• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMANUSIAAN UNIVERSAL Tugas: Resume Mata Kuliah Kepancasilaan

N/A
N/A
Wulandari. p

Academic year: 2023

Membagikan "KEMANUSIAAN UNIVERSAL Tugas: Resume Mata Kuliah Kepancasilaan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

KEMANUSIAAN UNIVERSAL

Tugas: Resume Mata Kuliah Kepancasilaan

Kelompok VI:

1. Yunita Alika Sriwanda 2021135023 2. Agustina Maharani 2021135024

3. Wulandari 2021135028

4. Yuni Tri Astuti 2021135029

UNIVERSITAS PANCASILA FAKULTAS FARMASI

2023

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami penjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang berkat rahmat-Nya maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Kemanusiaan Universal”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kepancasilaan. Kami mengharapkan agar makalah ini dapat dimanfaatkan dengan baik sebagaimana mestinya.

Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kurangnya kemampuan yang kami miliki.

Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada :

1. Prof. Dr. apt. Syamsudin, M.Biomed selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Pancasila

2. Ibu apt. Lusiana Ariani, S.Farm., M.Farm selaku ketua Program Studi Diploma Tiga (D-3) Fakultas Farmasi Pancasila.

3. Drs. Ahmad Khuldun Munji, MA. selaku pengajar mata kuliah Kepancasilaan yang sudah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.

4. Rekan-rekan di kelas B Semester lima, D3 Reguler Khusus Kepancasilaan Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.

5. Secara khusus kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini

Kami berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

Jakarta, Desember 2023

Tim Penulis

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

BAB I PENDAHULUAN...1

BAB II PEMBAHASAN...3

A. Perspektif Historis...3

1. Nusantara Sebagai Perintis Jalan Globalisasi...3

2. Arus Balik : Globalisasi di Nusantara...4

3. Stimulus Pembaratan Bagi Kesadaran Kemajuan...5

4. Stimulus Islam Bagi Kesadaran Kemajuan...6

5. Stimulus China Bagi Kesadaran Kemajuan...7

6. Negosiasi Antarperadaban dalam Konstruksi Kebangsaan Indonesia...8

B. Kemanusiaan (Internasionalisme) dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi...9

C. Perspektif Teoretis-Komparatif...11

1. Dekolonisasi, Demokratisasi, dan HAM dalam Konteks Perang Dingin...3

2. Posisi Indonesia dalam Konteks Perang Dingin...4

3. Perbedaan Perspektif tentang HAM: Universalisme versus Partikularisme...4

4. Persoalan HAM dan Relevansi Internasionalisme di Era Globalisasi...4

D. Membumikan Kemanusiaan dalam Kerangka Pancasila...19

BAB IV KESIMPULAN...21

Kata Penutup...22

Pustaka Rujukan...22

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

Di bawah bimbingan nilai-nilai etis Ketuhanan yang memimpin cita-cita negara kita, semua manusia dipandang setara dan bersaudara, yang mengandung keharusan untuk menghormati kemanusiaan universal serta mengembangkan tata pergaulan dunia yang adil dan beradab. Dalam ungkapan hatta, “Pengakuan kepada dasar Ketuhanan Yang Masa mengajak manusia melaksanakan harmoni di dalam alam, dilakukan terutama dengan jalan menumpuk persahabatan dan persaudaraan antara manusia dan bangsa.

Kemanusiaan universal adalah bahwa manusia dibekali dibekali akal dan pikiran untuk melakukan segala kegiatan. Oleh karna itu manusia adalah makhluk paling sempurna dari semua makhluk yang diciptakan nya. Dalam kesadaran kemanusiaan universal, Indonesia hanyalah sebuah noktah kecil dari muka bumi, tetapi merupakan bagian penting dari planet ini. Negara kepualauan terbesar didunia, yang membujur di titik strategis persilangan antar benua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan sumber daya yang berlimpah, sejak lama menjadi titik-temu penjelajahan bahari yang membawa proses penyerbukan silang- budaya dari perlbagai arus peradaban dunia. Sebagai titik silang antarbenua, antarsamudera, dan antarperadaban, Indonesia sejak lama dipengaruhi dan mempengaruhi realitas global, dan oleh karena itu, tidak bisa melepaskan diri dari komitmen kemanusiaan universal. Komitmen perjuangan kemanusiaan ini secara ideal bersifat universal, namun pelaksanaannya secara historis-sosiologis bersifat partikular. Dengan demikian, komitmen untuk menjunjung tinggi kemanusiaan universal (humanity) yang adil dan beradab itu megandung implikasi ganda.

Dalam konteks ini, nilai-nilai universal dalam wacana kemanusiaan harus didialogkan dengan khazanah kearifan lokal, visi global harus dipadukan dengan daya cerna budaya lokal. Dalam perjuangan kemanusiaan bangsa indonesia, proses dialogis ini di kembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi.

Bab ini akan menguraikan kontekstualisasi sila kedua pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam politik kebangsaan indonesia. Untuk itu, penulis akan mencoba menyoroti konteks historis pergumulan indonesia dalam realitas global serta dari perspektif teoritis-komparatif dalam persoalan internasional dan penegakan hak-hak asasi manusia. Pada

(5)

akhirnya, beberapa pokok pikiran mengenai peluang dan ancaman kemanusiaan dalam realitas intensifikasi arus globalisasi akan dikemukakan.

(6)

BAB II PEMBAHASAN

A. Perspektif Historis

Sejak zaman es, wilayah nusantara, terutama di sekitar garis khatulistiwa, menjadi tempat penting bagi kehidupan manusia purba dan jalur migrasi homo sapiens dari Afrika Timur. Lingkungan geografi, klimatologi, dan kekayaan alam, terutama dataran Sunda, memainkan peran kunci dalam pembentukan peradaban awal di muka bumi. Lingkungan vulkanis Nusantara, dengan empat gunung berapi dahsyat, termasuk Gunung Toba, memengaruhi kehidupan global. Letusan Gunung Toba sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu menciptakan supervolcano dengan dampak besar, termasuk nuclear winter dan zaman es selama 1000 tahun, menyebabkan kekurangan pangan dan penciutan populasi manusia menjadi kurang dari 10.000 orang. Letusan Gunung Tambora pada 1815 juga berdampak global, menyebabkan kelaparan, musim panas hilang di Amerika Utara, dan wabah kolera.

