TINJAUAN FIKIH SIYASAH TERHADAP FUNGSI
PENGAWASAN DPRD KABUPATEN GARUT DALAM
PEMAKZULAN BUPATI GARUT BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
SKRIPSI
Oleh: Putri Rahayu NIM. C03212025
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan bagaimana fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam mekanisme pemakzulan Bupati Garut berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beberapa waktu lalu dan bagaimana tinjauan fikih siyasah terhadap fungsi pengawasan tersebut.
Data penelitian dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (text reading) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analitis.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terhadap kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah sama halnya dengan fungsi pengawasan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi terhadap khalifah. Fungsi pengawasan yang dilakukan adalah sebagai wujud representasi rakyat demi terciptanya kemaslahatan umat. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidaklah menyebutkan adanya pengawasan DPRD terhadap kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah sampai pada ranah keperdataan. Pengawasan yang dilakukan oleh ahl h}alli wa al-‘aqdi tidak memandang sekat privasi maupun keperdataan seorang khalifah atau kepala negara. Kredibilitas khalifah atau kepala negara yang buruk dapat menjadi sebuah alasan kuat untuk melengserkan kekuasaan khalifah. Adanya kasus perkawinan sirih dan perceraian melalui pesan singkat atas perkawinan sirih tersebut menjadi indikasi adanya tindakan pelanggaran etika dan peraturan perundang-undangan oleh kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah. Walaupun dalam ajaran Islam tidak ada kewajiban pencatatan perkawinan dan perceraian (talak) dapat dilakukan secara lisan, hal ini tidak serta merta mengesampingkan hukum positif di Indonesia yang mewajibkan pencatatan perkawinan dan perceraian di depan sidang pengadilan.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM... i
PERNYATAAN KEASLIAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
PENGESAHAN... iv
ABSTRAK\... v
KATA PENGANTAR... vi
PERSEMBAHAN... viii
MOTTO... ix
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TRANSLITERASI... xiii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 8
C. Rumusan Masalah... 10
D. Kajian Pustaka... 10
E. Tujuan Penelitian... 11
F. Kegunaan Hasil Penelitian... 12
G. Definisi Operasional... 13
H. Metode penelitian... 14
BAB II AHL AL-H}ALLI WA AL-‘AQDI DALAM BIROKRASI
PEMERINTAHAN ISLAM... 20
A. Pengertian Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi... 20
B. Dasar Hukum Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi... 24
C. Kedudukan Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi... 26
D. Syarat-syarat Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi... 28
E. Tugas dan Fungsi Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi dalam Pemakzulan Khalifah... 31
BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITAS NYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH... 39
A. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)... 39
1. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)... 39
2. Dasar hukum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)...40
3. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)... 41
4. Syarat-syarat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)... 43
5. Otoritas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/ DPRD (tugas, fungsi dan wewenang)... 46
B. Pemakzulan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah... 51
1. Makna pemakzulan... 51
2. Dasar hukum pemakzulan... 53
3. Mekanisme pemakzulan di Indonesia... 55
BAB IV ANALISIS FIKIH SIYASAH TERHADAP FUNGSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) KABUPATEN GARUT DALAM PEMAKZULAN BUPATI GARUT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH... 59
A. Pelanggaran Etika... 59
B. Pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan... 62
C. Pemakzulan... 67
A. Kesimpulan... 73
B. Saran... 74
DAFTAR PUSTAKA... 76
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia menganut asas Trias Politika Montesquieu dalam arti pembagian kekuasaan, bukan pemisahan kekuasaan. Hal ini jelas dari pembagian Bab dalam Undang-undang Dasar 1945 yang telah membagi kekuasaan pemerintahan menjadi 3 (tiga) cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif.1 Namun, dalam
perkembangannya Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen menetapkan 4 (empat) kekuasaan dan 7 (tujuh) lembaga negara sebagai berikut:2 Pertama, kekuasaan eksaminatif (inspektif), yaitu Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Kedua, kekuasaan legislatif, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang tersusun atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ketiga, kekuasaan eksekutif, yaitu Presiden dan Wakil Presiden. Keempat, kekuasaan kehakiman (yudikatif), meliputi Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Kelima, lembaga negara bantu, yaitu Komisi Yudisial. Konsep pembagian kekuasaan pun diterapkan sampai di tingkat daerah. Di sana, roda pemerintahan dikendalikan oleh lembaga eksekutif
1 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 287-288.
(gubernur, walikota atau bupati), legislatif (DPRD) dan yudikatif (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi). Kekhususan inipun memberikan ruang bagi setiap lembaga untuk menjalankan tugasnya masing-masing demi kesejahteraan rakyat.
Sistem kerja antara lembaga-lembaga tersebut melalui suatu mekanisme pengawasan dan keseimbangan (check and ballance) di mana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya.3 Misalnya pengawasan yang dilakukan oleh DPRD
Kabupaten Garut selaku pelaksana kekuasaan legislatif di daerah terhadap Bupati Garut sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif di daerah. Sejalan dengan sistem kerja tersebut, kasus yang menjerat mantan Bupati Garut Aceng HM Fikri dapat memberikan gambaran bagaimana sistem pengawasan antar lembaga dijalankan.4
Sebelumnya ramai diberitakan oleh media bahwa Bupati Garut, Aceng Holik Munawar Fikri, melalui kuasa hukumnya Eggi Sudjana melaporkan pansus nikah siri, pimpinan DPRD Kabupaten Garut dan anggota DPRD Kabupaten Garut ke Polres Garut atas dugaan perbuatan tidak menyenangkan dan dokumen palsu yang menjadi dasar pengusulan pemakzulannya. Laporan ini terkait dengan upaya pembelaan yang dilakukannya atas kasus nikah siri yang yang dilakukan Aceng HM Fikri
3 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar..., 284.
4Iman Herdiana, “Pansus Temukan Pelanggaran Bupati Aceng”,
dengan gadis belia, Fani Oktora. Pernikahan itu hanya berumur empat hari sebelum Fani dicerai melalui pesan singkat.5
Laporan Aceng HM Fikri tersebut sebagai adanya upaya kriminalisasi terhadap peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Hal ini penulis nilai sebagai bentuk upaya sistematis untuk melemahkan peran kontrol mereka terhadap bupati yang tengah menjabat.
