• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecerdasan emosi pada pelaku self injury

D Solution

Academic year: 2023

Membagikan "Kecerdasan emosi pada pelaku self injury"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa tindakan melukai diri sendiri biasanya pertama kali terjadi pada masa remaja. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Mahajan, R., dkk. 2014) menyatakan bahwa subjek yang melakukan self-injury rata-rata memiliki kecerdasan emosional yang buruk.

Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah, antara lain

Penelitian ini bermanfaat dalam memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada instansi pemerintah dan masyarakat agar lebih peka dan tanggap terhadap pelaku tindakan menyakiti diri sendiri di daerah. Penelitian ini dapat memberikan referensi dan masukan bagi peneliti selanjutnya di bidang kecerdasan emosional pada pelaku self-harm.

Kajian Pustaka 1. Kecerdasan Emosi

Definisi Kecerdasan Emosi

Menurut Coleman (2009), kecerdasan emosional adalah kemampuan memantau emosi diri sendiri dan orang lain dan memberi label dengan tepat, serta menggunakan informasi emosional tersebut untuk memandu pemikiran dan perilaku. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami emosi, yang meliputi kemampuan memotivasi diri sendiri dan orang lain, pengendalian diri, dan kemampuan memahami perasaan orang lain.

Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi

Orang dengan keterampilan ini mengelola perasaan impulsif dan emosi stresnya dengan baik; Orang-orang dengan keterampilan ini menghadapi orang-orang sulit dan situasi tegang dengan diplomasi dan taktik;

Tahap-Tahap Kecerdasan Emosi

Aspek intrapersonal mengandung tiga unsur kecerdasan emosional, yaitu kemampuan mengenali emosi, kemampuan mengatur emosi, dan motivasi diri. Sedangkan konstruk interpersonal mengandung dua unsur kecerdasan emosional, yaitu kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain dan mengenali perasaan orang lain. Dari aspek-aspek kecerdasan emosional tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek kecerdasan emosional terdiri dari dua yaitu keterampilan personal dan keterampilan sosial.

Berdasarkan tahapan kecerdasan emosional dapat disimpulkan bahwa tahapan kecerdasan emosional meliputi: persepsi, penilaian dan ekspresi emosi; fasilitasi emosional; memahami dan memecahkan kode emosi; dan arah emosi yang reflektif untuk mendorong perkembangan emosional dan intelektual.

Faktor-Faktor Kecerdasan Emosi

Faktor lain yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional adalah gender. Anak perempuan lebih mahir berbahasa dibandingkan anak laki-laki, sehingga mereka lebih berpengalaman dalam mengungkapkan perasaannya dan lebih mahir menggunakan kata-kata untuk mengeksplorasi dan menggantikan respons emosional, seperti perkelahian fisik. Kegiatan di sekolah merupakan sarana pendidikan emosi dan sosial, siswa belajar bekerja sama, mengemukakan pendapat, mengembangkan pendapat, menghargai orang lain, menyelesaikan perselisihan dan berunding tanpa menimbulkan perpecahan. Agama merupakan sesuatu yang secara khusus atau otomatis menjadi unsur pribadi, yang akan mempengaruhi seluruh tingkah laku individu, baik dalam pikiran, perasaan, tingkah laku maupun tindakan.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor kecerdasan emosional adalah kondisi neurologis dan mekanisme kerja otak, jenis kelamin, temperamen, pola asuh, umur, teman sebaya, sekolah dan agama.

Definisi Self Injury

Shabrina (dalam Estefan & Wijaya, 2014) mengatakan self-injury adalah perilaku melukai diri sendiri yang dilakukan dengan sengaja, seperti memotong bagian kulit dengan pisau atau silet, memukul diri sendiri, membakar bagian tubuh tertentu, menarik-narik. rambutnya keras, bahkan memotong bagian tubuh tertentu, tanpa ada niat untuk bunuh diri. International Society for Study (dalam Whitlock, 2009) menyatakan bahwa self-injury adalah perilaku melukai diri sendiri yang disengaja dan mengakibatkan kerusakan langsung pada tubuh, untuk tujuan selain sanksi sosial dan tanpa niat untuk bunuh diri. Menyatakan bahwa melukai diri sendiri adalah tindakan melukai bagian tubuh tertentu secara sengaja dan langsung, tanpa adanya niat untuk bunuh diri.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa self-injury adalah perilaku melukai diri sendiri yang dilakukan dengan sengaja, seperti menyayat kulit dengan pisau, silet atau benda tajam lainnya, memukul diri sendiri, menyayat bagian tubuh tertentu, luka bakar. , mencabut rambut, bahkan memotong bagian tubuh tertentu tanpa ada niat untuk bunuh diri.

