KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
Oleh:
NAMA : MARSELA GUSNEFA N P M : B1A022048
KELAS : A (Semester 3)
MATAKULIAH HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU
2023
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang
―Keputusan Tata Usaha Negara‖. Makalah ini dibuat untuk memenuhi nilai UTS mata kuliah Hukum Administrasi Negara serta agar ingin lebih megkaji dan memahami tentang materi mengenai Keputusan Tata Usaha Negara.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan materi dari berbagai jurnal agar dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Terlepas dari semua itu, saya meyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata penulis berharap semoga makalah tentang ― Keputusan Tata Usaha Negara ini dapat memberikan wawasan pengetahuan kepada pembaca serta dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Bengkulu 22 mei 2023
( Marsela Gusnefa )
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...
KATA PENGANTAR ...
DAFTAR ISI ...
BAB I PENDAHULUAN ...
A. Latar Belakang Masalah ……….
B. Tujuan Penulisan ………..
C. Rumusan Masalah ………
BAB II PEMBAHASAN ………
1.1 Defenisi Keputusan Tata Usaha Negara serta Kualifikasi KTUN
1.2 Bagaiamana Perbedaan antara Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif negatif dengan Keputusan Tata Usaha Negara FIktif Positif
1.3 Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang – undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan UU. No. 9 tahun 2004 dan UU. No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
1.4 Mengapa Asas presentio iustae kausa penting dalam kaitan KTUN
BAB III PENUTUP ………..
SARAN……….
KESIMPULAN………..
DAFTAR PUSTAKA………..
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keputusan Pejabat yang berwenang dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sering dikenal dengan istilah SK (Surat Keputusan) atau ketetapan (beschikking) atau keputusan (besluit), menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang- undang No.51 tahun 2009 tentang perubahan atas UU No.5 tahun 1986 dan UU No 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebut juga dengan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Dalam praktek penyelenggaraan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah, KTUN mempunyai kedudukan yang cukup penting oleh karena melalui keputusan tersebut pemerintah dapat menyampaikan kebijakan - kebijakannya kepada warga masyarakat baik itu orang perseorangan, badan hukum perdata maupun kelompok masyarakat dalam rangka pelaksanakan tugas dan kewajibannya mengemban amanat konstitusi mewujudkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sejahtera, aman dan tertib.
Setiap permohonan Keputusan Tata Usaha Negara yang diajukan oleh pemohon, pasti akan menimbulkan dua kemungkinan. Pertama, per-mohonan tersebut dikabulkan oleh termohon,yang kedua permohonan tersebut ditolak. Pengabulan dan penolakan permohonan administrasi negara, menjadi kewenangan Pejabat/ Badan Tata Usaha Negara sepenuhnya. Secara teoritis dikenal dua jenis dalam KTUN yaitu Ktun Fiktif Positif Dan ktun Fiktif Negatif. Pemerintah dalam rangka melaksanakan tugas dan kewajibannya tersebut adakalanya menghadapi benturan kepentingan dengan warga masyarakat yang dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah oleh karena adanya perbedaan kepentingan, penafsiran atas penerapan peraturan perundang- undangan, dan atau kesalahan dalam menerapkan peraturan perundang-undangan itu sendiri yang berakibat timbulnya sengketa antara warga masyarakat dengan pemerintah. Jika kemudian terjadi sengketa antara warga masyarakat dengan pemerintah akibat terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara, maka lembaga yang berwenang dari segi hukum untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana maksud ketentuan Pasal 4 Undang - undang No. 9 tahun
2004 tentang Perubahan UU No. 5 tahun 1986 yang berbunyi : "Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara" dan Pasal 47 Undang - undang No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi : "Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara".
Salah satu prinsip penting dalam hukum administrasi negara adalah asas Presumptio Iustae Causa yang menyatakan bahwa setiap keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dikeluarkan harus dianggap benar menurut hukum, karenanya dapat dilaksanakan lebih dahulu selama belum dibuktikan sebaliknya dan dinyatakan oleh hakim administrasi sebagai keputusan yang bersifat melawan hukum. Secara tegas dinyatakan bahwa pihak yang berwenang untuk menyatakan penundaan pelaksanaan atau sah tidaknya suatu KTUN adalah hakim administrasi
Berdasarkan pembahasan diatas makala ini akan membahas lebih lanjut mengenai keputusan keputusan tata usaha negara secara teoritis dan bagaimana Asas Presumtio iustae dalam Ktun
B. Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi nilai UTS mata kuliah Hukum Administrasi Negara serta agar ingin lebih megkaji dan memahami tentang Hukum Administrasi Negara.
