• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBERADAAN PARALEGAL DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "KEBERADAAN PARALEGAL DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM "

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

72

KEBERADAAN PARALEGAL DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM

(Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 22 P/HUM/2018)

Kristina Agustiani Sianturi, Ali Marwan Hsb

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara Jl. Putri Hijau Nomor 4 Medan

E-mail: [email protected] ABSTRAK

Keberadaan paralegal dalam memberikan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum mendapatkan penolakan dari beberapa Advokat. Ketentuan tersebut kemudian diajukan judicial review ke Mahkamah Agung dengan alasan ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam putusan Nomor 22 P/HUM/2018, Mahkamah Agung kemudian menyatakan Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Bagaimana kemudian kedudukan paralegal dalam pemberian bantuan hukum pasca keluarnya putusan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan studi putusan dan peraturan perundang-undangan serta studi kepustakaan. Dari hasil analisis ditemukan bahwa seyogianya yang dinyatakan bertentangan hanya terkait dengan pemberdayaan paralegal dalam menjalankan kuasa bukan juga membatalkan ketentuan mengenai pendampingan advokat yang dilakukan oleh paralegal. Keberadaan paralegal dalam mendampingi Advokat seyogianya masih diperlukan dalam rangka transfer ilmu terkait dengan dunia peradilan.

Dengan keluarnya putusan tersebut, maka otomatis paralegal hanya bisa diberdayakan dalam memberikan bantuan hukum non-litigasi saja.

Kata Kunci: Paralegal, Litigasi, Non-Litigasi, Advokat, Bantuan Hukum.

ABSTRACT

The existence of paralegal in providing legal aid as regulated in Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 1 of 2018 on Paralegal in the Provision of Legal Aid get rejection from some Advocates. The provision is then submitted to the Supreme Court judicial review on the grounds that the provision is contrary to Law Number 18 of 2003 on Advocates. In Decision Number 22 P/HUM/2018, the Supreme Court then declared that Article 11 and Article 12 of Regulation of the Minister of Law and Human Rights Number 1 of 2018 on Paralegal in the Provision of Legal Aid was

(2)

73

contradictory to Law Number 18 of 2003 on Advocates. How then the position of paralegal in the provision of legal aid after the release of the decision. It uses normative law methode. From the analysis it is found that what should be contradictory is only related to the empowerment of paralegals in carrying out the power not also cancel the provisions on advocate assistance conducted by paralegal. The existence of paralegals in accompanying Advocates should still be needed in order to transfer knowledge related to justice system. With the release of the decision, then paralegals can only be empowered in providing non-litigation legal aid only.

Keyword: Paralegal, Litigation, Non-Litigation, Advocate, Legal Aid.

PENDAHULUAN

Keberadaan paralegal dalam peraturan perundang-undangan dapat ditemukan pertama kali dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Di mana pada pasal 9 huruf a disebutkan bahwa pemberi bantuan hukum berhak melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum. Selain itu, dalam Pasal 10 huruf c dinyatakan bahwa pemberi bantuan hukum berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Bantuan Hukum bagi advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas hukum yang direkrut sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a. Dalam ketentuan ini tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai keberadaan paralegal dalam memberikan bantuan hukum.

Terkait dengan keberadaan paralegal dalam memberikan bantuan hukum kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Dalam konsideran menimbang disebutkan bahwa peran paralegal diperlukan untuk meningkatkan jangkauan pemberian bantuan hukum agar menjangkau seluruh masyarakat Indonesia. Yang menarik kemudian adalah paralegal dapat memberikan bantuan hukum secara litigasi dan non-litigasi setelah terdaftar pada pemberi bantuan hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum disebutkan bahwa “Paralegal dapat memberikan Bantuan Hukum secara litigasi dan nonlitigasi setelah terdaftar pada Pemberi Bantuan Hukum dan mendapatkan sertifikat pelatihan Paralegal tingkat dasar”. Ketentuan mengenai Paralegal ini

(3)

74

kemudian diajukan judicial review1 ke Mahkamah Agung dalam perkara Nomor 22 P/HUM/2018.

METODE PENELITIAN

Marzuki dalam Eka NAM Sihombing (2019) menyatakan bahwa metode penelitian hukum yuridis normatif yaitu metode yang menggunakan pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep asas-asas hukum, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian. Adapun sifat penelitian yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah preskriptif, berpegang pada karakteristik ilmu hukum sebagai ilmu terapan, preskripsi yang diberikan di dalam kegiatan penelitian hukum harus dapat dan mungkin untuk diterapkan. Oleh karena itu yang dihasilkan oleh penelitian hukum, sekalipun bukan asas hukum yang baru atau teori baru, paling tidak argumentasi baru.2 PEMBAHASAN

Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia

Bantuan hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat barat sejak zaman Romawi, di mana pada waktu itu bantuan hukum berada dalam bidang moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan atau menerima imbalan atau honorarium. Setelah meletusnya revolusi Prancis, bantuan hukum kemudian mulai menjadi bagian dari kegiatan hukum atau kegiatan yuridis dengan mulai lebih menekankan pada hak yang sama bagi warga masyarakat untuk mempertahankan kepentingan-kepentingannya di muka pengadilan dan hingga awal abad ke-20, bantuan hukum ini lebih banyak dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa di bidang hukum tanpa suatu imbalan.3

Secara formal di Indonesia, bantuan hukum sudah ada sejak masa penjajagan Belanda, hal ini bermula pada tahun 1848 ketika di Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi,

1 Judicial review mempunyai pengertian pengujian terhadap peraturan perundang- undangan yang dilakukan oleh lembaga peradilan. Lihat Ali Marwan Hsb, Konsep Judicial Review dan Pelembagaannya di Berbagai Negara, Setara Press, Malang, 2017, hlm. 9.

2 Eka N.A.M Sihombing, Eksistensi Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin (The Existence of Paralegals in Providing Legal Aid to the Poor), Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum,Vol. 6, No. 1, June (2019).

