Khutbah Idul Fitri:
Memaknai Hari Kemenangan yang Sesungguhnya
Khutbah I
هلَّل دُمْحَلاوَ ارُيْبَكْ رُبَكْأَ هلَّلا .×٣أَ هلَّلارُبَكْأَ .×٣ رُبَكْأَ هلَّلا .×٣ رُبَكْأَ هلَّلا .لاًيْصِأَوَ ةًرُكْبُ هلَّلا نَاحَبَسُوَ ،ارُيْثِكْ
. .
هلَّلوَ رُبَكْأَ هلَّلا رُبَكْأَ هلَّلاوَ هلَّلا لاَّإِ هلإِ لاَّ
دُمْحَلا نَأَ دُهَشْأَ نَاضَمَرَ مِايْصِ دُعْبُ رُطْفِلا دُيْعِ نَيْمْلَّسْمْلَّل لَعْجَ ىذِلا هلَّل دُمْحَلا .
.
اندُ2يْسُ نَأَ دُهَشْأَوَ رُبَكْلاَّا مُيْظِعْلا كُلَّمْلا هل هل كُيْرُشْ لاَّ هُدُحْوَ هلَّلا لاَّإِ هلا لاَّ
.
مِدُقَتَ امَ هل هلَّلا رُفِغَ دُقَ =يٌّبَن رُشَحَمْلا يٌّفِ عُفِاشَلا هلوْسُرَوَ هُدُبَعِ ادُمْحَمَ
نَيْذِلا هبُاحَصِاوَ هلا ىلَّعِوَ Dدُمْحَمَ اندُ2يْسُ ىلَّعِ 2لَصِ مُهَلَّلا رُخَّأَتَ امَوَ هبَنذَ نَمَ . لاَّوَ هتَاقَتَ قَّحْ هلَّلااوْقَتَا هلَّلادَابَعِ ايْفِ دُعْبُ امَأَ رُهَطَوَ سَجَ2رُلا مُهَنْعِ بَهَذَأَ .
.
نَمَ هلَّلابُ ذَوْعِأَ مُيْرُكْلا هبُاتَكْ يٌّفِ ىلاعْتَ هلَّلا لَاقَ نَوْمْلَّسْمَ مُتَناوَ لاَّإِ نَتَوْمْتَ
.
لاَّإِ نَتَوْمْتَ لاَّوَ هتَاقَتَ قَّحْ هلَّلا اوْقَتَا اوْنْمَاءَ نَيْذِلا اهَRيْأَ ايْ مُيْجَرُلا نَاطْيْشَلا
. .
حْلَّصْيْ ادُيْدُسُ لاَّوْقَ اوْلوْقَوَ هلَّلا اوْقَتَا اوْنْمَاءَ نَيْذِلا اهَRيْأَ ايْ نَوْمْلَّسْRمَ مُتَنأَوَ
ازًوْفِ زًافِ دُقَفِ هلوْسُرَوَ هلَّلا عُطْيْ نَمَوَ ،مُكْبُوْنذَ مُكْل رُفِغْيْوَ ،مُكْلامْعِأَ مُكْل امْيْظِعِ
رُبَكْأَ هلَّلا ٣
× دُمْحَلا هلَّلوَ رُبَكْأَ هلَّلا ،رُبَكْأَ هلَّلاوَ ،هلَّلا لاَّإِ هلإِ لاَّ
Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah Alhamdulillah, pada hari ini kita telah
merampungkan ibadah rukun Islam yang keempat, yaitu satu bulan berpuasa berikut rangkaian ibadah-ibadah sunah di dalamnya. Lalu, setelah kita meraih momen kemenangan ini, apa yang harus kita perbuat? Apakah berbangga diri dengan pencapaian spiritual yang telah dicapai? Atau merayakannya dengan penuh suka cita? Atau apa? Idul Fitri bukan seperti turnamen sepak bola atau kompetisi lomba yang kemenangannya harus dirayakan dengan euforia dan penuh kebanggaan. Kemenangan Idul Fitri adalah ketika kita berhasil meraih kematangan spiritual dan sosial setelah satu bulan penuh
digembleng dan dididik di madrasah Ramadhan. Secara spiritual, selama Ramadhan umat Muslim telah melakukan serangkaian ibadah.
