• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR SEBAGAI PIHAK PENJAMIN DEBITUR UTAMA DALAM PROSES KEPAILITAN

N/A
N/A
Makroni Kamu

Academic year: 2024

Membagikan "KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR SEBAGAI PIHAK PENJAMIN DEBITUR UTAMA DALAM PROSES KEPAILITAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL

Oleh

DIAH HANDAYANI 107011007/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR SEBAGAI PIHAK PENJAMIN DEBITUR UTAMA DALAM PROSES KEPAILITAN

DIAH HANDAYANI ABSTRACT

In a guarantee, a guarantor has an extraordinary right required by creditor for released to provide the creditor with safety. The method applied in this research is normative law study method- The position of corporate guarantor that voluntarily release his extraordinary right is same to the main debtor so the corporate guarantor can submit the liquidation with the main debtor. The protection to the corporate guarantee in which the main Debtor did not able to do its liability, the application of liquidation is submitted after all of the property of liquidated debtor is used to pay all of its liability. The protection to the creditor as the holder of corporate guarantor if the main debtor is bankrupt can ask the responsibility of corporate guarantor and if the corporate guarantor is bankrupt, the creditor as the holder of corporate guarantee is take position as concurrent creditor to die corporate guarantor.

Keywords : Corporate Guarantor, Main Debtor, Bankruptcy

I. Pendahuluan

Dana merupakan “oksigen” bagi suatu perusahaan dalam melakukan kegiatan usahanya. Seperti halnya manusia yang tidak mungkin hidup tanpa oksigen, perusahaan juga akan mati tanpa dana. Dana bagi perusahaan diperoleh dari berbagai sumber, baik dari modal (equity) dan utang (loan).1 Untuk masalah pendanaan, perusahaan seringkali meminjam uang yang dibutuhkan kepada pihak lain. Dalam hubungan ini, pihak yang memberikan pinjaman uang disebut kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang menerima pinjaman disebut debitur atau si berutang. Pemberian pinjaman atau kredit yang diberikan kreditur kepada debitur dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa debitur dapat mengembalikan pinjaman tersebut kepada kreditur tepat pada waktunya. Tanpa adanya kepercayan dari kreditur, tidak mungkin kreditur mau memberikan pinjaman kepada debitur.

Istilah jaminan perorangan berasal dari kata borgtocht, dan ada juga yang menyebutkan dengan istilah jaminan immateriil. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengartikan jaminan immateriil (perorangan) adalah “Jaminan yang

1 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta: Grafiti, 2010), hlm. 295.

(3)

menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur seumumnya” 2.

Pendapat yang lain disampaikan oleh Soebekti mengartikan jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang (debitur). Ia bahkan dapat diadakan di luar (tanpa) sepengetahuan si berhutang tersebut.3 Menurut Soebekti juga, bahwa maksud adanya jaminan ini adalah untuk pemenuhan kewajiban si berhutang, yang dijamin pemenuhannya seluruhnya atau sampai suatu bagian tertentu, harta benda si penanggung (penjamin) dapat disita dan dilelang menurut ketentuan perihal pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan.

Jaminan perorangan tersebut terbagi atas dua jenis, yaitu jaminan yang dilakukan oleh pribadi (personal guarantee) dan pemberian garansi yang dilakukan oleh badan hukum (corporate guarantee). Pada dasarnya keduanya memiliki prinsip yang sama dimana hak dan kewajiban yang dimiliki pemberi garansi (penjamin) pada kedua jenis penanggungan tersebut identik, hanya saja subjek pelakunya berbeda.4

Keberadaan penjamin disini personal guarantee maupun corporate guarantee berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin), bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan dan penjamin bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitur tersebut bila debitur tidak melaksanakan kewajibannya. Dengan adanya garansi/jaminan ini, pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk untuk membayar utang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut.5

Dalam hal debitur sudah tidak memiliki kemampuan lagi dalam membayar utangnya, salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh kreditur adalah permohonan pailit sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU).

2 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, ditulis dalam rangka kegiatan Badan Pembinaan Hukum Nasional Berupa Proyek Penulisan Karya Ilmiah,Tahun 2001, hlm.4.

3 Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 1989, hlm. 15.

4 Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm.151.

