MAKALAH
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dosen pengampu : Yoseph Purwadi, SH.,M.Hum Disusun Oleh :
KELOMPOK 8 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Oulyvia Marita
Rara Suci Rhamadhan Rika Nilamsari
Riska Ayu Pratiwi Rizky Zulfiana Sari Malak Hanifah (46/S16A)
(47/S16A) (48/S16A) (49/S16A) (50/S16A) (51/S16A)
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA TAHUN AJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
berkat limpahan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyusun
makalah ini tepat pada waktunya.Makalah ini membahas kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan
dan hambatan akan tetapi dengan berbagai bantuan dari pihak tantangan itu bisa teratasi.Olehnya itu,penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik dari bentuk penyusunan maupun materinya kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnakan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Surakarta,23 September 2016 Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...i Daftar isi...ii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...1 B. Tujuan...2 BAB II TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga...3 B. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga...4 C. Faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah
Tangga...6
D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga...7
E. Perlindungan bagi
Korban
KDRT...8 F. Sudut pandang
pancasila...1 2
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...14 B. Saran...15 C. Daftar Pustaka...16
ii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Hak asasi merupakan hal yang sangat sensitif dalam
kehidupan manusia. Hampir diseluruh negara memiliki peraturan tersendiri dalam melindungi HAM. Akan tetapi sering kali HAM tersebut masih dipandang sebelah mata apalagi menyangkut perbedaan gender antara pria dan wanita. Wanita sering kali dianggap lebih rendah dibandingkan pria, sehingga sering kali bermunculan kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya wanita dalam pelanggaran kekerasan dalam rumah tangga.
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan
dan
berpengaruh sangat
besar terhadap
perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut diharmonis apabila terjadi sebaliknya.
Setiap keluarga masalahnya masing-masing.
memiliki
cara
Apabila untuk
menyelesaikan masalah
diselesaikan
secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam
keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masingmasing anggota keluarga tidak mengedepankan kepentingan
pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama
menguntungkan anggota
keluarga melalui
komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila konflik
diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi dalam keluarga.
1
B. TUJUAN
Tujuan dari rumusan masalah di atas yaitu
1. Menjelaskan yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
2. Menjelaskan apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.
3. Menjelaskan faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga.
4. Menjelaskan cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
5. Menjelaskan perlindungan bagi korban KDRT.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang
dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama
perempuan, yang
berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
ancaman dan/atau untuk
penelantaran melakukan rumah
perbuatan, tangga termasuk pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah
kekerasan dalam rumah
tangga telah
mendapatkan perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala bentuk
kekerasan sesuai
dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan
dari Negara dan/atau masyarakat agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
d. Bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk
Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
3
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri
sebenarnya merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan penganiayaan
terhadap ayah, ibu, isteri atau anak diancam hukuman pidana”
B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan
kedalam 4 (empat) macam : 1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang,
menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan
sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilurbilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional
adalah penghinaan,
komentar-komentar yang
menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
4
Kekerasan seksual berat, berupa:
Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh
organ seksual, mencium secara paksa,
merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.
Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
Terjadinya
hubungan memanfaatkan posisi
seksual dimana
ketergantungan korban
pelaku yang
seharusnya dilindungi.
Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual
secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian
seksual yang tidak
dikehendaki korban bersifat
melecehkan dan atau menghina korban. Melakukan repitisi
kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
5
Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi,
manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-
upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya
secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
C. Faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki Laki-laki
dianggap sebagai superioritas sumber
dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu daya
mengatur dan
mengendalikan wanita.
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan
kele-luasaan laki-laki untuk mengatur
mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.
dan
Laki-laki
merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
6
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami
kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai
pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup.
Alasan yang lazim dikemukakan oleh
penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan
kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks
harmoni keluarga.
D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah
Tangga, diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
1) Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang
teguh pada agama sehingga dapat
menyelesaikan permasalahan dengan kesabaran.
2) Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, serta dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
3) Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis.
4) Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
5) Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga
kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat
diatasi dengan baik.
7
E. Perlindungan bagi Korban KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan rumah tangga. Dengan berlakunya
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maka persoalan KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang
tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT
adalah orang yang
mempunyai hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini.
Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum
dipahami.
Padahal perlindungan oleh
negara dan
masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.
UU PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan
lembaga pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya,baik perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.
Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya ruang dan gerak tindak KDRT, sementara
institusi dan lembaga resmi yang menangani
perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya
tindak KDRT.
Mereka diwajibkan mengupayakan
pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan permohonan penetapan perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang ada.
8
Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini adalah
tindak kekerasan sebagaimana diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum
Pidana (KUHP) yakni tindak pidana
penganiayaan, kesusilaan, serta penelantaran orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan. Lalu mengapa masih diperlukan UU PKDRT?
Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai sifat khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga, korban dan pelakunya terikat hubungan kekerasan
atau hubungan hukum tertentu lainnya, serta
berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan) dengan penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan pada umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan sosial yang tidak hanya dilihat dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif,
melalui
proses sosial, hukum, psikologi,
kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga.
Bagaimanakah bentuk dan cara perlindungan itu, serta
bagaimanakah hubungan masing-masing institusi dan lembaga pemberi
perlindungan itu
secara konkret dan faktual di
lapangan? Itulah pokok persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut.
Yang lebih penting lagi adalah bagaimana persoalan itu
dipahami oleh masyarakat luas sehingga cita-cita yang hendak dicapai oleh legislator yang terkandung dalam UU PKDRT dapat terwujud sesuai harapan.
