• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Lembaga Keuangan Syariah dalam Peraturan Perundang-undangandalam Peraturan Perundang-undangan

EKSISTENSI DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA A. Pengertian Peradilan Agama

A. Argumentasi Yuridis Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah

1. Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen Lembaga Keuangan Syariah dalam Peraturan Perundang-undangandalam Peraturan Perundang-undangan

Sebelum kemunculan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selain melalui mediasi perbankan, penyelesaian sengketa perbankan syariah bisa juga melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Basyarnas sebelumnya bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) didirikan pada tanggal 21 Oktober 1993. Perubahan nama dari BAMUI menjadi Basyarnas ditetapkan pada Rakernas MUI tahun 2002. Basyarnas merupakan satu-satunya lembaga arbitrase yang berdasarkan prinsip syariah dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa muamalat. Ide pendirian Basyarnas erat kaitannya dengan pendirian Bank Muamalat, BPRS, dan rencana pendirian Asuransi syariah pada tahun 1994. Seperti lembaga keuangan lainnya, lembaga keuangan perbankan syariah dan asuransi syariah diprediksi akan menghadapi berbagai tantangan, termasuk sengketa dengan konsumennya.

Untuk memastikan aktivitas lembaga ini sesuai dengan prinsip syariah, maka sengketa yang terjadi harus diselesaikan oleh lembaga yang kompeten yang mengggunakan prinsip syariah sebagai guideline-nya. Pada saat itu, lembaga peradilan yang ada dianggap tidak kompeten menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Peradilan Negeri meskipun mempunyai wewenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah, para hakimnya dianggap tidak memiliki pemahaman

yang mendalam terhadap transaksi-transaksi syariah sehingga dikuatirkan sengketa perbankan syariah diselesaikan tidak sesuai berdasarkan prinsip syariah. Di sisi lain, Peradilan Agama tidak mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Kewenangannya terbatas menyelesaikan sengketa terkait pernikahan, talak, waris, zakat, dan wakaf. Berdasarkan argumentasi di atas, Basyarnas didirikan dengan harapan agar sengketa perbankan syariah bisa diselesaikan dengan cepat dan fairberdasarkan prinsip syariah.

Sejak berdirinya pada tahun 1993, sampai saat ini, tidak banyak kasus yang diselesaikan oleh Basyarnas. Data yang diperoleh tahun 2010 memperlihatkan hanya 18 kasus yang telah diselesaikan. Proses penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara confidential sesuai dengan prinsip syariah di mana para pihak dilarang untuk membuka aib pihak-pihak yang bersengketa. Putusan arbitrase mengikat para pihak yang bersengketa. Informasi yang diperoleh, mayoritas kasus dapat diselesaikan secara damai, memuaskan dan tidak lebih dari 6 bulan.2

a. Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) UU No. 8 tahun 1999

Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Selanjutnya dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013

2

http://business-law.binus.ac.id/2015/02/20/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah-di-indonesia-bagian-2-dari-2-tulisan/(diakses: sabtu, 06 Februari 2016 pukul 13.37 WIB.

68

tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah perlindungan terhadap konsumen dengan cakupan prilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah jelas sebelumnya mengungkapkan pada Pasal 45 ayat (1) bahwa Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Pasal ini menegaskan bahwa sengketa perlindungan konsumen yang diselesaikan melalui jalur peradilan hanya bisa diselesaikan di dalam lingkungan Peradilan Umum.

Lahirnya undang-undang ini (UUPK) pada tahun 1999 adalah dimana belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait perlindungan konsumen dalam bentuk ekonomi syariah. Ekonomi Syariah belum terlalu menjadi sesuatu yang banyak dibahas dalam cakupan nasional. Perlindungan konsumen yang dimaksudkan dalam undang-undang ini berbasis ekonomi konvensional, walaupun sebenarnya pada saat itu sistem ekonomi yang berbasis syariah sudah mulai terlihat kehadirannya.

b. Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Hadirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan agama pada pasal 49 huruf (i) menegaskan bahwa sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan absolut

Peradilan Agama dan diselesaikan oleh majelis hakim di Peradilan tersebut. Pasal ini memberikan kesempatan yang lebih luas tentang kewenangan absolut Peradilan Agama dimana sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan Peradilan Agama untuk menyelesaikannya.

Pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memuat kewenangan absolut Peradilan Agama selama ini hanya terbatas kepada waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan sedekah. UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah awal dari penyelesaian sengketa perlindungan konsumen dalam Lembaga Keuangan Syariah di bawah naungan Peradilan Agama. Penambahan kewenangan ini sangat sesuai dengan asas personalitas keislaman yang menjadi identitas dasar dari Peradilan Agama. Hal ini karena ekonomi syariah adalah suatu sistem keuangan dan bisnis yang berasaskan kepada prinsip-prinsip keislaman. Tentunya hal ini sangat berkaitan dan memang seharusnya kewenangan ini mutlak menjadi kewenangan Peradilan Agama.

c. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Memperkuat legalitas kewenangan Peradilan Agama tentang sengketa ekonomi syariah, tahun 2008 lahirlah UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang lebih khusus membahas tentang perbankan syariah yang merupakan salah satu dari bentuk ekonomi syariah yang dimaksud. Pasal 55 ayat (1) UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan Syariah dinyatakan penyelesaian sengketa perbankan syariah diselesaikan dilingkungan Peradilan

70

Agama. Namun kemudian yang memberi celah kepada penyelesaian di lembaga peradilan lain dalam hal ini Peradilan Umum terdapat pada ayat selanjutnya yang menyatakan jika diadakan aqad yang memuat pernyataan penyelesaian yang lain dapat melalui Peradilan Umum. Penjelasan terkait hal ini dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf (d) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

Hadirnya UU No. 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah ini memberikan suatu permasalahan baru. Bahwa kewenangan absolut yang secara khusus diberikan kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dalam hal ini mengenai perlindungan konsumen justru melahirkan dualisme kewenangan untuk penyelesaiannya antara Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Hal inilah yang kemudian membutuhkan penyelesaian yang pasti mengenai lembaga peradilan yang berwenang.

d. Putusan mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012

Mengenai dualisme kewenangan menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen Lembaga Keuangan Syariah di atas, Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yang berwenang untuk melakukan perubahan dan revisi terhadap peraturan perundang-undangan mengeluarkan putusan nomor 93/PUU-X/2012 tentang perubahan atas Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dengan menyatakan bahwa Pasal tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dalam amar putusannya. Oleh karena itu Pengadilan Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang

menangani sengketa ekonomi syariah. Hal ini dapat dikatakan sebagai puncak dari perdebatan selama ini dan menjadi landasan sebagai legalitas kewenangan Peradilan Agama secara mutlak untuk menyelesaikan sengketa Lembaga Keuangan Syariah (LKS) termasuk satu diantaranya adalah sengketa perlindungan konsumen.

B. Argumentasi Empiris Kewenangan Penyelesaian Sengketa Perlindungan