C. Rumusan Masalah
a. Defenisi Keputusan Tata Usaha Negara serta Kualifikasi KTUN
b. Bagaiamana Perbedaan antara Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif negatif dengan Keputusan Tata Usaha Negara FIktif Positif
c. Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang – undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan UU. No. 9 tahun 2004 dan UU. No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
d. Mengapa Asas Presumtio iustae berpengaruh dalam Keputusan Tata Usaha Negara
BAB II PEMBAHASAN
1.1 Keputusan Tata Usaha Negara
keputusan tata usaha negara merupakan tindakan hukum publik pemerintahan yang bersegi satu atau bersifat sepihak. Berdasarkan pasal 1 angka 9 undang-undang nomor 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 5 tahun 1989 tentang peradilan tata usaha negara menyatakan “ keputusan tata usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat atau usaha negara yang berisi tindakan hukum tata negara yang berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku yang bersifat konkret individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Sedangkan pasal 1 angka 7 undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan menyatakan bahwa ― keputusan administrasi pemerintahan negara disebut keputusan tata usaha negara atau keputusan administrasi negara yang selanjutnya disebut keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan” 1
dengan lahirnya undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan terjadi perluasan makna KTUN pasal 87 undang-undang ini menyatakan bahwa KTUN harus dimaknai sebagai
a) penetapan tertulis yang juga meliputi tindakan faktual
b) keputusan badan atau pejabat tata usaha negara di lingkungan eksekutif legislatif yudikatif dan penyelenggaraan negara lainnya berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB
c) bersifat final dalam arti luas keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan atau keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.
1 Abdullah, M. Ali. 2015. Teori dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Amandemen.
Jakarta, Kecana.
Dalam suatu Keputusan Tata Usaha Negara Memiliki kualifikasi sah nya suatu keputusan. Syarat sahnya keputusan tata usaha negara suatu keputusan yang dapat berlaku haruslah mempunyai kekuatan formal dan material oleh sebab itu dalam pembuatan ketetapan administrasi negara harus memperhatikan ketentuan-ketentuan tertentu. ketentuan-ketentuan itu terdapat dalam hukum tata negara ( mengenai kompetensi dan tujuan) maupun dalam hukum administrasi negara (mengenai prosedur.) bilamana ketentuan-ketentuan itu tidak diperhatikan maka ada kemungkinan dibuat suatu ketetapan yang mengandung kekurangan, yang mana kekurangan dalam suatu ketetapan dapat menjadi sebab ketetapan itu tidak sah. Menurut Koentjoro Prontono syarat-syarat yang harus dipenuhi agar supaya keputusan itu dapat berlaku sebagai keputusan yang sah adalah sebagai berikut.2
a) Syarat Materiil
1. Alat pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang menurut jabatan
2. Tidak boleh ada kekurangan yuridis
3. isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai suatu penetapan yang dibuat tidak langsung menuju sasaran maka ini adalah suatu penyelewengan atau penyimpangan perbuatan dan tindakan yang dilahirkan oleh pejabat tun dalam hal ini berupa pembuatan suatu keputusan harus ada dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan sehingga setiap wewenang pemerintahan untuk melaksanakan kebijaksanaan dan tindakan hukum tune baik mengenai bentuk dari tindakan-tindakan hukum serta isi hubungan hukum yang diciptakannya harus ada dasar atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya di dalam UU no 9 tahun 2004 jo UU no 5 tahun 1986
3tentang peradilan tata usaha negara hal ini dikenal dengan nama asas legalitas b) Syarat Formil
1. mengenai prosedur atau cara pembuatannya suatu keputusan yang dibuat tanpa mengikuti tahapan prosedur yang sudah ditetapkan dapat dibatalkan contohnya dalam penetapan menunjukkan pelaksanaan pemborongan
2 Indonesia Journal of Cakrawala Hukum (IDJCH) 3 Indonesia, op. cit. , ps. 49.
ditetapkan prosedur tertentu yaitu harus diadakan pengumuman di media massa agar kemudian diadakan tawaran oleh peminat .
