LAPORAN AKHIR PRAKTIK
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
PENGUKURAN KEBISINGAN MENGGUNAKAN ALAT SOUND LEVEL METER
TANGGAL PRAKTIK : 27 FEBRUARI 2024 DISUSUN OLEH :
NAMA : RIFALDY BKAY
NPM : 220107067 KELAS : 2C TPPL
DOSEN PENGAMPU : AYU PRAMITA, S.T., M.M., M.Eng.
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN
TEKNIK PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN POLITEKNIK NEGERI CILACAP
CILACAP
MARET 2024
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mahasiswa mampu memahami tata cara pengukuran kebisingan 2. Mahasiswa mampu menggunakan alat Sound Level Meter (SLM) 3. Mahasiswa mampu mengukur kebisingan di tempat kerja
4. Mahasiswa mampu membuat hasil laporan pengukuran kebisingan sebagai salah satu tugas mata kuliah praktik PPU.
II. DASAR TEORI 2.1 Bunyi
Pengertian bunyi menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu sesuatu yang terdengar (didengar) atau ditangkap oleh telinga. beberapa pengertian bunyi secara umum, dalam sudut pandang ilmu pengetahuan seperti fisika yakni bunyi merupakan sebuah gelombang longitudinal yang merambat melalui medium tertentu, bunyi terjadi karena adanya getaran sehingga tercipta sebuah sistem suara yang pada akhirnya bunyi tersebut bisa terdengar oleh indera pendengaran manusia (Kustaman 2018). Menurut Sutisna (2017) Bunyi merupakan gelombang longitudinal yang getarannya dirambatkan melalui suatu medium (karenanya merupakan gelombang mekanik juga) dalam bentuk rapatan dan renggangan. Berdasarkan frekuensinya, ada tiga penggolongan bunyi, yaitu infrasonik ( f Hz 20 ), audiosonik ( 20 20 Hz f KHz ), dan ultrasonik ( f KHz 20 ).
Bunyi dihasilkan dari getaran sebuah benda. Bunyi dihasilkan ketika sebuah benda, seperti garpu tala atau senar gitar digetarkan dan menyebabkan gangguan kerapatan medium. Gangguan dijalarkan di dalam medium melalui interaksi molekul- molekulnya. Getaran molekul tersebut berlangsung sepanjang arah penjalaran gelombang. Bunyi yang dihasilkan oleh sumber bunyi kemudian merambat melalui zat antara. Bunyi yang merambat kemudian menggetarkan selaput gendang telinga sehingga kita bisa mendengar bunyi tersebut (Sutisna 2017).
Bunyi bisa didengar sebab getaran benda sebagai sumber bunyi itu menggetarkan udara di sekitarnya dan melalui medium udara itu bunyi merambat sampai ke gendang telinga. Merupakan benda-benda yang menyebabkan partikel partikel udara itu bergetar sehingga menyebabkan energy bunyi. Ketika kita
mengeraskan speaker salon sub woofer pengeras suara secara nyala bunyi atau energy semakin keras. Dan untuk energy bunyi adalah energy yang timbul dari benda-benda yang menghasilkan bunyi seperti sumber bunyi. Seperti terompet jika kita tiup terompet maka keluarlah suara yang dapat kita dengar dari terompet. Bunyi adalah elemen yang terkecil dari sebuah lantunan musik, jika dikaji dari sumber bunyinya, bunyi mempunyai perbedaan yang sangat mencolok dibandingkan dengan suatu hal yang sering kita samakan artinya yaitu suara. Bunyi memiliki sumber yaitu dari sebuah benda yang sengaja atau tidak sengaja di pukul atau mengalami proses benturan dengan benda yang lainnya contohnya air di air terjun, klekson dan bunyi kendaraan bermotor.
Sedangkan suara adalah elemen yang berasal dari getaran pita suara yang hanya ada pada mahluk hidup, contohnya manusia, burung-burung, hewan-hewan dan sebagainya. pada hakikatnya bunyi adalah gelombang mekanik yang dalam perambatanya arahnya sejajar dengan 2 arah getarannya, sedangkan suara adalah gabungan berbagai sinyal getar yang terdiri dari gelombang harmonis (Apriansyah et al. 2024).
