• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN FIKIH SIYASAH TERHADAP FUNGSI PENGAWASAN DPRD KABUPATEN GARUT DALAM PEMAKZULAN BUPATI GARUT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN FIKIH SIYASAH TERHADAP FUNGSI PENGAWASAN DPRD KABUPATEN GARUT DALAM PEMAKZULAN BUPATI GARUT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN FIKIH SIYASAH TERHADAP FUNGSI

PENGAWASAN DPRD KABUPATEN GARUT DALAM

PEMAKZULAN BUPATI GARUT BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG

PEMERINTAHAN DAERAH

SKRIPSI

Oleh: Putri Rahayu NIM. C03212025

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan bagaimana fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam mekanisme pemakzulan Bupati Garut berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beberapa waktu lalu dan bagaimana tinjauan fikih siyasah terhadap fungsi pengawasan tersebut.

Data penelitian dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (text reading) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analitis.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terhadap kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah sama halnya dengan fungsi pengawasan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi terhadap khalifah. Fungsi pengawasan yang dilakukan adalah sebagai wujud representasi rakyat demi terciptanya kemaslahatan umat. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidaklah menyebutkan adanya pengawasan DPRD terhadap kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah sampai pada ranah keperdataan. Pengawasan yang dilakukan oleh ahl h}alli wa al-‘aqdi tidak memandang sekat privasi maupun keperdataan seorang khalifah atau kepala negara. Kredibilitas khalifah atau kepala negara yang buruk dapat menjadi sebuah alasan kuat untuk melengserkan kekuasaan khalifah. Adanya kasus perkawinan sirih dan perceraian melalui pesan singkat atas perkawinan sirih tersebut menjadi indikasi adanya tindakan pelanggaran etika dan peraturan perundang-undangan oleh kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah. Walaupun dalam ajaran Islam tidak ada kewajiban pencatatan perkawinan dan perceraian (talak) dapat dilakukan secara lisan, hal ini tidak serta merta mengesampingkan hukum positif di Indonesia yang mewajibkan pencatatan perkawinan dan perceraian di depan sidang pengadilan.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM... i

PERNYATAAN KEASLIAN... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

PENGESAHAN... iv

ABSTRAK\... v

KATA PENGANTAR... vi

PERSEMBAHAN... viii

MOTTO... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TRANSLITERASI... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 8

C. Rumusan Masalah... 10

D. Kajian Pustaka... 10

E. Tujuan Penelitian... 11

F. Kegunaan Hasil Penelitian... 12

G. Definisi Operasional... 13

H. Metode penelitian... 14

(8)

BAB II AHL AL-H}ALLI WA AL-‘AQDI DALAM BIROKRASI

PEMERINTAHAN ISLAM... 20

A. Pengertian Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi... 20

B. Dasar Hukum Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi... 24

C. Kedudukan Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi... 26

D. Syarat-syarat Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi... 28

E. Tugas dan Fungsi Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi dalam Pemakzulan Khalifah... 31

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITAS NYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH... 39

A. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)... 39

1. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)... 39

2. Dasar hukum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)...40

3. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)... 41

4. Syarat-syarat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)... 43

5. Otoritas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/ DPRD (tugas, fungsi dan wewenang)... 46

B. Pemakzulan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah... 51

1. Makna pemakzulan... 51

2. Dasar hukum pemakzulan... 53

3. Mekanisme pemakzulan di Indonesia... 55

BAB IV ANALISIS FIKIH SIYASAH TERHADAP FUNGSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) KABUPATEN GARUT DALAM PEMAKZULAN BUPATI GARUT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH... 59

A. Pelanggaran Etika... 59

B. Pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan... 62

C. Pemakzulan... 67

(9)

A. Kesimpulan... 73

B. Saran... 74

DAFTAR PUSTAKA... 76

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia menganut asas Trias Politika Montesquieu dalam arti pembagian kekuasaan, bukan pemisahan kekuasaan. Hal ini jelas dari pembagian Bab dalam Undang-undang Dasar 1945 yang telah membagi kekuasaan pemerintahan menjadi 3 (tiga) cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif.1 Namun, dalam

perkembangannya Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen menetapkan 4 (empat) kekuasaan dan 7 (tujuh) lembaga negara sebagai berikut:2 Pertama, kekuasaan eksaminatif (inspektif), yaitu Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK). Kedua, kekuasaan legislatif, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang tersusun atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ketiga, kekuasaan eksekutif, yaitu Presiden dan Wakil Presiden. Keempat, kekuasaan kehakiman (yudikatif), meliputi Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Kelima, lembaga negara bantu, yaitu Komisi Yudisial. Konsep pembagian kekuasaan pun diterapkan sampai di tingkat daerah. Di sana, roda pemerintahan dikendalikan oleh lembaga eksekutif

      

1 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 287-288. 

(11)

   

(gubernur, walikota atau bupati), legislatif (DPRD) dan yudikatif (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi). Kekhususan inipun memberikan ruang bagi setiap lembaga untuk menjalankan tugasnya masing-masing demi kesejahteraan rakyat.

Sistem kerja antara lembaga-lembaga tersebut melalui suatu mekanisme pengawasan dan keseimbangan (check and ballance) di mana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya.3 Misalnya pengawasan yang dilakukan oleh DPRD

Kabupaten Garut selaku pelaksana kekuasaan legislatif di daerah terhadap Bupati Garut sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif di daerah. Sejalan dengan sistem kerja tersebut, kasus yang menjerat mantan Bupati Garut Aceng HM Fikri dapat memberikan gambaran bagaimana sistem pengawasan antar lembaga dijalankan.4

Sebelumnya ramai diberitakan oleh media bahwa Bupati Garut, Aceng Holik Munawar Fikri, melalui kuasa hukumnya Eggi Sudjana melaporkan pansus nikah siri, pimpinan DPRD Kabupaten Garut dan anggota DPRD Kabupaten Garut ke Polres Garut atas dugaan perbuatan tidak menyenangkan dan dokumen palsu yang menjadi dasar pengusulan pemakzulannya. Laporan ini terkait dengan upaya pembelaan yang dilakukannya atas kasus nikah siri yang yang dilakukan Aceng HM Fikri

       3 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar..., 284. 

4Iman Herdiana, “Pansus Temukan Pelanggaran Bupati Aceng”,

(12)

   

dengan gadis belia, Fani Oktora. Pernikahan itu hanya berumur empat hari sebelum Fani dicerai melalui pesan singkat.5

Laporan Aceng HM Fikri tersebut sebagai adanya upaya kriminalisasi terhadap peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Hal ini penulis nilai sebagai bentuk upaya sistematis untuk melemahkan peran kontrol mereka terhadap bupati yang tengah menjabat.