Setelah zaman es berakhir, Nusantara menjadi gugus kepulauan, dan nenek moyang bangsa Indonesia menjadi perintis pelayaran internasional. Sungai dan lautan menjadi jalur vital antarperadaban, memanfaatkan keberadaan jalan air yang memotong segala jurusan di Nusantara. Hampir 80% wilayah kepulauan Kalimantan terdiri dari air, memotivasi nenek moyang bangsa Indonesia untuk mengembangkan keahlian berlayar. Dikelilingi oleh lautan, mereka merespons tantangan lingkungan dengan menjadi satu-satunya bangsa yang menamai tanahnya "Tanah Air." Posisi strategis geografi Nusantara, bersama dengan kekayaan alamnya, menjadi faktor menarik bagi berbagai arus peradaban dunia.

1. Nusantara Sebagai Perintis Jalan Globalisasi

Sebagai titik singgung dalam persilangan perdagangan dan budaya antarbangsa, Nusantara pernah mencapai kemegahannya sebagai kesatuan maritim, sebagai kekuatan laut yang jaya. Pada saat itu lautan di Nusantara menjadi faktor penghubung yang mempertautkan hubungan komunikasi sosial antarpulau dan kemudian antarbenua.

Sebelum masehi, nenek moyang bangsa Indonesia, dengan teknologi perahu bersistem cadik, telah menyeberangi 70 kilometer laut lepas untuk

(7)

mencapai Australia. Para penjelajah Nusantara ini berperan penting sebagai katalis perniagaan antara Romawi, India, dan Timur Jauh- khususnya dalam perniagaan rempah-rempah. Dalam penjelajahan Samudera Hindia ini, para pelaut Nusantara bukan hanya singgah di Afrika, tetapi juga meninggalkan banyak jejak kebudayaan di benua tersebut: memperkenalkan jenis tanaman baru, musik, seni yang pengaruhnya masih bisa ditemukan dalam budaya Afrika sekarang.

Berdasarkan histori tentang para pelopor kelautan Nusantara ini, Mohammad Hatta pun memiliki catatan tersendiri :

Hubungan lalu lintas selama berabad-abad telah mengangkat tiga suku bangsa yang memimpin : Melayu, Jawa dan Bugis sampai menjadi bangsa-bangsa yang sangat istimewa. Mereka masing-masing secara khusus mengembangkan salah satu kecendrungan besar dari sifat manusia : orang melayu adalah pedagang yang giat dan pemukim-pemukim yang tangguh,orang Bugis mewakili kepahlawanan, orang Jawa labih dari bangsa lain dalam menciptakan pertanian.

Monumen kejayaan bahari Nusantara hadir dalam dua imperium besar sepanjang abad 7 hingga 15, yakni Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit.

Sriwijaya wilayah kekuasaannya meliputi Jawa, Sumatera dan hampir seluruh semenanjung Malaka dan Kerajaan Majapahit yang melanjutkan kejayaan kejayaan Nusantara sebagai kekuatan bahari dengan memanfaatkan jejak yang diwariskan oleh Sriwijaya.

Sebagai pemula dalam penjelajahan samudera, dan sebagai kekuatan maritim yang jaya pada saat kontak-kontak antarbenua berbasis laut, dapat dikatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia merupakan perintis dari

“globalisasi purba”.

2. Arus Balik : Globalisasi di Nusantara

Arus-arus peradaban nyatanya tidaklah bergerak satu arah. Perjumpaan antar peradaban membawa proses saling belajar. Teknologi pelayaran Nusantara dipelajari dan dikembangkan oleh komunitas-komunitas peradaban lain.

Sebaliknya, para penjelajah Nusantara mengambil dan mengembangkan nilai-nilai dan pengetahuan dari peradaban lain.

Melalui proses persilangan budaya dan perdagangan, terjadilah arus masuk nilai-nilai budaya dan agama ke Nusantara, terutama dari India, Arab, Persia, China, dan Eropa. Internalisasi nilai ini baru berjalan simultan dengan arus

(8)

masuk armada-armada perdagangan lintas-benua, yang tertarik datang karena letaknya sebagai titik persilangan, serta kekayaan alamnya.

Pengaruh Indianisasi (Hindu-Budha) mulai dirasakan pada abad ke-5, bersama kemunculan dua kerajaan yang terkenal, Kerajaan Mulawarman di Kaltim dan Tarumanegara di Jawa. Pengaruh Islamisasi pun mulai dirasakan secara kuat pada abad ke-13 dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Kerajaan Samudera Pasai di sekitar Aceh. Pengaruh China mulai dirasakan sejak abad ke-14 pada zaman Dinasti Ming di China. Pengaruh pemberatan mulai dirasakan pada abad ke-16 dimana negara-negara kolonial mulai berdatangan seperti Portugis, kemudian disusul dengan Belanda dan Inggris.

Memasuki paruh kedua abad ke-19, pergulatan pengaruh peradaban global di Nusantara mengalami proses intensifikasi, kecuali pengaruh arus indianisasi secara umum mengalami pemudaran. Intensifikasi ini didorong oleh luberan konflik sosial dan ideologi pada tingkat global. Meskipun menimbulkan ketegangan antar dan intraperadaban, intensifikasi penetrasi global ini juga membawa efek peniruan bagi masyarakat Nusantara yang menimbulkan perubahan mentalitas dan harapan kemajuan.

3. Stimulus Pembaratan Bagi Kesadaran Kemajuan

Di Barat (Eropa dan Amerika Utara), proyek kolonialisme yang bersahutan dengan revolusi industri membawa perubahan besar dalam dunia kerja dan kehidupan yang membawa konflik dalam hubungan eksternal dan internal bangsa-bangsa di kawasan ini. Yang ditimbulkan bukan hanya konflik antar bangsa dalam memperebutkan tanah jajahan, , sumber daya, dan pasar internasional, melainkan juga konflik antar kelas secara internal di bangsa masing-masing.

Inilah masa ketika pelbagai paham ideologi mulai dirumuskan sebagai ikhtiar emansipasi. Di satu sisi ada usaha arus balik ke masa praindustrial dengan memimpikan restorasi tatanan dunia lama. Di sisi lain, ada arus visi ke depan dengan pengadopsian tatanan baru yang sepadan dan relevan dengan tantangan industrial.

