KEJAHATAN CYBER BERBASIS PROSTITUSI DENGAN KORBAN ANAK DIBAWAH UMUR
Rose Amadya Berlian, Qhattrunnada As Zahra, Mia Aurellia Zahra Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Islam Syekh Yusuf
Abstract
Online prostitution crimes involving underage victims are a serious challenge in the current digital era. This phenomenon raises deep concern because of its devastating impact on vulnerable children and young people. This article discusses this phenomenon by knowing what sanctions will be given and decisions regarding cyber crimes based on online prostitution.
Through this analysis, it is hoped that effective preventive and intervention measures can be identified to protect children from the threat of online prostitution and strengthen their protection in the digital realm
Keywords: Cyber Prostitution, Decision
Abstrak
Kejahatan prostitusi online yang melibatkan korban di bawah umur menjadi salah satu tantangan serius dalam era digital saat ini. Fenomena ini menimbulkan keprihatinan yang mendalam karena dampaknya yang merusak bagi anak-anak dan remaja yang rentan. Tulisan ini membahas fenomena tersebut dengan mengetahui sanksi apa yang akan diberikan dan putusan terhadap kejahatan cyber berbasis prostitusi online tersebut. Melalui analisis ini, diharapkan dapat diidentifikasi langkah-langkah preventif dan intervensi yang efektif untuk melindungi anak-anak dari ancaman prostitusi online dan memperkuat perlindungan mereka dalam ranah digital.
A. PENDAHULUAN
Prostitusi cyber, juga dikenal sebagai prostitusi dunia maya, adalah salah satu bentuk kejahatan cyber yang diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai perbuatan yang dilarang.1 Pasal tersebut menyebutkan bahwa perbuatan yang dilarang mencakup "mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan." Dalam konteks prostitusi cyber, aktivitas ini terjadi melalui media internet. Meskipun diatur dalam hukum nasional, kejahatan cyber memiliki sifat transnasional yang membuat penegakan hukumnya sulit dilakukan. Prostitusi cyber memiliki dampak lintas negara karena karakteristik kebebasan di dunia maya yang memungkinkannya diakses oleh pengguna internet dari berbagai negara.
Hal ini sesuai dengan sifat kejahatan transnasional yang melintasi batas- batas negara.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sangat penting bagi Indonesia, mengingat negara ini telah merangkul dan memanfaatkan teknologi informasi secara luas dan efisien.2 Oleh karena itu, Pemerintah pada 26 April 2008 memberlakukan
1 Rhiza K, Dyah S, Kajian Yurdis terhadap Prostitusi Online (Cyber Prostitution) Di Indonesia, (Recidive Volume 2 No. 3) 2013, hal 309
2 Ani Triwati, Reformulasi Pertanggungjawaban Pidana pada pelaku Prostitusi Online: Suati Kajian Informatif, (Jurnal dinamika Sosial Budaya, Vol 18 No.1)2016, hal 147
Undang-Undang tersebut. Tujuan dari Undang-Undang ITE adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat yang melakukan transaksi elektronik, mendorong pertumbuhan ekonomi, mencegah kejahatan yang berkaitan dengan teknologi informasi, serta melindungi pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Namun, Di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, internet telah membuka pintu bagi berbagai praktik kejahatan baru, termasuk prostitusi online. Salah satu aspek paling mengkhawatirkan dari fenomena ini adalah penyalahgunaan anak di bawah umur dalam industri seks digital. Anak-anak yang seharusnya dilindungi dan dibimbing untuk membangun masa depan yang cerah justru menjadi sasaran empuk bagi para pelaku kejahatan yang tidak bertanggung jawab.
Anak-anak yang rentan dan belum memiliki perlindungan yang memadai seringkali menjadi target empuk bagi para pelaku kejahatan. Mereka dieksploitasi melalui berbagai cara, mulai dari penipuan hingga pemaksaan, untuk terlibat dalam praktik prostitusi online. Faktor-faktor seperti kemiskinan, kurangnya pendidikan, gangguan keluarga, dan ketidaktahuan tentang risiko yang terlibat dapat membuat anak-anak menjadi rentan terhadap eksploitasi seksual di dunia maya.