2. mengenai bentuk penetapan persoalan apakah suatu penetapan harus diberi bentuk tertentu umpamanya boleh secara lisan ataupun secara tertulis tergantung dari peraturan pokok yang menjadi dasar bagi pengambilan keputusan. keputusan lisan dibuat dalam hal akibatnya tidak membawa akibat lama dan tidak begitu penting bagi administrasi negara dan biasanya dikehendaki suatu akibat yang timbul dengan segera contohnya pemberian istirahat atau libur kepada pegawai negeri sipil selama 12 hari setiap tahun sedangkan keputusan tertulis dibuat karena sudah biasa atau sering dipergunakan serta yang penting adalah bahwa ketetapan di dalam ketetapan tertulis ini dapat dimuat alasan-alasan motivasi atau diktum yang jelas contohnya dalam hal pemberhentian pegawai negeri sipil harus dibuat dalam bentuk tertulis walaupun menurut peraturan tidak disebutkan bagaimana bentuknya4
3. mengenai pemberitahuan penetapan untuk dapat berlaku suatu penetapan pada hakekatnya harus disampaikan pada yang terkena penetapan apakah hal ini dilakukan dengan pengumuman melalui masa media ataukah diberitahukan secara tercatat selama belum diberitahukan atau belum sampai pada yang bersangkutan penetapan belum dapat dianggap berlaku dan baru berlaku setelah diberitahukan kepada bersangkutan tidak mungkin dipertanggungjawabkan terhadap akibat-akibat hukum selama belum diberitahukan’.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka suatu keputusan yang seharuslah memenuhi syarat materiil dan formil serta dibuat oleh organ yang berwenang dalam hal ini bukan saja berupa organ atau alat pemerintahan berupa berstruktur atau administrasi saja tetapi dapat juga berupa lembaga legislatif dan yudikatif.5
4 Jurnal ui syarat formil ktun, http://ptun-jakarta.go.id, diakses pada 11 oktober 23 5 Ibid hal56-58
 Selanjutnya unsur – unsur yang terdapat dalam konsep / pengertian keputusan (beschikking), yaitu sebagai berikut :
1. Perbuatan hukum publik bersegi satu;
Perbuatan hukum publik bersegi satu adalah perbuatan pemerintah berdasarkan ketentuan hukum publik yang dilakukan secara sepihak tanpa adanya persetujuan pihak lain. Dalam konsep keputusan (beschikking) tidak ada yang namanya persetujuan kedua belah pihak sebagaimana dikenal dalam konsep perjanjian menurut hokum perdata, oleh karena itu pemerintah melalui aparatnya (pejabat tata usaha negara) mempunyai kewenangan penuh menentukan kebijakannya dalam pembuatan suatu keputusan.
2. Alat pemerintah (dalam arti sempit);
Menurut hemat Penulis mengacu pada pendapat para sarjana tersebut alat pemerintah dalam arti sempit juga merupakan salah satu unsur keputusan, yaitu apa dan siapa saja yang melaksanakan fungsi urusan pemerintah diluar urusan legislatif dan yudikatif meskipun secara structural maupun organisatoris tidak termasuk jajaran eksekutif. Pandangan demikian sejalan dengan dengan pendapat Prof.Mr Nicolai dalam uraiannya tentang pengertian organ pemerintah, sehingga meliputi juga instansi-instansi lain yang sebetulnya secara kelembagaan tidak tidak masuk kategori organ pemerintah tetapi melaksanakan fungsi pemerintah.
3. Berdasarkan Kekuasaan atau Wewenang Istimewa.
Pemerintah melalui alat-alatnya yaitu badan atau pejabat tata usaha negara dalam melakukan perbuatan/tindakan harus selalu berdasarkan hukum sesuai asas legalitas. Hukum harus menjadi sumber kekuasaan atau wewenang bagi setiap tindakan pemerintah, wewenang mana dapat diperoleh baik melalui atribusi, delegasi ataupun mandat. Dengan kata lain pemerintah tanpa adanya dasar hukum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak mempunyai kewenangan melakukan tindakan yang mengikat pihak lain.
4. Terjadinya Perubahan dalam Lapangan Hukum.
Perbuatan / tindakan pemerintah yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan
perbuatan hukum, oleh karena itu dapat menimbulkan akibat hukum berupa terjadinya perubahan hubungan hukum antara pemerintah dengan pihak yang mendapatkan keputusan tersebut.
