• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI TERKAIT SENGKETA PEMBAGIAN HARTA WARIS BEDA

N/A
N/A
Ilham Ardiansyah

Academic year: 2023

Membagikan "KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI TERKAIT SENGKETA PEMBAGIAN HARTA WARIS BEDA "

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI TERKAIT SENGKETA PEMBAGIAN HARTA WARIS BEDA

AGAMA

Ilham Helsa Ardiansyah, Ulya Fajar Amrullah Universitas Negeri Semarang, Center Java, Indonesia

Ilhamhelsa2@students.unnes.ac.id ulyaamrullah354@students.unnes.ac.id

Abstract

Artikel ini membahas terkait permasalahan terkait kewenangan mengadili pengadilan agama dalam sengketa pembagian waris beda agama antara muslim dan non-muslim.

Penelitian ini adalah penelitian yang melakukan penelitian normatif. Negara indonesia merupakan negara dengan penduduk terbanyak ketiga di dunia hal tersebut dapat berpengaruh juga pada pluralisme masyarakat di indonesia banyak budaya, agama, ras dan suku yang berkembang dan menyebar di indonesia. Masyarakat indonesia sendiri agama mayoritas yang dianut didominasi oleh agama islam, Oleh karena itu pemerintah indonesia pun membuat suatu lembaga negara untuk memfasilitasi masyarakat muslim dalam lingkup hukum islam salah satu contohnya yaitu mengatur tentang waris. Namun seiring berkembangnya zaman sengketa waris tidak hanya dalam ruang lingkup satu agama saja melainkan menyangkut agama lain.Apabila pewaris dengan ahli waris baik ahli warisnya sebagai penggugat maupun tergugat terdapat perbedaan agama, maka praktik penegakan hukum di pengadilan terhadap perkara waris tersebut menimbulkan sengketa kompetensi antara pengadilan agama dengan pengadilan negeri. Penelitian ini menelaah melalui perundang-undangan, literatur hukum yang sesuai dengan penelitian yang sedang dibahas.

Keyword: pengadilan agama, pengadilan negeri, sengekta waris A PENDAHULUAN

Indoneisa sebagai negara hukum mengenal berbagai macam peradilan yang bertujuan untuk mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dimasyarakat. Pengadilan-pengadilan tersebut memiliki ruang lingkupnya sendiri- sendiri dalam menjalankan tugas untuk memeriksa,mengadili dan memutus suatu perkara. Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, mengatur 4 (empat) badan peradilan :

a. Lembaga peradilan yang berada di bawah yurisdiksi Mahkamah Agung mencakup badan peradilan dalam berbagai kategori, termasuk peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

b. Peradilan umum, sebagaimana dijelaskan dalam poin pertama, memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memberikan putusan dalam kasus-kasus pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan.

(2)

c. Peradilan agama, sesuai dengan poin pertama, memiliki wewenang untuk menguji, mengadili, memberikan putusan, dan menyelesaikan perkara yang melibatkan individu yang menganut agama Islam, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

d. Peradilan militer, sesuai dengan poin pertama, memiliki kewenangan untuk menguji, mengadili, dan memberikan putusan dalam kasus tindak pidana militer sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

e. Peradilan tata usaha negara, sesuai dengan poin pertama, memiliki wewenang untuk memeriksa, mengadili, memberikan putusan, dan menyelesaikan perselisihan yang berkaitan dengan tata usaha negara, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Tindakan ini bertujuan untuk menghindari konflik dalam penanganan kasus di berbagai pengadilan. Menurut Pasal 1 UU No. 50 tahun 2009 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Peradilan Agama adalah sistem peradilan yang ditujukan bagi individu yang beragama Islam. Pengadilan Agama memiliki wewenang yang ditetapkan dalam Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006, yaitu menangani kasus-kasus terkait pernikahan, warisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan aspek ekonomi yang berlandaskan syariah. Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24 ayat (2) bahawa peradilan Agama adalah bagian dari sistem peradilan yang beroperasi di bawah pengawasan Mahkamah Agung, bersama-sama dengan lembaga-lembaga peradilan lainnya seperti Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer.

Sejak diundangkan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, penyelesaian sengketa mengenai kewarisan sekarang wajib dilakukan berdasarkan hukum Islam di Pengadilan Agama.

Pengadilan Agama merupakan satu diantara sebagian dari sistem peradilan yang sah secara resmi dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Terakhir, status Pengadilan Agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Pengadilan Agama adalah lembaga peradilan khusus yang ditujukan untuk umat Islam dengan kewenangan khusus yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.1

1 Viky Vinola, Syahruddin Nawi, and Ahyuni Yunus, “Journal of Lex Generalis ( JLS ),” Journal of Lex Generalis (JLS) 3, no. 3 (2022): 404–17.

(3)

Dalam Pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, istilah "waris" merujuk pada berbagai aspek yang berkaitan dengan proses penentuan dan pembagian harta peninggalan seseorang. Ini mencakup identifikasi ahli waris, harta yang ditinggalkan oleh pewaris, pembagian bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut. Menurut Soepomo, hukum waris adalah suatu sistem peraturan yang mengatur bagaimana harta benda dan aset yang tidak berwujud (on materiele goederen) dapat diwariskan dan dialihkan dari satu generasi manusia ke generasi berikutnya. Sementara itu, R. Subekti mendefinisikan hukum waris sebagai peraturan yang mengatur masalah harta atau kekayaan seseorang ketika ia meninggal dunia.2 Indonesia sendiri mengenal dua sistem hukum waris yang pertama waris perdata yang tidak mengenal perbedaan jenis kelamin dalam penbagian harta warisan dan Dalam hukum waris Islam, ketika seseorang meninggal dan meninggalkan harta, tidak semua harta tersebut akan langsung dibagikan kepada ahli waris. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan adanya hutang yang masih harus dibayarkan oleh pewaris. Ahli waris memiliki kewajiban membayar hutang-hutang tersebut. Prinsip sejalan dengan petunjuk yang tertulis dalam Al-Qur'an dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Dalam praktiknya, terkadang terjadi tumpang tindih kewenangan dalam lingkup Peradilan Umum dan Badan Peradilan Agama di Indonesia. Masalah ini dipicu oleh fakta karena keduanya memiliki kekuasaan dalam bidang hukum perdata.

