• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegiatan pinjam-meminjam uang

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Kegiatan pinjam-meminjam uang"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa hamper semua masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam- meminjam uang sebagai suatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya.1

Ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan) menyatakan bahwa Bank adalah “badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat, dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Hal ini berarti dalam kegiatan sehari-hari Bank pada umumnya selalu berusaha menghimpun dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan kemudian mengelola dana tersebut untuk disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk simpanan, dan kemudian mengelola dana tersebut untuk

1 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hal. 1.

(2)

disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman atau kredit.2 Selain itu di dalam Pasal 1 angka 11 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan tersebut dinyatakan pula kredit adalah

”Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Dalam praktek saat ini, Bank menyalurkan berbagai macam kredit sesuai kebutuhan dan kegiatan masyarakat. Adanya hak milik perorangan tanah menjadi lebih bermakna pada nilai Kapital Aset, salah satunya bisa dijadikan sebagai suatu jaminan kredit. Akan tetapi, tanah hak milik yang merupakan salah satu bentuk hak tanggungan yang dijadikan jaminan kredit itu mengekor pada kreditnya bila kreditnya macet, maka konsekuensinya menjadi pelunasan kredit tersebut, yaitu dengan cara menguangkan apa yang menjadi jaminan kredit itu sendiri dalam hal ini tanah yang dijadikan sebagai jaminan atas kredit yang diajukan oleh debitur kepada kreditur.

Pasal 8 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan tentang Perbankan menegaskan bahwa dalam memberikan kredit Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang

2 Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. hal.12.

(3)

diperjanjikan. Hal yang utama dalam memberikan kredit adalah “keyakinan”

Bank sebagai kreditur terhadap debitur.3

Secara umum, Undang-undang yang ada saat ini berlaku di Indonesia telah memberikan jaminan atau perlindungan hukum kepada kreditur sebagai penyalur dana dan penghimpun dana dalam berbagai bentuk transaksi-transaksi keuangan di masyarakat. Hal ini dirumuskan sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Per), yaitu:

“Segala harta kekayaan Debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sekarang maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan/jaminan atas hutang-utangnya.”

Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya. Berdasarkan ketentuan pasal 1131 KUH Perdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut pelunasan utang pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan, termasuk harta yang masih akan dimilinya di kemudian hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak untuk menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh oleh pihak peminjam di kemudian hari.4

Tetapi, dalam aturan ini yang di uraikan pada pasal 1131 KUH Perdata bahwa jaminan yang di atur tersebut masih bersifat umum atau dengan kata lain

3 Habieb Adjie, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, Mandal Maju, Bandung, 2000, hal.1.

4 M Bahsan, op.cit., hal. 9.

(4)

benda jaminan itu tidak di tunjuk secara khusus dan tidak di tujukan bagi seorang kreditur tertentu, sehingga apabila jaminan tersebut di jual maka hasilnya di bagi secara seimbang sesuai besaranya piutang masing-masing kreditur (konkurent).

Dalam praktek perbankan dewasa ini, jaminan yang bersifat umum tersebut belum memberikan perlindungan hukum (kurang menimbulkan rasa aman) secara maksimal dalam memberikan perlindungan bagi Kreditur selaku pemberi pinjaman kepada Debitur untuk menjamin kredit yang telah diberikan selama ini. Bank memerlukan jaminan yang ditunjuk dan diikat secara khusus untuk menjamin hutang debitur dan hanya berlaku bagi Bank tersebut. Jaminan ini dikenal dengan jaminan khusus yang timbul karena adanya perjanjian khusus antara kreditur dan debitur. Biasanya dengan jaminan berupa tanah yang kemudian dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan kreditnya kepada bank. Pihak Lembaga Perbankan (Bank) memerlukan jaminan yang di tunjuk dan diikat secara khusus untuk menjamin hutang-hutang yang harus dibayarkan oleh debitur kepada kreditur.Jaminan ini dikenal dengan jaminan khusus yang timbul karena adanya perjanjian khusus antara pihak Kreditur/Bank dengan Debitur/Nasabahnya. Dalam hal ini, kerap yang terjadi adalah Debitur dengan jaminan berupa tanahnya yang dikemudian dibebani dengan konsekuensi bahwa Hak Tanggunagan adalah sebagai jaminan atas pinjaman kreditnya kepada Kreditur/Bank.

