• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN SIYASAH TERHADAP KEWENANGAN GUBERNUR DALAM MELAKUKAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN KEPALA DAERAH KABUPATEN/KOTA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "TINJAUAN SIYASAH TERHADAP KEWENANGAN GUBERNUR DALAM MELAKUKAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN KEPALA DAERAH KABUPATEN/KOTA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH SKRIPSI"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mekanisme pencabutan/pembatalan Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, dan Keputusan Kepala Daerah yang bermasalah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung2.

Rumusan Masalah

Oleh karena itu, kewenangan pencabutan peraturan daerah tidak boleh berada di tangan pemerintah, melainkan dilaksanakan oleh Mahkamah Agung melalui proses pengujian peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang. Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Tinjauan Siyasah Kewenangan Gubernur Dalam Pembatalan Peraturan Daerah Dan Peraturan Kepala Daerah Kabupaten/Kota Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah”.

Tujuan penelitian

Kegunaan Penelitian

Penelitian Terdahulu

Tesis ini ditulis dengan tujuan untuk membatalkan peraturan daerah syariah menurut peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. 5 Muhammad Zulpianoor berjudul “Pencabutan Peraturan Daerah Syariah Menurut Sudut Pandang Menteri Dalam Negeri Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-undangan di Republik Indonesia”.

Metode Penelitian

  • Jenis dan pendekatan penelitian
  • Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Pendekatan penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian yang dilakukan dari beberapa pendekatan diatas adalah Pendekatan Statuta. Selain pendekatan perundang-undangan, penulis juga menggunakan pendekatan komparatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara membandingkan peraturan atau keputusan hukum.

Sistematika Penulisan

Bahan hukum sekunder yang utama adalah buku teks karena buku teks tersebut memuat prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para ulama yang mempunyai kualifikasi tinggi. 13 Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang digunakan antara lain. Data yang digunakan berupa data bahan hukum, karena berasal dari bahan hukum dari konsep peraturan atau undang-undang yang akan dianalisis. A.

LANDASAN TEORI

Teori Kewenangan

Kewenangan kharismatik adalah wewenang yang didasari oleh kharisma, yaitu suatu kemampuan khusus yang melekat pada diri seseorang, suatu kemampuan yang diyakini sudah ada sejak lahir pada diri seseorang. Kewenangan adat adalah wewenang yang dapat dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang. Kewenangan informal merupakan hubungan yang timbul antar individu yang bersifat situasional dan sifatnya ditentukan oleh pihak-pihak yang saling berhubungan. Kewenangan resmi bersifat sistematis, dapat diperhitungkan, dan rasional. Biasanya wewenang ini terdapat pada kelompok besar yang memerlukan aturan. peraturan yang tetap dan permanen. Otoritas pribadi lebih didasarkan pada tradisi dan/atau karisma. Kewenangan teritorial adalah kewenangan yang dilihat dari wilayah tempat tinggalnya. Kewenangan harus didasarkan pada ketentuan hukum (konstitusi) yang ada, sehingga kewenangan merupakan kewenangan yang sah.

Adapun sifat kewenangan pemerintahan yaitu bersifat mengikat, fakultatif dan independen, terutama yang berkaitan dengan kewenangan mengambil dan mengeluarkan keputusan atau resolusi dan ketetapan atau disposisi oleh organ pemerintahan, sehingga diketahui terdapat keputusan-keputusan yang bersifat mengikat. mengikat adalah. dan bebas bersifat mengikat, yaitu terjadi apabila peraturan pokok menentukan kapan dan dalam keadaan apa izin tersebut dapat digunakan atau peraturan pokok sedikit banyak menentukan isi dan keputusan yang harus diambil. Terdapat dua kewenangan yaitu kewenangan fakultatif dan kewenangan diskresi. . Menurut Indroharto, wewenang diperoleh melalui pengakuan, pendelegasian, dan mandat Pemberian wewenang biasanya dituangkan dalam pembagian kekuasaan negara melalui UUD. Wewenang pendelegasian dan mandat adalah wewenang yang timbul dari pendelegasian. Brouwer berpendapat bahwa atribusi adalah kewenangan yang diberikan oleh badan legislatif yang independen kepada suatu organ (lembaga) pemerintah atau lembaga negara.

