Ketika Malam Pamit
Oka Suardana
Aku masih tak beranjak dari awal aku duduk di tempat ini. Malam telah berpamitan padaku beberapa waktu lalu. Dia undur diri bersama dalam pelukan awan dingin di kotaku. Hanya tinggal beberapa batang rokok dan gelas kopi, yang telah tandas semenjak tadi, mau temaniku. Aku masih enggan menyusul malam. Bergelung dalam selimut dan dihipnosis oleh indah buaian peluk tubuhnya.
Entah apa yang menggangguku kali ini. Aku benar- benar enggan untuk beranjak.
Untung saja hujan rela datang menemaniku.
Membawa beberapa rintiknya untuk kuhitung.
“Sekadar untuk Kau habiskan waktumu yang lowong,” kata hujan beberapa saat lalu. Rintik hujan perlahan mengetuk muasal gelisahku. Perlahan awalnya, lalu ketukan itu berubah menjadi guncangan-guncangan besar dalam pikiranku. Lalu benderanglah muasal masalah ini. Masalah yang membuat tidurku malam ini kabur tunggang langgang. Aku baru menyadari, ada janji tak tuntas dalam perjalanan hari-hariku.
Aku ingat, dulu pernah berjanji kepada kakek.
Janji masa kecil yang harusnya mengikatku sampai kini. Janji dua lelaki. Dan malam ini, Aku mengenang kembali janjiku pada kakek. Ketika itu, aku masih bocah. Kakek hanya diam saat kami pergi ke sawah. Biasanya saat mengusir burung, kakek
selalu ceria dan bercerita panjang lebar. Cerita tentang Dewi Kesuburan, cerita tentang muasal padi, cerita soal burung yang selalu mengincar padi.
Segala macam cerita biasanya diceritakan. Tumben hari itu kakek agak diam. Pandangannya jauh. Aku buru-buru mengajak kakek mengobrol. Saat itu Aku takut kakek kesurupan. Ternyata bukan.
Tiba-tiba saja kakek memintaku berjanji padanya. Katanya, kakek ingin Aku berjanji menjaga sawah dan sungai dekat rumah kami. Dia tidak ingin generasi berikutnya hanya tahu sawah dari cerita orang tua mereka. Kakek juga tidak ingin melihat anak-anak hanya tahu sungai dari buku sejarah saja.
“Maukah Kau berjanji Yan?” mata kakek menatapku lekat-lekat saat pertanyaan itu jatuh untuk kedua kalinya. “Aku janji Kek,” jawabku tanpa paham maksud kakek saat itu. Yang Aku tahu saat itu hanya perasaan bangga. Kakekku, lelaki paling gagah dan ramah, menitipkan cita-citanya padaku.
Janji inilah yang menghantuiku malam ini.
Ketika malam telah pamit dan fajar pun enggan menjelang, Aku terbenam oleh janji itu. Janji yang tanpa sengaja aku lupakan. Janji yang tanpa sadar aku langgar sendiri. Kini, teringat janji itu, ada rongga besar di dadaku. Menganga lebar dan semakin lebar saat aku hirup batang rokokku. Janji itu tinggalkan luka besar di dadaku. Bagaimana Aku mampu melupakan janjiku pada kakek? Lelaki idolaku sepanjang masa?
Luka ini semakin perih jika ingat bahwa Aku juga berperan merusak mimpi kakek. Peranku sangat besar malah. Akulah perancang gedung- gedung baru itu. Aku pula yang mengusulkan lokasi gedung itu. Aku lupa pada janjiku pada kakek. Aku lupa pernah berjanji menjaga sawah dan melindungi sungai demi kakek. Aku juga lupa betapa Aku selalu kagum pada padi yang mulai menguning di sawah itu. Padi itu dulu kubayangkan sebagai awan-awan kuning yang bersandar di kerasnya bumi. Lalu saban sore, sungai adalah lahan bermainku bersama teman-teman. Memancing ikan kecil malang atau iseng mencuri ubi tetangga kemudian membakarnya di pinggir sungai. Aku dulu begitu mengagumi dua tempat itu. Lalu kini Aku sendiri yang merusak mereka. Luka dalam hatiku semakin menyayat. Semakin perih. Hujan pun tak lagi hanya mengetuk tetapi sudah memukul mukaku dengan keras.
Hujan semakin keras menamparku, luka ini semakin aku sadari. Kali ini hujan mengantarku menuju penyesalan paling dalam. Penyesalan yang akan terus menghantuiku. Dia akan terus menerjang hari-hariku selepas malam ini. Tak bisa kuelakkan. Tak bisa kukendalikan. Kata-kata kakek terus terngiang di kepalaku. “Sawah dan sungai di daerah kita menyimpan banyak cerita Yan. Tidak hanya buat Kakek, tapi juga untuk penduduk lainnya,” kata kakek waktu itu. Semakin kuingat, semakin kumerasa sesak. Semakin tak nikmat rokok ini kurasakan.
Malam telah pamit dan Aku masih meratap.
Menahan luka sedalam-dalamnya. Menyayat ruang pikiranku. Kini tak ada lagi sawah di kotaku. Sungai telah kering. Aku menjadi orang yang bertanggung jawab atas itu. Akulah yang membuat anak-anak di kota ini hanya tahu sawah dari gambar. Aku juga yang membuat anak di kota ini hanya tahu kota ini pernah punya sungai indah. Sawah dan sungai letak cerita-cerita kota ini berkembang. Cerita soal tawa dan gurau anak-anak lampau. Kini justru anak-anak itulah biang kerok menghilangnya sawah dan sungai tempat mereka menampung cerita.
Aku semakin sesak dan gamang. Tak mampu lagi menatap hujan di luar sana. Hujan pun sepertinya mengejekku dengan datang lebih deras.
Bersama rintik hujan itu, kulihat bayangan kakek berada di tengah hujan. Menatapku lekat-lekat.
Wajahnya murung. Jelas terlihat kecewa. Aku hanya mematung. Tak berani menatap kakek. Bersama akhir hujan, kakek pergi dan tak menoleh padaku.
Aku masih diam. Tak bisa berkata apa. Hanya ada duka dalam otakku. Janji telah kulanggar. Hanya tinggal aku sendiri. Diam dalam gamang. Malam telah pamit dan fajar enggan datang untukku hari ini.
@oka_suardana