Masyarakat yang tengah hidup dalam atmosfer kehidupan demokrasi secara konstitusional memiliki hak untuk memilih secara langsung kepala daerahnya, seperti bupati, dan memilih anggota DPRD sebagai perwakilan mereka di lembaga legislatif. Masyarakat juga memiliki peluang untuk menggugat kepemimpinan seorang kepala daerah apabila dianggap melakukan penyimpangan dalam kepemimpinannya. Namun, untuk melakukan pemakzulan, melengserkan atau memberhentikan seorang kepala daerah membutuhkan proses panjang melalui sidang dan kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Melihat kasus pemakzulan mantan Bupati Garut yang melibatkan sejumlah aksi demonstrasi masyarakat yang meminta bupatinya diberhentikan dari jabatannya, menarik untuk mengamati sejauh mana keseriusan dan kemampuan anggota DPRD menampung dan mengeksekusi permintaan masyarakat ini, karena secara konstitusional hanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang memiliki

      

5Suryanta Bakti Susila, “Bupati Aceng Fikri Datangi Polres Garut”,

(13)

   

wewenang untuk melakukan hal tersebut. Artinya bahwa memakzulkan seorang kepala daerah merupakan domain atau wewenang DPRD yang ditetapkan dalam Keputusan DPRD.6

Secara kasat mata, demonstrasi yang telah berlangsung tersebut menunjukkan sebagian besar masyarakat mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja bupati yang tengah menjabat, terutama terhadap tindakan-tindakan yang diduga tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal menunjukkan kesalahan fatal bupati ini dibutuhkan proses pembuktian yang lebih lugas dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (legalitas) maupun konstitusional. Berbicara tentang prosedur administrasi seperti ini maka dapat diprediksi proses yang akan terjadi akan membutuhkan jalur, ruang dan waktu yang panjang, serta menyita energi yang banyak, dengan kata lain prosedurnya akan berbelit-belit.

Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sangat strategis dalam melakukan pembelaan terhadap rakyat, karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki kewajiban untuk memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.7

Namun, tidak jarang terjadi bahwa fungsi dan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tersebut tidak dapat terwujud yang pada akhirnya berujung pada penurunan citra terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

      

6 Ateng Syafrudin, Etika Hubungan Legislatif Eksekutif dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah (Bandung: Fokusmedia, 2003), 10. 

(14)

   

Resiko penurunan citra terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ini setidaknya pernah dihadapi oleh DPRD Kabupaten Garut yang dilaporkan mantan Bupati Garut Aceng HM Fikri atas tuduhan pelanggaran Tata Tertib DPRD dan pemalsuan dokumen terkait pemakzulannya. Menurut Aceng HM Fikri melalui kuasa hukumnya Eggy Sudjana mengatakan bahwa dasar pemberhentian Aceng yang ditetapkan dalam Keputusan DPRD Garut Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pendapat DPRD Garut terhadap Dugaan Pelanggaran Etika dan Peraturan Perundang-undangan yang dilakukan Aceng HM Fikri tidak berdasarkan hukum. Dia mempermasalahkan penggantian form daftar hadir forum ulama Garut menjadi daftar hadir mendukung pemakzulan Bupati Aceng HM Fikri. Selain itu, ketika pembahasan masalah Aceng di DPRD Garut, terjadi pergantian salah satu anggota panitia khusus yang tanpa melewati sidang paripurna. Pelanggaran tata tertib lain adalah pengambilan Keputusan DPRD atas dasar desakan masyarakat. Dia mempermasalahkan sidang yang berlangsung terbuka sehingga DPRD terpengaruh massa yang masuk. Menurutnya, hal-hal itu melanggar Tata Tertib (tatib) DPRD.8

Dengan demikian masih banyak hal yang harus ditegaskan mengenai analisis dari kontekstualisasi fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam Pemakzulan Bupati Garut Aceng HM Fikri beberapa waktu lalu. Dengan latar belakang inilah

      

8Didit Putra Erlangga, “Pengacara Aceng: Keputusan Presiden Sesat”,

(15)

   

penulis akan meneliti hal-hal tersebut yang dikaitkan dengan fikih siyasah atau hukum tata negara Islam.

Adapun pengertian fikih siyasah atau hukum tata negara Islam adalah salah satu aspek hukum Islam yang membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Kata siyasah sendiri mengandung tujuan untuk mengatur, mengurus dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu.9

Lembaga perwakilan rakyat sebagai representasi sistem ketatanegaraan dalam konsep fikih siyasah atau hukum tata negara Islam telah ada setelah masa Rasulullah. Lembaga ini disebut dengan istilah ahl al-h}alli wa al-‘aqdi.10 Hubungan lembaga ini dengan umat merupakan hubungan pengganti atau wakil.11 Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi memiliki tugas

dan fungsi yang berkaitan dengan konsep perwakilan rakyat layaknya Dewan Perwakilan Rakyat/ Rakyat Daerah (DPR/DPRD) di Indonesia. Tugas mereka tidak hanya bermusyawarah dalam perkara-perkara umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan kemaslahatan dan tidak bertabrakan dengan satu dasar dari dasar-dasar syariat yang baku dan melaksanakan peran konstitusional dalam memilih pemimpin tertinggi negara saja. Tetapi tugas mereka juga mencakup melaksanakan peran pengawasan atas kewenangan legislatif sebagai

      

9 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 3-4. 

(16)

   

wewenang pengawasan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah dan penguasa untuk mencegah mereka dari tindakan pelanggaran terhadap suatu hak dari hak-hak Allah.12

Hal ini merupakan tanggung jawab kita bersama dalam mengubah kemungkaran dalam politik atau dalam perundang-undangan yang dilakukan oleh u>li> al-amri serta memastikan prinsip pengawasan atas kerja pemerintah telah dijalankan, karena tidak cukup menjaga rakyat dari tindakan sewenang-wenang penguasa atau dari penyalahgunaan kekuasaannya hanya melalui komitmen penguasa dengan bermusyawarah, tetapi harus ditambah dengan adanya satu jenis pengawasan atas kerjanya, karena penguasa dapat bebas berbuat dalam batas-batas spesialisasinya dengan adanya kekuasaan evaluatif yang luas.

Konsep kekuasaan modern cenderung untuk menobatkan negara atau kepemimpinan politiknya dengan berbagai kekuasaan konstitusi yang besar dalam kawasan hukum dan undang-undang. Sedangkan konsep kekuasaan Islam, terutama jika dilihat dari sisi metodologi konotik Ibn Taimiyah, mereduksi negara sebagai suatu sarana untuk menerapkan hukum Allah atau syariah. Ulama dan umara, kata Ibn Taimiyah, adalah mereka yang diisyaratkan al-Qur’an sebagai u>li> al-amri atau mereka yang memerintah, pihak yang harus ditaati oleh umat Islam. Ia juga menambahkan bahwa kelompok itu terdiri dari orang-orang yang terpilih yang memenuhi syarat-syarat komplementer seperti keberanian, kekuatan,

(17)

   

pengetahuan dan akal. Ia mengharapkan agar mereka sungguh memberikan suri tauladan bagi segenap lapisan masyarakat karena kebanyakan orang cenderung meniru tingkah laku pemimpin mereka.13

Sesungguhnya sanksi keras yang tersimbol dalam pencabutan kepemimpinan saat seorang pemimpin melakukan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajibannya sangatlah penting sekali. Namun, itu bisa dilakukan setelah terjadi kemudaratan yang timbul dari perbuatan pemimpin tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan yang mampu menghentikan penyelewengan-penyelewengan sebelum terjadi kemudaratan yang ditimbulkan dari perbuatan penyelewengan tersebut.14

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat mengetahui masalah-masalah sebagai berikut:

1. Tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 2. Hak dan kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 3. Syarat-syarat pemberhentian kepala daerah menurut UU Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

4. Mekanisme pemakzulan kepala daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

      

13 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibn Taimiyah (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), 67-68. 