Berbagai bentuk-bentuk pengingkaran akan kewajiban Debitur dalam melaksanakan pembayaran kepada Kreditur yaitu biasanya disebut sebagai

(5)

perbuatan Wanprestasi atau Cidera Janji, misalnya adalah disebabkan karena Kredit Macet. Adapun pengertian dari Wanprestasi/Cidera Janji adalah dimana suatu keadaan seseorang tidak memenuhi apa yang menjadi kewajibannya yang di dasarkan pada suatu perjanjian/kontrak sebelumnya dalam bentuk kesepakatan.

Wanprestasi juga dapat berarti tidak memenuhi saama sekali, atau terlambat memenuhi prestasi, atau memenuhi prestasi secara tidak baik.

Dalam hal ini, berkaitan dengan adanya kesepakatan Kreditur dan Debitur akan muncul suatu bentuk perjanjian utang piutang. Biasanya menggunakan suatu badan lembaga Hak Tanggungan sebagai bentuk atas jaminan kredit dari pihak Debitur. Hal ini dimaksudkan yakni bahwa Hak Tanggungan itu sendiri bisa menjadi suatu bentuk jaminan dalam hal alternatif penyelesaian/pelunasan hutang-hutang yang dimiliki oleh Debitur.

Ketentuan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disebut UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan), yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah:

“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur terhadap kreditur-kreditur lain”.

Dari ketentuan di atas, maka Hak Tanggungan pada dasarnya hanya di bebankan kepada hak atas tanah dan juga seringkali terdapat benda-benda

(6)

diatasnya bisa berupa bangunan, tanaman dan hasil-hasil lainya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan sebagaimana yang dimaksud dalam perjanjian yang dibuat bersama sebelumnya. Menurut pasal 4 ayat 1 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, obyek hak tanggungan harus berupa hak atas tanah yang dapat dialihkan oleh pemegang haknya yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan, serta Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan dapat juga di bebani Hak Tanggungan.

Hak Tanggungan sebagai salah satu lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu sebagaimana dapat diambil dari isi pasal-pasal disebutkan bahwa Hak Tanggungan mempunyai ciri-ciri yaitu sebagai berikut:5

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemegangnya (droit de preference), yaitu kepada krediturnya.

2. Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek Hak Tanggungan itu berada (droit de suite).

3. Memenuhi Asas Spesialistas dan Asas Publisitas sehingga dapat mengikatbpihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

5 Habib Adjie, op.cit., hal. 6-7.

(7)

5. Objek Hak Tanggungan tidak termasuk dalam boedel kepalitan pemberi Hak Tanggungan sebelum kreditur pemegang Hak Tanggungan mengambil pelunasan dari hasil penjualan objek Hak Tanggungan (Pasal 21 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan).

Dengan adanya ciri-ciri tersebut diatas diharapkan Hak Tanggungan atas tanah yang di atur dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menjadi kuat kedudukannya dalam hukum jaminan mengenai tanah. Kredit yang dijamin dengan hak atas tanah tersebut, apabila Debitur tidak lagi mampu membayarnya dan terjadi adanya Wanprestasi dan kredit menjadi macet, maka pihak kreditur tentunya tidak mau dirugikan dan akan mengambil pelunasan utang debitur tersebut dengan cara mengeksekusi jaminan kredit tersebut dengan cara menjualnya melalui sistem pelelangan umum agar debitur juga tidak terlalu dirugikan karena kemungkinan masih ada sisa atas penjualan dan atau hasil pelelangan jaminan yang diberikannya kepada kreditur.6

Hak milik merupakan hak terkuat atas suatu tanah, dalam arti hak ini bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat oleh pihak lainnya. Defenisi berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria), “Hak milik adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan

6 Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, 2008, Jakarta, hal.168.