Masyarakat yang tengah hidup dalam atmosfer kehidupan demokrasi secara konstitusional memiliki hak untuk memilih secara langsung kepala daerahnya, seperti bupati, dan memilih anggota DPRD sebagai perwakilan mereka di lembaga legislatif. Masyarakat juga memiliki peluang untuk menggugat kepemimpinan seorang kepala daerah apabila dianggap melakukan penyimpangan dalam kepemimpinannya. Namun, untuk melakukan pemakzulan, melengserkan atau memberhentikan seorang kepala daerah membutuhkan proses panjang melalui sidang dan kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Melihat kasus pemakzulan mantan Bupati Garut yang melibatkan sejumlah aksi demonstrasi masyarakat yang meminta bupatinya diberhentikan dari jabatannya, menarik untuk mengamati sejauh mana keseriusan dan kemampuan anggota DPRD menampung dan mengeksekusi permintaan masyarakat ini, karena secara konstitusional hanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang memiliki
5Suryanta Bakti Susila, “Bupati Aceng Fikri Datangi Polres Garut”,
wewenang untuk melakukan hal tersebut. Artinya bahwa memakzulkan seorang kepala daerah merupakan domain atau wewenang DPRD yang ditetapkan dalam Keputusan DPRD.6
Secara kasat mata, demonstrasi yang telah berlangsung tersebut menunjukkan sebagian besar masyarakat mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja bupati yang tengah menjabat, terutama terhadap tindakan-tindakan yang diduga tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal menunjukkan kesalahan fatal bupati ini dibutuhkan proses pembuktian yang lebih lugas dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (legalitas) maupun konstitusional. Berbicara tentang prosedur administrasi seperti ini maka dapat diprediksi proses yang akan terjadi akan membutuhkan jalur, ruang dan waktu yang panjang, serta menyita energi yang banyak, dengan kata lain prosedurnya akan berbelit-belit.
Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sangat strategis dalam melakukan pembelaan terhadap rakyat, karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki kewajiban untuk memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.7
Namun, tidak jarang terjadi bahwa fungsi dan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tersebut tidak dapat terwujud yang pada akhirnya berujung pada penurunan citra terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
6 Ateng Syafrudin, Etika Hubungan Legislatif Eksekutif dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah (Bandung: Fokusmedia, 2003), 10.
Resiko penurunan citra terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ini setidaknya pernah dihadapi oleh DPRD Kabupaten Garut yang dilaporkan mantan Bupati Garut Aceng HM Fikri atas tuduhan pelanggaran Tata Tertib DPRD dan pemalsuan dokumen terkait pemakzulannya. Menurut Aceng HM Fikri melalui kuasa hukumnya Eggy Sudjana mengatakan bahwa dasar pemberhentian Aceng yang ditetapkan dalam Keputusan DPRD Garut Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pendapat DPRD Garut terhadap Dugaan Pelanggaran Etika dan Peraturan Perundang-undangan yang dilakukan Aceng HM Fikri tidak berdasarkan hukum. Dia mempermasalahkan penggantian form daftar hadir forum ulama Garut menjadi daftar hadir mendukung pemakzulan Bupati Aceng HM Fikri. Selain itu, ketika pembahasan masalah Aceng di DPRD Garut, terjadi pergantian salah satu anggota panitia khusus yang tanpa melewati sidang paripurna. Pelanggaran tata tertib lain adalah pengambilan Keputusan DPRD atas dasar desakan masyarakat. Dia mempermasalahkan sidang yang berlangsung terbuka sehingga DPRD terpengaruh massa yang masuk. Menurutnya, hal-hal itu melanggar Tata Tertib (tatib) DPRD.8
Dengan demikian masih banyak hal yang harus ditegaskan mengenai analisis dari kontekstualisasi fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam Pemakzulan Bupati Garut Aceng HM Fikri beberapa waktu lalu. Dengan latar belakang inilah
8Didit Putra Erlangga, “Pengacara Aceng: Keputusan Presiden Sesat”,
penulis akan meneliti hal-hal tersebut yang dikaitkan dengan fikih siyasah atau hukum tata negara Islam.
Adapun pengertian fikih siyasah atau hukum tata negara Islam adalah salah satu aspek hukum Islam yang membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Kata siyasah sendiri mengandung tujuan untuk mengatur, mengurus dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu.9
Lembaga perwakilan rakyat sebagai representasi sistem ketatanegaraan dalam konsep fikih siyasah atau hukum tata negara Islam telah ada setelah masa Rasulullah. Lembaga ini disebut dengan istilah ahl al-h}alli wa al-‘aqdi.10 Hubungan lembaga ini dengan umat merupakan hubungan pengganti atau wakil.11 Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi memiliki tugas
dan fungsi yang berkaitan dengan konsep perwakilan rakyat layaknya Dewan Perwakilan Rakyat/ Rakyat Daerah (DPR/DPRD) di Indonesia. Tugas mereka tidak hanya bermusyawarah dalam perkara-perkara umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan kemaslahatan dan tidak bertabrakan dengan satu dasar dari dasar-dasar syariat yang baku dan melaksanakan peran konstitusional dalam memilih pemimpin tertinggi negara saja. Tetapi tugas mereka juga mencakup melaksanakan peran pengawasan atas kewenangan legislatif sebagai
9 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 3-4.
wewenang pengawasan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah dan penguasa untuk mencegah mereka dari tindakan pelanggaran terhadap suatu hak dari hak-hak Allah.12
Hal ini merupakan tanggung jawab kita bersama dalam mengubah kemungkaran dalam politik atau dalam perundang-undangan yang dilakukan oleh u>li> al-amri serta memastikan prinsip pengawasan atas kerja pemerintah telah dijalankan, karena tidak cukup menjaga rakyat dari tindakan sewenang-wenang penguasa atau dari penyalahgunaan kekuasaannya hanya melalui komitmen penguasa dengan bermusyawarah, tetapi harus ditambah dengan adanya satu jenis pengawasan atas kerjanya, karena penguasa dapat bebas berbuat dalam batas-batas spesialisasinya dengan adanya kekuasaan evaluatif yang luas.
Konsep kekuasaan modern cenderung untuk menobatkan negara atau kepemimpinan politiknya dengan berbagai kekuasaan konstitusi yang besar dalam kawasan hukum dan undang-undang. Sedangkan konsep kekuasaan Islam, terutama jika dilihat dari sisi metodologi konotik Ibn Taimiyah, mereduksi negara sebagai suatu sarana untuk menerapkan hukum Allah atau syariah. Ulama dan umara, kata Ibn Taimiyah, adalah mereka yang diisyaratkan al-Qur’an sebagai u>li> al-amri atau mereka yang memerintah, pihak yang harus ditaati oleh umat Islam. Ia juga menambahkan bahwa kelompok itu terdiri dari orang-orang yang terpilih yang memenuhi syarat-syarat komplementer seperti keberanian, kekuatan,
pengetahuan dan akal. Ia mengharapkan agar mereka sungguh memberikan suri tauladan bagi segenap lapisan masyarakat karena kebanyakan orang cenderung meniru tingkah laku pemimpin mereka.13
Sesungguhnya sanksi keras yang tersimbol dalam pencabutan kepemimpinan saat seorang pemimpin melakukan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajibannya sangatlah penting sekali. Namun, itu bisa dilakukan setelah terjadi kemudaratan yang timbul dari perbuatan pemimpin tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan yang mampu menghentikan penyelewengan-penyelewengan sebelum terjadi kemudaratan yang ditimbulkan dari perbuatan penyelewengan tersebut.14
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat mengetahui masalah-masalah sebagai berikut:
1. Tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 2. Hak dan kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 3. Syarat-syarat pemberhentian kepala daerah menurut UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
4. Mekanisme pemakzulan kepala daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
13 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibn Taimiyah (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), 67-68.