Tipe-Tipe Self Injury

Mutilasi diri yang moderat/dangkal masih memiliki tiga subtipe, yaitu episodik, berulang, dan kompulsif. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis self-injury antara lain perbuatan yang menimbulkan luka atau bahaya berat, perbuatan ringan yang dilakukan secara berulang-ulang, dan jenis yang sering dilakukan adalah bersifat episodik, berulang, dan kompulsif.

Bentuk-Bentuk Self Injury

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis tindakan melukai diri sendiri meliputi tindakan yang menimbulkan luka atau cedera serius, tindakan kecil yang dilakukan secara berulang-ulang, dan jenis yang sering dilakukan adalah bersifat episodik, berulang, dan kompulsif. e) menembak bagian badannya, (f) gantung diri, (g) terjun bebas dari tempat tinggi, dan (h) melompat ke dalam sumur. Perilaku melukai diri sendiri adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang yang dapat menimbulkan bahaya atau cedera pada dirinya sendiri. Menurut Whitlock (2009), istilah self-injury mengacu pada rentang perilaku yang sangat luas yang mengakibatkan kerusakan pada bagian dalam dan luar tubuh.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk tindakan menyakiti diri sendiri antara lain adalah memotong diri sendiri, meracuni diri sendiri, melukai diri sendiri, membakar kulit sendiri, menghambat atau mengganggu penyembuhan luka, mencabut bulu tubuh sendiri, menggigit dan memukul diri sendiri, dan membenturkan kepala ke dinding.

Faktor-Faktor Penyebab Self Injury

Pelaku self-injury memiliki masalah khusus pada sistem serotogenik otak yang menyebabkan peningkatan impulsif dan agresivitas. Pelaku tindakan menyakiti diri sendiri merasakan kekuatan emosi yang tidak menyenangkan dan tidak mampu mengatasinya. Cara kerja tindakan melukai diri sendiri berbeda-beda dan dilakukan karena berbagai alasan, termasuk keinginan untuk berubah.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa faktor penyebab seseorang melakukan self-harm adalah penyebab internal yaitu stres, rasa malu, tekanan, kerusakan biologis pada otak.

Karakteristik Pelaku Self Injury

Selain itu, self-injury dilakukan sebagai sarana untuk mencari dukungan, mengkomunikasikan kesusahan, dengan tujuan afiliasi (sama atau berhubungan dengan orang lain) dan penghindaran (Rodav, et al., 2014). Selain itu, faktor eksternal seperti lingkungan juga berperan ketika individu melakukan self-harm, dan lingkungan yang buruk serta kurangnya dukungan pada saat individu mengalami kesulitan akan menimbulkan perilaku self-harm.

Siklus Self Injury

Namun, sebagian besar literatur tentang melukai diri sendiri menunjukkan bahwa stres dan pikiran negatif mungkin terkait dengan konflik dengan keluarga dan teman sebaya, kebencian terhadap diri sendiri, pengalaman kekerasan fisik dan seksual, atau situasi lain yang mendukung tindakan tersebut (Humphreys, 2016). Namun ada kondisi yang membedakannya dengan teknik coping lainnya, yaitu self-injury menimbulkan perasaan malu karena adanya stigma yang terkait dengan perilaku self-injury. Remaja yang melakukan self-harm memahami stigma yang ada dan setelah melakukan self-injury akan berpikir negatif tentang kemampuan dirinya dalam mengendalikan cederanya, yang nantinya akan kembali menjadi siklus (Humphreys, 2016).

