• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III AKIBAT HUKUM KEPUTUSAN FIKTIF NEGATIF PEJABAT TATA USAHA NEGARA Pengertian Tindakan Pemerintahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III AKIBAT HUKUM KEPUTUSAN FIKTIF NEGATIF PEJABAT TATA USAHA NEGARA Pengertian Tindakan Pemerintahan"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

AKIBAT HUKUM KEPUTUSAN FIKTIF NEGATIF PEJABAT TATA USAHA NEGARA

3.1. Tindakan Pemerintahan

3.1.1. Pengertian Tindakan Pemerintahan

Sebagai subjek hukum, pemerintah sebagaimana subjek hukum lainnya melakukan tindakan baik tindakan nyata (feitelijkhandelingen) maupun tindakan hukum (rechtshandelingen). Tindakan nyata adalah tindakan-tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat-akibat hukum,65 sedangkan tindakan hukum adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu66, atau “Een rechtshandelingen is

gericht op hetscheppen van rechten of plichten”67, diterjemahkan Ridwan HR,68 (Tindakan hukum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban).

Istilah tindakan hukum ini semula berasal dari ajaran hukum perdata (het woord rechtshandelingen is ontleend aan de dogmatiek van het

65

C.J.N. Versteden, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, Samson H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn, 1984, h. 55

66

R.J.H.M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, een Inleiding, Kobra, Amsterdam, tt, h. 13

67

J.B.J.M. ten Berge, Besturen Door de Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1996, h. 137.

68

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan ke-6, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, h. 110.

(2)

burgelijk recht),69 yang kemudian digunakan dalam hukum administrasi negara, sehingga dikenal istilah tindakan hukum administrasi (administratieve rechtshandelingen). H.J. Romeijn, “Een administratieve

rechtshandelingen is dan een wilsverklaring in een bijzonder geval uitgaande van een administratief organ, gericht op het in het leven reopen van een rechtsgevolg op het gebeid van administratief recht”70. Oleh Ridwan H.R diterjemahkan bahwa tindakan hukum administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ administrasi dalam keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi negara. Akibat hukum yang lahir dari tindakan hukum adalah akibat-akibat yang memiliki relevansi dengan hukum71, seperti “het scheppen van een nieuwe, het wijzigen of het opheffen van een

bestaande rechtsverhouding”72 (penciptaan hubungan hukum baru, perubahan atau pengakhiran hubungan hukum yang ada)73.

Akibat-akibat hukum itu dapat berupa beberapa hal sebagai berikut: 1. indien er een verandering optreedt in de bestaande rechten,

verplichtingen of bevoegdheid van sommigen;

2. wanner er verandering optreedt in juridische status van een

person of (van) object;

3. wanner het bestaan van zekere rechten, verplichtingen,

bevoegdheden of status bindend wordt vastgesteld.74

69

A.D. Belinfante, Kort Begrip van het Administratief Recht, Samson Uitgeverij, Alphen aan den Rijn, 1985, h. 49.

70

H.J. Romeijn, Administratiefrecht, Hand-en Leerboek, Noorman’s Periodieke Pers N.V., Den Haag, 1934, h. 89

71 Ridwan HR, Op.cit., h. 110. 72 H.J. Romeijn, Op.cit., h. 90 73 Ridwan HR, Op.cit., h. 110-111. 74

H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, s’Gravenhage, 1995, h. 178.

(3)

Ketiga hal tersebut, diterjemahkan oleh Ridwan sebagai berikut:75 1. Jika menimbulkan beberapa perubahan hak, kewajiban atau

kewenangan yang ada.

2. Bilamana menimbulkan perubahan kedudukan hukum bagi seseorang atau objek yang ada.

3. Bilamana terdapat hak-hak, kewajiban, kewenangan, ataupun status tertentu yang ditetapkan.

Diketahui bahwa istilah “rechtshandelingen” atau tindakan hukum tersebut berasal dari ajaran hukum perdata, lalu kemudian konsep ini digunakan juga dalam hukum administrasi. Akan tetapi kedua jenis hukum tersebut mempunyai perbedaan dalam sifat bertindak, yaitu tindakan hukum administrasi sifatnya dapat mengikat hak warga negara tanpa memerlukan persetujuan dari warga negara yang bersangkutan. Sedangkan tindakan hukum perdata sifatnya diperlukan persesuaian kehendak (wilsovereenstemming) antara kedua pihak atas dasar kebebasan kehendak atau diperlukan persetujuan dari pihak yang dikenai tindakan hukum tersebut. Atau dengan kata lain hubungan hukum perdata bersifat sejajar, sementara hubungan hukum publik/administrasi itu bersifat sub ordinatif, di satu pihak pemerintah dilekati dengan kekuasaan publik, di pihak lain warga negara tidak dilekati dengan kekuasaan yang sama.76

75 Ridwan HR, Op.cit., h. 111. 76 Ibid., h. 112.

(4)

Memang benar jika dikatakan bahwa tindakan hukum pemerintah tersebut merupakan pernyataan kehendak organ administrasi yang bersifat khusus, hal ini dikarenakan oleh adanya pemberian wewenang secara atribusi dari negara. Konsep tersebut jika dikaitkan dengan tindakan dari badan atau pejabat tata usaha negara/administrasi seperti pada Pasal 3 UU No 5 Tahun 1986, tidaklah dibenarkan jika tindakan diam badan atau pejabat usaha negara/administrasi negara itu bagian dari wewenang secara khusus.

