitkan tema-tema yang ada
Tema-tema yang muncul dituliskan dalam selembar kertas dan
dicari hubungan satu dengan yang lain. Penulisan pertama dilakukan
dengan mengurutkan secara kronologis, didasarkan pada urutan
kemunculan di dalam transkrip verbatim. Setelah itu, tahap berikutnya
adalah dengan mengelompokan tema dengan lebih bersifat analitis atau
teoritis, sehingga menjadi lebih jelas hubungan tiap tema yang ada.
Tahapan ini akan membagi tema-tema menjadi beberapa kelompok yang
dianggap sesuai satu sama lain. Setelah itu, tahapan berikutnya adalah
memberikan tabel tema pada kelompk tema-tema tadi.
yang dianggap kuat dan tidak, serta menjadi mudah untuk diurutkan.
Pada tahapan ini, jika ditemukan ada tema yang dianggap tidak relevan
dengan fokus penelitian maka bisa dihilangkan atau dibuang dengan
melihat lagi transkrip verbatim untuk memastikan bahwa tema tersebut
memang bisa dihilangkan.
3. Melanjutkan analisis dengan kasus-kasus lain
Transkrip verbatim yang telah dibuat sampai pada tabel tema bisa
menjadi suatu acuan untuk mengerjakan transkrip verbatim selanjutnya.
Hingga akhirnya semua transkrip verbatim memiliki tabel tema yang
nantinya akan digabungkan dari semua transkrip verbatim informan
hingga didaptkan tema-tema pokok.
F. Kredibilitas Penelitian
Kredibilitas dalam penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya
mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting,
proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Konsep
kredibilitas yang dipakai pada penelitian ini meminjam dari penelitian
Humphrey (dalam Moustakas, 1994) mengenai “Pencarian untuk Makna
Hidup”. Humphrey menuliskan kembali keseluruhan deskriptif dari semua
data deskripsi yang telah dianalisis secara struktural. Setelah itu, hasil
tersebut diserahkan kembali pada informan untuk mendapatkan feedback.
Proses mendapatkan kredibilitas data dalam penelitian ini dilakukan
dengan memberikan semua hasil verbatim kepada informan. Informan
diberikan hak untuk menyetujui atau tidak menyetujui tulisan dalam verbatim
tersebut. Jika informan tidak menyetujui maka tulisan di verbatim akan
dirubah sesuai dengan keinginan informan. Jika hasil verbatim telah disetujui
maka peneliti akan mencocokan pemahaman peneliti terhadap pengalaman
informan di akhir wawancara. Jika proses ini disetujui oleh informan maka
peneliti akan melanjutkan proses berikutnya.
G. Kode Etik Penelitian
Pada saat melakukan penelitian, tentu saja dibutuhkan adanya suatu
aturan dalam melakukannya. Hal ini juga berlaku pada penelitian ilmu
psikologi. Kode etik (Hasan, 2009) yang menjadi landasan peneliti dalam
melakukan penelitian ini adalah:
1. Pasal 7.2.2, tentang menghormati hak dalam melaksanakan
kegiatan di bidang riset.
Pasal ini menjelaskan beberapa hal, yaitu:
1.1.Ilmuwan psikologi dan psikolog bertanggungjawab dalam hal
langkah-langkah yang diperlukan untuk memberikan
perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan peserta serta
semua pihak yang terkait dalam penelitian
1.2.Ilmuwan psikologi dan psikolog wajib menjelaskan secara
dilibatkan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh peserta
riset.
1.3.Ilmuwan psikologi dan psikolog wajib membuat perjanjian
secara lisan dan tertulis dalam bentuk informed riset.
1.4.Ilmuwan psikologi dan psikolog wajib mematuhi peraturan
hukum yang berlaku sebagai warga negara dengan mengikuti
aturan etika yang berlaku.
2. Pasal 12.2, tentang kerahasiaan data.
Pasal ini menjelaskan beberapa hal, yaitu:
2.1.Ilmuwan psikologi dan psikolog wajib menjaga kerahasiaan
data yang diperoleh dalam penelitian.
2.2.Data yang ada dapat dibagikan kepada pihak-pihak yang
berkaitan langsung dengan penelitian yang dilakukan.
2.3.Meskipun data yang ada dapat dibagikan dan didiskusikan
dengan pihak-pihak yang berkaitan secara langsung, namun
identitas peserta wajib dirahasiakan.
Berdasarkan kode etik tersebut, diharapkan peneliti dapat menjalankan
proses penelitian dengan baik dan mampu mengeksplor kebutuhan data
dengan cara yang tepat.