Dampak perkembangan sains dan teknologi bagi masyarakat bukan hanya membuat “perorganisasian secara terencana” merupakan suatu keharusan, tetapi juga menuntut penggantian kelas penguasa tradisional,yang bersifat

(9)

aristokatis dan berwawasan pedesaan, oleh elit baru yang mewakili kekuatan ekonomi dan intelektual baru.

Negara dan masyarakat Belanda tidak kedap terhadap pengaruh pemikiran dan pergerakan di Eropa, yang pada waktunya juga berimbas ke negeri jajahan. Dikejutkan oleh gelombang gerakan liberal dan revolusi demokratik di Eropa sekitar 1840-an, sayap Liberal di negeri Belanda yang di pimpin oleh Rudolf Thorbecke dengan cepat merespon momentun politik itu dengan melakukan haluan perubahan haluan Undang-Undang Dasar dari konservatisme ke liberalisme.

Dengan perubahan haluan politik ini sayap liberal mampu mengintervensi persoalan-persoalan di negeri jajahan melalui parlemen. Didukung oleh kekuatan borjuasi liberal yang sadar politik, kaum liberal pada awalnya berambisi memegang kekuasaan di Negeri Belanda, kemudian memiliki akses dan kontrol atas keuntungan-keuntungan kolonial. Dengan kredo kaum Liberal tentang

“kebebasan menanam, “kebebasan mempekerjakan buruh”, dan “kepemilikan pribadi” mereka mendesak pemerintah untuk melindungi modal usaha milik swasta untuk mendapatkan tanah, buruh dan kesempatan-kesempatan untuk menjalankan usaha dan perkebunan baru.

Era kolonialisme tidak berlangsung lama, menjelang akhir abad ke-19, kejadian-kejadian sosio-ekonomi dan politik, baik di negeri Belanda maupun Hindia-Belanda, membawa kredo liberalisme menjadi seruan yang usang.

4. Stimulus Islam Bagi Kesadaran Kemajuan

Pusat-pusat Islam di pelbagai belahan bumi bereaksi dalam rangka menghadirkan respons tandingan atas hegemoni Barat di Dunia Muslim. Penetrasi Barat pada mulanya direspons melalui mekanisme defensif yang menolak secara apriori Barat seraya berseru supaya umat Islam kembali ke ortodoksi Islam yang dikenal sebagai gerakan “reformisme Islam”. Paham reformasi ini menyerukan pemurnian terhadap keyakinan dan praktik Islam sesuai dengan Qur’an, hadits, dan fiqih yang dikombinasikan dengan asketisisme Sufi. Dalam hal ini, para pembaru mengidealkan nabi Muhammad sebagai teladan yang sempurna. Karena itu, mereka berusaha menghapuskan pemujaan terhadap wali serta kultus dan upacara keagamaan yang dianggap bid’ah, membuang semua kepercayaan atas takhayul dan sihir, serta menentang para penguasa di negeri-negeri Muslim untuk bekerjasama dengan kaum Kolonial.

(10)

Pada paruh kedua abad ke-19, muncullah gerakan “modernisme Islam”

yang mencoba memadukan unsur-unsur positif dari dunia Barat dan dunia Islam.

Gerakan inteektual baru itu terinspirasi oleh ajaran dari seorang pemikir Islam bernama Jamal al-Din al-Afghani. Sejak saat itu, gerakan Pan-Islam menjadi sebuah perwujudan dari apa yang dulu diimpikan al-Afghani sebagai solidaritas Islam. Di mata al-Afghani, Pan-Islam dan Nasionalisme bisa saling melengkapi aspek-aspek “pembebasan”-nya. Yang menjadi desain besar dari politik Pan-Islam dalam jangka panjang adalah pendirian sebuah blok Muslim internasional yang merupakan konfederasi semi-otonom dari negara-negara Muslim.

Sejak peralihan abaad 19/20, para ulama Nsantara yang terpengaruh oleh gerakan reformisme-modernisme Islam di Timur Tengah mulai melakukan usaha-usaha modernisasi terhadap lembaga pendidikan Islam tradisional. Usaha modernisasi dikembangkan dengan mengadopsi kurikullum, metode pembelajaran, dan teknologi pendidikan modern model Barat yang dikombinasikan dengan isi dan semangat pengajaran Islam.

Dari trayek ini, muncullah “ulama-intelek” yang dengan jaringan madrasahnya mengembangkan pula rumah-rumah penerbitan, institusi-institusi sosiall, dan organisasi-organisasi keagamaan baru melalui proses apropriaso terhadap model Barat. Beberapa contohnya adalah pembentukan Sarekat Dagang Islamiah (2908) dalam bidang sosial ekonomi, Al Moenir (1911) dalam penerbitan, Muhammadiyah (1912)-dan kemudian Nahdlatul Ulama (1926)-dibidang sosial budaya serta Sarekat Islam (1912) di bidang sosial-politik. Kehadiran institusi- institusi tersebut berperan penting dalam meluaskan gerakan kemajuan dan ruang publik modern di luar orbit priyayi dan sel-sel inti pembaratan.

5. Stimulus China Bagi Kesadaran Kemajuan

Pada abad ke-19 arus imigran keturunan China (Tionghoa) di Nusantara mengalami peningkatan. Mereka datang untuk dipekerjakan. Meskipun kaum minoritas, Tionghoa memainkan peran penting, khususnya dalam perekonomian. Berkat kecakapannya dalam perdagangan, pemerintah kolonial memanfaatkannya sebagai agen perantara bagi pasar dalam negeri. Kemudian logika kapitalisme Tionghoa mendorong dan menggerakkan mereka menuju media massa yang berorientasi kemajuan. Mereka mulai mendirikan pers mereka sendiri, pers itu tidak sekedar merespon kepentingan-kepentingan komersial saja tapi juga

(11)

melayani aspirasi-aspirasi kemajuan. Tionghoa juga mencontoh klub-klub sosial dan sistem pendidikan bergaya Eropa yang membuat mereka selangkah lebih maju.

Diceritakan pula bahwa Tionghoa semakin termotivasi setelah Dr. Sun Yat Sen memenangkan revolusi pada 1911, Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok Merdeka.

Sumber dari inspirasi kebangkitan itu pada kenyataannya bukan hanya dari Barat yang menjadi penjelmaan kemajuan, namu juga dari Timur.