Pendelegasian adalah pengalihan wewenang dari pemberian wewenang suatu badan pemerintah (lembaga) kepada badan lain sehingga pemberi kuasa (badan yang memberi wewenang) dapat menguji wewenang tersebut atas namanya, sedangkan dalam suatu amanat tidak terjadi peralihan wewenang. wewenangnya, tetapi pemberi mandat memberikan wewenang kepada badan lain (mandat) untuk mengambil keputusan atau mengambil tindakan atas namanya.

Teori Hak Menguji (Toetsingsrecht)

Yang dimaksud dengan hak uji formal adalah kekuasaan untuk menilai apakah suatu produk peraturan perundang-undangan, misalnya undang-undang, telah dilaksanakan melalui prosedur yang ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. produk hukum yang dibentuk oleh Perwakilan Rakyat (Pasal 20 Perubahan UUD 1945). Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang tertentu dan Mahkamah Agung menguji peraturan hukum berdasarkan undang-undang. 28 Maria Farida, Permasalahan Hak untuk Mengkaji Peraturan Hukum dalam Teori Legislatif, Seri Buku Ajar, (Jakarta: FHUI, 2000) hal.105.

Sedangkan kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam ketentuan Pasal 24A ayat (1) yang berbunyi: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.” Legislative review merupakan pengujian substantif yang dilakukan oleh lembaga legislatif terhadap peraturan perundang-undangan dalam konteks Indonesia. Legislative review dilakukan DPR terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). 18 Menurut Victor Immanuel W. Sementara itu, tinjauan eksekutif adalah pengujian yang dilakukan oleh lembaga eksekutif terhadap peraturan perundang-undangan (regulasi) dan/atau keputusan administratif.

Hal ini jelas diatur dalam ketentuan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi dengan tunduk pada peraturan perundang-undangan berdasarkan undang-undang. terhadap hukum diuji".32.

Teori Perundang-Undangan

39 Maria Farida, , Permasalahan Hak untuk Mengkaji Peraturan Hukum dalam Teori Legislatif, Seri Buku Ajar, (Jakarta: FHUI, 2000) hal.105.h. Namun pembentukan tersebut tidak hanya harus didasarkan pada asas-asas penyusunan ketentuan hukum, baik asas formal maupun substantif, tetapi juga harus dilaksanakan melalui tata cara yang diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.40. Ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan peraturan negara pada tingkat pusat dan daerah, yang dibentuk atas dasar kewenangan undang-undang, bersifat atributif atau didelegasikan.

Pengertian lain dari peraturan hukum menurut Attamimi adalah peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah, yang dibentuk atas dasar kewenangan hukum, baik yang bersifat atributif maupun yang didelegasikan.41. Menurut Maria Farida Indrati, istilah peraturan perundang-undangan (legislasi, peraturan perundang-undangan atau gesetzgebung) mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu: 45. Undang-undang nomor 12 tahun 2011 menjelaskan Pasal 9 tentang tata tertib peraturan perundang-undangan.

Dalam hal suatu peraturan perundang-undangan diduga melanggar Undang-Undang, maka peninjauan kembali dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Siyasah Dusturiyah

Dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujian dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam kajian fiqih siyasah, peraturan perundang-undangan atau kekuasaan legislatif disebut juga dengan Al-sultah Al-Tasyri'iyah, yaitu kekuasaan pemerintahan Islam untuk membuat dan melaksanakan undang-undang. Dalam wacana fiqh siyasah, istilah Al-Sultah Al-Tasyri'iyah digunakan untuk menunjukkan salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintahan Islam dalam pengaturan urusan kenegaraan, selain kekuasaan eksekutif (Al-Sultah Al-Tanfiziyyah ) dan kekuasaan kehakiman boleh (Al-Sultah Al-Qada' Ja).

Dalam konteks ini kekuasaan legislatif berarti kekuasaan atau wewenang pemerintahan Islam untuk menentukan undang-undang yang akan dilaksanakan dan dilaksanakan oleh rakyatnya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diturunkan oleh Allah SWT dalam hukum Islam. Dengan kata lain, dalam Al-Sultah Al-Tasyri'iyah, pemerintah menjalankan tugas siyasah syar'iyah untuk membentuk suatu hukum yang akan diberlakukan dalam masyarakat Islam untuk kemaslahatan umat Islam, sesuai dengan ajaran Islam. Menurut Rahman dalam buku karya Muhammad Iqbal, ijtihad yang dihasilkannya sebagai lembaga legislatif menjadi hukum yang mengikat, namun tidak lepas dari kemungkinan benar atau salah.