(18)

   

5. Urgensitas pengajuan usul atau pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam Keputusan DPRD dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah.

6. Posisi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah.

7. Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah.

8. Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah menurut fikih siyasah atau hukum tata negara Islam.

Agar penelitian ini tetap mengarah pada permasalahan yang akan dikaji dan tidak menyimpang dari pokok pembahasan, maka penulis membatasi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2. Tinjauan fikih siyasah terhadap fungsi pengawasan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

(19)

   

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimana fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ?

2. Bagaimana tinjauan fikih siyasah terhadap fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah?

D. Kajian Pustaka

(20)

   

‘aqdi dengan jalan musyawarah dan sekaligus berwenang untuk memutuskan serta memberhentikan kepala negara.15

Dalam penelitian kali ini, lebih menekankan pada analisis dari kontekstualisasi fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut serta pandangan fikih siyasah terkait hal tersebut.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan apa yang terdapat dalam rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui gambaran tentang fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Selanjutnya untuk memberikan perspektif baru mengenai pandangan Fikih siyasah terhadap fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

      

(21)

   

Atas dasar tujuan tersebut, maka penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara Teoritis:

a. Memperkaya khasanah ilmu fikih siyasah atau hukum tata negara Islam modern guna membangun argumentasi ilmiah bagi penelitian normatif dalam bentuk putusan atau keputusan hukum atau perundang-undangan dengan konsekuensi ilmiah. Apabila ada ketidaksesuaian sebuah aturan hukum dengan praktiknya, khususnya Keputusan DPRD Kabupaten Garut yang menjadi fokus penelitian ini, sehingga dapat disempurnakan.

b. Dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian dan kajian tentang eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) dalam menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2. Secara Praktis:

a. Memberikan pedoman argumentasi hukum yang diperlukan agar diperoleh daya guna yang diharapkan bagi penegakan profesionalitas politisi dan wakil rakyat di parlemen, demi terciptanya iklim yang adil dan kondusif.

(22)

   

G. Definisi Operasional

Definisi operasional ini memberikan batasan-batasan tentang pengertian atas variabel-variabel dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Fungsi Pengawasan yaitu fungsi untuk melakukan pengawasan

terhadap pelaksanaan UUD 1945, undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.16 Fungsi pengawasan yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah yang berkaitan dengan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut, Aceng Holik Munawar Fikri, berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2. Pemakzulan Bupati merupakan proses, cara, perbuatan menurunkan

dari takhta, memberhentikan dari jabatan orang yang mengepalai suatu wilayah daerah tingkat II.17 Pemakzulan bupati yang dimaksud pada

penelitian ini adalah pemakzulan Bupati Garut, Aceng Holik Munawar Fikri, oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut.

3. Fikih siyasah atau hukum tata negara Islam adalah salah satu aspek hukum Islam yang membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Kata siyasah sendiri mengandung tujuan untuk mengatur, mengurus dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu

      

(23)

   

yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu.18 Pada penelitian ini akan

lebih menitikberatkan pada kajian yang berkaitan dengan perundang-undangan (fikih dusturiyah).

H. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan model pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analitis dan pengumpulan data melalui metode penelitian pustaka (library research).

1. Data yang dikumpulkan, yakni data yang akan ditulis pada bab III, meliputi:

a. Data mengenai fungsi pengawasan badan legislatif.

b. Data mengenai tugas, wewenang, hak dan kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD).

c. Data mengenai mekanisme pemakzulan kepala daerah.

d. Data mengenai Putusan Mahkamah Agung Nomor 1/P/Khs/2013 tentang permohonan uji pendapat terhadap Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Garut Nomor 30 Tahun 2012 tanggal 21 Desember 2012 tentang pendapat DPRD Kabupaten Garut terhadap dugaan pelanggaran etika dan peraturan

perundang-undangan yang dilakukan oleh H. Aceng H. M. Fikri

sebagai Bupati Garut.

2. Sumber Data

(24)

   

a. Sumber primer, yakni sumber yang berasal dari aturan hukum berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sumber data yang dimaksud adalah dokumen terkait fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

b. Sumber sekunder merupakan sumber yang bersifat membantu atau menunjang dalam melengkapi dan memperkuat serta memberikan penjelasan mengenai sumber data primer, diantaranya adalah:

1) Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam.

2) Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam.

3) Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibn Taimiyah.

4) Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik.

5) Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.

6) Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945.

3. Teknik Pengumpulan Data

(25)

   

bersumber dari: 1) Peraturan perundang-undangan, 2) Buku, 3) Jurnal, dan 4) Koran online, berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan kemudian dilakukan penulisan secara sistematis dan komprehensif.

4. Teknik Pengelolaan Data

Bertolak dari sumber-sumber data yang telah dikumpulkan, maka teknik pengelolaan data yang dilakukan dalam penelitian ini kemudian adalah pengidentifikasian data, pengklasifikasian data dan yang terakhir adalah penganalisisan data.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan melakukan pendekatan perundang-undangan. Melalui pendekatan perundang-undangan dilakukan pengkajian terhadap aturan hukum yang menjadi fokus dan berhubungan dengan topik permasalahan. Dalam hal analisis diarahkan kepada fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut menurut fikih siyasah. Langkah-langkah analitis dilakukan untuk memperoleh hipotesis hukum, apakah fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Garut telah sesuai dengan prinsip fikih siyasah atau tidak.

(26)

   

permasalahan konkret yang bersifat khusus.19 Artinya, mengemukakan

teori yang bersifat umum, yaitu teori ahl al-h}alli wa al-‘aqdi kemudian ditarik pada permasalahan yang lebih khusus tentang fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam upaya untuk menjadikan alur pembahasan menjadi sistematis, maka penulisan skripsi dibagi ke dalam lima bab. Dalam masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang akan diteliti.

Bab I sebagai pendahuluan berupa uraian latar belakang masalah yang berkaitan dengan urgensi penelitian, dilanjutkan dengan identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode yang digunakan dalam penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab II membahas landasan teori tentang konsep ahl h}alli wa al-‘aqdi yang mencakup pengertian ahl al-h}alli wa al-‘aqdi, dasar hukum ahl al-h}alli wa al-‘aqdi, kedudukan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi, syarat-syarat ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dan tugas serta fungsi ahl h}alli wa al-‘aqdi dalam pemakzulan kepala negara yang dianalogikan dengan konsep pemakzulan kepala daerah.

      

(27)

   

Bab III berisi data tentang fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut yang akan diteliti dalam penelitian ini. Hal ini mencakup pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dasar hukum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), syarat-syarat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), otoritas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah yang meliputi tugas, fungsi dan wewenang.

Bab IV merupakan pembahasan yang paling inti dalam skripsi ini, yaitu analisis terhadap fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut, yang mencakup tentang: otoritas pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut terhadap tindak pelanggaran yang dilakukan oleh Bupati Garut, yang menjadi dasar keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memakzulkannya, dengan memadukannya terhadap konsep fungsi dan peran pengawasan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dalam pemberhentian seorang khalifah.

