• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Kebijakan Hukum Pidana Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Maqashid Syariah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of Kebijakan Hukum Pidana Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Maqashid Syariah"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Kebijakan Hukum Pidana Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Maqashid Syariah

Yara Shafa Alcika, Moh. Fadhil, Marluwi IAIN Pontianak, Indonesia

Jl. Letnan Jenderal Suprapto No. 19, Kota Pontianak

Corresponding Author : Yara Shafa Alcika, [email protected] ABSTRAK

Data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat pada tahun 2022 terdapat 18.250 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Angka ini mengindikasikan tingginya tingkat kerentanan perempuan sebagai korban dalam hubungan rumah tangga. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketentuan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam tinjauan maqashid syariah. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian hukum normatif. Bahan hukum primer menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan bahan hukum sekunder berasal dari berbagai literatur yang membahas maqashid syariah. Teknik pengumpulan bahan hukum dengan menggunakan studi dokumen atau studi kepustakaan yang diklasifikasikan berdasarkan bahan-bahan hukum yang relevan.

Proses analisis data dilakukan secara deskriptif dan preskriptif. Bahwa peran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah melindungi korban atau mencegah terjadinya kekerasan yang selaras dengan tujuan maqashid syariah yaitu hifdz al- nasl, hifdz al-nafs, hifdz al- maal, hifdz al-diin, dan hifdz al-aql yang dalam hal ini keduanya saling memiliki peran dalam menjaga tujuan kemaslahatan umat.

Kata Kunci: Kekerasan dalam Rumah Tangga, Maqashid Syariah, Undang- Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

How to Cite : Alcika, Y. S, M. F, M. (2023). Kebijakan Hukum Pidana Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Maqashid Syariah, Sangaji:

Jurnal Pemikiran Syariah dan Hukum, 7(2). 148-162 DOI : 10.52266/sangaji.v7i2.1756

Journal Homepage : https://ejournal.iaimbima.ac.id/index.php/sangaji/article/view/1756 This is an open access article under the CC BY SA license

https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/

(2)

PENDAHULUAN

umah tangga merupakan institusi sosial yang tidak luput dari berbagai konflik internal (Mardhiyah, Hasan, and Ardiansyah 2022). Dalam aspek psikologis, Iqbal dan Fawzea menerangkan bahwa penyebab terjadinya konflik dalam rumah tangga diakibatkan perbedaan fisiologis maupun psikis.

Sementara itu, dalam aspek sosial konflik dapat terjadi akibat perbedaan paradigma, budaya, pendidikan, pola asuh, perilaku beragama, dan pengalaman hidup sebelum menikah (Iqbal and Fawzea 2020). Selama masa pandemi Covid- 19, konflik rumah tangga mengalami transformasi masif akibat pergeseran peran suami istri dalam konteks domestik dan ekonomi. Marsella dan Afrizal mengemukakan bahwa dampak ekonomi telah menyebabkan peran suami bergeser ke ranah domestik sedangkan kebanyakan istri mengambil momentum tersebut untuk mengelola bisnis online. Pergeseran silang tersebut menyebabkan konflik yang berujung pada tingginya kekerasan dalam rumah tangga (Marsella and Afrizal 2022).

Untuk mengatasi dan mengelola konflik rumah tangga, dibutuhkan kemampuan manajemen konflik dari masing-masing pasangan melalui komunikasi yang terbuka dan egaliter (Munawara, Hasan, and Ardiansyah 2021). Apabila masing-masing pasangan memprioritaskan kepentingan pribadi, maka konflik rumah tangga akan sulit teruraikan (Sunarso 2022). Tujuan mengikat tali perkawinan tentu saja untuk mewujudkan rasa bahagia dan kasih sayang. Namun, selama manusia memiliki ego dan kepentingan yang berbeda, selalu terdapat ketegangan yang menciptakan perasaan takut dan gelisah.

Ketegangan tersebut apabila tidak dapat dikontrol dapat memicu lahirnya tindakan kekerasan atau berujung perceraian (Khairunisa, Haliyah, and Fadhil 2022).

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu konflik rumah tangga yang terjadi. KDRT paling banyak menempatkan posisi perempuan sebagai korban ketimbang laki-laki (Fakhruzy 2021). Data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada mulai Januari sampai Juli 2023 mencatat sebanyak 18.250 kasus KDRT terjadi di Indonesia dan 8.428 kasus terjadi di rumah tangga. Selain itu, jika dikelompokkan berdasarkan gender, korban perempuan mencapai 12.163 sedangkan laki-laki mencapai 2.688 (Anak 2023).