Demikianlah kemajuan keturunan Tionghoa dan kebangkitan nasionalisme di China serta pelbagai negeri lainnya di Asia seperti Jepang, memberi inspirasi bagi gerakan-gerakan kemajuan dan kebangkitan di Tanah Air.

6. Negosiasi Antarperadaban dalam Konstruksi Kebangsaan Indonesia

Pada dekade kedua abad ke-20, muncul gerakan sosial intelijensia di Hindia sebagai respons terhadap segregasi sosial kolonial. Gubernur Jenderal Idenburg, yang termasuk kaum Ethici, mempengaruhi struktur peluang politik dengan mendukung kelompok Kristen. Konflik antara usaha Kristenisasi dan intensifikasi Islamisasi berkembang, sementara organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam melampaui batas kedaerahan.

Kepercayaan diri orang Tionghoa meningkat, didorong oleh kemajuan ekonomi dan pendidikan serta kebangkitan nasional di Tiongkok. Organisasi politik Belanda memainkan peran penting dengan menanamkan benih Marxisme dan komunisme. Situasi ini menciptakan beragam gerakan sosial dengan ideologinya sendiri, tetapi kesadaran akan pembebasan kaum terjajah memunculkan proto-nasionalisme berbasis identitas etnis, agama, dan kelas.

Dalam persaingan antar ideologi di Tanah Air, komunitas Islam, komunis, Tionghoa, dan Kristen saling pertautan dengan ideologinya masing- masing. Namun, semua bersatu dalam komitmen pada pembebasan kemanusiaan.

Proses negosiasi budaya antarperadaban memperkuat komitmen bersama pada kebebasan, terutama di tengah kesengsaraan ekonomi dan penindasan politik.

Semangat emansipasi muncul dari berbagai unsur peradaban dan pengalaman, termasuk keagamaan, etika, ilmu pengetahuan, dan penderitaan.

Gerakan anti-kolonialisme lahir dengan usaha menciptakan "komunitas politik impian bersama." Perhimpunan Indonesia (PI), dengan tokoh seperti Mohammad Hatta, menolak ideologi Islam, komunisme, dan etno-nasionalisme sebagai dasar

(12)

kemerdekaan, mencari sintesis antarperadaban dengan konsepsi ideologi yang menekankan persatuan nasional, solidaritas, non-kooperasi, dan kemandirian.

Kesadaran akan pertautan kemanusiaan antarbangsa membentuk nasionalisme Indonesia yang luas dan berdimensi internasionalisme, menurut pandangan Soekarno. Nasionalisme ini tidak muncul dari kesombongan atau chauvinisme Barat, tetapi memberi tempat cinta pada bangsa-bangsa lain.

B. Kemanusiaan (Internasionalisme) dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi Pada gilirannya, prinsip kemanusiaan (Internasionalisme) sebagai salah satu dasar Negara Indonesia merdeka memperoleh formulasinya yang lebih jelas dalam pidato Soekarno ketika menguraikan Pancasila, pada siding BPUPKI, 1 Juni 1945.

Dalam rancangan pembukaan UUD yang disusun oleh Panitia Sembilan, peletakan prinsip internasionalisme (perikemanusiaan) sebagai dasar Negara itu sama seperti dalam pidato Soekarno, yakni sebagai prinsip (sila) kedua dari Pancasila. Dengan kesadaran eratnya hubungan antar nasionalisme dan internasionalisme, orientasi kemanusiaan yang adil dan beradab itu bersifat ganda: “keluar” (ikut memperjuangkan kedamaian dan keadilan dunia) dan “ ke dalam” (memuliakan hak hak asasi manusia, sebagai individu maupn kelompok).

Pada pembukaan UUD 1945, komitmen kemanusiaan ini terkandung di semua alinea, terutama di alinea pertama dan keempat. Alinea pertama menegaskan, komitmen bangsa Indoenesia pada kemanusiaan universal dengan menekankan kemutlakan hak merdeka bagi seala bangsa dan (implisit) warganya tanpa kecuali.

Alinea ketiga mengembalikan derajat manusia pada fitrah kesetaraannya dalam berkat penciptaan Tuhan, yang menghendaki suasana kehidupan kebangsaan yang bebas, dan dengan itu, Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Kedua, menjangkarkan isu- isu kemanusiaan pada dasar Negara, khususnya dasar kedua, yaitu “kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Dalam pembukaan ini tampak jelas bahwa para pendiri bangsa mempunya argumen yang kuat, bukan hanya untuk berdirinya suatu bangsa, melainkan juga hidup dan “beroprasi”-nya sebuah organisme bernama Negara.

Argumen pertama menegaskan bahwa kolonialisme merupakan bentuk pengingkaran terhadap kenyataan bahwa manusia adalah fana dihadapan Tuhan yang mutlak.

Argumen ini menjadi fondasi dari perlindungan hak dasar, yang kemudian dikenal sebagai hak asasi manusia (HAM).

(13)

Hak dasar/asasi manusia (HAM) termuat dalam satu piagam terpisah, tetapi tersebar dalam beberapa pasal, terutama antara pasal 27-34, pasal pasal mengenai hak warga Negara terkandung dalam pasal 27 , 30, 31. Adapun pasal pasal mengenai hak hak asasi yang bersifat universal terkandung pada pasal 28 dan 29. Hak hak asasi ini juga adakalanya tidak dikemukakan dengan cara tersurat, melainkan dengan cara tersirat, seperti pasal 33 dan 34, adanya pasal pasal itu sudah meliputi apa yang kemudia sering disebut tiga generasi hak asasi manusia, yaitu:

1. Generasi pertama: Hak sipil dan Hak politik

Generasi petama hak asasi manusia ini amat terkait dengan hak sipil, yang berhubungan langsung dengan orientasi etis kemanusiaan dan menjadi salah satu pilar hukum internasional. Hak ini menyangkut hak hidup, hak kebebasan beragama dan/atau berkepercayaan, hak untuk diproses secara hukum dengan seadil-adilnya, hak mengemukakan pendapat dan hak untuk turut serta dalam pengambilan keputusan bersama. Hak ini terkandung pada pasal 27 (pasal 1), 28 dan 29.