(8)

mengingat ketentuan dalam pasal 6.” Pemberian sifat terkuat dan terpenuh, tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Hak milik mempunyai fungsi sosial sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Kata-kata “terkuat dan terpenuh” itu dimaksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lain, yaitu untuk menunjukan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki orang lain, hak miliklah yang mempunyai kekuatan hukum paling kuat dan paling penuh. Sebagai suatu hak milik tentunya memiliki fungsi yang lain, yakni fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi dari hak milik dapat dilihat dari diperbolehkannya hak milik dijadikan sebagai jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, “Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan”. Dengan diperbolehkannya hak milik atas suatu tanah untuk dijadikan jaminan utang, semakin memperjelas bahwa tanah sebagai benda tidak bergerak memiliki nilai ekonomi sehingga sudah sepantasnya jika ada pembatasan-pembatasan tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.7

Tanah merupakan benda tidak bergerak yang dapat dimiliki oleh seseorang sehingga sudah sepantasnya hal mengenai tanah diatur dalam suatu

7 Jimmy Joses Sembiring, Panduan Mengurus Sertifikat Tanah, Visimedia, 2010, Jakarta ,hal.

6.

(9)

undang-undang. Sebelum ketentuan di bidang pertanahan diatur dalam suatu undang-undang sudah diatur dalam hukum adat yang membagi kepemilikan atas tanah berdasarkan warisan. Di Indonesia undang-undang yang mengatur masalah pertanahan adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria merupakan implementasi dari Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memberikan kekuasaan kepada Negara untuk menguasai bumi, air, dan ruang angkasa. Dengan demikian, Negara memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk mengatur masalah pertanahan di Indonesia sehingga Negara dapat membuat hak-hak yang dapat dilekatkan terhadap suatu tanah. 8

UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria memberikan jaminan kepastian hukum atas setiap bidang tanah yang dipunyai dengan suatu hak.

Berbeda dengan sistem hukum yang berlaku pada masa kolonial yang hanya dilaksanakan pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum (recht kodaster) terhadap tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat, sedangkan bidang-bidang tanah yang dikuasai berdasarkan hukum adat pendaftaran hanya dimaksudkan untuk kepentingan pemungutan pajak (fiscal kadaster). Pemberian kepastian hukum kepada pemegang hak yang telah terdaftar dapat memudahkan membuktikan haknya dengan adanya sertifikat yang diterbitkan oleh kantor pertanahan sebagai bukti hak milik, tetapi pihak lain perlu percaya sepenuhnya bahwa data-data yang tercantum di sertifikat sebagai data yang benar. Prinsip

8Ibid, hal. 2-3.

(10)

secara berimbang juga dimaksud memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak yang sebenarnya. 9

Dengan diterbitkan sertifikat sebagai surat tanda bukti hak milik, maka terwujud perlindungan hukum bagi pemilik sertifikat, yaitu pemilik sertifikat mendapatkan rasa aman, rasa nyaman, dan tidak mendapatkan gangguan atau gugatan dari pihak lain. Perlindungan hukum bagi pemilik sertifikat dapat terwujud apabila dalam penerbitan sertifikat tidak ada cacat yuridis, yaitu cacat prosedur, cacat subtansi, atau cacat kewenangan. Sebagai surat tanda bukti hak maka terwujud jaminan kepastian hukum, meliputi kepastian status hak atas tanah, kepastian subjek hak atas tanah, dan kepastian objek atas tanah.10

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat KBBI) tanggung jawab adalah kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa- apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya.11

Tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seseorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan12. Menurut Titik Triwulan, pertanggung jawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi

9 IIyas Ismail, Konsep Hak Garap Atas Tanah, Cipta Pustaka Media Perintis, Bandung, 2011, hal. 34.

10 H.Suyanto, Hapusnya Hak Atas Tanah Akibat Penitipan Ganti Kerugian Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, CV. Jakad Publishing, Jakarta, 2019, hal. 339.

11 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Jakarta, hal. 97.

12 Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, Jakarta, hal. 89.

(11)

seseorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum bagi orang lain untuk memberi pertanggung jawabannya. 13

Menurut hukum perdata dasar pertanggung jawaban dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu kesalahan dan resiko yang dikenal dengan pertanggung jawaban atas dasar kesalahan (liability on the basis of fault) dan pertanggung jawaban tanpa kesalahan (liability without fault) dan dengan tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak (strick lilability).14 Dengan demikian suatu perbuatan yang telah dilakukan oleh seseorang yang sudah melanggar apa yang sudah disepakati dahulu harus bertanggung jawab sesuai apa yang telah diperbuatnya.