 Klasifikasi KTUN
Merujuk pada unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian keputusan tersebut, dengan menggunakan beberapa ukuran suatu keputusan tata usaha negara dapat dikelompokkan menurut jenis dan sifatnya, yaitu sebagai berikut:
1. Keputusan konstitutif dan Keputusan deklaratoir ;
ketetapan declarator hanya menyatakan bahwa hukumannya demikian sedangkan ketetapan konstitutif adalah membuat hukum ketetapan yang deklatur Contoh :Sk Pemberian Hak atas tanah negara versus SHM atas tanah konversi6.
2. Keputusan positif dan Keputusan negatif;
ketetapan positif menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang dikenai ketetapan jadi menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru misalnya suatu ketetapan yang baru membatalkan suatu ketetapan yang lama ketetapan negatif tidak menimbulkan perubahan dalam keadaan hukum yang telah ada oleh karenanya ketetapan negatif adalah tiap penolakan atas suatu permohonan untuk mengubah suatu keadaan hukum tertentu yang telah ada misalnya seseorang atau badan hukum perdata mengajukan permohonan agar tanahnya yang sudah bersertifikat diterbitkan izin untuk menambang batubara akan tetapi permohonan itu ditolak oleh kepala daerah yang bersangkutan ketetapan negatif dapat berbentuk pernyataan tidak berkuasa pernyataan tidak diterima atau suatu penolakan
Contoh : SK pengangkatan PNS versus penundaan kenaikan pangkat dll.
3. Keputusan kilat (vluctige beschikking) dan keputusan tetap (blijvend);
Contoh : Ijin untuk mengadakan keramaian atau rapat umum versus IMB.
4. Keputusan terikat (gebonden beschikking) dan keputusan bebas (vrij beschikking);
Contoh : Surat Ijin Mengemudi (SIM) versus Ijin Cuti.
6 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2011.
1.2 Perbedaan Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif Dengan Keputusan Negara FIktif Positif
Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif Yaitu keputusan Tata Usaha Negara yang dimohonkan seseorang atau Badan Hukum Perdata, tetapi tidak ditanggapi atau tidak diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
Sehingga dianggap bahwa Badan/Pejabat Tata Usaha Negara telah mengeluarkan keputusan penolakan (negatif).KTUN fiktif negatif adalah keputusan yang dianggap ditolak karena Badan atau Pejabat Pemerintahan hanya diam saja tanpa menetapkan dan/atau melaksanakan suatu Keputusan/Tindakan Administrasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam batas waktu kewajiban sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan atau dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintah.
Bentuk keputusan tata usaha negara fiktif negatif diatur dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:7
1. ―Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
2. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan dimaksud.
3. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersang-kutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.‖
7 Kartika Widya Utama, 2015, Keputusan Tata Usaha Negara Yang Bersifat Fiktif Positif, Jurnal Notarius, Edisi 08 Nomor 2 September 2020.
Sebagai contoh yang lebih sederhana dapat saja jelaskan jika ada Warga Masyarakat telah mengajukan permohonan untuk memperoleh Pemasangan Aliran Listrik , dan Badan atau Pejabat Pemerintahan hanya diam saja tanpa menetapkan dan/atau melaksanakan suatu Keputusan /Tindakan Administrasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam batas waktu kewajiban sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan atau dalam waktu paling lamma 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintah, maka permohonan tersebut dianggap ditolak (fiktif negatif).
KUTIPAN : “Kami sudah mengajukan permohonan ke PLN untuk pemasangan aliran listrik, untuk penerangan jalan umum, namun belum ada tindak lanjutnya dari PLN. Apa yang dapat kami lakukan atas tidak dilayaninya permohonan kami”
Dari contoh itu, dapat dilihat bahwa keinginan warga masyarakat untuk mendapatkan pelayanan aliran listrik telah diabaikan oleh suatu badan tata usaha negara(TUN) atau pemerintah, yang dalam hal ini adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN).Sebagai pelaksana fungsi administrasi negara, seharusnya PLN bertanggung jawab untuk dengan segera melayani permohonan masyarakat untuk pemasangan aliran listrik. Namun permohonan tersebut tidak ditanggapi atau tidak diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara Dalam hal ini selaku PLN, Sehingga dianggap bahwa Badan/Pejabat Tata Usaha Negara telah mengeluarkan keputusan penolakan (negatif). Karna secara sederhana defenifisi Keputusan Fiktif negatif adalah apabila ada permohonan mengajukan (perizinan) kepada pejabat pemerintahan untuk mengeluarkan sebuah keputusan atau tindakan, tetapi pejabat pemerintah yang bersangkutan hanya diam saja, maka dianggap permohonan itu ditolak. Asas fiktif negatif yang dianut UU PTUN (vide pasal 3 UU PTUN). Sedangkan
Keputusan Fiktif Positif adalah suatu permohonan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikabulkan secara hukum akibat dari tidak ditanggapinya permohonan tersebut hingga batas waktu yang telah ditentukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku1. Frasa dianggap dikabulkan membawa konsekuensi bahwa akibat hukum yang timbul dari tindakan faktual pejabat TUN yang tidak menindaklanjuti dan/atau mengabaikan permohonan administrasi negara adalah
pengabulan atas permohonan tersebut dan pejabat TUN itu wajib untuk mengeluarkan keputusan TUN yang diminta. Konsepsi fiktif positif dalam UU AP adalah sebuah fiksi hukum yang mensyaratkan otoritas administrasi untuk menanggapi atau mengeluarkan keputusan/tindakan yang diajukan kepadanya dalam limit waktu sebagaimana yang ditentukan dan apabila prasyarat ini tidak terpenuhi otoritas administrasi dianggap mengabulkan permohonan penerbitan keputusan/tindakan yang dimohonkan kepadanya.