(28)

(29)

BAB II

AHL AL-HALLI WA AL-‘AQDI

DALAM BIROKRASI PEMERINTAHAN ISLAM

A. Pengertian Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi

Baik di dalam al-Qur’an maupun sunah tidak ditemukan sebutan atau

spesifikasi apa yang disebut dengan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi. Istilah ahl

al-h}alli wa al-‘aqdi mulai timbul dalam kitab-kitab para ahli tafsir dan ahli

fikih setelah masa Rasulullah. Abu Bakar selalu menyelesaikan perkara

dengan bermusyawarah. Apabila ia dihadapkan dengan suatu permasalahan

dan ia tidak menemukan penyelesaiannya di dalam al-Qur’an dan sunah, ia

langsung mengumpulkan para sahabat, lalu ia bermusyawarah dengan

mereka. Jika mereka semua sepakat atas satu keputusan, ia pun memutuskan

permasalahan tersebut dengan keputusan itu. Begitupun dengan Umar, ia

mempunyai orang-orang khusus dari para u>li> al-amri.1

Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah orang-orang yang ahli dalam memilih

dan bermusyawarah, juga orang-orang yang ahli dalam mengawasi para

pejabat. Mereka adalah u>li> al-amri dalam umat dan tugas mereka masuk

dalam ruang lingkup politik keagamaan.2 Secara global dapat dikatakan

bahwa ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah orang yang bertanggung jawab atas

semua kemaslahatan rakyat. Mereka adalah orang-orang yang mewakili

      

1 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik..., 78. 

(30)

   

kekuasaan rakyat. Mereka juga adalah orang-orang yang telah dipercayai oleh

rakyat dalam memperjuangkan aspirasi dan kemaslahatan rakyat yang

dengannya akan makmur kehidupan mereka. Rakyat juga akan selalu

mengikuti apa yang mereka tetapkan, baik dalam perkara agama atau dalam

perkara dunia.3

Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi diartikan dengan orang-orang yang

mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat. Istilah ini

dirumuskan oleh ulama fikih untuk sebutan bagi orang-orang yang bertindak

sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka. Tugasnya antara

lain memilih khalifah, imam, dan kepala negara secara langsung. Paradigma

pemikiran ulama fikih merumuskan istilah ahl al-h}alli wa al-‘aqdi

didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan

oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan, Ansar dan Muhajirin.

Mereka ini oleh ulama fikih diklaim sebagai ahl al-h}alli wa al-‘aqdi yang

bertindak sebagai wakil umat.4

Mengenai siapa yang disebut sebagai ahl al-h}alli wa al-‘aqdi yang

berhak memilih khalifah, Muhammad Rasyid Ridha berpendapat mereka itu

tidak hanya terdiri dari ulama atau ahli agama yang sudah mencapai tingkat

mujtahid saja, tetapi juga dari pemuka-pemuka masyarakat di berbagai

bidang, termasuk bidang perdagangan, perindustrian, dsb. Tetapi hanya

sampai batas itu pendapat Ridha, pendapatnya tentang konsep ahl al-h}alli

wa al-‘aqdi tetap tidak jelas. Misalnya, ia tidak menjelaskan tentang

      

3 Ibid., 112. 

(31)

   

bagaimana cara pengangkatannya, dipilih oleh rakyat atau dari kalangan

rakyat atau khalifah yang menunjuk mereka.5

Abu A’la al-Maududi menyebutkan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi sebagai

lembaga penengah dan pemberi fatwa, ia juga menyebutkan lembaga tersebut

sebagai lembaga legislatif.6 Al-Razi menyamakan pengertian antara ahl

al-h}alli wa al-‘aqdi dan u>li> al-amri, yaitu para pemimpin dan penguasa.7

Muhammad Abduh menyatakan yang dimaksud dengan u>li> al-amri

adalah golongan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dari kalangan orang-orang muslim,

yang terdiri dari para amir, para hakim, para ulama, para pemimpin militer,

dan semua penguasa serta pemimpin yang dijadikan rujukan oleh umat dalam

masalah kebutuhan dan kemaslahatan publik.8 Demikian pula al-Maraghi,

rumusannya sama seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan

Rasyid Ridha.9 Sedangkan, al-Mawardi menyebutkan ahl h}alli wa

al-‘aqdi dengan ahl al-ikhtiya>r atau dewan pemilih.10

Ibn Taimiyah cenderung tidak mengakui keberadaan ahl al-h}alli wa

al-‘aqdi (dewan perumus undang-undang dan pemilih) seperti yang berlaku

pada teori-teori khilafah tradisional. Menurut pendapatnya, tidak satupun ayat

al-Qur’an maupun sunah Nabi yang mendukung eksistensi badan

pemerintahan dengan supremasi yuridis itu, baik untuk menobatkan atau

mencopot seorang pemimpin. Peranan penting yang mereka berikan kepada

      

5 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1990), 134. 

6 Abu A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Asep Hikmat (Bandung:

Mizan, 1995), 245. 

7 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah..., 69. 

8 Ibid., 68.  9 Ibid.,69. 

(32)

   

ulama dalam administrasi negara tidak berarti bahwa mereka mempunyai

wewenang untuk menunjuk seorang pemimpin. Tidak hanya kerjasama

mereka yang diperlukan untuk memilih pemimpin yang baru, tetapi juga

kerjasama semua unsur efektif lain dalam masyarakat.11

Banyaknya sebutan bagi kelompok ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dalam

tura>ts fikih kita sejak awal Islam, di mana kelompok ini merupakan sebutan

lain dari “Dewan Perwakilan Rakyat” atau ahl al-Ikhtiya>r. Para khalifah

selalu merujuk dan berkomitmen dengan pendapat-pendapat mereka dalam

perkara-perkara rakyat. Kelompok ini memiliki hak untuk memilih atau

menobatkan khalifah dan juga memberhentikannya. Kelompok ini terdiri dari

para ulama, para pemimpin suku dan pemuka masyarakat. Banyaknya nama

bagi kelompok ini disebabkan karena keberagaman atau heterogenitas tugas

dan fungsi yang mereka emban.12

Abu A’la al-Maududi menyebutkan bahwa legislatif merupakan

lembaga yang berdasarkan terminologi fikih disebut sebagai lembaga

penengah dan pemberi fatwa yang biasa dikenal dengan istilah ahl al-h}alli

wa al-‘aqdi.13 Dasar dalam masalah ini adalah, bahwa rakyat yang memiliki

kekuasaan dalam memilih pemimpin, sementara ahl al-h}alli wa al-‘aqdi

mewakili mereka, kecil jumlahnya dari rakyat, tetapi memiliki kapabilitas

untuk memikul tanggung jawab memilih pemimpin. Perkara ini mendorong

para pakar di bidang perbandingan antara undang-undang konstitusional

modern dan fikih politik Islam untuk menyimpulkan bahwa dewan-dewan

      

11 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam..., 82-83. 

12 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik..., 79-80. 

(33)

   

parlementer sama dengan majelis permusyawaratan ahl shu>ra dalam

Islam.14

Majelis shu>ra berarti majelis permusyawaratan atau badan legislatif.