R

(3)

Tabel 1

Jenis Kekerasan yang Dialami Korban Tahun 2023

No. Jenis

kekerasan

Jumlah

1 Fisik 4584

2 Psikis 4211

3 Seksual 6042

4 Eksploitasi 171

5 Trafficking 178

6 Penelantaran 1328

7 Lainnya 1736

8 Jumlah Kasus 18250

Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2023.

Tabel 2

Jumlah Kasus Berdasarkan Tempat Kejadian Tahun 2023

No. Tempat Kejadian Jumlah

1 Rumah Tangga 8428

2 Tempat Kerja 200

3 Lainnya 2931

4 Sekolah 744

5 Fasilitas Umum 1304

6 Lembaga Pendidikan Kilat 25

7 Jumlah Kasus 13632

Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2023

Data di atas menunjukkan bahwa KDRT menempati posisi tertinggi dibanding kekerasan pada tempat kejadian lainnya. Hal ini menegaskan bahwa rumah tangga yang selama ini dipersepsikan sebagai institusi penuh cinta dan kasih sayang ternyata menyimpan hipokrisi yang nyata berupa ketidakadilan gender, marjinalisasi perempuan, subordinasi perempuan, dan bahkan kekerasan berbasis agama (Zulkifli 2019). Tingginya kasus KDRT sebagian besar dipengaruhi oleh paradigma patriarki yang mengakar kuat di Indonesia.

Perbedaan genital, persepsi kebudayaan, dan doktrin keagaman kerap

(4)

mempengaruhi cara pandang bias gender dalam lingkup rumah tangga (Fadhil 2022). Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah temuan penelitian Zulkifli dan Kusumayanti yang mengklaim bahwa doktrin agama menjadi justifikasi moral laki-laki untuk melakukan KDRT dengan dalih “hukuman agama”

(Kusumayanti 2019).

Indonesia sejatinya telah memiliki kebijakan hukum pidana untuk mencegah dan menanggulangi KDRT melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Undang-Undang PKDRT). Beberapa istilah KDRT secara normatif meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga (Soeroso 2011). Mengingat temuan penelitian Zulkifli dan Kusumayanti di atas dihubungkan dengan Undang-Undang PKDRT, maka penting untuk menganalisis Undang-Undang PKDRT menggunakan perspektif maqashid syariah. Tujuan penulis menggunakan perspektif maqashid syariah adalah untuk membongkar cara pandang yang menjustifikasi doktrin agama sebagai rasionalitas laki-laki dalam melakukan KDRT terhadap perempuan.

Selain penelitian Zulkifli dan Kusumayanti di atas, peneliti perlu menguraikan beberapa penelitian terdahulu yang relevan untuk mendukung kebaruan dalam penelitian ini. Penelitian pertama dari Juliansyahzen tentang otoritarianisme pemahaman keagaman sebagai akar KDRT (Juliansyahzen 2021).

Penelitian ini mengungkap otoritarianisme pemahaman keagaman menjadi akar lahirnya KDRT. Otoritarianisme lahir dari pemahaman tekstual keagamaan yang memposisikan perempuan sebagai subordinat dalam rumah tangga sehingga laki-laki dibenarkan mengeksploitasi perempuan.

Penelitian kedua dari Sumariati dkk tentang kekerasan terhadap anak selama masa Covid-19 dalam perspektif maqashid syariah (Sumariati, Fuad, and Sukiati 2022). Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang mengungkap bahwa selama masa pandemi Covid-19, jumlah KDRT terhadap anak meningkat drastis akibat masalah pendidikan dan ekonomi. Berdasarkan perspektif maqashid syariah, masifnya kekerasan terhadap anak selama masa pandemi Covid-19 dikhawatirkan akan merusak satu generasi mengingat dalam konsepnya terdapat perlindungan terhadap keturunan (an-nasl) dan akal (al-aql).

Penelitian ketiga dari Ayu tentang kebijakan pencegahan dan penanggulangan marital rape dalam perspektif maqashid syariah (Ayu 2019).

Penelitian ini memfokuskan pada satu jenis KDRT yakni kekerasan seksual.

