• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

Saran yang dikemukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Saran bagi pihak medis (rumah sakit, dokter dan paramedis)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa respon awal yang muncul adalah penolakan yang dialami oleh pasangan dari penderita gagal ginjal yang dipengaruhi oleh ketidaksiapan pasangan terhadap kenyataan yang terjadi. Dengan demikian, maka sosialisasi menjadi sangat penting bagi masyarakat sehingga mampu lebih menjaga kesehatan dan lebih peka dengan segala penyebab serta pengobatan dari penyakit gagal ginjal.

2. Saran bagi psikolog kesehatan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesadaran akan nilai-nilai hidup menjadi faktor utama untuk bisa menuju pada pemaknaan. Dengan demikian, para psikolog kesehatan perlu membantu para pasangan untuk mencapai pemaknaan dengan berangkat dari kesadaran akan kondisi yang terjadi didukung dengan nilai-nilai hidup yang diyakininya.

3. Saran bagi para pasangan dari penderita gagal ginjal dan penyakit kronis lainnya

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pengalaman hidup yang sulit dapat ditemukan makna yang menjadi tujuan hidup untuk bisa bersikap secara tepat menanggpi realitas.. Hal ini dicapai dengan adanya kesadran. Dengan demikian, para pasangan dari

penderita gagal ginjal dan penyakit kronis lainnya perlu bersedia untuk menyadari kondisi yang terjadi secara utuh sehingga mampu mencapai kesadaran dan mencapai pemaknaan.

4. Saran bagi keluarga dan lingkungan sosial

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasangan mampu menjadi lebih kuat dalam menyadari kondisi yang terjadi dengan adanya dukungan dari keluarga dan lingkungan sosial. Dengan demikian, keluarga dan lingkungan diharapkan lebih dewasa melihat kondisi yang terjadi sehingga bersedia untuk menerima kondisi tersebut serta memberikan dukungan bagi pasangan yang ternyata mengalami permasalahan tersendiri dalam dirinya.

5. Saran bagi penelitian selanjutnya

Karakteristik informan dalam penelitian ini dirasa kurang bervariasi sehingga kurang bisa mewakili pengalaman-pengalaman psikologis pada pasangan dari penderita gagal ginjal. Beberapa karakteristik yang dapat dikaji lebih lanjut adalah jenis kelamin pasangan, laki-laki dan perempuan; jenjang pendidikan; serta latar belakang budaya. Diharapkan dengan adanya penambahan yang lebih rinci mengenai karakteristik dari penelitian akan lebih bisa memberikan manfaat bagi pihak medis, pasangan dari penderita gagal ginjal, psikolog kesehatan, dan keluarga serta masyarakat luas.

77

DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, Mika Vera. (2008). Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara,

Fakultas Kedokteran. Diakses dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14257/1/09E01047.pdf pada tanggal 14 Agustus 2011

Bastaman, H.D. (1996). Meraih hidup bermakna : Kisah pribadi dengan pengalaman tragis. Jakarta : Paramadina.

Boeree, C. George. (2006). Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Yogyakarta: PrismaSophie

Cengic, Badema, Resic, Halima, Spasovki, Goce, Avdic, Emir, Alajbegovic. (2010). Quality of sleep in patients undergoing Hemodialysis. Journal of Nephrology-Original Paper, Vol, X

Cheung, Jenny & Hocking, Peta. (2004). The Experiences of Spousal Carers of People With Multiple Sclerosis. Journal of Qualitative Health Research, Vol. 14, No. 2, hlm. 153-166

Colvy, Jack. (2010). Gagal Ginjal: Tips Cerdas Mengenali & Mencegah Gagal Ginjal. Yogyakarta: DAFA Publishing

Creswell, John W., (1998). Qualitative Inquiry and Research Design Choosing Among Five Traditions. California : Sage Publications, Inc.