5. Urgensitas pengajuan usul atau pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam Keputusan DPRD dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah.
6. Posisi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah.
7. Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah.
8. Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah menurut fikih siyasah atau hukum tata negara Islam.
Agar penelitian ini tetap mengarah pada permasalahan yang akan dikaji dan tidak menyimpang dari pokok pembahasan, maka penulis membatasi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2. Tinjauan fikih siyasah terhadap fungsi pengawasan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Bagaimana fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ?
2. Bagaimana tinjauan fikih siyasah terhadap fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah?
D. Kajian Pustaka
‘aqdi dengan jalan musyawarah dan sekaligus berwenang untuk memutuskan serta memberhentikan kepala negara.15
Dalam penelitian kali ini, lebih menekankan pada analisis dari kontekstualisasi fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut serta pandangan fikih siyasah terkait hal tersebut.
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan apa yang terdapat dalam rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui gambaran tentang fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Selanjutnya untuk memberikan perspektif baru mengenai pandangan Fikih siyasah terhadap fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Atas dasar tujuan tersebut, maka penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara Teoritis:
a. Memperkaya khasanah ilmu fikih siyasah atau hukum tata negara Islam modern guna membangun argumentasi ilmiah bagi penelitian normatif dalam bentuk putusan atau keputusan hukum atau perundang-undangan dengan konsekuensi ilmiah. Apabila ada ketidaksesuaian sebuah aturan hukum dengan praktiknya, khususnya Keputusan DPRD Kabupaten Garut yang menjadi fokus penelitian ini, sehingga dapat disempurnakan.
b. Dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian dan kajian tentang eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) dalam menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2. Secara Praktis:
a. Memberikan pedoman argumentasi hukum yang diperlukan agar diperoleh daya guna yang diharapkan bagi penegakan profesionalitas politisi dan wakil rakyat di parlemen, demi terciptanya iklim yang adil dan kondusif.
G. Definisi Operasional
Definisi operasional ini memberikan batasan-batasan tentang pengertian atas variabel-variabel dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Fungsi Pengawasan yaitu fungsi untuk melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan UUD 1945, undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.16 Fungsi pengawasan yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah yang berkaitan dengan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut, Aceng Holik Munawar Fikri, berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2. Pemakzulan Bupati merupakan proses, cara, perbuatan menurunkan
dari takhta, memberhentikan dari jabatan orang yang mengepalai suatu wilayah daerah tingkat II.17 Pemakzulan bupati yang dimaksud pada
penelitian ini adalah pemakzulan Bupati Garut, Aceng Holik Munawar Fikri, oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut.
3. Fikih siyasah atau hukum tata negara Islam adalah salah satu aspek hukum Islam yang membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Kata siyasah sendiri mengandung tujuan untuk mengatur, mengurus dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu
yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu.18 Pada penelitian ini akan
lebih menitikberatkan pada kajian yang berkaitan dengan perundang-undangan (fikih dusturiyah).
H. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan model pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analitis dan pengumpulan data melalui metode penelitian pustaka (library research).
1. Data yang dikumpulkan, yakni data yang akan ditulis pada bab III, meliputi:
a. Data mengenai fungsi pengawasan badan legislatif.
b. Data mengenai tugas, wewenang, hak dan kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD).
c. Data mengenai mekanisme pemakzulan kepala daerah.
d. Data mengenai Putusan Mahkamah Agung Nomor 1/P/Khs/2013 tentang permohonan uji pendapat terhadap Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Garut Nomor 30 Tahun 2012 tanggal 21 Desember 2012 tentang pendapat DPRD Kabupaten Garut terhadap dugaan pelanggaran etika dan peraturan
perundang-undangan yang dilakukan oleh H. Aceng H. M. Fikri
sebagai Bupati Garut.
2. Sumber Data
a. Sumber primer, yakni sumber yang berasal dari aturan hukum berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sumber data yang dimaksud adalah dokumen terkait fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
b. Sumber sekunder merupakan sumber yang bersifat membantu atau menunjang dalam melengkapi dan memperkuat serta memberikan penjelasan mengenai sumber data primer, diantaranya adalah:
1) Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam.
2) Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam.
3) Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibn Taimiyah.
4) Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik.
5) Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.
6) Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945.
3. Teknik Pengumpulan Data
bersumber dari: 1) Peraturan perundang-undangan, 2) Buku, 3) Jurnal, dan 4) Koran online, berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan kemudian dilakukan penulisan secara sistematis dan komprehensif.
4. Teknik Pengelolaan Data
Bertolak dari sumber-sumber data yang telah dikumpulkan, maka teknik pengelolaan data yang dilakukan dalam penelitian ini kemudian adalah pengidentifikasian data, pengklasifikasian data dan yang terakhir adalah penganalisisan data.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan melakukan pendekatan perundang-undangan. Melalui pendekatan perundang-undangan dilakukan pengkajian terhadap aturan hukum yang menjadi fokus dan berhubungan dengan topik permasalahan. Dalam hal analisis diarahkan kepada fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut menurut fikih siyasah. Langkah-langkah analitis dilakukan untuk memperoleh hipotesis hukum, apakah fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Garut telah sesuai dengan prinsip fikih siyasah atau tidak.
permasalahan konkret yang bersifat khusus.19 Artinya, mengemukakan
teori yang bersifat umum, yaitu teori ahl al-h}alli wa al-‘aqdi kemudian ditarik pada permasalahan yang lebih khusus tentang fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut.
I. Sistematika Pembahasan
Dalam upaya untuk menjadikan alur pembahasan menjadi sistematis, maka penulisan skripsi dibagi ke dalam lima bab. Dalam masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang akan diteliti.
Bab I sebagai pendahuluan berupa uraian latar belakang masalah yang berkaitan dengan urgensi penelitian, dilanjutkan dengan identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode yang digunakan dalam penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II membahas landasan teori tentang konsep ahl h}alli wa al-‘aqdi yang mencakup pengertian ahl al-h}alli wa al-‘aqdi, dasar hukum ahl al-h}alli wa al-‘aqdi, kedudukan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi, syarat-syarat ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dan tugas serta fungsi ahl h}alli wa al-‘aqdi dalam pemakzulan kepala negara yang dianalogikan dengan konsep pemakzulan kepala daerah.
Bab III berisi data tentang fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut yang akan diteliti dalam penelitian ini. Hal ini mencakup pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dasar hukum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), syarat-syarat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), otoritas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah yang meliputi tugas, fungsi dan wewenang.