2. Generasi kedua: Hak demokratis

Generasi kedua hak asasi manusia terkait dengan proses sebuah Negara membuahkan kebijakan dan kondisi yang memungkinkan suatu kehidupan semakin manusiawi. Termasuk dalam hak ini adalah hak atas layanan kesehatan, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas jaminan sosial. Generasi kedua ini sesungguhnya terinterigasi dengan hak sipil dan hak politik, hak ini terkandung dalam pasal 27 (pasal 2), 31 dan 34.

3. Generasi ketiga: hak ekonomi-sosial-kultural-kolektif

Generasi ketiga ini adalah bagian dari pengakuan akan perlindungan keseluruhan kehidupan manusia, baik sekarang maupun yang akan datang, baik di satu komunitas maupun antar komunitas. Ada satu pemahaman bahwa keidupan di pengaruhi oleh dimensi masa lalu, masa sekarang, dan masa mendatang. Generasi ketiga hak ini adalah, termasuk, hak atas perlindungan lingkungan, hak penentuan nasib sendiri, dan sebgainya dalam UUD 1945, hak ini terkandung dalam pasal 30, 32, 33 (3) dan 34.

(14)

Peniadaan “hak bertukar agama atau keyakinan” dalam UUDS 1950 mencerminkan residu aspirasi kelompok islam yang menemukan kembali peluang untuk menyatakan keberatannya atas pengakuan hak ini yang dianggapnya bertentangan dengan hukum Islam. Beberapa berharap agar kemajuan pengakuan konstitusional atas HAM seperti terkandung dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950 dapat diteruskan. Oe Tjoe Tat (Baperki) menyatakan agar UUD baru lebih progresif dari UUDS 1950, Mang Reng Say (Partai Katolik) juga mengucapkan hal senada dengan mengingatkan bahwa untuk menghasilkan konstitusi yang sesuai dengan kebutuhan bangsa, Konstituante harus terbuka terhadap dunia luar. Hal ini mengindikasikan kesadaran Indonesia untuk memuliakan hak-hak individu (sebagai warga Negara dan manusia) dengan tetap menjunjung tinggi semangat kekeluargaan.

Pada 9 Desember 1958, Panitia Persiapan Konstitusi berhasil melengkapi rancangan pasal pasal UUD mengenai HAM.

Panitia Persiapan Konstitusi telah berhasil mencapai keputusan mengenai 22 pasal tentang HAM dalam rancangan UUD baru. Tetapi dengan UUD 1945 pun tidak mengurangi komitmen bangsa Indonesia pada persoalan kemanusiaan universal dan penghormatan hak-hak asasi manusia. Dengan rekam jejak perjalanan bangsa ini, tampak jelas bahwa sila kemanusiaan yan adil dan beradab memiliki akar yang kuat dalam historisitas kebangsaan Indonesia. Kemerdekaan Indonesia menghadirkan suatu bangsa yang memiliki wawasan global dengan kearifan local, memiliki komitmen pada ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan serta pada pemuliaan hak hak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsaan Indonesia.

C. Perspektif Teoretis-Komparatif

Pentingnya merawat persaudaraan an tarbangsa terbukti dari andil bangsa-bangsa lain dalam mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia secara de facto dan de jure.

Dukungan internasional atas kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pertama kali muncul di Dunia Arab. Dukungan Palestina bahkan telah dimulai sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni Segera setelah Perdana Kenende Jepang, Kuniaki Koiso, mengucapkan bhaji historisnya pada 7 September 1944 yang akan memberi kemerdekaan kepada Indonesia.

(15)

Seiring dengan itu, sejak Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 - 12 Maret 1946) mulai dirintis usaha membuka perwakilan Indonesia di luar negeri. Mula-mula dibuka di Singapura, kemudian di New Delhi, Karachi, Rangoon, Canberra, Bangkok, Kairo, Baghdad, London, Kabul, New York, yang mencerminkan dukungan atau setidaknya hospitalitas mereka atas kemerdekaan Indonesia. Pada masa ini pula, masalah Indonesia mulai dibahas di PBB pada Januari 1946 atas usul utusan Republik Sosialis Ukraina.

Dukungan internasional atas kemerdekaan Indonesia semakin terasa setelah agresi militer Belanda I (21 Juli 1947 - 5 Agustus 1947). Dengan agresi itu, pengakuan de facto atas Indonesia justru berdatangan mengalir dari negara-negara sahabat seperti Afghanistan, Birma, Arab Saudi, Yaman, dan Rusia.

Dunia internasional menolak aksi Belanda ini. India dan Australia, pada 30 Juli 1947, langsung membawa masalah Indonesia ke dalam sidang Dewan Keamanan di Lake Success, Amerika Serikat. Perdana Menteri Amir Sjarifuddin mengirim surat pula pada 31 Juli 1947 agar masalah Indonesia dapat diselesaikan segera dalam sidang Dewan Keamanan tersebut. Masalah Indonesia kali ini mulai dibahas secara lebih serius. Di samping itu, ketua sidang dipegang oleh wakil dari Suriah, Faris el-Khouri, yang diharapkan lebih ber pihak kepada Indonesia.

Baik Indonesia dan Belanda tidak boleh hadir secara resmi dalam sidang tersebut.

Indonesia belum menjadi anggota PBB, sementara Belanda tidak lagi menjadi anggota tidak tetap. Namun, kedua belah pihak sebenarnya telah berada ditribun umum Sidang Dewan Keamanan tersebut. "Delegasi Indonesia" terdiri atas Sutan Sjahrir, H. Agoes Salim, Charles Tambu, Sudjatmoko, dan Sumitro Djojohadikusumo.

Walau berbagai pihak telah berupaya untuk menyelesaikan persengketaan Indonesian – Belanda Van Kleffens tetap menganggap Dewan keamanan tidak berhak mencampuri pertikaian Indonesia-Belanda. Agaknya dia alpa bahwa keadaan telah berubah.

dosatu pihak, Belanda mengakui Indonesia secara de facto melalui perjanjian Linggarjati, di lain pihak, dia tidak dapat menyatakan lagi bahwa masalah Indonesia merupakan masalah dalam negeri Belanda.