Feist, Jess & Feist, Gregory J.. (2010). Teori Kepribadian. (ed. ke-7). Diterjemahkan oleh Smitha Prathita Sjahputri dari judul asli Theories of Personality. Jakarta: Penerbit Salemba Humanika

Gari, Aikaterini & Azizi, Anastasia Kalantzi. (1998). The Influence of Traditional Values of Greek Students’ Real and Ideal Self-Concepts. Journal of Social Psychology, Vol. 138, No.1, hlm. 5-12

Hasan, Purwakania, ALiah B.. (2009). Kode Etik & Ilmuwan Psikologi. Yogyakarta: GRAHA ILMU

Iskandarsyah, Aulia. (2006). Hubungan antara Health Locus of Control dan Tingkat Depresi pada Pasien Gagal Ginjal Kronis di RS. Ny. Habiebie Bandung. Skripsi. Bandung: Universitas Padjadjaran, Fakultas Psikologi. Diakses dari http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/PENELITIAN%20AULIA-2.pdf pada tanggal 15 Juli 2011

Lubis, M.P.. (2011). KTI Perilaku Pasien Penderita Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisa di R.S. Umum XXXX 2010. Diakses dari

http://kti-akbid.blogspot.com/2011/03/kti-prilaku-pasien-penderita-gagal.html pada tanggal 15 Agustus 2011

Muliadinata, Nathasia, & Partasari, Wieka Dyah. (2007). Gambaran Anticipatory Grief Pada Suami dari Penderita Kanker Payudara Stadium Lanjut. Jurnal Ilmiah Psikologi Monasa, Vol. 1, No. 2, hlm. 105-107

Moustakas, Clark. (1994). Phenomenological Research Methods. California : Sage Publications, Inc.

Ohman, Marja & Soderberg, Siv. (2004). The Experiences of Close Relatives Living With a Person With Serious Chronic Illness. Journal of Qualitative Health Research, Vol. 14, No. 3, hlm. 396-410

Pasaribu, Marida, Dewi. (2008). Kepuasan Perkawinan pada Istri yang Memiliki Suami Penderita Stroke. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara,

Fakultas Psikologi. Diakses dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23302/6/Cover.pdf pada tanggal 18 Agustus 2011

Reber, Arthur S. & Reber, Emily S.. (2010). Kamus Psikologi. (ed. ke-3). Diterjemahkan oleh Yudi Santoso dari judul asli The Penguin Dictionary

of Psychology. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR

Smith, Jonathan A.. (2009). Psikologi Kualitatif Panduan Praktis Metode Riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Walgito, Bimo. (2010). Bimbingan & Konseling Perkawinan. Yogyakarta: Penerbit ANDI Yogyakarta

Widiastuti, Rianti. (2009). Coping Stress pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer. Sripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara, Fakultas

Psikologi. Diakses dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14518/1/09E00993.pdf pada tanggal 18 Agustus 2011

Yana, Putu Ardika. (2011). Makna Pengalaman Penderitaan bagi Hidup Penderita Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, Fakultas Psikologi

Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa. (2008) Kamus Besar Bahasa Indonesia. (ed. ke-4). Jakarta: PT: Gramedia Pustaka Utama

Info Seputar Skripsi: teori Humanistik. (2001). Diakses dari

http://www.infoskripsi.com/Article/Teori-Humanistik.html pada tanggal 10 Oktober 2011

Penyakit Gagal Ginjal Menjadi Pembunuh Massal. (2011). Diakses dari

http ://www.diabetesmelitus.comli.com/penyakit-gagal-ginjal-menjadi-pembunuh-massal.html pada tanggal 13 Juli 2011

80

Lampiran 1: Informed Concent

Pada kesempatan ini, saya mahasiswa psikologi yang akan menyelesaikan tugas akhir dengan judul:

Studi Fenomenologi: Pengalaman Psikologis

pada Pasangan dari Penderita Gagal Ginjal

memohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk berpartisipasi menjadi informan dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menggali bagaimana proses pengalaman psikologi yang terjadi pada pasangan penderita gagal ginjal, terlebih dengan adanya perubahan perilaku dan munculnya tuntutan-tuntutan baru dari pasangannya yang menderita gagal ginjal. Anda terpilih dalam penelitian ini karena anda memiliki pasangan yang telah didiagnosa menderita gagal ginjal kronis dan masih dalam hubungan suami-istri. Selain itu, keuntungan yang anda peroleh jika berpartisipasi dalam penelitian ini adalah anda dapat merefleksikan kembali pengalaman anda dalam berdinamika dengan pasangan anda yang menderita gagal ginjal dan bagaimana anda memproses banyak perubahan yang terjadi dalam kehidupan anda. Partisipasi anda juga akan memiliki peran penting dalam memberikan sumbangsih bagi keilmuan psikologi dan kesehatan guna meningkatkan kesejahteraan psikologis para pasangan dari penderita gagal ginjal kronis.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara. Peneliti akan meminta anda menjawab beberapa pertanyaan yang terkait dengan pengalaman anda sesuai judul dan tujuan dari penelitian. Dalam prosesnya, anda mungkin perlu kembali mengingat-ingat pengalaman terdahulu sehingga ada kemungkinan muncul perasaan atau emosi yang tidak enak dalam diri anda. Oleh karena itu, jika anda merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut, anda berhak untuk memutuskan mundur dari proses penelitian ini. Hasil wawancara nanti akan direkam dengan menggunakan digital recorder. Wawancara dapat dilakukan kapanpun saat anda merasa nyaman untuk bercerita. Dalam prosesnya, wawancara dapat berlangsung antara 10 – 20 menit. Namun peneliti sangat fleksibel terhadap kesediaan waktu anda.