Bab IV merupakan pembahasan yang paling inti dalam skripsi ini, yaitu analisis terhadap fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut, yang mencakup tentang: otoritas pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut terhadap tindak pelanggaran yang dilakukan oleh Bupati Garut, yang menjadi dasar keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memakzulkannya, dengan memadukannya terhadap konsep fungsi dan peran pengawasan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dalam pemberhentian seorang khalifah.
BAB II
AHL AL-HALLI WA AL-‘AQDI
DALAM BIROKRASI PEMERINTAHAN ISLAM
A. Pengertian Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi
Baik di dalam al-Qur’an maupun sunah tidak ditemukan sebutan atau
spesifikasi apa yang disebut dengan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi. Istilah ahl
al-h}alli wa al-‘aqdi mulai timbul dalam kitab-kitab para ahli tafsir dan ahli
fikih setelah masa Rasulullah. Abu Bakar selalu menyelesaikan perkara
dengan bermusyawarah. Apabila ia dihadapkan dengan suatu permasalahan
dan ia tidak menemukan penyelesaiannya di dalam al-Qur’an dan sunah, ia
langsung mengumpulkan para sahabat, lalu ia bermusyawarah dengan
mereka. Jika mereka semua sepakat atas satu keputusan, ia pun memutuskan
permasalahan tersebut dengan keputusan itu. Begitupun dengan Umar, ia
mempunyai orang-orang khusus dari para u>li> al-amri.1
Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah orang-orang yang ahli dalam memilih
dan bermusyawarah, juga orang-orang yang ahli dalam mengawasi para
pejabat. Mereka adalah u>li> al-amri dalam umat dan tugas mereka masuk
dalam ruang lingkup politik keagamaan.2 Secara global dapat dikatakan
bahwa ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah orang yang bertanggung jawab atas
semua kemaslahatan rakyat. Mereka adalah orang-orang yang mewakili
1 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik..., 78.
kekuasaan rakyat. Mereka juga adalah orang-orang yang telah dipercayai oleh
rakyat dalam memperjuangkan aspirasi dan kemaslahatan rakyat yang
dengannya akan makmur kehidupan mereka. Rakyat juga akan selalu
mengikuti apa yang mereka tetapkan, baik dalam perkara agama atau dalam
perkara dunia.3
Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi diartikan dengan orang-orang yang
mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat. Istilah ini
dirumuskan oleh ulama fikih untuk sebutan bagi orang-orang yang bertindak
sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka. Tugasnya antara
lain memilih khalifah, imam, dan kepala negara secara langsung. Paradigma
pemikiran ulama fikih merumuskan istilah ahl al-h}alli wa al-‘aqdi
didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan
oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan, Ansar dan Muhajirin.
Mereka ini oleh ulama fikih diklaim sebagai ahl al-h}alli wa al-‘aqdi yang
bertindak sebagai wakil umat.4
Mengenai siapa yang disebut sebagai ahl al-h}alli wa al-‘aqdi yang
berhak memilih khalifah, Muhammad Rasyid Ridha berpendapat mereka itu
tidak hanya terdiri dari ulama atau ahli agama yang sudah mencapai tingkat
mujtahid saja, tetapi juga dari pemuka-pemuka masyarakat di berbagai
bidang, termasuk bidang perdagangan, perindustrian, dsb. Tetapi hanya
sampai batas itu pendapat Ridha, pendapatnya tentang konsep ahl al-h}alli
wa al-‘aqdi tetap tidak jelas. Misalnya, ia tidak menjelaskan tentang
3 Ibid., 112.
bagaimana cara pengangkatannya, dipilih oleh rakyat atau dari kalangan
rakyat atau khalifah yang menunjuk mereka.5
Abu A’la al-Maududi menyebutkan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi sebagai
lembaga penengah dan pemberi fatwa, ia juga menyebutkan lembaga tersebut
sebagai lembaga legislatif.6 Al-Razi menyamakan pengertian antara ahl
al-h}alli wa al-‘aqdi dan u>li> al-amri, yaitu para pemimpin dan penguasa.7
Muhammad Abduh menyatakan yang dimaksud dengan u>li> al-amri
adalah golongan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dari kalangan orang-orang muslim,
yang terdiri dari para amir, para hakim, para ulama, para pemimpin militer,
dan semua penguasa serta pemimpin yang dijadikan rujukan oleh umat dalam
masalah kebutuhan dan kemaslahatan publik.8 Demikian pula al-Maraghi,
rumusannya sama seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha.9 Sedangkan, al-Mawardi menyebutkan ahl h}alli wa
al-‘aqdi dengan ahl al-ikhtiya>r atau dewan pemilih.10
Ibn Taimiyah cenderung tidak mengakui keberadaan ahl al-h}alli wa
al-‘aqdi (dewan perumus undang-undang dan pemilih) seperti yang berlaku
pada teori-teori khilafah tradisional. Menurut pendapatnya, tidak satupun ayat
al-Qur’an maupun sunah Nabi yang mendukung eksistensi badan
pemerintahan dengan supremasi yuridis itu, baik untuk menobatkan atau
mencopot seorang pemimpin. Peranan penting yang mereka berikan kepada
5 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1990), 134.
6 Abu A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Asep Hikmat (Bandung:
Mizan, 1995), 245.
7 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah..., 69.
8 Ibid., 68. 9 Ibid.,69.
ulama dalam administrasi negara tidak berarti bahwa mereka mempunyai
wewenang untuk menunjuk seorang pemimpin. Tidak hanya kerjasama
mereka yang diperlukan untuk memilih pemimpin yang baru, tetapi juga
kerjasama semua unsur efektif lain dalam masyarakat.11
Banyaknya sebutan bagi kelompok ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dalam
tura>ts fikih kita sejak awal Islam, di mana kelompok ini merupakan sebutan
lain dari “Dewan Perwakilan Rakyat” atau ahl al-Ikhtiya>r. Para khalifah
selalu merujuk dan berkomitmen dengan pendapat-pendapat mereka dalam
perkara-perkara rakyat. Kelompok ini memiliki hak untuk memilih atau
menobatkan khalifah dan juga memberhentikannya. Kelompok ini terdiri dari
para ulama, para pemimpin suku dan pemuka masyarakat. Banyaknya nama
bagi kelompok ini disebabkan karena keberagaman atau heterogenitas tugas
dan fungsi yang mereka emban.12
Abu A’la al-Maududi menyebutkan bahwa legislatif merupakan
lembaga yang berdasarkan terminologi fikih disebut sebagai lembaga
penengah dan pemberi fatwa yang biasa dikenal dengan istilah ahl al-h}alli
wa al-‘aqdi.13 Dasar dalam masalah ini adalah, bahwa rakyat yang memiliki
kekuasaan dalam memilih pemimpin, sementara ahl al-h}alli wa al-‘aqdi
mewakili mereka, kecil jumlahnya dari rakyat, tetapi memiliki kapabilitas
untuk memikul tanggung jawab memilih pemimpin. Perkara ini mendorong
para pakar di bidang perbandingan antara undang-undang konstitusional
modern dan fikih politik Islam untuk menyimpulkan bahwa dewan-dewan
11 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam..., 82-83.