Dalam perkembangannya, perintah gencatan senjata dan penciptaan perdamaian itu diabaikan Belanda. Pada 19 Desember 1948 sekali lagi Belanda melancarkan agresi militer II. Agresi ini menimbulkan kecaman dunia internasional, seperti Amerika Serikat, atas Belanda, sebaliknya, semakin memperkuat dukungan internasional atas kedaulatan Indonesia. Berkaitan dengan hal itu, perlawanan gigih tentara rakyat Indonesia melalui perang gerilya juga membuat Belanda tidak memiliki pilihan lain kecuali kembali ke meja

(16)

perundingan. Konferensi Meja Bundar digelar di Den Haag dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Hasilnya, pada 30 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.

Dengan kesadaran akan pentingnya solidaritas internasiona, segera setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Indonesia lebih erat mempertautkan diri dalam pergaulan antarbangsa deng an resmi menjadi anggota PBB pada 28 September 1950.

1. Dekolonisasi, Demokratisasidan HAM Dalam Konteks Perang Dingin

Pasca perang dunia II Periode dekolonisasi yang sangat aktif terutama terjadi antara 1945-1960, beiringan dengan apa yang diidentifikasi Samuel Huntington sebagai gelombang demokratisasi kedua, yang berlangsung relatif pendek antara 1943-1962.

Gelombang demokratisasi ini berdampingan dengan peningkatan kesadaran akan hak-hak asasi manusia (HAM) pasca PD II, dimulai dengan kemunculan Piagam PBB sejak 26 Juni 1945 dan menemukan momentumnya setelah Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada 10 Desember 1948. Pernyataan ini terdiri atas 30 pasal berisi pokok-pokok pandangan Majelis Umum PBB tentang jaminan hak-hak asasi manusia (HAM), meliputi hak sipil dan politik, maupun hak ekonomi, sosial dan budaya, kepada semua orang. Eleanor Roosevelt, ketua wanita pertama Komisi HAM yang menyusun deklarasi ini, mengatakan, "Ini bukanlah sebuah perjanjian... [Di masa depan] ini mungkin akan menjadi Magna Carta internasional....

Deklarasi ini kemudian diperkuat oleh kovenan tentang hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights) serta kovenan tentang hak ekonomi, sosial dan budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) keduanya pada 1966, disusul oleh pelbagai protokol yang terkait dengannya.

Namun demikian, gelombang dekolonisasi, demokratisasi, dan perhatian internasional pada HAM ini menemukan sandungannya ketika dunia segera memasuki suasana Perang Dingin. Setelah Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (US) bersekutu dan berhasil menghancurkan Jerman Nazi, kedua belah pihak berselisih paham dalam usaha membangun kembali dunia, khususnya Eropa, pas Caperang.

Periode ini dikenal sebagai era Perang Dingin, yang menampilkan persaingan sengit antara kedua blok dalam berbagai bidang kehidupan: koalisi militer; ideologi, psikologi, dan kriptografi, mitos industri, dan perkembangan teknologi, pertahanan;

(17)

perlombaan nuklir dan senjata; dan masih banyak lagi. 215 Konflik antar blok tersebut kemudian meluas ke seluruh dunia ketika Amerika membangun “pertahanan”

terhadap komunisme dengan membentuk sejumlah aliansi dengan berbagai negara, terutama dengan negara-negara di Eropa Barat, Timur Tengah, dan Asia Tenggara.

Selama Perang Dingin, pelaksanaan proyek HAM PBB meng alami hambatan yang serius. Sesuai dengan pasal 1 dan 2 Piagam PBB, tujuan lembaga ini adalah untuk memelihara perdamaian dunia, membangun relasi bersahabat antarnegara yang didasar kan pada penghormatan kesetaraan hak dan penentuan nasib sendiri, dan untuk menjalin kerjasama guna memecahkan masalah internasional dalam hal ekonomi, sosial, budaya, dan kemanusiaan (humanitarian), dan dalam mempromosikan dan mendorong penghormatan hak asasi manusia. Tujuan ini mengalami rintangan serius yang ditimbulkan oleh kombinasi konflik Timur-Barat serta pembelahan Utara-Selatan.

2. Posisi Indonesia Dalam Konteks Perang Dingin

Indonesia berusaha konsisten dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab dalam pergaulan antarbangsa. Prinsip yang menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak setiap bangsa dan warganya, serta prinsip yang menekankan koeksistensi damai yang secara aktif "ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial." Prinsip ini sejalan dengan visi dan tujuan dari Piagam PBB sebagaimana telah disebutkan.

Dalam konteks ini, prinsip kemanusiaan menurut alam pemikiran Pancasila menjadi sintesis antara pendukung ajaran Declaration of American Independence dan Manifesto Komunis. Dalam pidato Soekarno di PBB, pada 30 September 1960, "To Build the World Anew", yang memperkenalkan Pancasila kepada dunia, dia menyangkal pendapat seorang filsuf Inggris, Bertrand Russel, yang membagi dunia ke dalam dua poros ajaran itu. "Maafkan, Lond Russell. Saya kira tuan melupakan adanya lebih daripada senbu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence." Selanjutnya, dia katakan bahwa Indonesia tidak dipimpin oleh kedua paham itu, tidak mengikuti konsep liberal maupun komunis.

"Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok Lantas dia simpulkan, "Sesuatu itu kami namakan Pancasila. Gagasan-gagasan dan cita-cita itu,

(18)

sudah terkandung dalam bangsa kami. Telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun per adaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional (Soekarno, 1960, 1989: 63-64).

Pilihan posisi Indonesia untuk memperjuangkan koeksistensi damai dalam suasana perang dingin itu dirumuskan oleh Moham mad Hatta dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif. Dalam pidatonya, Mendayung di Antara Dua Karang, yang disampaikan di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat di Yogyakarta pada 1948, dengan jeli Bung Hatta menangkap potensi konflik internal antarkelompok elite sebagai luberan konflik eksternal setelah perse tujuan Linggarjati dan Renville.

Pilihan untuk mendayung di antara dua karang ini mendorong Indonesia untuk berperan aktif dalam mempromosikan gerakan non-blok. Istilah "non-blok"

diperkenalkan oleh Perdana Menteri India Nehru dalam pidatonya tahun 1954 di Colombo, Sri Lan ka, namun Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement) Sendai bermula dari Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika yang diadakan di Bandung pada 1955.

Gerakan Non-Blok didirikan berdasarkan sepuluh prinsip dasar yang disepakati dalam KTT Asia-Afrika yang dikenal dengan sebutan Dasasila Bandung.