Al-Maududi percaya bahwa majelis shu>ra atau ahl al-h}alli wa al-‘aqdi

adalah ditunjuk oleh kepala negara bukan dipilih melalui pemilu. Mungkin

pemikiran ini didasarkan kepada sikap Umar bin Khattab yang menunjuk

enam orang majelis shu>ra atau ahl al-h}alli wa al-‘aqdi sebagai tim yang

memilih penggantinya ketika menjelang beliau tiada. Lagipula majelis

shu>ra yang memilih dan membaiat Abu Bakar menjadi khalifah pertamapun

tidak dipilih melalui pemilu.15

Maka, dapat disimpulkan bahwa ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah

lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

Mereka adalah sekelompok orang dari kalangan kaum muslimin yang

dipandang paling baik agamanya, akhlaknya, kecemerlangan idenya dan

pengaturannya dalam birokrasi pemerintahan.

B. Dasar Hukum ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi

Al-Qur’an dan sunah sebagai dua sumber perundang-undangan Islam

tidak menyebutkan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi atau Dewan Perwakilan Rakyat,

namun sebutan itu hanya ada di dalam tura>ts fikih kita di bidang politik

keagamaan dan pengambilan hukum substansial dari dasar-dasar menyeluruh,

      

14 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik..., 245. 

(34)

   

maka dasar sebutan ini di dalam al-Qur’an yang disebut dengan u>li>

al-amri dalam firman Allah Swt.:

ﺴأ

antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan u>li> al-amri). (QS. al-Nisa: 83)

Dengan demikian, fikih politik Islam telah menciptakan satu bentuk

musyawarah di masa awal timbulnya daulat Islamiah, sebagaimana ia juga

telah menciptakan satu bentuk konstitusi yang dikenal dengan konstitusi

Madinah (Madinah charter/ piagam Madinah). Bentuk musyawarah itu tidak

lain adalah apa yang kita kenal dengan istilah ahl al-h}alli wa al-‘aqdi atau

Dewan Perwakilan Rakyat atau ahl al-ikhtiya>r di masa awal Islam. Di mana

kelompok ini telah dipercaya oleh rakyat karena keilmuan dan

kecendekiawanan serta keikhlasan mereka. Juga karena keseriusan mereka

dalam membuat hukum-hukum yang diperlukan, baik yang berkenaan dengan

peraturan sipil, politik dan administratif. Mereka termasuk dalam ranah u>li>

al-amri yang Allah Swt. wajibkan bagi kita untuk menaati mereka.16

      

(35)

   

Kebutuhan akan dibentuknya lembaga ahl al-h}alli wa al-‘aqdi

memang sangat penting dalam birokrasi pemerintahan. Para ahli fikih siyasah

menyebutkan alasan pentingnya pembentukan majelis shu>ra ini. Pertama,

rakyat secara keseluruhan tidak mungkin dimintai pendapatnya tentang

masalah kenegaraan. Kedua, secara individual rakyat tidak mungkin

berkumpul dan bermusyawarah secara keseluruhan dalam satu tempat.

Ketiga, musyawarah hanya mungkin dilakukan jika pesertanya terbatas.

Keempat, kewajiban amar makruf nahi mungkar hanya bisa dilakukan apabila

ada lembaga yang berperan menjaga kemaslahatan antara pemerintah dengan

rakyatnya. Kelima, ajaran Islam sendiri memerintahkan perlunya

pembentukan lembaga musyawarah, sebagaimana yang tertera di dalam

al-Qur’an surah al-Syura ayat 38 dan Ali Imran ayat 159.17

C. Kedudukan ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi

Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi mempunyai kedudukan yang penting dalam

pemerintahan Islam. Antara khalifah dan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi

bekerjasama dalam menyelenggarakan pemerintahan yang baik demi

kemaslahatan umat. Kedudukan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dalam pemerintahan

adalah sebagai wakil rakyat yang salah satu tugasnya adalah memilih khalifah

dan mengawal khalifah menuju kemaslahatan umat.18 Dengan kata lain,

kedudukan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dalam pemerintahan adalah sebuah

      

17 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi..., 142-143. 

(36)

   

lembaga yang mempunyai tugas dan wewenang sendiri tanpa adanya campur

tangan atau intervensi dari khalifah.

Al-Maududi mengharuskan adanya lembaga yang berfungsi sebagai

pengukur dan pemutus perkara yang harus selalu berpedoman kepada kitab

Allah dan sunah Rasul secara ketat. Selanjutnya, al-Maududi mengemukakan

tiga lembaga penting yang rakyat harus memberikan ketaatan terhadap negara

melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh ketiga lembaga atau badan

tersebut, yaitu lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.19

Menurut al-Maududi, lembaga legislatif adalah lembaga yang

berdasarkan terminologi fikih disebut dengan lembaga penengah dan pemberi

fatwa atau sama dengan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi.20Dalam memformulasikan

hukum, lembaga ini harus dibatasi dengan batasan-batasan Allah dan

RasulNya dan tidak boleh bertolak belakang dengan legislasi yang ditetapkan

Allah dan Rasul walaupun rakyat menghendakinya. Begitu juga tidak seorang

muslimpun memberi dan memutuskan persoalan sesuai dengan pendapatnya

sendiri yang tidak sejalan dengan ketentuan Allah dan Rasul. Lebih tegas lagi

ia menyatakan bahwa orang-orang yang membuat keputusan tidak

berdasarkan al-Qur’an termasuk orang-orang kafir.21 Dengan kata lain, semua

bentuk legislasi harus mencerminkan semangat atau jiwa dari undang-undang

dasar al-Qur’an dan hadis.

D. Syarat-syarat ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi

      

19 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata..., 167. 

20 Abu A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi..., 245. 

(37)

   

Menurut al-Maududi, ahl al-h}alli wa al-‘aqdi atau majelis shu>ra

terdiri dari warga negara yang beragama Islam, dewasa, dan laki-laki, yang

terhitung saleh serta cukup terlatih untuk dapat menafsirkan dan menerapkan

syariat dan menyusun undang-undang yang tidak bertentangan dengan

al-Qur’an dan sunah nabi. Jadi, wanita tidak diperkenankan duduk dalam

jabatan majelis shu>ra.22

Menurut al-Maududi, mengenai pemilihan kaum wanita untuk

badan-badan legislatif, hal ini mutlak bertentangan dengan jiwa dan ajaran Islam dan

hanya peniruan buta terhadap barat. Menurut Islam, politik dan administrasi

(pemerintahan) aktif bukanlah bidang kegiatan kaum wanita tetapi berada di

bawah lingkup tanggung jawab kaum pria. Namun, harus diingat bahwa

pernyataan ini hanya merupakan pandangan pribadi al-Maududi. Masalah

mengenai peranan wanita dalam politik masih merupakan masalah

kontroversial.23

Cara yang tepat untuk memecahkan masalah ini adalah dengan

membentuk dewan terpisah yang anggota-anggotanya terbatas untuk kaum

wanita saja dan yang kesemuanya dipilih oleh para pemilih wanita. Fungsi

utama dari dewan ini adalah menjaga urusan-urusan khusus wanita seperti

pendidikan wanita, rumah sakit wanita, dsb. Tentu saja, dewan ini perlu

diberi hak untuk mengkritik masalah-masalah yang menyangkut

kesejahteraan umum bangsa. Selanjutnya, dewan ini harus diajak

      

22 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata..., 169. 