12 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik..., 79-80.
parlementer sama dengan majelis permusyawaratan ahl shu>ra dalam
Islam.14
Majelis shu>ra berarti majelis permusyawaratan atau badan legislatif.
Al-Maududi percaya bahwa majelis shu>ra atau ahl al-h}alli wa al-‘aqdi
adalah ditunjuk oleh kepala negara bukan dipilih melalui pemilu. Mungkin
pemikiran ini didasarkan kepada sikap Umar bin Khattab yang menunjuk
enam orang majelis shu>ra atau ahl al-h}alli wa al-‘aqdi sebagai tim yang
memilih penggantinya ketika menjelang beliau tiada. Lagipula majelis
shu>ra yang memilih dan membaiat Abu Bakar menjadi khalifah pertamapun
tidak dipilih melalui pemilu.15
Maka, dapat disimpulkan bahwa ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah
lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Mereka adalah sekelompok orang dari kalangan kaum muslimin yang
dipandang paling baik agamanya, akhlaknya, kecemerlangan idenya dan
pengaturannya dalam birokrasi pemerintahan.
B. Dasar Hukum ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi
Al-Qur’an dan sunah sebagai dua sumber perundang-undangan Islam
tidak menyebutkan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi atau Dewan Perwakilan Rakyat,
namun sebutan itu hanya ada di dalam tura>ts fikih kita di bidang politik
keagamaan dan pengambilan hukum substansial dari dasar-dasar menyeluruh,
14 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik..., 245.
maka dasar sebutan ini di dalam al-Qur’an yang disebut dengan u>li>
al-amri dalam firman Allah Swt.:
ﺴأ
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan u>li> al-amri). (QS. al-Nisa: 83)Dengan demikian, fikih politik Islam telah menciptakan satu bentuk
musyawarah di masa awal timbulnya daulat Islamiah, sebagaimana ia juga
telah menciptakan satu bentuk konstitusi yang dikenal dengan konstitusi
Madinah (Madinah charter/ piagam Madinah). Bentuk musyawarah itu tidak
lain adalah apa yang kita kenal dengan istilah ahl al-h}alli wa al-‘aqdi atau
Dewan Perwakilan Rakyat atau ahl al-ikhtiya>r di masa awal Islam. Di mana
kelompok ini telah dipercaya oleh rakyat karena keilmuan dan
kecendekiawanan serta keikhlasan mereka. Juga karena keseriusan mereka
dalam membuat hukum-hukum yang diperlukan, baik yang berkenaan dengan
peraturan sipil, politik dan administratif. Mereka termasuk dalam ranah u>li>
al-amri yang Allah Swt. wajibkan bagi kita untuk menaati mereka.16
Kebutuhan akan dibentuknya lembaga ahl al-h}alli wa al-‘aqdi
memang sangat penting dalam birokrasi pemerintahan. Para ahli fikih siyasah
menyebutkan alasan pentingnya pembentukan majelis shu>ra ini. Pertama,
rakyat secara keseluruhan tidak mungkin dimintai pendapatnya tentang
masalah kenegaraan. Kedua, secara individual rakyat tidak mungkin
berkumpul dan bermusyawarah secara keseluruhan dalam satu tempat.
Ketiga, musyawarah hanya mungkin dilakukan jika pesertanya terbatas.
Keempat, kewajiban amar makruf nahi mungkar hanya bisa dilakukan apabila
ada lembaga yang berperan menjaga kemaslahatan antara pemerintah dengan
rakyatnya. Kelima, ajaran Islam sendiri memerintahkan perlunya
pembentukan lembaga musyawarah, sebagaimana yang tertera di dalam
al-Qur’an surah al-Syura ayat 38 dan Ali Imran ayat 159.17
C. Kedudukan ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi
Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi mempunyai kedudukan yang penting dalam
pemerintahan Islam. Antara khalifah dan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi
bekerjasama dalam menyelenggarakan pemerintahan yang baik demi
kemaslahatan umat. Kedudukan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dalam pemerintahan
adalah sebagai wakil rakyat yang salah satu tugasnya adalah memilih khalifah
dan mengawal khalifah menuju kemaslahatan umat.18 Dengan kata lain,
kedudukan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dalam pemerintahan adalah sebuah
17 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi..., 142-143.
lembaga yang mempunyai tugas dan wewenang sendiri tanpa adanya campur
tangan atau intervensi dari khalifah.
Al-Maududi mengharuskan adanya lembaga yang berfungsi sebagai
pengukur dan pemutus perkara yang harus selalu berpedoman kepada kitab
Allah dan sunah Rasul secara ketat. Selanjutnya, al-Maududi mengemukakan
tiga lembaga penting yang rakyat harus memberikan ketaatan terhadap negara
melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh ketiga lembaga atau badan
tersebut, yaitu lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.19
Menurut al-Maududi, lembaga legislatif adalah lembaga yang
berdasarkan terminologi fikih disebut dengan lembaga penengah dan pemberi
fatwa atau sama dengan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi.20Dalam memformulasikan
hukum, lembaga ini harus dibatasi dengan batasan-batasan Allah dan
RasulNya dan tidak boleh bertolak belakang dengan legislasi yang ditetapkan
Allah dan Rasul walaupun rakyat menghendakinya. Begitu juga tidak seorang
muslimpun memberi dan memutuskan persoalan sesuai dengan pendapatnya
sendiri yang tidak sejalan dengan ketentuan Allah dan Rasul. Lebih tegas lagi
ia menyatakan bahwa orang-orang yang membuat keputusan tidak
berdasarkan al-Qur’an termasuk orang-orang kafir.21 Dengan kata lain, semua
bentuk legislasi harus mencerminkan semangat atau jiwa dari undang-undang
dasar al-Qur’an dan hadis.
D. Syarat-syarat ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi
19 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata..., 167.
20 Abu A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi..., 245.
Menurut al-Maududi, ahl al-h}alli wa al-‘aqdi atau majelis shu>ra
terdiri dari warga negara yang beragama Islam, dewasa, dan laki-laki, yang
terhitung saleh serta cukup terlatih untuk dapat menafsirkan dan menerapkan
syariat dan menyusun undang-undang yang tidak bertentangan dengan
al-Qur’an dan sunah nabi. Jadi, wanita tidak diperkenankan duduk dalam
jabatan majelis shu>ra.22
Menurut al-Maududi, mengenai pemilihan kaum wanita untuk
badan-badan legislatif, hal ini mutlak bertentangan dengan jiwa dan ajaran Islam dan
hanya peniruan buta terhadap barat. Menurut Islam, politik dan administrasi
(pemerintahan) aktif bukanlah bidang kegiatan kaum wanita tetapi berada di
bawah lingkup tanggung jawab kaum pria. Namun, harus diingat bahwa
pernyataan ini hanya merupakan pandangan pribadi al-Maududi. Masalah
mengenai peranan wanita dalam politik masih merupakan masalah
kontroversial.23
Cara yang tepat untuk memecahkan masalah ini adalah dengan
membentuk dewan terpisah yang anggota-anggotanya terbatas untuk kaum
wanita saja dan yang kesemuanya dipilih oleh para pemilih wanita. Fungsi
utama dari dewan ini adalah menjaga urusan-urusan khusus wanita seperti
pendidikan wanita, rumah sakit wanita, dsb. Tentu saja, dewan ini perlu
diberi hak untuk mengkritik masalah-masalah yang menyangkut
kesejahteraan umum bangsa. Selanjutnya, dewan ini harus diajak
22 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata..., 169.