Kesepuluh prinsip itu adalah:

1) Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

2) Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial sernua bangsa.

3) Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil.

4) Tidak melakukan campur tangan atau intevensi dalam soal- an-soalan dalam negeri negara lain.

5) Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian maupun secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB.

6) (a) Tidak menggunakan peraturan-peraturan dan pertahan an kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara-negara besar, (b) Tidak melakukan cam- pur tangan terhadap negara lain.

7) Tidak melakukan tindakan ataupun ancaman agresi mau- pun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.

(19)

8) Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan cara damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi, an penyelesaian masalah hukum, ataupun lain-lain cara damai, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang se suai dengan Piagam PBB.

9) Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama.

10) Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

3. Perbedaan Perspektif tentang HAM: Universalisme versus Partikularisme

Kesulitan dan masalah yang melanda Indonesia itu merefleksikan kecenderungan umum negara-negara Dunia Ketiga yang mengalami hambatan yang serius untuk melaksanakan HAM dan demokrasi dalam suasana dunia yang diwarnai oleh bentrokan Timur-Barat serta kesenjangan Utara-Selatan. Akar kontroversi penerapan HAM di negara-negara Dunia Ketiga bermula dari perbedaan persepsi mengenai watak HAM sebagai ekspresi budaya. Ada dua narasi besar, universalisme dan partikularisme (relativism cultural), yang karena perbedaan fundamental dalam konsepnya mengakibatkan perbedaan pemahaman atas (1) karakter HAM (apakah internasional atau murni domestik), (2) pentingnya individu sebagai lawan hak masyarakat, (3) penentuan waktu dan penahapan implementasi HAM dan penegakannya (Hernandez,1995:3-4).

Secara umum dapat dinyatakan, pada satu sisi kaum universalis menegaskan bahwa HAM adalah hak semua orang. HAM berasal dari “konsep hukum alam yang menegaskan bahwa manusia memiliki hak alamiah tertentu untuk hidup, bebas dan punya kepemilikan” (Hernandez, 1995:4). Juga, “untuk memiliki HAM, seseorang haruslah dipandang sebagai manusia (human being)” (Preis, 1996:288). Pada sisi lain, kaum partikularis memersepsi bahwa norma-norma HAM tidak muncu dari ruang hampa melainkan dibentuk oleh seperangkat pengalaman masyarakat tertentu.

Kemudian, perbedaan konsep atas watak kehidupan manusia membawa pada perbedaan persepsi atas karakter HAM. Pada satu sisi, menurut kaum universalis, karena HAM merupakan kepedulian universal dan nilainya juga universal, implementasi HAM “tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran atas kedaulatan negara” (Deklarasi Bangkok HAM LSM, 1993: 5). Pada sisi lain, dalam perspektif kaum partikularis, dokrin liberal HAM tidak berbicara mengenai pandangan hidup manusia. Fondasi ontologis budaya dan masyarakat mereka, dan keterkaitan individu

(20)

dengan individu lain dan masyarakat, dalam bebrapa hal berbeda secara signifikan (Pollis, 1996: 316).

Sebagai negara baru, negara-negara Dunia Ketiga lebih memerhatikan kedaulatan nasionalnyaserta tantangan dalam negeri dibandingkan dengan agenda internasional (Deklarasi Antar-Pemerintah Bangkok dalam Pollis, 1996: 331). Titik divergensi ketiga berkenaan dengan isu status komparatif hak individu dan hak kolektif, karena kaum universalis (Barat) lebih menekankan pada hak individu sedang kaum partikularis (negara Dunia Ketiga) lebih menekankan pada hak kolektif. Dalam putaran terakhir kontroversi, divergensi seperti itu mentranformasikan dirinya sendiri kedalam medan pertempuran. Kaum universalis (Barat) menuduh pemerintah Dunia Ketiga mengeksploitasi argumen partikularis untuk membenarkan “kuatnya” negara sehingga melahirkan kebijakan represif dan menerapkan tujuan-tujuan nasional demi kesejahteraan masyarakat (Cohen,1996). Sementara itu, kaum partikularis (pemerintah-pemerintah negara Dunia Ketiga) mengklaim bahwa alasan universalis digunakan pemerintah-pemerintah Barat sebagai senjata politik guna menekan daya kompetitif ekonomi dalam membangun ekonomi. Mereka juga menuduh pemerintah negara-negara Barat tidak konsisten dan menggunakan standar ganda dalam menerapkan prinsip-prinsip HAM yang universal.

Munculnya revolusi teknologi komunikasi, yang menimbulkan globalisasi kehidupan ekonomi, politik, dan kehidupan sosial kontemporer mengakibatkan interpenetrasi pengalaman budaya dan kecenderungan, yang disebut Vattimo sebagai

“hibridisasi” antartradisi (Smart, 1997: 417). Dalam perubahan cepat dunia posmodern, asumsi kaum pertikularis bahwa “kultur” itu statis, homogen, integral, koheren, dan entitas yang terikat menjadi masalah yang serius (Preis, 1996: 288-89).

Menurut Kausikan, “Negara-negara seperti China, Indonesia dan bahkan Burma bukan hanya telah bersentuhan dengan kritik Barat atas catatan HAM-nya namun juga secara serius meresponnya, menegaskan atau mencoba menunjukan bahwa merekapun mengikuti norma-norma HAM Internasional.

4. Persoalan HAM dan Relevansi Internasionalisme di Era Globalisasi

Globalisasi modern dan posmodern menemukan pijakannya dari perlombaan gengsi antarnegara adikuasa yang mengarah pada penemuan-penemuan teknologi mutakhir, terutama dalam bidang persenjataan yang kemudian berkelindan dengan bidang telematika. Pada 4 Oktober 1957, satelit pertama buatan manusia, “Sputnik 1”,

(21)

diluncurkan oleh Uni Soviet. Peluncuran ini memicu lomba ruang angkasa (space race) antara Uni Soviet dan Amerika.

Revolusi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi membawa

“distansiasi ruang-waktu” (time-space distanciation) sekaligus “pemadatan ruang- waktu” (time-space compression) yang merobohkan batas-batas ruang dan waktu konvensional (Giddens,1999; Harvey,1989). Dengan venomena ini, globalisasi meestukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan.