Peradilan Umum, seperti yang ditentukan dalam berbagai perubahan undang-undang seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutuskan, dan menangani perkara-perkara perdata umum.Sama halnya dengan Peradilan Agama, yang diatur dalam berbagai perubahan undang-undang seperti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, yang juga memiliki kewenangan dalam memeriksa, memutuskan, dan mengadili beberapa jenis kasus tertentu. Persinggungan kewenangan ini terjadi karena keduanya beroperasi dalam genus hukum yang sama, yaitu hukum perdata. Oleh karena itu, terdapat situasi di mana kedua badan peradilan tersebut memiliki wewenang untuk menangani jenis-jenis perkara yang serupa.3

2 Salma Muhammad and Malik Ibrahim, “KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA DALAM MENANGANI PERKARA,” 2021, 67–89.

3 Jurnal Yustisiabel et al., “DENGAN PENGADILAN NEGERI” 4 (2020).

(4)

Pluralisme yang ada di Indonesia telah menyebabkan banyak orang menikah dengan pasangan berbeda agama, meskipun ini sebenarnya tidak diperbolehkan menurut aturan agama. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa di Peradilan Agama tidak selalu sesederhana seperti yang dijelaskan dalam pasal-pasal hukum. Ini terjadi karena beberapa kasus yang masuk ke Peradilan Agama melibatkan pihak-pihak yang bukan beragama Islam. Hal ini mungkin terjadi karena Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman sosial, budaya, dan agama, di mana masyarakatnya berasal dari berbagai latar belakang etnis, adat istiadat, suku, bahasa, dan agama yang berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak jarang keluarga terbentuk melalui perkawinan antara individu dari berbagai etnis yang memiliki adat istiadat yang berbeda. Situasi sosial dan budaya yang beragam ini dapat menyebabkan kompleksitas dalam penyelesaian sengketa di Peradilan Agama, terutama ketika perkara melibatkan pihak-pihak yang menganut agama atau keyakinan yang berbeda.4 Perihal perkawinan beda agama peerintah telah mnegatur itu dalam Hukum Perkawinan di Indonesia saat ini mengikuti prinsip bahwa keabsahan suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama yang dipeluk oleh individu yang bersangkutan. Hal ini selaras pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Penyelesaian perkara waris yang melibatkan pihak yang beragama Muslim dan non-Muslim seringkali mengalami kendala terkait akses terhadap keadilan, terutama dalam pemilihan forum yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ketidakjelasan dalam peraturan mengenai kewenangan pengadilan dalam menangani perkara waris antar-agama telah menciptakan tumpang tindih kewenangan antara pengadilan negeri dan pengadilan agama. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi mereka yang mencari keadilan. Ketidaksesuaian ini timbul disebabkan karena hukum waris yang dijalankan di pengadilan negeri dan pengadilan agama memiliki perbedaan.5 B METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang berdasarkan pada literatur dan peraturan perundang-undangan sebagai sumbernya. Kemudian, data yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut dianalisis secara deskriptif normatif.

C PEMBAHASAN

4 Muhammad and Ibrahim, “KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA DALAM MENANGANI PERKARA.”

5 Muhamad Isna Wahyudi, “Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama,” Jurnal Yudisial 8, no. 3 (2015): 269–88, https://jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/issue/view/27.

(5)

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI Pengadilan agama dalam menjalankan tugasnya mempunyai dua kewenangan yaitu kewenangan relatif dan kewenangan absolut. Kewenangan, yang juga dapat disebut sebagai kekuasaan atau kompetensi, berasal dari kata dalam bahasa Latin,

"competere." Kewenangan yang diberikan oleh undang-undang mengacu pada batasan-batasan dalam melakukan suatu tugas, khususnya dalam konteks pengadilan dan proses peradilan. Dalam bahasa Belanda, konsep ini dikenal sebagai

"competentie," yang mengacu pada hak atau kewenangan (yang akan datang) untuk mengadili suatu perkara. Kewenangan ini juga dapat mengacu pada pengadilan mana yang memiliki hak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara tertentu. Dalam konteks ini, terdapat dua jenis kewenangan atau kompetensi, yaitu kewenangan relatif dan kewenangan absolut.

Kewenangan relatif, yang dalam bahasa Belanda disebut "relative competentie," merujuk pada pembagian kewenangan atau hak mengadili antara berbagai Pengadilan Negeri. Dalam konteks ini, diperjelas Pengadilan Negeri mana yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memberikan putusan dalam suatu perkara. Secara sederhana, kewenangan relatif mengacu pada pembagian tugas antara Pengadilan Negeri yang berbeda. Dalam konteks yang lebih luas, kewenangan relatif juga mencakup pengertian bahwa kewenangan tersebut hanya berlaku di tingkat pengadilan yang sama jenis dan tingkatan, dengan perbedaan kewenangan antara pengadilan-pengadilan yang sejenis.6 Misalnya pengadilan negeri semarang dengan pengadilan negeri tegal , pengadilan agama bandung dengan pengadilan agama pemalang

1. Kewenangan Relatif untuk Kasus Gugatan

a. Ketika ingin mengajukan gugatan, hal pertama yang harus diperhatikan adalah wilayah hukum pengadilan. Gugatan harus diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya mencakup wilayah tempat kediaman tergugat. Jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan ke pengadilan di mana tergugat memiliki tempat tinggal.

6 Andi Intan et al., “Peradilan Agama Sebagai Penegak Hukum Islam Di Indonesia Religious Court as Islamic Law Upholders in Indonesia,” Peradilan Agama Sebagai Penegak Hukum Islam Di Indonesia Religious Court as Islamic Law Upholders in Indonesia, 2019, 119–32.

