KEBERADAAN PERPPU CIPTA KERJA YANG SEKARANG (PERPPU NO 2/2022) YANG TELAH DIUBAH MENJADI UU SERTA HUBUNGANNYA DENGAN AMAR PUTUSAN MK NO 91/PUU-
XVIII/2020.
(Analisis Dan Pandangan)
Oleh :
MUHAMMAD GHIYAT GHAZI H1A122 354
KELAS : F
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KATA PENGANTAR
Ungkapan Syukur hanya terpanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat limpahan semua rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Keberadaan Perppu Cipta Kerja Yang Sekarang (Perppu No 2/2022) Yang Telah Diubah Menjadi Uu Serta Hubungannya Dengan Amar Putusan Mk No 91/Puu-Xvii/2020.” Selain itu juga ucapan terima kasih kepada dosen mata kuliah ini yang telah memberikan tugas penulisan makalah ini sehingga penulis dapat mengasah kemampuan analisis, serta kemampuan lainya.
Peuilisan makalah ini sebagai pemenuhan tugas mata kuliah “Ilmu Perundang-Undangan”. Dalam penulisan Makalah ini penulis menyadari masih terdapat kekeliruan yang tidak dijangkau penulis dan jauh dari kata sempurna.
Olehnya itu kritik dan Saran yang membangun sangat diharapkan penulis.
Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih
Kendari 25 april 2024
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
KATA PENGNTAR... ii
DAFTAR ISI... iii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah... 3
1.3 Tujuan Penulisan... 3
BAB II PEMBAHASAN... 4
2.1 Putusan MK dan Kaitanya dengan Perpu Cipta Kerja. . 4
2.2 mengenai Perpu yang diundangkan... 6
BAB III PENUTUP... 9
3.1 Kesimpulan... 9
DAFTAR PUSTAKA... 10
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Pada tanggal 2 November 2020 yang lalu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) resmi ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia dan mulai berlaku efektif mulai tanggal 3 November 2020. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disingkat menjadi UU Ciptaker) yang diundangkan dan Presiden menandatangani pada tanggal 2 November 2020. UU Ciptaker ini hadir untuk mereformasi regulasi dalam penyederhanaan peraturan perundang-undangan dari adanya ketidaksinkronan berbagai peraturan perundang-undangan, serta dapat memangkas beberapa aturan yang dinilai pemerintah saling tumpang tindih dan memperlambat tujuan pemerintah, dalam hal ini berkaitan dengan investasi dan perizinan berusaha yang dimasukan sebagai salah dua klaster dalam UU Ciptaker.
Hal tersebut juga yang mengakibatkan pemerintah menggunakan metode omnibus law
UU Ciptaker mengatur sebanyak 11 klaster yang diatur saat disahkan membuat masyarakat dan banyak ahli hukum mengkritisi undang-undang ini.
Karena memang undang-undang ini dipandang cacat dari segi materiil dan formil.
Hal itu dibuktikan dengan banyaknya yang mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Penolakan dari berbagai pihak yang terdampak langsung dan ahli hukum sudah terjadi ketika RUU ditetapkan dalam prolegnas skala
prioritas, namun permasalahan timbul akibat pembentuk undang-undang dan masyarakat tidak menemui kata sepakat dalam pembahasan tersebut.
UU Ciptaker mengatur sebanyak 11 klaster yang diatur saat disahkan membuat masyarakat dan banyak ahli hukum mengkritisi undang-undang ini.
Karena memang undang-undang ini dipandang cacat dari segi materiil dan formil.
Hal itu dibuktikan dengan banyaknya yang mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Penolakan dari berbagai pihak yang terdampak langsung dan ahli hukum sudah terjadi ketika RUU ditetapkan dalam prolegnas skala prioritas, namun permasalahan timbul akibat pembentuk undang-undang dan masyarakat tidak menemui kata sepakat dalam pembahasan tersebut formil UU Ciptaker. Putusan tersebut tidak disertai dengan pengujian materiil. Putusan ini mendapatkan kritik dan dianggap bermasalah karena putusan inkonstitusional bersyarat ini diadopsi dengan memberikan tenggang waktu transisi tertentu selama dua tahun dan lembaga legislatif diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki dari segi formil, agar inkonstitusional secara permanen tidak dijatuhkan dan UU Ciptaker masih bias berlaku.