Pada tanggal 13 Agustus 2019, bertempat di Negeri Tuhaha Kecamatan Saparua Timur Kabupaten Maluku Tengah. WS hendak melakukan kredit uang di BANK BRI Cabang Saparua dengan jumlah peminjam sebesar Rp. 10.000.000 uang tersebut dipergunakan untuk membangun usaha berupa pondok/kios milik WS tersebut, akan tetapi salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh WS yaitu harus mempunyai Sertifikat tanah. Disamping itu ternyata WS tidak mempunyai Sertifikat sebagai syarat yang harus di penuhi, sehingga WS meminjam Sertifikat dari saudara kandung perempuannya yakni AS. Seiring dengan adanya Sertifikat dari saudara kandungnya tersebut maka WS pun memperoleh pinjaman uang dari bank, namun setelah berjalannya waktu kurang lebih 6 (enam) bulan WS pun

13 Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010, hal. 48.

14Ibid, hal .49.

(12)

mengalami kendala dalam hal ini penyetoran uang ke bank, alhasilnya WS pun menghindarkan diri dari pihak bank.

Oleh karena itu pihak bank pun turun dan mendatangi rumah AS untuk menagih uang sisa pinjaman dari WS, karena sertifikat yang digadai oleh WS adalah milik dari AS, bukan hanya itu pihak bank pun mengatakan akan melakukan penyegelan atas rumah milik AS jika tidak membayar lanjutan dari pinjaman uang itu.

Berdasarkan dari latar belakang yang dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisis permasalahan di atas dalam suatu penulisan skripsi dengan judul :“Jaminan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Bukan Oleh Pemegang Hak Milik Dalam Perjanjian Kredit Perbankan”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi pihak ketiga selaku pemilik sertifikat?

2. Bagaimana tanggung jawab perdata pihak pertama atas sertifikat yang dipinjam dan dijadikan jaminan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan mengkaji bentuk perlindungan hukum bagi pihak ketiga selaku pemilik sertifikat.

(13)

2. Untuk mengetahui dan mengkaji tanggung jawab perdata pihak pertama selaku peminjam sertifikat atas sertifikat yang dipinjam dan dijadikan jaminan.

3. Sebagai salah satu persyaratan untuk penyelesaian studi pada fakultas hukum Universitas Pattimura.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara Teoritis, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang baik dibidang hukum perdata khususnya dalam hal Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi pihak pertama selaku pemilik sertifikat.

2. Secara Praktis, Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat dalam memberikan penjelasan mengenai Bagaimana tanggung jawab perdata pihak kedua atas sertifikat yang dipinjam dan dijadikan jaminan.

E. Kerangka Konseptual 1. Konsep Jaminan

Jaminan atau yang lebih dikenal dengan angunan adalah harta benda milik debitur atau pihak ketiga yang ikut sebagai alat pembayaran jika terjadi wanprestasi terhadap pihak ketiga.15 Jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Sedangkan menurut ketentuan pasal 1 butir 23 yang dimaksud

15 Rinda Asytuti, Isu-isu Kontenporer Lembaga Keuangan Mikro Syariah diIndonesia, CV Duta Media Utama, Pekalongan, 2015, hal.135.

(14)

dengan angunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit.

Jaminan dalam pembiayaan memiliki dua fungsi yakni: Pertama, untuk pembayaran utang seandainya terjadi wanprestasi atas pihak ketiga yaitu dengan jalan menguangkan atau menjual jaminan tersebut. Kedua sebagai akibat dari fungsi pertama, atau sebagai indicator penentu jumlah pembiayaan yang dapat diberikan kepada pihak debitur. Pemberian jumlah pembiayaan tidak boleh melebihi nilai harta yang dijaminkan.16

Menurut Soebekti,17 jaminan yang ideal (baik) dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut.