(6)

b. Jika tergugat adalah satu orang atau lebih, maka gugatan bisa disampaikan ke pengadilan yang wilayah hukumnya mencakup wilayah tempat tinggal salah satu dari tergugat tersebut.

c. Jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui atau jika tergugat sama sekali tidak dikenal (tidak ada informasi mengenai tempat tinggalnya), maka gugatan harus diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya mencakup tempat tinggal penggugat.

d. Jika objek perkara adalah benda yang tidak bergerak (seperti tanah atau bangunan), maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya mencakup lokasi dari benda yang tidak bergerak tersebut.

e. Jika dalam suatu dokumen tertulis sudah ada penunjukan tempat tinggal yang dipilih (domisili pilihan), maka gugatan diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya mencakup domisili yang telah dipilih tersebut.7

2. Kewenangan Relatif untuk Permohonan

Untuk menentukan kewenangan relatif Pengadilan Agama dalam perkara permohonan, prinsipnya adalah mengajukan permohonan ke pengadilan yang wilayah hukumnya mencakup kediaman pemohon. Namun, Pengadilan Agama memiliki ketentuan khusus mengenai kewenangan relatif dalam beberapa jenis permohonan tertentu, seperti permohonan ijin poligami, permohonan dispensasi perkawinan, permohonan pencegahan perkawinan harus diajukan ke pengadilan agama

Karenanya, pentingnya kewenangan relatif terkait dengan keputusan orang untuk mengajukan perkara dan mengajukan hak eksepsi di Pengadilan Agama yang sesuai. Setiap Pengadilan Agama memiliki yurisdiksi relatif yang mencakup wilayah tertentu, seperti satu kotamadya atau satu kabupaten. Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa "Pengadilan Agama berkedudukan di kota madya atau ibu kota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi kota madya atau kabupaten." Secara prinsip, Pengadilan Agama berlokasi di kota madya atau ibu kota kabupaten dan memiliki yurisdiksi yang mencakup wilayah tersebut, walaupun ada kemungkinan pengecualian tertentu.8

7 Marwan Busyro, “Kewenangan Hakim Pengadilan Negeri Dalam Mengadili Pembagian Harta Warisan Setelah Berlakunya Undang-Undang 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama,” NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial 6, no. 1 (2019): 66, doi:10.31604/jips.v6i1.2019.66-74.

8 Intan et al., “Peradil. Agama Sebagai Penegak Huk. Islam Di Indones. Relig. Court as Islam. Law Upholders Indones.”

(7)

Kewenangan absolut, yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai "attributie van rechtsmacht," mengacu pada pemisahan kewenangan di antara badan-badan peradilan. Ini berarti bahwa badan peradilan memiliki kekuasaan yang mutlak untuk memeriksa, memutuskan, dan mengadili bidang-bidang permasalahan yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang. Kewenangan absolut ini tidak dapat dicampur tangan oleh badan peradilan lain. Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolut untuk menangani semua perkara yang terkait dengan hukum pernikahan, waris, dan wakaf. Kewenangan ini tidak terbatas oleh nilai perkara atau persyaratan tertentu. Dalam hal perkara pernikahan, Pengadilan Agama yang memiliki kewenangan absolut dapat mengeluarkan putusan tentang perceraian, pembagian harta gono-gini, nafkah suami atau istri, dan hak asuh anak. Selain itu, mereka juga dapat menangani perkara yang berkaitan dengan pernikahan beda agama, harta bersama, serta pernikahan usia dini. Dalam hal perkara waris, Pengadilan Agama yang memiliki kewenangan absolut dapat mengeluarkan putusan tentang pembagian warisan, pengesahan wasiat, dan penetapan ahli waris. Mereka juga memiliki wewenang untuk menangani perkara yang terkait dengan wakaf dan wasiat.Mukti Arto menyebutkan bahwa ada dua prinsip yang menentukan penggunaan kewenangan absolut oleh Pengadilan Agama. Prinsip pertama adalah penerapan kewenangan absolut dalam kasus yang berhubungan dengan status hukum seorang muslim. Prinsip kedua adalah penggunaan kewenangan absolut dalam sengketa yang berasal dari tindakan atau peristiwa hukum yang berdasarkan hukum Islam atau terkait erat dengan status hukum sebagai seorang muslim.9

Kompetensi Relatif Pengadilan Negeri adalah kewenangan yang berkaitan dengan tempat kediaman atau domisili para pihak yang terlibat dalam suatu permasalahan hukum di wilayah hukum tertentu. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 118 HIR (Herzien Inlandsch Reglement), yang mengatur bahwa gugatan dapat diajukan di pengadilan di mana tergugat tinggal.10 Namun, jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui, gugatan bisa diajukan di pengadilan di mana penggugat tinggal.Dalam praktiknya, hakim akan mempertimbangkan aspek substansial dari perkara ini, dan ada berbagai peraturan yang mengatur masalah ini. Namun, terkadang hakim dapat

9 Dra. SRI SUWASTINI, “KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN AGAMA DALAM MENANGANI PERKARA EKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA PONTIANAK,” 2018, 1–23.

10 Muhammad Audiva, “Kajian Hukum Waris Islam Terhadap Ahli Waris Beda Agama (Studi Putusan Nomor: 1854/Pdt. G/2013/Pa. Plg),” Jurnalmahasiswa.Umsu.Ac.Id 1 (2021): 1–14,

http://jurnalmahasiswa.umsu.ac.id/index.php/jimhum/article/view/765.

(8)

memiliki pandangan yang berbeda satu sama lain terkait penafsiran dan penerapan perjanjian yang telah dibuat oleh kedua belah pihak dalam kasus tertentu.11

Ketentuan yang telah dijelaskan di atas menimbulkan sejumlah persyaratan dan batasan yang memisahkan kewenangan Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri dalam menangani perkara perbuatan melawan hukum yang muncul sebagai hasil dari sengketa hak milik. Untuk mengajukan sengketa hak milik ke Pengadilan Agama, harus memenuhi syarat-syarat yang jelas dan tegas (expressis verbis), seperti berikut:

1. Dalam sengketa hak milik, semua pihak yang terlibat harus memeluk agama Islam. Ini berarti baik penggugat maupun tergugat harus beragama Islam.