PERMA No, 8 Tahun 2017 mengatur, bahwa tidak semua permohonan kepada pemerintah yang tidak ditanggapi dapat dijadikan abjek permohonan fiktif positif di Pengadilan Tata Usaha Negara, akan tetapi dilakukan limitasi (pembatasan) sebagai berikut :
1. Permohonan dalam lingkup kewenangan badan dan/atau pejabat pemerintahan dimana permohonan tersebut diajukan
2. Permohonan diajukan dalam lingkup menyelenggarakan fungsi pemerintahan; -
3. Hal yang dimohon adalah keputusan dan /atau tindakan yang belum pernah ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan; dan
4. Permohonan untuk kepentingan Pemohon secara langsung
Berdasarkan kriteria yang diatur dalam PERMA No. 8 Tahun 2017 tersebut, maka ditekankan bahwa yang dapat dijadikan objek permohonan fiktif positif di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah suatu permohonan terhadap terbitnya keputusan dan/atau tindakan yang belum pernah ditetapkan. Dengan demikian, misalnya permohonan pembatasan terhadap Keputusan yang sudah ditetapkan, maka apabila hal tersebut tidak ditanggapi dalam waktu yang ditentukan, hal tersebut tidak termasuk perkara fiktif positif, tetapi merupakan gugatan biasa di pengadilan Tata Usaha Negara.8
8 Budiamin Rodding, ―Keputusan Fiktif Negatif dan Fiktif Positif
‖, TanjungpuraLaw Journal, Vol 1, Issue 1, January 2017 8.https://www.google.com/u.putusan.mahkamahagung.go.id
Contoh Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif : Putusan PTUN SAMARINDA Nomor 19/G/2013/PTUN-SMD
Tanggal 5 Maret 2014 — PT. MUTIARA ETAM COAL (PT. MEC);
melawan –WALIKOTA SAMARINDA; -NOR HASANAH (TERGUGAT II INTERVENSI) Mengadili Dalam Eksepsi :-Menolak Eksepsi Tergugat seluruhnya ; DALAM POKOK SENGKETA:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan batal Keputusan Penolakan (fiktif negatif) atau sikap diam Walikota Samarinda (Tergugat) yang tidak menerbitkan atau memproses lebih lanjut surat permohonan PT. Mutiara Etam Coal Nomor : 036/MEC-SP/I/13 tanggal 28 Januari 2013 perihal Surat Permohonan Perubahan IUP PT. Mutiara Etam Coal;
Bahwa Tergugat sebagai badan atau pejabat tidak mengeluarkan keputusan (beshcikking) yang menjadi kewajibannya (keputusan fiktif negatif);. Bahwa gugatan Penggugat diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukanoleh undangundang;. Bahwa keputusan fiktif negatif Tergugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana pasal 53 ayat 2 huruf a Undang-undang nomor9 Tahun 2004, yaitu undang-undang tentang Minerba.
Bahwa keputusan fiktif negatif Tergugat bertentangan dengan asas-asas umum-pemerintahan yang baik, khususnya asas kepastian hukum, sas tertib-penyelengaraan negara, asas kepentingan umum dan asas kecermatan formal;Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas, dengan ini Penggugat mohon kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda atau Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini dapat menjatuhkan putusan sebagai berikut 1. Menimbang,Mengabulkan gugatan PENGGUGAT untuk seluruhnya.