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa siklus self-harm meliputi perkembangan emosional (pikiran negatif, membangun tekanan dan dorongan untuk bertindak), tindakan, perasaan lega dan perasaan malu.

Dampak Self Injury

Perspektif Teori

Nonsuicide self-injury (NSSI) didefinisikan sebagai tindakan yang disengaja untuk menimbulkan cedera, rasa sakit, atau keduanya pada jaringan tubuh seseorang tanpa niat untuk bunuh diri (Nock & Favazza, 2009; dalam Hornor, 2016). Self-harm mempunyai konsekuensi negatif berupa bekas luka dan infeksi, rasa bersalah, rasa malu dan kemungkinan penolakan dari orang tua dan teman sebaya (Wilkinson & Goodyer, 2011; dalam Silva, et al., 2017). Selain itu, tindakan menyakiti diri sendiri dikaitkan dengan gangguan mental yang serius, seperti depresi, kecemasan, kepribadian ambang, penggunaan narkoba dan gangguan makan serta meningkatkan risiko upaya bunuh diri (Klonsky & Olino, 2008; i Silva, 2017).

Self-harm adalah tindakan sengaja melukai diri sendiri tanpa ada inisiatif untuk melakukan bunuh diri. Faktor-faktor yang menyebabkan tindakan menyakiti diri sendiri antara lain: 1) pengaturan emosi: paling sering, dorongan untuk merasakan perasaan yang sangat negatif dan rangsangan yang tidak bersahabat dikurangi atau dihindari;

Gambar 1.1 skema gambaran konseptual kecerdasan emosi pada pelaku self  injury.
Gambar 1.1 skema gambaran konseptual kecerdasan emosi pada pelaku self injury.

Tipe Penelitian

Goodwin (2010; dalam Hanurawan 2016) menyatakan bahwa penelitian model studi kasus sering dilakukan dalam bidang psikologi klinis. Penelitian studi kasus pada kasus klinis digunakan untuk menggambarkan kondisi individu yang mengalami gangguan jiwa tertentu dan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut. Model studi kasus merupakan suatu proses analisis mendalam terhadap objek penelitian yang unit analisisnya adalah individu.

Contoh penelitian studi kasus di bidang psikologi adalah penelitian studi kasus riwayat kesehatan mental pasien depresi akibat kematian pasangannya (Hanurawan, 2016).

Unit Analisis

Contoh penelitian studi kasus dalam bidang psikologi adalah penelitian studi kasus mengenai riwayat kesehatan mental yang dialami oleh penderita depresi akibat meninggalnya pasangannya (Hanurawan, 2016). Penelitian dilakukan di Kota Banjarbaru dan sekitarnya.

Subjek Penelitian

Teknik Pengalian Data

Observasi

Namun pada saat tertentu peneliti tidak bersikap terbuka atau halus dalam observasinya, hal ini untuk menghindari data yang diminta merupakan data yang masih dirahasiakan. Hal ini dilakukan secara berkala dengan membawa kertas kosong untuk mencatat perilaku khas, unik, dan signifikan yang dilakukan subjek. Dalam metode pencatatan anekdotal, pengamat mencatat secara cermat dan mencatat perilaku yang dianggap relevan dan bermakna sesegera mungkin setelah perilaku tersebut terjadi.

Dalam penelitian ini peneliti dapat menafsirkan makna dari perilaku yang terjadi menurut pendapat dan sudut pandang peneliti, sepanjang penafsiran dan makna tersebut menurut peneliti berperan sebagai pendukung makna sebenarnya (Notoatmodjo, 2012).

Wawancara

Ada dua jenis wawancara semi terstruktur, yaitu (1) wawancara terfokus, (2) wawancara bebas. Peneliti menggunakan kedua jenis wawancara semi terstruktur ini karena dengan menggunakan kedua hal tersebut memudahkan peneliti dalam melakukan wawancara mendalam terhadap informan. Dalam wawancara kali ini peneliti akan membuat panduan wawancara yang sesuai dengan sudut pandang teoritis yang digunakan pada Bab II yaitu aspek kecerdasan emosional dan hubungannya dengan perilaku melukai diri sendiri.