Berdasarkan putusan tersebut, hakim berpendapat bahwa dasar pertimbangan hukum yang digunakan pada pokoknya adalah UU Ciptaker cacat formil, sehingga diputuskan bahwa inkonstitusional bersyarat 2 tahun dan Undang-Undang tersebut harus dilakukan perbaikan oleh DPR dan Pemerintah serta aturan ini masih berjalan selama dua tahun sejak Mahkamah Konstitusi membacakan putusan.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian diatas tersebut maka permasalahan yang hendak dikaji oleh penulis dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kaitan antara Putusan MK NO 91/PUU-XVIII/2020 dengan keberadaan Perpu Cipta Kerja dalam hal analisis Putusan dan aspek-aspek permasalahannya?
2. Dengan adanya permasalahan yang muncul dengan adanya Perpu tersebut dan Kaitannya dengan Putusan MK NO 91/PUU-XVIII/2020 Secara mendasar, dalam hal apa Perpu Cipta Kerja Tersebut diundangkan Di Indonesia?
1.2 Tujuan Penulisan
Bahwa untuk mencapai standar penulisan maka tujuan dari penulsisan makalah ini adalah tidaklah jauh dari apa yang hendak dibahas dlam makalah ini, Yakni :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis kaitan antara Putusan MK 91/PUU- XVIII/2020 dengan keberadaan Perpu Cipta Kerja dalam hal analisis Putusan dan aspek-aspek permasalahannya
2. Untuk menganalisis permasalahan yang muncul dengan adanya Perpu tersebut dan Kaitannya dengan Putusan MK NO 91/PUU-XVIII/2020
yang intinya adalah dalam hal apa Perpu Cipta Kerja Tersebut diundangkan Di Indonesia
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 dengan keberadaan Perpu Cipta Kerja Berdasarkan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta kerja, 9 (Sembilan) hakim konstitusi tidak bulat satu suara. Dikarenakan 4 (empat) hakim konstitusi, yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, dan Hakim Konstitusi Manahan Malontinge Pardamean Sitompul, serta Hakim Konstitusi Daniel Pancastaki Foekh memilih untuk berbeda pendapat atau disebut juga dengan dissenting opinion. 4 (empat) hakim tersebut pada pokoknya berpendapat bahwa (Sihombing 2022):
a. Indonesia dianggap cocok untuk menerapkan teknik omnibus law dalam rangka penyederhanaan dan tidak adanya tumpang tindih undang- undang yang saling berkaitan;
b. Teknik omnibus law menjadi teknik pembentukan UU di sistem common law dan dapat dianut selaras dan dapat digunakan dalam menyusun peraturan perundangundangan di Indonesia dengan memperhatikan nilai yang ada didalam dasar Negara Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD NRI 1945;
c. Di dalam UU PPP tidak mengatur teknik yang harus digunakan dalam membuat UU;
d. UU Ciptaker memberikan pertimbangan filosofis, sosiologis maupun pertimbangan yuridis untuk mewujudkan tujuan Negara sesuai dalam UUD NRI 1945 yang mengandung tujuan yang harus Negara wujudkan.
Sedangkan 5 (lima) hakim lainnya yaitu Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adam, Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Aswanto, dan Hakm Konstitusi Enny Nurbaningsih sepakat satu suara menyatakan bahwa UU Ciptaker dinyatakan cacat formil sehingga harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat selama 2 (dua) tahun dan harus diperbaiki atau direvisi oleh pembentuk undang-undang, yakni lembaga legislatif bersama pemerintah. 5 (lima) hakim yang sepakat bahwa UU Ciptaker cacat secara formil berpendapat bahwa :
a. Undang-Undang Ciptaker dinyatakan inkonstitusional bersyarat karena tidak memenuhi syarat formil pembentukan undangundang khususnya dalam melibatkan partisipasi masyarakat (meaning of participations), dan tidak memberikan kepastian hukum, serta tidak memberikan kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat;
b. standar penyusunan perundang-undangan. Karena Undang-Undang Ciptaker ini dari judulnya merupakan undang-undang baru tapi isi undang- undang tersebut sebagai perubahan. Maka dari itu, UU Ciptaker ini tidak jelas apakah sebagai undang-undang baru atau sebagai undang-undang perubahan;
c. Pembentuk Undang-Undang Ciptaker, DPR tidak melibatkan partisipasi
para buruh dan pekerja harian dalam pembasan naskah akademik, serta adanya materi baru yang masuk dalam materi muatan UU Ciptaker setelah adanya pengesahan dari DPR bersama pemerintah;
d. Didalam Naskah Akademik Undang-Undang Ciptaker tidak menjelaskan jumlah pendelegasian kepada aturan yang lebih rendah dan adanya penambahan halaman sebanyak 5 dengan jumlah 375 halaman dalam kurun waktu 16 hari sejak dilakukan pengesahan dan hal ini tidak pernah dibahas dengan Tim Tripatit.
