• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI FENOMENOLOGI: PENGALAMAN PSIKOLOGIS PADA PASANGAN DARI PENDERITA GAGAL GINJAL Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STUDI FENOMENOLOGI: PENGALAMAN PSIKOLOGIS PADA PASANGAN DARI PENDERITA GAGAL GINJAL Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI FENOMENOLOGI: PENGALAMAN PSIKOLOGIS

PADA PASANGAN DARI PENDERITA GAGAL GINJAL

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Stephani Romaria Rinanti

NIM: 07 9114 025

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 31 Agustus 2012. Peneliti,

(3)
(4)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 31 Agustus 2012. Peneliti,

(5)

v

STUDI FENOMENOLOGI: PENGALAMAN PSIKOLOGIS PADA PASANGAN DARI PENDERITA GAGAL GINJAL

Stephani Romaria Rinanti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memahami pengalaman psikologis yang terjadi pada pasangan dari penderita gagal ginjal. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana makna pengalaman psikologis yang terjadi pada pasangan dari penderita gagal ginjal. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif, yaitu analisis fenomenologi interpretatif. Subjek dalam penelitian ini berjumlah empat orang. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara semi terstruktur. Proses validasi yang digunakan adalah member checking, dimana data yang diperoleh dapat dipercaya jika informan merasa bahwa data tersebut mampu menggambarkan realitas yang dialami olehnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman psikologis pada pasangan dari penderita gagal ginjal memiliki dua makna: 1) pengabdian hidup menuju pada kebahagiaan, 2) penyerahan hidup kepada sesuatu yang lebih besar, yaitu Tuhan. Makna tersebut menjadi tujuan pengalaman menuju pemaknaan hidup yang positif.

(6)

vi

THE PSYCHOLOGICAL EXPERIENCE OF THE SPOUSE FROM CHRONIC RENAL FAILURE PATIENT: A PHENOMENOLOGICAL

STUDY

Stephani Romaria Rinanti

ABSTRACT

This research aims to seek understanding of psychological experiences of the spouse from chronic renal failure patient. The research question here is how is meaning of psychological experience in the spouse from chronic renal failure patient. This study employed qualitative method, interpretative phenomenology analysis. The subjects of this research are four. The data gathering process was done through semi-structured interview. Data validation was done through member checking, in which the acquired data is reliable when the subjects felt that the data illustrate his/her experiences. Result of the research shows that the psychological experience of the spouse from chronic renal failure patient had two meanings: 1) life devotion to gain happiness, 2) complete life surrender to a greater being, God. Those meanings become the goal experience towards a positive interpretation of life.

(7)

vii

HALAMAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma

NAMA : STEPHANI ROMARIA RINANTI NIM : 079114025

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Studi Fenomenologi: Pengalaman Psikologis

pada Pasangan dari Penderita Gagal Ginjal

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 31 Agustus 2012 Yang menyatakan,

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Tugas akhir ini adalah salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana

dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tugas akhir yang

berbentuk skripsi ini dibuat atas kepedulian peneliti terhadap kesehatan mental

dan kepribadian pada pasangan dari penderita Gagal Ginjal Kronis yang menjalani

Hemodialisa.

Berdasarkan pengalaman pribadi sebagai anak dari penderita gagal ginjal

yang mengalami pengalaman psikologisnya sendiri, peneliti berkeinginan untuk

melihat bagaimana fenomena pengalaman psikologis pada pasangan dari

penderita gagal ginjal. Penelitian ini juga merupakan sumbangsih ide dan

penerapan ilmu yang telah didapatkan bagi para pasangan dan keluarga penderita

gagal ginjal serta para medis yang berkaitan.

Akhirnya peneliti memberikan penghargaan yang tinggi pada semua pihak

yang membantu berjalannya penelitian ini dan proses penulisannya sehingga

penelitian ini dapat terwujud dan mampu mewujudkan dirinya. Terima kasih

peneliti haturkan kepada :

1. Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat anugrahNya peneliti mampu

menyelesaikan salah satu proses kehidupan ini dengan baik.

2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, selaku dekan Fakultas Psikologi USD

beserta seluruh staff dosen, dan karyawan, yang telah memberikan

banyak kesempatan, arahan, perhatian, pengalaman, dan dukungan

kepada peneliti dalam memproses diri untuk menjadi lebih dari

(9)

ix

3. Ibu P.Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi., M.A., selaku dosen pembimbing

skripsi. Terima kasih atas kesabaran, diskusi, masukan, dan

persahabatan yang diberikan selama proses studi dan pembuatan

penelitian ini.

4. Bpk. V. Didik Suryo H., S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing

akademik dan dosen penguji skripsi yang dengan sedia memberikan

masukan serta kesempatan berdiskusi dalam penyelesaian studi dan

penelitian ini.

5. Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum M.App.Psych., selaku dosen

penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang mendukung

dalam penyelesaian penelitian ini ke arah yang lebih baik.

6. Bpk. De, Ibu Sri, Ibu Was, dan Ibu Dar, yang telah bersedia menjadi

informan dalam penelitian ini. Peristiwa kehidupan menjadi suatu

proses yang perlu dimaknai untuk bisa tetap bersyukur dan berjalan

maju sehingga mampu menjadi manfaat bagi kehidupan bersama.

7. F.A. Soedarta dan Lusia Partidarmanastiti, orang tua yang selalu

memberikan pengalaman, dukungan, doa, dan cara pandang yang

berbeda sehingga membuat peneliti mampu melihat lebih jelas arti

kehidupan ini.

8. Daniel Nurindra Adi, seorang kakak yang mampu memberikan

perhatian terbaik supaya peneliti mau dan mampu kembali melihat ke

dalam diri sendiri sebelum melakukan sesuatu supaya menghasilkan

(10)

x

9. Keluarga besar, yang selama ini menjadi salah satu sumber semangat

tersendiri bagi peneliti.

10. Teman-teman seperjuangan angkatan 2007, yang telah banyak

memberikan dinamika kehidupan di balik tembok Fakultas Psikologi

USD. Tanpa kesediaanmu, menjadi bagian di dalamnya tak akan

pernah bisa berarti.

11. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu,

yang membantu peneliti untuk menyelesaikan studi, skripsi, dan

menjalani kehidupan ini.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tulisan sebagai gambaran ide tidak

akan bisa dimaknai tanpa adanya tujuan yang bermanfaat. Secara sadar peneliti

merasa bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan

saran yang membangun akan dengan senang hati diterima demi kepatutan karya

tulis ini. Terima Kasih.

Yogyakarta, 31 Agustus 2012 Peneliti,

(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING …………..….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………. vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR SKEMA ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ... 10

A. Penderita Gagal Ginjal ... ... 10

1. Pengertian Penderita Gagal Ginjal ... 10

(12)

xii

B. Pengalaman Pasangan dari Penderita Penyakit Kronis…….. 14

C. Pertanyaan Penelitian ... 20

BAB III. METODE PENELITIAN ... 22

A. Jenis Penelitian ... 22

B. Fokus Penelitian ... 22

C. Subjek Penelitian ... 23

D. Metode Pengumpulan Data ... 24

E. Metode Analisis Data ... 26

F. Kredibilitas Penelitian ... 28

G. Kode Etik Penelitian ... 29

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 31

A. Kemungkinan Partisipatisasi (Bias) Peneliti ... 31

B. Profil Subjek ... 32

1. Subjek 1 ………... 32

2. Subjek 2 ……….. 34

3. Subjek 3 ……….. 37

4. Subjek 4 ………. . 38

C. Hasil Penelitian ... 41

1. Sikap ketika awal sakit penderita ……… 42

2. Dunia yang dialami dan menjadi titik balik ………. 47

3. Makna hidup pengalaman ………. 51

D. Pembahasan ... 60

(13)

xiii

2. Dunia yang dialami dan menjadi titik balik ………... 67

3. Makna hidup pengalaman psikologis pada pasangan dari penderita gagal ginjal ……… 69

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Panduan Pertanyaan Wawancara ……….. 26

Tabel 2 Rangkuman Deskripsi Informan ... 40

Tabel 3 Jadwal Wawancara ... 41

(15)

xv

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Pengalaman Psikologis pada

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Informed Concern ………... 81

Lampiran 2 Verbatim Wawancara Informan 1: Pak De ... 82

Lampiran 3 Tabel Tema Utama Informan 1: Pak De... 92

Lampiran 4 Tabel Tema Utama Informan 2: Bu Sri ... 94

Lampiran 5 Tabel Tema Utama Informan 3: Bu Was ... 96

(17)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gagal ginjal merupakan salah satu penyakit kronis. Penyakit kronis

merupakan keadaan sakit yang berlangsung selama 12 bulan atau lebih dan

membutuhkan perawatan intensif baik di rumah sakit maupun di rumah,

beberapa di antaranya dapat menimbulkan keterbatasan serta ketidakmampuan

pada penderita (JAMA dalam Aritonang, 2008). Sedangkan gagal ginjal adalah

sebuah penyakit dimana fungsi organ ginjal tidak berfungsi dengan sempurna

bahkan bisa tidak berfungsi sama sekali dalam hal penyaringan dan

pembuangan elektrolit tubuh serta menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia

tubuh seperti sodium dan kalium dalam darah atau produksi urine (Colvy,

2010). Selain itu, gagal ginjal juga tidak dapat disembuhkan sehingga untuk

mempertahankan hidupnya penderita perlu melakukan terapi pengganti fungsi

ginjal yaitu melakukan cuci darah atau Hemodialisa (HD).

