KEMANUSIAAN UNIVERSAL
Tugas: Resume Mata Kuliah Kepancasilaan
Kelompok VI:
1. Yunita Alika Sriwanda 2021135023 2. Agustina Maharani 2021135024
3. Wulandari 2021135028
4. Yuni Tri Astuti 2021135029
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PANCASILA
Jagakarsa Jakarta Selatan, 12640
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami penjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang berkat rahmat-Nya maka kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Kemanusiaan Universal”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kepancasilaan. Kami mengharapkan agar makalah ini dapat dimanfaatkan dengan baik sebagaimana mestinya.
Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kurangnya kemampuan yang kami miliki.
Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada :
1. Drs. Ahmad Khuldun Munji, MA. selaku pengajar mata kuliah Kepancasilaan yang sudah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
2. Rekan-rekan di kelas B Semester lima, D3 Reguler Khusus mata kuliah Kepancasilaan Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
3. Secara khusus kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini
Kami berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Jakarta, Desember 2023
Tim Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...ii
BAB I PENDAHULUAN...1
BAB II KEMANUSIAAN UNIVERSAL...2
A. Perspektif Historis...2
1. Nusantara sebagai Perintis Jalan Globalisasi...2
2. Arus Balik: Globalisasi di Nusantara...3
3. Stimulus Pembaratan bagi Kesadaran Kemajuan...3
4. Stimulus Islam bagi Kesadaran Kemajuan...4
5. Stimulus China bagi Kesadaran Kemajuan...4
6. Negosiasi Antarperadaban dalam Konstruksi Kebangsaan Indonesia...5
B. Kemanusiaan (Internasionalisme) dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi. 5 C. Perspektif Teoretis-Komparatif...6
1. Dekolonisasi, Demokratisasi dan HAM dalam Konteks Perang Dingin...7
2. Posisi Indonesia dalam Konteks Perang Dingin...7
3. Perbedaan Perspektif tentang HAM: Universalisme versus Partikularisme...8
4. Persoalan HAM dan Relevansi Internasionalisme di Era Globalisasi...9
D. Membumikan Kemanusiaan dalam Kerangka Pancasila...10
BAB III KESIMPULAN...11
PUSTAKA RUJUKAN...12
BAB I
PENDAHULUAN
Di bawah bimbingan nilai-nilai etis Ketuhanan yang memimpin cita-cita negara kita, semua manusia dipandang setara dan bersaudara, yang mengandung keharusan untuk menghormati kemanusiaan universal serta mengembangkan tata pergaulan dunia yang adil dan beradab. Dalam ungkapan hatta, “Pengakuan kepada dasar Ketuhanan Yang Masa mengajak manusia melaksanakan harmoni di dalam alam, dilakukan terutama dengan jalan menumpuk persahabatan dan persaudaraan antara manusia dan bangsa.
Kemanusiaan universal adalah bahwa manusia dibekali dibekali akal dan pikiran untuk melakukan segala kegiatan. Oleh karna itu manusia adalah makhluk paling sempurna dari semua makhluk yang diciptakan nya. Dalam kesadaran kemanusiaan universal, Indonesia hanyalah sebuah noktah kecil dari muka bumi, tetapi merupakan bagian penting dari planet ini. Negara kepualauan terbesar didunia, yang membujur di titik strategis persilangan antar benua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan sumber daya yang berlimpah, sejak lama menjadi titik-temu penjelajahan bahari yang membawa proses penyerbukan silang- budaya dari perlbagai arus peradaban dunia. Sebagai titik silang antarbenua, antarsamudera, dan antarperadaban, Indonesia sejak lama dipengaruhi dan mempengaruhi realitas global, dan oleh karena itu, tidak bisa melepaskan diri dari komitmen kemanusiaan universal. Komitmen perjuangan kemanusiaan ini secara ideal bersifat universal, namun pelaksanaannya secara historis-sosiologis bersifat partikular. Dengan demikian, komitmen untuk menjunjung tinggi kemanusiaan universal (humanity) yang adil dan beradab itu megandung implikasi ganda.
Dalam konteks ini, nilai-nilai universal dalam wacana kemanusiaan harus didialogkan dengan khazanah kearifan lokal, visi global harus dipadukan dengan daya cerna budaya lokal. Dalam perjuangan kemanusiaan bangsa indonesia, proses dialogis ini di kembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi.