Perlu ditekankan bahwa adanya ketentuan Pasal 3 tersebut merupakan pembatasan atas tindakan badan atau pejabat tata usaha negara/administrasi melalui wewenang istimewa yang dimilikinya, artinya sekalipun tindakan diam badan atau pejabat tata usaha negara tersebut adalah bagian dari kebebasan bertindak (Freies Ermessen). Akan tetapi tindakan tersebut bukan berarti tidak dapat digugat. Sebab tindakan diam badan atau pejabat tata usaha negara/administrasi tersebut mempunyai akibat hukum, yaitu orang atau badan hukum perdata yang tidak mendapatkan kepastian hukum berupa penetapan secara tertulis dari permohonan yang dimohonkannya. Dengan adanya ketidak pastian hukum dapat berimplikasi pada kerugian baik materiil maupun inmateriil.

(5)

3.1.2. Macam-macam dan Unsur-Unsur Tindakan Hukum Pemerintah 3.1.2.1. Macam-Macam Tindakan Hukum Pemerintah

Menurut Sadjijono,77 tindakan pemerintah (bestuurshandelingen) yang dimasud adalah tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorgaan) dalam menjalankan fungsi pemerintahan (bestuursfunctie). Ada dua bentuk tindakan pemerintah, yakni tindakan berdasarkan hukum (rechtshadeling) dan tindakan berdasarkan fakta/nyata atau bukan berdasarkan hukum (feitelijkehandeling). Tindakan pemerintah berdasarkan hukum dapat dimaknai sebagai tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu untuk menciptakan hak dan kewajiban. Sedangkan tindakan berdasarkan fakta/nyata (bukan hukum), adalah tindakan pemerintah yang tidak ada hubungan langsung dengan kewenanganannya dan tidak menimbulkan akibat hukum.

Tindakan berdasarkan fakta (feitelijkehandeling) tersebut tidak relevant, tidak mempunyai hubungan langsung dengan kewenangannya. Contohny, upacara pembuka jembatan, pembuka jalan raya, dan lain-lain yang tidak menimbulkan akibat hukum

77

Sadjijono, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cetakan-II, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2011, h.84.

(6)

tertentu, sekalipun biasanya harus dilakukan oleh seorang penguasa pemerintahan.78

Tindakan atau perbuatan administrasi negara seperti diuraikan di atas, yang terdiri dari tindakan nyata (feitelijke

hadelingen) dan tindakan hukum (rechts handelingen) dapat

diuraikan secara rinci. Tindakan hukum tata usaha negara ada 2 (dua) macam, yaitu:79

1. Tindakan hukum tata usaha negara berdasar hukum perdata (hukum privat), misalnya menyewakan ruangan (Pasal 1548 BW), jual beli (Pasal 1457 BW) ataupun perjanjian kerja (BK III BW) yang dilakukan oleh pejabat TUN untuk kepentingan jabatan.

Uraian tersebut tidak sependapat dengan penulis, sebab jika tindakan hukum perdata itu dilakukan oleh pejabat yang mewakili jabatannya/kepentingan jabatannya, maka itu bukan merupakan tindakan hukum perdata. Tindakan hukum perdata oleh pejabat tata usaha negara, manakalah pejabat tata usaha negara dalam melakukan tindakan hukum perdata mewakili pemerintah (organisasi pemerintahan) sebagai badan hukum. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Frederik “Dan is rechtspersoon

78

Kuntjoro Purbopranoto, Perkembangan Hukum Administrasi Indonesia, Binacipta, Bandung, 1981, h. 44.

79

Diana Halim Koentjoro, Hukum Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, h. 57.

(7)

een niet mens zijn plicht-en bevoegdheidssubject)80 yang diterjemahkan Ridwan HR bahwa badan hukum adalah subjek kewajiban dan kewenangan yang bukan manusia. Lebih lanjut dikatakan Ridwan, bila didasarkan hukum publik, negara, provinsi, dan kabupaten/kota adalah organisasi jabatan atau kumpulan organ-organ kenegaraan dan pemerintahan, maka berdasarkan hukum perdata negara, provinsi, dan kabupaten/kota adalah kumpulan dari badan-badan hukum yang tindakan hukumnya dijalankan oleh pemerintah. Sehingga, ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada peraturan hukum perdata, pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum, bukan wakil dari jabatan.81

2. Tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan hukum publik, yaitu tindakan menurut hukum publik yang bersifat sepihak yang dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan dengan maksud menimbulkan akibat hukum.

Yang relevan dalam hal tindakan hukum tata usaha negara adalah unsur-unsur sebagai berikut :

80

Frederik Robert Bothlingk, het Leerstuk der Vertegenwoordiging en zijn

Toepassing op Ambtsdragers in Nederland en in Indonesie, Juridische Boekhandel en

Uitgeverij A. Jongbloed & Zoon ‘s-Gravenhage, 1954, h. 23.

(8)

a. Tindakan hukum publik, yaitu tindakan hukum TUN dapat mengikat warga masyarakat walaupun warga itu tidak menginginkannya.

b. Bersifat sepihak, yaitu pada akhirnya tergantung kepada kehendak sepihak badan/pejabat TUN yang memiliki wewenang untuk berbuat.

c. Konkret, yaitu ditujukan kepada hal tertentu.

d. Individual, yaitu ditujukan kepada orang atau orang-orang tertentu.