Bahwa Fiktif negatif atau sikap diam Walikota Samarinda (Tergugat) yang tidak menerbitkan atau memproses lebih lanjut surat permohonan PT. MEC yang lama dan merubahnya menjadi IUP yang baru sesuai dengan permohonan penggugat,Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas,maka Majelis Hakim berkesimpulan keputusan penolakan (fiktif negatif) atau sikap diamTergugat yang tidak memproses permohonan Penggugat untuk menerbitkan ataumemproses perubahan IUP PT.
Menyatakan batal Keputusan Penolakan (fiktif negatif) atau sikap diam Walikota Samarinda (Tergugat) yang tidak menerbitkan atau memproses lebih lanjut surat permohonan PT. Mutiara Etam Coal Nomor : 036/MECSP/I/13 tanggal 28 Januari2013 perihal Surat Permohonan Perubahan IUP PT. Mutiara Etam Coal;Memerintahkan kepada Tergugat untuk memproses dan menerbitkan keputusan yang dimohonkan oleh Penggugat dalam surat permohonan
1.3 Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang – undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan UU. No. 9 tahun 2004 dan UU. No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Keputusan Tata Usaha Negara sebagai objek gugatan di PTUN dalam Undang- undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 1 angka 9 UUNo.51 tahun 2009, Pasal 3 UU No. 5 tahun 1986, dengan beberapa pembatasan yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU. No.9 tahun 2004 dan Pasal 49 UU. No.5 tahun 1986.9
Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 adalah ―suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata‖.
Secara normatif keputusan tata usaha negara (KTUN) menurut ketentuan pasal 1 angka 9 tersebut terdiri atas rangkaian konsep tentang :
1. Penetapan tertulis.
2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
3. Tindakan Hukum Tata Usaha Negara.
4. Peraturan perundang – undangan yang berlaku.
5. Bersifat konkret, individual dan final.
6. Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Pembahasan :
1) Penetapan Tertulis.
Konsep tentang penetapan tertulis ini terdiri atas kata ―penetapan‖ dan ―tertulis‖, penetapan dalam konsep ini menunjuk pada adanya ―hubungan hukum‖ yang ditetapkan dalam keputusan yang bersangkutan yang dapat berupa kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, pemberian suatu status dan lain-lain, sedangkan kata ―tertulis‖
9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
dimaksudkan bahwa keputusan tersebut dibuat dalam bentuk tulisan dan bukan lisan yang dapat memberikan gambaran tentang siapa yang membuat tulisan, maksud / mengenai apa dan kepada siapa tulisan ditujukan. Dengan demikian syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai bentuk formalnya melainkan untuk kemudahan dari segi pembuktian.
2) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 8 UU NO.51 tahun 2009 yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Konsep urusan pemerintahan menurut penjelasan undang – undang ini adalah setiap kegiatan yang bersifat eksekutif, dengan demikian siapa saja yang melaksanakan urusan pemerintahan diluar urusan legislatif dan yudikatif dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat TUN meskikpun secara struktural/organisatoris ia bukan termasuk dalam jajaran pemerintahan10.
3) Tindakan Hukum Tata Usaha Negara.
Unsur ke-tiga ini terdiri atas konsep ―tindakan dan ―Hukum Tata Usaha Negara‖, yang kurang lebih dapat dijabarkan sebagai berikut, bahwa yang dimaksud tindakan hukum TUN adalah setiap perbuatan atau tindakan berdasarkan peraturan perundang-undangan dibidang urusan pemerintahan.
4) Peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Unsur ke-empat ini merupakan prasyarat bahwa setiap wewenang pemerintahan untuk melakukan tindakan hukum TUN baik mengenai bentuk dari tindakan hukum serta isi hubungan hukum yang diciptakan harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Unsur ini merupakan penerapan dari asas legalitas yang dimaksudkan agar setiap perbuatan atau tindakan badan atau jabatan TUN dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan kususnya dalam mengeluarkan penetapan tertulis selalu tunduk dan diawasi oleh hukum.11
10 Siahaan, Lintong O, Berbagai Instrumen Hukum di PTUN (Percetakan Percetakan Negara RI 2007
11 Ibid., halaman 212
5) Bersifat konkret, individual dan final.
 -Konkret yaitu bahwa apa yang diputuskan dalam penetapan tertulis tersebut tidak abstrak melainkan telah jelas maksud dan tujuan mengenai hal tertentu.