Saat ini, kasus gagal ginjal di Indonesia setiap tahunnya masih

terbilang tinggi, pasalnya masih banyak masyarakat Indonesia tidak menjaga

pola makan dan kesehatan tubuhnya. Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD.

KGH. (dalam Penyakit Gagal Ginjal Menjadi Pembunuh Masaal, 2011)

mengungkapkan berdasarkan data WHO diketahui bahwa pada tahun 2000

hanya 1,1 juta pasien cuci darah, sedangkan pada 2010 sudah mencapai 2,1 juta

(18)

Iskandarsyah (2006) dalam penelitiannya mengatakan bahwa

penderita gagal ginjal memiliki permasalahan yang cukup serius dari segi fisik

dan psikis sebagai akibat dari penyakit yang dideritanya. Perubahan fisik yang

dialami oleh penderita gagal ginjal selain akibat dari tidak berfungsinya ginjal

dengan sempurna seperti kelebihan cairan dalam tubuh penderita juga

mengalami permasalahan fisik seperti anemia, tulang mudah rapuh dan

penurunan masa otot (Iskandarsyah, 2006). Keluhan fisik lain yang sering

dialami oleh penderita gagal ginjal bisa berupa kesemutan, gatal-gatal, perut

buncit karena urine tidak bisa keluar, mual, perut buncit, kurang gizi, dan tidak

nafsu makan.

Perubahan psikologis yang dialami oleh penderita gagal ginjal

biasanya berawal dari perasaan tidak terima terhadap kenyataan bahwa dirinya

divonis menderita gagal ginjal. Hal ini mengakibatkan munculnya

perasaan-perasaan lain dalam diri penderita seperti cemas dan takut akan perubahan pola

hidup yang besar seperti kematian, adanya rasa rendah diri dan putus asa

karena menggagap tidak lagi berguna bagi diri sendiri dan orang lain serta tidak

adanya kesempatan untuk kembali sembuh, adanya rasa kecewa dan marah

karena menolak adanya fakta yang terjadi. Semua perasaan ini memuncak dan

akhirnya dapat memicu terjadinya depresi pada penderita gagal ginjal.

Depresi yang dialami oleh penderita mengakibatkan munculnya

tuntutan-tuntutan baru dalam kehidupan penderita. Tuntutan-tuntutan ini

merupakan bentuk dari salah satu simtom mengenai depresi yaitu simtom

(19)

keinginan untuk mendapatkan perhatian, bantuan, bimbingan, dan arahan dari

orang lain meskipun nyatanya penderita berusaha menarik diri dari lingkungan

sosial (Beck dalam Iskandarsyah, 2006). Pemenuhan akan

kebutuhan-kebutuhan tersebut hanya bisa dilakukan oleh keluarga yang merupakan

kumpulan orang terdekat dari penderita. Dengan demikian, ternyata dampak

dari penyakit gagal ginjal tersebut tidak hanya dialami oleh penderita, tetapi

dialami juga oleh anggota keluarga yang mendampingi maupun memberikan

perawatan (Berk dalam Widiastuti, 2009).

Lubis (2011) mengatakan bahwa penderita gagal ginjal bukan saja

orang dewasa berusia 40 tahun keatas melainkan ada yang berusia 25 tahun.

Usia penderita pada kisaran tersebut memiliki kemungkinan bahwa penderita

sudah menikah dan memiliki pasangan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(2008), pasangan berarti pelengkap bagi yang lain sedangkan pasangan hidup

berarti suami atau istri. Pasangan adalah anggota keluarga yang paling dekat,

sehingga dampak depresi dari penderita gagal ginjal juga dirasakan secara jelas

oleh pasangan dari penderita. Hal ini dapat terjadi karena dalam hubungan

perkawinan, pasangan yang berkeluarga memiliki dua ikatan yaitu ikatan lahir

dan ikatan batin (Walgito, 2010).

Ikatan lahir dipahami sebagai ikatan berdasarkan hal-hal yang

nampak seperti peraturan-peraturan sehingga bersifat mengikat. Ikatan batin

dipahami sebagai ikatan yang tidak nampak dan lebih dikenal dengan ikatan

psikologis. Ikatan batin lebih didasarkan pada perasaan cinta, ketulusan, dan

(20)

langsung memberikan suatu hubungan dimana setiap pasangan dapat

merasakan satu sama lain, bahkan dalam hal merasakan penderitaan dan

kesadaran akan adanya tanggungjawab sebagai seorang pasangan untuk

memberikan yang terbaik bagi pasangannya. Pada akhirnya kemampuan untuk

berempati dan kesadaran akan tanggungjawab memunculkan beban dalam diri

pasangan.

Ohman dan Soderberg (2004) mengatakan bahwa ketika seseorang

menderita penyakit kronis maka hal tersebut dapat memberikan ancaman

secara langsung pada kondisi kesehatan keluarganya. Pasaribu (2008)

mengatakan bahwa perasaan terbebani muncul karena adanya kesadaran bahwa

penyakit tersebut akan merepotkan, terlebih bagi keluarga yang masih

membutuhkan tenaga dan pikiran penderita. Hal ini didukung oleh Sutrisno

(dalam Pasaribu, 2008) yang mengatakan bahwa pihak keluarga akan terbebani

karena adanya biaya yang besar dan waktu yang tersita dalam perawatan

penderita tersebut. Bakas, Austin, Lewis, dan Chadwick (dalam Pasaribu,

2008) mengatakan juga bahwa keluarga yang menjadi perawat penderita

cenderung tidak siap dengan perubahan emosi dan fisik saat sedang merawat

seseorang yang memiliki ketidakmampuan fisik.

Hal serupa nampak pada pengalaman ST yang didapatkan melalui

(21)

juga kan kerja, jadi mau ngga mau ya Ibu habis pulang kerja langsung tetep ngurus Bapak. Sedangkan kakak udah kerja di luar kota, adek saya masih SMP, dan saya sendiri kuliah jadi ya ngga bisa selalu bantuin Ibu. Ibu sering pesen ke kita-kita buat bisa mandiri dan berusaha ngga nambahin masalah, karena Bapak udah bikin Ibu cukup bingung dan sedih,” (anak ST, 2010).

Pernyataan tersebut menunjukkan adanya beban tambahan yang dialami oleh

ST. Di sini, ST memiliki tugas tambahan yaitu tetap menjalankan pekerjaan

sehari-hari lalu berusaha memenuhi kebutuhan suaminya yang menderita gagal

ginjal. Kebutuhan ini bisa termasuk tuntutan-tuntutan yang muncul dari

penderita ataupun kebutuhan dari perubahan fisik yang terjadi pada penderita.

Selain itu, dijelaskan bahwa ST sering merasakan kesedihan karena ikut

merasakan penderitaan yang dirasakan oleh sang suami, seperti perubahan pola

hidup yang tidak lagi sekuat dulu. Kesedihan ini secara tidak langsung

membuat ST mengalami kebingungan dan kerepotan sehingga sedikit meminta

anak-anaknya untuk bisa mandiri dan tidak lagi menambahkan beban sehingga

ST tidak tambah tertekan.