Kerahasiaan data akan dilindungi dan terjamin. Peneliti tidak akan membagikan hasil pengumpulan data kepada siapapun kecuali dosen pembimbing peneliti. Nama anda akan dirahasiakan dengan menggantinya dengan inisal. Selain itu, anda juga berhak untuk mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian ini sebelum berpartisipasi. Anda secara sukarela membuat keputusan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Tanda tangan anda menyatakan bahwa anda telah memutuskan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini namun tidak mengikat keberadaan anda untuk tetap menjadi subyek penelitian hingga penelitian berakhir.

_____________________

Partisipan Penelitian Peneliti

Lampiran 2: Verbatim Wawancara Informan 1 Pak De

No Komentar Verbatim Koding

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39

Gejala awal sakit penderita, hipertensi. (3-4)

Pasangan meminta penderita periksa. (3-4)

Penderita tidak mau periksa ke dokter. (4-8)

Penderita mulai mengalami gejala sakit yang lain, muntah. (8)

Pasangan mengusahakan

untuk pindah rumah demi terhindar dari polusi udara. (16-19)

Pasangan membuat kamar kecil di belakang rumah supaya terhindar dari polusi udara. (30-32)

Penderita dinyatakan sakit GG & harus HD. (33-34) Minum suplemen menjadi penyebab penderita sakit GG. (34-38)

Riwayat gagal ginjal untuk istri saya. Itu pertama kali itu ya cuma hipertensi. Sudah saya minta berkali-kali untuk periksa itu tapi dianya tidak

mau. Alasannya itu “Saya tidak apa -apa koq! Wonk pas 170-180, saya masih bisa kemana-mana,”. Sampai ke

tensi yang 170 dan dia tidak berasa sakit. Dan setelah setiap hari muntah, dia akhirnya mau periksa. Setelah diperiksakan teryata dia dinyatakan sakit, tapi belum gagal ginjal mbak. Karena sudah opnam di Panti Nugraha selama 15 hari, setelah pulang dia sembuh. Tapi setelah di rumah 2 bulan dia kambuh lagi. Karena apa? Di rumah kami itu ada semacam polusi udara, di rumah kami itu ada semacam ternak puyuh. Kami sudah berusaha, bahkan saya mengusahakan untuk pindah rumah supaya mengusahakan tidak dekat dengan ternak puyuh tadi. Saya pindah rumah sampai 2 bulan. Ternyata di rumah yang baru dia ingin kembali ke rumah lama lagi. Setelah kembali, baru menempati 10 hari, dia kambuh lagi, karena memang polusi burung puyuh itu tidak ada jarak dengan rumah kami. Akhirnya dia kembali, lalu sakit, terus di Panti Nugroho. Di Panti Nugroho tidak diterima dan diterimanya di Panti Rapih, lalu dinyatakan gagal ginjal oleh dokter. Akhirnya dia pulang lagi ke rumah. Bagaimanapun juga kami sudah mencoba membuat kamar kecil di belakang supaya tidak bau tapi tetap saja bau itu sampai ke rumah. Akhirnya itu, tadi gagal ginjal dan harus HD 2x seminggu. Di samping itu juga karena dia sering minum suplemen. Dan dia itu sering di sawah, sok nganter saya juga. Dia sukanya sangu minum air putih dan dicampur dengan suplemen.