3 Bambang Sunggono dan Aries Hartono, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 11.

(4)

75

maka dengan firman raja tanggal 18 Mei 1848 Nomor 1, perundang-undangan baru di negeri Belanda tersebut juga diberlakukan buat Indonesia.4

Dikarenakan adanya pembedaan golongan penduduk pada masa itu menjadi 3 (tiga) golongan yaitu golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Bumiputera, menyebabkan adanya perbedaan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain dalam banyak bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, sosial, dan politik kolonial. Di mana dalam semua bidang tersebut golongan Bumiputera menempati derajat yang lebih rendah daripada golongan Eropa dan Timur Asing. Perbedaan-perbedaan tersebut juga berimplikasi pada dikotomi sistem peradilan di Indonesia. Pada masa kolonial Belanda, dikenal adanya 2 (dua) sistem peradilan. Pertama, hierarki peradilan untuk orang-orang Eropa dan yang dipersamakan yang jenjang peradilannya terdiri atas Residentiegerecht untuk tingkat pertama, Raad van Justitie untuk tingkat banding, dan Mahkamah Agung (Hogerechtshof). Kedua, hierarki peradilan untuk orang-orang Indonesia dan yang dipersamakan, yang meliputi:

Districtgerecht, Regentschapsgerecht, dan Landraad. Demikian pula dengan hukum acara yang mengatur masing-masing sistem peradilan tersebut berbeda untuk acara pidana maupun acara perdata. Untuk Peradilan Eropa berlaku Reglement op de Rechtsvordering (Rv) untuk acara perdatanya dan Reglement op de Strafvoerdering (Sv) untuk acara pidananya. Sedangkan bagi Peradilan Indonesia berlaku Herziene Inlandsch Reglement (HIR), baik untuk acara perdata maupun acara pidananya. Apabila diperbandingkan, maka HIR memuat ketentuan perlindungan terhadap kekuasaan pemerintah yang jauh lebih sedikit daripada kitab undangundang untuk orang Eropa. Sebagai contoh, bagi orang-orang Eropa dikenal kewajiban legal representation by a lawyer (verplichte procureur stelling), baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana.

Tampaknya hal ini lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka telah mengenal lembaga yang bersangkutan di dalam kultur hukum mereka di negeri Belanda. Sedangkan tidak demikian halnya yang diatur untuk golongan Bumiputera. Pemerintah kolonial tidak menjamin hak fakir miskin Bumiputera untuk dibela advokat dan mendapatkan bantuan hukum. Kemungkinan untuk mendapatkan pembela atas permohonan terdakwa di muka pengadilan terbatas kepada perkara yang menyebabkan hukuman mati saja sepanjang ada advokat atau pembela lain yang bersedia.5

4 Ibid.

5 Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum; Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000), hlm. 21.

(5)

76

Bantuan hukum baru dikenal setelah hadirnya para advokat Bumiputera pada tahun 1910 yang memperoleh gelar meester in de rechten dari Belanda.

Awalnya, pemerintah kolonial tidak mengizinkan pendirian sekolah tinggi hukum di Indonesia karena ada kekhawatiran apabila Penduduk Hindia Belanda belajar hukum, mereka akan memahami demokrasi, hak asasi manusia, serta negara hukum, dan pada akhirnya akan menuntut kemerdekaan. Orang Indonesia yang ingin menempuh pendidikan hukum harus mempelajarinya di Belanda seperti di Universitas Utrecht dan Universitas Leiden. Barulah pada tahun 1924, Belanda mendirikan Reschtschoogeschool di Batavia yang kemudian dikenal sebagai Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tamatan sekolah hukum di Belanda, antara lain Mr. Sartono, Mr. Sastro Moeljono, Mr. Besar Mertokoesoemo, dan Mr. Ali Sastroamidjoyo.6 Di antara mereka, Mr. Besar Mertokoesoemo merupakan advokat pertama bangsa Indonesia yang membuka kantornya di Tegal dan Semarang pada sekitar tahun 1923.7

Para advokat Bumiputera tersebut, baik yang menyelesaikan studinya di negeri Belanda maupun di Batavia, merupakan penggerak pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia walaupun pada awalnya motivasi para advokat tersebut adalah sebagai bagian dari pergerakan nasional Indonesia terhadap Penjajah. Menurut Abdurrahman, berdasarkan motif yang demikian, maka walaupun pemberian bantuan hukum ini berkaitan dengan jasa advokat yang bersifat komersiil, namun karena ia bertujuan khusus untuk membantu rakyat Indonesia yang pada umumnya tidak mampu memakai advokat-advokat Belanda, maka hal ini sudah dapat dipandang sebagai titik awal dari program bantuan hukum bagi mereka yang tidak mampu di Indonesia.8

Saat zaman penjajahan Jepang perubahan sistem hukum tidak ada yang berubah tetapiuntuk Golongan Eropa dan Tionghoa diberlakukan Burgelijk Wetboek (B.W.) dan Wetboek van Koophandel(W.v.K), sedangkan untuk golongan Indonesia asli diberlakukan hukum adat. Bagi golongan lainnya berlaku hukum yang diberlakukan bagi mereka menurut aturan terdahulu. Wetboek van Strafrecht (W.v.S) tetap diberlakukan selain peraturan-peraturan pidana lainnya yang dibuat oleh Pemerintah Pendudukan Jepang. Peraturan-peraturan tersebut selain Osamu Gunrei No. 1 Tahun 1942 dan Undang-undang Nomor Istimewa Tahun 1942 juga 88 termasuk di dalamnya Osamu Seire No. 25 tahun 1944 tentang Gunzei Keizirei, walaupun Kitab Undang-undang Hukum Pidana

6 Ibid., hlm. 9.

7 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum…, hlm. 12.

8 Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Cendana Press, 1983), hlm. 43.

(6)

77

ini berlaku, aturan W.v.S tetap berlaku juga dan daerah hukumnya meliputi Jawa dan Madura.9

Pada masa penjajahan bangsa Jepang, tidak terlihat adanya kemajuan dari pemberian bantuan hukum. Keadaan yang sama kira-kira juga terjadi pada seputar tahun-tahun awal setelah bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 karena seluruh bangsa sedang mengkonsentrasikan dirinya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa. Demikian pula setelah pengakuan kedaulatan Rakyat Indonesia pada tahun 1950 keadaan yang demikian relatif tidak berubah.10

Setelah Indonesia mencapai pengakuan kemerdekaannya pada tahun 1950, maka sampai dengan pertengahan tahun 1959 (yaitu saat Soekarno mengambil oper kekuasaan dengan mengganti konstitusi), keadaan tersebut di atas tidak banyak berubah. Memang pluralisme hukum di bidang peradilan dihapuskan sehingga hanya ada 1 (satu) sistem peradilan untuk seluruh penduduk (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung).

Demikian pula hanya berlaku 1 (satu) hukum acara bagi seluruh penduduk.