Mulai dari puasanya sendiri maupun ibadah-ibadah sunnah di dalamnya seperti shalat tarawih, tadarus Al-Qur’an, beri’tikaf di masjid, dan sebagainya. Sudah seharusnya jika melalui bulan suci ini dengan maksimal dan melaksanakan beragam amalan di dalamnya, kita akan merasakan sentuhan dan pencapaian spiritual setelah bulan suci ini berlalu. Terkait puasanya sendiri, Allah swt menegaskan:
مُکُلَّ بَقَمۡ نَ مَ نَ يْذِلامۡ ى لَّعِ بَتَكْ امْکَ مِايْ2صْلا مُکُ يْلَّعِ بَتَكْ اوْنْمَYا نَ يْذِلامۡ ا هَRيْاـ[Yيْمۡ مۡ مۡ مۡ
نَوْقَتَتَمُ مۡ مۡكْلَّعْل Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183).
Coba kita cermati ayat ini. Allah swt menyampaikan bahwa tujuan melaksanakan puasa adalah untuk melahirkan hamba-hamba yang takwa, yaitu orang yang mematuhi segala bentuk perintah agama dan menjauhi semua larangannya. Itu baru dengan puasanya saja,
bagaimana jika kita mengamalkan beragam ibadah sunnah di
dalamnya? Tentu kita akan menyentuh titik kematangan spiritual yang matang. Inilah yang dimaksud dengan sebuah pencapaian spiritual.
دُمْحَلا هلَّلوَ رُبَكْأَ هلَّلا ،رُبَكْأَ هلَّلاوَ ،هلَّلا لاَّإِ هلإِ لاَّ ، ×٣ رُبَكْأَ هلَّلا Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah Lalu, apakah jika kita sudah melakukan banyak ibadah selama Ramadhan sudah selesai begitu saja? Tidak, kita harus menanamkan prinsip khauf dan rajā’. Khauf adalah kekhawatiran apakah ibadah kita diterima oleh Allah swt atau tidak, sehingga kita tidak terlalu puas dan berbangga diri dengan pencapaian ibadah yang telah dilakukan. Sementara rajā’ adalah sikap optimisme bahwa Allah dengan sifat kasih sayang-Nya pasti mau menerima amal ibadah yang kita lakukan. Saat Ramadhan berlalu, kita pun harus menerapkan dua sikap ini secara proporsional atau berimbang. Orang yang
ibadahnya tidak didasari sifat khauf akan terlalu percaya diri dengan ibadah yang telah dilakukannya sehingga dikhawatirkan merasa cukup dengan amal yang telah dilakukan. Sementara sifat rajā’
diperlukan agar kita tidak putus asa kepada Allah swt. Sifat raja’ ini
dilakukan dengan rasa optimis bahwa Allah menerima ibadah yang telah kita perbuat. Sebab, Allah sesuai perasangka hamba-Nya.
Imam Al-Ghazali dalam Iḥya’ ‘Ulūmiddīn menyampaikan:
سَيْل ذَإِ ءَاجَرُلاوَ فِوْخَلا نَيْبُ ابُرُطْضَمَ اقَلَّعْمَ رَاطْفِلإِا دُعْبُ هبَلَّقَ نَوْكْيْ نَأَ
نَيْتَوْقَمْمْلا نَمَ وْهَفِ هيْلَّعِ Rدَرُيْ وَأَ نَيْبُرُقَمْلا نَمَ وْهَفِ همَوْصِ لَبَقَيْأَ يرَدُيْ
غُرُفِيْ Dةًدَابَعِ 2لَكْ رُخَّآ يٌّفِ كُلذِكْ نَكْيْلوَ
Artinya, “Setiap selesai berbuka puasa, seyogyanya kita merasa khawatir sekaligus menaruh harap kepada Allah. Khawatir jangan- jangan ibadah kita tidak diterima, juga berharap bahwa Allah menerimanya. Sebab, kita tidak tahu apakah puasa kita diterima sehingga termasuk hamba yang dekat di sisi Allah, atau sebaliknya ditolak sehingga kita termasuk hamba yang mendapat murka-Nya.
Sikap seperti ini harus diterapkan setiap selesai melakukan ibadah apapun.” (Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [2016], juz I, halaman 319).
Imam Al-Ghazali berpesan agar setiap selesai berbuka puasa kita menerapkan sikap khauf dan rajā’ terhadap puasa yang sudah kita laksanakan. Untuk satu ibadah berupa puasa saja perlu ditanamkan prinsip ini apalagi setelah selesai selesai satu bulan dengan segala amalan sunah di dalamnya. Bayangkan, orang yang sudah beribadah maksimal saja tidak boleh berbangga diri dan terlalu percaya diri dengan amalnya, apalagi mereka yang ibadahnya biasa-biasa saja.