Penelitian ini mengungkap bahwa doktrin agama menjadi justifikasi bagi suami

(5)

bahwa istri harus wajib melayani kebutuhan seksual suami dalam keadaan apapun. Doktrin ini kerap melahirkan kekerasan seksual apabila istri tidak dapat memenuhi hasrat seksual suami. Dalam perspektif maqashid syariah, kekerasan seksual tidak dibenarkan dikarenakan prinsip utama dalam syariah adalah perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Penelitian keempat dari Hakim dan Herlinawati tentang reinterpretasi persepsi keagamaan terkait kekerasan terhadap perempuan (Hakim and Herlinawati 2021). Penelitian ini mengungkap bahwa konsep maqashid syariah sesungguhnya menegaskan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga adalah setara. Ayat-ayat Al-Qur’an yang membedakan posisi gender harus dimaknai sebagai peran gender semata, bukan relasi subordinasi.

Oleh karena itu, maqashid syariah memperkuat gagasan mengenai keadilan gender dan hak-hak perempuan dalam kerangkan hak asasi manusia.

Penelitian kelima dari Ristian tentang perilaku nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam dan relasinya pada KDRT (Ristian 2020). Penelitian ini mengungkap bahwa doktrin dan ketentuan hukum nusyuz pada Kompilasi Hukum Islam sering mendiskriminasi kedudukan perempuan dalam menegakkan keadilan. Dalam konteks kebijakan, Kompilasi Hukum Islam bukan kebijakan setingkat undang-undang sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang setara dengan Undang-Undang PKDRT. Apabila terdapat pertentangan antara nusyuz di dalam Kompilasi Hukum Islam dengan Undang-Undang PKDRT, maka Kompilasi Hukum Islam harus dikesampingkan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memahami secara mendalam fenomena sosial KDRT (Erwinsyahbana and Ramlan 2017). Tipe penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif yang mengkaji bahan hukum berupa norma-norma di dalam Undang-Undang PKDRT dihubungkan dengan konsep maqashid syariah (ND and Achmad 2010). Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum primer menggunakan Undang-Undang PKDRT, sedangkan bahan hukum sekunder diambil dari berbagai literatur hukum yang relevan dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan bahan hukum dengan studi kepustakaan atau studi dokumentasi yang diklasifikasikan beradasarkan dokumen atau pustaka yang relevan dalam penelitian ini. Teknik analisis bahan

(6)

menggunakan metode deskriptif analitis dan disajikan secara preskriptif (Muhaimin 2020).

HASIL DAN PEMBAHASAN Maqashid Syariah

Maqashid syariah suatu konsep dalam hukum Islam yang dikembangkan oleh para ulama setelah periode tabi’-tabi’in. Penyebutan maqashid syariah dikenalkan oleh seorang ulama Mazhab Maliki yang hidup pada abad ke-8 H, yakni Abu Ishaq al-Syathibi. Namun, sebenarnya ketika ulama ushul fiqh membahas teori tentang maslahah, maqashid syariah sebelumnya sudah dibicarakan dalam perbincangan tersebut, misalnya teori maslahah yang dikemukakan oleh al-Juwaini Imam al-Haramain dan juga al Ghazali (Busyro 2019).

Maqashid syariah disadur dari berbagai istilah, misalnya menurut Ibnu al- Manzhur dengan menyebut “istiqamah al-thariq” (keteguhan pada satu jalan) serta “al-i’timad” (sesuatu yang menjadi tumpuan), kalimat tersebut berarti pula al-adl (keadilan) & al-tawassuth ‘adam al-ifrath wa al- tafrith (menggunakan jalan tengah). Kalimat al-qashd dipergunakan pula pada pernyataan mengenai suatu perbuatan ataupun perkataan dengan memperhatikan asas keadilan bagi seluruh pihak terkait, tidak berlebihan. Prioritasnya yakni menemukan alternatif atau jalan tengah. Dapat dipahami bahwa maqashid merupakan perbuatan dengan penuh pertimbangan yang diperuntukkan bagi tercapainya tujuan demi mencapai kebenaran dan keadilan (Busyro 2019).

Maqashid syariah merupakan suatu konsep dalam hukum Islam yang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan atau kemanfaatan bagi umat manusia (Bakri 1996). Ada tiga tingkatan maqashid syariah, yakni maqashid ad-dharuriyaat, maqashid al-hajiyaat, dan maqashid al-tahsiniyaat (Jamal 2010). Pada tingkat Maqashid ad-dharuriyaat merupakan kebutuhan primer manusia yang apabila hal tersebut tidak terpenuhi dapat berdampak pada kerusakan dan kestabilan masyarakat. Pada tingkatan maqashid al-hajiyaat, kebutuhan tersebut bersifat sekunder yang melengkapi maqashid ad-dharuriyaat. Maqashid al-hajiyaat dipakai untuk memudahkan atau mencegah kesulitan-kesulitan, akan tetapi apabila hal tersebut tidak terpenuhi, maka stabilitas kehidupan manusia tidak terganggu.