Panduan yang digunakan peneliti hanya sekedar pedoman pada saat wawancara, apabila pada saat wawancara dirasa jawaban subjek kurang memadai, maka peneliti akan menggali lebih dalam dengan mengembangkan pertanyaan (probing) sesuai dengan panduan wawancara yang diberikan peneliti. dibuat.

Skala Pengukuran DASS (Depression Anxiety Stress Scale)

DASS adalah serangkaian skala “laporan diri rangkap tiga” yang dirancang untuk mengukur keadaan emosi negatif seperti depresi, kecemasan, dan stres. Fungsi penting DASS adalah menilai tingkat keparahan gejala inti depresi, kecemasan, dan stres. Saya merasa sulit meningkatkan inisiatif untuk melakukan sesuatu (42) Sepertinya saya tidak mempunyai kekuatan lagi untuk melakukan suatu aktivitas (5).

Saya merasa sulit untuk beristirahat (22) Saya merasa berada di ambang panik (29) Saya merasa sulit untuk bersantai (8) Kegembiraan yang gugup.

Teknik Pengorganisasian dan Analisis Data

Proses pertama ini dilakukan dengan cara mereduksi data-data yang diperoleh dari hasil wawancara untuk diambil intisarinya agar data lebih terfokus dan memudahkan peneliti untuk melanjutkan proses penelitian pada tahap selanjutnya. Analisis data setelah peneliti menyelesaikan kerja lapangan dapat dilakukan dengan cara mengorganisasikan dan menganalisis seluruh data yang diperoleh dari awal sampai peneliti menarik suatu kesimpulan penelitian. Pengkodean akan mempermudah pengorganisasian data dalam jumlah besar dan memenuhi tuntutan interpretasi fenomena.

Teknik pengorganisasian data dalam penelitian ini dilakukan melalui pengkodean, yaitu dengan memberikan kode-kode pada hasil observasi (O/nama narasumber/baris).

Teknik Pemantapan Kredibilitas Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak terdapat perbedaan antara apa yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sebenarnya terjadi pada orang yang diteliti. Oleh karena itu, untuk menguji keabsahan data yang diperoleh digunakan uji kredibilitas (validitas internal) (Sugiyono, 2016). Pengujian kredibilitas data atau reliabilitas data yang ditemukan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tiga cara yang dikemukakan oleh Marvasti (dalam Herdiansyah, 2015), yaitu dengan menggunakan validasi responden, triangulasi perspektif dan pengecekan ulang apakah terdapat tema yang relevan. . menyimpang atau terkesan, aneh dan tidak masuk akal.

Triangulasi waktu dalam penelitian ini dilakukan secara berulang-ulang atau lebih dari satu kali dengan cara penggalian data hingga ditemukan kepastian data.

Gambar

Gambar 1.1 skema gambaran konseptual kecerdasan emosi pada pelaku self  injury.
Tabel 2. Interpretasi Skor Deppression Anxiety Stress Scale (DASS)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan gambaran kepada orang tua tentang pengaruh karakteristik keluarga, karakteristik individu, kecerdasan kognitif, dan

Kecerdasan emosi yang memiliki peranan penting dalam mengendalikan agresivitas dikarenakan individu yang memiliki kecerdasan emosi yang matang akan belajar untuk

Kecerdasan emosi sebagai faktor yang menentukan pemaha - man individu terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain akan mempengaruhi per - ilaku individu dalam

Kecerdasan emosi yang memiliki peranan penting dalam mengendalikan agresivitas dikarenakan individu yang memiliki kecerdasan emosi yang matang akan belajar untuk

Dengan demikian, berarti semakin tinggi self regulated learning maupun kecerdasan emosi yang dimiliki seseorang tidak berhubungan secara signifikan dengan konsentrasi belajar

Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa kecerdasan emosi merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap stres kerja yang dialami perawat tersebut, yaitu

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik individu yang melakukan self injury adalah individu memiliki self esteem yang rendah, memiliki pola

Berdasarkan hasil data, diketahui bahwa dari dua variabel yaitu kecerdasan emosi dan self- esteem, salah satu variabel tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap psychological