دُمْحَلا هلَّلوَ رُبَكْأَ هلَّلا ،رُبَكْأَ هلَّلاوَ ،هلَّلا لاَّإِ هلإِ لاَّ ×٣ رُبَكْأَ هلَّلا Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah Puasa tidak saja ibadah yang memiliki spiritual, tetapi juga ritual keagamaan yang mendidik kepekaan sosial
pengamalnya. Saat kita berpuasa, sebagaimana ditegaskan Syekh
‘Izzuddin bin ‘Abdissalam, sejatinya kita sedang digembleng agar memiliki rasa empati tinggi. Sebab, orang yang berpuasa akan
merasakan betapa payahnya menahan lapar dan haus selama kurang lebih tiga belas jam dalam kurun waktu satu bulan. Dengan
pengalaman demikian kita akan sadar bahwa seperti inilah nasib saudara-saudara kita yang hidupnya berkekurangan yang untuk mencari sesuap nasi saja harus memeras keringat di bawah sengatan
terik matahari. Barangkali lapar dan haus kita akan berakhir di waktu magrib, tetapi saudara kita yang hidup dengan ekonomi sangat rendah boleh jadi merasakan lapar sepanjang hayat masih dikandung badan, bahkan untuk makan esok harinya saja masih bingung harus mencari kemana lagi. Saat Idul Fitri sudah tiba, sudah seharusnya kita
mencapai titik empati sedemikian rupa karena sudah melalui hari-hari berpuasa selama satu bulan. Namun sayang, kadang kita sendiri justru terlalu larut dalam kegembiraan yang kita sebut sebagai ‘hari
kemenangan’. Berasyik-ria menerima THR, memakai baju baru, menikmati hidangan spesial Idul Fitri, berkumpul dengan sanak saudara yang masih utuh, dan sejumlah momen keceriaan lainnya.
Namun, kita lupa bahwa di hari kemenangan ini boleh jadi masih ada saudara yang jangankan menerima THR, pekerjaan dengan gajih tetap saja tidak punya. Jangankan menikmati hidangan ketupat dan sedap opor ayam, untuk makan sehari-hari saja masih harus mengetuk pintu dari satu tetangga ke tetangga yang lain. Juga mereka yang sudah tidak memiliki keluarga karena tertimpa bencana, umpamanya.
Jangankan berkumpul dengan keluarga lengkap, sosok ibu dan ayahnya saja telah tiada. Mari kita renungi kembali pada momen suci ini. Sudahkah kita merasakan hari kemenangan dengan meraih nilai-nilai kemenangan yang seharusnya? Kemenangan yang bukan karena kita telah finish melewati jalan terjal Ramadhan, tetapi
kemenangan sesungguhnya yang tidak saja berupa kematangan
spiritual, melainkan juga pencapaian kepekaan sosial yang seharusnya diraih.
دُمْحَلا هلَّلوَ رُبَكْأَ هلَّلا ،رُبَكْأَ هلَّلاوَ ،هلَّلا لاَّإِ هلإِ لاَّ ×٣ رُبَكْأَ هلَّلا Ma’asyiral muslimin wal muslimat, jama’ah shalat Idul Fitri yang dimuliakan Allah Puasa sendiri sejatinya representasi dari sejumlah ibadah yang ada. Sebab, sebagaimana puasa, ibadah-ibadah lain juga memiliki semangat spiritual dan sosial yang harus kita raih kedua- duanya. Sibuk mencari pencapaian spiritual saja tapi mengabaikan aspek sosialnya hanya akan membuat kita buta terhadap lingkungan kita hidup. Sebaliknya, terlalu sibuk dengan aspek sosial tapi
mengabaikan sisi ritualnya hanya akan membuat kita jauh dari Allah swt. Dalam satu hadits diriwayatkan:
مِوْقَتَوَ ، رَاهَنْلا مِوْصْتَ ةُنلاًفِ ، هلَّلا لَوْسُرَ ايْ اوْلاقَ لَاقَ ةًرُيْرُهَ يٌّبُأَ نَعِ : :
: . : .