Dampak dari kejahatan prostitusi online terhadap anak di bawah umur sangatlah merusak, baik secara fisik maupun psikologis. Mereka rentan mengalami trauma, depresi, gangguan stres pasca-
trauma, dan masalah kesehatan mental lainnya yang dapat berdampak jangka panjang pada perkembangan mereka.
Selain itu, eksposur terhadap konten seksual yang tidak pantas juga dapat membentuk persepsi yang salah tentang seks dan hubungan, serta meningkatkan risiko terhadap pelecehan seksual dan eksploitasi di masa depan.
3Pada tahun 2023 lalu telah terjadi eksploitasi secara seksual terhadap anak di bawah umur melalui media social (medsos), dan atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Dari sebagian anak masih sekolah dan mengaku mengenal pelaku dengan jaringan pergaulan setelah itu, korban diperjual belikan untuk melayani lelaki hidung belang dengan harga yang bervariasi Harga mulai dari Rp1,5 juta hingga Rp8 juta perjam. "Dari keterangan yang didapat dari tersangka, korban ditawarkan mulai dari Rp1,5 juta, Rp7 juta, hingga Rp8 juta perjam.
Kepada penyidik pelaku mengaku sudah menjalankan prostitusi anak sejak April 2023 hingga September 2023. Status pelaku merupakan seorang ibu rumah tangga dan penghasilan yang didapat dari prostitusi itu digunakan untuk kehidupan sehari harinya. Kasus ini terungkap berawal dari Polda Metro jaya melakukan Patroli cyber di Media Sosial. Setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam penyidik berhasil mendapati profil pelaku melalui aplikasi telegram dan penyidik mencoba menjebak pelaku dengan
3 Abdi Tumanggor,
https://medan.tribunnews.com/2023/09/25/kron ologi-pengungkapan-kasus-prostitusi-anak-bocah- bertarif-rp-15-juta-hingga-rp-8-juta-per-jam, (diakses 30 Maret 2024)
menghubungi nomor yang tertera di Telegram tersebut. Pelaku berhasil terdeteksi dan akan dilakukan upaya paksa di salah satu Hotel Kemang, Jakarta Selatan dan hendak mempekerjakan dua orang anak perempuan untuk di eksploitasi secara seksual. Akhirnya, 2 orang anak perempuan tersebut terselamatkan dan mendapat pendampingan oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak atau P2TP2A DKI Jakarta. Kedua anak tersebut diketahui memiliki masalah ekonomi dan terpaksa melakukan hal tersebut.
Setelah gelar perkara, Pelaku dijerat dengan Pasal berlapis Untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya FEA terjerat Pasal 27 ayat 1 jo Pasal 45 ayat 1 Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Pasal 296 dan atau Pasal 506 KUHP dan atau Pasal 4 ayat 2 jo Pasal 30 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan atau Pasal 2 jo Pasal 17 UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dan juga Pasal 76I jo Pasal 88 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Aktivitas prostitusi cyber menjadi sumber kekhawatiran bagi pengguna internet dan orang tua, terutama karena cenderung mengeksploitasi anak-anak sebagai target seksual. Berdasarkan laporan UNICEF, sekitar 2 juta anak di seluruh dunia mengalami esploitasi seksual setiap tahunnya. Industri
perdagangan manusia ini bahkan berhasil meraih keuntungan hingga 12 miliar dolar per tahunnya menurut International Labour Organization (ILO). Di Indonesia, meskipun banyak gadis yang memalsukan usia mereka, sekitar 30 persen pekerja wanita diperkirakan berusia di bawah 18 tahun, dengan beberapa di antaranya bahkan berusia 10 tahun. Diperkirakan juga bahwa sekitar 40.000 hingga 70.000 anak menjadi korban esploitasi dan sekitar 100.4
B. METODE PENELITIAN C. HASIL DAN PEMBAHASAN D. KESIMPULAN
4 Hanuring Ayu, Suparwi, Analisi mengenai Prostitusi Cyber bagi para Pelaku dan Para Mucikari di Indonesia, (Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah, Vol. 17 No. 1) 2019, hal 47