(38)

   

bermusyawarah oleh badan-badan legislatif mengenai masalah-masalah yang

menyangkut kesejahteraan kaum wanita.24

Selain itu, al-Maududi juga memberikan syarat untuk jabatan khalifah

atau kepala negara, untuk keanggotaan majelis shu>ra, atau untuk

jabatan-jabatan lain yang penting, jangan dipilih orang-orang yang yang mencalonkan

diri untuk jabatan tersebut atau mereka yang berupaya untuk menduduki

jabatan-jabatan tersebut. Kemudian, anggota majelis shu>ra tidak dibenarkan

terbagi menjadi kelompok-kelompok atau partai-partai. Masing-masing

anggota majelis harus mengemukakan pendapatnya yang benar secara

perorangan. Islam melarang anggota majelis terbagi dalam partai-partai dan

melarang mereka mendukung pendapat partai masing-masing tanpa melihat

apakah pendapat itu benar ataupun salah.25

Berbeda dengan al-Maududi, Muhammad Rasyid Ridha menyatakan

bahwa untuk menjadi ahl al-h}alli wa al-‘aqdi, mereka harus memenuhi dua

syarat yaitu berilmu dan mampu berijtihad. Namun, pendapat ini menjadi

tidak jelas karena ia tidak menjelaskan tentang bagaimana mekanisme

pengangkatan mereka.26

Dalam bahasa lain ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dikenal sebagai dewan

pemilih. Dewan pemilih yang bertugas memilih imam (khalifah) bagi umat

tersebut memiliki kriteria-kriteria legal yang harus mereka dimiliki yaitu:27

1. Adil dengan segala syarat-syaratnya.

      

24 Ibid. 

25 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata..., 168. 

26 Ibid.,134. 

(39)

   

2. Ilmu yang mampu membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak

menjadi imam (khalifah) sesuai dengan kriteria-kriteria yang legal.

3. Wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih

siapa yang paling tepat menjadi imam (khalifah) dan paling efektif

serta paling ahli dalam mengelola semua kepentingan.

Di antara hal yang jelas dalam syarat ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah

spesialisasi mereka sebagai berikut:28

1. Membaiat (menobatkan) orang yang menurut mereka mampu untuk

memegang tongkat kepemimpinan.

2. Melakukan ijtihad dalam hukum-hukum untuk mencapai kesepakatan

(ijmak).

Spesialisasi pertama menuntut adanya syarat mempunyai pemikiran dan

kebijaksanaan, sedangkan spesialisasi yang kedua menuntut adanya syarat

mempunyai pengetahuan tentang perundang-undangan dan cukup mengenal

kemaslahatan rakyat. Hal tersebut memasukkan mereka ke dalam kelompok

para mujtahid, artinya bahwa kedudukan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dapat

dipandang sebagai tugas perundang-undangan yang menuntut adanya

pengenalan terhadap hukum-hukum fatwa dan pengambilan hukum dalam

masalah-masalah umum seperti masalah keamanan dan ketakutan.29

Syarat-syarat ahl al-h}alli wa al-‘aqdi yang disebutkan oleh para

fukaha termasuk dalam politik substansial yang tunduk dengan kemaslahatan,

      

28 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik..., 110. 

(40)

   

berbeda-beda sesuai dengan perbedaan zaman. Apabila ada yang mengira

bahwa ini adalah termasuk dalam syariat umum dan lazim bagi umat sampai

hari kiamat, maka sebenarnya tidaklah demikian. Syarat-syarat ini termasuk

salah satu pemahaman fleksibel dan tidak terbatas yang harus selalu

diperbaharui sesuai dengan perubahan kondisi dan zaman. Ia bukan termasuk

agama, juga bukan termasuk dasar-dasarnya yang tidak bisa berubah.

E. Tugas dan Fungsi ahl al-h}alli wa al-‘aqdi

Suatu gagasan yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha mengenai tugas

dan fungsi dari ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah ia menekankan bahwa tugas

dari orang-orang pilihan itu tidak berakhir dengan usainya pemilihan atau

pengangkatan khalifah. Mereka terus berperan sebagai pengawas terhadap

jalannya pemerintahan khalifah dan harus menghalanginya dari berbuat

penyelewengan. Menurut Ridha, mereka harus mengadakan perlawanan

terhadap kezaliman dan ketidakadilan khalifah, dan apabila penyelewengan

tersebut berakibat pada kepentingan umat ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dapat

mengakhiri kekuasaannya dengan perang atau kekerasan sekalipun.30

Al-Maududi memberikan pendapatnya tentang tugas-tugas majelis

shu>ra, meliputi:31

      

30 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata..., 135. 

(41)

   

1. Merumuskan dalam peraturan perundang-undangan

petunjuk-petunjuk yang secara jelas telah didapatkan dalam al-Qur’an dan

hadis serta pelaturan pelaksanaannya.

2. Jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an atau

hadis, maka memutuskan penafsiran mana yang ditetapkan.

3. Jika tidak terdapat petunjuk yang jelas, menentukan hukum dengan

memperhatikan semangat atau petunjuk umum dari al-Qur’an dan

hadis.

4. Dalam hal sama sekali tidak terdapat petunjuk-petunjuk dasar, dapat

saja menyusun dan mengesahkan undang-undang, asalkan tidak

bertentangan dengan huruf maupun jiwa syariat.

Lembaga yang disebut ahl al-h}alli wa al-‘aqdi bertugas untuk

memberi nasihat kepada kepala negara mengenai masalah-masalah hukum,

pemerintahan dan kebijaksanaan negara. Dalam masalah penting negara,

seperti perumusan kebijaksanaan atau pemberian peraturan-peraturan dalam

berbagai masalah pemerintahan atau hukum, khalifah mau tidak mau harus

berkonsultasi dengan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi.32

Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi memiliki tugas dan fungsi untuk mengkaji

perkara-perkara umum atas dasar musyawarah antara anggotanya untuk

mencari kata sepakat dalam suatu hal yang dapat mewujudkan kemaslahatan

dan menjauhkan dari kerusakan. Adapun tugas kedua dari ahl al-h}alli wa

al-‘aqdi adalah menunaikan kewajiban amar makruf nahi munkar sebagai

      

(42)

   

fardu kifayah, dan tugas pengawasan atas para pejabat merupakan satu

cabang dari kewajiban ini yang pada intinya mengingkari atau memberikan

teguran keras kepada para pejabat dengan adanya indikasi tindakan mungkar

mereka, yang mencakup pelanggaran atas hak-hak Allah, untuk mencegah

kemungkinan terjadinya kemungkaran ini.33

Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dalam menjalankan tugas dan fungsinya ini

mempunyai wewenang untuk meminta pertanggungjawaban penguasa,

diawali dengan wajib memberikan nasihat kepada penguasa, kemudian

diteruskan dengan tingkatan-tingkatan pertanggungjawaban dan terakhir

dengan memberhentikan penguasa atau pemerintahan apabila diperlukan

dan tidak adanya penghalang lain.34 Al-Mawardi berpendapat apabila

khalifah melakukan tindakan yang bertentangan dengan agama dan rakyat,

maka ahl al-h}alli wa al-‘aqdi berhak untuk menyampaikan mosi tidak

percaya kepadanya.35

Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dipandang sebagai tugas politik yang

menuntut bahwa mereka terdiri dari para cendekiawan dan para pakar serta

mempu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan juga

kepentingan-kepentingan umum, baik sosial, ekonomi, ataupun politik, dengan kapasitas

mereka sebagai majelis permusyawaratan yang apabila mereka menyepakati

suatu perkara dari perkara kemaslahatan umat yang tidak ada nasyang jelas

dari Allah Swt., maka taat kepada mereka adalah wajib, dan wajib atas para

      

33 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik..., 158-159. 