يٌّ2لَّصْتَ ةُنلاًفِ اوْلاقَ رَانْلا يٌّفِ يٌّهَ لَاقَ اهَنارُيْجَ يذَؤْتَوَ ، لَيْلَّلا
:
يٌّهَ لَاقَ ؟ اهَنارُيْجَ يذَؤْتَ لاَّوَ ، طِقَلْأَا نَمَ رَاوْثْلْأَابُ قُدُصْتَوَ ، تِابُوْتَكْمْلا ةُنْجَلا يٌّفِ
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, ‘Sekalompok sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, ada seorang perempuan ahli puasa dan ahli ibadah malam, tapi dia masih suka menyakiti
tetangganya. Bagaimana pendapatmu?’ Rasul menjawab, ‘Dia akan masuk neraka.’ Mereka bertanya lagi, ‘Ada pula seorang perempuan yang hanya menunaikan shalat lima waktu, bersedekah dengan
sepotong keju, dan tidak menyakiti tetangganya. Bagaimana
pendapatmu?’ Rasul menjawab, ‘Dia akan masuk surga.’” (HR Al- Hakim). Dari hadits ini dapat dipahami bahwa shalat yang
merupakan tiang agama saja tidak menjamin kita masuk surga jika kita masih berbuat buruk kepada sesama manusia. Demikianlah khutbah Idul Fitri yang khatib sampaikan. Semoga di momen
kemenangan ini membuat kita merasakan kemenangan yang hakiki.
Kemenangan yang tidak saja menandai kita telah merampungkan satu bulan berpuasa, tetapi juga telah mencapai kematangan spiritual dan sosial yang sesungguhnya
امَاوْعِأَ انْيْلَّعِ هُدُعِأَوَ ،اندُيْعِ يٌّفِ انْل كْرَابُ مُهَلَّلا مُكْنْمَوَ انْمَ هلَّلا لَبَقَتَ
لاَّوَ اعْيْمْجَ هلَّل لَ بَحَبُ اوْمْصْتَعِوَ مُيْجَرُلا نَاطْيْشَلا نَمَ هلَّلابُ ذَوْعِأَ ةًدُيْدُعِٱ مۡ :مۡ ٱ Dةًرُ فِحْا فِشْ Yىلَّعِ مُتَنْكْوَانYوْخَّإِ[ هتَمْعْنْبُمُ تَحَبَصِأَفِمۡ مۡ مۡ مُۦ ٓ مۡكْبُوْلَّقَ نَ يْبُ فَلأَفِ ءَآدُعِأَمُ تَنْكْ ذَإِمُكْ يْلَّعِهلَّل تَمْعْن اوَرُكْذَوَ اوْقَرُفِتَمۡ مۡ مۡ مۡ مۡ مۡ مۡ مۡ مۡ ٱ مۡ مۡ ٱاْۚ
نَوَدُتَهَتَمُ كْلَّعْل هتَYيْاءَ مُكْلهلَّل نَ2يْبَيْ كُلYذِكْ اهَنْ2مَمۡ مۡ ۦ مۡ مُكْذِقَنأَفِ رَانْل نَ2مَٱ اۗ مۡ ٱ
Khutbah II
نَاحَبَسُوَ ارُيْثِكْ هلَّل دُمْحَلاوَ ارُيْبَكْ رُبَكْا هلَّلا .× ٤ رُبَكْا هلَّلا ×٣ رُبَكْا هلَّلا
.
هلَّل دُمْحَلا دُمْحَلا هلَّلوَ رُبَكْا هلَّلا رُبَكْا هلَّلاوَ هلَّلا لاَّا هلا لاَّ لاًيْصِأَ وَ ةًرُكْبُ هلَّلا هَشْأَوَ رُمَأَ امْكْ ارُيْثِكْ ادُمْحْ .
ارَارُقَا هل كُيْرُشْ لاَّ هُدُحْوَ هلَّلا لاَّإِ هلإِ لاَّ نَأَ دُ
.
هُدُبَعِ ادُمْحَمَ اندُ2يْسُ نَأَ دُهَشْأَوَ رُفِكْوَ هبُ دُحَجَ نَمْل امَاغَرَاوَ هتَيْبُوْبُرُبُ
هلأَ ىلَّعِوَ Dدُمْحَمَ اندُ2يْسُ ىلَّعِ مُ2لَّسُوَ 2لَصِ مُهَoلَّلا رُشَبَلا دُ2يْسُ هلوْسُرَوَ .