 Individual menunjuk kepada orang atau badan hukum perdata secara khusus tidak secara umum artinya harus jelas alamat yang dituju kepada siapa penetapan tertulis tersebut ditujukan.
 Final artinya penetapan tertulis tersebut bersifat definitif dan tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lainnya.
6) Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Bahwa yang dimaksud dengan konsep akibat hukum dalam pengertian KTUN menurut pasal ini adalah bahwa setiap penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau jabatan tata usaha negara dimaksudkan untuk menciptakan adanya perubahan hubungan hukum bagi si penerima keputusan baik itu yang bersifat positif atau negatif.
Ke-enam unsur KTUN yang terdapat dalam Pasal 1 angka 9 tersebut bersifat kumulatif, artinya bahwa agar suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara tersebut dapat dikategorikan sebagai KTUN, maka harus memenuhi kesemua unsur tersebut.
Keputusan Tata Usaha Negara selain seperti apa yang dimaksud ketentuan Pasal 1 angka 9 UU NO.51 tahun 2009, dikenal pula tindakan atau perbuatan diam dari badan atau pejabat TUN yang disamakan dengan KTUN yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU No.5 tahun 1986 :
(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka
waktu empat bulan sejak diterimnya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Batasan Keputusan Tata Usaha Negara Undang – undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara memberikan batasan atas apa yang dimaksud dengan KTUN, yaitu meskipun keputusan tersebut dikeluarkan oleh badan atau jabatan tata usaha negara tetapi tidak dapat dijadikan objek gugatan di PTUN sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UU No.9 tahun 2004 dan Pasal 49 UU. No.5 tahun 1986.
Ketentuan Pasal 2 menyebutkan bahwa tidak termasuk KTUN menurut UU ini:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-UndangHukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
Sedangkan ketentuan Pasal 49 UU NO.5 tahun 1986 menyebutkan bahwa :
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a) dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b) dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain pembatasan oleh UU tentang Peradilan TUN, dalam perkembangannya seiring dengan perubahan politik hukum terdapat pula pembatasan oleh lahirnya Undang – undang yang baru, misalnya UU NO.2 tahun 2004 tentang Peradilan Hubungan Industrial yang mana sebelum UU ini diundangkan keputusan tentang perburuhan menjadi kewenangan PTUN, kemudian UU NO.14 tahun 2004 tentang Peradilan Pajak dengan adanya Peradilan Pajak maka keputusan dibidang perpajakan tidak lagi menjadi kewenangan PTUN, dan lain-lain.12
1.4 Mengapa Asas presentio iustae kausa penting dalam kaitan KTUN
Asas presentio iustae kausa dianut dalam prinsip umum pasal 67 ayat 1 undang- undang nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara yang menyebutkan bahwa gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara serta tindakan badan atau pejabat tata usaha negara yang digugat ketentuan ini menimbulkan penafsiran 1 ketun selalu harus dianggap menurut hukum atau memiliki legalitas untuk dilaksanakan sejauh belum ada putusan pengadilan yang inkrat mengenai harus dinyatakan batal atau tidak sahnya keputusan basicking tersebut. 13
dua seharusnya keputusan tata usaha negara sudah merupakan bentuk atau manifestasi tindakan pemerintahan dan badan atau pejabat tata usaha negara namun dari ketentuan pasal 67 ayat 1 tersebut antara ketun dan tindakan badan atau pejabat tata usaha negara dibedakan dengan penambahan kata "serta" diantara keduanya. Oleh karena itu asas presentio iustae causa menyatakan bahwa demi kepastian hukum setiap keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan harus dianggap benar menurut hukum karena dapat dilaksanakan lebih dahulu selama belum dibuktikan sebaliknya dan dinyatakan oleh hakim administrasi sebagai keputusan yang bersifat melawan hukum14
12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2004 13 http://sipp.pn-jakartapusat.go.id/ind
ex.php/detil_perkara diakses pada25 Maret 2018
14 Jurnal ASAS PRESUMPTIO IUSTAE CAUSA DALAM KTUN//laawyers.id
1.5 Perkembangan KTUN sebagai Objek Gugatan dalam Praktek Peradilan;
Dalam praktek peradilan melalui Yurisprudensi yaitu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap kemudian dikuti oleh Hakim lain dalam penyelesaian perkara atas objek gugatan yang sama, terdapat beberapa KTUN yang tidak dapat dijadikan objek gugatan di PTUN meskipun keputusan tersebut dikeluarkan oleh badan atau jabatan TUN, misalnya:15
 Risalah lelang (Putusan No. 150 K/TUN/1994 tanggal 7 September 1995, jo No.47 K/TUN/1997 tanggal 26 Januari 1998 jo No.245 K/TUN/1999 tanggal 30 Agustus 2001).16
 SHM yang terkait dengan pembuktian masalah kepemilikan (Putusan No.22 K/TUN/1998 tanggal 27 Juli 2001 jo 16 K/TUN/2000 tanggal 28- 02-2001).17
 Akta PPAT (Putusan 302 K /TUN/ 1999 jo. NO.62 K/TUN/1998 tanggal 27 Juli 2001).