34 Ibid. 

(43)

   

penguasa memutuskan sesuai dengan apa yang mereka sepakati itu serta

wajib pula melaksanakannya.36

Bisa juga dipandang sebagai tugas pengawasan atas orang-orang yang

memiliki kekuasaan, yang menuntut syarat-syarat yang harus ada pada para

pengawas, diantaranya mengenal objek pengawasan sebagai fardu ain.

Maka, mereka harus menyelidiki tentang kemungkaran-kemungkaran para

penguasa, yakni yang melakukan pelanggaran terhadap satu hak dari

hak-hak Allah atau hak-hak-hak-hak bersama yang hak-hak Allah lebih dominan di dalamnya.

Juga wajib menyelidiki tentang kebaikan atau yang makruf, yang tidak

dilaksanakan agar mereka dapat memerintahkan untuk ditegakkan, baik

yang berhubungan dengan perkara-perkara agama atau perkara-perkara

dunia. Sebagaimana mereka juga harus mengajukan gugatan untuk

mencegah terjadinya pelanggaran yang mungkin akan dilakukan oleh para

pejabat terhadap hak-hak individual atau kebebasan manusia, dan wajib

memberhentikan penguasa tersebut apabila keadaannya telah menuntut

untuk diberhentikan.37

Berangkat dari para pemikir politik Islam sampai zaman pertengahan

terdapat beberapa pemikiran terkait pemecatan seorang khalifah. Mawardi

dengan jelas mengemukakan bahwa seorang imam dapat digeser dari

kedudukannya sebagai khalifah atau kepala negara apabila ternyata sudah

menyimpang dari keadilan, kehilangan panca indera atau organ-organ tubuh

      

36 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik...,111. 

(44)

   

yang lain, atau kehilangan kebebasan bertindak karena telah menjadi

tawanan orang-orang dekatnya. Tetapi Mawardi hanya berhenti sampai di

situ dan tidak menjelaskan tentang bagaimana cara atau mekanisme

pemberhentian imam yang sudah tidak layak memimpin negara atau umat

itu, dan pemberhentian itu harus dilakukan oleh siapa.38

Imam al-Mawardi mengemukakan tiga perubahan sifat kepala negara

yang membuatnya keluar dari kompetensi sebagai kepala negara, yaitu: 1.

Kredibilitas pribadinya rusak, 2. Terjadi ketidaklengkapan pada anggota

tubuhnya, dan 3. Ketidakmampuan kepala negara bertindak.39 Rusaknya

kredibilitas kepala negara terkait dengan perbuatan melanggar ajaran agama

antara lain melakukan kemungkaran, menuruti hawa nafsu, serta membuat

keputusan yang menyalahi kebenaran. Terkait ketidaklengkapan anggota

tubuhnya, yaitu kehilangan anggota tubuh yang dapat menghalangi

seseorang memangku jabatan kepala negara seperti hilang akal atau hilang

penglihatan. Ketidakmampuan kepala negara bertindak, berarti kepala

negara tidak lagi berfungsi karena dikuasai oleh para pembantunya atau

ditawan musuh. Akan tetapi, tidak ada suatu ketentuan atau praktik baku

dalam ketatanegaraan Islam yang dapat dijadikan landasan teoritik dalam

memakzulkan kepala negara atau seorang khalifah (pemimpin).40

Menurut al-Baqillani, seperti yang dikutip oleh J. Suyuthi Pulungan,

menjelaskan kasus atau keadaan yang menyebabkan pemberhentian kepala

      

38 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata..., 65-66. 

39 Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden..., 11. 

(45)

   

negara, karena: 1. tidak jujur, berbuat bid’ah, tidak adil dan berbuat dosa, 2.

lemah fisik dan mental, seperti gila dan kehilangan kemampuan, tuli dan

bisu atau lanjut usia sehingga tidak lagi mampu melaksanakan tanggung

jawab dan tugasnya, 3. kehilangan kebebasan karena ditawan oleh musuh.

Sementara al-Baghdadi menjelaskan bahwa seorang imam yang tanpa cacat

dan tindakannya tidak bertentangan dengan syariat, umat wajib mendukung

dan mantaatinya. Tetapi apabila ia menyimpang dari ketetapan syariat,

masyarakat harus memilih di antara dua tindakan kepadanya, yaitu

mengembalikannya dari berbuat salah kepada kebaikan, atau mencopot

jabatannya dan memberikannya kepada yang lain.41

Kepala negara yang diangkat melalui pemilihan tidak boleh

diberhentikan kecuali ada suatu peristiwa atau perubahan sesuatu dalam

dirinya yang membolehkan untuk itu. Hal ini kata al-Juwaini, telah menjadi

kesepakatan. Apabila ia fasiq dan fa>jir (perbuatan dosa dan tidak berlaku

adil), maka memberhentikannya adalah mungkin. Dikatakan mungkin

karena tidak ada dasar hukum (ketetapan) untuk memberhentikannya.

Pengunduran diri seorang kepala negara apabila ia merasa tidak lagi mampu

memikul tanggung jawab kedudukannya, juga adalah mungkin. Hal ini ia

dasarkan pada kasus Hasan bin Ali bin Abu Thalib yang mengundurkan diri

dari jabatannya karena lemah dan menyerahkannya kepada Mu’awiyah bin

Sufyan. 42

      

 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah ..., 261-262. 

(46)

   

Maka, secara umum dapat disimpulkan bahwa lembaga legislatif dalam

suatu negara Islam memiliki sejumlah fungsi yang harus dilakukan,

meliputi:43

1. Jika terdapat pedoman-pedoman yang jelas dari Tuhan dan Rasulullah,

meskipun legislatif tidak dapat mengubah atau menggantinya, maka

hanya legislatiflah yang akan kompeten untuk menegakkannya dalam

susunan dan bentuk pasal demi pasal, menggunakan definisi-definisi

yang relevan serta rincian-rinciannya, serta menciptakan

peraturan-peraturan dan undang-undang untuk mengundangkannya.

2. Jika pedoman al-Qur’an dan sunah mempunyai kemungkinan

interpretasi lebih dari satu, maka legislatiflah yang berhak memutuskan

penafsiran mana yang harus ditempatkan dalam Kitab Undang-undang

Dasar.

3. Jika tidak ada isyarat yang jelas dalam al-Qur’an dan sunah, fungsi

lembaga legislatif ini adalah untuk menegakkan hukum-hukum yang

berkaitan dengan masalah yang sama, tentunya dengan menjaga jiwa

hukum Islam.

4. Jika dalam masalah apapun al-Qur’an dan sunah tidak memberikan

pedoman yang sifatnya dasar sekalipun atau masalah ini juga tidak ada

dalam konvensi al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n, maka kita harus

mengartikan bahwa Tuhan telah membiarkan kita bebas melakukan

legislasi mengenai masalah ini menurut apa yang terbaik.