. .
اذِهَ انْمَوْيْ نَمَ Dرُبَخَبُ pنَذَاوَ Dرُظِنْبُ pنَيْعِ تَلَّصْتَا امَ رَرُغْلا حْيْبُاصْمْلا هبُاحَصِأَوَ
. .
امْعِ اوْهَتَناوَ رُمَأَ امْيْفِ هلَّلا اوْقَتَا سُانْلا اهَRيْأَايْفِ دُعْبُ امَأَ رُشَحَمْلا مِوْيْ ىلإِ
.
هسْفِنْبُ هيْفِ أَدُبُ Dرُمَأَبُ مُكْرُمَا ىلاعْتَوَ كْرَابَتَ هلَّلا نَأَ اوْمْلَّعِاوَ رَذِحْوَ هنْعِ ىهَن
. .
هلَّلا نَإِ امْيْلَّعِ لاًئِاقَ لَزَيْ مُلوَ ىلاعْتَ لَاقَفِ هسُدُقَبُ ةُحَ2بَسْمْلا هتَكْئِ لاًمْبُ ىنْثْوَ
اوْمْ2لَّسُوَ هيْلَّعِ اوْRلَّصِ اوْنْمَأَ نَيْذِلا اهَRيْأَ ايْ 2يٌّبَنْلا ىلَّعِ نَوْRلَّصْيْ هتَكْئِلاًمَوَ . ىلَّعِوَ نَيْسْحَلاوَ نَسْحَلا 2دُجَ Dدُمْحَمَ اندُ2يْسُ ىلَّعِ مُ2لَّسُوَ 2لَصِ مُهَoلَّلا امْيْلَّسْتَ . Dرُكْبُ ىبُأَ اندُ2يْسُ قَّيْفِرُلا لَوَأَ ىلَّعِ اصِوْصْخَّ نَيْرَادُلا لَهَأَ رُيْخَّ هبُاحَصِأَوَ هلأَ
. .
ىلَّعِوَ قُوَرَافِلا رُمْعِ Dصٍفِحْ يٌّبُأَ اندُ2يْسُ قُوَدُصْمْلا قُدَاصْلا ىلَّعِوَ قَّيْ2دُ2صْلا 2يٌّلَّعِ اندُ2يْسُ بَلاغْلا ه2مْعِ نَبُا ىلَّعِوَ نَيْرَوْRنْلا يذَ نَامْثِعِ اندُ2يْسُ نَيْتَنْبَلا جِوَزً .
. .
ىلَّعِوَ نَيْعْمْجَأَ مُهَنْعِ هلَّلا يٌّضِرَ نَيْقَابَلا ةُتَ2سْلا ىلَّعِوَ بَلاطَ يٌّبُأَ نَبُ
هلَّلا دُبَعِ يٌّبُأَوَ نَسْحَلا دُمْحَمَ يٌّبُأَ نَيْرَادُلا لَهَأَ بِابَشْ يدُ2يْسُ نَيْفِيْرُشَلا .سُابَعْلا اندُ2يْسُوَ ةًزَمْحْ اندُ2يْسُ سُانْلا ىلَّعِ نَيْلَّضِافِلا هيْمْعِ ىلَّعِوَ نَيْسْحَلا . Dنَاسْحْإِبُ مُهَل نَيْعْبُاتَلا عُبُاتَوَ نَيْعْبُاتَلا ىلَّعِوَ نَيْعْمْجَأَ ةُبُاحَصْلا ةُيْقَبُ ىلَّعِوَ . رُفِغَا مُهَoلَّلا نَيْمْحْارُلا مُحْرَأَايْ كُتَمْحْرُبُ مُهَعْمَ انْيْلَّعِوَ نَيْ2دُلا مِوْيْ ىلإِ . .تِاوْمَلاَّاوَ مُهَنْمَ ءَآيْحْلاَّا تِامْلَّسْمْلاوَ نَيْمْلَّسْمْلاوَ تِانْمَؤْمْلاوَ نَيْنْمَؤْمْلَّل
كْدَابَعِ رُصْناوَ نَيْكْرُشَمْلاوَ كْرُ 2شَلا لَذَأَوَ نَيْمْلَّسْمْلاوَ مِلاًسُلاَّا زَعِأَ مُهَلَّلا
.