Bentuk perlindungan Korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi
perlindungan bagaimana itu
sendiri belum tentu memahami perlindungan
itu didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan fungsinya selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu bukanlah
masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.
UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan.
9
Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat
memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian,
peran
masing-masing institusi
dan lembaga itu
sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.
Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu
menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing:
a) Perlindungan oleh
kepolisian berupa perlindungan
sementara yang diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian
wajib meminta surat penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga
kesehatan, sosial, relawan pendamping dan
pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban.Pemerintah dan masyarakat perlu
segera membangun rumah aman (shelter) untuk
menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya
dapat melakukan penyelidikan,
penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah penahanan
terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan
dan
penahanan tanpa surat perintah
terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1 X 24 jam.
10
b) Perlindungan
oleh advokat diberikan dalam bentuk
konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak
hukum, relawan pendamping, dan
pekerja
sosial(kerja sama dan kemitraan).
c) Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam
bentuk perintah perlindungan yang
diberikan
selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan
dapat melakukan penahanan dengan surat perintah
penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan
yang
ditandatanganinya mengenai
kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan.
Pengadilan juga
dapat
memberikan
perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban.
d) Pelayanan tenaga
kesehatan penting sekali artinya
terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT.
Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib
memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.
e) Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan
perlindungan, serta
mengantarkan
koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.
f) Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.
11
g) Pelayanan oleh
pembimbing rohani diberikan untuk
memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.
Bentuk perlindungan dan
pelayanan ini
masih besifat
normatif, belum implementatif dan teknis oparasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh korban KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali pola dan strategi pelaksanaan perlindungan dan pelayanan dan
mensosialisasikan kebijakan
itu di
lapangan.
Tanpa upaya
sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka akan
sangat sulit dan mustahil dapat mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah subur.
Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab konvensional seperti disharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang rendah, perangai dan tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan ternyata tidaklah sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh mereka yang kondisi sosial ekonominya baik, sukses karier dan pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi.
KDRT merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi, budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di muka bumi Indonesia adalah perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur dan karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi keluarga dan bangsa Indonesia.
F. Sudut pandang pancasila
Pancasila sebagai Dasar Negara telah jelas mengatakan bahwa segala tindak kekerasan adalah dilarang karena bertentangan dengan sila pancasila.
Terutama pada sila kedua, yaitu “ Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Adapun maksud yang terkait dalam masalah yang kami angkat adalah setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan tidak boleh menjadi obyek kekerasan dengan alasan apapun dan bagaimanpun.
12
Dalam sila kedua terdapat pokok-pokok pikiran antara lain ; menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan, menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, dan mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah. Sehingga dengan demikian, tindakan kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindakan yang menyimpang dari pancasila.
13
BAB III PENUTUP A.
Kesimpulan
Perlindungan wanita dalam konteks KDRT ternyata sangat penting untuk diperhatikan, mengingat kasus seperti ini sangat banyak di Indonesia. KDRT merupakan suatu tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) jika dilihat sudut pandangnya dari pancasila sudah sangat jelas merupakan tindakan yang tidak sesuai terutama dengan sila ke-2, yaitu
“kemanusiaan yang adil dan beradab”. Beberapa uraian dari sila ini yang sangat bertentangan dengan tindak kekerasan terutama KDRT adalah saling mencintai sesama manusia, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dan tidak semena-mena terhadap orang lain.
Berdasarkan peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT tidak berjalan efektif. Karena dalam penerapannya masih banyak kasus yang tidak diselesaikan lewat jalur hukum dan terhenti pada pihak kepolisian saja sehingga menghambat kinerja Undang-Undang PKDRT. Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama
mendukung dari
berbagai implementasi lembaga yang
undang-undang berwenang KDRT agar
dapat bisa
meminimalisir terjadinya tindak pidana KDRT.
CONTOH KASUS
Contoh kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang kami ambil adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dialami oleh Cici Paramida. Dimana dalam kasus KDRTnya ini, wajah Cici Paramida babak belur akibat peristiwa penabarakan yang diduga dilakukan suaminya, Suhaebi. Peristiwa itu sendiri berawal ketika Cici yang mencurigai suaminya membawa perempuan lain
mencoba mengejar mobil suaminya hingga ke kawasan puncak,
Kabupaten Bogor. Saat kedua mobil tiba di kawasan Gang Semen, Jalan Raya Puncak, Cisarua, mobil Cici menyalip.
14
Cici kemudian turun dari mobil. “Saat dia mau mendekati mobil itu, tiba-tiba mobil digas sehingga menyerempet Cici.
Akibatnya Cici Paramida tampak terluka di bagian wajah dan lengan seperti bekas tersenggol. Kemudian atas Kekerasan yang dilakukan oleh Suhebi, Cici melaporkan tindakan kekerasan itu polisi.
Dari contoh kasus diatas kita dapat menarik kesimpulan
bahwa seorang suami seharusnya menjaga kepercayaan yang diberikan oleh istrinya. Suatu hubungan akan berjalan harmonis apabila sebuah pasangan dilandasi dengan percaya kepada pasangannya. Namun kejadian ini tidak akan terjadi apabila sang istri menanyaka secara baik-baik kepada suaminya. Apakah benar ia bersama perempuan lain atau hanya sekedar rekan kerjanya.
B.
SARAN
Demikian yang dapat kami jelaskan semoga bemanfaat bagi pembaca dan dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan
oleh karena itu kami
menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun.
senantiasa
15
DAFTAR PUSTAKA
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru utama.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan:
Perspektif Gender, Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional , Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni.
16