Akan tetapi sayang sekali yang dipilih sebagai warisan dari sistem peradilan dan perundang-undangan kolonial adalah justru yang bukan lebih maju melainkan yang lebih miskin, yaitu peradilannya bukan Raad van Justitie melainkan Landraad. Hukum acaranya bukan Rechtsvordering melainkan HIR.

“Hal ini membawa akibat bahwa banyak ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum yang berlaku bagi orang Eropa tidak ikut diwarisi ke dalam perundang-undangan yang berlaku setelah kemerdekaan. Dengan kata lain, yang berlaku sejak tahun 1950 sampai saat ini adalah sistem peradilan dan peraturan hukum acara dari zaman kolonial khusus bagi Bangsa Indonesia yang sangat miskin menjamin ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum.11 Pada periode sesudahnya, yang ditandai dengan besarnya kekuasaan dan pengaruh Soekarno (hingga tahun 1965), bantuan hukum dan profesi advokat mengalami kemerosotan yang luar biasa bersamaan dengan melumpuhnya sendi-sendi negara hukum.12

Angin segar dalam sejarah bantuan hukum dimulai pada saat dimulainya era Orde Baru. Periode ini dimulai ketika gagalnya kudeta PKI

9 Frans J. Rengka, “Peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam Proses Peradilan Pidana;

Sebuah Studi Kasus di LBH Jakarta”, Tesis, Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1992, hlm. 6.

10 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum…, Op. Cit., hlm. 14.

11 Abdurrahman, Aspek-Aspek…, Op. Cit., hlm. 44.

12 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum…, Op. Cit., hlm. 44.

(7)

78

yang disusul jatuhnya rezim Soekarno. Pada mulanya atau tahun-tahun pertama tampak ada drive yang kuat sekali untuk membangun kembali kehidupan hukum dan ekonomi yang sudah hancur berantakan. Di samping program rehabilitasi ekonomi, terasa sekali adanya usahausaha untuk menumbuhkan kebebasan berbicara, kebebasan pers, juga kebebasan mimbar pada universitas. Independency pengadilan mulai dijalankan dan respek kepada hukum tumbuh kembali.13

Sejumlah faktor yang dipandang mempengaruhi perkembangan kuantitatif dan kualitatif organisasi bantuan hukum itu, antara lain:14

1. penyelenggaraan bantuan hukum secara resmi telah ditetapkan baik dalam GBHN 1978, 1983, 1988, maupun Pelita III, IV, dan V sebagai salah satu usaha dan pembangunan hukum. Bantuan hukum juga secara resmi dianggap sebagai realisasi jalur pemerataan keadilan dalam strategi pemerataan. Secara operasional, melalui Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman telah disalurkan dana bantuan hukum, yang kemudian pada tahun 1981 diikuti oleh penyaluran dana melalui BPHN Departemen Kehakiman ke fakultas-fakultas hukum negeri. Sejumlah pemerintah daerah pun memberikan dukungan finansial kepada beberapa organisasi bantuan hukum;

2. bagi kalangan profesi hukum yang sejak awal Orde Baru baru saja menegakkan ideologi Negara Hukum, kegiatan untuk melembagakan bantuan hukum merupakan tindak lanjut dari kemenangan yang dicapai setelah terbentuknya Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Tahun 1970;

3. semakin meningkatnya jumlah lulusan fakultas hukum di Indonesia yang diikuti oleh tuntutan pada satu pihak untuk memperlihatkan profesionalisasi yang tinggi dan pada satu pihak untuk memperlihatkan profesionalisasi yang tinggi dan pada pihak lain untuk menampilkan segi-segi pelayanan pada masyarakat. Pelembagaan bantuan hukum di kalangan perguruan tinggi nampaknya dapat sekaligus menjadi sarana untuk memenuhi tuntutan itu;

4. kegiatan bantuan bukum dapat berfungsi sebagai suatu sayap kegiatan yang menghubungkan sosial politik tertentu dengan massa atau dengan perkataan lain untuk memperluas spectrum peranan yang ditempati kekuatan sosial

13 Ibid., hlm. 16.

14 Mulyana W. Kusumah, “Perkembangan Bantuan Hukum”, Hukum dan Pembangunan, April 1990, hlm. 135 – 136.

(8)

79

politik tertentu. Dengan begitu, banyak organisasi politik yang mendirikan organisasi bantuan hukum;

5. kegiatan bantuan hukum dapat merupakan suatu sarana untuk mengedepankan peranan dalam konteks sosial dewasa ini yang tidak mungkin diwujudkan melalui organisasi sosial yang ada. Kelompok- kelompok independen mencoba memperlihatkan identifasnya melalui kegiatan bantuan hukum; dan

6. proses pembangunan telah menimbulkan sejumlah masalah hukum bahkan konflik hukum. Dengan demikian, kegiatan bantuan hukum memang dibutuhkan oleh kalangan masyarakat-khususnya golongan tidak mampu dan buta hukum-dalam menyelesaikan konflik-konflik hukum yang dialami.

Bantuan Hukum sebagai Hak Konstitusional

Bantuan hukum adalah terjemahan dari istilah legal aid dan legal assistance yang dalam praktek keduanya mempunyai orientasi yang agak berbeda satu sama lain. Legal aid biasanya digunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum dalam arti sempit berupa pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu perkara secara cuma-cuma atau gratis khususnya bagi mereka yang tidak mampu (miskin), sedangkan legal assistance dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum kepada mereka yang mampu, atau pemberian bantuan hukum oleh para advokat yang menggunakan honorarium.15

Clarence J. Dias memperkenalkan pula istilah legal Services yang lebih tepat diartikan sebagai pelayanan hukum. Menurut Dias, yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah segala bentuk pemberian layanan oleh kaum profesi hukum kepada khalayak di dalam masyarakat dengan maksud untuk menjamin agar tidak ada seorangpun di dalam masyarakat yang terlepas haknya untuk memperoleh nasihat-nasihat hukum yang diperlukan hanya oleh karena sebab tidak dimilikinya sumber dana finansial yang cukup. Sementara itu, istilah legal services ia artikan sebagai Langkah-langkah yang diambil untuk menjamin agar operasi sistem hukum di dalam kenyatannya tidak akan menjadi diskriminatif sebagai akibat adanya perbedaan tingkat penghasilan, kekayaan dan sumbersumber lainnya yang dikuasai individu-individu di dalam masyarakat.16

15 Sulfiani Ika Puspita, “Pemberian Bantuan Hukum oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai Perwujudan Hak Konstitusional Fakir Miskin di Makassar”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alaudin Makassar, Makassar, 2010, hlm. 25 – 26.