Riwayat sakit GG. (3-4)

Usaha memperhatikan

penderita. (3-4)

Penderita menolak sakit. (4-8)

Indikator sakit GG. (8)

Usaha pasangan mewujudkan

kondisi lingkungan yang

kondusif. (16-19, 30-32)

Riwayat sakit GG penderita. (33-34)

40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81

Keluarga tidak mengetahui indikasi tentang penyakit yang diderita oleh penderita. (45-47)

Pasangan tidak percaya

bahwa penderita sakit GG & harus HD. (50-53)

Pasangan mencari

pengobatan alternatif. (54-55)

Pasangan merasa kecewa akan hasil usahanya yang gagal. (55-56)

Pasangan mengeluhkan

proses HD yang masih

berlanjut sampai sekarang. (57-59)

Pasangan mengkhawatirkan

biaya demi kesembuhan

penderita. (60-63)

Kehidupan keluarga berubah karena pasangan bekerja sendiri & menjadi lebih berat. (64-69)

Anak-anak terabaikan dalam proses belajar. (70-72)

Anak-anak terganggu oleh erangan sakit penderita. (73-75)

Pasangan kasihan pada anak-anak dan penderita dengan kondisi yang terjadi. (76-78)

Penderita menjadi sangat sensitif terhadap sesuatu hal.

Itu karena kreatinnya terlalu tinggi dan kondisi ibu sudah lemah. Dan di Panti Nugroho hanya diberikan pertolongan pertama, jadi langsung dikirim ke Panti Rapih.

Ibu mulai HD itu 2 desember 2009. Itu kondisinya kami tidak tahu bahwa ada indikasi ibu akan menderita gagal ginjal. Ya hanya tensi saja yang tinggi. Setelah mengetahui pasangan saya gagal ginjal dan harus HD. Saya juga tidak percaya kalau istri saya itu harus HD seminggu 2x. Apakah tidak ada alternatif lain supaya tidak HD seminggu 2x? Saya juga mencari alternatif lain, baik ke orang pinter ataupun ke paranormal, tetapi hasilnya NOL malah menelan banyak biaya. Terus HD saja tidak hanya sekali/dua kali saja, tetapi sampai sekarang juga masih HD. Lalu dengan mengetahui istri saya menderita gagal ginjal, saya

jadi berpikir mbak: “Bagaimana

dengan dana demi kesembuhan istri saya dan bagaimana dengan anak-anak

saya?”.

Ya, dengan adanya seperti itu seperti menjalankan HD ya semuanya jadi serba berubah. Pekerjaan yang tadinya ringan sekarang terasa berat. Yang dulu suami istri bisa kerja sama sekarang hanya suami saja. Biasanya bisa mencuci bersama, sekarang sendiri. Biasanya bisa mendampingi

anak-anak dalam belajar juga,

sekarang ini anak-anak terabaikan. Kemudian masalah pengawasan anak dalam belajar, saya merasa anak saya juga terganggu. Ya gimana, kalau malam ibunya juga sering mengerang

kesakitan. “Wah, malah ra so turu!”.

Ya kasian sama anak-anak, tapi juga lebih kasian sama pasangan, karena pasangan juga sudah merasakan sakit. Dalam diri ibu tentunya sudah mengalami buanyak sekali perubahan. Yang pertama ibu saat ini sering sekali

Keluarga kurang informasi

mengenai sakit GG dan

gejala-gejalanya. (45-47)

Pasangan tidak menerima

kenyataan yang terjadi. (50-55)

Pasangan mencoba mencari jalan alternatif bagi penderita namun gagal, dan pasangan kecewa. (54-56)

Pasangan merasa kecewa pada proses HD. (57-59)

Pasangan tidak mengetahui tujuan dan fungsi HD. (57-59) Pasangan khawatir akan masa depan keluarga. (60-63)

Pasangan terbebani oleh

pekerjaan yang bertambah. (64-69)

Anak-anak terabaikan. (70-72)

Anak-anak merasa terganggu dengan kondisi yang terjadi. (73-75)

Kebingungan pasangan pada kondisi yang terjepit antara anak & pasangan. (76-78)

Perasaan penderita menjadi lebih sensitif. (81-86)

82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 (81-86)

Anak menjadi sasaran

kemarahan penderita. (88-89)

Penderita sudah tidak mau tahu pada kondisi anak-anak. (90-95)

Anak-anak menjadi mandiri. (96-97)

Penderita bosan dan

mengeluh akan sakit GG & proses HD yang dialami. (97-100)

Penderita menghindar saat

ditemani tidur karena

mengira pasangan ingin

berhubungan sex. (103-109)

Penderita minta ditemani saat HD. (110-115)

Penderita mengajak

pasangan berusaha

memenuhi kebutuhan RT. (116-118)