31 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kemungkinan Partisipatisasi (Bias) Peneliti
Penelitian kualitatif memiliki kekurangan dalam melihat suatu
keobjektivitasan data. Hal ini tentunya juga berlaku dalam penelitian ini yang
dipengaruhi oleh kepartisipantivitasan peneliti. Kepartisipantivitasan tersebut
antara lain:
1. Peneliti sebagai instrument dalam penelitian ini tentunya membawa
asumsi-asumsi ataupun penilaian-penilaian tersendiri sebelumnya.
Asumsi informantif ini didukung karena peneliti merupakan anak dari
penderita gagal ginjal yang telah menjalani HD selama ± 3 tahun. Hal ini
tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi peneliti untuk berusaha
menghilangkan segala asumsi demi tercapainya validitasi data.
2. Peneliti yang hidup dengan seorang ibu penderita gagal ginjal tentu saja
mengalami beberapa pengalaman psikologis tersendiri. Hal ini menjadi
dasar peneliti untuk mengajukan topik penelitian ini. Jika seorang anak
dari penderita gagal ginjal saja mengalami suatu pengalaman psikologis
maka bagaimana dengan pasangan dari penderita tersebut? Saat peneliti
melihat secara langsung kehidupan orang tua, peneliti secara jelas
menemukan suatu pengalaman dalam kehidupan berpasangan dari orang
yang fatal karena dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kesadaran akan
adanya perubahan dan kemampuan untuk menerima kenyataan.
3. Keterbatasan keterampilan yang dimiliki oleh peneliti masih sangat
minim. Hal ini akan menjadi salah satu kendala dalam proses
pengumpulan dan analisis data. Terlebih penelitian menggunakan pola
zig-zag (Creswell, 1998) yang membutuhkan keuletan dan kecermatan
yang tajam.
B. Profil Subjek
Informan dalam penelitian ini berjumlah 4 orang. Hal ini sesuai
rekomendasi dari Dukes (dalam Creswell, 1998) yang mengatakan bahwa
informan penelitian kualitatif bisa dilakukan dari jumlah informan 3 sampai
10 orang.
1. Subjek 1
1.1.Deskripsi Subjek
Informan pertama dalam penelitian ini berinisial De. De
merupakan seorang laki-laki dengan berusia 46 tahun dan sudah
menikah sejak tahun 1996. De memiliki struktur tubuh yang kurus,
tinggi, dan berkulit hitam. Ia memiliki perawakan yang santai dan
selalu ramah terhadap semua orang. Selain itu, De juga memiliki
selera humor yang tinggi sehingga siapaun yang berada di sampingya
De merupakan bapak dari dua orang anak. Anak pertama adalah
laki-laki berusia 14 tahun dan duduk di bangku kelas IX SMP.
Sedangkan yang anak kedua adalah perempuan berusia 10 tahun dan
duduk di bangku kelas V SD. Saat ini, De tinggal dengan istr
(penderita)i dan kedua orang anaknya. Meski demikian, rumah De
berdekatan dengan adik iparnya yang memang terletak pada satu petak
tanah. De sangat senang jika menceritakan tentang kedua anaknya dan
lingkungan di tempat tinggalnya. Bahkan seringkali setiap melakukan
wawancara De menyuguhi peneliti dengan berbagai buah yang ada di
halaman rumahnya.
Dalam kesehariannya, De bekerja sebagai pegawai swasta.
Meski demikian, De juga berusaha untuk mencari tambahan dana
dengan menjadi pegawai honorer. Selain itu, De juga selalu
menyelesaikan pekerjaan rumah sehari-hari dengan bantuan kedua
anaknya. Hal ini dilakukan oleh De sebagai bentuk tanggungjawab
dan kasih sayang terhadap penderita dan kedua anaknya.
De kadang terlihat letih saat bertemu di RS maupun di
rumahnya. Meski demikian, De selalu berusaha tetap tersenyum dan
ramah untuk tidak terlihat letih. De bahkan sering memberikan
semangat kepada para penderita gagal ginjal dan pasangan lainnya
untuk tetap berusaha dan berdoa. Keramahan De nampak jelas ketika
semua penderita gagal ginjal dan pasangannya yang memiliki waktu
1.2. Riwayat Penyakit Gagal Ginjal Penderita
Riwayat penyakit gagal ginjal dari penderita informan 1 diawali
dari tensi yang tinggi (hipertensi). Meski demikian, penderita tidak
ingin memeriksakan hipertensinya ke dokter. Hingga pada suatu hari,
penderita selalu muntah-muntah. Dokterpun menyatakan bahwa
penderita itu sakit, namun belum dinyatakan sakit gagal ginjal.