16 Bambang Sunggono dan Aries Hartono, Bantuan Hukum…, Op. Cit., hlm. 9.

(9)

80

Hak atas bantuan hukum adalah hak asasi manusia. Sebuah katalog hak dasar yang saat ini tengah menguat promosinya. Bantuan hukum berkembang tidak saja dalam konteks pembelaan korban pelanggaran hak-hak sipil dan politik, melainkan juga menjadi salah satu metode dalam promosi dan pembelaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (hak ekosob).17

Jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum telah diatur dalam Undang- undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di dalam Pasal 17, 18, 19, dan 34. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak- hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak-hak Sipil dan politik – International Covenant on Civil and Political Rights), yang pada Pasal 16 serta Pasal 26 Konvensi tersebut menjamin akan persamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law). Semua orang berhak atas perlindungan dari hukum serta harus dihindarkan adanya diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik berbeda, nasional atau asal-muasal kebangsaan, kekayaan, kelahiran atau status yang lain-lainnya.18

Hak untuk memperoleh bantuan hukum merupakan hak mendasar atau asasi bagi seseorang yang terkena masalah hukum. Sebab memperoleh bantuan hukum merupakan salah satu bentuk akses terhadap keadilan bagi mereka yang atau berurusan dengan masalah hukum. Memperoleh bantuan hukum juga merupakan salah satu perwujudan dari persamaan di depan hukum.

Prinsip equality before the law ini sudah dimuat dalam pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ini merupakan konsekuensi Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil perubahan ketiga).19

Selain itu, Pemberian bantuan hukum merupakan sarana penunjang bagi penegakan hukum pada umumnya dan usaha perlindungan hak-hak asasi manusia dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum (pidana) merupakan bagian komponen struktur hukum pidana, sehingga betapapun sempurnanya substansi hukum pidana tanpa

17 Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2007), hlm. xi – xii.

18 A. Patra M. Zen dan Daniel Hutagalung, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia, (Jakarta:

YLBHI dan PSHK, 2006), hlm. 47.

19 Ajie Ramdan, “Bantuan Hukum sebagai Kewajiban Negara untuk Memenuhi Hak Konstitusional Fakir Miskin”, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014, hlm. 235.

(10)

81

penegakan hukum, maka tidak ada manfaatnya dalam mewujudkan tujuan sistem peradilan pidana.7 Substansi bantuan hukum di Indonesia menjadi pertanyaan paling mendasar, yaitu apakah bantuan hukum itu bersifat wajib ataukah baru diwajibkan setelah beberapa syarat tertentu dipenuhi. Bantuan hukum adalah instrumen penting dalam Sistem Peradilan Pidana karena merupakan bagian dari perlindungan HAM, khususnya terhadap hak atas kebebasan dan hak atas jiwa-raga tersangka/terdakwa.20

Bantuan Hukum memiliki 4 (empat) konsep dalam penerapannya.

Pertama, Konsep Bantuan Hukum Tradisional, adalah pelayanan hukum yang diberikan kepada masyarakat miskin secara individual, sifat dari bantuan hukum pasif dan cara pendekatannya sangat formal-legal. Kedua, Konsep Bantuan Hukum Konstitusional, adalah bantuan hukum untuk rakyat miskin yang dilakukan dalam rangka usaha-usaha dan tujuan yang lebih luas seperti:

menyadarkan hak-hak masyarakat miskin sebagai subjek hukum, penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sendi utama bagi tegaknya negara hukum. Ketiga, Konsep Bantuan Hukum Struktural, adalah kegiatan yang bertujuan menciptakan kondisi-kondisi bagi terwujudnya hukum yang mampu mengubah struktur yang timpang menuju kearah struktural yang lebih adil, tempat peraturan hukum dan pelaksanaannya dapat menjamin persamaan kedudukan baik dilapangan hukum atau politik. Konsep bantuan hukum struktural ini erat kaitannya dengan kemiskinan strukturaal.

Keempat, bantuan hukum responsive diberikan kepada fakir miskin secara cuma-cuma dan meliputi semua bidang hukum dan hak asasi manusia serta tanpa membedakan pembelaan baik perkara individual maupun kolektif. Jasa yang diberikan dalam bantuan hukum responsif berupa penyuluhan hukum tentang hak asasi manusia dan proses hukum hak untuk dibela oleh organisasi bantuan hukum dan atau advokat, pembelaan dalam mengatasi masalah masalah hukum yang kongkrit, pembelaan yang berkualitas didalam pengadilan agar menghasilkan yurisprudensi yang lebih tegas tepat jelas dan benar, pembaharuan hukum melalui keputusan pengadilan yang berpihak kepada kebenaran dan pembentukan undang-undang yang sesuai dengan sistem nilai dan budaya yang ada dalam masyarakat untuk menyukseskan

20 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana, (Bandung: Alumni, 2009), hlm. 237.

(11)

82

konsep tersebut bantuan hukum harus menjadi gerakan nasional yang didukung oleh negara dan masyarakat.21

Konkretisasi pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma tersebut dalam tataran pengaturan dalam sejarah perkembangannya mengalami derivasi diberbagai peraturan perundang-undangan, sehingga berpengaruh terhadap konsepsi bantuan hukum yang terjadi selama ini. Di dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, bantuan hukum dikonsepsikan sebagai jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara CumaCuma kepada klien yang tidak mampu, kemudian di dalam Peraturan Pemerintah Bantuan Hukum Tahun 2008 sebagai peraturan pelaksana undang- undang tersebut mendefiniskan bantuan hukum secara cuma-cuma, yaitu jasa hukum yang diberikan advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendapingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.22

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tersebut, pemberi bantuan hukum dimaknai hanya pada diri advokat semata, dan penerima bantuan hukum, hanya dimaknai pada klien yang tidak mampu.

Klien dikonsepsikan dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 sebagai orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari advokat, sedangkan jasa hukum yang dimaksud adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien. Bentuk bantuan hukum yang juga diatur secara parsial dan masih dalam bentuk konsep bantuan hukum individual dan konvensional dapat dilihat dalam Pasal 17 dan 18 Undang- Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu setiap anak yang dirampas kebebasannya dan setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak untuk memperoleh bantuan hukum atau bantuan laiinya secara efektif dalam setiap tahapan hukum yang berlaku. Konsepsi bantuan hukum yang terjadi selama ini masih berfsifat individual dan konvensional dengan pengaturan yang bersifat parsial dan tidak tersistem

21 Suyogi Imam Fauzi dan Inge Puspita Ningtyas, “Optimalisasi Pemberian Bantuan Hukum demi Terwujudnya Access to Law and Justice bagi Rakyat Miskin”, Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 1, Maret 2018, hlm. 58 – 59.