5 Ibid.

(4)

Pemilihan mekanisme kepailitan melalui Pengadilan Niaga diambil pelaku usaha mengingat waktu penyelesaian yang relatif lebih cepat daripada mekanisme gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri. Selain itu, setiap tahapan dari permohonan hingga pengurusan dan pemberesan harta pailit sudah diatur sangat ketat oleh UUK-PKPU sehingga setiap proses dapat berjalan sesuai dengan waktu yang diperkirakan.

Walaupun banyak memiliki kelebihan, penyelesaian hutang piutang melalui mekanisme pailit sering mengalami kendala. Salah satunya terkait dengan corporate guarantee. Di satu sisi, corporate guarantor hanya dapat dimintakan pertanggungjawabannya apabila debitur utama sudah tidak mampu menyelesaikan kewajibannya. Hal ini tentunya akan membutuhkan waktu yang lama dan tidak sejalan dengan semangat peradilan cepat yang diusung oleh Pengadilan Niaga.

Selain itu, corporate guarantee yang tidak beritikad baik juga dapat berlindung dibalik kewajiban menagih kepada debitur utama tersebut.

Di satu sisi, permohonan pailit yang diajukan kepada corporate guarantor yang telah melepaskan hak istimewanya bersamaan dengan debitur dianggap dapat memberikan perlindungan kepada kreditur. 6 Namun di sisi lainnya, perusahaan yang beritikad baik sebagai corporate guarantor juga perlu dilindungi. Permohonan pailit yang diajukan terhadap perusahaan tentunya akan berdampak buruk pada kegiatan bisnis perusahaan karena rekan bisnis dan investor perusahaan akan mengantisipasi bila perusahaan dinyatakan pailit, seperti investor menarik asset dari perusahaan, rekan bisnis membatalkan perjanjian/kontrak dengan perusahaan. Disamping itu, iklim kerja juga akan terganggu karena keresahan tenaga kerja yang dibayang-bayangi pemutusan hubungan kerja.

Melalui pembahasan ini diharapkan dapat membantu para pelaku usaha untuk mengetahui bagaimana kedudukan corporate guarantor, bila corporate guarantor secara sukarela telah mencabut hak istimewanya untuk bertindak sebagai corporate guaranteee, dan selain itu juga untuk mengetahui bagaimana perlindungan kepada corporate guarantor dan kreditur pemegang corporate guarantee dalam proses kepailitan. Dengan demikian kemudahan verifikasi dapat

6 Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Jakarta:Sofmedia, 2010 ), hlm.196.

(5)

berjalan dengan lancar karena verifikasi merupakan prosedur untuk menetapkan hak menagih.7

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka permasalahan yang dibahas secara lebih mendalam dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana kedudukan corporate guarantor yang telah secara sukarela melepaskan hak istimewanya untuk bertindak sebagai corporate guarantee dalam perkara kepailitan ?

2. Bagaimana perlindungan terhadap corporate guarantor yang dimohonkan pailit dalam hal debitur utama tidak mampu melaksanakan kewajibanya ? 3. Bagaimanakah perlindungan terhadap kreditur pemegang corporate

guarantee dalam hal debitur utama pailit?

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kedudukan corporate guarantor yang telah secara sukarela melepaskan hak istimewanya untuk bertindak sebagai corporate guarantee.

2. Untuk mengetahui perlindungan terhadap corporate guarantee yang dimohonkan pailit dalam hal debitur utama wanprestasi.

3. Untuk mengetahui perlindungan terhadap kreditur pemegang corporate guarantee dalam hal debitur utama pailit .

II. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah hukum normatif. Sumber data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi, yurisprudensi. Dalam penelitian ini yang menjadi bahan hukum adalah : Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

7 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penudaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia, (Jakarta: Radjawali Pers, 1991), hlm.71.

(6)

b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang tidak mempunyai kekuatan dan hanya berfungsi sebagai penjelas dari hukum primer, yaitu hasil karya ilmiah para sarjana.

Teknik dan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, dan menganalisa data primer, sekunder maupun tertier yang berkaitan dengan penelitian ini.

III. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Corporate Guarantee merupakan jenis lembaga jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang dan jaminan yang lahir karena perjanjian.