2. Kasus yang dibawa ke Pengadilan Agama dalam sengketa hak milik harus sesuai dengan jenis perkara yang sepenuhnya berada dalam kewenangan Pengadilan Agama.

Kewenangan absolut Pengadilan Agama mencakup kasus-kasus dalam bidang pernikahan, warisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, atau ekonomi syariah.

3. Sengketa hak milik dan perkara yang termasuk dalam kewenangan absolut Pengadilan Agama memiliki dampak hukum yang saling terkait satu sama lain.Jika sengketa hak milik yang muncul tidak memenuhi ketiga syarat tersebut di atas, maka Pengadilan Agama tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara sengketa hak milik tersebut, dan kewenangan akan jatuh ke Pengadilan Negeri sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.12

PENYELESAIAN SENGKETA HARTA WARIS KELUARGA BEDA AGAMA Permasalahan dalam keluarga seringkali muncul karena adanya perselisihan oleh masing-masing anggota keluarga. Salah satu permasalahan yang ada dalam keluarga yaitu pembagian harta waris yang tiding jelas. Hal ini dapat menimbulkan sengketa harta waris dalam keluarga. Sengketa dapat diartikan sebagai konflik atau perselisihan antara dua atau lebih pihak yang memiliki perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai suatu masalah tertentu. Sengketa dapat muncul dalam berbagai konteks, termasuk hukum, bisnis, hubungan pribadi, dan banyak bidang

11 Laila Auliya Noviyanti, Dwita Aryadina Rachmawati, and Ika Rahmawati Sutejo, “KEWENANGAN RELATIF PENGADILAN DALAM PERKARA GUGATAN WANPRESTASI (STUDI PUTUSAN

NO.21/PDT.G/2020/PN.SRH),” Efektifitas Penyuluhan Gizi Pada Kelompok 1000 HPK Dalam Meningkatkan Pengetahuan Dan Sikap Kesadaran Gizi 3, no. 3 (2022): 69–70.

12 Arditio Dwianto, Nurul Hanani, and Hizbulloh Hadziq, “Batasan Kompetensi Absolut Pengadilan Agama (Analisis Putusan Peninjauan Kembali Nomor 672 PK/Pdt/2016),” Mahakim: Journal of Islamic Family Law 6, no. 1 (2022): 1–23, doi:10.30762/mahakim.v6i1.144.

(9)

lainnya. Sengketa seringkali memerlukan penyelesaian yang tepat agar ketidaksepakatan atau perselisihan dapat diatasi dengan adil dan meminimalkan dampak negatif. Dalam hal ini berarti, dapat dikatakan sengketa harta waris terjadi apabila ada sekurang-kurangnya dua anggota keluarga yang berselisih terkait harta peninggalan anggota keluarga yang telah meninggal.

Sengketa harta waris adalah konflik hukum yang timbul ketika anggota keluarga atau pihak-pihak yang terkait bersaing untuk memperoleh bagian dari harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia. Sengketa semacam ini seringkali muncul karena ketidakjelasan dalam wasiat, perbedaan interpretasi hukum waris, atau masalah pribadi di antara ahli waris. Konflik semacam ini dapat menjadi sangat emosional dan merusak hubungan antara anggota keluarga yang terlibat.13

Sengketa harta waris atau perselisihan yang terjadi antara ahli waris mengenai pembagian harta peninggalan pewaris. Sengketa ini dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti:

a). Ketidakjelasan dalam pembagian harta waris, misalnya karena tidak adanya surat wasiat atau pembagian harta waris yang tidak adil.

b). Ketidaksepakatan antara ahli waris mengenai pembagian harta waris, misalnya karena adanya ahli waris yang merasa dirugikan.

c). Keterlibatan pihak ketiga, misalnya karena adanya orang yang mengaku sebagai ahli waris padahal tidak berhak.14

Penyelesaian sengketa harta waris merupakan proses hukum yang kompleks yang terjadi ketika ada konflik mengenai pembagian harta warisan antara ahli waris yang berbeda. Penyelesaian sengketa harta waris dapat dilakukan melalui berbagai cara, termasuk negosiasi, mediasi, atau melalui proses pengadilan. Pada negosiasi, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa berusaha mencapai kesepakatan mengenai pembagian harta warisan dengan cara musyawarah. Mediasi melibatkan pihak ketiga yang netral yang membantu pihak-pihak tersebut mencapai kesepakatan. Jika negosiasi dan mediasi tidak berhasil, kasus sengketa harta waris dapat dibawa ke pengadilan untuk diputuskan oleh hakim. Secara garis besar atau secara singkat,

13 Oemar Moechthar, S. H., & Kn, M. (2019). Perkembangan Hukum Waris Praktik Penyelesaian Sengketa Kewarisan di Indonesia. Prenada Media.

14 Suratinoyo, T. A. (2018). SENGKETA HARTA WARISAN YANG BELUM DIBAGI AKIBAT PERBUATAN SEORANG AHLI WARIS YANG MENJUAL HARTA WARISAN. LEX PRIVATUM, 6(1).

(10)

Sengketa harta waris dapat diselesaikan melalui dua jalur, yaitu:

1). Jalur non-litigasi, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan, misalnya melalui mediasi, negosiasi, atau arbitrase.

Jalur non-litigasi merupakan pilihan yang lebih dianjurkan karena dapat menyelesaikan sengketa secara cepat, mudah, dan biaya yang relatif terjangkau.

Penyelesaian sengketa harta waris melalui jalur non-litigasi dapat dilakukan dengan bantuan mediator, negosiator, atau arbiter.

-Mediator adalah pihak ketiga yang membantu para pihak untuk mencapai kesepakatan. Mediator membantu para ahli waris untuk berkomunikasi secara efektif dan menemukan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak. Para ahli waris duduk bersama untuk membicarakan dan mencari kesepakatan mengenai pembagian harta warisan.