رُ2مَدَ وَ نَيْمْلَّسْمْلا لَذِخَّ نَمَ لَذِخَّاوَ نَيْ2دُلا رُصْن نَمَ رُصْناوَ نَيْدُ2حْوْمْلا ءَابُوْلاوَ ءَلاًبَلا انْعِ عُفِدَا مُهَoلَّلا نَيْ2دُلا مِوْيْ ىلا كُتَامْلَّكْ لَعِاوَ نَيْ2دُلا ءَادُعِأَ . اندُلَّبُ نَعِ نَطْبُ امَوَ اهَنْمَ رُهَظَ امَ نَحَمْلاوَ ةُنْتَفِلا ءَوْسُوَ نَحَمْلاوَ لَزًلاَّزَلاوَ
.
مُهَلَّلا نَيْمْلاعْلا بِرَ ايْ ةُمَآعِ نَيْمْلَّسْمْلا نَادُلَّبَلا رُئِاسُوَ ةُصِآخَّ ايْسْيْنوَدُنا
انْشْاعْمَ اهَيْفِ يٌّتَلا انايْندَ انْل حْلَّصِأَوَ انرُمَأَ ةُمْصْعِ وْهَ يذِلا انْنْيْدَ انْل حْلَّصِأَ
Dرُيْخَّ 2لَكْ يٌّفِ انْل ةًدَايْزً ةًايْحَلا لَعْجَاوَ اندَاعْمَ اهَيْفِ يٌّتَلا انْتَرُخَّآ انْل حْلَّصِأَوَ
{رُشْ 2لَكْ نَمَ انْل ةُحْارَ تِوْمْلا لَعْجَاوَ
تِاذَ حْلَّصِأَوَ ،انْبُوْلَّقَ نَيْبُ فَ2لأَ مُهَلَّلا
شَحْاوْفِلا انْبَ2نْجَوَ ،رَوْRنْلا ىلإِ تِامْلَّRظِلا نَمَ انْ2جَنوَ ،مِلاًسْلا لَبَسُ اندُهَاوَ ،انْنْيْبُ
انْجَاوَزًأَوَ انْبُوْلَّقَوَ انرَاصْبُأَوَ انْعِامْسُأَ يٌّفِ انْل كْرَابُوَ ،نَطْبُ امَوَ اهَنْمَ رُهَظَ امَ
نَامْيْلإِا انْيْلإِ بَ2بَحْ مُهَoلَّلا مُيْحْرُلا بِاوْتَلا تَنأَ كُنإِ ،انْيْلَّعِ بَتَوَ ،انْتَايْ2رَذَوَ . نَمَ انْلَّعْجَاوَ نَايْصْعْلاوَ قُوْسْفِلاوَ رُفِكْلا انْيْلإِ هُ2رُكْوَ انْبُوْلَّقَ يٌّفِ هنْ2يْزًوَ . ةُبَقَاعْلاوَ رُمَلْأَا ىلَّعِ تِابَثِلاوَ 2قَّحَلا ىلَّعِ رُبَصْلا انْقَزًرَا مُهَoلَّلا نَيْدُشْارُلا {رُبُ لَكْ نَمَ ةُمْيْنْغْلاوَD مُثْإِ 2لَكْ نَمَ ةُمَلاًسْلاوَ Dةُيْلَّبُ 2لَكْ نَمَ ةُيْفِاعْلاوَ ةُنْسْحَلا
.
ايْنRدُلا يٌّفِ انْتَآ انْبُرَ نَيْمْحْارُلا مُحْرَأَ ايْ رَانْلا نَمَ ةًاجَنْلاوَ ةُنْجَلابُ زًوْفِلاوَ
لَدُعْلابُ رُمَأَيْ هلَّلا نَا هلَّلادَابَعِ رَانْلا بِاذِعِ انْقَوَ ةُنْسْحْ ةًرُخَّلاَّا يٌّفِوَ ةُنْسْحْ . مُكْظِعْيْ يٌّغْبَلاوَ رُكْنْمْلاوَ ءَآشَحَفِلا نَعِ ىهَنْيْوَ ىبُرُقَلا ىذَ ءَآتَيْإِوَ نَاسْحْلاَّاوَ
مُكْدَزَيْ همْعْن ىلَّعِ هُوَرُكْشْاوَ مُكْرُكْذِيْ مُيْظِعْلا هلَّلااوَرُكْذَاوَ نَوَرُكْذِتَ مُكْلَّعْل رُبَكْا هلَّلا رُكْذِلوَ