Bab ini akan menguraikan kontekstualisasi sila kedua pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam politik kebangsaan indonesia. Untuk itu, penulis akan mencoba menyoroti konteks historis pergumulan indonesia dalam realitas global serta dari perspektif teoritis-komparatif dalam persoalan internasional dan penegakan hak-hak asasi manusia. Pada akhirnya, beberapa pokok pikiran mengenai peluang dan ancaman kemanusiaan dalam realitas intensifikasi arus globalisasi akan dikemukakan.
BAB II
KEMANUSIAAN UNIVERSAL
A. Perspektif Historis
Inti pembahasan dari bab "Perspektif Historis" adalah tentang wilayah Nusantara yang telah lama menjadi tempat yang kondusif bagi kehidupan manusia purba dan menjadi jalur persinggahan terpenting dalam arus migrasi homosapiens.
Hal ini menjadikan Indonesia sebagai cikal-bakal peradaban di muka bumi. Posisi strategis Indonesia sebagai faktor menarik kedatangan pelbagai arus peradaban dunia.
Dalam konteks ini, bab tersebut membahas bagaimana Indonesia memiliki akar yang kuat dalam historisitas kebangsaan, serta memiliki wawasan global dengan kearifan lokal, dan komitmen pada ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, keadilan, serta pemuliaan hak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsaan Indonesia.
1. Nusantara sebagai Perintis Jalan Globalisasi
Bab "Nusantara sebagai Perintis Jalan Globalisasi" membahas peran Nusantara dalam sejarah globalisasi. Wilayah Nusantara telah menjadi tempat yang kondusif bagi kehidupan manusia purba dan menjadi jalur persinggahan terpenting dalam arus migrasi homosapiens, sebelum menyebarkan ke tempat lain di muka bumi. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai cikal-bakal peradaban di muka bumi.
Selain itu, bab ini juga menyoroti peran Nusantara sebagai perintis dari
"globalisasi purba" melalui peran Sriwijaya dan Majapahit sebagai imperium besar sepanjang abad ke-7 hingga ke-15. Nenek moyang bangsa Indonesia dianggap sebagai perintis dari globalisasi purba melalui penjelajahan samudera dan kekuatan maritim yang jaya pada saat kontak antarbenua berbasis laut.
Bab ini juga membahas kemegahan Nusantara sebagai kesatuan maritim yang menjadi kekuatan laut yang jaya, serta peran para penjelajah Nusantara sebagai katalis perniagaan antara Romawi, India, dan Timur Jauh, terutama dalam perniagaan rempah-rempah.
Selain itu, bab ini juga membahas intensifikasi globalisasi modern yang menuntut setiap bangsa untuk memiliki wawasan internasionalisme dalam rangka ikut melaksanakan ketertiban dunia yang menjamin kemerdekaan, perdamaian, dan
keadilan dalam pergaulan antar bangsa. Hal ini menuntut perubahan paradigmatik dalam hubungan internasional dari prinsip "zero-sum-game" menuju prinsip "win- win-solution".
Dengan demikian, bab ini menggambarkan bagaimana Nusantara telah memainkan peran penting dalam sejarah globalisasi, baik melalui peran maritimnya, penjelajahan samudera, maupun dalam konteks globalisasi modern.
2. Arus Balik: Globalisasi di Nusantara
Inti pembahasan dari bab "Arus Balik: Globalisasi di Nusantara" adalah tentang bagaimana arus peradaban tidak bergerak dalam satu arah saja. Hal ini terlihat dari perjumpaan antarperadaban yang membawa proses saling belajar.
Teknologi pelayaran Nusantara dipelajari dan dikembangkan oleh komunitas peradaban lain, sementara para penjelajah Nusantara mengambil dan mengembangkan nilai-nilai dan pengetahuan dari peradaban lain.
Melalui proses persilangan budaya dan perdagangan, terjadilah arus masuk nilai-nilai budaya dan agama ke Nusantara, terutama dari India, Arab, Persia, China, dan Eropa. Pengaruh Indianisasi (Hindu-Budha) mulai dirasakan pada abad ke-5, bersama kemunculan dua kerajaan yang terkenal, Kerajaan Mulawarman di Kaltim dan Tarumanegara di Jawa.
Pengaruh Islamisasi pun mulai dirasakan secara kuat pada abad ke-13 dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Kerajaan Samudera Pasai di sekitar Aceh. Pengaruh China mulai dirasakan sejak abad ke-14 pada zaman Dinasti Ming di China. Pengaruh pembaratan mulai dirasakan pada abad ke-16 dimana negara-negara kolonial mulai berdatangan seperti Portugis, kemudian disusul dengan Belanda dan Inggris.