-Negosiator adalah pihak ketiga yang mewakili salah satu pihak dalam proses negosiasi.

-Arbiter adalah pihak ketiga yang menyelesaikan sengketa berdasarkan bukti dan argumentasi yang diajukan oleh para pihak. Arbiter adalah pihak ketiga yang ahli di bidang hukum waris.

2). Jalur litigasi, yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan.

Jalur litigasi merupakan pilihan terakhir jika penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi tidak berhasil. Untuk mengajukan gugatan sengketa harta waris, para ahli waris dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri (PN) atau Pengadilan Agama (PA), tergantung pada agama pewaris. Adapun penyelesaian sengketa harta waris melalui jalur litigasi, yaitu dengan langkah-langkah sebagai berikut:

-Gugatan diajukan ke PN atau PA yang berwenang.

-Majelis hakim akan memeriksa gugatan dan memanggil para pihak untuk menghadiri sidang.

-Para pihak akan diberi kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti dan saksi-saksi.

-Setelah pemeriksaan selesai, majelis hakim akan menjatuhkan putusan.

-Putusan majelis hakim dapat berupa pengabulan gugatan, penolakan gugatan, atau perdamaian.

(11)

-Jika para pihak tidak puas dengan putusan majelis hakim, dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT), dan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Penyelesaian sengketa harta waris di pengadilan dilakukan oleh Pengadilan Agama bagi umat Islam dan Pengadilan Negeri bagi umat non-Muslim. Namun, permasalahan yang timbul adalah ketika dalam suatu kelurga Bergama lebih dari satu. Menngingat bahwasaanya indoesia merupakan negara multicultural, sehingga sangat wajar apabila daam satu keluarga, masing-masing anggota memiliki agama yang berbeda. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan terkait pengadilan mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa harta waris beda agama.

Sengketa harta waris yang melibatkan pihak-pihak berbeda agama adalah situasi yang sering kali memerlukan pemahaman mendalam tentang aspek hukum dan agama yang bersangkutan. Ketika ahli waris berasal dari berbagai keyakinan agama, muncul potensi konflik yang lebih besar terkait dengan pembagian harta peninggalan. Penyelesaian sengketa harta waris beda agama seringkali melibatkan upaya mediasi yang sensitif dan kompleks, di mana faktor-faktor agama, budaya, dan hukum harus dipertimbangkan dengan hati-hati.15

Sengketa harta waris beda agama merupakan perselisihan yang terjadi antara para ahli waris yang memiliki agama yang berbeda. Sengketa ini dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti:

a). Ketidakjelasan mengenai hukum waris yang berlaku.

Hukum waris di Indonesia mengatur pembagian harta warisan berdasarkan agama pewaris. Oleh karena itu, jika pewaris dan ahli warisnya memiliki agama yang berbeda, maka hukum waris yang berlaku juga akan berbeda.

b). Ketidaksepakatan mengenai cara pembagian harta warisan

Para ahli waris yang memiliki agama yang berbeda mungkin memiliki pandangan yang berbeda mengenai cara pembagian harta warisan.

c). Adanya unsur kecurangan dalam pembagian harta warisan.

Ahli waris yang memiliki agama yang berbeda mungkin lebih rentan terhadap kecurangan dalam pembagian harta warisan.16

15 Yanti, S. S. Y., & Mulyadi, Y. (2016). Pembagian Harta Warisan Terhadap Ahli Waris Beda Agama Serta Akibat Hukumnya. Diponegoro law journal, 5(3), 1-12

16 Huda, M. N. (2021). Sengketa Harta Waris Beda Agama: Antara Hukum Islam dan Hukum Perdata.

(12)

Pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa harta waris beda agama dapat bervariasi tergantung pada hukum dan peraturan yang berlaku di wilayah tertentu. Biasanya, pengadilan yang memiliki yurisdiksi terhadap sengketa harta waris adalah pengadilan yang berlokasi di wilayah tempat harta waris tersebut terletak atau di wilayah tempat salah satu ahli waris atau pihak yang terlibat tinggal.

Pemilihan pengadilan ini juga dapat dipengaruhi oleh hukum keluarga yang berlaku di negara atau yurisdiksi tersebut. Biasanya, pengadilan yang memiliki yurisdiksi atas sengketa harta waris adalah pengadilan wilayah atau negara bagian di mana harta waris tersebut berada atau di mana almarhum/almahrum terakhir kali tinggal.

Pengadilan agama juga dapat menjadi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa harta waris yang melibatkan pertimbangan agama tertentu. Pengadilan Agama memiliki tugas dan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan, memberikan putusan, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama yang melibatkan individu- individu yang beragama Islam, termasuk perkara yang berkaitan dengan masalah waris. Hal ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama. Dengan demikian, Pengadilan Agama berperan sebagai lembaga hukum yang mengurus perkara-perkara perdata yang melibatkan individu atau keluarga Muslim, termasuk dalam hal warisan.17

Peradilan agama adalah sistem peradilan khusus yang berlaku bagi individu- individu Muslim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum Islam, seperti perkara pernikahan, perceraian, waris, dan lain sebagainya.

Namun, di Indonesia, yang merupakan masyarakat majemuk dengan berbagai agama dan kepercayaan, peradilan agama dalam perkara waris dapat melibatkan pihak yang beragama Islam dan non-Muslim. Hal ini sejalan dengan prinsip pluralisme dan toleransi di Indonesia, di mana hukum agama dapat berlaku dalam konteks perkawinan dan waris, bahkan jika salah satu pihak yang terlibat dalam perkara tersebut bukan Muslim. Oleh karena itu, peradilan agama di Indonesia harus mengakomodasi keberagaman agama yang ada dalam masyarakat, sehingga memungkinkan penyelesaian perkara yang adil bagi semua pihak yang terlibat, sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku di negara ini.. Dalam sengketa harta waris, mungkin melibatkan pihak-pihak dengan keyakinan agama yang berbeda.

Situasinya bisa beragam, misalnya ketika seseorang yang meninggal dunia memiliki

Jurnal Hukum Islam, Vol. 18, No. 1.

17 Rahmatullah, R. (2016). Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Perkara.

Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum, 3(1), 126-133.

(13)

keyakinan agama Islam, namun para ahli warisnya memiliki beragam keyakinan, termasuk Islam dan non-Islam. Atau sebaliknya, ketika pewaris adalah non-Muslim, tetapi ahli warisnya terdiri dari individu yang memeluk Islam dan non-Islam, dan berbagai kombinasi lainnya.

Dalam praktik hukum di pengadilan agama, kewenangan pengadilan agama dalam memeriksa dan mengadili perkara waris didasarkan pada agama pewaris dan ahli waris. Hal ini disebabkan oleh prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang mengedepankan prinsip kesamaan agama antara pewaris dan ahli waris. Meskipun demikian, dalam praktiknya, pengadilan agama juga menghadapi dua situasi khusus terkait perkara waris.

Pertama, ketika pewaris adalah nonmuslim dan ahli warisnya terdiri dari muslim atau kombinasi muslim dan nonmuslim. Kedua, ketika pewaris adalah muslim dan ahli warisnya terdiri dari muslim dan nonmuslim.18

Penyelesaian sengketa harta waris beda agama melalui jalur litigasi yaitu melibatkan pengadilan. Pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa harta waris beda agama adalah Pengadilan Agama. Hal ini diatur dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Ketentuan tersebut didasarkan pada asas kesamaan agama antara pewaris dan ahli waris. Menurut Hukum Islam, ahli waris yang berbeda agama tidak berhak mewarisi harta peninggalan pewaris. Oleh karena itu, sengketa harta waris beda agama hanya dapat diselesaikan di Pengadilan Agama. Namun, terdapat pengecualian terhadap ketentuan tersebut. Pengadilan Negeri dapat berwenang menyelesaikan sengketa harta waris beda agama dalam hal:

-Harta warisan yang disengketakan telah dipindahtangankan semuanya, kendati harta warisan tersebut belum dibagi.

-Terdapat subjek hukum lain yang dijadikan sebagai pihak, baik penggugat, tergugat maupun turut tergugat, selain ahli waris.

Ketentuan tersebut diatur dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 287 K/AG/2012.

Berikut ini adalah contoh kasus sengketa harta waris beda agama yang dapat

18 Wahyudi, M. I. (2015). Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama. Jurnal Yudisial, 8(3), 269-288.

(14)

diselesaikan di Pengadilan Agama:

Seorang suami muslim meninggal dunia dan memiliki seorang istri muslimah dan seorang anak perempuan yang beragama Kristen. Dalam hal ini, istri muslimah berhak mendapatkan 1/4 harta warisan, sedangkan anak perempuan yang beragama Kristen tidak berhak mendapatkan harta warisan. Oleh karena itu, sengketa harta waris tersebut dapat diselesaikan di Pengadilan Agama.

Seorang kakek muslim meninggal dunia dan memiliki seorang cucu laki-laki yang beragama Islam dan seorang cucu perempuan yang beragama Kristen.

Dalam hal ini, cucu laki-laki yang beragama Islam berhak mendapatkan 2/3 harta warisan, sedangkan cucu perempuan yang beragama Kristen tidak berhak mendapatkan harta warisan. Oleh karena itu, sengketa harta waris tersebut dapat diselesaikan di Pengadilan Agama.

Penduduk Indonesia yang beragam agama yang dianutnya, maka tidak menutup kemungkinan dalam satu keluarga memiliki agama yang berbeda-beda.

Dalam hal ini yang menjadi pertanyaan apabila dalam sengketa harta waris keluarga beda agama, namun dalam kelurga tersebut tidak ada yang menganut agama islam.

Penyelesaian sengketa harta waris keluarga beda agama di luar agama Islam dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui jalur hukum dan jalur non-hukum.

1). Jalur Hukum

Penyelesaian sengketa harta waris keluarga beda agama di luar Islam melalui jalur hukum dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Gugatan dapat diajukan oleh salah satu ahli waris atau pihak yang berkepentingan lainnya. Dalam hal pewaris tidak beragama Islam, maka ahli waris akan memperoleh bagian dari harta warisan sesuai dengan hukum waris yang berlaku bagi mereka.

Pada dasarnya, hukum waris yang berlaku bagi orang di luar Islam di Indonesia adalah hukum waris yang dianut oleh agama atau kepercayaan yang dianutnya.

Namun, dalam hal tidak ada hukum waris yang mengatur, maka hukum waris yang berlaku adalah hukum waris adat.19

2). Jalur non-Hukum

Penyelesaian sengketa harta waris keluarga beda agama di luar Islam melalui jalur

19 Al-Aziz, Ridho. (2016). "Hukum Waris Beda Agama di Indonesia", Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 46, No. 3.

(15)

non-hukum dapat dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat antara para ahli waris. Musyawarah dan mufakat merupakan cara yang paling baik untuk menyelesaikan sengketa harta waris, karena dapat menjaga hubungan baik antar anggota keluarga.20

Dalam hal musyawarah dan mufakat tidak dapat dicapai, maka para ahli waris dapat menunjuk arbiter untuk menyelesaikan sengketa. Arbiter adalah orang yang ditunjuk oleh para ahli waris untuk menyelesaikan sengketa harta waris. Arbiter haruslah orang yang adil dan bijaksana.21

Mahkamah Agung telah mengeluarkan beberapa putusan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa harta waris keluarga beda agama di luar Islam.

Putusan-putusan tersebut antara lain:

a). Putusan Mahkamah Agung Nomor 51/K/AG/1999

Pada putusan ini, Mahkamah Agung memutuskan bahwa ahli waris beda agama dapat memperoleh bagian dari harta warisan melalui wasiat wajibah.

b). Putusan Mahkamah Agung Nomor 16/K/AG/2010

Pada putusan ini, Mahkamah Agung memutuskan bahwa ahli waris beda agama dapat memperoleh bagian dari harta warisan melalui wasiat wajibah, baik pewaris beragama Islam maupun tidak beragama Islam.