Dari keempat unsur tersebut, merupakan tindakan hukum dan disebut sebagai ketetapan atau keputusan (Beschikking). Jika demikian adanya, maka Pasal 3 UU No 5 Tahun 1986 patutlah disamakan sebagai keputusan, sebab dari keempat unsur tersebut tidak mewajibkan bahwa tindakan hukum tata usaha negara yang berupa keputusan haru tertulis. Sebagaimana dijelaskan Pasal 3 ayat (1) “Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara”. Jika dikaitkan unsur di atas, maka tindakan hukum TUN telah mengikat ketika itu menjadi kewajibannya, bersifat sepihak sesuai kehendak badan/pejabat tata usaha negara diantaranya berbuat “diam” (tidak berbuat), kemudian konkret bahwa dengan adanya tindakan diam (tidak berbuat) menimbulkan sesuatu hal, yaitu

(9)

ketidak pastian hukum (kejelasan) yang berimplikasi pada adanya akibat hukum, dan unsur terakhir individual, adalah pemohon (orang yang mengajukan permohonan).

Telah jelas bahwa pemerintah atau administrasi negara adalah subjek hukum yang mewakili dua institusi, yaitu jabatan pemerintahan dan badan hukum. Karena mewakili dua institusi maka dikenal dua macam tindakan hukum, yaitu tindakan-tindakan hukum publik (publiekrechtshandelingen) dan tindakan hukum privat (privaatrechtshandelingen). Kedudukan hukum pemerintah yang mewakili dua institusi, tampil dengan “twee petten” dan diatur dengan dua bidang hukum yang berbeda, yaitu hukum public dan hukum privat, akan melahirkan tindakan hukum dengan akibat-akibat hukum yang juga berbeda. Untuk menentukan apakah tindakan pemerintah itu diatur oleh hukum privat atau hukum publik adalah dengan melihat kedudukan pemerintah dalam menjalankan tindakan tersebut.82

Dapat disimpulkan bahwa tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan hukum publik dan bersifat sepihak serta menimbulkan akibat hukum dinamakan Beschikking atau ketetapan atau keputusan tata usaha negara. Akibat hukum tindakan pemerintah tersebut, berimplikasi pada:83

82 Ridwan HR, Op.cit., h. 114.

(10)

1. Menimbulkan beberapa perubahan hak, kewajiban atau kewenangan yang ada;

2. Menimbulkan perubahan kedudukan hukum bagi seseorang atau obyek yang ada; dan

3. Terdapat hak-hak, kewajiban, kewenangan ataupun status tertentu yang ditetapkan.

3.1.2.2. Unsur-Unsur Tindakan Hukum Pemerintah

Muchsan menyebutkan unsur-unsur tindakan hukum pemerintahan sebagai berikut :84

1. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorganen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;

2. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;

3. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi negara;

4. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.

84

Muchsan, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan

(11)

Selain keempat unsur di atas, perlu adanya penambahan unsur, yaitu perbuatan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan kepentingannya. Hal ini disertakan, sebab tanpa adanya regulasi atau pengaturan dari hukum terkait tindakan pemerintah, dapat menimbulkan tindakan penyalahgunaan wewenang (detournament de pouvoir).

Lain pula dikatakan oleh Sadjijono bahwa, unsur-unsur tindakan pemerintah, meliputi:85

1. Tindakan tersebut dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintah (bestuursorgaan);

2. Tindakan dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan (bestuursfunctie);

3. Tindakan dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum (rechtsgevolgen) di bidang hukum administrasi; 4. Tindakan yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan

kepentingan umum;

5. Tindakan dilakukan berdasarkan norma wewenang pemerintah; dan

6. Tindakan tersebut berorientasi pada tujuan tertentu berdasarkan hukum.

(12)

3.2. Tinjauan Keputusan Tata Usaha Negara/Administrasi Negara

3.2.1. Istilah dan Pengertian Keputusan Tata Usaha

Negara/Administrasi Negara

Keputusan tata usaha negara pertama kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Jerman, Otto Meyer, dengan istilah verwaltungsakt. Istilah ini diperkealkan di negerei Belanda dengan nama “beschikking” oleh van Vollenhoven dan C.W. van der Pot, yang menurut AM. Donner, dan H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dianggap sebagai “de vader van het modern

beschikkingsbegrip”.86

Perlu diperhatikan disini penggunaan istilah yang berbeda untuk “beschikking”87. Di Idnoensia istilah “beschikking” diperkenalkan pertama kali oleh WF. Prins. Istilah beschikking ini ada yang menerjemahkannya dengan ketetapan seperti E. Utrecht dalam bukunya pengantar hukum administrasi Negara Indonesia mendefinisikan ketetapan adalah suatu perbuatan pemerintahan dalam arti luas yang khusus bagi lapangan pemerintahan dalam arti sempit (de specifieke bewindshandeling of hat

terrain van het bestuur). Seperti halnya udang-undang, yang merupakan

perbuatan pemerintahan dalam arti luas yang khusus bagi lapangan perundang-undangan, sedangkan keputusan hakim merupakan perbuatan

86

F.C.M.A. Michiels, De Arob-Beschikking, Vuga Uitgeverij B.V., s’ Gravenhage, 1987, h. 23.

87

Philipus M. Hadjon, (et al), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia;

Introduction to the Indonesian Administrative Law, Gadjah Mada University Press, Cetakan

(13)

pemerintahan dalam arti kata luas yang khusus dalam lapangan mengadili.88 Sedangkan Pradjudi Atmosudirjo menyebutnya “penetapan” dan membedakan dua macam penetapan, yaitu penetapan negatif (penolakan) dan penetapan positif (permintaan dikabulkan). Penetapan negatif hanya berlaku satu kali saja, sehingga seketika permintaannya boleh diulangi lagi.89 Selain itu, W.F. Prins dan R. Kosim Adisapoetra juga menggunakan istilah ketetapan.90

Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, yang menterjemahkan “beschikking” dengan “ketetapan” hal tersebut dengan pertimbangan bahwa “ketetapan” lebih menunjuk pada suatu bentuk keputusan yang khusus.91 Jimly Asshiddiqie mengatakan saya sendiri cenderung pada istilah “ketetapan” daripada “penetapan” untuk menyebut produk keputusan yang bersifat administratif itu. Hal yang sama juga biasa saya lontarkan untuk mengkritik istilah yang biasa dipakai di lingkungan pengadilan. Di lingkungan pengadilan, keputusan-keputusan yang bersifat administratif biasa disebut sebagai penetapan yang dibedakan dari istilah putusan (vonnis) yang berkaitan dengan keputusan peradilan atas perkara. Misalnya, penentuan mengenai hari sidang dituangkan dalam bentuk keputusan yang disebut “penetapan”, bukan “ketetapan”. Demikian pula penentuan aggota masjelis yang ditetapkan oleh keputusan administratif (beschikking) yang

88

E. Utrecht, Pengantar Hukum Admninistrasi Negara Indonesia, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1964, h. 48-49.

89 Philipus M. Hadjon, (et al), Op.cit., h. 141-142. 90

W.F. Prins dan R. Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Tata Usaha

Negara, Groningen, 1953, h. 42-117.

91

Djenal Hoesen Koesoemahatmadja, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, h. 47.

(14)

disebut “penetapan”. Penggunaan istilah ini, menurut pendapat saya adalah kekeliruan yang diterima begitu saja sebagai kelaziman di dunia akademis maupun praktik tanpa adanya kritik yang meluruskannya.92

H. Sadjijono mengataka makna “Ketetapan” adalah keputusan hukum publik yang bersifat konkret dan individual, keputusan itu berasal dari organ pemerintah yang didasarkan pada hukum publik. Dibuat untuk satu atau lebih individu atau berkenaan dengan satu atau lebih perkara atau keadaan. Keputusan ini memberi suatu kewajiban pada seseorang atau organisasi, memberikan kewenangan atau hak-hak pada mereka.93

Berbagai istilah telah yang diuraikan beberapa ahli terkait dengan (beschikking) mempunyai sudut pandang yang berbeda sehingga memberikan istilah yang berbeda pula. Tanpa mengurangi istilah (beschikking) yang telah diuraikan, maka penulis cenderung menggunakan istilah (beschikking) sebagai “penetapan”, dimana istilah penetapan lebih mepunyai korelasi yang subtantif terhadap orang dan badan hukum perdata sebagai subjek keputusan tata usaha negara/administrasi negara yang bersifat konkret dan individual. Sebagaimana yang dijelaskan Philipus bahwa istilah keputusan tata usaha negara sama dengan istilah beschikking karena dalam hukum administrasi walaupun terdapat berbagai bentuk keputusan yang berbeda-beda, namun demikian keputusan-keputusan administratif mengandung cirri-ciri yang sama, karena pada akhirnya dalam teori hanya

92

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Reformasi, BIP, Jakarta, 2008, hlm. 225.

93

H. Sadjijono, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2011, h. 49. 94.

(15)

ada satu pengertian, yakni “keputusan administrasi”. Sifat norma hukum keputusan ini adalah individual-konkret.94

Setelah kita mengetahui beberapa istilah mengenai beschikking atau keputusan tata usaha negara yang telah diuraikan beberapa ahli diatas, kurang dirasakan manfaatnya tanpa diketahui pula pengertian (beschikking) atau keputusan tatat usah negara dalam padangan beberapa ahli berikut ini.

Menurut H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, beschikking merupakan keputusan pemerintahan untuk hal yang bersifat konkret dan individual (tidak ditujukan untuk umum) dan sejak dulu telah dijadikan instrument yuridis pemerintahan yang utama.95

C.W. van der Pot, mendefinisikan keputusan (beschikking), yaitu De

beschikking is dus de wilsverklaring van een bestuursorgaan voor een bijzonder geval, gericht op het scheppen van een nieuwe, het wijzigen of het opheffen van een bestaande rechtsverhouding.96 Terjemahannya (Keputusan adalah pernyataan kehendak dari organ pemerintahan untuk melaksanakan hal khusus, ditujukan untuk menciptakan hubungan hukum baru, mengubah, atau menghapus hubungan hukum yang ada).97

94

Philipus M. Hadjon, (et al), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Cet. Kesembilan, Yogyakarta, 2005, h. 124.

95

H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, s’Gravenhage, 1995, h. 202.

96

C.W. van der Pot, Nederlandsch Bestuursrecht, Alphen aan den Rijn, 1932, h. 198.

97

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan ke-6, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, h. 141.