Stephen dan Clark (dalam Pasaribu, 2008) menambahkan bahwa

pasangan yang menjadi perawat dari pasangannya yang menderita penyakit

kronis memiliki tantangan yang serius terlebih dalam hal penyesuaian diri. Hal

ini dapat dijelaskan melalui penelitian Ohman dan Soderberg (2004) yang

mengatakan bahwa pasangan mengambil tanggung jawab penuh terhadap

penderita sehingga kewajiban dan kehidupan pasangan menjadi nomor dua

setelah kehidupan penderita. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya

(22)

oleh peneliti sekitar pertengahan bulan Februari tahun 2011 di salah satu

Rumah Sakit di Yogyakarta.

Saya bingung mbak harus bagaimana dengan istri saya. Dia itu kalau di rumah sekarang rewel dan marah-marah. Kalau keinginannya tidak terpenuhi, dia marah padahal kondisi tidak memungkinkan untuk memenuhi keinginannya. Jadi, terkadang saya bingung harus bagaimana. Saya ingin membuat istri saya senang dan nyaman, tapi ada tuntutan lain di luar yang sebenarnya istri saya sudah tahu akan hal itu, misalnya pekerjaan saya,” (DK, 2010).

Pernyataan tersebut secara jelas menunjukkan bahwa sang istri sebagai

penderita gagal ginjal mengalami perubahan perilaku, yaitu sering marah dan

rewel jika keinginannya tidak terpenuhi. DK yang merupakan pasangan dan

orang terdekat dengan penderita merasa perlu untuk memenuhi kebutuhan

istrinya. Dalam usaha memenuhi kebutuhan sang istri DK cukup mengalami

kebingungan. Hal ini terjadi karena DK juga memiliki tuntutan yang lain, yaitu

pekerjaan rutin yang menjadi tanggungjawabnya. Tuntutan istri yang meminta

DK untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya menyebabkan DK mengalami

kebingungan bagaimana harus bersikap terhadap sang istri, dirinya sendiri, dan

tuntutan-tuntutan lain yang juga berhubungan dengan kebutuhan keluarganya.

Sehingga DK menjadi lebih labil dan tertekan.

Rogers (dalam Feist dan Feist, 2010) mengatakan bahwa pengalaman

yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak pernah diperhitungkan sebelumnya

membuat individu merasa gelisah karena tidak siap untuk menghadapinya.

Hal ini bisa mengakibatkan pasangan mengalami stress pada hubungan yang

tidak dapat dihindarkan (Cavanaugh dan Blanchard dalam Pasaribu, 2008).

(23)

oleh pasangan akan mempengaruhi kesehatan mereka sendiri yaitu imun yang

rendah, hormon stress yang tinggi, bahkan bisa memunculkan tingkat

kematian.

Fenomena-fenomena dalam pengalaman pasangan menghadapi

kenyataan tersebut menunjukkan adanya perasaan terancam akan diri

pasangan. Hal ini dikarenakan pasangan tidak mampu melihat dan memahami

realitas secara utuh. Dalam hal ini, individu membutuhkan makna dari

pengalamannya sehingga mampu memproses diri untuk menjadi lebih baik

dalam pengalaman yang terjadi. Dengan demikian, makna menjadi modal

bagi individu untuk mampu memproses dirinya menjadi pribadi yang utuh

menuju pada pemaknaan hidup yang positif. Makna juga dimengerti sebagai

tujuan hidup yang perlu dicari karena menyebabkan kehidupan menjadi lebih

berarti dan berharga (Bastaman, 1996).

Berdasarkan pada penggambaran tersebut maka peneliti merasa bahwa

proses pengalaman pasangan perlu dieksplorasi untuk menemukan makna

dari pengalaman yang terjadi. Segala gejala psikologis yang muncul pada

pasangan akan mengarahkan pasangan pada tujuan hidup. Makna yang

ditemukan menyebabkan individu terhindar dari keputusasaan (Bastaman,

1996). Berdasarkan pada hal-hal tersebut, peneliti merasa penting untuk

melihat bagaimana makna pada pasangan dari penderita gagal ginjal,

bagaimana mereka berproses hingga menemukan makna menuju pada kondisi

(24)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah bagaimana makna pengalaman psikologis yang terjadi

pada pasangan dari penderita gagal ginjal?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami makna pengalaman

psikologis yang terjadi pada pasangan dari penderita gagal ginjal dalam

mencapai pemaknaan hidup yang positif.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan dibidang

psikologi khususnya psikologi kesehatan dalam memberikan

gambaran akan makna pengalaman psikologis pada pasangan dari

penderita gagal ginjal. Hal ini bertujuan supaya psikologi kesehatan

mampu memahami makna dari pengalaman psikologis pada

pasangan dari penderita gagal ginjal sehingga bisa membantu

pasangan dari penderita gagal ginjal atau penyakit kronis lain untuk

mampu melihat realitas secara utuh dan mampu menentukan sikap

(25)

2. Manfaat Praktis

2.1.Penelitian ini bermanfaat bagi pasangan penderita penyakit

gagal ginjal atau penyakit kronis lain dan keluarga penderita

untuk memahami tentang makna pengalaman psikologis pada

pasangan dari penderita gagal ginjal, sehingga para pasangan

mampu saling belajar dan berbagi pengalaman serta mampu

mengusahakan pemaknaan hidup yang positif dalam diri untuk

melihat realitas secara lebih utuh.

2.2.Penelitian ini juga membantu pihak medis dan psikolog

kesehatan untuk mampu memberikan bantuan atau tindakan

yang tepat kepada pasangan dari penderita penyakit gagal ginjal

atau penyakit kronis yang lain berkaitan dengan makna

pengalaman psikologis pada pasangan dari penderita gagal

(26)
(27)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penderita Gagal Ginjal

1. Pengertian Penderita Gagal Ginjal

Ginjal merupakan organ tubuh yang sangat penting karena

memainkan peran kunci dalam tubuh (Colvy, 2010). Ginjal tidak hanya

berfungsi sebagai penyaring darah dan mengeluarkan produk-produk sisa,

namun ginjal juga memiliki peran dalam menyeimbangkan elektrolit

dalam tubuh seperti sodium, potassium, dan asam-basa, mengontrol

tekanan darah, dan menstimulasi produksi sel-sel darah merah (Colvy,

2010). Kerusakan atau gangguan pada ginjal akan menimbulkan

permasalahan pada fungsi ginjal sehingga berakibat buruk pada daya tahan

tubuh. Akibatnya, kinerja tubuh mengalami penurunan seperti mudah

lelah, lemas, dan bisa mengakibatkan penyakit tertentu bahkan penyakit

kronis. Salah satu penyakit kerusakan ginjal yang saat ini banyak diderita

adalah gagal ginjal.

Dalam bukunya, Colvy (2010) mengatakan bahwa gagal ginjal

merupakan sebuah penyakit dimana fungsi organ ginjal tidak berfungsi

dengan sempurna bahkan bisa tidak berfungsi sama sekali dalam hal

penyaringan pembuangan elektrolit tubuh serta menjaga keseimbangan

cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium dalam darah atau

(28)

11

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed. ke-4, 2008), penderita

diartikan sebagai orang yang menderita (kesusahan, sakit, cacat, dsb).

Sehingga penderita gagal ginjal dapat dimengerti sebagai orang yang

mengalami sakit gagal ginjal dimana fungsi organ ginjalnya tidak

berfungsi dengan sempurna.

2. Perubahan yang terjadi pada Penderita Gagal Ginjal

Penyakit gagal ginjal memberikan masa-masa yang sulit bagi

penderitanya. Dalam penelitiannya, Yana (2011) menjelaskan bahwa gagal

ginjal bukanlah penyakit yang bisa disembuhkan sehingga penderitanya

perlu mempertahankan hidup dengan melakukan terapi pengganti fungsi

ginjal yaitu melakukan cuci darah atau Hemodialisa (HD). Hal ini

didukung oleh Colvy (2010) yang menjelaskan bahwa hemodialisa adalah

terapi yang bertujuan menggantikan fungsi ginjal yaitu membuang zat sisa

dan membuang kelebihan cairan dalam tubuh dengan menggunakan mesin dialiser yang berfungsi sebagai “ginjal buatan”. Proses hemodialisa ini

dilakukan sebanyak 1-3 kali dalam seminggu di rumah sakit dan setiap

prosesnya membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam. Proses yang lama serta

adanya keharusan untuk melakukannya secara rutin tentu saja merupakan

tekanan tersendiri bagi penderita gagal ginjal.