Intensifikasi globalisasi modern menuntut setiap bangsa untuk lebih memiliki wawasan internasionalisme dalam rangka ikut melaksanakan ketertiban dunia yang menjamin kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan dalam pergaulan
antar bangsa. Hal ini menuntut perubahan paradigmatik dalam hubungan internasional dari prinsip "zero-sum-game" menuju prinsip "win-win-solution".
3. Stimulus Pembaratan bagi Kesadaran Kemajuan
Inti pembahasan dari bab "Stimulus Pembaratan bagi Kesadaran Kemajuan" adalah tentang bagaimana proyek kolonialisme yang bersahutan dengan
revolusi industri membawa perubahan besar dalam dunia kerja dan kehidupan, yang membawa konflik dalam hubungan eksternal dan internal bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika Utara. Hal ini mencakup konflik antar bangsa dalam memperebutkan tanah jajahan, sumber daya, dan pasar internasional, serta konflik antar kelas secara internal di masing-masing bangsa. Masa ini juga ditandai dengan rumusnya pelbagai paham ideologi sebagai ikhtiar emansipasi, dengan adanya usaha arus balik ke masa praindustrial dan pengadopsian tatanan baru yang sepadan dan relevan dengan tantangan industri.
4. Stimulus Islam bagi Kesadaran Kemajuan
Inti pembahasan dari bab "Stimulus Islam bagi Kesadaran Kemajuan"
adalah tentang bagaimana gerakan reformisme-modernisme Islam di Timur Tengah melakukan usaha modernisasi terhadap lembaga pendidikan Islam tradisional. Usaha modernisasi dikembangkan dengan mengadopsi kurikulum, metode pembelajaran, dan teknologi pendidikan modern model Barat yang dikombinasikan dengan isi dan semangat pengajaran Islam. Dari proses ini, muncul "ulama-intelek" yang dengan jaringan madrasahnya mengembangkan pula rumah-rumah penerbitan, institusi-institusi sosial, dan organisasi-organisasi keagamaan baru melalui proses apropriasi terhadap model Barat. Institusi-institusi tersebut berperan penting dalam meluaskan gerakan kemajuan dan ruang publik modern di luar orbit priyayi dan sel-sel inti pembaratan.
5. Stimulus China bagi Kesadaran Kemajuan
Inti pembahasan dari bab "Stimulus China bagi Kesadaran Kemajuan"
adalah tentang bagaimana imigran keturunan China (Tionghoa) di Nusantara pada abad ke-19 mengalami peningkatan dan memainkan peran penting dalam
perekonomian. Mereka memainkan peran penting dalam perdagangan dan dipekerjakan oleh pemerintah kolonial sebagai agen perantara bagi pasar dalam negeri. Logika kapitalisme Tionghoa mendorong mereka menuju media massa yang berorientasi kemajuan, mendirikan pers mereka sendiri, dan mencontoh klub sosial serta sistem pendidikan bergaya Eropa. Stimulus ini juga dipengaruhi oleh keberhasilan revolusi Dr. Sun Yat Sen pada 1911, yang memotivasi Tionghoa untuk lebih maju.
Stimulus China bagi Kesadaran Kemajuan Pada abad ke-19 arus imigran keturunan China (Tionghoa) di Nusantara mengalami peningkatan. Mereka datang untuk dipekerjakan. Meskipun kaum minoritas, Tionghoa memainkan peran penting, khususnya dalam perekonomian. Berkat kecakapannya dalam perdagangan, pemerintah kolonial memanfaatkannya sebagai agen perantara bagi pasar dalam negeri. Kemudian logika kapitalisme Tionghoa mendorong dan menggerakkan mereka menuju media massa yang berorientasi kemajuan. Mereka mulai mendirikan pers mereka sendiri, pers itu tidak sekedar merespon kepentingan-kepentingan komersial saja tapi juga melayani aspirasi-aspirasi kemajuan. Tionghoa juga mencontoh klub-klub sosial dan sistem pendidikan bergaya Eropa yang membuat mereka selangkah lebih maju. Diceritakan pula bahwa Tionghoa semakin termotivasi setelah Dr. Sun Yat Sen memenangkan revolusi pada 1911, Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok Merdeka.