(16)

Beschikking; een wilsverklaring naar aanleiding van een ingediend verzoekschrift, of althans een gebleken wensch of behoefte.98 Terjemahannya (Keputusan adalah suatu pernyataan kehendak yang disebabkan oleh surat permohonan yang diajukan, atau setidak-tidaknya keinginan atau keperluan yang dinyatakan).99

…Eenvoudig geworden een definitie van het begrip beschikking te

geven: Een eenzijdige publiekrechtelijke rechtshandeling van een bestuursorgaan gericht op een concrete geval.100 Terjemahannya (…Secara sederhana, definisi keputusan dapat diberikan: suatu tindakan hukum publik sepihak dari organ pemerintahan yang ditujukan pada peristiwa konkret).101

Een beschikking is een individuele of concrete publiekrechtelijke rechts-beslissing: een beslissing van een bestuursorgaan, gebaseerd op een publiek-rechtelijke bevoegheid…Geschapen voor een of meer individuen of met betrekking tot een of meer concrete zaken of situaties. Die beslissing verplicht mensen of organisaties tot iets, geeft ze bevoegdheden of geeft ze aanspraken.102 Terjemahannya (Beschikking adalah keputusan hukum publik yang bersifat konkret dan individual: keputusan itu berasal dari organ pemerintahan, yang didasarkan pada kewenangan hukum publik…Dibuat untuk satu atau lebih individu atau berkenaan dengan satu atau lebih perkara

98

H.J. Romeijn, Administratiefrecht, Hand-en Leerboek, Noorman’ s Periodieke Pers N.V., Den Haag, 1934, h. 91

99 Ridwan HR, Op.cit., h. 142. 100

C.J.N. Versteden, Inleiding Algemeen Bestuursrecht. Samsom H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn, 1984, h. 60.

101 Ridwan HR, lo.cit. 102

J.B.J.M. ten Berge, Besturen Door de Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1996, h. 156.

(17)

atau keadaan. Keputusan itu memberikan suatu kewajiban pada seseorang atau organisasi, memberikan kewenangan atau hak pada mereka).103

Onder ‘beschikking’ kan in zijn algemeenheid worden verstaan: een besluit afkomstig van een berstuursorgaan, dat gericht is op rechtsgevolg.104

Terjemahannya (Secara umum, beschikking dapat diartikan; keputusan yang berasal dari organ pemerintahan yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum).105

Berbagai pendapat tersebut di atas, menunjukkan bahwa beschikking atau keputusan merupakan tindakan atau perbuatan hukum oleh pemerintah yang ditujukan bagi individual badan hukum publik maupun badan hukum perdata yang menimbulkan hak dan kewajiban serta mempunyai akibat hukum.

Terlepas dari pemahaman beschikking atau keputusan secara teoritis, dapat pula diketahui pengertian beschikking atau keputusan secara yuridis menurut Undang-Undang AROB (Belanda) dalam Pasal 2 ayat (1) berbunyi “Keputusan menurut Undang-Undang ini diartikan keputusan tertulis dari

suatu organ administratif yang ditujukan pada suatu akibat hukum”, ayat (2)

berbunyi “Bukan termasuk keputusan dalam arti undang-undang ini adalah:

(a) suatu keputusan yang mempunyai tujuan umum dan (b) suatu tindakan hukum menurut hukum perdata”. Juga Pasal 3 UU AROB berbunyi “Suatu keputusan disamakan dengan suatu penolakan untuk memberikan suatu

103 Ridwan HR, lo.cit. 104

R.J.H.M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, een Inleiding, Kobra, Amsterdam, tt, h. 14.

(18)

keputusan. Organ administratif dianggap telah menolak pemberian keputusan, apabila jangka waktu yang ditentukan menurut undang-undang untuk mengambil suatu keputusan telah berlalu, tanpa ada pemberian suatu keputusan, atau kalau tidak ada jangka waktu semacam itu--apabila dalam waktu yang wajar tidak diberikan suatu keputusan”.106

Keputusan tata usaha negara menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada Pasal 1 angka 3 berbunyi “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara keputusan diartikan dalam Pasal 1 angka 9 berbunyi “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.

Di samping pengertian tentang Keputusan TUN dalam Pasal 1 angka 3 dan Pasal 1 angka 9 tersebut diatas, dalam UU Peratun diatur juga

106

(19)

ketentuan tentang pengertian yang lain dari Keputusan TUN, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3, sebagai berikut :

1) Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang¬undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasan dari pengertian Keputusan TUN sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3 diatas, yang disebut dengan Keputusan TUN yang Fiktif atau Negatif. Uraian dari ayat (1) Pasal 3 tersebut merupakan prinsip dasar bahwa setiap Badan atau Pejabat TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang diterimanya, yang menurut aturan dasamya menjadi tugas dan kewajibannya dari Badan atau Pejabat TUN tersebut. Oleh karenanya apabila badan atau Pejabat TUN melalaikan kewajiban, maka walaupun ia tidak mengeluarkan

(20)

keputusan terhadap suatu permohonan yang diterimanya itu, ia dianggap telah bertindak menolak permohonan tersebut.

Ada kalanya dalam aturan dasarnya ditentukan jangka waktu penyelesaian dari suatu permohonan, maka sesuai dengan ketentuan ayat (2) Pasal 3 tersebut, setelah lewat waktu yang ditentukan oleh aturan dasarnya, Badan atau Pejabat TUN belum juga menanggapinya (mengeluarkan keputusan) maka ia dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya. Sementara itu dalam ayat (3) nya menentukan bahwa apabila aturan dasarnya tidak menyebutkan adanya batas waktu untuk memproses penyelesaian suatu permohonan yang menjadi kewajiban, maka setelah lewat waktu 4 bulan Badan atau Pejabat TUN tersebut belum juga mengeluarkan keputusan, maka ia juga dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya. Secara keseluruhan, ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasan dari pengertian Keputusan TUN (memperluas kompetensi pengadilan).