Penderita tidak memiliki

keinginan untuk

tersingung, mudah sekali tersinggung, sensitif sekali dengan kata-kata yang menurut kita itu biasa. Tapi ibu mudah tersinggung. Apalagi jika kita bicara bisik-bisik, nanti ibu bisa marah karena dikiranya ngomongin ibu. Pekerjaan yang tadinya ingin cepat selesai di rumah, rumah berantakan kayak gitu anak-anak jadi sasaran. Lalu masalah mengenai perubahan pasangan saya sendiri, pasangan saya sendiri itu sekarang itu ngga mau tahu. Tahunya itu pokoknya anak berangkat sekolah disangoni, ya sudah. Mau tak

setrikake atau mungkin tak tatake

bajunya, akh sudah ngga mau tahu. Ya malah sekarang anak-anak jadi mandiri, bisa nyiapin bekal sendiri dan nyiapin baju sendiri. Lalu masalah memikirkan penyakitnya, istri saya itu

sudah jemu. “Kenapa saya harus HD,

kenapa saya harus di RS seminggu 2x,

harus disakiti?”.

Meski begitu, ibu itu tidak

memaksakan sesuatu jika memiliki keinginan. Ngga maksa gitulah! Cuma misalnya dia lagi tidur begitu sendirian, lalu saya temani begitu belum 10 menit kita berteman tidur di situ, lalu dia pergi tidur ke tempat lain. Saya tahu mbak, mungkin dia takut kalau saya minta ini itu ke dia, padahal pikiran saya itu tidak mungkin begitu. Lalu misalnya ibu sakit begitu, pas HD ya minta ditemani. Yang penting ada

yang menemani. Dia kalau ngga

ditemani juga ngga mau, kecuali terpaksa sekali. Mau budhenya anak-anak juga ngga papa, dia juga mau ditemani. Kalau masalah pekerjaan dan keuangan juga ya biasa, malah

sering bilang “Gimana ya mas, ayo

berusaha buat nggolek iki nggolek kuwi.”, ya biasa tidak ada yang berarti

sekali.

Lalu mengenai hubungan pribadi, seperti hubungan layaknya suami istri itu dia sudah merasakan kayaknya

perasaannya sudah tidak ada

keinginan. Perasaan untuk itu tu sudah

Penderita menjadikan anak-anak pelampiasan. (88-95)

Anak-anak mencoba menjadi

mandiri demi membantu

pasangan. (96-97)

Penderita jenuh pada rutinitas HD. (97-100)

Penderita takut & tidak mau

melakukan hubungan sex.

(103-109)

Penderita membutuhkan

teman di saat yang sulit. (110-115)

Penderita menyadari

kebutuhan yang semakin

banyak dan biaya yang

semakin besar. (116-118)

Penderita tidak lagi merasakan keinginan untuk berhubungan sex. (120-126)

124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 berhubungan sex. (120-126)

Sudah lama tidak

berhubungan sex. (126-132)

Pasangan tidak mau

memaksa penderita karena

merasa bahwa penderita

terpaksa saat berhubungan sex. (132-136)

Pasangan mampu merasakan perasaan penderita. (138-139)

Pasangan menerima kondisi

penderita dan mengajak

untuk beriqtiar. (140-142)

Pasangan meminta

anak-anak untuk mendoakan

keluarga. (142-147)

Pasangan berpesan kepada

anak-anak untuk

kemungkinan terburuk. (148-151)

Penderita hanya ingin serba beres. (151-157)

Anak-anak mengeluh akan kondisi yang terjadi. (157-159)

Penderita cemburuan. (160-161)

tidak ada sama sekali. Bahkan dia

sering bilang: “Ash, wes ra nduwe

roso opo2 mas!”. Ini maaf lho mbak!

Mungkin jika hubungan suami istri yang biasanya bisa mungkin seminggu sekali/dua kali, mungkin ini boleh dikatakan libur panjang. Jika libur sekolahpun bisa masuk lagi, triwulan masuk. Kalau ini bisa dikatakan libur panjang. Kalaupun seandainya istri ada kemauan, mungkin itu karena terpaksa sekali. Karena terpaksa dan saya selaku pasangan, saya tidak tega, karena dia itu mungkin mau tapi terpaksa.