bermusyawarah oleh badan-badan legislatif mengenai masalah-masalah yang
menyangkut kesejahteraan kaum wanita.24
Selain itu, al-Maududi juga memberikan syarat untuk jabatan khalifah
atau kepala negara, untuk keanggotaan majelis shu>ra, atau untuk
jabatan-jabatan lain yang penting, jangan dipilih orang-orang yang yang mencalonkan
diri untuk jabatan tersebut atau mereka yang berupaya untuk menduduki
jabatan-jabatan tersebut. Kemudian, anggota majelis shu>ra tidak dibenarkan
terbagi menjadi kelompok-kelompok atau partai-partai. Masing-masing
anggota majelis harus mengemukakan pendapatnya yang benar secara
perorangan. Islam melarang anggota majelis terbagi dalam partai-partai dan
melarang mereka mendukung pendapat partai masing-masing tanpa melihat
apakah pendapat itu benar ataupun salah.25
Berbeda dengan al-Maududi, Muhammad Rasyid Ridha menyatakan
bahwa untuk menjadi ahl al-h}alli wa al-‘aqdi, mereka harus memenuhi dua
syarat yaitu berilmu dan mampu berijtihad. Namun, pendapat ini menjadi
tidak jelas karena ia tidak menjelaskan tentang bagaimana mekanisme
pengangkatan mereka.26
Dalam bahasa lain ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dikenal sebagai dewan
pemilih. Dewan pemilih yang bertugas memilih imam (khalifah) bagi umat
tersebut memiliki kriteria-kriteria legal yang harus mereka dimiliki yaitu:27
1. Adil dengan segala syarat-syaratnya.
24 Ibid.
25 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata..., 168.
26 Ibid.,134.
2. Ilmu yang mampu membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak
menjadi imam (khalifah) sesuai dengan kriteria-kriteria yang legal.
3. Wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih
siapa yang paling tepat menjadi imam (khalifah) dan paling efektif
serta paling ahli dalam mengelola semua kepentingan.
Di antara hal yang jelas dalam syarat ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah
spesialisasi mereka sebagai berikut:28
1. Membaiat (menobatkan) orang yang menurut mereka mampu untuk
memegang tongkat kepemimpinan.
2. Melakukan ijtihad dalam hukum-hukum untuk mencapai kesepakatan
(ijmak).
Spesialisasi pertama menuntut adanya syarat mempunyai pemikiran dan
kebijaksanaan, sedangkan spesialisasi yang kedua menuntut adanya syarat
mempunyai pengetahuan tentang perundang-undangan dan cukup mengenal
kemaslahatan rakyat. Hal tersebut memasukkan mereka ke dalam kelompok
para mujtahid, artinya bahwa kedudukan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dapat
dipandang sebagai tugas perundang-undangan yang menuntut adanya
pengenalan terhadap hukum-hukum fatwa dan pengambilan hukum dalam
masalah-masalah umum seperti masalah keamanan dan ketakutan.29
Syarat-syarat ahl al-h}alli wa al-‘aqdi yang disebutkan oleh para
fukaha termasuk dalam politik substansial yang tunduk dengan kemaslahatan,
28 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik..., 110.
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan zaman. Apabila ada yang mengira
bahwa ini adalah termasuk dalam syariat umum dan lazim bagi umat sampai
hari kiamat, maka sebenarnya tidaklah demikian. Syarat-syarat ini termasuk
salah satu pemahaman fleksibel dan tidak terbatas yang harus selalu
diperbaharui sesuai dengan perubahan kondisi dan zaman. Ia bukan termasuk
agama, juga bukan termasuk dasar-dasarnya yang tidak bisa berubah.
E. Tugas dan Fungsi ahl al-h}alli wa al-‘aqdi
Suatu gagasan yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha mengenai tugas
dan fungsi dari ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah ia menekankan bahwa tugas
dari orang-orang pilihan itu tidak berakhir dengan usainya pemilihan atau
pengangkatan khalifah. Mereka terus berperan sebagai pengawas terhadap
jalannya pemerintahan khalifah dan harus menghalanginya dari berbuat
penyelewengan. Menurut Ridha, mereka harus mengadakan perlawanan
terhadap kezaliman dan ketidakadilan khalifah, dan apabila penyelewengan
tersebut berakibat pada kepentingan umat ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dapat
mengakhiri kekuasaannya dengan perang atau kekerasan sekalipun.30
Al-Maududi memberikan pendapatnya tentang tugas-tugas majelis
shu>ra, meliputi:31
30 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata..., 135.
1. Merumuskan dalam peraturan perundang-undangan
petunjuk-petunjuk yang secara jelas telah didapatkan dalam al-Qur’an dan
hadis serta pelaturan pelaksanaannya.
2. Jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an atau
hadis, maka memutuskan penafsiran mana yang ditetapkan.
3. Jika tidak terdapat petunjuk yang jelas, menentukan hukum dengan
memperhatikan semangat atau petunjuk umum dari al-Qur’an dan
hadis.
4. Dalam hal sama sekali tidak terdapat petunjuk-petunjuk dasar, dapat
saja menyusun dan mengesahkan undang-undang, asalkan tidak
bertentangan dengan huruf maupun jiwa syariat.