22 Ni Komang Sutrisni, “Tanggung Jawab Negara dan Peranan Advokat dalam Pemberian Bantuan Hukum terhadap Masyarakat Tidak Mampu”, Jurnal Advokasi, Vol. 5 No. 2 – September 2015, hlm. 161 – 162.

(12)

83

membawa pada suatu kondisi belum terwujudnya suatu perubahan sosial yang berkeadilan dan kesadaran hukum masyarakat serta mudahnya akses untuk mendapatkan keadilan tersebut. 23

Berkaca pada kondisi tersebut dan juga dalam rangka untuk mewujudkan negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan dan kesamaan dihadapan hukum, maka peran Negara hadir dalam membentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 memberikan suatu konsep baru bantuan hukum, yaitu bahwa bantuan hukum selain bertujuan untuk menjamin dan memenuhi hak bagi orang atau kelompok miskin untuk mendapatkan akses keadilan juga untuk mewujudkan kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dapat dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Republik Indonesia dan mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan. Konkretisasi konsep tersebut diimplementasikan dalam berbgai bentuk antara lain memberikan bantuan kepada orang atau kelompok miskin yang menghadapi masalah hukum baik perdata, pidana, maupun tata usaha negara, baik litigasi maupun nonlitigasi.24

Melihat konsepsi bantuan hukum yang diintroduksi oleh Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, maka bantuan hukum yang dimaksud bukan semata-mata proses penyelesaiaan sengketa saja, yang dihadapi dalam proses peradilan, namun juga ada suatu upaya untuk menciptakan kemudahan dan pemerataan akses bantuan hukum dan juga ada bentuk penyuluhan hukum, konsultasi hukum, penelitian hukum dan peberdayaan masyarakat. Konsep bantuan hukum dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, dan turut sertanya negara dalam peyelenggaraan bantuan hukum.25

Paralegal dalam Memberikan Bantuan Hukum

Dalam sejarah pemberi bantuan hukum di Indonesia setidaknya dikenal dua pihak yang biasa memberikan pendampingan hukum yaitu advokat (advocat en procureus) dan pokrol bambu (zaakwarnemer). Keduanya bahkan telah eksis sejak zaman penjajahan dan beracara dengan menggunakan hukum penjajah. Perbedaan antar keduanya ialah berkaitan dengan status pendidikan,

23 Ibid., hlm. 162.

24 Ibid., hlm. 162 – 163.

25 Ibid., hlm. 163.

(13)

84

kelompok masyarakat yang didampingi, serta dasar hukum keduanya dalam beracara.26

Dalam hal pendidikan seorang Advokat haruslah seorang Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) dan diawasi oleh Raad Van Justice dengan tambahan 2 (dua) orang advokat yang ditunjuk. Sementara itu pokrol bambu dapat berupa siapa saja, tidak perlu sarjana hukum, dan diawasi sepenuhnya oleh pengadilan. Advokat pada masa ini pun lebih dikhususkan untuk melakukan pendampingan terhadap perkara hukum kaum eropa. Berbeda dengan pokrol bambu yang hanya dapat mendampingi perkara-perkara kaum pribumi pada landraad. Bila advokat mendasarkan praktiknya kepada Reglement op de Rechtterlijke Organisatie en bet beleid der justitie atau yang biasa disingkat RO, maka pokrol bambu mendasarkan praktiknya pada Staatblaad 1927-496.27

Selepas kemerdekaan, praktik pendampingan oleh pokrol bambu terus terlaksana. Daniel S. Lev bahkan mengelompokkan beberapa jenis pokrol bambu berdasarkan asal-usul keahlian dan gayanya. Pertama, pokrol bambu yang berasal dari mantan panitera atau penata usaha pengadilan. Kedua, Mahasiswa hukum yang tidak lulus. Ketiga, generalis amatir yang biasanya menjadi pokrol bambu karena kebetulan pernah mewakili seseorang di depan persidangan. Keempat, spesialis amatir yang dicontohkan dengan Gooi Po An, seorang redaktur harian di Surabaya yang membela seorang pegawai rendahan dalam sebuah kasus korupsi di Banyuwangi. Kelima, penguasa pada level tertentu yang diminta oleh sanak saudaranya untuk mewakili di depan persidangan dengan harapan munculnya rasa segan majelis hakim. Melihat berbagai pola tersebut, Lev menyimpulkan bahwa para klien pokrol bambu cenderung berasal dari masyarakat miskin karena mereka pun berasal dari kaum miskin.28

Selain pokrol bambu, berkembang pula konsep paralegal pemberi bantuan hukum. Di Indonesia paralegal mulai mengemuka sejak tahun 1970- an. Pada tahun ini begitu banyak lembaga non-pemerintah yang memiliki program penyadaran masyarakat atas hak-hak yang mereka miliki. Dari lembaga-lembaga inilah paralegal banyak lahir. Black’s Law Dictionary mendefinisikan paralegal sebagai “A person with legal skills, but who is not an attorney, and who works under the supervision of a lawyer in performing various tasks

26 Akmal Adicahya, “Pengakuan terhadap Pihak Non-Advokat dalam Pemberian Bantuan Hukum”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 3, November 2017, hlm. 409 – 410.