Selanjutnya disamping ketentuan yang memperluas pengertian Keputusan TUN sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 diatas, juga UU Peratun mengatur tentang ketentuan yang mempersempit pengertian dari Keputusan TUN (mempersempit kompetensi pengadilan), artinya secara definisi masuk dalam pengertian suatu Keputusan TUN seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 dan Pasal 1 angka 9 akan tetapi secara substansial tidaklah dapat dijadikan objek gugatan di Peratun. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 49, yang menyebutkan bahwa Pengadilan tidak berwenang

(21)

memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan: 1) Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 2) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keadaan-keadaan tersebut di atas dapat terjadi pada prinsipnya tergantung pada hasil penafsiran dari apa yang ditentukan dalam masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk masing-masing-masing-masing keadaan, seperti penetapan keadaan perang, keadaan bahaya, bencana alam dan sebagainya.

3.2.2. Unsur-Unsur Keputusan Tata Usaha Negara/Administrasi Negara.

Berdasarkan dari pengertian keputusan administrasi dalam Pasal 2 UU Administrasi Belanda (AwB), maka terdapat enam unsur sebagai berikut:

1. een naar buiten gerichte schriftelijke wilsverklaring;

2. gegeven krachtens een in enig staats-of administratiefrechtelijk

voorschrift vervatte bevoegdheid of verplichting;

3. eenzijdig;

(22)

5. gericht op de vaststelling, de wijziging of de opheffing van een bestaande

rechtsverhouding of het scheppen van een nieuwe rechtsverhouding dan wel inhoudende de weigering tot zodanig vaststellen, wizjigen, opheffen of scheppen;

6. afkomstig van een administratief organ.107

Keenam unsur tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut:108 1. Suatu pernyataan kehendak tertulis;

2. Diberikan berdasarkan kewajiban atau kewenangan dari hukum tata negara atau hukum administrasi;

3. Bersifat sepihak;

4. Dengan mengecualikan keputusan yang bersifat umum;

5. Yang dimaksudkan untuk penentuan, penghapusan, atau pengakhiran hubungan hukum yang sudah ada, atau menciptakan hubungan hukum baru, yang memuat penolakan, sehingga terjadi penetapan, perubahan, penghapusan, atau penciptaan;

6. Berasal dari organ pemerintahan.

Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, juga terdapat unsur-unsur keputusan tata usaha negara sebagai berikut:

1. Penetapan tertulis;

2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara; 3. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

107

P. de Haan, et. al, Bestuursrecht in de Sociale Rechsstaat, Deel 1, Kluwer-Deventer, 1986, h. 19.

(23)

4. Bersifat konkret, individual, dan final;

5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Berikut ini dijelaskan unsur-unsur keputusan secara teoritik dan berdasarkan peraturan perundang-undangan:

a. Bentuk Penetapan tersebut harus Tertulis

Penetapan itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan hukum yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan secara lisan tidak masuk dalam pengertian Keputusan TUN ini. Namun demikian bentuk tertulis tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan Badan/Pejabat TUN, karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986, bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi asal teriihat bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan suatu Penetapan Tertulis yang dapat digugat (menjadi objek gugatan) apabila sudah jelas: 1) Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya; 2) maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu; 3) Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat konkrit, individual dan final; dan 4) Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.

b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.

Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan

(24)

oleh Badan atau Pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2, bahwa: Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oieh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu peiaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN. Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam Iingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam Iingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun.

(25)

Kata "berdasarkan" dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasamya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN (pemerintah). Dad kata "berdasarkan" itu juga dimaksudkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu halya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku.

e. Bersifat Konkret, Individual dan Final.

Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya. Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal yang dituju. Jadi sifat indivedual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu yang nyata dan ada.

Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang definitif. Dengan mengeluarkan suatu

(26)

akibat hukum yang definitif tersebut ditentukan posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada scat itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang bersangkutan secara final.

f. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang/Badan Hukum Perdata. Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti melahirkan hubungan-hubungan hukum Baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya.

3.2.3. Macam-Macam Keputusan Tata Usaha Negara/Administrasi Negara

Philipus menyebutkan macam-macam keputusan tata usaha negara serta menguraikannya secara rinci berikut dibawah ini:109

1. KTUN perorangan dan KTUN kebendaan;

(27)

Yang dimaksud dengan KTUN perorangan ialah KTUN yang diterbitkan berdasarkan kualitas pribadi orang tertentu, contohnya; SK pengangkatan seseorang dalam jabatan negara, Surat Izin Mengemudi (SIM), dll.

Yang dimaksud dengan KTUN kebendaan ialah KTUN yang diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan, misalnya sertifikat hak atas tanah. Berbeda dengan KTUN perorangan, hak yang timbul dari KTUN kebendaan bisa dialihkan kepada pihak lain.