Lembaga yang disebut ahl al-h}alli wa al-‘aqdi bertugas untuk
memberi nasihat kepada kepala negara mengenai masalah-masalah hukum,
pemerintahan dan kebijaksanaan negara. Dalam masalah penting negara,
seperti perumusan kebijaksanaan atau pemberian peraturan-peraturan dalam
berbagai masalah pemerintahan atau hukum, khalifah mau tidak mau harus
berkonsultasi dengan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi.32
Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi memiliki tugas dan fungsi untuk mengkaji
perkara-perkara umum atas dasar musyawarah antara anggotanya untuk
mencari kata sepakat dalam suatu hal yang dapat mewujudkan kemaslahatan
dan menjauhkan dari kerusakan. Adapun tugas kedua dari ahl al-h}alli wa
al-‘aqdi adalah menunaikan kewajiban amar makruf nahi munkar sebagai
fardu kifayah, dan tugas pengawasan atas para pejabat merupakan satu
cabang dari kewajiban ini yang pada intinya mengingkari atau memberikan
teguran keras kepada para pejabat dengan adanya indikasi tindakan mungkar
mereka, yang mencakup pelanggaran atas hak-hak Allah, untuk mencegah
kemungkinan terjadinya kemungkaran ini.33
Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dalam menjalankan tugas dan fungsinya ini
mempunyai wewenang untuk meminta pertanggungjawaban penguasa,
diawali dengan wajib memberikan nasihat kepada penguasa, kemudian
diteruskan dengan tingkatan-tingkatan pertanggungjawaban dan terakhir
dengan memberhentikan penguasa atau pemerintahan apabila diperlukan
dan tidak adanya penghalang lain.34 Al-Mawardi berpendapat apabila
khalifah melakukan tindakan yang bertentangan dengan agama dan rakyat,
maka ahl al-h}alli wa al-‘aqdi berhak untuk menyampaikan mosi tidak
percaya kepadanya.35
Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dipandang sebagai tugas politik yang
menuntut bahwa mereka terdiri dari para cendekiawan dan para pakar serta
mempu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan juga
kepentingan-kepentingan umum, baik sosial, ekonomi, ataupun politik, dengan kapasitas
mereka sebagai majelis permusyawaratan yang apabila mereka menyepakati
suatu perkara dari perkara kemaslahatan umat yang tidak ada nasyang jelas
dari Allah Swt., maka taat kepada mereka adalah wajib, dan wajib atas para
33 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik..., 158-159.
34 Ibid.
penguasa memutuskan sesuai dengan apa yang mereka sepakati itu serta
wajib pula melaksanakannya.36
Bisa juga dipandang sebagai tugas pengawasan atas orang-orang yang
memiliki kekuasaan, yang menuntut syarat-syarat yang harus ada pada para
pengawas, diantaranya mengenal objek pengawasan sebagai fardu ain.
Maka, mereka harus menyelidiki tentang kemungkaran-kemungkaran para
penguasa, yakni yang melakukan pelanggaran terhadap satu hak dari
hak-hak Allah atau hak-hak-hak-hak bersama yang hak-hak Allah lebih dominan di dalamnya.
Juga wajib menyelidiki tentang kebaikan atau yang makruf, yang tidak
dilaksanakan agar mereka dapat memerintahkan untuk ditegakkan, baik
yang berhubungan dengan perkara-perkara agama atau perkara-perkara
dunia. Sebagaimana mereka juga harus mengajukan gugatan untuk
mencegah terjadinya pelanggaran yang mungkin akan dilakukan oleh para
pejabat terhadap hak-hak individual atau kebebasan manusia, dan wajib
memberhentikan penguasa tersebut apabila keadaannya telah menuntut
untuk diberhentikan.37
Berangkat dari para pemikir politik Islam sampai zaman pertengahan
terdapat beberapa pemikiran terkait pemecatan seorang khalifah. Mawardi
dengan jelas mengemukakan bahwa seorang imam dapat digeser dari
kedudukannya sebagai khalifah atau kepala negara apabila ternyata sudah
menyimpang dari keadilan, kehilangan panca indera atau organ-organ tubuh
36 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik...,111.
yang lain, atau kehilangan kebebasan bertindak karena telah menjadi
tawanan orang-orang dekatnya. Tetapi Mawardi hanya berhenti sampai di
situ dan tidak menjelaskan tentang bagaimana cara atau mekanisme
pemberhentian imam yang sudah tidak layak memimpin negara atau umat
itu, dan pemberhentian itu harus dilakukan oleh siapa.38
Imam al-Mawardi mengemukakan tiga perubahan sifat kepala negara
yang membuatnya keluar dari kompetensi sebagai kepala negara, yaitu: 1.
Kredibilitas pribadinya rusak, 2. Terjadi ketidaklengkapan pada anggota
tubuhnya, dan 3. Ketidakmampuan kepala negara bertindak.39 Rusaknya
kredibilitas kepala negara terkait dengan perbuatan melanggar ajaran agama
antara lain melakukan kemungkaran, menuruti hawa nafsu, serta membuat
keputusan yang menyalahi kebenaran. Terkait ketidaklengkapan anggota
tubuhnya, yaitu kehilangan anggota tubuh yang dapat menghalangi
seseorang memangku jabatan kepala negara seperti hilang akal atau hilang
penglihatan. Ketidakmampuan kepala negara bertindak, berarti kepala
negara tidak lagi berfungsi karena dikuasai oleh para pembantunya atau
ditawan musuh. Akan tetapi, tidak ada suatu ketentuan atau praktik baku
dalam ketatanegaraan Islam yang dapat dijadikan landasan teoritik dalam
memakzulkan kepala negara atau seorang khalifah (pemimpin).40
Menurut al-Baqillani, seperti yang dikutip oleh J. Suyuthi Pulungan,
menjelaskan kasus atau keadaan yang menyebabkan pemberhentian kepala
38 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata..., 65-66.
39 Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden..., 11.
negara, karena: 1. tidak jujur, berbuat bid’ah, tidak adil dan berbuat dosa, 2.
lemah fisik dan mental, seperti gila dan kehilangan kemampuan, tuli dan
bisu atau lanjut usia sehingga tidak lagi mampu melaksanakan tanggung
jawab dan tugasnya, 3. kehilangan kebebasan karena ditawan oleh musuh.
Sementara al-Baghdadi menjelaskan bahwa seorang imam yang tanpa cacat
dan tindakannya tidak bertentangan dengan syariat, umat wajib mendukung
dan mantaatinya. Tetapi apabila ia menyimpang dari ketetapan syariat,
masyarakat harus memilih di antara dua tindakan kepadanya, yaitu
mengembalikannya dari berbuat salah kepada kebaikan, atau mencopot
jabatannya dan memberikannya kepada yang lain.41
Kepala negara yang diangkat melalui pemilihan tidak boleh
diberhentikan kecuali ada suatu peristiwa atau perubahan sesuatu dalam
dirinya yang membolehkan untuk itu. Hal ini kata al-Juwaini, telah menjadi
kesepakatan. Apabila ia fasiq dan fa>jir (perbuatan dosa dan tidak berlaku
adil), maka memberhentikannya adalah mungkin. Dikatakan mungkin
karena tidak ada dasar hukum (ketetapan) untuk memberhentikannya.
Pengunduran diri seorang kepala negara apabila ia merasa tidak lagi mampu
memikul tanggung jawab kedudukannya, juga adalah mungkin. Hal ini ia
dasarkan pada kasus Hasan bin Ali bin Abu Thalib yang mengundurkan diri
dari jabatannya karena lemah dan menyerahkannya kepada Mu’awiyah bin
Sufyan. 42
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah ..., 261-262.
Maka, secara umum dapat disimpulkan bahwa lembaga legislatif dalam
suatu negara Islam memiliki sejumlah fungsi yang harus dilakukan,
meliputi:43
1. Jika terdapat pedoman-pedoman yang jelas dari Tuhan dan Rasulullah,
meskipun legislatif tidak dapat mengubah atau menggantinya, maka
hanya legislatiflah yang akan kompeten untuk menegakkannya dalam
susunan dan bentuk pasal demi pasal, menggunakan definisi-definisi
yang relevan serta rincian-rinciannya, serta menciptakan
peraturan-peraturan dan undang-undang untuk mengundangkannya.