27 Ibid., hlm. 410.

28 Ibid.

(14)

85

relating to the practice of law or who is otherwise authorized by law to use those legal skills. Paralegal courses leading to degrees in such specialty are now afforded by many schools”. Berdasarkan pengertian ini secara sederhana dapat diartikan bahwa paralegal merupakan individu dengan keahlian hukum, namun bukan merupakan jaksa atau advokat. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh paralegal pun terbatas pada upaya yang diperbolehkan oleh aturan. Bahkan dalam pelaksanaan tugasnya paralegal harus mendapatkan izin atau sepengetahuan advokat yang mendampingi.29

Secara umum, istilah paralegal menggambarkan seseorang yang telah mendapatkan pelatihan khusus dalam bidang pengetahuan dan keterampilan hukum untuk memberikan informasi dan bantuan guna menyelesaikan masalah-masalah hukum. Paralegal secara umum diawasi oleh para advokat terlatih. Paralegal merupakan sebutan yang muncul sebagai reaksi atas ketidakberdayaan hukum dan dunia profesi hukum untuk memahami, menangkap, dan memenuhi berbagai kebutuhan sosial.30

Setelah mengikuti pendidikan/kursus singkat, paralegal harus mampu mendalami sendiri berbagai ilmu hukum praktis yang berguna untuk membantu kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini berhubungan dengan mereka. Tugas utama paralegal adalah sebagai pihak pertama yang memberi nasehat atau pemberi pelayanan hukum awal bagi kalangan masyarakat yang memerlukan. Paralegal jelas bukan advokat, karena memang mereka tidak akan menjalankan peran advokat dalam pembelaan di depan pengadilan. Pekerajaan utama paralegal adalah memberi nasehat hukum, mendokumentasikan kasus-kasus hukum yang dihadapi masyarakat yang dilayaninya, membantu menumbuhkan kemampuan sosial masyarakat, mendampingi masyarakat dalam suatu proses perundingan guna mencari penyelesaian dalam suatu perselisihan hukum, dan sebagainya.31

Pertimbangan dan Isi Putusan Mahkamah Agung Nomor 22 P/HUM/2018 Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 22 P/HUM/2018 mengenai Pengujian Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum, di mana para pemohon mendalilkan bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2018

29 Ibid., hlm. 410 – 411.

30 LBH Makassar, Buku Panduan Sekolah Paralegal Makassar Tahun 2015, LBH Makassar, Makassar, 2015, hlm. 8.

31 Ibid., 9.

(15)

86

tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

a. Objek hak uji materiil (HUM) telah menimbulkan keresahan di kalangan advokat karena bertentangan dengan Pasal 3 Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat:

1) Pasal 4 huruf b objek hak uji materiil (HUM) yang mengatur usia paralegal paling rendah 18 tahun, merupakan hal yang mustahil apabila seseorang di usia tersebut sudah memahami ilmu hukum tanpa dibekali pendidikan hukum tingkat sarjana untuk melaksanakan advokasi kepada advokasi;

2) Pasal 4 huruf c objek hak uji materiil (HUM), disaat seorang Paralegal di Indonesia beracara di muka pengadilan tanpa memiliki latar belakang pendidikan minimal Sarjana Hukum, dan selanjutnya tidak ada penjelasan dalam pasal lainnya mengenai pengetahuan tentang advokasi masyarakat seperti apa? Sehingga rentan terjadi kekeliruan di saat proses beracara di persidangan baik di saat teknis maupun administratif di saat seorang Paralegal yang berdiri sendiri berhadapan dengan seorang advokat;

b. Objek hak uji materiil (HUM) dapat mengacaukan tatanan sistem pendidikan beracara pada peradilan Indonesia karena bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Advokat:

Pasal 7 ayat 1 huruf c objek hak uji materiil (HUM) membuat kabur, membingungkan, dan tidak jelas tentang pelatihan bagi paralegal yang dapat dilatih oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sehingga bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Advokat;

c. Objek hak uji materiil (HUM) berpotensi menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian dalam masyarakat serta diduga mengambilalih kedudukan profesi advokat bertentangan dengan Pasal 1 Undang-Undang Advokat:

Pasal 11 dan Pasal 12 menyebabkan kedudukan paralegal menjadi sama dengan profesi advokat, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Undang- Undang Advokat;

d. Muatan materi objek hak uji materiil (HUM) dinilai cacat hukum karena telah melanggar asas lex superior derogate legi inferior, sebab muatan materi objek HUM bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Pasal 5, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan;

(16)

87

e. Objek hak uji materiil (HUM) patut diduga menyamakan dirinya dengan pengadilan-pengadilan tinggi Indonesia:

Pasal 10 objek hak uji materiil (HUM) menjelaskan penyelenggara pelatihan paralegal dapat memberikan sertifikat bagi paralegal, yang di kemudian harinya dapat dipergunakan paralegal untuk beracara di peradilan Indonesia. Padahal berdasarkan UU Advokat seseorang yang hendak beracara di peradilan di Indonesia harus terlebih dahulu disumpah oleh pengadilan tinggi dan diberikan Berita Acara Sumpah;

Terhadap permohonan para pemohon tersebut, Mahkamah Agung mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa secara substansi, materi muatan objek permohonan hak uji materiil (HUM) mengatur ketentuan normatif sebagai berikut:

Pasal 4: Untuk dapat direkrut menjadi Paralegal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia;

b. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun;

c. memiliki pengetahuan tentang advokasi masyarakat; dan/atau d. memenuhi syarat lain yang ditentukan oleh Pemberi Bantuan

Hukum;

Pasal 7 ayat (1) : Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diselenggarakan oleh:

e. Pemberi Bantuan Hukum;

f. perguruan tinggi;

g. lembaga swadaya masyarakat yang memberikan bantuan hukum;

dan/atau

h. lembaga pemerintah yang menjalankan fungsinya di bidang hukum;

Pasal 11 : Paralegal dapat memberikan bantuan hukum secara litigasi dan nonlitigasi setelah terdaftar pada Pemberi Bantuan Hukum dan mendapatkan sertifikat pelatihan Paralegal tingkat dasar;

Pasal 12 ayat (1) : Pemberian bantuan hukum secara litigasi oleh Paralegal dilakukan dalam bentuk pendampingan advokat pada lingkup Pemberi Bantuan Hukum yang sama; Pasal 12 ayat (2) : Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

i. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat penyidikan, dan penuntutan;

(17)

88

j. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam proses pemeriksaan di persidangan; atau

k. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa terhadap Penerima Bantuan Hukum di Pengadilan;

Pasal 12 ayat (3): Pendampingan advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan surat keterangan pendampingan dari advokat yang memberikan Bantuan Hukum;

Bahwa berdasarkan Pasal 2 objek permohonan hak uji materiil (HUM), mengatur mengenai paralegal yang melaksanakan pemberian bantuan hukum dan terdaftar pada Pemberi Bantuan Hukum.