Jaminan yang ditentukan oleh Undang-Undang menurut Prof. Sri Soedewi ialah jaminan yang adanya ditunjuk oleh Undang-Undang tanpa adanya perjanjian dari para pihak yaitu misalnya adanya ketentuan undag-undang yang menentukan bahwa semua harta benda debitur baik benda bergerak maupun benda tetap, baik benda-benda yang sudah ada maupun yang masih akan ada menjadi jaminan bagi seluruh perutanganya. Berarti bahwa kreditur dapat melaksanakan haknya terhadap semua benda debitur, kecuali benda-benda yang dikecualikan oleh Undang-Undang (Pasal 1131 KUHPerdata).8 Namun Prof. Sri tidak memberikan defenisi dari Jaminan yang lahir dari perjanjian, namun dengan batasan yang diberikan atas defenisi di atas, Peneliti berpendapat bahwa Jaminan karena perjanjian adalah jaminan yang ditentukan dengan adanya suatu perjanjian.

Dengan adanya perjanjian tersebut maka dengan sendirinya perjanjian tersebut telah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya sebagaimana ketentuan dari Pasal 1338 KUH Perdata.

Corporate Guanrantor berubah statusnya menjadi debitur ketika debitur utama yang dijamininya cidera janji dan harta benda milik debitur utama/debitur yang utangnya ditnggung telah disita dan dilelang terlebih dahulu tetapi hasilnya tidak cukup membayar utangnya. Atau memang debitur utama yang lalai/cidera

8 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1980), hlm.43.

(7)

janji sudah tidak mempunyai harta apapun.atau debitur utama/ debitur yang ditanggung utangnya telah dinyatakan pailit oleh kreditur lain atau atas permohonan debitur utama sendiri ataupun atas permohonan jaksa untuk kepentingan umum.

Perlindungan yang diberikan Pasal 1831 dan 1832 KUH Perdata kepada Corporate Guarantor dalam praktiknya dianggap memberatkan kreditur.

Perlindungan tersebut mengakibatkan kreditur terhalang untuk melaksanakan haknya sehingga diperlukan janji-janji khusus untuk mengesampingkan hak istimewa penjamin sebagaimana diatur dalam KUH Perdata di atas, seperti:

1. Janji agar penanggung melepaskan haknya untuk menuntut penjualan harta benda debitur lebih dahulu;

Sebagai Penjamin, Corporate Guarantor memiliki hak istimewa bahwa Corporate Guarantor tidak diwajibkan untuk melunasi kewajiban debitor kepada kreditor sebelum harta kekayaan debitor yang cidera janji tersebut, yang ditunjuk oleh penjamin, telah disita dan dijual, dan hasil penjualan harta kekayaan debitor tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban debitor kepada kreditor. Oleh karena itu, Corporate Guarantor hanya akan melunasi sisa kewajiban debitor yang belum dipenuhinya kepada kreditor.9

Pengecualian hal di atas dapat saja terjadi apabila Corporate Guarantor telah melepaskan hak istimewanya sebagaimana diatur dalam Pasal 1831 dan 1832 KUHPerdata yang menentukan bahwa Corporate Guarantor tidak dapat menuntut supaya benda-benda debitor lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya:10

a. Apabila Corporate Guarantor telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda debitor lebih dahulu disita dan dijual;

b. Apabila penjamin telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan Debitor Utama secara tanggung menanggung; dalam hal mana akibat- akibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk utang- utangnya secara tanggung renteng.;

c. Jika debitor dapat memajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi;

9 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Op. Cit., hlm. 24-25 .

10 Sunarmi, Op. Cit., hlm. 197.

(8)

d. Jika debitor dalam keadaan pailit;

e. Dalam hal penjaminan yang diperintahkan oleh hakim.

Ternyata Kreditor Pemegang Corporate Guarantee juga diberikan hak yang cukup seimbang. Ketentuan tersebut memungkinkan kreditor untuk seketika menagih kepada Corporate Guarantor untuk melunasi semua kewajiban, prestasi, atau perikatan debitor, tanpa ia perlu terlebih dahulu menyita dan menjual harta kekayaan debitor yang telah cidera janji atau wanprestasi tersebut. Pelepasan hak istimewa Corporate Guarantor harus dinyatakan secara tegas dalam perjanjian pemberian garansi, dimana dengan perjanjian pemberian garansi tersebut mengakibatkan hak istimewa Corporate Guarantor hapus dan Kreditor dapat menuntut atau menggugat langsung kepada Corporate Guarantor atau bersama-sama dengan debitor agar Corporate Guarantor atau bersama-sama debitor, tanggung renteng untuk membayar utang debitor kepada kreditor.