      

(47)

   

BAB III

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN

WAKIL KEPALA DAERAH

A. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

1. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan lembaga

perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah,1 yang memiliki fungsi

pengawasan, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan

peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya,

peraturan kepala daerah, Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah

(APBD), kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program

pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah.2 Tugas

itu secara normatif sebagai cerminan kehidupan demokrasi dalam

pemerintahan daerah, yang harapannya adalah sebagai pelaksanaan

check and balance lembaga di luar kekuasaan pemerintah daerah agar

terdapat keseimbangan. Kemudian, agar kepala daerah tidak

semaunya sendiri dalam menjalankan tugasnya, maka keberadaan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sangat diperlukan dalam

pembangunan daerah. Namun, perlu diingat bahwa Dewan Perwakilan

      

1 Pasal 40 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 

(48)

   

Rakyat Daerah (DPRD) merupakan bagian sinergi yang tidak

terpisahkan dengan pemerintah daerah sebagai penyelenggara

pemerintahan di daerah. Maka, perlu adanya upaya-upaya antisipasi

dari adanya kemungkinan-kemungkinan dominasi atau persaingan

yang syarat akan unsur politik antara pengontrol kekuasaan (legislatif)

dan eksekutif di daerah.

2. Dasar hukum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga

perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah,3 di provinsi/kabupaten/kota di

Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) disebutkan

dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 3: “Pemerintahan daerah provinsi,

daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.”

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kemudian diatur lebih

lanjut dengan undang-undang, terakhir pada BAB VI Undang-undang

Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

perwakilan Rakyat Daerah.4

Pada BAB VI Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

      

3 Pasal 40 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004... 

(49)

   

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara

jelas mengatur tentang susunan dan kedudukan, fungsi, wewenang dan

tugas, keanggotaan, hak dan kewajiban anggota, fraksi, alat

kelengkapan, pelaksanaan hak DPRD, pelaksanaan hak anggota,

persidangan dan pengambilan keputusan, tata tertib dan kode etik,

larangan dan sanksi, pemberhentian antarwaktu, penggantian

antarwaktu dan pemberhentian sementara.5

3. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berdasarkan

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

mengalami peningkatan posisi yang strategis sebagai lembaga

penampung, penyalur sekaligus representasi aspirasi masyarakat di

daerah. Sedangkan dalam kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah

kabupaten/kota dapat ditemukan dalam pasal 342 Undang-undang

Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang

menyebutkan bahwa: “DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga

perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota.” Masuknya

DPRD dalam komposisi penyelenggara pemerintahan di daerah

(50)

   

memberikan penjelasan bahwa dikotomi yang mengarah oposisi peran

antara kepala daerah dan DPRD mulai dihindari.6

Hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

dengan pemerintah daerah dalam otonomi daerah sebenarnya tidak

sulit untuk dipahami, karena dengan memperhatikan fungsi-fungsi

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) saja sudah ditemukan

pola hubungan yang terbangun itu. Apalagi jika dilihat dari sudut yang

lebih politis dan ideologis, yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) sebagai representasi rakyat dan pemerintah daerah yang

melaksanakan tugas pelayanan publik, maka hubungan antara kedua

institusi ini menjadi sebuah keharusan dalam negara demokrasi, di

samping kedudukannya sebagai deskripsi akan sistem

penyelenggaraan pemerintah daerah.

Dinamika hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan

pembangunan, pemerintah dan pelayanan publik di daerah terbagi

dalam tiga pola hubungan yakni dominasi eksekutif, dominasi

legislatif dan hubungan yang seimbang. Pola hubungan yang ideal

antara legislatif dan eksekutif adalah terjadinya keseimbangan antara

kedua lembaga tersebut, namun hal itu akan sangat bergantung pada

sistem politik yang dibangun. Semakin demokratis sistem politik itu

      

(51)

   

maka hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

dan pemerintah daerah akan semakin seimbang. Sebaliknya, semakin

tidak demokratis sistem politik suatu negara, maka yang tercipta dua

kemungkinan yaitu dominasi eksekutif yang menciptakan rezim

otoriter dan dominasi legislatif yang menciptakan anarki politik.7

4. Syarat-syarat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, BAB VII, bagian

kesatu tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD

Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 51 menulis syarat bakal

calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota

adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang memenuhi persyaratan

setidaknya sebagai berikut: a. Telah berumur 21 (dua puluh satu)

tahun atau lebih, b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, c.

Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, d.

Cakap berbicara, membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia, e.

Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas atau

madrasah aliyah sekolah kejuruan, atau pendidikan lain yang

sederajat, f. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara,

Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita

Proklamasi 17 Agustus 1945, g. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara

(52)

   

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan

pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, dan h. Sehat jasmani dan

rohani.8

Selain persyaratan di atas, juga terdapat persyaratan-persyaratan

lain seperti, a. Terdaftar sebagai pemilih, b. Bersedia bekerja penuh

waktu, c. Mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala

daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia,

anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris,

dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara

dan/atau badan usaha milik daerah atau badan lain yang anggarannya

bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat

pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali, d. Bersedia untuk

tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris,

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), atau tidak melakukan pekerjaan

penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara

serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan

tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, dan

DPRD Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan, e. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat

negara lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan

pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah

      

(53)

   

serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, f.

Menjadi anggota partai politik peserta pemilu, g. Dicalonkan hanya di

1 (satu) lembaga perwakilan, dan h. Dicalonkan hanya di 1 (satu)

daerah pemilihan.9

Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) melalui pemilihan langsung yang dipilih oleh rakyat langsung

tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Setelah terpilih menjadi

anggota dewan, maka selanjutnya anggota dewan diambil sumpahnya

terlebih dahulu sebagai wujud kesediaan dan kesiapan dimulainya

tugas pengembanan dan amanah dari rakyat yang diberikan

kepadanya. Berdasarkan paragraf kelima Bab Penetapan Calon

Terpilih dan Pelantikan, pada pasal 110 ayat (2) Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan

bahwa sumpah/janji kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah

sebagai berikut:10

Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah /wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.

       9 Ibid. 

Referensi

Dokumen terkait

Sebaya ini mudah dan sangat cocok di aplikasikan dalam pembelajaran lompat tinggi maka tepat untuk di terapkan pada siswa SMP khususya kelas VIII C yang

Soalan: Jurulatih atau doktor yang membantu atau menggalakkan atlet mengambil bahan larangan boleh dikenakan hukuman jika ujian atlet didapati positif..

sesuai dengan upah atau keuntungan lain yang kamu dapatkan, tentunya kamu harus bertahan di kondisi tersebut. Karena, beban kerja berat tentu upahnya

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis untuk mendapatkan informasi mengenai penguasaan siswa terhadap sub-sub kompetensi pada mata diklat MRLE

PT Pan Brothers (PBRX) Tbk menuturkan akan melakukan pemecahan nominal per lembar saham (stock spilt) sebanyak 1:4 dari nilai nominal per lembar saham sebesar Rp100 menjadi Rp25

NEW ZEALAND adalah negara yang sangat cantik, dengan pemandangan alam yang mempesona, serta Negara yang sangat aman dan nyaman untuk tinggal, sekolah dan wisata, penduduk

deskripsi/narasi nilai agama Islam pada materi Fisika dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) fisika sekolah. Dalam penelitian ini, portofolio dikerjakan oleh

Gambaran Indeks Massa Tubuh Pasien Diabetes Melitus di Poli Rawat Jalan Penyakit Dalam RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Pada penelitian ini didapatkan bahwa