Bahwa Paralegal dinormakan di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, namun di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum maupun didalam peraturan perundang- undangan lainnya, termasuk Undang-Undang Advokat dan objek permohonan hak uji materiil (HUM), tidak dijelaskan pengertian dari paralegal, namun secara umum setidaknya terdapat 4 (empat) kata kunci berkaitan dengan paralegal, yaitu:

a. Seorang Legal Assistant yang tugasnya membantu seorang Legal dalam pemberian, perbuatan atau saran-saran hukum kepada masyarakat dan langsung bertanggung jawab kepada seorang Legal;

b. Memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang hukum;

c. Telah mengikuti pendidikan khusus keparalegalan;

d.Dilakukan supervisi oleh advokat atau badan hukum lainnya;

Oleh karena paralegal melaksanakan fungsi “membantu” tugas-tugas Legal yang didalam objek permohonan hak uji materiil (HUM) ini adalah advokat, maka syarat-syarat dan penyelenggaraan pelatihannya tidak sama dengan advokat. Sebagai pelaksana fungsi membantu yang juga disupervisi oleh advokat, maka syarat termasuk usia dan pengetahuan serta penyelenggara pelatihannya sebagaimana diatur oleh Pasal 4 huruf b dan c serta Pasal 7 ayat (1) huruf c tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Advokat, karena memang Paralegal tidak melaksanakan fungsi advokat tetapi melaksanakan fungsi membantu advokat;

Bahwa dengan demikian Pasal 4 huruf b dan c serta Pasal 7 ayat (1) huruf c objek permohonan hak uji materiil (HUM) tidak melanggar asas lex superior derogate legi inferior, sebab muatan materi Pasal 4 huruf b dan c serta Pasal 7 ayat (1) huruf c objek permohonan hak uji materiil (HUM) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

(18)

89

dan Pasal 5, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

Bahwa selanjutnya Pasal 11 dan Pasal 12 objek permohonan hak uji materiil (HUM) dipertimbangkan sebagai berikut:

Pasal 11 dan Pasal 12 objek permohonan hak uji materiil (HUM) memuat norma yang memberikan ruang dan kewenangan kepada Paralegal untuk dapat beracara dalam proses pemeriksaan persidangan di pengadilan.

Ketentuan tersebut dapat dimaknai Paralegal menjalankan sendiri proses pemeriksaan persidangan di pengadilan, dan bukan hanya mendampingi atau membantu advokat. Ketentuan normatif mengenai siapa yang dapat beracara dalam proses pemeriksaan persidangan di pengadilan telah diatur di dalam Pasal 4 juncto Pasal 31 Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang pada pokoknya hanya advokat yang telah bersumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi yang dapat menjalankan profesi advokat untuk dapat beracara dalam proses pemeriksaan persidangan di pengadilan;

Bahwa dengan demikian muatan materi Pasal 11 dan Pasal 12 objek HUM bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sehingga dengan demikian melanggar asas lex superior derogate legi inferior, sehingga bertentangan dengan Pasal 5, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, terbukti bahwa Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, (vide Bukti P-2), sehingga harus dibatalkan, dan oleh karenanya permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon harus dikabulkan sebagian dan Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2018 tentang Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum yang menjadi objek dalam perkara uji materiil a quo harus dibatalkan sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk umum.

Terkait dengan pertimbangan hukum dan amar putusan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 22 P/HUM/2018 yang membatalkan ketentuan Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 01 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Memberikan Bantuan Hukum, perlu dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:

(19)

90

a. bahwa ketentuan Pasal 11 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 01 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Memberikan Bantuan Hukum memberikan 2 (dua) jenis pemberdayaan paralegal, yaitu secara litigasi dan nonlitigasi. Di mana kemudian pemberdayaan secara litigasi diatur dalam Pasal 12 dan pemberdayaan secara nonlitigasi diatur dalam Pasal 13. Dalam amar putusan disebutkan bahwa yang dibatalkan adalah ketentuan Pasal 11 dan Pasal 12. Hal ini menimbulkan kerancuan, karena jika Mahkamah Agung menganggap bahwa ketentuan Pasal 11 bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka seyogianya Pasal 13 juga ikut dibatalkan. Karena Pasal 11 adalah norma umum yang norma khususnya adalah Pasal 12 dan Pasal 13.

Namun, jika Mahkamah Agung hanya menganggap bahwa yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah pemberdayaan paralegal secara litigasi, maka ketentuan dalam Pasal 11 yang dibatalkan seyogianya hanyalah frasa “litigasi dan”, sehingga bunyi Pasal 11 menjadi “Paralegal dapat memberikan bantuan hukum secara nonlitigasi setelah terdaftar pada Pemberi Bantuan Hukum dan mendapatkan sertifikat pelatihan Paralegal tingkat dasar”.

b. dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa secara umum setidaknya terdapat 4 (empat) kata kunci berkaitan dengan paralegal, yaitu:

1. Seorang Legal Assistant yang tugasnya membantu seorang Legal dalam pemberian, perbuatan atau saran-saran hukum kepada masyarakat dan langsung bertanggung jawab kepada seorang Legal;

2. Memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang hukum;

3. Telah mengikuti pendidikan khusus keparalegalan;

4. Dilakukan supervisi oleh advokat atau badan hukum lainnya;

Hal ini kemudian menjadi kontradiksi dengan amar putusan yang membatalkan semua ketentuan dalam Pasal 12 karena pemberdayaan paralegal secara litigasi secara umum dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu pendampingan dan/atau menjalankan kuasa. Jika dianggap menjalankan kuasa sama dengan berperkara di pengadilan yang merupakan fungsi Advokat, maka seyogianya pendampingan terhadap Advokat oleh seorang paralegal bukan dalam rangka beracara di pengadilan dan tidak bertentangan dengan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Berdasarkan hal tersebut, seharusnya yang dibatalkan adalah frasa “dan/atau menjalankan kuasa” dalam

(20)

91

Pasal 12 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, bukan membatalkan seluruh ketentuan dalam Pasal 12.

Keberadaan dan Pemberdayaan Paralegal Pasca Putusan Mahkamah Agung Nomor 22 P/HUM/2018

Keberadaan paralegal seyogianya dapat dilihat dalam konsideran Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum, di mana disebutkan bahwa pemberian Bantuan Hukum saat ini belum menjangkau seluruh masyarakat Indonesia karena adanya keterbatasan pelaksana Bantuan Hukum sehingga diperlukan peran Paralegal untuk meningkatkan jangkauan pemberian Bantuan Hukum. Dengan kata lain bahwa keberadaan paralegal dibutuhkan untuk menutupi keterbatasan pelaksana bantuan hukum yang sudah dilaksanakan oleh lembaga atau organisasi bantuan hukum yang ada dan sudah terakreditasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Keberadaan paralegal dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 22P/HUM/2018 yang hanya dapat memberikan bantuan hukum secara non- litigasi sebenarnya dapat dilihat dari 2 (dua) sisi yang berbeda. Pertama, putusan ini dapat dianggap tepat karena mengembalikan peran paralegal kembali ke peran yang sebenarnya, yaitu sebagai seseorang yang mempunyai skill hukum dalam membantu advokat dan sebagai penghubung antara masyarakat yang memerlukan bantuan hukum dengan advokat. Sehingga pada dasarnya paralegal tidak disiapkan untuk beracara di depan sidang pengadilan.