2. KTUN deklaratif dan KTUN konstitutif

Pada KTUN deklaratif hubungan hukum pada dasarnya sudah ada. Contohnya: akte kelahiran, hak milik atas tanah eks hukum adat. Relevansi praktis dari pembedaan ini berkaitan dengan alat bukti. KTUN deklaratif bukanlah alat bukti mutlak. Pada KTUN konstitutif, adanya KTUN merupakan syarat mutlak lahirnya hubungan hokum. Contoh: sertifikat HGB, SK Pengangkatan sebagai pegawai negeri dan lain-lain. Berbeda dengan KTUN deklaratif. KTUN konstitutif merupakan alat bukti mutlak. Dengan kata lain, tidak ada hubungan hokum tanpa adanya KTUN yang sifatnya konstitutif.

3. KTUN terikat dan KTUN bebas

Bagi KTUN terikat, pada dasarnya KTUN itu hanya melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya suatu ruang kebebasan bagi pejabat yang bersangkutan. KTUN bebas didasarkan pada suatu kebebasan bertindak yang lazimnya dikenal dengan asas “freies

(28)

ermessen” (discretionary power). Ada dua macam kebebasan, yaitu kebebasan kebijaksanaan dan kebebasan interpretasi.

Relevansi pembagian KTUN terikat dan KTUN bebas adalah kaitannya pada alat ukur aspek “rechtmatigheid” suatu KTUN. Sah-tidaknya sebuah KTUN terikat diukur dengan peraturan tertulis sedangkan bagi KTUN bebas kiranya tidak dijangkau oleh peraturan tertulis, tetapi untuk mengukur keabsahan KTUN bebas dengan merujuk dan memahami pada asas-asas umum pemerintahan yang baik.

4. KTUN menguntungkan dan KTUN yang memberi beban.

Pembebanan tersebut harus dilihat dari sudut si alamat, karena pada dasarnya KTUN yang menguntungkan seseorang namun mungkin pihak lain dirugikan. Dengan menggunakan konstruksi para pihak dalam KTUN, pembedaan tersebut harus dilihat dari posisi pihak II.

Relevansi pembedaan ini ialah kemungkinan terjadinya gugatan. Dalam hal KTUN itu menguntungkan, gugatan bakal muncul dari pihak III sedangkan dalam hal KTUN memberi beban (misalnya penetapan pajak), gugatan berasal dari pihak II.

5. KTUN kilat dan KTUN langgeng

Pembedaan ini didasarkan pada kekuatan berlakunya. KTUN yang berlakunya seketika (sekali pakai) merupakan KTUN kilat. Dalam praktek dewasa ini terdapat juga KTUN yang masa berlakunya untuk jangka waktu tertentu, misalnya SK Bupati/KDH tentang hak pakai atas

(29)

tanah yang masa berlakunya 5 tahun yang kemudian dapat diperpanjang lagi. Dengan perkembangan tersebut, dapatlah KTUN dibedakan atas: a. KTUN kilat

b. KTUN langgeng

c. KTUN tenggang waktu tertentu.

Relevansi pembedaan ini berkaitan dengan kemungkinan pengenaan sanksi administrasi seperti pencabutan izin. Bagi KTUN kilat tidak mungkin izin dicabut apabila izin itu telah digunakan, misalnya IMB.

Secara teoritis dalam hukum administrasi Negara, dikenal ada beberapa macam dan sifat keputusan, yaitu sebagai berikut:110

a. Keputusan deklaratoir dan keputusan konstitutif

Keputusan deklaratoir adalah keputusan yang tidak mengubah hak dan kewajiban yang telah ada, tetapi sekadar menyatakan hak dan kewajiban tersebut. Keputusan mempunyai sifat deklaratoir manakalah keputusan itu dimaksudkan untuk menetapkan mengikatnya suatu hubungan hokum atau keputusan itu maksudnya mengakui suatu hak yang sudah ada, sedangkan manakalah keputusan itu melahirkan atau menghapuskan suatu hubungan hukum atau keputusan itu menimbulkan sesuatu hak baru yang sebelumnya tidak dipunyai oleh seseorang yang namanya tercantum dalam keputusan itu, maka ia disebut dengan keputusan yang bersifat konstitutif.

Keputusan yang bersifat konstitutif dapat berupa hal-hal sebagai berikut:

110

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha

(30)

1) Keputusan-keputusan yang meletakkan kewajiban untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, atau memperkenankan sesuatu; 2) Keputusan-keputusan yang memberikan status pada seseorang,

lembaga, atau perusahaan, dan oleh karena itu seseorang atau perusahaan itu dapat menerapkan aturan hukum tertentu;

3) Keputusan-keputusan yang meletakkan prestasi atau harapan pada perbuatan pemerintah (subsidi atau bantuan);

4) Keputusan yang mengizinkan sesuatu yang sebelumnya tidak diizinkan;

5) Keputusan-keputusan yang menyetujui atau membatalkan berlakunya keputusan orang yang lebih rendah (pengesahan atau pembatalan).

b. Keputusan yang menguntungkan dan yang memberi beban

Keputusan yang bersifat menguntungkan, artinya keputusan itu memberikan hak-hak atau memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu yang tanpa adanya keputusan itu tidak aka nada atau bilamana keputusan itu memberikan keringanan beban yang ada atau mungkin ada, sedangkan keputusan yang member beban adalah keputusan yang meletakkan kewajiban yang sebelumnya tidak ada atau keputusan mengenai penolakan terhadap permohonan untuk memperoleh keringanan.