Sementara itu, tingkatan maqashid al-tahsiniyaat terjadi pada bidang kebaikan dan akhlak atau tata krama dalam berperilaku (Ibrahim 2019).

(7)

Tujuan maqashid syariah adalah untuk memelihara atau melindungi lima hal utama, yakni memelihara agama (hifz ad-din), memelihara jiwa (hifz an-nafs), memelihara akal (hifz al-aql), memelihara keturunan (hifz an-nasl), dan memelihara harta (hifz al-mal) (Anwar, Awang, and Sahid 2021). Dari kelima tujuan maqashid syariah, agama menempati struktur teratas dalam hirarki tersebut. Para ahli hukum Islam kontemporer memandang pemeliharan agama pada masa kekinian dapat dipahami sebagai menegakkan ajaran agama sebagai bentuk kebebasan beragama sekaligus menoleransi eksistensi agama lain secara harmonis (Rokhim and Supardi 2021). Syahbudi juga mempertegas bahwa menjaga agama sepadan dengan menjaga hak kebebasan dan kerukunan beragama di Indonesia sebagaimana telah dituangkan dalam sila pertama Pancasila (Syahbudi 2021).

Menjaga jiwa berarti Islam menitikberatkan keselamatan jiwa sebagai nilai kemanusiaan. Islam menolak tegas penggunaan kekerasan yang mengancam jiwa manusia. Hal ini sejalan dengan konsep hak asasi manusia yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun (Helim 2019). Menjaga akal dilakukan dengan memperkuat kebijakan pendidikan. Islam mengajarkan arti pentingnya mencari ilmu pengetahuan untuk memperkuat peradaban. Menjaga akal juga bermakna hak untuk memperoleh akses pendidikan bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Menjaga keturunan dilakukan untuk memperkuat ketahanan keluarga melalui institusi perkawinan. Berbagai kebijakan diatur, misalnya Undang-Undang Perkawinan dan kebijakan keluarga berencana. Menjaga harta dimaknai sebagai upaya manusia untuk mendapatkan pekerjaan dengan cara- cara yang baik dan halal. Menjaga harta dimaksudkan untuk tujuan pemerataan ekonomi masyarakat agar tercipta masyarakat yang mandiri dan sejahtera (Ibrahim 2019).

Kerangka Normatif Kekerasan dalam Rumah Tangga

Dalam Undang-Undang PKDRT, memuat empat jenis KDRT, yakni kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

(8)

Tabel 3

Rumusan Normatif KDRT

Rumusan Pasal Ancaman Pidana

Pasal 6

“Kekerasan fisik adalah

perbuatan yang

mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat”

1. pidana penjara lima tahun atau denda paling banyak lima belas juta rupiah (kekerasan fisik biasa);

2. Pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau denda paling banyak tiga puluh juta rupiah (pemberatan jika menyebabkan sakit atau luka berat;

3. Pidana penjara paling lama lima belas tahun atau denda paling banyak empat puluh lima juta rupiah (pemberatan akibat matinya korban); dan

4. Pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak lima juta rupiah (kekerasan fisik ringan).

Pasal 7

“Kekerasan psikis merupakan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat lainnya pada seseorang”

1. Pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp sembilan juta rupiah (kekerasan psikis biasa).

2. Pidana penjara paling lama empat bulan atau denda paling banyak tiga juta rupiah (kekerasan psikis ringan).

Pasal 8

“Kekerasan seksual merupakan pemaksaan dalam hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang-orang yang

1. Penjara paling lama dua belas tahun atau denda paling banyak tiga puluh enam juta rupiah.

2. Pidana penjara paling singkat empat tahun dan pidana penjara paling lama lima belas tahun atau denda paling sedikit dua belas

(9)

menetap dalam lingkup rumah tangga dan pemaksaan dalam hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan tertentu”

juta rupiah atau denda paling banyak tiga ratus juta rupiah (kualifikasi kekerasan seksual terhadap orang yang menetap dalam suatu rumah tangga).

3. pidana penjara paling singkat lima tahun dan dipidana penjara paling lama dua puluh tahun atau denda paling sedikit dua puluh lima juta rupiah dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah (pemberatan akibat korban mengalami luka yang tidak sembuh atau gangguan mental selama empat minggu atau setahun atau rusaknya janin atau tidak berfungsinya alat reproduksi).