Pada ranah negara-bangsa (nation-state), di satu sisi, globalisasi menarik (pull away) sebagian dari kedaulatan negara-negara dan komunitas lokal , tunduk pada arus global interdependence, yang menbuat negara-bangsa dirasa terlalu kecil untuk bisa mengatasi (secara sendirian) tantangan-tantangan global. Di sisi lain, globalisai juga menekan (push down) negara-bangsa, yang mendororng ledakan desentralisasi dan otonomisasi. Negara-bangsa menjadi dirasa terlalu besar untuk menyelesaikan renik- renik masalah di tingkat lokal, yang menyulut merebaknya etno-nasionalisme dan tuntutan otonomi lokal beriringan dengan revivalisme identitas-identitas kultural.

Di sisi lain, dengan posisi awal dan konsekuensinya yang tidak sama, globalisasi membelah dunia ke dalam pihak “yang menang” (winner) da “yang kalah”

(losers), serta menumbuhkan ketidaksetaraan baik secara internasional maupun dalam negara-bangsa (Hobsbawn,2007: 3). Globalisasi juga menjadi kendaraan emas bagi para pendukung pasar bebas untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi dalam skala mondial.

Halangan dalam promosi HAM muncul sejak tahun ’80-an dari hegemoni ideologi neo-liberalisme yang menyerang fondasi dasar pada sistem hak asasi manusia yang telah dibangun. Badan hak asasi manusia PBB telah mencermati dampak negatif dari globalisasi pasar neo-liberalisme atas hak asasi manusia, secara khusus pada hak ekonomi, sosial, budaya.

Dihadapkan pada tantangan globalisasi modern, reformasi terhadap PBB mutlak dilakukan untuk membuatnya lebih efektif, lebih representatif dan lebih bertanggung jawab dalam memenuhi tantangan global yang semakin kompleks.

Reformasi juga harus mempertimbangkan munculnya berbagai tekanan global atas kapasitas manusia untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Kelemahan praktis semokratis dalam international governance yang melibatkan perwakilan negara-

(22)

negara (state actors) juga bisa diimbangi denngan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi aktor-aktor non-negara (non-state actors).

Singkat kata, intensifikasi globalisasi modern menuntut setiap bangsa untuk lebih memiliki wawasan internasionalisme dalam rangka ikut melaksanakan ketertiban dunia yang menjamin kemerdekaan, perdamaian dan keadilan dalam pergaulan antar bangsa. Hal ini menuntut perubahan paradigmatik dalamhubungan internasional dari prinsip “zero-sum-game” menuju prinsip “win-win-solution”.

D. Membumikan Kemanusiaan dalam Kerangka Pancasila

Prinsip kedua dari pancasila mencerminkan kesadarn bangsa Indonesia sebagai sebagian dari kemanusiaan Universal. Merasakan kepedihan dan pederitaan sebagai bangsa yang terjajah selama ratusan tahun lamanya, Indonesia terpanggil untuk melawan sisi negatif-destruktif dari anasir-anasir internasional yang merendahkan martabat kemanusiaan. Sejak awal perjuangan kemerdekaan, revolusi Indonesia dipandang sebagai revolusi kemanusiaan. Soekarno mengatakan, “satu banjir yang maha sakti, banjir daripada Revolusi Indonesia yang sebenarnya adalah sebagian daripada revolution of mankind”.

Dengan demikian, sejak awal berdirinya, Indonesia dibangun atas kesadaran internasionalisme. Tetapi paham internasionalisme itu juga diberi sentuhan dan bonbot spirit egalitariannisme. Nasionalisme yang berperikemanusiaan inilah yang akhirnya terpatri secara utuh dan cemerlang dalam (sila kedua) Pancasila. Dalam rumuan sila kedua, cita-cita kemusiaan menjadi jiwa kemerdekaan.

Sebagai falsafah negara negara yang menjiwai konstitusi kita, Pancasila merupakan testamen historis yang membela prinsip kesamaan. Prinsip kesamaan dan kesedrajatan dalam hubungan antarmanusia, antarbangsa itu adalah jiwa dari sila kemanusiaan. Dalam rangka memenuhi sifat adil , bung Hatta mengigatkan, “yang harus disempurnakan dalam Pancasila, ialah kedudukan manusia sebagai hamba Allah, yang satu sama lain harus merasa bersaudara. Persaudaraan itu menembus batas nasional, yaitu persaudaraan manusia antarbangsa, dan persaudaraan antarbangsa-bangsa dengan prinsip kesederajatan manusia.

Imperatif etis yang dikandung sila kedua Pancasila itu menemukan relevansi dan signifikasinya yang kuat dalam menghadapi perkembangan globalisasi modern.

Visi kemanusiaan yang adil dan beradab bisa menjadi panduan (guiding principles) bagi proses pengadaban (civilizing process), yang meliputi kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan dalam pergaulan antarbangsa. Dasar kemanusiaan yang adil dan

(23)

beradab tidak lain adalah kelanjutan dengan disertai perbuatan dalam praktik hidup dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab itulah dalam urutan sila-sila Pancasila letaknya tidak dapat dipisahkan dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, seperti dinyatakan oleh Notonegoro (1974), “sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah diliputi dan dijiwai oleh sila ke-Tuhanan Ynag Maha Esa, meliputi dan menjiwai sils-sila persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dlam permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

(24)

BAB III KESIMPULAN

Sila perikemanusiaan yang adil dan beradab, apabila digali, merupakan visi bangsa Indonesia yang mengandung begitu banyak nilai manusiawi yang bisa dijadikan pegangan dalam mengantisipasi tantangan globalisasi. Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prinsip pemberadaban manusia dan bangsa Indonesia. Persoalan HAM menjadi tantangan yang serius dalam membuktikan komitmen kemanusiaan bangsa Indonesia. Di tengah tekanan globalisasi yang semakin luas cakupan nya, dalam penetrasinya dan instan kecepatannya, sifat masyarakat Indonesia yang cenderung lentur dalam menerima pengaruh global bisa bersifat positif maupun negatif. Positif, sejauh yang diserap adalah unsur – unsur positif- konstruktif yang menguatkan cita–cita kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial.

Negatif, sejauh yang diserap adalah unsur–unsur negatif-destruktif yang menimbulkan ketergantungan (neokolonialisme), permusuhan dan ketidakadilan.

(25)

PUSTAKA RUJUKAN

Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna – Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.

Referensi

Dokumen terkait