Tekanan yang dialami oleh penderita gagal ginjal selama menjalani

proses HD bisa mengakibatkan perubahan fisik dan psikologis dalam diri

(29)

maupun orang lain. Iskandarsyah (2006) menjelaskan bahwa perubahan

fisik yang dialami oleh penderita gagal ginjal selain akibat dari tidak

berfungsinya ginjal dengan sempurna seperti kelebihan cairan dalam tubuh

penderita juga mengalami permasalahan fisik seperti anemia, tulang

mudah rapuh dan penurunan masa otot. Keluhan fisik lain yang sering

dialami oleh penderita gagal ginjal bisa berupa kesemutan, gatal-gatal,

perut buncit karena urine tidak bisa keluar, mual dan muntah, sakit kepala,

sakit dada, sakit punggung demam dan menggigil.

Penelitian Cengic, Resic, Spasovki, Avdic, dan Alajbegovic (2010)

menyatakan bahwa hampir semua penderita gagal ginjal menderita

gangguan tidur singkat. Gangguan tidur yang sering dialami adalah

insomnia, terjadi pembalikan antara waktu tidur siang dan malam seperti

kantuk yang berlebihan di siang hari, mimpi buruk, gangguan pernafasan

sehingga mengakibatkan munculnya dengkuran di saat tidur. Selain itu,

Suwitra (dalam Yana, 2011) menambahkan adanya komplikasi fisik yang

jarang terjadi namun bisa sangat membahayakan nyawa penderita adalah

kejang, emboli udara, tamponade jantung, serta pendarahan intrakranial.

Yana (2011) menjelaskan bahwa perubahan psikologis yang

dialami oleh penderita gagal ginjal biasanya dipicu dari perasaan tidak

terima terhadap kenyataan bahwa dirinya divonis menderita gagal ginjal.

Hal ini didukung oleh penelitian Iskandarsyah (2006) bahwa perasaan

tidak terima terhadap kenyataan tersebut mengakibatkan munculnya

(30)

perubahan pola hidup yang besar seperti kematian, adanya rasa rendah diri

dan putus asa karena menggagap tidak lagi berguna bagi diri sendiri dan

orang lain serta tidak adanya kesempatan untuk kembali sembuh, adanya

rasa kecewa dan marah karena menolak adanya fakta yang terjadi. Semua

perasaan ini memuncak dan akhirnya memicu terjadinya depresi pada

penderita gagal ginjal.

Depresi secara psikologis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(ed. ke-4, 2008), dimengerti sebagai gangguan jiwa pada seseorang yang

ditandai dengan perasaan yang merosot (seperti muram, sedih, tertekan,

kecewa, dll). Sedangkan arti depresi dalam Kamus Psikologi adalah suara

hati yang dicirikan perasaan tidak nyaman, sebuah perasaan murung,

sebuah punurunan di dalam aktivitas maupun reaktivitas, pesimisme,

kesedihan, dan simtom-simtom terkait (Reber dan Reber, 2010).

Berdasarkan dua arti tersebut, maka depresi dapat disimpulkan sebagai

gangguan jiwa atau suara hati seseorang yang ditandai dengan perasaan

yang merosot, tidak nyaman, sebuah perasaan murung, sebuah penurunan

di dalam aktivitas maupun reaktivitas, pesimisme, kesedihan, dan

simtom-simtom terkait.

Arti depresi memang memiliki kecenderungan-kecenderungan

perilaku yang negatif, namun secara tidak langsung penderita yang

mengalami depresi dalam hal ini adalah penderita gagal ginjal tenyata juga

memiliki keinginan akan adanya motivasi. Hal ini nampak jelas pada salah

(31)

2006), yaitu simptom motivasional. Simptom ini menjelaskan bahwa para

penderita depresi sangat berkeinginan untuk mendapatkan perhatian,

bantuan, bimbingan, dan arahan dari orang lain meskipun nyatanya

penderita berusaha menarik diri dari lingkungan sosial dan pola aktivitas

yang rutin. Secara lebih ekstrim, mereka bisa menumbuhkan harapan

positif dari harapan negatif, seperti “Saya adalah orang yang menderita,”

menjadi “Saya paling menderita dan saya harus bahagia”. Akibat dari

penarikan diri yang dilakukan pada lingkungan sosial, pola aktivitas yang

rutin, keinginan dalam bentuk harapan positif yang berkelanjutan secara

otomatis membawa dampak pada orang-orang terdekat, dalam hal ini

adalah keluarga. Berdasarkan data, Lubis (2011) menyatakan bahwa

penderita gagal ginjal tidak saja orang dewasa berusia 40 tahun keatas

melainkan ada yang berusia 25 tahun dan dengan usia demikian ada

kemungkinan bahwa penderita sudah menikah. Hal ini menjelaskan bahwa

orang terdekat yang lebih intens ditemui adalah pasangan dari si penderita.

Sehingga kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari penderita tersebut

menjadi tuntutan tersendiri bagi pasangannya dalam hal memenuhinya.

B. Pengalaman Pasangan dari Penderita Penyakit Kronis

Ohman dan Soderberg (2004) mengatakan bahwa ketika seseorang

menderita penyakit kronis maka hal tersebut dapat memberikan ancaman

secara langsung pada kondisi kesehatan keluarganya. Hal ini dikarenakan

(32)

penderita maupun bagi kehidupan keluarga. Muliadinata dan Partasari (2007)

mengatakan bahwa penelitian terhadap keluarga dari penderita penyakit

kronis masih jarang ditemukan, padahal keluargapun merasakan beban yang

sama beratnya dengan yang dirasakan oleh penderita. Beban ini diawali oleh

adanya kenyataan bahwa salah satu anggota keluarga menderita penyakit

kronis. Selain itu, Pasaribu (2008) mengatakan bahwa perasaan terbebani

muncul karena adanya kesadaran bahwa penyakit tersebut akan merepotkan,

terlebih bagi keluarga yang masih membutuhkan tenaga dan pikiran

penderita. Hal ini didukung oleh Sutrisno (dalam Pasaribu, 2008) yang

mengatakan bahwa pihak keluarga akan terbebani karena adanya biaya yang

besar dan waktu yang tersita dalam perawatan penderita tersebut. Bakas,

Austin, Lewis, dan Chadwick (dalam Pasaribu, 2008) juga mengatakan

bahwa keluarga yang menjadi perawat penderita cenderung tidak siap dengan

perubahan emosi dan fisik saat sedang merawat seseorang yang memiliki

ketidakmampuan fisik.

Perasaan cemas dan adanya beban dalam menghadapi kenyataan

penderita yang sakit kronis akan mengakibatkan adanya ketidaksesuaian

dalam diri pasangan. Stephen dan Clark (dalam Pasaribu, 2008) mengatakan

bahwa pasangan yang menjadi perawat dari pasangannya yang menderita

penyakit kronis memiliki tatangan yang serius terlebih dalam hal penyesuaian

diri. Penelitian Ohman dan Soderberg (2004) juga mengatakan bahwa

(33)

kewajiban dan kehidupan pasangan menjadi nomor dua setelah kehidupan

penderita.

Hal ini juga dapat terjadi pada pasangan dari penderita gagal ginjal

karena gagal ginjal termasuk penyakit kronis. Penderita gagal ginjal

mengalami perubahan secara fisik dan psikis. Perubahan tersebut

memunculkan tuntutan-tuntutan kepada pasangan untuk dipenuhi. Pasangan

sebagai anggota keluarga terdekat dan telah diikatkan dalam pernikahan

merasa perlu untuk memenuhi tuntutan-tuntutan penderita tersebut dan ingin

membahagiakan penderita.

Tanggungjawab baru pasangan tersebut dapat memicu munculnya

berbagai dampak dalam proses perawatan atau pendampingan penderita.

Cavanaugh dan Blanchard (dalam Pasaribu, 2008) mengatakan bahwa

pasangan yang merawat akan mengalami stress pada hubungan yang tidak

dapat dihindarkan. Sedangkan menurut Saravino (dalam Widiastuti, 2009),

stress yang dialami oleh pasangan akan mempengaruhi kesehatan mereka

sendiri yaitu imun yang rendah, hormon stress yang tinggi, bahkan bisa

memunculkan tingkat kematian. Meski demikian, Levinas (dalam Ohman &

Soderberg, 2004) menegaskan bahwa manusia tidak akan bisa melepaskan

diri dari tanggung jawab karena tidak ada yang bisa menggantikan tempat

manusia tersebut. Kenyataan ini dapat mengakibatkan munculnya

inkongruensi dalam diri pasangan.