Pasal 9

“Penelantaran rumah tangga adalah setiap

orang dilarang

menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, pemeliharaan kepada orang tersebut”

Pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak lima belas juta rupiah.

Sumber: Undang-Undang PKDRT

Tinjauan Maqashid Syariah

Dilihat dari latar belakang lahirnya Undang-Undang PKDRT terdapat dua aspek penting yang perlu diperhatikan. Pertama, tingginya kasus KDRT yang dalam aspek penegakan hukumnya sangat sulit dilakukan, mengingat perempuan sebagai korban merasa dilematis apabila melaporkannya. Kedua, minimnya kesadaran masyarakat mengenai perlunya keadilan serta kesetaraan

(10)

gender (Wulandari 2008). Pemerintah menjadikan Undang-Undang PKDRT sebagai kebijakan hukum pidana untuk mencegah dan menanggulangi kasus KDRT. Dalam konteks maqashid syariah, kebijakan tersebut termasuk dalam tingkatan maslahat dharuriyat. Dalam konteks ini, baik agama maupun kehidupan duniawi masyarakat haruslah selaras. Sementara itu, kasus KDRT merupakan ancaman terhadap keduanya yang berdampak pada rusaknya ketahanan keluarga akibat kekerasan, hilangnya kepercayaan diri, mengganggu kesehatan fisik dan mental, serta mengganggu kemandirian dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya (Ashady 2020). Dapat dibayangkan bahwa apabila kebijakan hukum pidana tidak mengintervensi kehidupan keluarga (KDRT), dapat dipastikan akan berdampak luas terhadap keutuhan masyarakat.

Kebijakan hukum pidana dimaksudkan sebagai sarana hukum yang digunakan untuk melindungi masyarakat dari kekerasan dan kejahatan.

Kebijakan hukum pidana pada umumnya bertujuan untuk memperkuat ketahanan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat agar tercipta masyarakat yang sejahtera dan adil (Arief 2011). Prinsip utama lahirnya Undang-Undang PKDRT adalah penghormatan terhadap hak asasi manusia, memperkuat keadilan dan kesetaraan gender, prinsip non-diskriminasi, dan melindungi korban dari kekerasan. Sementara itu, tujuan lahirnya Undang-Undang PKDRT adalah mencegah KDRT, melindungi korban KDRT, penegakan hukum terhadap pelaku KDRT, dan memelihara keutuhan rumah tangga (Zuhrah 2017).

Dalam perspektif maqashid syariah, Undang-Undang PKDRT lebih berfokus pada perlindungan terhadap jiwa. Undang-Undang PKDRT ditujukan untuk melindungi kelompok rentan yang berpotensi menjadi korban KDRT.

Keselamatan jiwa menjadi fokus utama, sehingga urgen dilakukan untuk memberikan sanksi tegas pelaku tindak pidana KDRT. Namun, penting juga menguraikan satu persatu bagaimana kebijakan hukum pidana ini memiliki korelasi yang kuat dengan konsep maqashid syariah.

Pertama, dalam konteks perlindungan agama, Islam mengajarkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keselarasan, keutuhan, baik sesama manusia ataupun dengan lingkungan alamnya. Sama halnya dengan Undang-Undang PKDRT yang pelaksanaannya didasarkan pada penghormatan hak asasi manusia, pemenuhan keadilan, dan kesetaraan gender.

Demikian pula penafsiran ajaran agama yang tidak holistik menyebabkan cara pandang patriarki turut memperkuat budaya kekerasan. Sebagai contoh, dalam setiap doktrin-doktrin agama, para tokoh agama kerap menggemakan potongan-

(11)

potongan ayat tertentu untuk melegitimasi superioritas laki-laki dibanding perempuan. Oleh karena itu, perlindungan terhadap agama harus dapat dimaknai sebagai semangat untuk menentang segala bentuk kekerasan dan untuk memperkuat peran agama dalam keutuhan rumah tangga.

Kedua, dalam konteks perlindungan terhadap jiwa, Islam memerintahkan untuk menghindari segala bentuk kemudharatan yang mengancam jiwa. Perilaku kekerasan hanya akan memberi dampak pada jiwa korban berupa depresi, perasaan trauma, perasaan terancam, rusaknya mental, luka fisik, dan kematian.