Di sinilah perlunya Al-Sultah Al-Tasyri'iyah disempurnakan oleh mujtahid dan ahli fatwa, sebagaimana dijelaskan di atas.

PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

Kewenangan Gubernur Dalam Pembatalan Peraturan Daerah

Peraturan daerah provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan, dibatalkan oleh Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat. Dalam hal Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan/atau Peraturan Kabupaten/Walikota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam 2, Menteri membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan/atau Peraturan Bupati/Walikota.

Pencabutan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sedangkan tinjauan eksekutif adalah penilaian yang dilakukan oleh badan eksekutif terhadap peraturan hukum (peraturan) dan/atau keputusan administratif pemerintahan (keputusan). Senada dengan pernyataan dalam Pasal 9 ayat (2) UU 12/2011 berbunyi: “Dalam hal suatu ketentuan hukum berdasarkan undang-undang bertentangan dengan undang-undang, maka peninjauan kembali dilakukan oleh Mahkamah Agung.”

Peraturan Kepala Daerah dibatalkan oleh gubernur sebagai mekanisme pengawasan Presiden atau Menteri dan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah atau dengan kata lain sebagai bentuk pengawasan, bukan peninjauan kembali terhadap peraturan perundang-undangan.

PENUTUP

Kesimpulan

Kewenangan Gubernur untuk membatalkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah Kabupaten/Kota didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, bahwa pembatalan peraturan daerah bukan menjadi kewenangan Gubernur atau Kementerian dalam hal tersebut. bahwa Peraturan Daerah ini telah mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga gubernur hanya dapat memberikan evaluasi terhadap peraturan daerah kabupaten/kota. Pencabutan peraturan induk daerah merupakan kewenangan gubernur sehubungan dengan kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat, sehingga sebagai mekanisme pengendalian pemerintah pada hakekatnya adalah sebatas fungsi administratif negara. Dan juga dalam siyasah, dusturiyah mewajibkan kepala negara dan legislatif membuat peraturan untuk kemaslahatan ummat, dan peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits.

Pembatalan peraturan daerah dan peraturan bupati kabupaten/kota berdasarkan undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, sebagaimana dalam putusan Mahkamah Konstitusi no. 137/PUU-XIII/2015 bahwa pembatalan peraturan daerah dilakukan melalui lembaga peradilan. yaitu melalui Mahkamah Agung.

Saran

Farida, Maria, Masalah Hak Mengkaji Peraturan Hukum dalam Teori Legislatif, Handbook series, Jakarta:FHUI, 2000. Kaloh, J, Kepemimpinan kepala daerah: pola kegiatan, kekuasaan dan perilaku kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah otonomi, Sinar Grafa, Jakarta, 2010. Riwu Kaho, Josef, Prospek Otonomi Daerah Republik Indonesia, Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.

Ronny Rahman Nitibaskara, Tubagus, Paradoks Konflik dan Otonomi Daerah, Garis Besar Bayangan Konflik Prospek Otonomi Daerah Masa Depan, Sinar Mulia, Jakarta, 2002. Majid Ali, Analisis Kritis Kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Penyelesaiannya Sengketa Hukum Melalui Mediasi Legislatif, Jurnal Al-Imarah, Vol. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Keputusan Pemerintah Daerah Nomor 137/PUU-XIII/2015.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 33 Tahun 2018 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat.

Referensi

Dokumen terkait

Wewenang Gubernur dalam rangka pembinaan dan pengawasan Perda Kabupaten/Kota didelegasikan kepada Biro Hukum Setda Provinsi Sumatera Utara, kewenangan Gubernur

Bab IV merupakan pembahasan yang paling inti dalam skripsi ini, yaitu analisis terhadap fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut

IIAXULTAS fiUIiUM PROCRAM

Terkait kewenangan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana ketentuan Pasal 251 angka (2), angka (3) dan angka (8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

Jika diteliti di dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, dikaitkan dengan perumusan norma yang terdapat dalam

Undang-Undang No. Kedudukan merupakan jabatan yang menunjukkan tugas, tanggungjawab, wewenang, dan hak seseorang dalam susunan satuan organisasi. Kewenangan adalah hak

Diaturnya Kewenangan Penjabat Kepala Daerah secara jelas dan Tegas dalam Undang-undang Problem pertama dalam pengangkatan Pejabat Kepala Daerah adalah tidak adanya peraturan