Inkongruensi dimengerti sebagai tidak adanya kesesuaian yang baik

(34)

dimengerti sebagai keadaan “diri” sebagaimana adanya jika sesuatunya

berjalan dengan baik (Rogers dalam Boeree, 2006). Sedangkan diri ideal

dimengerti sebagai pandangan seseorang atas dirinya berdasarkan

syarat-syarat dan kepatuhan yang ada di luar dirinya, misalnya keinginan masyarakat

(Rogers dalam Boeree, 2006). Rogers (dalam Gari dan Azizi, 1998)

mengatakan bahwa inkongruensi merupakan indikasi ketidakpuasan,

gangguan ambiguitas, dan kebingungan dalam diri seseorang. Inkongruensi

merupakan bentukan dari manusia yang tidak sehat atau manusia yang

bermasalah. Hal ini menunjukkan adanya kondisi yang tidak seimbang

dimana pasangan tidak siap menerima kenyataan yang terjadi dengan segala

aktivitas baru yang menyertainya sebagai rutinitas pasangan.

DesRosier, Catanzaro, and Piller, O’Brien, Robinson, and Scholte op

Reimer, de Haan, Rijinders, Limburg, and van den Bos (dalam Cheung &

Hocking, 2004) menyatakan bahwa para pasangan yang menjadi perawat bagi

pasangannya yang menderita penyakit kronis merasa bahwa mereka

kehilangan waktu untuk diri mereka sendiri, kehilangan gaya hidup, dan

kehilangan hubungan sosial. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ohman

dan Soderberg (2004) yang mengatakan bahwa pasangan merasa memiliki

hidup yang kering. Mereka tidak bisa lagi merasakan sukacita yang timbul

dari hubungan sosial dengan teman dan kegiatan mereka karena kebebasan

mereka mulai terbatas.

Hal ini sesuai dengan Rogers (dalam Info Seputar Skripsi, 2011) yang

(35)

terancam. Selain itu, Rogers (dalam Feist dan Feist, 2010) mengatakan bahwa

individu memiliki diri riil yang dipengaruhi oleh pengalaman. Pengalaman

yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak pernah diperhitungkan sebelumnya

mengakibatkan individu merasa gelisah karena tidak siap untuk

menghadapinya.

Kegelisahan ini secara tidak langsung dapat memunculkan depresi dan

kebingungan pada diri pasangan penderita gagal ginjal. Rogers (dalam

Boeree, 2006) mengatakan bahwa jika seseorang mengalami inkongruensi

maka dirinya berada pada situasi yang mengancam. Kondisi mengancam ini

akan membawa seseorang pada kecemasan. Kecemasan adalah kondisi yang

tidak menyenangkan atau adanya tekanan dari suatu sumber yang tidak

diketahui (Rogers dalam Feist dan Feist, 2010). Hal ini terjadi karena

pasangan belum memahami realitas yang terjadi secara utuh.

Menanggapi perasaan-perasaan yang muncul tersebut, pasangan perlu

berusaha untuk memahami penyakit yang diderita oleh pasangannya yang

sakit. Hal ini dijelaskan oleh Cheung dan Hocking (2004) serta Ohman dan

Soderberg (2004) bahwa pasangan perlu untuk bisa menyikapi segala

perubahan yang terjadi. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan

merombak pola pikir. Rogers (dalam Feist dan Feist, 2010) menjelaskan

bahwa seseorang membutuhkan kesadaran untuk bisa terlepas dari kondisi

terancam dan cemas. Kesadaran dibutuhkan agar pasangan mampu melihat

(36)

Keterbukaan yang terjadi mampu memberikan pemaknaan pada pengalaman

pasangan.

Makna dimengerti sebagai tujuan hidup yang perlu dicari dalam proses

kehidupan karena menyebabkan kehidupan tersebut menjadi lebih berarti dan

berharga (Bastaman, 1996). Makna yang ditemukan akan menyebabkan

individu terhindar dari keputusasaan (Bastaman, 1996). Bastaman (1996)

menjelaskan bahwa penghayatan individu akan makna nampak pada

perilaku-perilaku yang muncul, yaitu: 1) menjalani hidup dengan semangat, 2)

memiliki tujuan hidup yang jelas, 3) merasakan kemajuan yang telah

diperoleh, 4) dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, 4) menyadari

bahwa makna hidup dapat ditemukan, 5) mampu bersikap sabar dan tabah

dalam keadaan apapun, 6) dan benar-benar menghargai kehidupan.

Beberapa literatur sebelumnya yang berkaitan dengan penghayatan

makna nampak pada penelitian Ohman dan Soderberg (2004) yang

mengatakan bahwa pasangan akan selalu berusaha untuk memberikan

bantuan kepada penderita. Pasangan tetap berjuang untuk mendapatkan

kekuatan dan tidak ingin meninggalkan tanggung jawabnya meskipun banyak

perasaan-perasaan negatif yang muncul disertai kondisi fisik yang kian

menurun. Ohman dan Soderberg (2004) juga menjelaskan bahwa pasangan

berjuang untuk tetap memiliki kehidupan yang normal. Salah satu usaha

tersebut adalah dengan mengkondisikan rumah menjadi lebih nyaman. Hal ini

sesuai dengan Levinas (dalam Ohman & Soderberg, 2004) yang mengatakan

(37)

seseorang dapat merasakan sukacita, penderitaan, keiintiman, dan

kelembutan.

Berdasarkan pada literatur-literatur sebelumnya, nampak adanya proses

pengalaman yang terjadi pada pasangan dari penderita penyakit kronis. Meski

demikian, rangkaian dari proses pengalaman psikologis yang terjadi belum

terankai dengan jelas sehingga pemaknaan terhadap pengalaman belum

terungkap. Berdasarkan hal tersebut, peneliti merasa perlu untuk melakukan

penelitian mengenai makna pengalaman psikologis pada pasangan dari

penderita gagal ginjal.

C. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian merupakan suatu hal yang penting dan mendasar

dalam penelitian kualitatif. Creswell (1998) menjelaskan bahwa ada dua

macam pertanyaan penelitian pada penelitian kualitatif yang akan

memperjelas tujuan dari penelitian ini, yaitu:

1. Central Question

Central question merupakan pertanyaan utama pada penelitian.

Central question dalam penelitian ini adalah bagaimana makna

pengalaman psikologis yang terjadi pada pasangan dari penderita gagal

ginjal?

2. Subquestion

Subquestion adalah pertanyaan yang mengarah pada pertanyaan

(38)

2.1.Bagaimana sikap pasangan ketika awal sakit penderita?

2.2.Bagaimana dunia yang dialami pasangan?

(39)

22 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitiatif

yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian analisis fenomenologi

interpretatif (AFI).

Penelitian AFI memiliki dua tahapan, pertama adalah proses

fenomenologi dimana informan perlu berusaha memahami kembali dunianya

sesuai dengan pengalaman yang terjadi. Tahap kedua adalah proses

interpretatif dimana peneliti akan menanggapi pengalaman tersebut dengan

berusaha berada pada posisi informan sehingga mampu melihat “seperti apa”

peristiwa yang terjadi dari sudut pandang informan dan dapat memahaminya

(Smith, 2009). Proses ini diharapkan dapat membantu peneliti agar mampu

memahami bagaimana informan memandang, berpikir, merasakan, dan

menentukan sikap dalam peristiwa yang terjadi sehingga didapatkanlah data

yang lebih terperinci & mendalam tentang proses psikologis yang terjadi

dalam dirinya yang berdasarkan pengalamannya tersebut.

B. Fokus Penelitian

Fokus pada penelitian ini adalah makna pengalaman psikologis pada

pasangan dari penderita gagal ginjal. Pengalaman psikologis pasangan dari

(40)

diperoleh dari partisipasi di dalam fenomena sakit gagal ginjal penderita yang

berkaitan dengan sifat mental dari informan. Pasangan dari penderita gagal

ginjal mengalami suatu pengalaman yang kemungkinan besar akan

berpengaruh pada kehidupannya sehingga ada perubahan pada perkembangan

pembentukan dirinya, baik dari struktur dan proses yang dialami. Proses ini

akan memunculkan pemaknaan sebagai bentuk dari pengalaman psikologis

yang terjadi sehingga pasangan mampu melihat realita secara lebih utuh &

bersikap secara lebih tepat. Makna adalah suatu tujuan yang dianggap penting

sehingga mampu menuju pada kebahagiaan yang berarti.