Setelah opnam selama 15 hari di RS Panti Nugraha,
penderitapun sembuh dan kembali ke rumah. Setelah 2 bulan
penderita kembali kambuh. Pertama kali, informan dan penderita
merasa bahwa kambuhnya penyakit karena adanya polusi udara ternak
burung puyuh di dekat rumah. Namun, setelah diupayakan berbagai
hal ternyata penderita tetap sakit. Akhirnya penderita diperiksakan ke
RS. Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa penderita memiliki kreatin
yang tinggi sehingga harus dirujuk ke RS Panti Rapih. Pemeriksaan di
RS Panti Rapih menyatakan bahwa penderita menderita penyakit
gagal ginjal.
2. Subjek 2
2.1.Deskripsi Subjek
Informan kedua dalam penelitian ini berinisial Sri. Sri
merupakan perempuan berusia 59 tahun dan telah menikah sejak tahun
1976. Sri memiliki struktur fisik yang pendek dengan tinggi sekitar
140 cm, berkulit sawo matang, dan menggunakan kaca mata
Sri merupakan ibu dari tiga orang anak. Anak pertama adalah
laki-laki berusia 34 tahun namun belum menikah. Anak kedua adalah
perempuan berusia 32 tahun dan telah menikah. Sedangkan anak
ketiga adalah perempuan berusia 31 tahun dan telah menikah. Saat ini
Sri tinggal dengan suami (penderita), anak pertama, dan anak ketiga
beserta cucu.
Sri memiliki sifat yang cenderung kaku dan apa adanya. Bahkan
dalam beberapa kesempatan Sri menekankan hal ini sebelum
melakukan wawancara. Selain itu, Sri juga sangat memperhatikan
penderita. Hal ini nampak pada kesediaan Sri untuk mengurusi
penderita dari masa sakit di rumah, di RS, sampai mengurusi
mengenai obat dan surat-surat penting yang dibutuhkan. Hal ini
dilakukan oleh Sri sebagai suatu bentuk kesadaran akan cintanya pada
penderita dan kesadaran bahwa anak-anaknya kini telah memiliki
tanggungjawab lain, yaitu bekerja.
Meski demikian, Sri tetaplah sosok yang ramah didukung
dengan sisi keibuan yang begitu kental. Hal ini nampak pada sapaan
Sri yang begitu hangat pada beberapa kesempatan. Sri hidup
sederhana dengan bekerja sebagai ibu rumah tangga dan
mengusahakan usaha kecil pembuat “pesanan makanan” di rumahnya.
Menurut pengakuannya, usaha kecil ini juga digunakan sebagai ajang
romantisme dengan penderita. Sri mengaku bahwa penderita sering
2.2.Riwayat Penyakit Gagal Ginjal Penderita
Riwayat penyakit gagal ginjal penderita dari informan 2 dimulai
ketika pada suatu sore penderita mengeluh sakit badan. Berdasakan
keluhan tersebut, keluargapun membawa penderita ke RS DKT untuk
dilakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa kedua
ginjal penderita sudah rusak dan lemah. Salah satu dari ginjal (sebelah
kanan) terdapat batu ginjal. Dokterpun memberikan pilihan alternatif
kepada penderita dan keluarga, yaitu melakukan operasi atau
ditembak. Mendapati kenyataan demikian, ternyata penderita belum
siap untuk menerimanya akhirnya penderitapun mencari
penyembuhan alternatif. Setelah melakukan penyembuhan alternatif
selama beberapa bulan, ternyata penderita kembali mengeluh sakit dan
dirujuk ke RS. Sardjito. Hasil pemeriksaan di RS. Sardjito
menyatakan bahwa ginjal penderita telah lemah dan rusak sehingga
harus dioperasi.
Keluarga akhirnya memilih operasi ESWL di RS. X. Proses
operasi berjalan dengan lancar dan hanya membutuhkan waktu 1 hari
saja. Keluarga mengira bahwa hasil operasi tidak akan membawa
dampak apapun, namun suatu saat keluarga mengetahui bahwa ginjal
penderita yang sebelah kanan telah hancur. Hal ini mengakibatkan
ginjal sebelah kanan penderita harus diangkat. Berangkat dari proses
3. Subjek 3
3.1.Deskripsi Subjek
Informan ketiga dalam penelitian ini berinisial Was. Was
merupakan perempuan berusia 69 tahun. Was memiliki penampilan
fisik dengan kulit putih, tubuh yang pendek, dan mengenakan kaca
mata dikarenakan faktor usia. Selain itu, Was memiliki perawakan
yang sangat ramah dan murah senyum. Hal ini terlihat dari setiap
pertemuan dimana Was selalu berusaha untuk menyapa orang-orang
yang dia temui baik yang secara sengaja maupun tidak.
Was merupakan ibu dari dua orang anak dimana keduanya telah
menikah dan tinggal di luar kota serta luar negeri. Was merupakan
seorang Guru Besar pada salah satu Universitas besar di Yogyakarta.