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA HARTA WARIS

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata yang di dalamnya terdapat unsur-unsur keagamaan, termasuk perkara harta warisan.22

Kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa harta warisan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a). Kewenangan absolut

20 Rizani, A. K., & Dakhoir, A. (2021). Musyawarah Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Waris Beda Agama: Avidence Based Solution From Indonesia. El-Mashlahah, 10, 52-64.

21 Astuti, Yanti. (2017). "Penyelesaian Sengketa Waris Keluarga Beda Agama di Luar Islam", Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 16, No. 1.

22 Agustiawan, R. (2013). "Penyelesaian Sengketa Waris Beda Agama di Luar Islam", Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 43, No. 2.

(16)

Kewenangan absolut adalah kewenangan yang tidak dapat dilimpahkan kepada pengadilan lain. Kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa harta warisan meliputi:

-Menentukan siapa yang menjadi ahli waris dan berapa bagian yang diperoleh -Menentukan harta peninggalan

-Melaksanakan pembagian harta peninggalan b). Kewenangan relatif

Kewenangan relatif adalah kewenangan yang dapat dilimpahkan kepada pengadilan lain. Kewenangan relatif Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa harta warisan meliputi:

-Menentukan sah atau tidaknya wasiat -Menentukan sah atau tidaknya hibah -Menentukan sah atau tidaknya perjanjian

Penyelesaian sengketa harta warisan di Pengadilan Agama dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu:

-Gugatan

Gugatan adalah permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak kepada pengadilan untuk mendapatkan putusan. Gugatan sengketa harta warisan dapat diajukan oleh ahli waris yang merasa haknya dilanggar oleh pihak lain.

-Permohonan

Permohonan adalah permintaan yang diajukan oleh seseorang kepada pengadilan untuk mendapatkan penetapan. Permohonan sengketa harta warisan dapat diajukan oleh ahli waris yang ingin mendapatkan penetapan tentang siapa yang menjadi ahli waris dan berapa bagian yang diperoleh.

Berikut adalah tata cara penyelesaian sengketa harta warisan di Pengadilan Agama:

1) Pemohon mengajukan gugatan atau permohonan secara tertulis kepada Pengadilan Agama

2) Panitera Pengadilan Agama mencatat gugatan atau permohonan dan memberikan tanda terima kepada pemohon

(17)

3) Hakim memeriksa berkas gugatan atau permohonan 4) Hakim memanggil para pihak untuk mediasi

5) Apabila mediasi berhasil, maka hakim mengeluarkan penetapan perdamaian 6) Apabila mediasi tidak berhasil, maka hakim menetapkan hari sidang untuk

pemeriksaan perkara

7) Pada hari sidang, para pihak hadir untuk memberikan keterangan 8) Hakim memutus perkara berdasarkan hasil pemeriksaan

Putusan Pengadilan Agama dalam sengketa harta warisan bersifat final dan mengikat para pihak. Putusan tersebut dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama dan kasasi ke Mahkamah Agung.

KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA HARTA WARIS

Pada dasarnya kewenangan Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan sengketa harta waris sama dengan penyelesaian sengketa harta waris di Pengadilan Agama. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata yang di dalamnya tidak terdapat unsur-unsur keagamaan, termasuk perkara harta warisan.

Pengadilan Negeri berwenang untuk menyelesaikan sengketa harta warisan yang melibatkan pewaris dan ahli waris yang tidak beragama Islam. Kewenangan Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan sengketa harta warisan meliputi kewenangan absolut dan kewenangan relatif. Penyelesaian sengketa harta warisan di Pengadilan Negeri dapat dilakukan melalui gugatan atau permohonan.

Perbedaan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan sengketa harta warisan adalah sebagai berikut:

Aspek Pengadilan Agama Pengadilan Negeri Agama pewaris

dan ahli waris Islam Tidak beragama Islam Kewenangan

absolut

Menentukan siapa yang menjadi ahli waris dan berapa

Menentukan siapa yang menjadi ahli waris dan

(18)

bagian yang diperoleh,

menentukan harta peninggalan, melaksanakan pembagian harta peninggalan

berapa bagian yang diperoleh, menentukan

(19)

D PENUTUP KESIMPULAN

Kewenangan pengadilan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu kewenangan relatif dan kewenangan absolut. Kewenangan relatif mengacu pada pembagian tugas antara pengadilan yang berbeda dan berkaitan dengan tempat tinggal atau domisili para pihak yang terlibat dalam perkara. Kewenangan absolut, di sisi lain, berkaitan dengan bidang-bidang hukum tertentu yang secara eksklusif menjadi wewenang pengadilan tertentu.

Dalam konteks sengketa pembagian harta waris beda agama, penting untuk memperhatikan kewenangan relatif Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri.

Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolut dalam menangani perkara yang berkaitan dengan hukum pernikahan, waris, wakaf, dan sejenisnya, asalkan melibatkan pihak yang beragama Islam dan memiliki dampak hukum yang terkait dengan hukum Islam. Kewenangan relatif Pengadilan Agama juga dipengaruhi oleh wilayah hukumnya, yang mencakup kota madya atau kabupaten tertentu. Ketentuan- ketentuan ini menjadi panduan dalam menentukan pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menangani sengketa pembagian harta waris beda agama.

Kepahaman yang baik terhadap kewenangan pengadilan ini sangat penting bagi individu yang terlibat dalam sengketa hukum semacam itu agar proses peradilan dapat berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku dan memastikan keadilan.

SARAN

1) Perlu adanya koordinasi yang lebih baik antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dalam menangani sengketa pembagian harta waris beda agama. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya duplikasi perkara atau tumpang tindih kewenangan.

2) Perlu adanya peningkatan pemahaman masyarakat mengenai kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dalam menangani sengketa pembagian harta waris beda agama. Hal ini penting untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman atau kebingungan di kalangan masyarakat.

3) Perlu adanya penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dalam menangani sengketa pembagian harta waris beda agama. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kewenangan kedua pengadilan tersebut sesuai dengan

(20)

prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Agustiawan, R. (2013). "Penyelesaian Sengketa Waris Beda Agama di Luar Islam", Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 43, No. 2.

Al-Aziz, Ridho. (2016). "Hukum Waris Beda Agama di Indonesia", Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 46, No. 3.

Astuti, Yanti. (2017). "Penyelesaian Sengketa Waris Keluarga Beda Agama di Luar Islam", Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 16, No. 1.

Audiva, Muhammad. “Kajian Hukum Waris Islam Terhadap Ahli Waris Beda Agama (Studi Putusan Nomor: 1854/Pdt. G/2013/Pa. Plg).” Jurnalmahasiswa.Umsu.Ac.Id 1 (2021): 1–14. http://jurnalmahasiswa.umsu.ac.id/index.php/jimhum/article/view/765.

Busyro, Marwan. “Kewenangan Hakim Pengadilan Negeri Dalam Mengadili Pembagian Harta Warisan Setelah Berlakunya Undang-Undang 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.” NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial 6, no. 1 (2019):

66. doi:10.31604/jips.v6i1.2019.66-74.

Dwianto, Arditio, Nurul Hanani, and Hizbulloh Hadziq. “Batasan Kompetensi Absolut Pengadilan Agama (Analisis Putusan Peninjauan Kembali Nomor 672 PK/Pdt/2016).” Mahakim: Journal of Islamic Family Law 6, no. 1 (2022): 1–23.

doi:10.30762/mahakim.v6i1.144.

Huda, M. N. (2021). Sengketa Harta Waris Beda Agama: Antara Hukum Islam dan Hukum Perdata. Jurnal Hukum Islam, Vol. 18, No. 1.

Intan, Andi, Cahyani Dosen, Fakultas Syariah, Hukum Uin, and Alauddin Makassar.

“Peradilan Agama Sebagai Penegak Hukum Islam Di Indonesia Religious Court as Islamic Law Upholders in Indonesia.” Peradilan Agama Sebagai Penegak Hukum Islam Di Indonesia Religious Court as Islamic Law Upholders in Indonesia, 2019, 119–32.

Muhammad, Salma, and Malik Ibrahim. “KOMPETENSI PENGADILAN AGAMA DALAM MENANGANI PERKARA,” 2021, 67–89.

Noviyanti, Laila Auliya, Dwita Aryadina Rachmawati, and Ika Rahmawati Sutejo.

“KEWENANGAN RELATIF PENGADILAN DALAM PERKARA GUGATAN WANPRESTASI (STUDI PUTUSAN NO.21/PDT.G/2020/PN.SRH).” Efektifitas Penyuluhan Gizi Pada Kelompok 1000 HPK Dalam Meningkatkan Pengetahuan Dan Sikap Kesadaran Gizi 3, no. 3 (2022): 69–70.

Oemar Moechthar, S. H., & Kn, M. (2019). Perkembangan Hukum Waris Praktik

(21)

Penyelesaian Sengketa Kewarisan di Indonesia. Prenada Media.

Rahmatullah, R. (2016). Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Perkara. Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum, 3(1), 126-133.

Rizani, A. K., & Dakhoir, A. (2021). Musyawarah Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Waris Beda Agama: Avidence Based Solution From Indonesia. El-Mashlahah, 10, 52-64.

Suratinoyo, T. A. (2018). SENGKETA HARTA WARISAN YANG BELUM DIBAGI AKIBAT PERBUATAN SEORANG AHLI WARIS YANG MENJUAL HARTA WARISAN. LEX PRIVATUM, 6(1).

SUWASTINI, Dra. SRI. “KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN AGAMA DALAM MENANGANI PERKARA EKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA PONTIANAK,” 2018, 1–23.

Vinola, Viky, Syahruddin Nawi, and Ahyuni Yunus. “Journal of Lex Generalis ( JLS ).”

Journal of Lex Generalis (JLS) 3, no. 3 (2022): 404–17.

Wahyudi, Muhamad Isna. “Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama.” Jurnal

Yudisial 8, no. 3 (2015): 269–88.

https://jurnal.komisiyudisial.go.id/index.php/jy/issue/view/27.

Wahyudi, M. I. (2015). Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama. Jurnal Yudisial, 8(3), 269-288.

Yanti, S. S. Y., & Mulyadi, Y. (2016). Pembagian Harta Warisan Terhadap Ahli Waris Beda Agama Serta Akibat Hukumnya. Diponegoro law journal, 5(3), 1-12.

Yustisiabel, Jurnal, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Luwuk, Mustating Daeng Maroa, Arianti A Ogotan, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah, and Sengketa Hak Milik. “DENGAN PENGADILAN NEGERI” 4 (2020).

Referensi

Dokumen terkait

TINJAUAN YURIDIS SENGKETA PEMBAGIAN HARTA BERSAMA SETELAH PERCERAIAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA). Universitas Muhammadiyah Surakarta. Tujuan penelitian

Pilihan Hukum Dalam Pembagian Harta Waris Beda Agama (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan. Negeri

Menyatakan bahwa Tugas Akhir/Skripsi dengan judul “ Kendala Kewenangan Absolute Pengadilan Agama Dalam Menangani Sengketa Ekonomi Syari’ah (Studi Kasus Di Pengadilan

Kompetensi absolut Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah berdasarkan Undang-undang No 3 Tahun 2006, telah mengalami perluasan kewenangan dalam

upaya penyelesaian sengketa pasar modal syariah dilakukan melalui dukungan terhadap pengadilan agama sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang memiliki kewenangan

Ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama dalam mengadili sengketa ekonomi Syariah adalah melingkupi semua sengketa ekonomi Syariah bidang Hukum Perdata dengan subyek

Dari sini terlihat bahwa penyelesaian sengketa perbankan syari’ah dapat diselesaikan melalui basyarnas (non litigasi), pengadilan agama, dan pengadilan negeri. Beberapa opsi

Berdasarkan Pada Putusan Perkara Nomor: 603/Pdt.G/2014/PA.Mdn, Kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili perceraian yang disebabkan berpindah agama ( murtad)