2. Janji agar penjamin melepaskan haknya untuk membagi-bagi hutang (voorrechtvan schuldsplitsing);

Hak untuk membagi hutang ini terdapat pada penjamin yang penjaminannya lebih dari satu orang penjamin terhadap seorang debitor. Maka para penjamin masing-masing dapat memajukan hak untuk membagi debitor-debitor tadi diantara para penjamin. Sehingga utang debitor yang mereka jamin, dibagi- dibagi diantara mereka masing-masing.

Apabila Corporate Guarantor melepaskan hak istimewanya maka Corporate Guarantor bertanggung jawab untuk menyelesaikan seluruh kewajiban debitur. Pelepasan hak istimewa untuk membagi hutang tersebut juga mengakibatkan kreditur dapat menuntut ahli waris Penjamin untuk pemenuhan seluruh piutangnya dan tidak dapat dibagi-bagi antara si ahli waris

3. Janji agar Penjamin melepaskan haknya untuk meminta kepada kreditor untuk diberhentikan atau dibebaskan dari kedudukannya sebagai seorang penjamin/guarantor jika ada alasan untuk itu. Alasan yang bisa digunakan sebagai dasar hukum meminta dibebaskan dari kedudukan seorang penjamin ialah kemungkinan penjamin tidak dapat menggunakan hak-hak subrogasi.

Hak subrogasi timbul setelah penjamin/guarantor membayar atas utang

(9)

debitor. Hak subrogasi tidak dapat dilaksanakan karena penjamin telah meneliti bahwa jaminan seperti hak tanggungan, hipotik, fiducia, dan lainnya yang menjamin utang tersebut telah hapus atau tidak ada lagi. Tidak adanya jaminan hipotik, hak tanggungan dikarenakan kreditor membiarkan debitor menjual atau menghilangkan jaminan. Dengan kata lain kreditor tidak mengamankan jaminan-jaminan atas utang debitor itu sehingga bila penjamin/guarantor membayar utang debitor, penjamin/guarantor yang demi hukum menggantikan hak kreditor (subrogasi) tidak memperoleh jaminan hipotik, hak tanggungan dan garansi/jaminan lainnya.

4. Janji agar penanggungan tetap, sah, tidak peduli apakah penanggung bersama ikut terikat11. Dengan kata lain “lawfull” sebagaimana yang diutarakan Aristoteles dengan maksud hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti menunjukkan bahwa segala ketentuan sebagaimana yang diatur dalam perjanjian pemberian jaminan harus lah diikuti karena merupakan hukum yang harus ditegakkan.

Berdasarkan uraian di atas, sepanjang guarantor dalam melepaskan hak istimewanya tidak dalam tekanan atau penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUH Perdata dan guarantor tidak termasuk dalam kategori tak cakap sebagaimana diatur Pasal 1330 KUH Perdata maka perjanjian tersebut telah menunjukkan rasa keadilan dalam bentuk persamaan hak dan harus dilaksanakanya hukum yakni perjanjian pemberian jaminan tersebut oleh para pihak yang telah terikat dengan hal itu.

Perlindungan terhadap kreditur dalam hal debitur utama pailit berkaitan dengan pemenuhan piutang kreditur tersebut dapat dilakukan melalui debitur utama maupun Corporate Guarantor sebagai penjamin, sebagai berikut:

1. Kedudukan Kreditur Terhadap Debitur Utama

Prinsip Paritas Creditorium, Prinsip Pari Passu Prorate Parte dan Prinsip Structured Creditors memberikan perlindungan terhadap kreditur, yaitu:

a. Kreditur separatis apabila debitur utama memberikan jaminan kebendaan untuk penyelesaian hutangnya.

11 Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberti Offset, 1980), hlm. 97-98.

(10)

b. Kreditur konkuren apabila debitur tidak memberikan jaminan kebendaan untuk menyelesaikan kewajibannya. Selain itu, kreditur tersebut dapat berkedudukan sebagai kreditur konkuren terhadap sisa kewajiban yang tidak terpenuhi setelah seluruh jaminan kebendaan digunakan untuk melunasi hutangnya.