Kedua, apabila dilihat dari kondisi di Indonesia saat ini, di mana ketersediaan advokat diseluruh pelosok negeri belum dapat memenuhi kebutuhan bantuan hukum masyarakat kurang mampu, maka keberadaan paralegal dalam beracara di depan sidang pengadilan masih dapat dipahami. Akan tetapi, sebenarnya kondisi yang kedua ini dapat diatasi dengan mendorong pemenuhan ketersediaan advokat di seluruh pelosok negeri.32

Jika kemudian berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 22 P/HUM/2018 yang membatalkan ketentuan Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum, bukan berarti peran paralegal dalam pemberian bantuan hukum menjadi hilang sama sekali. Peran

32 Eka N.A.M Sihombing, “Paralegal, Nasibmu Kini”, Opini, Sinar Indonesia Baru, Jumat, 24 Mei 2019.

(21)

92

paralegal dalam pemberian bantuan hukum masih dapat dilaksanakan secara nonlitigasi sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Adapun peran paralegal secara nonlitigasi, yaitu:

a. penyuluhan hukum;

b. konsultasi hukum;

c. investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik;

d. penelitian hukum;

e. mediasi;

f. negosiasi;

g. pemberdayaan masyarakat;

h. pendampingan di luar pengadilan; dan/atau i. perancangan dokumen hukum.

Optimalisasi peran paralegal dalam memberikan bantuan hukum secara non-litigasi dapat dianggap sebagai kembalinya marwah paralegal sebagai pihak pertama yang memberi nasehat atau pemberi pelayanan hukum awal bagi kalangan masyarakat yang memerlukan. Sehingga masyarakat memiliki pemahaman dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang tengah dihadapinya.

PENUTUP

Dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 22 P/HUM/2018 yang membatalkan ketentuan Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum, maka paralegal tidak boleh lagi diberdayakan dalam proses litigasi baik untuk melakukan pendampingan maupun melaksanakan kuasa dari advokat. Hal tersebut sangat disayangkan karena pada dasarnya pemberdayaan paralegal dalam rangka pendampingan advokat masih dapat diberikan dalam rangka proses transfer pengetahuan dari advokat kepada paralegal. Dengan demikian, pemberdayaan paralegal pasca Putusan Nomor 22 P/HUM/2018 tentang Pengujian Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum hanya dapat dilakukan secara non-litigasi. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 22 P/HUM/2018, paralagel hanya dapat diberdayakan dalam proses non-litigasi, oleh karena itu, pemberi bantuan hukum yang mempunyai paralegal agar lebih mengoptimalkan paralegal dalam memberikan bantuan hukum secara non-

(22)

93

litigasi. Hal ini juga penting agar tidak semua proses hukum yang ada tidak diselesaikan melalui jalur litigasi saja, tetapi dapat dioptimalkan melalui proses non-litigasi dan merupakan peran dari pemberi bantuan hukum dalam mengurangi perkara-perkara yang masuk ke pengadilan melalui proses litigasi.

Selain itu, keberadaan paralegal dapat dioptimalkan untuk menjadi jembatan bagi masyarakat pencari keadilan untuk memperoleh informasi-informasi terkait dengan permasalahan-permasalahan hukum yang sedang mereka hadapi.

(23)

94

DAFTAR PUSTAKA

A. Patra M. Zen dan Daniel Hutagalung, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia, YLBHI dan PSHK, Jakarta, 2006.

Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1983.

Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2007.

Ajie Ramdan, “Bantuan Hukum sebagai Kewajiban Negara untuk Memenuhi Hak Konstitusional Fakir Miskin”, Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014.

Akmal Adicahya, “Pengakuan terhadap Pihak Non-Advokat dalam Pemberian Bantuan Hukum”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 6 Nomor 3, November 2017.

Ali Marwan Hsb, Konsep Judicial Review dan Pelembagaannya di Berbagai Negara, Setara Press, Malang, 2017.

Bambang Sunggono dan Aries Hartono, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2009.

Eka N.A.M Sihombing, “Paralegal, Nasibmu Kini”, Opini, Sinar Indonesia Baru, Jumat, 24 Mei 2019.

Eka N.A.M Sihombing, Eksistensi Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum bagi Masyarakat Miskin (The Existence of Paralegals in Providing Legal Aid to the Poor), Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum,Vol. 6, No. 1, June (2019).

Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum; Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000.

Frans J. Rengka, “Peranan Lembaga Bantuan Hukum dalam Proses Peradilan Pidana; Sebuah Studi Kasus di LBH Jakarta”, Tesis, Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1992.

LBH Makassar, Buku Panduan Sekolah Paralegal Makassar Tahun 2015, LBH Makassar, Makassar, 2015.

Mulyana W. Kusumah, “Perkembangan Bantuan Hukum”, Hukum dan Pembangunan, April 1990.

Ni Komang Sutrisni, “Tanggung Jawab Negara dan Peranan Advokat dalam Pemberian Bantuan Hukum terhadap Masyarakat Tidak Mampu”, Jurnal Advokasi, Vol. 5 No. 2 – September 2015.

(24)

95

O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana, Alumni, Bandung, 2009.

Sulfiani Ika Puspita, “Pemberian Bantuan Hukum oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai Perwujudan Hak Konstitusional Fakir Miskin di Makassar”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alaudin Makassar, Makassar, 2010.

Suyogi Imam Fauzi dan Inge Puspita Ningtyas, “Optimalisasi Pemberian Bantuan Hukum demi Terwujudnya Access to Law and Justice bagi Rakyat Miskin”, Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 1, Maret 2018

Referensi

Dokumen terkait

Pertanyaan Kuesioner Sikap Negatif Akuntan No Pertanyaan 1 Manipulasi angka akuntansi adalah ciri khas akuntan 2 Informasi penting sebagian besar disembunyikan dari pengguna

Focus pembahasan terkait pembebasan bersyarat menjelaskan sesuai dengan aturan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Perubahan