Korban akan mengalami trauma yang berkepanjangan mengingat kekerasan tersebut dilakukan oleh orang terdekatnya. Dampak ini tentu saja akan mengganggu kemandirian korban dalam beraktivitas, misalnya dampak terhadap pekerjaan, dampak dalam relasi sosial, dan dampak kesehatan, dan dampak lainnya. Undang-Undang PKDRT mengatur tentang kekerasan fisik dan kekerasan seksual yang dapat menimbulkan sakit secara fisik, luka ringan, luka berat, sakit mental, dan kematian. Dampak-dampak tersebut akan merusak keselamatan jiwa seseorang yang menjadi korban. Oleh karena itu, kebijakan hukum pidana dalam penghapusan KDRT selaras dengan konsep maqashid syariah.

Ketiga, perlindungan terhadap akal dilihat pada Undang-Undang PKDRT dapat dilihat pada pengaturan jenis kekerasan psikis. Kekerasan ini dapat berdampak pada gangguan mental korban dan rasa trauma yang berkepanjangan. Hal ini tentu saja mengganggu keselamatan akal seseorang akibat dari tekanan psikis yang didapatkannya. Jika dihubungkan dengan budaya patriarki, korban perempuan sering berada pada posisi yang rentan baik dari lingkungan keluarganya maupun lingkungan sosialnya. Misalnya, perempuan kerap menjadi korban berulang-ulang apabila masyarakat disekitarnya atau keluarga terdekatnya menganggap kekerasan tersebut pantas dilakukan sebagai bentuk hukuman akibat ketidakmampuan perempuan dalam melayani suaminya.

Dalam contoh lain, apabila istri tidak bisa melayani suaminya dalam hubungan seksual karena kondisi tertentu, suami kerap melakukan kekerasan seksual. Disini, korban tidak memiliki ruang aman dikarenakan budaya sosial masyarakat menganggap perempuan dalam kondisi apapun wajib melayani suami secara seksual. Budaya patriarki inilah kerap menyebabkan tekanan mental bagi korban. Contoh lain juga kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang tua kepada anak juga berdampak secara psikis bagi pertumbuhan

(12)

anak. Dalam hal ini, Undang-Undang PKDRT memberikan mitigasi berupa pemulihan dan rehabilitasi bagi korban dalam bentuk pemulihan kesehatan baik fisik maupun mental, bimbingan rohani, dan bimbingan konseling. Oleh karena itu, kebijakan hukum pidana dalam pencegahan KDRT harus dapat dimaknai sebagai bentuk perlindungan terhadap akal sehingga selaras dengan maqashid syariah.

Keempat, Perlindungan terhadap keturunan dimaknai sebagai semangat untuk melindungi korban dari kekerasan seksual. Dalam konteks hubungan suami istri, Islam memberikan amanat kepada suami untuk menggauli istrinya secara ma’ruf sebagai bentuk kasih sayang terhadap istri. Dalam konteks kehidupan rumah tangga, kebijakan hukum pidana dalam pencegahan KDRT juga ditujukan terhadap semua orang yang menempati lingkungan keluarga.

Berbagai kasus kekerasan seksual juga kerap terjadi antara orang tua dengan anak. Dampak terbesarnya adalah terganggunya fungsi reproduksi dari korban akibat pemaksaan hubungan seksual. Apabila hal ini terjadi, maka akan merusak perkembangan keturunan. Oleh karena itu, kebijakan hukum pidana dalam pencegahan KDRT harus dapat dimaknai sebagai bentuk perlindungan terhadap keturunan sehingga selaras dengan maqashid syariah

Kelima, perlindungan terhadap harta dalam konteks rumah tangga dapat dimaknai sebagai kebebasan masing-masing pasangan dalam mendapatkan pekerjaan atau mencari nafkah atau dapat juga bermakna kewajiban salah satu pasangan untuk memberikan nafkah terhadap anggota keluarganya. Dalam konteks ini, Undang-Undang PKDRT mengatur satu bentuk kekerasan yakni penelantaran rumah tangga sebagaimana diatur pada Pasal 9 ayat 1 Undang- Undang PKDRT. Pasal tersebut dalam konteks Islam, selaras dengan filosofi kewajiban suami bagi istri, bahkan dapat dikategorisasikan sebagai maksiat oleh Islam apabila ditemukan perbuatan penelantaran tanpa disertai udzur syar’i.