C. Subjek Penelitian

Informan penelitian ini adalah pasangan dari penderita gagal ginjal.

Informan yang dipilih adalah yang memiliki pasangan yang menderita gagal

ginjal dan telah menjalani HD selama ± 1-3 tahun. Hal ini dikarenakan

peneliti merasa bahwa waktu ± 1-3 tahun merupakan waktu yang masih baru

bagi informan untuk memproses diri seperti beradaptasi dengan penyakit

penderita. Penderita yang sudah menjalani HD merupakan seseorang yang

menderita Gagal Ginjal Kronik (GGK) atau sering disebut dengan Chronic

Renal Failure (CRF). Gagal ginjal kronis merupakan penyakit gagal ginjal

yang terjadi secara perlahan-lahan dan tidak dapat disembuhkan.

Pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan criterion

sampling. Criterion sampling merupakan suatu cara penentuan informan yang

(41)

dalam penelitian ini adalah pasangan dari penderita gagal ginjal yang

menjalani HD. Selain itu, pemilihan informan dalam penelitian ini juga

menggunakan theorical sampling. Theorical sampling ini merupakan suatu

cara penentuan informan yang didasarkan pada pemeriksaan peneliti terhadap

data informan dimana sudah tidak ditemukannya data baru untuk menambah

informasi dalam penelitian (Creswell, 1998).

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah dengan metode wawancara. Wawancara yang dilakukan bisa lebih dari

satu kali pada satu informan. Wawancara yang digunakan adalah wawancara

semi-terstruktur yaitu suatu wawancara yang memiliki daftar pertanyaan yang

menjadi panduan untuk melakukan wawancara (Smith, 2009). Wawancara

semi-terstruktur bukanlah suatu wawancara yang kaku sehingga dalam

melakukan wawancara, peneliti lebih memiliki kebebasan untuk menanyakan

lebih jauh mengenai bagian cerita yang menarik atau dirasa kurang mampu

dimengerti. Hal ini tentu saja membutuhkan suatu hubungan yang baik antara

peneliti dengan informan, selain itu wawancara juga lebih menjadi milik

informan dimana wawancara mengikuti minat atau perhatian informan

(Smith, 2009).

Proses pengumpulan data wawancara yang dilakukan adalah dengan

pola “zig-zag” (Creswell, 1998). Pola ini berarti peneliti mengumpulkan

(42)

lapangan untuk mendapatkan informasi tambahan hingga akhirnya dianalisis

kembali, dan begitu seterusnya hingga informasi yang dibutuhkan dirasa

cukup mampu menggambarkan pengalaman informan secara utuh (Creswell,

1998). Data wawancara akan direkam menggunakan digital recorder yang

nanti akan disalin dalam transkip wawancara verbatim

Berdasarkan metode pengumpulan tersebut maka peneliti merancang

proses pengambilan/pengumpulan data dengan cara sebagai berikut:

1. Menentukan informan penelitian dan mencari informan yang sesuai

dengan kriteria penelitian yang dibutuhkan.

2. Menemui para informan satu per satu dan memberitahukan mengenai

kebutuhan peneliti terkait dengan usaha memperoleh data.

3. Menjelaskan kepada informan mengenai tujuan penelitian.

4. Meminta bantuan kepada informan supaya bersedia menjadi informan

penelitian.

5. Melakukan rapport.

6. Membuat informed concent sebagai pernyataan tertulis akan kesediaan

sebagai informan dengan segala kesepakatan yang telah dijelaskan

sebelumnya.

7. Menanyakan kesediaan waktu informan untuk melakukan wawancara.

8. Datang ke rumah setiap informan untuk melakukan wawancara secara

(43)

9. Setiap akhir wawancara, peneliti selalu berusaha untuk membuat skema

sederhana dari cerita informan sampai informan menyetujui skema

tersebut.

10.Informan membuat verbatim yang akan diserahkan kepada informan

untuk diperiksa apakah informan berkenan dengan verbatim tersebut

atau tidak. Jika tidak maka peneliti akan menggantinya dan kembali

menyerahkan kepada informan untuk diperiksa. Begitu seterusnya

hingga informan merasa verbatim tersebut pantas.

11.Peneliti membuat skema yang lebih rinci mengenai verbatim yang ada

di saat wawancara terakhir sampai informan menyetujuinya.

Tabel 1. Panduan Pertanyaan Wawancara

1. Bagaimana riwayat penyakit penderita? 2. Apa yang terjadi?

a. Apa yang terjadi pada penderita setelah dinyatakan GG? b. Bagaimana pasangan menyikapi sakit GG penderita?

3. Apa pendapat dan perasaan pasangan tentang penyakit penderita? 4. Apa yang pasangan lakukan menanggapi penyakit penderita? 5. Apa harapan pasangan ke depan berkaitan dengan sakit penderita?

E. Metode Analisis Data

Penelitian analisis interpretative fenomenologis menekankan pada

analisis yang berkempentingan untuk mempelajari sesuatu mengenai dunia

psikologis informan (Smith, 2009). Langkah-langkah dalam metode analisis

(44)

1. Mencari tema-tema dalam kasus pertama

Transkip verbatim dibaca berulang-ulang. Dalam penulisannya

akan dibuatkan kolom yang akan terbagi menjadi tiga bagian. Bagian

tengah akan menjadi tulisan transkrip verbatim. Sebelah kiri akan

menjadi bagian untuk melampirkan keterangan yang dianggap menarik

dan bermakna dalam cerita informan. Hal ini dilakukan sampai transkrip

pertama selesai dan kembali ke awal transkrip untuk mengisi kolom

sebelah kanan. Kolom sebelah kanan ini akan diisi dengan tema-tema

yang muncul. Tema-tema ini merupakan transformasi dari cerita yang

ada menjadi kualitas esensial dari apa yang ditemukan dalam teks. Dua

tahapan ini dilakukan terus menerus hingga semua transkrip verbatim

selesai.

2. Mengaitkan tema-tema yang ada

Tema-tema yang muncul dituliskan dalam selembar kertas dan

dicari hubungan satu dengan yang lain. Penulisan pertama dilakukan

dengan mengurutkan secara kronologis, didasarkan pada urutan

kemunculan di dalam transkrip verbatim. Setelah itu, tahap berikutnya

adalah dengan mengelompokan tema dengan lebih bersifat analitis atau

teoritis, sehingga menjadi lebih jelas hubungan tiap tema yang ada.

Tahapan ini akan membagi tema-tema menjadi beberapa kelompok yang

dianggap sesuai satu sama lain. Setelah itu, tahapan berikutnya adalah

memberikan tabel tema pada kelompk tema-tema tadi.

(45)

yang dianggap kuat dan tidak, serta menjadi mudah untuk diurutkan.

Pada tahapan ini, jika ditemukan ada tema yang dianggap tidak relevan

dengan fokus penelitian maka bisa dihilangkan atau dibuang dengan

melihat lagi transkrip verbatim untuk memastikan bahwa tema tersebut

memang bisa dihilangkan.

3. Melanjutkan analisis dengan kasus-kasus lain

Transkrip verbatim yang telah dibuat sampai pada tabel tema bisa

menjadi suatu acuan untuk mengerjakan transkrip verbatim selanjutnya.

Hingga akhirnya semua transkrip verbatim memiliki tabel tema yang

nantinya akan digabungkan dari semua transkrip verbatim informan

hingga didaptkan tema-tema pokok.

F. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas dalam penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya

mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting,

proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Konsep

kredibilitas yang dipakai pada penelitian ini meminjam dari penelitian

Humphrey (dalam Moustakas, 1994) mengenai “Pencarian untuk Makna

Hidup”. Humphrey menuliskan kembali keseluruhan deskriptif dari semua

data deskripsi yang telah dianalisis secara struktural. Setelah itu, hasil

tersebut diserahkan kembali pada informan untuk mendapatkan feedback.

(46)

Proses mendapatkan kredibilitas data dalam penelitian ini dilakukan

dengan memberikan semua hasil verbatim kepada informan. Informan

diberikan hak untuk menyetujui atau tidak menyetujui tulisan dalam verbatim

tersebut. Jika informan tidak menyetujui maka tulisan di verbatim akan

dirubah sesuai dengan keinginan informan. Jika hasil verbatim telah disetujui

maka peneliti akan mencocokan pemahaman peneliti terhadap pengalaman

informan di akhir wawancara. Jika proses ini disetujui oleh informan maka

peneliti akan melanjutkan proses berikutnya.