Bisa mbak.. Bisa… Karena dia sudah merasakan “Aku perasaannya sudah tidak ada keinginan untuk itu pak.”. “Ya sudah, ngga papa. Yang penting

itu kita iqtiar, berdoa biar kamu bisa

sembuh.”. Dan anak-anak saya saja,

setiap selesai sembayang dari subuh, luhur, azar, maghrib, dan isya saya minta untuk berdoa dan berdoa untuk memohonkan supaya ibunya cepat sembuh, jangan hanya memohonkan buat sendiri-sendiri tapi juga buat bapak juga, ibu juga, dan kamu juga. Hal itu saya selalu pesankan kepada anak-anak saya, nanti jika ibu sampai tidak ada supaya anak-anak bisa mandiri dan bisa mencukupi diri sendiri. Karena terus terang, pasangan saya itu selama menjalankan HD dia maunya serba beres. Kalau malam itu mengerang kesakitan misalnya dari sore sampai pagi, dia itu sepertinya

tidak memikirkan “kalau saya begini pasangan saya sakit atau bagaimana”,

tapi ya dia ngga mau tahu. Bahkan anak-anak juga sering mengeluh

Wah, nek ngene iki ra iso turu!”.

Terus to mbak, ya kadang itu ibu juga jadi cemburuan begitu. Padahal ibu tuh juga tahu itu temen saya, tapi ya entah gimana ibu kayak lupa begitu. Ya mbaknya juga tahu kan saya itu sama sapa-sapa ramah gitu. Lha sekarang itu lok ibu tahu saya

Pasangan rindu untuk bisa bermesraan dengan penderita. (126-132)

Pasangan mengharapkan

keharmonisan suami istri kembali seperti dulu. (126-132)

Tumbuhnya rasa empati

dalam diri pasangan. (132-136)

Tumbuhnya rasa empati

dalam diri pasangan. (138-142)

Pasangan menjadikan

keyakinan beragama sebagai pilihan dalam menghadapi kenyataan yang sulit. (140-147)

Pasangan mengkondisikan

anak-anak supaya siap akan kemungkinan terburuk. (148-151)

Penderita hanya memikirkan dirinya sendiri. (151-157)

Anak-anak merasa terganggu dengan perubahan kondisi yang terjadi. (157-159)

166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207

Pasangan tidak ingin

penderita marah. (173-174)

Pasangan berusaha

menjelaskan kondisi yang terjadi kepada temannya. (175-179)

Teman pasangan menerima kondisi yang terjadi. (180-181)

Pasangan merasa kasihan dengan kondisi yang dialami oleh penderita. (186-193)

Penderita bisa beraktivitas ringan. (194-197)

Pasangan mengkhawatirkan masa depan keluarga. (197-200)

Pasangan menyadari

posisinya sebagai kepala keluarga dan berharap untuk

terus berusaha demi

kebahagiaan keluarga. (201-205)

Kesadaran pasangan akan gaji yang lebih kecil daripada

menyapa atau SMSan gitu sama teman yang ada unsur pekerjaanpun ibu

curiga. “Kuwi sopo mas? Kenal neng

endi?”. Ya temen-temen saya sih

sudah tahu hal itu, jadi ya pas misal saya lagi boncengan gitu sama ibu, ya mereka ngga nyapa saya, saya juga ngga nyapa mereka. Memang sih ada rasa ngga enak, tapi ya gimana ya

mbak… Ya daripada nanti bu marah

dan gimana-gimana ya lebih baik gitu. Nanti kalau misal saya ketemu sama temen saya lagi gitu, ngga sengaja ketemu lagi, ya saya akan bilang

“Maaf, tadi saya ngga nyapa, saya

sama istri saya. Ngga enak sama dia,”.

Nanti ya temen-temen saya ya mengerti.

Iya, mau menerima. Kadang juga mereka memberikan semangat sama saya.

Sebetulnya mbak dengan perubahan tersebut, yang saya pikirkan dan rasakan ya sebenarnya saya kasihan sekali dengan pasangan saya. Setiap hari merasakan sakit, 3 hari sekali harus ke rumah sakit, harus HD, terbaring di bed, itu saja kurang lebih 4 jam. Itu saja kalau lagi fit mbak. Kalau lagi drop?! Habis HD harus istirahat, sampai rumah masih pusing, sakit, tidak bisa kunjung sembuh. Tapi nanti kalau sudah bisa tidur, dia bisa rileks, bisa mulai mengerjakan tugas-tugas seperti biasa, masak juga ngga apa, dan nyapu juga ngga apa, tapi

yang ringan-ringan. Tapi ya

bagaimana mbak, saya juga

memikirkan bagaimana nasib anak-anak saya, istri saya, masa depan anak-anak saya bagaimana. Tapi saya juga berusaha mbak, saya juga selaku suamilah bagaimana nanti bagaimana istri saya bisa sembuh, istri saya bisa

Dokumen terkait