Lebih lanjut dalam hukum Islam, seorang suami yang melarang istrinya untuk bekerja karena suami bertujuan untuk menguasai kehidupan istri atau meninggalkan istri tanpa terpenuhi haknya merupakan perbuatan zalim. Oleh karena itu, kebijakan hukum pidana dalam pencegahan KDRT harus dapat dimaknai sebagai bentuk perlindungan terhadap harta sehingga selaras dengan maqashid syariah

(13)

SIMPULAN

Kebijakan hukum pidana dalam Undang-Undang PKDRT selaras dengan konsep maqashid syariah, khususnya pada tingkatan dharuriyat. Perilaku KDRT sangat bertentangan dengan semangat ajaran Islam yang penuh dengan kasih sayang. Bahwa perlindungan terhadap agama merupakan semangat untuk melindungi setiap orang dari tindakan kekerasan. Agama mengajarkan setiap pasangan untuk berbuat adil, berlaku baik, serta bergaul dalam hubungan yang ma’ruf. Dari berbagai bentuk KDRT dapat disimpulkan bahwa pencegahan kekerasan fisik sebagaimana Pasal 6 merupakan bentuk perlindungan terhadap jiwa. Pencegahan kekerasan psikis sebagaimana Pasal 7 merupakan bentuk perlindungan terhadap akal. Pencegahan kekerasan seksual sebagaimana Pasal 8 merupakan bentuk perlindungan terhadap keturunan. Pencegahan penelantaran rumah tangga sebagaimana Pasal 9 merupakan bentuk perlindungan terhadap harta.

DAFTAR PUSTAKA

Anak, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan. 2023.

“SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan Dan Anak).” Kementrian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak.

Retrieved July 1, 2023 (https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan).

Anwar, Khairil, Mohd Soberi Awang, and Mualimin Mochammad Sahid. 2021.

“Maqashid Syariah Menurut Imam Al-Ghazali Dan Aplikasinya Dalam Penyusunan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.” Malaysian Journal of Sharia and Law 9(2):75–87.

Arief, Barda Nawawi. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru). 2nd ed. Jakarta: Kencana.

Ashady, Suheflihusnaini. 2020. “Kebijakan Penal Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.” Jurnal Fundamental Justice 1(1):1–27.

Ayu, Diyan Putri. 2019. “Tinjauan Maqashid Syari’ah Terhadap Akibat Tindakan Marital Rape Dalam UU No.23 Th. 2014 Dan RUKHP.” Al-Manhaj: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam 1(2):229–56.

Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Busyro. 2019. Maqashid Al-Syariah: Pengetahuan Mendasar Memahami Maslahah.

Jakarta: Prenadamedia Group.

Erwinsyahbana, Tengku, and Ramlan Ramlan. 2017. “Penelitian Kualitatif Bidang Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Konstruktivis.” Borneo Law Review 1(1):1–19.

Fadhil, Moh. 2022. “Amnesti Dan Kesetaraan Gender Di Indonesia: Telaah Terhadap Pemberian Amnesti Presiden Jokowi Kepada Baiq Nuril.” Jurnal Yuridis 9(2):162–80.

(14)

Fakhruzy, Agung. 2021. “Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Suami Terhadap Istri (Studi Di Polres Pamekasan).” As-Shahifah: Journal of Constitutional Law and Governance 1(2):91–116.

Hakim, Budi Rahmat, and Herlinawati Herlinawati. 2021. “Reinterpretasi Persepsi Keagamaan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (Perspektif Maqashid Al-Syariah).” Journal of Islamic and Law Studies 5(1):1–12.

Helim, Abdul. 2019. Maqashid Al-Syari’ah versus Usul Al-Fiqh ( Konsep Dan Posisinya Dalam Metodologi Hukum Islam). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ibrahim, Duski. 2019. Al-Qawa’id Al-Maqashidiyah (Kaidah-Kaidah Maqashid).

Yogyakarta: Ar-ruzz Media.

Iqbal, Muhammad, and Kisma Fawzea. 2020. Psikologi Pasangan Manajemen Konflik Rumah Tangga. Jakarta: Gema Insani.

Jamal, Ridwan. 2010. “Maqashid Al-Syari’ah Dan Relevansinya Dalam Konteks Kekinian.” Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah 8(1):1–12.

Juliansyahzen, Muhammad Iqbal. 2021. “Otoritarianisme Pemahaman Keagamaan: Melacak Akar Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga.” Yinyang: Jurnal Studi Islam, Gender, Dan Anak 16(1):49–70.

Khairunisa, Tika, Dahlia Haliyah, and Moh. Fadhil. 2022. “Problematika Mediasi Perkara Perceraian Berdasarkan Pengalaman Hakim Mediator Pada Pengadilan Agama Singkawang.” Al-Usroh: Jurnal Hukum Islam Dan Hukum Keluarga 2(2):347–59.