 Keputusan Rektor Perguruan Tinggi swasta (Putusan No.
48/PK/TUN/2002 tanggal 11 Juni 2004).18
 Keputusan hasil pilkades (Putusan No. 482 K/TUN/2003 tanggal 18-8- 2004).
Demikian sekilas paparan tentang Keputusan Tata Usaha Negara sebagai objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, dimana dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa KTUN sebagai salah satu instrumen juridis pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya bersifat dinamis seiring dengan perkembangan politik hukum yang terjadi dalam perjalanan berbangsa dan bernegara.
15 Abi Jam’an Kurnia, Perkembangan KTUN sebagai Objek Gugatan
Negara, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5cc25b8e8645e/ciri-ciri-sengketa-tata- usaha-negara/ diakses pada 10Oktober 2023
16 https://putusan3.mahkamahagung.go.id/No. 150 K/TUN/1994 tanggal 7 Septembe 17 https://putusan3.mahkamahagung.go.id tentang pembuktian masalah kepemilikan 18 https://putusan3.mahkamahagung.go.id tentang keputusan rektor
BAB III PENUTUP KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat penulis simpulkan
berdasarkan pasal 1 angka 9 undang-undang nomor 51 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara keputusan tata usaha negara yang selanjutnya disebut ktun adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata kemudian dapat kita lihat bahwa unsur-unsur dari kata KTUN adalah keputusan itu memang diharuskan tertulis,serta badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan ktun harus bersifat eksekutif, tindakan hukum adalah menimbulkan akibat hukum seperti misalnya surat keputusan pegawai,kemudian tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mana bersifat konkret individual dan final dan memiliki akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata yang meliputi penetapan dan perubahan hak kewajiban dan kewenangan.
SARAN
Masukan bagi revisi Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara maupun
Undang-undang Administrasi Pemerintahan agar mampu menciptakan keseimbangan antara kedua peraturan perundang-undangan terkait sehingga dapat kewenangan dan kompetensi PTUN dapat dinyatakan secara jelas dan implisit dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara, memberikan jaminan dan kepastian bagi masyarakat yang permohonannya didiamkan oleh pemerintah
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU
S. F. Marbun. Peradilan Administratif Negara dan Upaya Administratif di Indonesia. Liberty. Yogyakarta: 1997
P. M. Hadjon et. al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta: 2011
Tjandra, W. Riawan, Hukum AcaraPeradilan Tata Usaha Negara (UAJY2005).
Jakarta indonesia jilid II
Belinfante, A.D., dan Boerhanoeddin Soetan Batoeah, 1983, Pokok-pokok Keputusan Tata Usaha Negara, Binacipta, Bandung 2017
Y. W. Sinudhia dan Ninik Widiyanti, Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi, cet. 1, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), hal. 87.
B. Peraturan Perundang-Undangan :
Undang- Undang no. No 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang- Undang no. No 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan Undang- Undang no. No No.5 tahun 1986
Undang- Undang no. No .51 tahun 2009 Pejabat TUN
C. Jurnal / Internet
https://sipp.pn-jakartapusat.go.id/ind%20ex.php/detil_Keputusan tata usaha negara Jurnal Mimbar Hukum, Volume 26 – Nomor 2, Juni 2014, halaman 261.
https://putusan3.mahkamahagung.go.id/No. 150 K/TUN/1994 tanggal 7 September 1 https://putusan3.mahkamahagung.go.id tentang pembuktian masalah kepemilikan 1 https://putusan3.mahkamahagung.go.id tentang keputusan rektor
Jurnal Soumatera Law Review, Volume 2–Nomor 2, 2019, halaman 211 Jurnal Law Review, Volume 2–Nomor 2, 2020, halaman 106