G. Kode Etik Penelitian

Pada saat melakukan penelitian, tentu saja dibutuhkan adanya suatu

aturan dalam melakukannya. Hal ini juga berlaku pada penelitian ilmu

psikologi. Kode etik (Hasan, 2009) yang menjadi landasan peneliti dalam

melakukan penelitian ini adalah:

1. Pasal 7.2.2, tentang menghormati hak dalam melaksanakan

kegiatan di bidang riset.

Pasal ini menjelaskan beberapa hal, yaitu:

1.1.Ilmuwan psikologi dan psikolog bertanggungjawab dalam hal

langkah-langkah yang diperlukan untuk memberikan

perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan peserta serta

semua pihak yang terkait dalam penelitian

1.2.Ilmuwan psikologi dan psikolog wajib menjelaskan secara

(47)

dilibatkan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh peserta

riset.

1.3.Ilmuwan psikologi dan psikolog wajib membuat perjanjian

secara lisan dan tertulis dalam bentuk informed riset.

1.4.Ilmuwan psikologi dan psikolog wajib mematuhi peraturan

hukum yang berlaku sebagai warga negara dengan mengikuti

aturan etika yang berlaku.

2. Pasal 12.2, tentang kerahasiaan data.

Pasal ini menjelaskan beberapa hal, yaitu:

2.1.Ilmuwan psikologi dan psikolog wajib menjaga kerahasiaan

data yang diperoleh dalam penelitian.

2.2.Data yang ada dapat dibagikan kepada pihak-pihak yang

berkaitan langsung dengan penelitian yang dilakukan.

2.3.Meskipun data yang ada dapat dibagikan dan didiskusikan

dengan pihak-pihak yang berkaitan secara langsung, namun

identitas peserta wajib dirahasiakan.

Berdasarkan kode etik tersebut, diharapkan peneliti dapat menjalankan

proses penelitian dengan baik dan mampu mengeksplor kebutuhan data

dengan cara yang tepat.

(48)

31 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kemungkinan Partisipatisasi (Bias) Peneliti

Penelitian kualitatif memiliki kekurangan dalam melihat suatu

keobjektivitasan data. Hal ini tentunya juga berlaku dalam penelitian ini yang

dipengaruhi oleh kepartisipantivitasan peneliti. Kepartisipantivitasan tersebut

antara lain:

1. Peneliti sebagai instrument dalam penelitian ini tentunya membawa

asumsi-asumsi ataupun penilaian-penilaian tersendiri sebelumnya.

Asumsi informantif ini didukung karena peneliti merupakan anak dari

penderita gagal ginjal yang telah menjalani HD selama ± 3 tahun. Hal ini

tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi peneliti untuk berusaha

menghilangkan segala asumsi demi tercapainya validitasi data.

2. Peneliti yang hidup dengan seorang ibu penderita gagal ginjal tentu saja

mengalami beberapa pengalaman psikologis tersendiri. Hal ini menjadi

dasar peneliti untuk mengajukan topik penelitian ini. Jika seorang anak

dari penderita gagal ginjal saja mengalami suatu pengalaman psikologis

maka bagaimana dengan pasangan dari penderita tersebut? Saat peneliti

melihat secara langsung kehidupan orang tua, peneliti secara jelas

menemukan suatu pengalaman dalam kehidupan berpasangan dari orang

(49)

yang fatal karena dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kesadaran akan

adanya perubahan dan kemampuan untuk menerima kenyataan.

3. Keterbatasan keterampilan yang dimiliki oleh peneliti masih sangat

minim. Hal ini akan menjadi salah satu kendala dalam proses

pengumpulan dan analisis data. Terlebih penelitian menggunakan pola

zig-zag (Creswell, 1998) yang membutuhkan keuletan dan kecermatan

yang tajam.

B. Profil Subjek

Informan dalam penelitian ini berjumlah 4 orang. Hal ini sesuai

rekomendasi dari Dukes (dalam Creswell, 1998) yang mengatakan bahwa

informan penelitian kualitatif bisa dilakukan dari jumlah informan 3 sampai

10 orang.

1. Subjek 1

1.1.Deskripsi Subjek

Informan pertama dalam penelitian ini berinisial De. De

merupakan seorang laki-laki dengan berusia 46 tahun dan sudah

menikah sejak tahun 1996. De memiliki struktur tubuh yang kurus,

tinggi, dan berkulit hitam. Ia memiliki perawakan yang santai dan

selalu ramah terhadap semua orang. Selain itu, De juga memiliki

selera humor yang tinggi sehingga siapaun yang berada di sampingya

(50)

De merupakan bapak dari dua orang anak. Anak pertama adalah

laki-laki berusia 14 tahun dan duduk di bangku kelas IX SMP.

Sedangkan yang anak kedua adalah perempuan berusia 10 tahun dan

duduk di bangku kelas V SD. Saat ini, De tinggal dengan istr

(penderita)i dan kedua orang anaknya. Meski demikian, rumah De

berdekatan dengan adik iparnya yang memang terletak pada satu petak

tanah. De sangat senang jika menceritakan tentang kedua anaknya dan

lingkungan di tempat tinggalnya. Bahkan seringkali setiap melakukan

wawancara De menyuguhi peneliti dengan berbagai buah yang ada di

halaman rumahnya.

Dalam kesehariannya, De bekerja sebagai pegawai swasta.

Meski demikian, De juga berusaha untuk mencari tambahan dana

dengan menjadi pegawai honorer. Selain itu, De juga selalu

menyelesaikan pekerjaan rumah sehari-hari dengan bantuan kedua

anaknya. Hal ini dilakukan oleh De sebagai bentuk tanggungjawab

dan kasih sayang terhadap penderita dan kedua anaknya.

De kadang terlihat letih saat bertemu di RS maupun di

rumahnya. Meski demikian, De selalu berusaha tetap tersenyum dan

ramah untuk tidak terlihat letih. De bahkan sering memberikan

semangat kepada para penderita gagal ginjal dan pasangan lainnya

untuk tetap berusaha dan berdoa. Keramahan De nampak jelas ketika

semua penderita gagal ginjal dan pasangannya yang memiliki waktu

(51)

1.2. Riwayat Penyakit Gagal Ginjal Penderita

Riwayat penyakit gagal ginjal dari penderita informan 1 diawali

dari tensi yang tinggi (hipertensi). Meski demikian, penderita tidak

ingin memeriksakan hipertensinya ke dokter. Hingga pada suatu hari,

penderita selalu muntah-muntah. Dokterpun menyatakan bahwa

penderita itu sakit, namun belum dinyatakan sakit gagal ginjal.

Setelah opnam selama 15 hari di RS Panti Nugraha,

penderitapun sembuh dan kembali ke rumah. Setelah 2 bulan

penderita kembali kambuh. Pertama kali, informan dan penderita

merasa bahwa kambuhnya penyakit karena adanya polusi udara ternak

burung puyuh di dekat rumah. Namun, setelah diupayakan berbagai

hal ternyata penderita tetap sakit. Akhirnya penderita diperiksakan ke

RS. Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa penderita memiliki kreatin

yang tinggi sehingga harus dirujuk ke RS Panti Rapih. Pemeriksaan di

RS Panti Rapih menyatakan bahwa penderita menderita penyakit

gagal ginjal.

2. Subjek 2

2.1.Deskripsi Subjek

Informan kedua dalam penelitian ini berinisial Sri. Sri

merupakan perempuan berusia 59 tahun dan telah menikah sejak tahun

1976. Sri memiliki struktur fisik yang pendek dengan tinggi sekitar

140 cm, berkulit sawo matang, dan menggunakan kaca mata

(52)

Sri merupakan ibu dari tiga orang anak. Anak pertama adalah

laki-laki berusia 34 tahun namun belum menikah. Anak kedua adalah

perempuan berusia 32 tahun dan telah menikah. Sedangkan anak

ketiga adalah perempuan berusia 31 tahun dan telah menikah. Saat ini

Sri tinggal dengan suami (penderita), anak pertama, dan anak ketiga

beserta cucu.

Sri memiliki sifat yang cenderung kaku dan apa adanya. Bahkan

dalam beberapa kesempatan Sri menekankan hal ini sebelum

melakukan wawancara. Selain itu, Sri juga sangat memperhatikan

penderita. Hal ini nampak pada kesediaan Sri untuk mengurusi

penderita dari masa sakit di rumah, di RS, sampai mengurusi

mengenai obat dan surat-surat penting yang dibutuhkan. Hal ini

dilakukan oleh Sri sebagai suatu bentuk kesadaran akan cintanya pada

penderita dan kesadaran bahwa anak-anaknya kini telah memiliki

tanggungjawab lain, yaitu bekerja.