2. Kedudukan Kreditur Terhadap Corporate Guarantor

Kreditur berkedudukan sebagai kreditur konkuren terhadap corporate guarantor sehubungan dengan tidak ditunjuk suatu barang tertentu sebagai objek jaminan maka seluruh harta Corporate Guarantor menjadi jaminan sebagaimana dimaksud pada perjanjian pemberian garansi. Oleh karena itu, apabila harta debitur pailit tidak dapat menyelesaikan seluruh kewajibannya maka Kreditur Pemegang Corporate Guarantor dapat menuntut harta Corporate Guarantor untuk ditarik ke dalam harta pailit sebesar apa yang telah ditentuan dalam Perjanjian Garansi.

Berdasarkan Pasal 1131 jo 1132 KUH Perdata dapat dilihat bahwa segala harta kekayaan Corporate Guarantor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, yang ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi jaminan atau agunan bagi perikatan yang dibuat dengan kreditur sehingga harta Corporate Guarantor juga termasuk dalam harta pailit.

Dalam hal ini berlaku asas peritas creditorium dimana pembayaran atau pelunasan hutang dilaksanakan secara berimbang, sehingga kreditur pemegang Corporate Guarantee hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren dalam pemenuhan hutangnya karena Corporate Guarantor tidak menjaminkan benda tertentu sebagai objek jaminan.

Sesuai dengan Pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan Debitur bertanggung jawab atas utang, baik terhadap benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang telah dimilikinya saat ini maupun yang akan dimilikinya di kemudian hari.

Oleh karena itu, Debitur yang tidak memiliki barang (baik bergerak maupun tidak bergerak) tidak dapat lagi dituntut pertanggungjawaban atas utang-utangnya.

Dengan demikian, apabila harta debitur pailit tidak mencukupi untuk melunasi hutangnya maka penjamin berkewajiban melaksanakan ketentuan-ketentuan yang

(11)

telah disepakati sesuai dengan perjanjian pemberian garansi sehingga kreditur dapat menuntut pelunasan hutang debitur pada Corporate Guarantor.

Perlindungan yang dimiliki Corporate Guarantor dalam hal Corporate Guarantor dimohonkan pailit bahwa Corporate Guarantor yang memiliki hak istimewa hanya bertanggungjawab terhadap hutang Debitur Utama apabila seluruh harta Debitur Utama disita dan dilelang untuk menyelesaikan hutang Debitur Utama. Oleh karena itu, Corporate Guarantor tidak dapat dimohonkan pailit oleh Kreditor sebelum seluruh harta Debitur Utama habis. Namun, apabila Corporate Guarantor menyatakan melepaskan hak istimewanya, maka Kreditor dapat mengajukan permohonan pailit terhadap Corporate Guarantor bersamaan dengan permohonan pailit terhadap Debitur Utama mengingat Debitur Utama dan Corporate Guarantor bertanggungjawab secara renteng terhadap hutang Deebitur Utama, sehingga hutang Debitur Utama yang jatuh tempo juga dinyatakan sebagai hutang Corporate Guarantor yang telah jatuh tempo. Dan semua itu merujuk kepada ketentuan yang tertera dalam perjanjian pemberian jaminan karena perjanjian pemberian jaminan merupakan hukum dan hukum haruslah dilaksanakan sebagaimana teori keadilan dari Aristoteles.

IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan

1. Corporate Guarantor ( pemberi jaminan perusahan ) yang secara sukarela melepaskan hak istimewanya, maka Corporate Guarantor tersebut menjadi kehilangan haknya untuk menuntut supaya barang-barang debitur disita terlebih dahulu dan dijual untuk melunasi utang-utang Debitur Utama. Dengan demikian kedudukan Corporate Guarantor tersebut pada dasarnya sama dengan Debitur Utama karena Corporate Guarantor langsung dapat diminta pertanggungjawaban terhadap hutang Debitur Utama sehingga Corporate Guarantor dapat diajukan pailit bersamaan dengan Debitur Utama.

2. Perlindungannya terhadap Corporate Guarantor dalam hal Debitur Utama tidak mampu melaksanakan kewajibannya, maka Corporate Guarantor yang tidak melepaskan hak istimewanya dapat mengajukan kepada Kreditur pemegang Corporate Guarantee supaya menyita terlebih dahulu

(12)

seluruh harta Debitur Pailit untuk menyelesaian kewajibannya kemudian kekurangannya barulah dapat ditagih kepada Corporate Guarantor.