6. Negosiasi Antarperadaban dalam Konstruksi Kebangsaan Indonesia
Inti pembahasan dari bab "Negosiasi Antarperadaban dalam Konstruksi Kebangsaan Indonesia" adalah tentang bagaimana pada dekade kedua abad ke-20, muncul gerakan sosial intelijensia di Hindia sebagai respons terhadap segregasi sosial kolonial. Gubernur Jenderal Idenburg, yang termasuk kaum Ethici, mempengaruhi struktur peluang politik dengan mendukung kelompok Kristen.
Konflik antara usaha Kristenisasi dan intensifikasi Islamisasi berkembang, sementara organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam melampaui batas kedaerahan. Sumber dari inspirasi kebangkitan itu pada kenyataannya bukan hanya dari Barat yang menjadi penjelmaan kemajuan, namun juga dari Timur. Demikianlah kemajuan keturunan Tionghoa dan kebangkitan
nasionalisme di China serta pelbagai negeri lainnya di Asia seperti Jepang, memberi inspirasi bagi gerakan kemajuan dan kebangkitan di Tanah Air.
B. Kemanusiaan (Internasionalisme) dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi Inti pembahasan pada bab "Kemanusiaan (Internasionalisme) dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi" membahas bagaimana prinsip kemanusiaan (Internasionalisme) menjadi dasar Negara Indonesia merdeka, yang tercermin dalam Pancasila dan konstitusi. Pancasila, sebagai falsafah negara, menekankan prinsip kesamaan dan kesederajatan dalam hubungan antarmanusia dan antarbangsa, serta memperjuangkan kedamaian, keadilan, dan penghormatan hak asasi manusia. Hal ini menunjukkan kesadaran internasionalisme yang diterapkan dalam konstruksi kebangsaan Indonesia.
Prinsip kemanusiaan (Internasionalisme) dijelaskan sebagai dasar Negara Indonesia merdeka, yang tercermin dalam Pancasila dan konstitusi. Pancasila menekankan prinsip kesamaan dan kesederajatan dalam hubungan antarmanusia dan antarbangsa, serta memperjuangkan kedamaian, keadilan, dan penghormatan hak asasi manusia. Hal ini menunjukkan kesadaran internasionalisme yang diterapkan dalam konstruksi kebangsaan Indonesia.
Prinsip kemanusiaan (Internasionalisme) sebagai salah satu dasar Negara Indonesia merdeka memperoleh formulasinya yang lebih jelas dalam pidato Soekarno ketika menguraikan Pancasila, pada sidang BPUPKI, 1 Juni 1945. Dalam rancangan pembukaan UUD yang disusun oleh Panitia Sembilan, peletakan prinsip internasionalisme (perikemanusiaan) sebagai dasar Negara itu sama seperti dalam pidato Soekarno, yakni sebagai prinsip (sila) kedua dari Pancasila.
C. Perspektif Teoretis-Komparatif
Inti dari bab “Perspektif Teoritis-Komparatif” adalah pentingnya merawat persaudaraan antarbangsa, yang terbukti dari andil bangsa-bangsa. Hal ini mencakup pentingnya dialog antara nilai-nilai universal dalam wacana kemanusiaan dengan khazanah kearifan lokal, serta pentingnya memadukan visi global dengan daya cerna budaya lokal.
Bab ini juga membahas konteks historis pergumulan Indonesia dalam realitas global serta dari perspektif teoritis-komparatif dalam persoalan internasional
dan penegakan hak-hak asasi manusia. Pada akhirnya, bab ini mengemukakan beberapa pokok pikiran mengenai peluang dan ancaman kemanusiaan dalam realitas intensifikasi arus globalisasi.
Dalam konteks ini, nilai-nilai universal dalam wacana kemanusiaan harus didialogkan dengan khazanah kearifan lokal, visi global harus dipadukan dengan daya cerna budaya lokal. Dalam perjuangan kemanusiaan bangsa Indonesia, proses dialogis ini dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi.
Bab ini akan menguraikan kontekstualisasi sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam politik kebangsaan Indonesia. Untuk itu, penulis akan mencoba menyoroti konteks historis pergumulan Indonesia dalam realitas
global serta dari perspektif teoritis-komparatif dalam persoalan internasional dan penegakan hak-hak asasi manusia. Pada akhirnya, beberapa pokok pikiran mengenai peluang dan ancaman kemanusiaan dalam realitas intensifikasi arus globalisasi akan dikemukakan.
1. Dekolonisasi, Demokratisasi dan HAM dalam Konteks Perang Dingin
Inti pembahasan dari bab "Dekolonisasi, Demokratisasi dan HAM dalam Konteks Perang Dingin" adalah tentang periode dekolonisasi yang terjadi antara 1945-1960, yang beriringan dengan gelombang demokratisasi kedua dan peningkatan kesadaran akan hak asasi manusia (HAM) pasca Perang Dunia II.