Kusumayanti, Fitri. 2019. “Dilema Ruang Perempuan Dalam Keluarga Dan Publik.” Raheema: Jurnal Studi Gender Dan Anak 6(2):127.

Mardhiyah, Umroatun, Muhammad Hasan, and Ardiansyah Ardiansyah. 2022.

“Upaya Mewujudkan Keluarga Sakinah Di Kalangan TNI Ditinjau Dari Hukum Islam(Studi Kasus Keluarga Batalyon Infanteri 642/Kapuas Komisariat Kompi Senapan A Nanga Pinoh).” Al-Usroh: Jurnal Hukum Islam Dan Hukum Keluarga 2(2):381–400.

Marsella, Wanda, and Stevany Afrizal. 2022. “Konflik Rumah Tangga Akibat Pergeseran Peran Suami Istri Selama Pandemi Covid-19.” Sosial Khatulistiwa:

Jurnal Pendidikan IPS 2(2):51 – 62.

Muhaimin. 2020. Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University Press.

Munawara, Nina, Muhammad Hasan, and Ardiansyah Ardiansyah. 2021.

“Faktor-Faktor Penyebab Perceraian Pada Pernikahan Dini Di Pengadilan Agama Kelas I-B Sambas.” Al-Usroh: Jurnal Hukum Islam Dan Hukum Keluarga 1(2):107–31.

ND, Mukti Fajar, and Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Penelitian Hukum Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ristian, Ika. 2020. “Pasal-Pasal Nusyuz Istri Dalam Kompilasi Hukum Islam Dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.” Jurnal Al-Hakim: Jurnal Ilmiah Mahasiswa,

(15)

Studi Syariah, Hukum Dan Filantropi 2(2):55–62.

Rokhim, Abdur, and Imam Supardi. 2021. “Menafsir Ulang Konsep Hifz Ad- Dîn Dalam Konteks Indonesia.” Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr 10(1):91–103.

Soeroso, Moerti Hadiati. 2011. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika.

Sumariati, Sumariati, Zainul Fuad, and Sukiati Sukiati. 2022. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Masa Covid-19 Di Kec. Sunggal Kab. Deli Serdang (Analisis Maqashid Syariah Dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak).” Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial Islam 10(2):685–

706.

Sunarso, Budi. 2022. Merajut Kebahagiaan Keluarga (Perspektif Sosial Agama) Jilid 2.

Jakarta: Penerbit Deepublish.

Syahbudi, Syahbudi. 2021. “Understanding Pancasila In The Maqashid-Based Framework And Its Relevance To Indonesian Religious Harmony: A Dialogue Approach.” Istinbath: Jurnal Hukum Dan Ekonomi Islam 20(1):1–20.

Wulandari, Laely. 2008. “Kebijakan Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Melalui Mediasi Penal.” Law Reform 4(1):1–19.

Zuhrah, Zuhrah. 2017. “Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Bima Dalam Bingkai Budaya Patriarki.” Sangaji: Jurnal Pemikiran Syariah Dan Hukum 1(1):49–58.

Zulkifli. 2019. “Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Islam.” Raheema:

Jurnal Studi Gender Dan Anak 6(2):162.

Referensi

Dokumen terkait

Aturan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Korban KDRT pada Proses

Didalam praktek proses pemberian hukum bagi anggota Polri yang terkait tindak pidana KDRT adalah sebagai berikut : anggota Polri yang menjadi Pelaku tindak pidana mengajukan

Bahkan perkawinan memenuhi seluruh aspek dari dari maqashid al-syariah yang lima aspek tersebut, baik itu agama, jiwa, akal, keturunan maupun harta, dan kelima aspek

Perlindungan hukum terhadap korban KDRT sebagai bentuk perlindungan hak asasi manusia khususnya kaum perempuan, telah diatur dalam bentuk undang- undang yaitu

Apabila dikomparasikan dengan Hukum Islam, bahwa hakikat pidana dan Pemidanaan dalam hukum Islam adalah sebagai pencegahan, pembalasan, penjeraan, melindungi masyarakat

Penelitian ini mengkaji permasalahan: pertama, kecenderungan hakim menjatuhkan pidana penjara tanpa mempertimbangkan pidana tambahan berupa konseling sebagai sanksi pidana dalam

halnya yang terjadi di Kota Makassar, kasus KDRT yang dilaporkan kepada Unit Perlindungan Perempuan dan 1 Hamidah Abdurrachman, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan

Kedudukan Hukum terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam perspektif Kitab UU Hukum Pidana Perlindungan hukum terhadap perempuan bukan saja hanya melalui UU yang