2.2 Dalam Hal Perpu Cipta Kerja Tersebut Diundangkan Di Indonesia Mahkamah Konstitusi memberikan 3 (tiga) syarat atau parameter apabila pemerintah ingin mengeluarkan Perppu dengan adanya kegentingan yang memaksa menurut interpretasi dari presiden, yaitu (Konstitusi 2009):
1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang
2) Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan
Mahkamah Konstitusi memberikan 3 (tiga) parameter yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam mengeluarkan Perppu. Pertama, harus ada kebutuhan yang mendesakuntuk menyelesaikan permasalahan hukum yang ada di Indonesia tanpa melalui mekanisme penerbitan undang-undang. Kedua, adanya kekosongan hukum atau ada undang-undangnya tapi tidak memadai untuk menyelesaikan permasalahan hukum tersebut. Ketiga, apabila menggunakan undang-undang dirasa terlalu lama dan harus memaksa untuk segera mengeluarkan aturan yang setingkat undang-undang yang perlu menghadirkan kepastian hukum.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak adanya mengatur tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pemerintah mengeluarkan Perppu. Perppu dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 hanya disebutkan dalam BAB I tentang ketentuan umum Pasal 1 angka 4. Menurut pendapat ahli hukum Menurut Astomo, makna dari state emergency terdapat beberapa unur kumulatif yang penting yaitu :
1. Unsur adanya ancaman yang membahayakan;
2. Unsur adanya kebutuhan yang mengharuskan;
3. Unsur adanya keterbatasan waktu yang tersedia
Unsur adanya ancaman yang membahayakan ini dapat diartikan bahwa Negara dalam keadaan yang berbahaya dan mendesak serta membutuhkan aturan yang dapat menyelesaikan masalah hukum secara cepat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Unsur kebutuhan yang mengharuskan ini disebabkan adanya aturan yang belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum
atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Unsur keterbatasan waktu yang tersedia yang berarti apabila untuk membuat undang-undang membutuhkan waktu dan proses yang lama untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan yang setara dengan undang-undang, pemerintah dapat mengeluarkan Perppu.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Bahwa dalam pembahasan tersebut sebelumnya mengenani kaitan antara Putusan MK NO 91/PUU-XVIII/2020 dan Perpu tentang Cipta Kerja, maka penulis menyimpulkan setidaknya sebagai perikut :
1. Bahwa keberadaan Putusan MK NO 91/PUU-XVIII/2020 adalah sebagai uji Formil terhadap UU Tentang Cipta Kerja di Indonesia. Yang kemudian berdasarkan putusan tersebut maka UU tentang Cipta Kerja dapat berlaku 2 tahun setelahnya namun dengan syaraat bahwa PembentuK Udang- Undang harus mengubahnya dahulu sesuai dengan Putusan MK NO 91/PUU-XVIII/2020.
2. Kemudian dalam hal dasar Perpu Diundangkan maka Mahkamah Konstitusi memberikan 3 (tiga) parameter yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam mengeluarkan Perppu. Pertama, harus ada kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang ada di Indonesia tanpa melalui mekanisme penerbitan undang-undang. Kedua, adanya kekosongan hukum atau ada undang-undangnya tapi tidak memadai untuk menyelesaikan permasalahan hukum tersebut. Ketiga, apabila menggunakan undang-undang dirasa terlalu lama dan harus memaksa untuk segera mengeluarkan aturan yang setingkat undang-
SUMBER REFERENSI
Bimantya, D. M. C., & Masnun, M. A. (2025). Dinamika Perjalanan Undang- Undang Cipta Kerja (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/Puu-Xviii/2020 Tentang Uji Formil Terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja). NOVUM: JURNAL HUKUM, 34-43.
Saragih, G. M. (2022). ANALISIS FILOSOFIS TERHADAP PEMBERLAKUKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA BERDASARKAN TEORI JHON AUSTIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 91/PUU-XVII/2020.
Setiawan, D. (2024). Inkonsistensi norma putusan mahkamah konstitusi nomor 91/Puu- XVII/2020 (Doctoral dissertation, UIN. KH Abdurrahman Wahid Pekalongan).
Rizki Amanda, K. (2023). ANALISIS PUTUSAN INKONSTITUSIONAL BERSYARAT MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 91/PUU-XVIII/2020 TENTANG PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DALAM MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS JAMBI).
SIREGAR, P. I. N. (2023). IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA No. 91/PUU-XVIII/2020 TERHADAP UNDANGUNDANG No. 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KETERTIBAN TATANAN HUKUM DAN DALAM PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Doctoral dissertation, Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara).