i
KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN SENGKETA
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM EKONOMI SYARIAH
(Analisis Yuridis Terhadap Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan tentang Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Syariah)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
M. AZHAR RIZKI DALIMUNTHE NIM : 1111044100002
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A P R O G R A M S T U D I H U K U M K E L U A R G A
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
iv Dengan ini Saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli Saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli Saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka Saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Februari 2016
v
ABSTRAK
MUHAMMAD AZHAR RIZKI DALIMUNTHE, NIM: 1111044100002,
“KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN SENGKETA
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM EKONOMI SYARIAH (Analisis
Yuridis Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Dan Putusan Tentang Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Syariah)” Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. xi 97 halaman.
Skripsi ini bertujuan memberikan suatu khazanah baru tentang permasalahan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah di Indonesia. Sebagaimana mestinya Peradilan Agama adalah lembaga peradilan yang memiliki kewenangan absolut untuk menyelesaikan sengketa yang dimaksud.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian melalui Perundang-undangan (statute
approach) dan melalui pendekatan kasus (case approach) atau dapat dikatakan
sebagai pendekatan melalui putusan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, data sekunder berupa buku-buku, kitab-kitab, dan karya tulis ilmiah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan analisis penelitian kewenangan menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah harus diselesaikan melalui Peradilan Agama. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa UUPK sebagai Undang-undang perlindungan konsumen yang menyatakan penyelesaian sengketa diselesaikan di Peradilan Umum lahir sebelum kewenangan absolut Peradilan Agama ditambahkan untuk kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah melalui Pasal 49 huruf (i) UUPA. Selanjutnya bila melihat putusan-putusan pengadilan, putusan Peradilan Agama juga putusan Peradilan Umum telah menyatakan kewenangan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah diselesaikan di lingkungan Peradilan Agama. Mengenai kewenangan ini para hakim mengambil dasar hukum kepada putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 yang menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) yang membuka peluang penyelesaiaan sengketa di Peradilan Umum dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sehingga kesimpulannya adalah Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah. Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Ekonomi Syariah, Peradilan Agama. Pembimbing : H. Ah. Azharuddin lathif, M.Ag
vi
dipanjatkan seorang makhluk kepada tuhan penyeru alam yang telah menciptakan dunia dan seisinya. Hanya kepada Dia kita menyembah, kepada Dia kita memohon petunjuk dan pertolongan. Dengan kehadiran-Nya pulalah sehingga kiranya terselesaikannya penulisan karya ilmiah ini dengan sebagaimana mestinya.
Tak ada seorang makhluk yang paling kikir dan pelit di dunia kecuali ia yang enggan bersholawat atas sebuah nama Muhammad. Dia seorang makhluk terpuji yang telah mengantarkan kita kepada sebuah tatanan kehidupan yang penuh dengan keteraturan, ketentraman, kedamaian dan cinta kasih antara sesama makhluk dengan nuansa keislaman dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan kiranya kita mendapatkan syafa’at yang menolong kita pada hari pembalasan.
Tentunya penulisan skripsi ini bukanlah akhir dari segala pencaharian studi yang penulis lakukan. Mudah-mudahan penulisan karya ilmiah ini mengantarkan penulis kepada penulisan-penulisan berikutnya pada jenjang dan tingkatan yang lebih tinggi. Dengan kebesaran hati dan penuh rasa haru Saya persembahkan tulisan ini kepada sosok yang telah mendidik dan membesarkan penulis hingga sampai pada titik akhir pencapaian di perkuliahan Strata Satu (S1) ini, Ayak dan Omakku tercinta, Bapak Asrul Haidir Dalimunthe, S.Pd dan Ibu Nureha Tanjung. Mudah-mudahan setiap tetesan keringat dan air mata yang menetes serta doa yang dipanjatkan adalah bukti penghambaan kita kepada Allah SWT.
vii
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta;
2. Dr. H. Abdul Halim, MA., Ketua Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah jakarta, yang juga sebagai sosok yang banyak membantu dan memotivasi penulis, memberikan semangat, dorongan dan motivasi untuk selalu optimis. Juga kepada Bapak Arif Furqon, MA., Sekretaris program Studi Hukum Keluarga.
3. H. Ah. Azharuddin lathif, M. Ag., sebagai pembimbing yang telah mencurahkan keilmuannya dan membimbing penulis dengan penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam penulisan skripsi ini hingga terselesaikan dengan sebagaimana mestinya.
4. Keluarga Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta segenap Dosen, Karyawan, dan seluruh staf yang telah banyak membantu memberikan fasilitas bagi penulis selama studi di “Kampus Hijau” ini.
5. Pustakawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pustakawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, dan Pustakawan Perpustakaan Universitas Indonesia (UI), yang telah memberikan rujukan pustaka kepada penulis.
viii
8. Keluarga tercinta, kedua Almarhum Uakku, Uda Ucok, Uda Kamar, sanak saudara, abang tercinta M. Riswan Rizal. D, S. Pt., kakak tercinta Devi Fitriani Br. D, Am. Kom., Kedua adikku M. Irfan Salim D., dan M. Zikri Salsabila D., kalian berdua harus semangat belajar. Kalian semua adalah semangat tiada akhirku.
9. Kepada penghibur laraku, yang setia menemani hari-hariku dalam keadaan apapun, dendang rang minang takana juo. Untuk gadiah-gadiah minang Diah Maisa, Vanny vabiola, Yona Irma, Ratu Sikumbang, Hayati kalasa dll. Terutama untuk nasyid kerenku Maidany.
10. Sahabat Seperjuanganku Taufiq rezeki Saragih, sahabat selamanya, juga kepada Husnul Azmi Ritonga yang telah meninggalkan kami lebih dulu di Jakarta, Mufida Warni, Faisal Tanjung, Syaikhku Raihan Al-Ghiffary, Deni, Muhsin si Ustadz, Roni dan sahabat laiinnya.
ix
Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang sangat membantu kepada penyelesaian tugas perkuliahan yang panjang ini. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita kepada jalan kesabaran. Semoga kita mencapai nilai pengabdian yang sangat tinggi di sisi Allah. Amien ya rabbal alamien.