1. Dapat membantu memperoleh kerdit atau pinjaman bagipihak yang memerlukannya.

2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan0 si penerima kredit atau pembiayaan untuk melakukan (meneruskan) usahanya.

3. Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa apabila perlu maka mudah diuangkan untuk melunasi utang si debitur.

Adapun yang dijadikan jaminan kredit oleh calon debitur adalahsebagai berikut.

1. Jaminan benda berwujud seperti tanah, kendaraan bermotor dan lain-lainnya.

2. Jaminan benda tidak berwujud seperti sertifikat tanah, sertifikat deposit, sertifikat saham dan lain-lainnya.

16 Ibid., hal.135.

17 Soebekti, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum Indonesia Alumni, Bandung, 1978, hal.29.

(15)

Istilah “Jaminan” merupakan terjemahan dari istilah Zekerheid ataucautie, yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kebada kreditur, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya.18 Sedangkan dalam bahasa Indonesia, istilah “Jaminan” berasal dari kata “Jamin” yang berarti

“Tanggung” sehingga jaminan dapat diartikan sebagai tanggungan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa jaminan itu adalah suatu tanggungan yang dapat dinilai dengan uang, yaitu berupa kebendaan tertentu yang diserahkan debitur kepada kreditur sebagai akibat dari suatu hubungan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain. Dengan kata lain, jaminan di sini berfungsi sebagai sarana atau menjamin pemenuhan pinjaman atau utang debitur seandainya wanprestasi sebelum jatuh tempo pinjaman atau utangnya berakhir.

2. Perlindungan Hukum

Hukum berfungsi untuk melindungi masyarakat dan individu terhadap perbuatan-perbuatan yang menggangu tata tertib yang dilakukan oleh individu-individu lain atau pemerintah sendiri (penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh para petugas negara) maupun pemerintah asing (agresi

18 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan , Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 66.

(16)

atau subversi yang dilakukan pemerintah asing).19 Hal ini diperkuat dengan pendapat Roscue Pond yang mengemukakan bahwa hukum untuk melindungi kepentingan manusia (law os tool of social engineering), dikarenakan kepentingan manusia adalah suatu tuntutan yang dilindungi dan dipenuhi manusia dalam bidang hukum.20

Perlindungan hukum menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers yang menyatakan bahwa perlindungan hukum adalah

“Jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada warga Negara dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jadi pengertian perlindungan hukum adalah yang diberikan kebada subjek hukum yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

Dengan diterbikan sertifikat sebagai surat tanda bukti hak, maka terwujud perlindungan hukum bagi pemilik sertifikat, yaitu pemilik sertifikat mendapatkan rasa aman, rasa nyaman, dan tidak mendapatkan gangguan atau

19 E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, PT Ichtiar Baru,Anggota IKAPI dan Penerbit Sinar Harapan. Jakarta,1989, hal.15.

20 Salim HS. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal.41- 42.

(17)

gugatan dari pihak lain. Perlindungan hukum bagi pemilik sertifikat dapat terwujud apabila dalam penerbitan sertifikat tidak ada cacat yuridis, yaitu cacat prosedur, cacat substansi, atau cacat kewenangan.21

3. Tanggung Jawab Perdata

Tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya yang telah diperbuatnya.Pengertian tanggung jawab mengandung unsur-unsur seperti kecakapan, beban kewajiban, dan perbuatan. Seseorang dikatakan cakap jika sudah dewasa dan sehat pikirannya. Bagi badan hukum dikatakan cakap jika dinyatakan tidak dalam keadaan pailit oleh putusan pengadilan.

Unsur kewajiban mengandung makna sesuatu yang harus dilakukan, tidak boleh tidak boleh tidak dilaksanakan. Dengan demikian tanggung jawab adalah keadaan cakap menurut hukum baik orang atau badan hukum, secara mampu menanggung kewajiban terhadap segala sesuatu yang dilakukan.22

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dibedakan sebagai berikut:

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan (negligence) prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan/kelalaian yang bersifat subjektif ditentukan oleh perilaku usaha. Prinsip ini di pegang teguh dalam KUH Per khususnya Pasal

21 H. Suyanto, Hapusnya Hak Atas Tanah Akibat Penitipan Ganti Kerugian Dalam Pengadaian Tanah Untuk Kepentingan Umum, CV. Jakad Publishing, Bandung, 2019, hal. 339.