Permohonan pailit hanya dapat diajukan setelah seluruh harta Debitur Pailit digunakan untuk menyelesaikan kewajibannya dan corporate guarantor dapat menggugat debitur atas pengembalian kekayaan corporate guarantor yang digunakan untuk memenuhi kewajiban debitur.

Dengan demikian ketentuan tersebut telah memenuhi rasa keadilan bagi debitur dan penjamin.

3. Kreditur Pemegang Corporate Guarantee dalam hal Debitur Utama pailit memperoleh perlindungan yang apabila Corporate Guarantor tidak melepaskan hak istimewa maka Kreditur Pemegang Corporate Guarantee dapat meminta pertanggungjawaban Corporate Guarantor setelah seluruh barang Debitur Utama sudah dieksekusi untuk penyelesaian kewajibannya dan bilamana Corporate Guarantor telah melepaskan hak istimewanya, maka Kreditor Pemegang Corporate Guarantee dapat secara langsung meminta pertanggungjawaban Corporate Guarantor tanpa harus menunggu seluruh barang Debitur Utama dieksekusi. Dan apabila Corporate Guarantor dinyatakan pailit, maka kreditur Pemegang Corporate Guarantee berkedudukan sebagai Kreditur Konkuren terhadap Corporate Guarantor dengan adanya penjaminan ini maka kreditur lebih terlindungi dalam melaksanakan kewajibanya sebagai kreditur.

B. Saran

1. Para pihak yang hendak bertindak sebagai Guarantor memerlukan pemahaman mendalam terkait dengan kedudukannya apabila ia telah melepaskan hak istimewanya sehingga di kemudian hari dapat di minimalisir kemungkinan timbulnya perkara.

2. Hendaknya para pihak yang bertindak sebagai kreditur melakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap guarantor debitur pailit guna memberikan rasa aman yang lebih optimal.

3. Hendaknya ketentuan-ketentuan pemberian jaminan agar diatur lebih detail dalam Undang-Undang Kepailitan & Penundaan Kewajiban

(13)

Pembayaran Utang, dan dikodifikasi dalam satu kitab untuk memudahkan para pemangku kepentingan seperti advokat, bankir untuk memahami ketentuan penjaminan ini dan selain itu karena pemberian jaminan ini masih mengacu kepada KUH Perdata yang diketahui bersama merupakan produk hukum Belanda dan berusia ratusan tahun hendaknya peraturan ini dapat disesuaikan dengan keadaan zaman sekarang.

V. Daftar Pustaka

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penudaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia, Jakarta: Radjawali Pers, 1991

Sjahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Jakarta: Grafiti, 2010

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, ditulis dalam rangka kegiatan Badan Pembinaan Hukum Nasional Berupa Proyek Penulisan Karya Ilmiah,Tahun 2001

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1980

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberti Offset, 1980

Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sunarmi, Hukum Kepailitan, Jakarta:Sofmedia, 2010

Sutedi, Adrian, Hukum Kepailitan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009

(14)

ABSTRAK

Jaminan bertujuan memperkecil resiko yang merupakan sarana perlindungan bagi keamanan kreditur berupa kepastian hukum akan pelunasan utang debitor. Dalam pemberian jaminan, seorang guarantor memiliki hak istimewa yang biasanya dapat diminta oleh kreditur untuk dilepaskan untuk lebih memberikan rasa aman kepada kreditur. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normative. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan Corporate Guarantor yang secara sukarela melepaskan hak istimewanya pada dasarnya sama dengan Debitur Utama sehingga Corporate Guarantor dapat diajukan pailit bersamaan dengan Debitur Utama. Para pihak yang hendak bertindak sebagai Guarantor memerlukan pemahaman mendalam terkait dengan kedudukannya apabila ia telah melepaskan hak istimewanya dan kepada para pihak yang bertindak sebagai kreditur hendaknya melakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap guarantor debitur pailit guna memberikan rasa aman yang lebih optimal.

Kata Kunci : Corporate Guarantee, Penjamin, debitur Utama, Kepailitan.

Referensi

Dokumen terkait