Namun, hal ini menemui hambatan ketika dunia memasuki suasana Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Periode ini menampilkan persaingan sengit antara kedua blok dalam berbagai bidang kehidupan, yang kemudian meluas ke seluruh dunia.
Selama Perang Dingin, pelaksanaan proyek HAM PBB mengalami hambatan serius akibat konflik Timur-Barat dan pembelahan Utara-Selatan. Posisi Indonesia dalam konteks Perang Dingin dijelaskan melalui prinsip politik luar negeri bebas aktif yang dirumuskan oleh Mohammad Hatta. Indonesia berperan aktif dalam mempromosikan gerakan non-blok sebagai upaya untuk memperjuangkan koeksistensi damai dalam suasana Perang Dingin. Kesadaran akan pentingnya solidaritas internasional juga terlihat ketika Indonesia menjadi
anggota resmi PBB pada 28 September 1950 setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.
2. Posisi Indonesia dalam Konteks Perang Dingin
Inti pembahasan dari bab "Posisi Indonesia dalam Konteks Perang Dingin" adalah tentang peran Indonesia dalam memperjuangkan koeksistensi damai dalam suasana Perang Dingin. Pilihan posisi Indonesia untuk memperjuangkan koeksistensi damai dalam suasana perang dingin itu dirumuskan oleh Mohammad Hatta dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif. Indonesia berperan aktif dalam mempromosikan gerakan non-blok sebagai upaya untuk memperjuangkan koeksistensi damai dalam suasana Perang Dingin. Kesadaran akan pentingnya solidaritas internasional juga terlihat ketika Indonesia menjadi anggota resmi PBB pada 28 September 1950 setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.
Dalam pidato Muhammad Hatta, Mendayung di Antara Dua Karang, yang disampaikan di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat di Yogyakarta pada 1948, dengan jeli Bung Hatta menangkap potensi konflik internal antarkelompok elite sebagai luberan konflik eksternal setelah peristiwa Linggarjati dan Renville.
Pilihan untuk mendayung di antara dua karang ini mendorong Indonesia untuk berperan aktif dalam mempromosikan gerakan non-blok. Istilah "non-blok"
diperkenalkan oleh Perdana Menteri India Nehru dalam pidatanya tahun 1954 di Colombo, Sri Lanka.
Dukungan internasional atas kemerdekaan Indonesia semakin terasa setelah agresi militer Belanda I (21 Juli 1947-5 Agustus 1947). Dengan agresi itu, pengakuan de facto atas Indonesia justru berdatangan mengalir dari negara-negara sahabat seperti Afghanistan, Birma, Arab Saudi, Yaman, dan Rusia.
3. Perbedaan Perspektif tentang HAM: Universalisme versus Partikularisme Inti pembahasan dari bab “Perbedaan perspektif tentang HAM:
universalisme versus partikularisme” adalah tentang perbedaan dalam pemahaman dan penerapan hak asasi manusia (HAM) antara perspektif universalisme dan partikularisme. Perspektif universalisme menekankan bahwa HAM adalah hak
semua orang, berasal dari konsep hukum alam yang menegaskan bahwa manusia memiliki hak alamiah tertentu untuk hidup, bebas, dan memiliki kepemilikan. Di sisi lain, perspektif partikularisme memandang bahwa norma-norma HAM tidak muncul dari ruang hampa, melainkan dibentuk oleh pengalaman masyarakat tertentu. Perbedaan ini juga mencakup karakter HAM, peran individu versus masyarakat, serta penentuan waktu dan penahapan implementasi HAM dan penegakannya. Perbedaan ini mencerminkan kesulitan dan masalah yang dihadapi negara-negara Dunia Ketiga dalam melaksanakan HAM dan demokrasi dalam suasana dunia yang diwarnai oleh bentrokan Timur-Barat serta kesenjangan Utara-Selatan.
Perbedaan Perspektif tentang HAM: Universalisme versus Partikularisme.