Wabillahi taufiq walhidayah, wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 15 Maret 2016
x
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR... vi
DAFTAR ISI... x
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B.Pembatasan Dan Perumusan Masalah... 10
C.Tujuan Dan Manfaat Penelitian... 12
D.Tinjauan Kajian Terdahulu ... 13
E.Kerangka Konseptual ... 14
F.Metode Penelitian ... 15
G.Sistematika Penulisan ... 18
BAB II EKSISTENSI DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA... 20
A. Pengertian Peradilan Agama... 20
B. Dasar Hukum dan Asas Peradilan Agama ... 22
1. Dasar Hukum Peradilan Agama... 22
2. Asas-asas Peradilan Agama ... 24
C. Tugas dan Fungsi Peradilan Agama... 26
1. Tugas dan Fungsi Memberikan Keadilan (Yudisial) ... 26
2. Tugas Non Yudisial... 27
D. Kedudukan Peradilan Agama Di Indonesia ... 28
E. Kewenangan Peradilan Agama Di Indonesia ... 33
xi
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA PERLINDUNGAN
KONSUMEN DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN
DI INDONESIA ... 41
A. Pengertian Perlindungan Konsumen ... 41
B. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen... 42
C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 43
D. Prinsip-prinsip dalam Perlindungan Konsumen ... 45
E. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen dalam Kekuasaan Kehakiman di Indonesia ... 48
1. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen non Litigasi... 49
2. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Litigasi ... 59
BAB IV ANALISIS KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM EKONOMI SYARIAH... 64
A. Argumentasi Yuridis Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Lembaga Keuangan Syariah ... 64
B. Argumentasi Empiris Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Lembaga Keuangan Syariah... 70
1. Putusan Pengadilan Terkait Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah... 71
C. Analisis Kewenangan Menyelesaikan Sengketa Perlindungan Konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah ... 77
BAB V PENUTUP... 82
A. Kesimpulan ... 82
1
Peradilan Agama di Indonesia, merupakan salah satu institusi pelaksana kekuasaan kehakiman, yakni suatu kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.1
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana dan penyelenggara kekuasaan kehakiman yang mempunyai kedudukan sejajar dengan peradilan-peradilan lainnya, seperti Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan.2 Hal ini dipertegas dengan hadirnya Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian ditambah dan diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun 1999 kemudian diubah dengan UU. No. 48 Tahun 2009. Kemudian dalam pelaksanaannya, Peradilan Agama berada di bawah naungan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi.
Selanjutnya dalam perjalanan dan eksistensinya, Peradilan Agama mengalami pasang surut yang panjang. Dalam rentang waktu lebih dari 12 tahun sejak
1
Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia, (Bandung: P. T. ALUMNI, 2003), h. vii.
2
2
Proklamasi Kemerdekaan RI (yakni, tahun 1945-1957) terkait dengan keberadaan Peradilan Agama di Indonesia. Salah satunya adalah berkaitan dengan penyerahan Peradilan Agama kepada Kementerian Agama.3 Sampai akhirnya Peradilan Agama disatu atapkan dengan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung.
Dengan penyetaraan Peradilan Agama dengan peradilan lainnya memberikan kewenangan bagi Peradilan Agama untuk menyelesaikan dan mengadili perkara yang menjadi kewenangannya secara mandiri. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah menjelaskan apa saja yang menjadi kewenangan Peradilan Agama untuk menyelesaikannya.
Pasal 49
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf dan shadaqah.
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Pasal 50
Mengenai kewenangan Peradilan Agama ini, untuk saat ini telah terjadi beberapa perubahan dan penambahan pada dua pasal ini. Dengan adanya amandemen UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi UU. No. 3 Tahun 2006 dan kemudian diamandemen lagi menjadi UU. No. 50 Tahun 2009 menambah kewenangan Peradilan Agama serta diakuinya eksistensinya dalam menyelesaikan sengketa perdata antara orang Islam. Salah satu kewenangan baru dalam undang-undang tersebut adalah dimasukkannya sengketa ekonomi syari’ah sebagai kewenangan Peradilan Agama pada Pasal 49.
Kemunculan otonomi ekonomi syariah ke permukaan ditandai dengan terselenggaranya The First International Conference in Islamic Ekonomicdi Makkah, Arab Saudi, Tahun 1976. Bahkan banyak yang menyatakan hampir semua tokoh yang hadir pada waktu itu sepakat, bahwa konferensi tersebut menjadi titik tolak awal perjalanan ekonomi Islam di kemudian hari.5
Di Indonesia sendiri perkembangan ekonomi syariah begitu pesatnya, hal ini sangat didukung dengan keberadaan Indonesia yang memang berpenduduk mayoritas Islam terbesar di dunia, meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, gadai syariah dan usaha syariah lainnya.6
Sebagai contoh perbankan syariah yang berkedudukan sebagai badan usaha yang bergerak dalam bidang pengumpulan dana masyarakat. Tak ubahnya dengan
5
Hendi Risza Idris, 30 Tahun Ekonomi Islam Pesat Lembaganya Lemah Keilmuannya,
(Majalah Hidayatullah Edisi Maret 2007), h. 36.
6
4
pengumpulan dana umum yang bersifat konvesional, dalam praktiknya kemungkinan timbulnya sengketa tetap ada. Timbulnya sengketa ini adalah karena dalam praktiknya sistem syariah ini juga diikat oleh kesepakatan di dalam akad.
Selanjutnya dalam perbankan syariah, masyarakat yang turut menjadi peserta dalam pengumpulan dana (nasabah/kreditur) disebut sebagai konsumen, sedangkan bank yang menjadi pelaksana pengumpulan dana (debitur) disebut sebagai produsen. Kesepakatan antara produsen dan konsumen inilah yang kemudian sering menimbulkan permasalahan dan sengketa dalam praktik perbankan syariah. Kemudian masalah yang banyak timbul adalah mengenai hak-hak konsumen yang seharusnya dikembalikan kepadanya. Permasalahan inilah yang kemudian berkaitan dengan perlindungan konsumen.
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hadir merupakan bagian dari Hukum Konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Berdasarkan hasil penelitian dan pendapat para pakar, ternyata konsumen umumnya berada pada posisi yang lebih lemah dalam hubungannya dengan pengusaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, maupun kemampuan atau daya saing.7
Mengenai sengketa perlindungan konsumen Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah menjelaskan di Pasal 45 ayat (1):
7
“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum.”8 Selanjutnya dalam Pasal 49 huruf (i) menyatakan bahwa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. Dalam penjelasan Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa hal-hal yang kemudian termasuk ke dalam ekonomi syariah salah satu diantaranya adalah perbankan syariah. Sehingga penyelesaian sengketa perbankan syariah ini adalah kewenangan Peradilan Agama.
Lebih jelas undang-undang mengatur tentang perbankan syariah. Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menjelaskan pada Pasal 55 ayat 1 bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Kemudian Pasal 55 ayat 2 menjelaskan dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. Lalu bila dilihat dalam penjelasan Pasal 55 ayat 2 huruf (d) ini muncul suatu permasalahan yang menyebabkan tidak konsistennya penyelesaian sengketa perbankan syariah bahwa:
Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:
a. musyawarah;
8
6
b. mediasi perbankan;
c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Hal di atas kemudian menjadi permasalahan yang layak untuk dilakukan penelitian mengenai tentang kewenangan menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen perbankan syariah dalam ekonomi syariah. Peradilan manakah sebenarnya yang berhak menyelesaikan sengketa tersebut, apakah Peradilan Agama secara mutlak atau Peradilan Umum?
Mengenai kewenangan absolut ini, pada hari Kamis tanggal 29 Agustus 2013 dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi dikeluarkan putusan nomor 93/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Keputusan ini selayaknya menghapuskan kewenangan Peradilan Umum untuk dapat menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Putusan ini kemudian menjadi dalil hukum para Majelis Hakim di Peradilan Agama untuk semakin meyakini kewenangannya untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Indonesia dan merdeka secara kewenangan relativ dan absolutnya. Namun di sisi lain masih banyak Hakim-hakim di Peradilan Agama seakan masih belum mengetahui dan meyakini perihal tersebut.
tercantum sebagaimana di dalam putusan Peradilan Agama Banjarbaru No. 259/Pdt.G/2013/PA.Bjb tentang gugatan ekonomi syariah/gugatan perbuatan melawan hukum, pada hari Rabu tanggal 27 november 2013 M bertepatan dengan tanggal 23 Muharram 1435 Hijriyyah. Bahwa penunjukan Peradilan Umum dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menurut Majelis Hakim bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut lahir tahun 1999, sedangkan kewenangan Pengadilan Agama terhadap sengketa ekonomi syariah sejak tahun 2006, yakni dalam Pasal 49 huruf (i) Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kemudian dipertegas dengan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Sementara itu kewenangan Peradilan Umum dalam menangani sengketa ekonomi syariah yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, oleh karena itu Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang menangani sengketa ekonomi syariah termasuk diantaranya sengketa perlindungan perbankan syariah.9 Dalam pertimbangan hukum selanjutnya berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim sepakat bahwa “Peradilan Umum” dalam Pasal 45 UUPK dibaca sebagai “Peradilan Agama”.
9
8
Selanjutnya putusan Pengadilan Negeri Martapura yang menyatakan ketidakberwenangannya menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen syariah dan menyatakan bahwa Peradilan Agamalah yang memiliki kewenangan tersebut. Putusan No. 03/Pdt.G/2013/PN.MTP tentang Putusan Sela terhadap sengketa perlindungan konsumen syariah pada hari Senin tanggal 2 Desember 2013. Oleh Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan eksepsi tergugat mengenai kewenangan mengadili secara absolut perkara aquo adalah bukan kewenangan Peradilan Negeri Martapura melainkan kewenangan Peradilan Agama berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Majelis Hakim dalam putusan mengadili dan menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut pada poin dua.10
Putusan No. 0047/Pdt.G/2012/PA.Yk Pengadilan Agama Yogyakarta pada hari Kamis tanggal 28 Juni 2012 bertepatan dengan tanggal 8 Sya’ban 1433 H. Tentang perkara sengketa konsumen dalam mudharabah muqayyah antara nasabah/konsumen dengan pihak BPRS. Dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim menyatakan bahwa dalil eksepsi tergugat yang menyatakan Peradilan Agama tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Majelis Hakim menyatakan dalil tersebut tidak tepat karena perkara tersebut adalah perkara sengketa syariah sehingga menurut Pasal 49 UU No 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
10
Agama jo Pasal 55 UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diselesaikan dalam lingkungan Peradilan Agama.11
Putusan No. 527/Pdt.G/2014/PA.Gtlo Peradilan Agama Gorontalo tentang sengketa perlindungan konsumen syariah, pada hari Kamis tanggal 27 November 2014 M bertepatan dengan tanggal 04 Safar 1436 H. Dalam perkara ini Majelis Hakim menyatakan bahwa perkara aquo adalah sengketa perlindungan konsumen. Namun dalam pertimbangan yang lain Majelis hakim juga menyatakan bahwa perkara yang dimaksud juga memiliki prinsip-prinsip kesyariahan. Sehingga dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim sependapat bahwa yang demikian dirasa perlu dipertimbangkan apakah sengketa konsumen juga termasuk kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa mengadilinya. Dalam pertimbangan lainnya Majelis Hakim cenderung mengarahkan dalil hukum perkara kepada pasal 45 UUPK tentang kewenangan Peradilan Umum untuk menyelesaikannya. Sehingga dalam mengadili menyatakan Peradilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.12
Dengan latar belakang tersebut, menjadi dasar bagi penulis untuk meneliti kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah, dengan mengangkat judul, KEWENANGAN PERADILAN AGAMA MENYELESAIKAN SENGKETA PERLINDUNGAN KONSUMEN
11
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan No. 0047/Pdt.G/2012/PA.Yk Tanggal 2 Desember 2013, hlm, 25.
12
10
DALAM EKONOMI SYARIAH (Analisis Yuridis terhadap Peraturan Perundang-undangan dan Putusan Pengadilan tentang Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Syariah).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari adanya kekeliruan dalam memahami masalah yang akan dibahas, dirasakan perlu untuk mengadakan pembatasan dan perumusan masalah tersebut sesuai dengan judul yang dimaksud. Maka penulis memberikan batasan masalah dalam penelitian ini hanya terfokus pada konsep kewenangan absolut Peradilan Agama mengenai ekonomi syariah dalam hal ini terkait perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah. Dengan demikian dalam penelitian ini tidak akan dibahas bagian kewenangan absolut Peradilan Agama yang lain.
2. Perumusan Masalah
Dalam UU. No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (1) menjelaskan bahwa perkara perlindungan konsumen dapat diselesaikan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
tentang Perbankan Syariah. Ditambah dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012.
Agar lebih terarah, serta untuk memfokuskan tema permasalahan dan terciptanya efektifitas dari tema penelitian ini, rumusan masalah di atas, penulis rangkum dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a) Bagaimana seharusnya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan praktiknya di pengadilan?
b) Apa yang menjadi legalitas kewenangan Hakim Peradilan Agama menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah?
c) Bagaimana praktik penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah di pengadilan saat ini?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Mengetahui bagaimana sebenarnya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan praktiknya di pengadilan.
12
c. Menemukan perbedaan kewenangan Peradilan Agama dan Peradilan Umum dalam memeriksa dan menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen ekonomi syariah.
2. Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a. Bagi Penulis
Penulisan ini bermanfaat untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata satu dalam bidang Hukum Keluarga, juga menambah khazanah pengetahuan di bidang kewenangan absolut Peradilan Agama, dalam hal ini ekonomi syariah.
b. Bagi Akademisi
Sebagai aset pustaka yang diharapkan dapat dimanfaatkan oleh seluruh kalangan akademisi dalam upaya memberikan pengetahuan, informasi, dan sebagai proses pembelajaran mengenai ekonomi syariah dalam kewenangan Peradilan Agama.
c. Bagi Praktisi
Bagi Hakim Peradilan Agama atau Advokat yang menangani sengketa ekonomi syariah dapat dijadikan rujukan mengenai penyelesaiaannya. Dimana perlindungan konsumen perbankan syariah itu sendiri termasuk ke dalam ekonomi syariah yang dimaksud.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Mengenai judul yang akan ditulis ini, sebelumnya telah ada penelitian yang berkaitan tentang kewenangan Peradilan Agama yang telah ditulis dalam bentuk skripsi dan penelitian ilmiah oleh beberapa orang yaitu: Djawahir Hazzaziev dengan judul penelitian Persepsi dan Preferensi Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan
Syariah yang ditulis pada tahun 2013 di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Melianah dengan judul Proses Pembuatan Kontrak Pembiayaan Mudharabah Dalam Perspektif Undang-undang Perlindungan
Konsumen (studi kasus pada Bank Syariah Mandiri) Fakultas Syariah dan Hukum
tahun 2014. Dalam penelitian ini hanya memfokuskan kepada bagaiamana membuat kontrak yang disesuaikan kepada Undang-undang Perlindungan Konsumen, di dalamnya tidak dibahas tentang penyelesaian sengketanya. Abdul Hafid Nur dengan judul Aplikasi Kontrak Musyarakah Bank Syariah Ditinjau Dari UU No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang ditulis pada tahun 2010 Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini menitikberatkan pembahasan penelitian kepada isi kontrak atau kesepakatan antara pihak bukan penyelesaian sengketanya.
14
E. Kerangka Teori Konseptual
1. Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun hidup makhluk lain dan tidak untuk diperdagangkan.13
2. Perlindungan Konsumen
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.14
3. Sengketa
Menurut Jhon Colier, yang dimaksud sengketa adalah perselisihan khusus mengenai fakta, hukum atau kebijakan di mana klaim atau pernyataan dari salah satu pihak bertemu dengan penolakan, gugatan balik atau penolakan oleh orang lain.15
4. Ekonomi Syariah
Menurut Abdul Manan, yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah
“sosial science which studies the economic problems of people imbued with the
values of Islam” (Ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang
13
Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 4.
14
Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 1.
15
memepelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam).16
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah adalah kewenangan Peradilan Agama dalam sengketa ekonomi syariah mengenai perlindungan konsumen, dengan demikian dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif.
1. Jenis dan Pendekatan
Jenis penelitian dalam penulisan ini merupakan jenis penelitian hukum normatif.
Pendekatan-pendekatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan dua pendekatan. Pertama17, pendekatan undang-undang (statute approach). Penggunaan pendekatan ini untuk menelaah ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan syariah, perlindungan konsumen, dan peradilan Agama. Dengan pendekatan ini peneliti melakukan sinkronisasi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan tersebut secara horizontal dan vertikal. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran secara menyeluruh terkait dengan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen di perbankan syariah.
16
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam perspektif kewenangan Peradilan Agama,
(Jakarta: KENCANA, 2012), h. 6-7.
17
16
Pedekatan kedua adalah pendekatan kasus (case approach).18Pendekatan ini dilakukan untuk memberikan gambaran bagaimana para Hakim Peradilan Agama memutus perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah. Analisis dengan pendekatan putusan di sini melihat bagaimana peraktik dari peraturan perundang-undangan itu diperaktikkan.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini penulis bagi kepada dua sumber data, sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer disini adalah UU. No, 7 Tahun 1989 menjadi UU. No. 3 Tahun 2006 menjadi UU. No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, UU. No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU. No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan undang-undang lain yang berkaitan dengan kewenangan Peradilan Agama. Putusan beberapa pengadilan baik peradilan Umum maupun Peradilan Agama yang terkait sengketa perlindungan konsumen. Sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku, surat kabar, kamus, majalah, hasil-hasil penelitian, jurnal-jurnal, artikel, internet, dan lain sebagainya yang dapat memberikan penjelasan data-data primer.
3. Metode Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis penelitian di atas, maka dalam pengumpulan data penulis menggunakan studi pustaka (library research) dengan metode dokumentasi atau
18
studi dokumen. Dokumentasi, dari asal katanya dokumen, yang artinya barang-barang yang tertulis.19 Dalam melaksanakan metode dokumentasi yang dimaksud penulis melakukan penyelidikan dan mengumpulkan data-data atau dokumen-dokumen tertulis seperti buku-buku, artikel, peraturan-peraturan, undang-undang dan lain sebagainya.
Putusan beberapa Peradilan Umum dan Peradilan Agama terkait penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah diambil dari direktori putusan Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi yang memayungi peradilan tingkat I dan II. Kdelapan putusan adalah putusan yang diputuskan atas perkara perlindungan konsumen yang terjadi di dalam Lembaga keuangan Syariah.
4. Metode Analisis Data
Berdasarkan pada tujuan penelitian yang ingin dicapai, penelitian ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum. Sifat dari preskripsi dalam bidang keilmuan hukum, penelitian yang bersifat normatif adalah berusaha untuk mengkaji dan mendalami serta mencari jawaban tentang apa yang seharusnya dari setiap permasalahan. Sehingga penulis akan merangkum apa yang seharusnya dari peraturan perundang-undangan yang telah mengatur dan mempelajari putusan-putusan yang telah diputuskan untuk mencapai apa yang dimaksudkan. 20
19
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. Ke-12. (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 135.
20
18
5. Metode dan Teknik Penulisan
Adapun tekhnik penulisan dalam penelitian ini menggunakan pedoman penulisan skripsi Fakulas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, penulis mengkonsep penulisan dengan menyajikan lima bab, diharapkan dengan sistematika yang terhimpun dalam kelima bab tersebut dapat memudahkan untuk membaca dan memahami dan mengerti tentang tujuan yang menjadi titik pencapaian dari penelitian yang dilakukan. Adapun tentang sistematika yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Bab pertama, pendahuluan yang terdiri dari pembahasan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, kerangka teori konseptual, metode penelitian, rancangan outline (sistematika penulisan).
Bab kedua, berisikan tentang eksistensi dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia yang terdiri dari pengertian Peradilan Agama, dasar hukum yang terdapat di dalam Peradilan Agama, asas-asas Peradilan Agama, tugas dan fungsi Peradilan Agama, kedudukan Peradilan Agama di Indonesia dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia serta hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama.
prinsip-prinsip dalam perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Bab keempat, adalah analisis kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam ekonomi syariah yang terdiri atas analisis yuridis penyelesaian sengketa perlindungan konsumen Lembaga Konsumen Syariah, analisi empiris penyelesaian sengketa perlindungan konsumen Lembaga Konsumen Syariah, serta hasil analisis penulis tentang kewenangan Peradilan Agama menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen.
20
BAB II
EKSISTENSI DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA
A. Pengertian Peradilan Agama
Dalam khazanah Islam klasik telah dikenal pengertian peradilan dengan istilah-istilah keislaman, wilayat al-aqdha, hisbah, dan madzalim.1 Kata “peradilan” berasal dari akar kata “adil”, dengan awalan “per” dan dengan imbuhan “an”. Kata “peradilan” sebagai terjemahan dari “qadha”, yang berarti “memutuskan”, “melaksanakan” dan “menyelesaikan”.2Adapula yang menyatakan bahwa, umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dan pengadilan.3Sebagaimana pengertian ini dijelaskan secara rinci di dalam buku Peradilan Agama di Indonesia.
Disamping kata “menyelesaikan” dan menunaikan seperti di atas, arti qadha
yang dimaksud adapula yang berarti “memutuskan hukum” atau “menetapkan suatu ketetapan”. Dalam dunia peradilan menurut para pakar, makna yang terakhir inilah yang dianggap lebih signifikan. Dimana makna hukum di sini pada asalnya berarti
1
Ketiga badan peradilan tersebut, merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman pada masa Islam klasik. Ketiganya berada di bawah; dinasti Umayyah menyebutnya dengan nizham al-qadhai, yakni pelaksana hukum. Muhammad jalal Syaraf dan Ali Abd al- Muth”i Muhammad, Fikr al-syasi fi al-Islam, (Iskandariyah: Dar al-Jami’at al-Mishriyat, 1978), h. 155-157).
2
Ahmad Warson, Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), (Jakarta; M. Jakarta, 1996), cet. Pertama, h. 1225
3
“menghalangi” atau “mencegah”, karenanya qadhi dinamakan hakim karena seorang hakim berfungsi untuk menghalangi orang yang zalim dari penganiyaan.4
Kata peradilan menurut istilah ahli fikih ialah:
1. Lembaga Hukum (tempat di mana seseorang mengajukan permohonan keadilan).
2. Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya.5
Peradilan Islam di Indonesia yang dikenal dengan Peradilan Agama keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika Islam mulai berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah muncul bersamaan dengan perkembangan kelompok di kala itu, kemudian memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan Islam6.
Selanjutnya jika kata peradilan atau pengadilan disatukan dengan kata agama, maka pengertian Peradilan Agama adalah “ kekuasaan negara dalam memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antar orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan Peradilan
4
Hasby As-siddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Yogyakarta; PT. Ma’arif, 1994), h. 29.
5
Hasby As-siddieqy, Peradilan dan..., h. 30.
6
22
Agama adalah pengadilan tingkat pertama pada lingkungan peradilan agama.7 Menurut Ramulyo, Peradilan Agama adalah tempat di mana dilakukan usaha mencari keadilan dan kebenaran yang diridhai Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu majelis hakim atau mahkamah.8
B. Dasar Hukum dan Asas Peradilan Agama
1. Dasar Hukum Peradilan Agama
Peradilan Agama sebagai institusi yang bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan atas adanya persengketaan-persengketaan di antara orang-orang yang beragama Islam yang diajukan kepadanya dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus memenuhi standar pengadilan. Terpenuhinya standar pengadilan pada Peradilan Agama harus memenuhi tiga perangkat dasar, yakni peraturan perundang-undangan, organisasi dan aparat penegak hukum, serta tatalaksana, sarana dan prasarana. Ketiga perangkat tersebut merupakan kebutuhan mutlak bagi terlaksananya tugas-tugas dan fungsi Peradilan Agama dalam menegakkan hukum dan keadilan di Negara Hukum Republik Indonesia.9
Peradilan Agama sebagai sub sistem Peradilan Nasional, keberadaannya harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan. Sepanjang sejarah
7
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia,(Jakarta; Pt. Rajawali Grafindo Persada, 1996), cet. Pertama, h. 6.
8
Moh. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama,
(Jakarta: Ind-Hill Co, 1991), h. 12.
9
Taufiq Hamami, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia,
perjalanan Peradilan Agama di Indonesia sebagai lembaga penengak hukum dan keadilan, hal-hal yang mengaturnya asal mulanya berupa penunjukan oleh para pihak yang bersengketa terhadap seseorang sebagai muhakkam.10 Selanjutnya berlanjut pada peraturan di masa kerajaan Islam, masa kolonial yang ditandai dengan hadirnya Stbl 1882 No. 152. Kemudian pada tahun 1937 diperbaharui dengan Stbl 1937 Nomor. 116 dan 610.
Puncak kekokohan perangkat dasar peraturan perundang-undangan terjadi saat diundangkannya perubahan ketiga UUD Negara Republik Indonesia 1945. Perubahan ketiga ini menegaskan kedudukan konstitusional Peradilan Agama. Perihal dimaksud mengandung beberapa makna:11
1. Peradilan Agama adalah badan kenegaraan konstitusional dengan kedudukan yang dijamin Undang-undang Dasar.
2. Peradilan Agama adalah salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan yang lain.
3. Peradilan Agama berhak atas “Privilage” dan Negara mempunyai kewajiban serta tanggung jawab memberikan dukungan yang sama dengan lingkungan peradilan yang lain.
10
Adalah pengertian bagi orang yang dianggap padanya mengerti tentang suatu hukum, memiliki naluri keadilan yang tinggi dan dapat dipercaya. Kemudian dipercayakan kepadanya untuk memberikan suatu keputusan terhadap suatu permasalahan.
11
24
4. Peradilan Agama merupakan satu kesatuan sistem peradilan nasional
(national integrated judicial system), dalam sistem ketatanegaraan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai konsekwensi konstitusional dari perubahan tersebut, maka yang pertama kali diubah adalah UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menjadi UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang juga dirubah dengan UU No. 48 tahun 2009. Perubahan ini juga mengakibatkan perubahan UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menjadi UU No. 5 tahun 2004 yang telah diubah menjadi UU NO. 49 tahun 2009 dan UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi UU No. 3 tahun 2006 dan UU No. 50 tahun 2009.
2008 tentang Perbankan Syariah, 9). PERMA No. 2 tahun 2003 tentang Mediasi, 10) Peraturan Menteri Agama No. 2 tahun 1987 tentang Wali Hakim, 11) Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
2. Asas-asas Peradilan Agama
Asas-asas peradilan merupakan landasan pokok (fundamental) dalam pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Asas-asas yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum pada dasarnya berlaku juga di Peradilan Agama kecuali di atur lain. diantaranya; asas personalitas ke-Islaman, asas kebebasan, asas tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak jelas, asas wajib
mendamaikan, asas sederhana, cepat dan biaya ringan, asas mengadili menurut
hukum dan persamaan hak, asas persidangan terbuka untuk umum, asas aktif
memberi bantuan, asas peradilan dilakukan dengan cara majelis hakim.
26
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan” dan seterusnya.12
Mengenai hubungan antara asas personalitas keislaman ini dengan ekonomi syariah adalah sangat berkaitan. Hal ini karena konsep dari ekonomi syariah adalah suatu prinsip-prinsip yang dibangun dengan pondasi dan nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran Islam.
C. Tugas dan Fungsi Peradilan Agama
Tugas dan fungsi peradilan dalam lingkungan peradilan Agama dapat dipilah menjadi dua macam, yakni tugas yudisial yang merupakan tugas pokok dan tugas non yudisial yang merupakan tugas tambahan, namun tidak mengurangi nilai penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
1. Tugas dan Fungsi memberi keadilan (yudisial)
Yang dimaksud dengan tugas yudisial ialah tugas dan fungsi memberikan keadilan kepada masyarakat pencari keadilan. Inti dari tugas ini adalah menegakkan hukum dan keadilan. 13Realisasi pelaksanaan tugasnya dalam bentuk mengadili apabila terjadi sengketa, pelanggaran hukum atau perbedaan kepentingan antar sesama warga masyarakat (perorangan atau badan hukum).14
12
Taufiq Hamami, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia,
(Ciputat; PT. Tatanusa, 2013), h. 160-162.
13
Purwoto S. Ganda Subrata, Dengan Etika dan Profesi Hakim Kita Tegakkan Citra, Wibawa dan Martabat hakim Indonesia, (Jakarta; Bina Yustisia Mahkamah Agung RI, 1994), h. 3.
14
Jadi tugas utama peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama (Hakim) adalah menyelesaikan sengketa diantara pihak-pihak, memberi keputusan kepada pihak yang berperkara. Hakim harus memutus menurut hukum, baik dalam arti harfiah maupun hukum yang sudah ditafsirkan atau dikonstruksi. Keadilan atau kepastian yang lahir dari putusan peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama (hakim) adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut hukum, bukan sekedar kehendak hakim yang bersangkutan atau sekedar memenuhi tuntutan masyarakat.15
Tugas dan fungsi Peradilan Agama diatur jelas dalam perundang-undangan, diantaranya UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 angka 1, Pasal 25 ayat (3). Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 kemudian diubah lagi dengan UU No. 50 tahun 2009 tugas penegakan hukum dan keadilan di Peradilan Agama adalah dalam bentuk menerima, memeriksa, memutus/mengadili dan menyelesaikan perkara orang-orang yang beragama Islam menyangkut persengketaan perkawinan, waris, wasiat, hibah, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Khusus untuk Peradilan di wilayah Aceh mencakup juga bidang mu’amalat dan jinayat.
2. Tugas non Yudisial
Tugas non yudisial adalah tugas di luar tugas mengadili. Tugas semacam ini dapat dilakukan hanya atas dasar ketentuan Undang-undang. Tugas dimaksud
15
28
diatur dalam Pasal 52 dan 52 A UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah pula dengan UU No. 50 tahun 2009. Dinyatakan bahwa:
1. Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta.
2. Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.
Tugas lain sebagaimana dimaksud pada pasal 52 ayat (2) UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diubah pula dengan UU No. 50 tahun 2009. Dinyatakan bahwa:
1. Tugas sebagaimana ditunjuk pasal 52 A Undang-undang tersebut, berupa pemberian istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriah.
2. Tugas sebagaimana yang diatur di dalam pasal 107 ayat (2) Undang-undang tersebut. Pasal tersebut menegaskan bahwa: “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 236 a Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB), Staatblad 1941 Nomor 44, mengenai permohonan pertolongan pembahagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.”
D. Kedudukan Peradilan Agama di Indonesia
Perwakilan Rakyat (DPR), d. Badan Pemeriksa keuangan (BPK) dan e. Badan Kekuasaan Kehakiman.
Selanjutnya mengenai poin yang kelima di atas, yakni tentang Badan Kekuasaan Kehakiman telah ditentukan dalam Pasal 24 UUD NRI 1945 dan untuk memenuhinya hadirlah UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 10 undang-undang ini telah menetapkan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum b. Peradilan Agama c. Peradilan Militer,
d. Peradilan Tata Usaha Negara16
Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi juga ditetapkan oleh UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diubah dengan UU No. 48 Tahun 2009 berdasarkan Pasal 10 Ayat 2. Mahkamah Agung juga sebagai peradilan tingkat akhir yang menyelesaikan perkara kasasi serta melaksanakan pengawasan kepada semua lingkungan peradilan termasuk diantaranya Peradilan Agama.
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
(yudisial power) di Indonesia. Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman,
keberadaan Peradilan Agama jelas mempunyai kedudukan dan fungsi tersendiri di
16
30
tengah-tengah pelaksana kekuasaan kehakiman lainnya. Untuk memahami bagaimana kedudukan dan fungsi Peradilan Agama diantara sesama pelaksana kekuasaan kehakiman tersebut, dapat dilihat dari sistem penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia saat ini.17
Kemudian mengenai sistem penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia, kita harus merujuk pada UUD NRI 1945 yang sekarang telah diamandemen dalam beberapa perbaikan. Berdasarkan ketentuan pasal 24 UUD NRI 1945 telah dinyatakan sebagai berikut:
1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
3. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam undang-undang.
Sejalan dengan maksud Pasal 24 UUD 1945 tersebut, Pasal 1 dan 2 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga telah menyatakan bahwa:
Pasal 1: Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Pasal 2: Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
17
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam penjelasan pasal demi pasal yang telah dijelaskan di atas, dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa kekuasaan kehakiman tidak lain merupakan salah satu badan kekuasaan negara18 atau badan penyelenggara negara di samping MPR, Presiden, DPR, dan lainnya yang setara, yang kemudian fungsi utamanya adalah menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.19
Diundangkannya UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai upaya singkronisasi segala urusan dan tanggung jawab organisasi, administrasi dan finansial badan Peradilan Agama dengan ketentuan UU No. 4 tahun 2004. Dengan demikian, jika sebelumnya segala urusan dan tanggung jawab organisasi, administrasi dan finansial badan Peradilan Agama dimaksud berada di bawah otoritas Departemen Agama, maka pasca UU No. 3 tahun
18
Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta; Pustaka Kartini, 1993), h. 88.
19
32
2006 semuanya telah niscaya diserahkan dan dialihkan menjadi otoritas Mahkamah Agung.20
Keempat peradilan yang ada, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kedudukan yang sama dan sejajar yang kesemuanya berpuncak kepada Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi. Peradilan Umum merupakan peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai perkara perdata maupun perkara pidana. Sedangkan Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu.21
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan Peradilan Agama dalam sistem tata hukum di Indonesia merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman. Dan sebagai badan peradilan khusus, maka kekuasaan kehakiman yang diselenggarakannya adalah dikhususkan untuk rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu atau bagi golongan rakyat atau badan hukum yang dengan sendiri menundukkan diri dengan sukarela kepada ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.
20
Syamsuhadi Irsyad, Eksistensi Peradilan Agama Pasca Lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006, (Makalah, 10 Juli 2006), h. 10.
21
E. Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia
Kompetensi Peradilan Agama telah mengalami dinamika yang cukup pelik serta mengarah pada pasang surut.22 Kendati tidak sampai kepada penghapusan, namun lingkup yuridiksi Peradilan Agama kerap dibatasi pada perkara keperdataan tertentu. Kenyataan ini sesungguhnya tidak terlepas dari kehendak politik (political
willi) para penguasa pada masanya yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang
ditempuh oleh penguasa bersangkutan.23 Sehingga memang, faktor dinamika politik hukum dan kehendak politik penguasa dari masa ke masa telah menngoreskan catatan penting bagi eksistensi, kedudukan dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia, yang dalam kenyataannya tidak selalu berada dalam perjalanan yang relatif mulus.24
Menurut Yahya Harahap, ada lima tugas dan wewenang Peradilan Agama, yaitu: (1) Fungsi kewenangan mengadili; (2) Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah; (3) Kewenangan lain oleh atau berdasarkan atas undang-undang; (4) Kewenangan pengadilan tinggi agama
22
C. Van Vollenhoven, Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia, (Jakarta; Djambatan-Inkultra Foundation Inc., 1981), h. 51.
23
Soetandoyo Wingjosoebroto, “Dari Hukum Kolonial ke Hukum nasional: Suatu Telaah Mengeanai Transpalansi Hukum ke Negara-negara Tengah Berkembang Khususnya Indonesia,” Pidato Pengukuhan Guru Besar Sosiologi Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga, Surabaya, 4 Maret 1989, h. 16.
24
34
mengadili perkara dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif, serta (5) Bertugas mengawasi jalannya peradilan.25
Mengenai kompetensi Peradilan Agama, tergolong kepada kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kekuasaan atau kompetensi relatif pada dasarnya kekuasaan peradilan yang menyangkut wilayah hukum.26Sedangkan kekuasaan atau kompetensi absolut adalah kekuasaan peradilan yang menyangkut bidang perkara atau wewenang mengadili yang menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan,27 yang berada di Negara Hukum Republik Indonesia. Dalam kata lain bahwa kewenangan absolut adalah kewenangan dari badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh pengadilan lain.
Dasar hukum pemberian kompetensi relatif bagi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah pada pasal 4 ayat (1) dan (2) UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 kemudian diubah lagi dengan UU No. 50 tahun 2009. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa:
(1) Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota.
(2) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.
25
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, (Malang; UIN-Malang Press, 2008), h. 194.
26
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Danputusan Pengadilan, cet. Kesembilan, (Jakarta; Sinar Grafika, 2009), h. 19.
27
Retno Wulan Sutantio dan Iskandar, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,
Dalam penentuan Pengadilan Agama yang mana yang berwenang atas suatu perkara yang menjadi bidangnya, ditentukan oleh tempat tinggal para pihak berperkara, atau keberadaan obyek perkaranya. Dalam hal ini penentuannya diklasifikasikan menurut bidang-bidang perkaranya.
Menurut M. Yahya Harahap, 28 bahwa faktor yang menimbulkan terjadinya pembatasan kewenangan relatif masing-masing peradilan pada setiap lingkungan peradilan ialah faktor wilayah hukum. Kompetensi relatif Peradilan Agama sesuai dengan Pasal 4 UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama di atas menjelaskan bahwa tempat kedudukan Peradilan Agama adalah di Ibukota Kabupaten/Kota dan daerah hukumnya meliputi Kabupaten/Kota tersebut.
Dapat dilihat setiap Peradilan Agama hanya berwenang mengadili perkara yang termasuk ke dalam wilayah hukumnya. Jangkauan kewenangan pelayanan peradilan yang dapat dilakukan secara formil, hanya perkara-perkara yang termasuk kedalam wilayah daerah hukumnya. Sekalipun secara subtantif merupakan kekuasaan absolut Peradilan Agama, kewenangan absolut tersebut dapat dihalangi kompetensi relatif yang mengakibatkan Peradilan Agama yang menerima perkara tidak berwenang mengadili, jika perkara yang bersangkutan termasuk kewenangan Agama lain.
Kewenangan atau kompetensi absolut di lingkungan Peradilan Agama sebagai salah satu badan penyelenggara kekuasaan kehakiman (yudisial power) bersumber
28
36
kepada amandemen UU. No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diamandemen menjadi UU. No. 3 Tahun 2006 dan kemudian dilakukan perubahan kedua menjadi UU. No. 50 Tahun 2009. Dalam Undang-undang tersebut telah diatur jelas tentang hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia. Beberapa perubahan terhadap Undang-undang Peradilan Agama ini diantaranya menambah kewenangan Peradilan Agama serta diakuinya eksistensinya dalam menyelesaikan sengketa perdata antara orang Islam mengenai kekuasaan relative
maupun absolute Peradilan Agama. Salah satu kewenangan baru dalam undang-undang tersebut adalah dimasukkannya sengketa ekonomi syariah sebagai kewenangan Peradilan Agama pada Pasal 49 UU. No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Kewenangan absolut Peradilan Agama pada Pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah memberikan beberapa perkara yang menjadi kewenangannya untuk menyelesaikannya. Bukan hanya terbatas kepada permasalahan perkawinan semata, namun hal-hal lain yang bersifat perdata juga turut menjadi kewenangan Peradilan Agama, diantaranya; waris29, wasiat30, hibah31, wakaf32, zakat33, infak34, dan sedekah35. Selanjutnya menurut pasal 49 huruf i Undang-undang ini kewenangan
29
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris. Lihat penjelasan pasal 49 huruf b UU No. 3 tahun 2006.
30
Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. Lihat penjelasan pasal 49 huruf c UU No. 3 tahun 2006.
31
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki. Lihat penjelasan pasal 49 huruf d UU No. 3 tahun 2006.
32
Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah. Lihat penjelasan pasal 49 huruf e UU No. 3 tahun 2006.
33
Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Lihat penjelasan pasal 49huruf f UU No. 3 tahun 2006.
34
Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala. Lihat penjelasan pasal 49huruf g UU No. 3 tahun 2006.
35
38
Peradilan Agama diperluas, termasuk bidang ekonomi syariah.36 Hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Dengan penegasan dan pemenuhan kewenangan Peradilan Agama dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum37 bagi Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah.
Perubahan ini mengangkat eksistensi Peradilan Agama semakin menduduki kompetensi yang semakin berdikari dan mandiri. Perubahan baru tersebut menyangkut yuridiksinya, sebagaimana yang kita pahami dijelaskan bahwa tentang pengertian Peradilan Agama itu sendiri. Sebelum dilakukan amandemen pada UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada pasal 2 memuat pernyataan bahwa;
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang
diatur dalam Undang-undang ini. Kemudian setelah lahirnya UU No. 3 tahun 2006
tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 2 telah diubah dengan menghapuskan kata “perdata” di dalamnya menjadi; Peradilan Agama
dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho. Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata. Lihat penjelasan pasal 49huruf h UU No. 3 tahun 2006.
36
Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi: a. bank syari'ah; b. lembaga keuangan mikro syari'ah. c. asuransi syari'ah; d. reasuransi syari'ah; e. reksa dana syari'ah; f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; g. sekuritas syari'ah; h. pembiayaan syari'ah; i. pegadaian syari'ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. bisnis syari'.
37
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini. Kata ”perkara perdata tertentu” telah diubah menjadi “perkara tertentu”
dimaksudkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kompetensi Peradilan Agama.38
Dengan adanya penegasan di atas, dalam hal ini perluasaan kewenangan Peradilan Agama tidak lagi terbatas hanya kepada perkara-perkara tertentu yang sifatnya termasuk kedalam perkara-perkara perdata. Namun lebih daripada itu, kewenangan menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang di luar perkara perdata dapat diselesaikan di dalam lingkungan Peradilan Agama. Akan tetapi kebebasan kewenangan ini tetap dibatasi oleh hal-hal pidana yang muncul dari pelanggaran hukum perdata. Termasuk kedalam kewenangan menyelesaikan pelanggaran kepada undang-undang tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang
jinayah berdasarkan qanun.
F. Hukum Acara di Peradilan Agama
Hukum acara Peradilan Agama adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara menaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau cara bagaimana bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya.
38
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum Islam di Indonesia,
40
Pasal 54 jo UU No. 3 tahun 2006 jo. UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama menyatakan; “Hukum Acara yang berlaku pada Peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara yang berlaku pada Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.
Perkara-perkara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara khusus dan selebihnya berlaku hukum acara perdata pada umumnya. Hukum acara khusus ini meliputi kewenangan relatif Peradilan Agama, pemanggilan, pemeriksaan, pembuktian, dan biaya perkara serta pelaksanaan putusan.
Hakim harus menguasai hukum acara (hukum formal) di samping hukum materiil. Menerapkan hukum materiil secara benar belum tentu menghasilkan putusan yang adil dan benar. Sudikno Martokusumo dalam bukunya hukum acara perdata terutama dalam hal pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain di samping hukum materiil perdata itu sendiri. Peraturan hukum inilah yang disebut hukum perdata formil atau hukum acara perdata. 39
39
41
A. Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen merupakan konsekuensi dan bahagian dari kemajuan teknologi dan industri. Kemajuan teknologi dan industri tersebut ternyata telah memperkuat perbedaan antara pola hidup masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Masyarakat tradisional dalam memproduksi barang-barang kebutuhan konsumen secara sederhana, dan hubungan antara konsumen dan masyarakat tradisional relatif masih sederhana, dimana konsumen dan produsen dapat bertatap muka secara langsung. Adapun masyarakat modern memproduksi barang-barang kebutuhan konsumen secara massal, sehingga menciptakan konsumen secara massal pula (mass consumer consumption). Akhirnya hubungan antara konsumen dan produsen menjadi rumit, dimana konsumen tidak mengenal siapa produsennya, dan begitu pula sebaliknya, produsen tak mengenal siapa konsumennya, bahkan produsen tersebut berada di Negara lain.1
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Selanjutnya dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
1
42
Sektor Jasa Keuangan dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah perlindungan terhadap konsumen dengan cakupan prilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
B. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Sebelum tahun 1999, hukum positif Indonesia belum mengenal istilah konsumen. Namun hukum positif Indonesia berusaha menggunakan beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen. Variasi penggunaan istilah yang berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu kepada perlindungan konsumen, namun belum memiliki ketegasan dan kepastian hukum tentang hak-hak konsumen.2
Perlindungan konsumen ditujukan untuk memenuhi rasa keadilan serta memberikan kepastian hukum. Kedua tujuan ini diharapkan mampu untuk memberikan kualitas perlindungan konsumen, sehingga hak-haknya dapat terpenuhi tanpa adanya penyelewengan dari posisi lemah yang mereka3miliki.
Untuk mendapat legitimasi dan legalitas maka perlindungan tersebut harus diatur dalam bentuk perundang-undangan sebagai dasar hukumnya. Ada beberapa peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.
a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen..., h. 13.
3