22 Sitepu, Pertanggung Jawaban Pelaku Usaha Kepada Konsumen Terhadap Promosi Yang Tidak Benar Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, JOM Fakultas Hukum, No. 2 Volume .III 2016, hal. 6-7.

(18)

1365, Pasal 1366, dan Pasal 1367 dimana perbuatan melawan hukum harus terpenuhi 4 (empat) unsur pokok, yaitu:1) adanya perbuatan, 2) adanya unsur kesalahan, 3) adanya kerugian yang diderita, dan 4) adanya hubungan kausalitas kesalahan dan kerugian.

b. Prinsip tanggung jawab mutlak sering di identikan dengan prinsip tanggung jawab absolute (absolute liability) adalah tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai factor yang menentukan.

Terdapat pengecualian yang memungkinkan bebas dari tanggung jawab misalkan kesalahan force majeure.

c. Prinsip Praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability) prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab menganggap tergugat selalu bertanggung jawab sampai terbukti tidak bersalah. Jadi pembuktian ada pada tergugat.

d. Prinsip Praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability) prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas.

e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan, tanggung jawab dalam arti hukum adalah tanggung jawab yang benar-benar terkait dengan hak dan kewajiban. Prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha

(19)

untuk dicantumkan sebagai klausula dalam perjanjian standar yang dibuatnya.

Tanggung jawab perdata, disebut “tanggung jawab hukum perdata”

(civielrechtelijke annspraakelijkheid, liability under ccivil law), yakni tanggung jawab bidang hukum perdata dalam bidang luas.23

F. Metode Penelitian

Untuk menunjang penulisan ini, maka metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tipe Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki merumuskan penelitian hukum sebagai proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.24 Penelitian hukum normatif atau nama lainnya yaitu penelitian hukum doctrinal adalah penelitian yang memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori tertentu, menganalisa suatu hubungan antara peraturan menjelaskan daerah dan mungkin memprediksi pembangunan masa depan.25

Berangkat dari pendapat Peter Mahmud Marzuki serta korelasi antara subtansi pengkajian yang diutarakan, maka jenis penelitian yang kemudian

23 Shohib Muslim, Hukum Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, 2018, hal. 113.

24 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2004, hal. 156.

25Ibid, hlm. 201.

(20)

digunakan dalam penulisan ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif.

2. Pendekatan Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzukipermasalahan dapat didekati berdasarkan peraturan perundang-undangan (statue approach), sejarah hukum (historical approach), perbandingan sistem hukum lain (comparative approach), perbandingan atau doktrin para pakar dibidang ilmu hukum (conceptual approach).26 Oleh karenanya penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan undang-undang (statue approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

3. Bahan Hukum

Dalam penelitian ini bahan hukum yang kemudian digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yaitu:

a. Bahan Hukum Primer terdiri dari:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.

26Ibid, hlm. 225.

(21)

5. Peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penulisan ini.

b. Bahan Hukum Sekunder terdiri dari:

1. Bahan atau pendapat pakar hukum, jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.

2. Buku-buku hukum dan internet.

c. Bahan Hukum Tersier terdiri dari:

1. Kamus hukum dan ensikopledi hukum.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian bahan hukum ini prosedur yang dilakukan adalah mengumpulkan bahan hukum primer berupa aturan hukum yang terkait dengan permasalahan terlebih dahulu lalu dikaitkan dengan bahan hukum sekunder melalui buku-buku, artikel, atau karya tulis para pakar hukum, setelah itu dihubungkan dengan fakta hukum, peristiwa hukum dan akibat hukum.

5. Pengelolahan dan Analisa Bahan Hukum

Seluruh data yang dihimpun dan dianalisa diuraikan secara kualitatif yang bertujuan menderkripsikan hasil temuan dilapangan berdasarkan alat pengumpulan data yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

geografis dan segmentasi demografis. Target pasar toko mebel samsuri adalah pasar sasaran jangka pendek, pasar sasaran primer dan sasaran sekunder. Dan posisi pasar toko