Kesulitan dan masalah yang melanda Indonesia itu merefleksikan kecenderungan umum negara-negara Dunia Ketiga yang mengalami hambatan yang serius untuk melaksanakan HAM dan demokrasi dalam suasana dunia yang diwarnai oleh bentrokan Timur-Barat serta kesenjangan Utara-Selatan. Akar kontroversi penerapan HAM di negara-negara Dunia Ketiga bermula dari perbedaan persepsi mengenai watak HAM sebagai ekspresi budaya. Ada dua narasi besar, universalisme dan partikularisme (relativism cultural), yang karena perbedaan fundamental dalam konsepnya mengakibatkan perbedaan pemahaman atas ; a. karakter HAM (apakah internasional atau murni domestik)
b. pentingnya individu sebagai lawan hak masyarakat
c. penentuan waktu dan penahapan implementasi HAM dan penegakannya.
4. Persoalan HAM dan Relevansi Internasionalisme di Era Globalisasi
Inti pembahasan dari bab "Persoalan HAM dan Relevansi Internasionalisme di Era Globalisasi" adalah tentang dampak globalisasi modern dan posmodern terhadap hak asasi manusia (HAM) serta relevansi internasionalisme dalam konteks era globalisasi. Bab ini membahas bagaimana globalisasi modern dan posmodern memengaruhi struktur kehidupan manusia secara mendalam, termasuk dalam aspek kehidupan sehari-hari. Hal ini juga membahas perlombaan teknologi antara negara-negara adikuasa yang mempengaruhi bidang persenjataan dan teknologi informasi, serta bagaimana globalisasi memengaruhi cara hidup manusia secara mendalam, termasuk dalam
aspek kehidupan sehari-hari. Bab ini juga membahas perlombaan teknologi antara negara-negara adikuasa yang mempengaruhi bidang persenjataan dan teknologi informasi, serta bagaimana globalisasi memengaruhi cara hidup manusia secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan.
Globalisasi modern dan posmodern menemukan pijakannya dari perlombaan gengsi antarnegara adikuasa yang mengarah pada penemuan- penemuan teknologi mutakhir, terutama dalam bidang persenjataan yang kemudian berkelindan dengan bidang telematika. Pada 4 Oktober 1957, satelit pertama buatan manusia, “Sputnik 1”, diluncurkan oleh Uni Soviet. Peluncuran ini memicu lomba ruang angkasa (space race) antara Uni Soviet dan Amerika.
Revolusi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi membawa “distansiasi ruang-waktu” (time-space distanciation) sekaligus “pemadatan ruang-waktu”
(time-space compression) yang merobohkan batas-batas ruang dan waktu konvensional (Giddens, 1999; Harvey, 1989). Dengan fenomena ini, globalisasi meestukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan.
D. Membumikan Kemanusiaan dalam Kerangka Pancasila
Inti pembahasan dari bab "Membumikan Kemanusiaan dalam Kerangka Pancasila" adalah tentang bagaimana nilai-nilai kemanusiaan universal dalam kerangka Pancasila dapat dijadikan pegangan dalam mengantisipasi tantangan globalisasi. Bab ini juga membahas bagaimana Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prinsip pem- beradaban manusia dan bangsa Indonesia, serta bagaimana persoalan HAM menjadi tantangan serius dalam membuktikan komitmen kemanusiaan bangsa Indonesia di tengah tekanan globalisasi yang semakin luas cakupannya.
Selain itu, bab ini juga membahas pentingnya dialog antara nilai-nilai universal dalam wacana kemanusiaan dengan khazanah kearifan lokal, serta bagaimana proses dialogis ini dikembangkan melalui eksternalisasi dan internalisasi.
Inti pembahasan dari bab ini adalah tentang bagaimana nilai-nilai kemanusiaan dalam kerangka Pancasila dapat menjadi landasan dalam menghadapi tantangan globalisasi
dan bagaimana nilai-nilai tersebut dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai lokal untuk memperkuat kemanusiaan bangsa Indonesia.
BAB III KESIMPULAN
Indonesia memiliki sejarah yang kaya dalam konteks kemanusiaan universal, dengan pengaruh globalisasi yang signifikan. Komitmen Indonesia terhadap kemanusiaan universal tercermin dalam prinsip-prinsip Pancasila dan Konstitusi, serta dalam kebijakan luar negeri yang berbasis pada prinsip non-blok dan promosi perdamaian. Meskipun menghadapi tantangan dalam implementasi hak asasi manusia dan demokrasi yang dipengaruhi oleh konflik global Timur-Barat dan Utara-Selatan, Pancasila dianggap sebagai panduan yang relevan dalam menghadapi globalisasi
modern, dengan visi kemanusiaan yang adil dan beradab. Reformasi PBB juga dianggap penting untuk menghadapi tantangan globalisasi modern dan mempromosikan kemanusiaan universal.
PUSTAKA RUJUKAN
Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna – Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.