2. Jika pedoman al-Qur’an dan sunah mempunyai kemungkinan
interpretasi lebih dari satu, maka legislatiflah yang berhak memutuskan
penafsiran mana yang harus ditempatkan dalam Kitab Undang-undang
Dasar.
3. Jika tidak ada isyarat yang jelas dalam al-Qur’an dan sunah, fungsi
lembaga legislatif ini adalah untuk menegakkan hukum-hukum yang
berkaitan dengan masalah yang sama, tentunya dengan menjaga jiwa
hukum Islam.
4. Jika dalam masalah apapun al-Qur’an dan sunah tidak memberikan
pedoman yang sifatnya dasar sekalipun atau masalah ini juga tidak ada
dalam konvensi al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n, maka kita harus
mengartikan bahwa Tuhan telah membiarkan kita bebas melakukan
legislasi mengenai masalah ini menurut apa yang terbaik.
BAB III
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN
WAKIL KEPALA DAERAH
A. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
1. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan lembaga
perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah,1 yang memiliki fungsi
pengawasan, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya,
peraturan kepala daerah, Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah
(APBD), kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program
pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah.2 Tugas
itu secara normatif sebagai cerminan kehidupan demokrasi dalam
pemerintahan daerah, yang harapannya adalah sebagai pelaksanaan
check and balance lembaga di luar kekuasaan pemerintah daerah agar
terdapat keseimbangan. Kemudian, agar kepala daerah tidak
semaunya sendiri dalam menjalankan tugasnya, maka keberadaan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sangat diperlukan dalam
pembangunan daerah. Namun, perlu diingat bahwa Dewan Perwakilan
1 Pasal 40 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Rakyat Daerah (DPRD) merupakan bagian sinergi yang tidak
terpisahkan dengan pemerintah daerah sebagai penyelenggara
pemerintahan di daerah. Maka, perlu adanya upaya-upaya antisipasi
dari adanya kemungkinan-kemungkinan dominasi atau persaingan
yang syarat akan unsur politik antara pengontrol kekuasaan (legislatif)
dan eksekutif di daerah.
2. Dasar hukum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah,3 di provinsi/kabupaten/kota di
Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) disebutkan
dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 3: “Pemerintahan daerah provinsi,
daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.”
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kemudian diatur lebih
lanjut dengan undang-undang, terakhir pada BAB VI Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
perwakilan Rakyat Daerah.4
Pada BAB VI Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
3 Pasal 40 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004...
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara
jelas mengatur tentang susunan dan kedudukan, fungsi, wewenang dan
tugas, keanggotaan, hak dan kewajiban anggota, fraksi, alat
kelengkapan, pelaksanaan hak DPRD, pelaksanaan hak anggota,
persidangan dan pengambilan keputusan, tata tertib dan kode etik,
larangan dan sanksi, pemberhentian antarwaktu, penggantian
antarwaktu dan pemberhentian sementara.5
3. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berdasarkan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
mengalami peningkatan posisi yang strategis sebagai lembaga
penampung, penyalur sekaligus representasi aspirasi masyarakat di
daerah. Sedangkan dalam kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah
kabupaten/kota dapat ditemukan dalam pasal 342 Undang-undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang
menyebutkan bahwa: “DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga
perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota.” Masuknya
DPRD dalam komposisi penyelenggara pemerintahan di daerah
memberikan penjelasan bahwa dikotomi yang mengarah oposisi peran
antara kepala daerah dan DPRD mulai dihindari.6
Hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
dengan pemerintah daerah dalam otonomi daerah sebenarnya tidak
sulit untuk dipahami, karena dengan memperhatikan fungsi-fungsi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) saja sudah ditemukan
pola hubungan yang terbangun itu. Apalagi jika dilihat dari sudut yang
lebih politis dan ideologis, yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) sebagai representasi rakyat dan pemerintah daerah yang
melaksanakan tugas pelayanan publik, maka hubungan antara kedua
institusi ini menjadi sebuah keharusan dalam negara demokrasi, di
samping kedudukannya sebagai deskripsi akan sistem
penyelenggaraan pemerintah daerah.
Dinamika hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
pembangunan, pemerintah dan pelayanan publik di daerah terbagi
dalam tiga pola hubungan yakni dominasi eksekutif, dominasi
legislatif dan hubungan yang seimbang. Pola hubungan yang ideal
antara legislatif dan eksekutif adalah terjadinya keseimbangan antara
kedua lembaga tersebut, namun hal itu akan sangat bergantung pada
sistem politik yang dibangun. Semakin demokratis sistem politik itu
maka hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
dan pemerintah daerah akan semakin seimbang. Sebaliknya, semakin
tidak demokratis sistem politik suatu negara, maka yang tercipta dua
kemungkinan yaitu dominasi eksekutif yang menciptakan rezim
otoriter dan dominasi legislatif yang menciptakan anarki politik.7
4. Syarat-syarat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, BAB VII, bagian
kesatu tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 51 menulis syarat bakal
calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang memenuhi persyaratan
setidaknya sebagai berikut: a. Telah berumur 21 (dua puluh satu)
tahun atau lebih, b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, c.
Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, d.
Cakap berbicara, membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia, e.
Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas atau
madrasah aliyah sekolah kejuruan, atau pendidikan lain yang
sederajat, f. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara,
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945, g. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, dan h. Sehat jasmani dan
rohani.8
Selain persyaratan di atas, juga terdapat persyaratan-persyaratan
lain seperti, a. Terdaftar sebagai pemilih, b. Bersedia bekerja penuh
waktu, c. Mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala
daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia,
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris,
dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara
dan/atau badan usaha milik daerah atau badan lain yang anggarannya
bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat
pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali, d. Bersedia untuk
tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris,
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), atau tidak melakukan pekerjaan
penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara
serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan
tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, e. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat
negara lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan
pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah
serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, f.
Menjadi anggota partai politik peserta pemilu, g. Dicalonkan hanya di
1 (satu) lembaga perwakilan, dan h. Dicalonkan hanya di 1 (satu)
daerah pemilihan.9
Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) melalui pemilihan langsung yang dipilih oleh rakyat langsung
tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Setelah terpilih menjadi
anggota dewan, maka selanjutnya anggota dewan diambil sumpahnya
terlebih dahulu sebagai wujud kesediaan dan kesiapan dimulainya
tugas pengembanan dan amanah dari rakyat yang diberikan
kepadanya. Berdasarkan paragraf kelima Bab Penetapan Calon
Terpilih dan Pelantikan, pada pasal 110 ayat (2) Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan
bahwa sumpah/janji kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah
sebagai berikut:10
Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah /wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.
9 Ibid.