(31)

Keputusan eenmalig adalah keputusan yang hanya berlaku sekali atau keputusan sepintas lalu, yang dalam istilah lain disebut keputusan yang bersifat kilat, sedangkan keputusan permanen adalah keputusan yang memiliki masa berlaku yang relatif lama.

d. Keputusan yang bebas dan yang terikat

Keputusan yang bersifat bebas adalah keputusan yang didasarkan pada kewenangan bebas atau kebebasan bertindak yang dimiliki oleh pejabat tata usaha negara baik dalam bentuk kebebasan kebijaksanaan maupun kebebasan interpretasi, sedangkan keputusan yang terikat adalah keputusan yang didasarkan pada kewenangan pemerintahan yang bersifat terikat, artinya keputusan itu hanya melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya ruang kebebasan bagi pejabat yang bersangkutan.

e. Keputusan perorangan dan kebendaan

Keputusan perorangan adalah keputusan yang diterbitkan berdasarkan kualitas pribadi orang tertentu atau keputusan yang berkaitan dengan orang, seperti keputusan tentang pengangkatan atau pemberentian seseorang sebagai pegawai negeri atau pejabat negara, sedangkan keputusan kebendaan adalah keputusan yang diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan atau keputusan yang berkaitan dengan benda, misalnya sertifikat hak atas tanah.

(32)

Keputusan positif adalah keputusan yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang dikenai keputusan, sedangkan keputusan negatif adalah keputusan yang tidak menimbulkan perubahan hukum yang telah ada. Keputusan positif terbagi dalam lima golongan, yaitu :

1) Keputusan yang pada umumnya melahirkan keadaan hukum baru; 2) Keputusan yang melahirkan keadaan hukum baru bagi objek tertentu; 3) Keputusan yang menyebabkan berdirinya atau bubarnya badan

hukum;

4) Keputusan yang membebankan kewajiban baru kepada seseorang atau beberapa orang;

5) Keputusan yang memberikan hak baru kepada seseorang atau beberapa orang.

Keputusan negatif dapat berbentuk pernyataan tidak berkuasa, pernyataan tidak diterima atau suatu penolakan. Keputusan negatif yang dimaksudkan di sini adalah keputusan yang ditinjau dari akibat hukumnya, yakni tidak menimbulkan perubahan hukum yang telah ada. Dengan kata lain, bukan keputusan negatif atau fiktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No 5 Tahun 1986 tentang PTUN jo. UU No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU PTUN tersebut.

Konsep tersebut, memberikan pemahaman bahwa keputusan badan/pejabat tata usaha negara menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU No 51 Tahun 2009 bukan merupakan bagian dari keputusan negatif, menurut penulis keputusan negatif yang dimaksudkan

(33)

adalah setiap keputusan badan atau pejabat tata usaha negara yang berbentuk keputusan penolakan secara tertulis, serta keputusan tersebut tidak melahirkan akibat hukum, namun akibat yang ditimbulkan hanyalah berupa penerimaan keputusan tersebut oleh orang atau badan hukum perdata yang terkena keputusan tersebut. Lain halnya dengan keputusan menurut Pasal 3 tersebut, sekalipun sifatnya berupa penolakan, namun keputusan tersebut mempunyai akibat hukum sehingga menimbulkan perubahan hukum yang telah ada, artinya tindakan diam badan atau pejabat tata usaha negara itulah yang menjadi adanya perubahan hukum yang juga sekaligus akan menjadi objek dalam sengketa tata usaha negara. Hal tersebut dapat diketahui dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dimana dikatakan pada Pasal Pasal 2 yang berbunyi : (1) Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap

Pengguna Informasi Publik.

(2) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.

(3) Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana. (4) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan

Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.

(34)

Sedangkan ruang lingkup upaya hukum yang dapat dilakukan oleh orang atau badan hukum perdata selain upaya hukum pada lingkup peradilan tata usaha negara, juga dapat melakukan upaya hukum di luar lingkup peradilan tata usaha negara (peradilan umum) apabila tindakan diam pejabat tata usaha negara tersebut dinyatakan bertentangan dengan asas-asas pemerintahan yang baik dan juga bertentangan dengan keterbukaan informasi publik sehingga berimplikasi pada kerugian, maka kepada badan atau pejabat tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum baik administrasi/tata usaha negara, perdata maupun pidana.

Referensi

Dokumen terkait

Aktivitas penangkal radikal bebas paling tinggi terdapat pada santan kelapa genjah dengan nilai presentase sebesar diikuti santan kelapa dalam dan santan

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : data harga daging ayam ras, harga telur ayam ras, harga daging sapi, harga beras, pendapatan perkapita, jumlah

55 Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengumpulkan informasi terkait konten buku panduan yang penulis rancang terutama mengenai penanganan kesehatan maternal dan

ASI mempunyai peranan sangat penting dalam perkembangan otak karena gula dan lemak yang dikandungannya. Penelitian perbandingan terhadap bayi yang diberi ASI

mengidentifikasi keterkaitan antara ketersediaan air irigasi dan pola tanam, intensitas tanam dan tingkat produksi pertanian di di daerah hulu, tengah dan hilir;

diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Departemen Pendidikan

Strategi keibubapaan tradisi atau dunia nyata amat sesuai untuk diamalkan dalam keibubapaan siber, di mana ibu bapa melindungi anak-anak kecil dengan mengawasi mereka secara

Problematika sosial berubah kian dinamis yang tidak ter cover dalam yurisprudensi fikih klasik lantaran perbedaan dalam jangkauan ruang waktu, tempat dan kondisi