Meski demikian, Sri tetaplah sosok yang ramah didukung

dengan sisi keibuan yang begitu kental. Hal ini nampak pada sapaan

Sri yang begitu hangat pada beberapa kesempatan. Sri hidup

sederhana dengan bekerja sebagai ibu rumah tangga dan

mengusahakan usaha kecil pembuat “pesanan makanan” di rumahnya.

Menurut pengakuannya, usaha kecil ini juga digunakan sebagai ajang

romantisme dengan penderita. Sri mengaku bahwa penderita sering

(53)

2.2.Riwayat Penyakit Gagal Ginjal Penderita

Riwayat penyakit gagal ginjal penderita dari informan 2 dimulai

ketika pada suatu sore penderita mengeluh sakit badan. Berdasakan

keluhan tersebut, keluargapun membawa penderita ke RS DKT untuk

dilakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa kedua

ginjal penderita sudah rusak dan lemah. Salah satu dari ginjal (sebelah

kanan) terdapat batu ginjal. Dokterpun memberikan pilihan alternatif

kepada penderita dan keluarga, yaitu melakukan operasi atau

ditembak. Mendapati kenyataan demikian, ternyata penderita belum

siap untuk menerimanya akhirnya penderitapun mencari

penyembuhan alternatif. Setelah melakukan penyembuhan alternatif

selama beberapa bulan, ternyata penderita kembali mengeluh sakit dan

dirujuk ke RS. Sardjito. Hasil pemeriksaan di RS. Sardjito

menyatakan bahwa ginjal penderita telah lemah dan rusak sehingga

harus dioperasi.

Keluarga akhirnya memilih operasi ESWL di RS. X. Proses

operasi berjalan dengan lancar dan hanya membutuhkan waktu 1 hari

saja. Keluarga mengira bahwa hasil operasi tidak akan membawa

dampak apapun, namun suatu saat keluarga mengetahui bahwa ginjal

penderita yang sebelah kanan telah hancur. Hal ini mengakibatkan

ginjal sebelah kanan penderita harus diangkat. Berangkat dari proses

(54)

3. Subjek 3

3.1.Deskripsi Subjek

Informan ketiga dalam penelitian ini berinisial Was. Was

merupakan perempuan berusia 69 tahun. Was memiliki penampilan

fisik dengan kulit putih, tubuh yang pendek, dan mengenakan kaca

mata dikarenakan faktor usia. Selain itu, Was memiliki perawakan

yang sangat ramah dan murah senyum. Hal ini terlihat dari setiap

pertemuan dimana Was selalu berusaha untuk menyapa orang-orang

yang dia temui baik yang secara sengaja maupun tidak.

Was merupakan ibu dari dua orang anak dimana keduanya telah

menikah dan tinggal di luar kota serta luar negeri. Was merupakan

seorang Guru Besar pada salah satu Universitas besar di Yogyakarta.

Kegiatan Was saat ini mengajar khusus untuk S3. Hal ini dikarenakan

kesadaran Was akan tanggungjawabnya sebagai seorang istri dari

penderita gagal ginjal dan bertambahnya usia. Meski demikian, Was

sangatlah fleksibel dalam beberapa kegiatan yang berhubungan

dengan ilmu pengetahuan.

Was menjelaskan bahwa dirinya sangat menjunjung tinggi

nilai-nilai Jawa. Hal ini dikarenakan Was dari kecil hidup dalam

lingkungan keluarga Jawa yang sangat kental. Selain itu, ibu dari Was

juga sangat menekankan kebudayaan Jawa pada setiap anak-anaknya.

(55)

yang lebih baik dari hari ke hari dengan segala pemaknaan filosofi

Jawa yang telah dimilikinya.

3.2.Riwayat Penyakit Gagal Ginjal Penderita

Riwayat penyakit gagal ginjal penderita dari informan 3 diawali

dari 30 tahun yang lalu yaitu tekanan darah tinggi. Keluarga informan

3 ini memang memiliki hubungan yang baik dengan beberapa dokter

spesialis, hingga akhirnya salah satu dokter tersebut memberitahukan

bahwa jika tekanan darah yang tinggi bisa mengakibatkan sakit gagal

ginjal. Meski demikian, penderita selalu rajin mengecek kesahatan

setiap sebulan sekali, sehingga dirinya mampu melihat secara

langsung perkembangan penyakit tersebut, apakah memang akan

berakhir sakit gagal ginjal atau ada kemungkinan untuk dicegah. Hal

ini terus berlanjut hingga penderita mengeluh sakit dan harus dirujuk

ke Rumah Sakit.

Hasil pemeriksaan RS menyatakan bahwa ginjal penderita

mengalami pembengkakan dan harus masuk ke ICU. Dari sinilah

penderita mulai dinyatakan sakit gagal ginjal dan harus menjalani HD.

4. Subjek 4

4.1.Deskripsi Subjek

Informan ketiga dalam penelitian ini berinisial Dar. Dar

merupakan perempuan berusia 48 tahun. Dar memiliki penampilan

fisik dengan kulit putih dan tinggi badan ± 160 cm. Selain itu, Dar

(56)

dari setiap pertemuan dimana Dar selalu berusaha untuk menyapa

orang-orang yang dia temui baik yang secara sengaja maupun tidak.

Dar merupakan ibu dari 1 orang anak, yaitu laki-laki berusia 13

tahun yang duduk di bangku kelas VIII SMP. Saat ini, Dar tinggal

dengan suami (penderita) dan anaknya. Kegiatan Dar saat ini adalah

menjadi ibu rumah tangga. Selain itu, Dar juga membuka sebuah

usaha warung pupuk pertanian di rumahnya. Meski demikian, Dar

juga aktif berkegiatan di Gereja, salah satunya adalah dengan

mengikuti koor kategorial. Dar menjelaskan bahwa dirinya dari kecil

memang telah hidup dalam lingkungan iman Katolik dan kesediaan

mengabdi di Gereja yang kental. Hal ini menjadi salah satu alasan Dar

untuk tetap aktif di Gereja meskipun tetap merawat penderita di

rumah.

4.2.Riwayat sakit gagal ginjal penderita

Sakit gagal ginjal penderita diawali dengan seringnya penderita

minum minuman bersoda di sela bekerja. Aktivitas penderita yang

padat dan jarak yang jauh membuat penderita merasa kehausan. Hal

ini mengakibatkan penderita berusaha mencari minuman yang segar

dan dingin, yaitu soda.

Pada saat itu penderita sering mengaku sakit pinggang. Hal ini

membuat pasangan mengajak penderita untuk periksa ke dokter. Hasil

pemeriksaan tersebut dinyatakan bahwa penderita mengalami

(57)

didukung dengan pembengkakan yang terjadi di tubuh penderita yang

mengakibatkan penderita gemuk, kesulitan berjalan, dan kesulitan

bernafas.

Pasangan yang merupakan lulusan AKPER merasa perlu tahu

asal muasal pembengkakan dan cairan yang ada dalam tubuh penderita

sehingga meminta penderita melakukan cek lab. Hasil lab

menunjukkan keratin penderita tinggi dan harus segera dirujuk ke RS.

Hasil pemeriksaan di RS menyatakan bahwa penderita sakit gagal

ginjal dan harus HD.

Tabel 2. Rangkuman Deskripsi Informan

Informan

Keterangan INFORMAN 1 INFORMAN 2 INFORMAN 3 INFORMAN 4

Inisial Pak De Bu Sri Bu Was Bu Dar

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Perempuan Perempuan Usia 46 tahun 62 tahun 69 tahun 48 tahun

Agama Islam Islam Islam Katolik

Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa Jawa

Pekerjaan Pegawai Swasta Ibu RT dan wiraswasta

Gambar

Tabel 1 Tabel 2
Tabel 1. Panduan Pertanyaan Wawancara
Tabel 2. Rangkuman Deskripsi Informan
Tabel 3. Jadwal Wawancara
+2

Referensi

Dokumen terkait

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Sari Coffee Indonesia, Starbucks Coffee merupakan perusahaan kedai kopi terbesar di Indonesia yang memiliki lebih dari 100 cabang baik di dalam kota maupun luar

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah