• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA A. Pengertian Peradilan Agama

E. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen dalam Kekuasaan Kehakiman di Indonesiadi Indonesia

2. Penyelesaian Sengketa Litigasi

Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah melakukan suatu penyelesaian sengketa konsumen dengan begitu lengkap dan dapat dikatakan berkeadilan. Melalui Undang-undang ini telah dijelaskan tentang penyelesaian yang dapat dilalui oleh pihak yang ingin memenuhi hak-haknya yang dilanggar oleh pelaku usaha. Setelah tadi dijelaskan tentang penyelesaian sengketa perlindungan konsumen melalui non peradilan (non litigasi), maka disini dijelaskan penyelesaian melalui jalur peradilan (litigasi).

a. Melalui Peradilan Umum

Sesuai dengan apa yang dijelaskan pada pasal 45 UUPK, bahwa dalam hal terjadi suatu sengketa oleh konsumen dapat melakukan pengaduan kepada lembaga yang telah ditunjuk ataupun melakukan pengaduan langsung kepada lembaga peradilan yang ada. Pasal 45 UUPK menjelaskan bahwa;

1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.

4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

60

Dari apa yang dijelaskan dari pasal 45 UUPK di atas, bahwa pada dasarnya undang-undang ini terlebih dahulu menjelaskan tentang penyelesaian yang dilakukan melalui jalur yang non peradilan (non litigasi). Hal ini dikarenakan keefektifitasan waktu yang didapat apabila dilakukan diluar peradilan. Kita ketahui peradilan umum sendiri adalah lembaga peradilan yang paling sibuk dalam tugasnya. Setidaknya, dengan adanya jalur-jalur di luar peradilan ini juga dapat mengurangi jumlah perkara yag harus diselesaikan oleh lembaga peradilan.

Selanjutnya Pasal 46 UUPK menjelaskan tentang gugatan yang disampaikan oleh pihak yang diambil haknya oleh pelaku usaha dapat dilakukan oleh mereka yang berhak untuk mengajukannya.19

1. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;

b. Kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang

memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.

19

C.S.T. Kansil dan Christie S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, cet. Kelima, (Jakarta; sinar grafika, 2010), h. 234-235.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya dalam penyelesaiannya peradilan melaksanakan suatu proses pernyelesaian perkara seperti biasa pada umumnya. Sehingga akhirnya peradilan mengeluarkan suatu putusan yang kemudian diterapkan sebagai hasil dari proses peyelesaian yang dilakukan.Untuk kiranya menjamin suatu keadilan kepada pihak dan/atau pihak-pihak yang dirampas haknya.

b. Melalui Peradilan Agama

Di Indonesia pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah adalah Peradilan Agama. Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 yang merupakan amandemen dari UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang merupakan perluasan kewenangan Peradilan Agama. Di samping berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan shadaqah, Peradilan Agama juga berwenang untuk menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah.

Dalam penjelasan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah “perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi; (a) bank syariah; (b) lembaga keuangan mikro syariah; (c) asuransi syariah; (d)

62

reasuransi syariah; (e) reksa dana syariah; (f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; (g) sekuritas syariah; (h) pembiayaan syariah; (i) dana pensiunan lembaga syariah; (k) bisnis syariah.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Peradilan Agama berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Kewenangan tersebut tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah saja, tapi juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Kemudian kewenangan ini diperkuat dengan pasal 55 ayat 1 UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh lembaga peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Namun ayat berikutnya20 memberi peluang kepada pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkara mereka di luar Peradilan Agama. Penyelesaian tersebut dapat diselesaikan melalui mediasi perbankan, Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain dan/atau menyelesaikan melalui Peradilan Umum.21

Mengenai Pasal 55 ayat 1 dan 2 UU No. 21 tahun 2008 ini menimbulkan perdebatan dikalangan ahli dan para pakar mengenai kewenangan absolut menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen

20

Adalah pasal 55 ayat 2 dari Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang kemudian membuka kesempatan bagi pelaku ekonomi untuk menyelesaikan sengketa di dalam lingkungan peradilan lain (Peradilan Umum).

21

Sumber online; http://business-law.binus.ac.id/2015/02/17/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah-di-indonesia-bagian-1-dari-2-tulisan. Diakses: Rabu, 23 September 2015 pukul 12.10 WIB.

dalam Lembaga Keuangan Syariah. Tidak dapat dipungkiri bahwa disini terjadi dualisme kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah antara Peradilan Negeri dengan Peradilan Agama. Hal ini tentu seharusnya sesegera mungkin harus ditemukan penyelesaian yang secara materil memuat peraturan terkait kewenangan absolut tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 dalam amar putusannya menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

1.1 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;22

1.2 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain selebihnya.

Putusan ini secara tegas menghapuskan kesempatan untuk kewenangan menyelesaikan sengketa keuangan syariah di Peradilan Umum karena Peradilan Agama adalah lembaga peradilan yang memiliki kewenangan khusus, khusus antara orang atau badan hukum yang

22

Penjelasan Pasal 55 ayat (2): Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

64

menundukkan diri kepada prinsip Islam. Hal ini sesuai dengan asas yang dianut oleh Peradilan Agama yaitu asas personalitas keislaman.

65

A. Argumentasi Yuridis Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perlindungan