Kegiatan Was saat ini mengajar khusus untuk S3. Hal ini dikarenakan
kesadaran Was akan tanggungjawabnya sebagai seorang istri dari
penderita gagal ginjal dan bertambahnya usia. Meski demikian, Was
sangatlah fleksibel dalam beberapa kegiatan yang berhubungan
dengan ilmu pengetahuan.
Was menjelaskan bahwa dirinya sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai Jawa. Hal ini dikarenakan Was dari kecil hidup dalam
lingkungan keluarga Jawa yang sangat kental. Selain itu, ibu dari Was
juga sangat menekankan kebudayaan Jawa pada setiap anak-anaknya.
yang lebih baik dari hari ke hari dengan segala pemaknaan filosofi
Jawa yang telah dimilikinya.
3.2.Riwayat Penyakit Gagal Ginjal Penderita
Riwayat penyakit gagal ginjal penderita dari informan 3 diawali
dari 30 tahun yang lalu yaitu tekanan darah tinggi. Keluarga informan
3 ini memang memiliki hubungan yang baik dengan beberapa dokter
spesialis, hingga akhirnya salah satu dokter tersebut memberitahukan
bahwa jika tekanan darah yang tinggi bisa mengakibatkan sakit gagal
ginjal. Meski demikian, penderita selalu rajin mengecek kesahatan
setiap sebulan sekali, sehingga dirinya mampu melihat secara
langsung perkembangan penyakit tersebut, apakah memang akan
berakhir sakit gagal ginjal atau ada kemungkinan untuk dicegah. Hal
ini terus berlanjut hingga penderita mengeluh sakit dan harus dirujuk
ke Rumah Sakit.
Hasil pemeriksaan RS menyatakan bahwa ginjal penderita
mengalami pembengkakan dan harus masuk ke ICU. Dari sinilah
penderita mulai dinyatakan sakit gagal ginjal dan harus menjalani HD.
4. Subjek 4
4.1.Deskripsi Subjek
Informan ketiga dalam penelitian ini berinisial Dar. Dar
merupakan perempuan berusia 48 tahun. Dar memiliki penampilan
fisik dengan kulit putih dan tinggi badan ± 160 cm. Selain itu, Dar
dari setiap pertemuan dimana Dar selalu berusaha untuk menyapa
orang-orang yang dia temui baik yang secara sengaja maupun tidak.
Dar merupakan ibu dari 1 orang anak, yaitu laki-laki berusia 13
tahun yang duduk di bangku kelas VIII SMP. Saat ini, Dar tinggal
dengan suami (penderita) dan anaknya. Kegiatan Dar saat ini adalah
menjadi ibu rumah tangga. Selain itu, Dar juga membuka sebuah
usaha warung pupuk pertanian di rumahnya. Meski demikian, Dar
juga aktif berkegiatan di Gereja, salah satunya adalah dengan
mengikuti koor kategorial. Dar menjelaskan bahwa dirinya dari kecil
memang telah hidup dalam lingkungan iman Katolik dan kesediaan
mengabdi di Gereja yang kental. Hal ini menjadi salah satu alasan Dar
untuk tetap aktif di Gereja meskipun tetap merawat penderita di
rumah.
4.2.Riwayat sakit gagal ginjal penderita
Sakit gagal ginjal penderita diawali dengan seringnya penderita
minum minuman bersoda di sela bekerja. Aktivitas penderita yang
padat dan jarak yang jauh membuat penderita merasa kehausan. Hal
ini mengakibatkan penderita berusaha mencari minuman yang segar
dan dingin, yaitu soda.
Pada saat itu penderita sering mengaku sakit pinggang. Hal ini
membuat pasangan mengajak penderita untuk periksa ke dokter. Hasil
pemeriksaan tersebut dinyatakan bahwa penderita mengalami
didukung dengan pembengkakan yang terjadi di tubuh penderita yang
mengakibatkan penderita gemuk, kesulitan berjalan, dan kesulitan
bernafas.
Pasangan yang merupakan lulusan AKPER merasa perlu tahu
asal muasal pembengkakan dan cairan yang ada dalam tubuh penderita
sehingga meminta penderita melakukan cek lab. Hasil lab
menunjukkan keratin penderita tinggi dan harus segera dirujuk ke RS.
Hasil pemeriksaan di RS menyatakan bahwa penderita sakit gagal
ginjal dan harus HD.
Tabel 2. Rangkuman Deskripsi Informan
Informan
Keterangan INFORMAN 1 INFORMAN 2 INFORMAN 3 INFORMAN 4
Inisial Pak De Bu Sri Bu Was Bu Dar
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Perempuan Perempuan Usia 46 tahun 62 tahun 69 tahun 48 tahun
Agama Islam Islam Islam Katolik
Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa Jawa
Pekerjaan Pegawai Swasta Ibu RT dan wiraswasta