2.1.1 Rambatan Bunyi/Gelombang Bunyi
Medium perambatan bunyi bisa dalam zat padat, fluida, atau gas. Di dalam gas kerapatan dan tekanan terkait erat. Oleh karena itu, gelombang bunyi dalam gas, seperti udara, dapat dipandang sebagai gelombang kerapatan atau gelombang tekanan. Fungsi gelombang untuk gelombang bunyi adalah simpangan longitudinal molekul-molekul gas dari posisi kesetimbangannya atau fungsi yang berkaitan dengan perubahan tekanan gas. Cepat rambat bunyi untuk medium rambat yang berbeda akan berbeda pula. Di dalam zat padat, bunyi akan merambat lebih cepat dibandingkan dengan di udara karena di dalam zat padat jarak antar partikelnya sangat berdekatan sehingga memudahkan getaran untuk merambat dari satu partikel ke partikel lainnya. Oleh karena itu, kita akan lebih cepat mendeteksi kedatangan kereta dengan cara mendekatkan telinga kita di rel kereta ketimbang dengan melihatnya (Sutisna 2017).
Sifat-sifat bunyi bisa di ukur melalui hukum fisika, misalnya frekuensi adalah satuan kecepatan pada bunyi yang diukur dalam satuan getaran yang di sebut
Hertz(Hz), sedangkan kenyaringan bunyi atau amplitude diukur oleh satuan desibel (dB). Jumlah getaran yang terjadi setiap detik tersebut sangat tergantung pada jenis objek yang bergetar. Misal pada rambatan suara yang terjadi pada jarak dua titik puncak gunung, gelombang suara akan merambat melalui udara, tergantung dari kerasnya tekanan suara, semakin panjang gelombang, semakin kuat pula bunyi tersebut seperti contoh pada (gambar 1.1) (Kustaman 2018).
Gambar 1.1. Jarak rambat suara dari titik a ke titik b (Sumber : Kustaman, 2018)
Berikut adalah persamaan cepat rambat bunyi untuk tiga medium yang berbeda:
Fluida :
v = √𝐵𝜌 (2.1)
B = modulus Bulk fluida 𝜌 = rapat massa fluida.
Zat padat :
v = √𝑌𝜌 (2.2)
Y = modulus Young
= rapat massa zat padat
Gas :
v = √𝑅𝑇
𝑀 (2.3)
= konstanta yang bergantung pada jenis gas
R = konstanta gas umum = 8,314 J/mol. K T = temperatur mutlak (K) M = massa molar gas.
Kustaman, (2018) menambahkan beberapa jenis gelombang suara yang pernah diteliti oleh beberapa peneliti yang terdiri dari tiga jenis gelombang yang diantaranya:
1. Infrasonik
Pada dasarnya manusia mempunyai batas pendengaran dalam meanangkap gelombang bunyi anatara 20Hz-20kHz, misalnya frekuensi bunyi yang berkisar antara 20Hz (20 getaran per detik) kebawah yang disebut dengan gelombang infrasonik, tidak tertangkap oleh sistem pendengaran manusia terlihat pada (Gambar 1.2).
Gambar 1.2. Daerah Frekuensi Bunyi (Sumber : Kustaman, 2018)
Gelombang Infrasonik ditemukan oleh ilmuan Perancis yang lahir di Rusia pada tahun 1960 yaitu Vladimir Gavreau, bermula ketika beliau mendapat kesimpulan terhadap gejala sakit pada gendang telinganya pada sebuah laboraturiumnya yang menghasilkan suara akan tetapi tidak dapat tertangkap oleh alat penangkap suara atau mikropone. Gelombang infrasonik hanya bisa didengar oleh binatang tertentu seperti anjing, laba-laba, dan jangkrik.
2. Audiosonik
Adapun gelombang yang berkisar antara 20Hz-20000Hz disebut gelombang audiosonik. Gelombang ini adalah gelombang umum yang bisa didengar langsung oleh telinga manusia, akan tetapi tingkat kepekaan pendengaran manusia akan menurun, semakin tua usia manusia semakin turun pula tingkat pendengarannya, gelombang audiosonik tidak akan terdengar normal setelah manusia berada pada usia lanjut.
Telinga manusia mempunyai kecenderungan untuk mendengar gelombang ini sudah tercipta sejak lahir kedunia, hanya saja faktor kesadaran otak manusialah yang mengatur rambatan bunyi tersebut. Para ahli telah membuat riset bahwa seorang bayi yang baru lahir mampu membedakan bunyi antara 20Hz-20kHz dilihat dari adanya perubahan gerak tubuh mengikuti gelombang bunyi yang dihasilkan dalam setiap desibelnya. Hal ini membuktikan bahwa gelombang audiosonik telah ditangkap telinga manusia sejak lahir.
3. Ultrasonik
Gelombang ultrasonik adalah jenis gelombang yang frekuensinya paling tinggi dalam hitungan desibel, yakni gellombang yang berada diatas 20000Hz. Gelombang ini tidak dapat didengar oleh manusia karena tingkat tekanan desibel (dB) yang sangat tinggi, gelombang ini merambat melalui zat padat, gas dan cair. Tingkat reflektivitas gelombang ini sama pada medium padat dan cair, hanya jika pada permukaan yang dilapisi busa dan bahan berserat lainya, gelombang ini akan terserap. Gelombang ultrasonik digunakan manusia untuk kebutuhan navigasi, pada sonar misalnya digunakan untuk mengukur kedalaman dasar laut malui rambatan suara yang kemudian dipantulkan kembali keatas permukaan (Gambar 1.3).
Gambar 1.3. Kedalaman laut di ukur oleh pantulan gelombang periodik yang dipancarkan Sonar
(Sumber : Kustaman, 2018)
Pada dasarnya, gelombang ultrasonik banyak digunakan manusia sebagai sistem radar atau navigasi pada peralatan militer misalnya, karena sistem pantulan delay yang menghasilkan getaran periodik menjadikan gelombang elektromagnetis yang dihasilkan oleh sensor sonar pada objek yang pantulkanya. Seperti keberadaan musuh akan nampak terdeteksi karena adanya gelombang periodik yang dipantulkan secara berkala.
2.1.2 Intensitas Bunyi
aIntensitas bunyi adalah Energi gelombang bunyi yang menembus permukaan bidang tiap satu satuan luas tiap detiknya. Pada dasarnya gelombang bunyi adalah rambatan energi yang berasal dari sumber bunyi yang merambat ke segala arah, sehingga muka gelombangnya berbentuk bola (Consolidation 2016). Apabila suatu sumber bunyi mempunyai daya sebesar P watt, maka besarnya intensitas bunyi di suatu tempat yang berjarak r dari sumber bunyi dapat dinyatakan :
𝐼 =
𝑃𝐴
=
𝑃4𝜋 (2.4)
Dimana :
I = intensitas bunyi (watt/m2)
P = daya sumber bunyi (watt, joule/s)
A = luas permukaan yang ditembus gelombang bunyi (m2) 𝜋 = jarak tempat dari sumber bunyi (m)
Berdasarkan persamaan di atas terlihat bahwa intensitas bunyi di suatu tempat berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya, makin jauh dari sumber bunyi, maka intensitasnya semakin kecil. Jika titik A berjarak r1 dan titik B berjarak r2 dari sumber bunyi, maka perbandingan intensitas bunyi antara titik A dan B dapat dinyatakan dalam persamaan :
𝐼𝐴 𝐼𝐵
=
𝑃 4𝜋𝑟12
𝑃 4𝜋𝑟22
=
𝑟22𝑟12 (2.5)
Dikarenakan pendengaran telinga manusia mempunyai keterbatasan, maka para ahli menggunakan istilah dalam intensitas bunyi dengan menggunakan ambang pendengaran dan ambang perasaan. Intensitas ambang pendengaran (Io) yaitu intensitas bunyi terkecil yang masih mampu didengar oleh telinga, sedangkan intensitas ambang perasaan yaitu intensitas bunyi yang terbesar yang masih dapat didengar telinga tanpa menimbulkan rasa sakit. Besarnya ambang pendengaran berkisar pada 10-
12 watt/m2 dan besarnya ambang perasaan berkisar pada 1 watt/m2 (Consolidation 2016).
2.1.3 Taraf Intensitas Bunyi
Berdasarkan hasil penelitian para ahli ternyata bahwa daya pendengaran telinga manusia terhadap gelombang bunyi bersifat logaritmis, sehingga para ilmuwan menyatakan mengukur intensitas bunyi tidak dalam watt/m2 melainkan dalam satuan dB (desi bell) yang menyatakan Taraf Intensitas bunyi (TI). Taraf intensitas didefinisikan sebagai sepuluh kali logaritma perbandingan intensitas dengan intensitas ambang pendengaran. Taraf intensitas bunyi merupakan perbandingan nilai logaritma antara intensitas bunyi yang diukur dengan intensitas ambang pendengaran (I0) (Gambar 1.4) dan dituliskan dalam persamaan :
𝑇𝐼 = 10log 𝐼
log 𝐼0 (2.6)
Dimana :
TI = taraf intensitas bunyi (dB = desi bell) I = intesitas bunyi (watt.m-2)
Io = intensitas ambang pendengaran (I0 = 10-12 watt.m-2)
Intensitas I gelombang bunyi didefinisikan sebagai jumlah rata-rata energi yang dibawa oleh gelombang persatuan waktu persatuan luas permukaan yang tegak lurus arah rambatannya. Oleh karena luasnya daerah intensitas bunyi yang
dapat diterima telinga (10-12 W/m2 - 1 W/m2 ) maka untuk memudahkan dalam skala logaritma.
Tingkat intensitas β gelombang bunyi ditentukan dari persamaan:
β = 10 𝑙𝑜𝑔 𝐼
𝐼0 (2.7)
di mana I adalah intensitas bunyi dan Io adalah intensitas acuan yang akan diambil sebagai ambang pendengaran
𝐼0 = 10−12𝑊/𝑚2 (2.8)
Pada skala ini ambang pendengaran adalah β = 10 𝑙𝑜𝑔𝐼0
𝐼0= 0 𝐷𝑒𝑠𝑖𝑏𝑒𝑙(𝑑𝐵) (2.9) dan ambang sakit adalah
β = 10 𝑙𝑜𝑔 1
10−12 = 120 𝑑𝐵 (3.0)
Jadi, rentang intensitas bunyi dari 10-12 W/m2 sampai 1 W/m2 bersesuaian dengan rentang tingkat intensitas dari 0 dB hingga 120 dB. Berikut adalah tingkat intensitas berbagai bunyi yang lazim.
Gambar 1.4. Taraf Intensitas bunyi dari berbagai sumber bunyi (Sumber : Consolidation, 2016)
2.2 Kebisingan
Kebisingan merupakan suatu masalah yang berdampak langsung dan mengganggu kegiatan manusia sehari-hari bahkan mengancam tingkat kenyamanan dan kesehatan manusia (Rusjadi and Palupi 2011). Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (1996) Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Menurut Davis Cornwell pada Djalante (2010) Kebisingan berasal dari kata bising yang artinya semua bunyi yang mengalihkan perhatian, mengganggu, atau berbahaya bagi kegiatan sehari-hari, bising umumnya didefinisikan sebagai bunyi yang tidak diinginkan dan juga dapat menyebabkan polusi lingkungan. Dalam Djalante (2010) menambahkan lagi bahwa Suara adalah sensasi atau rasa yang dihasilkan oleh organ pendengaran manusia ketika gelombang- gelombang suara dibentuk di udara sekeliling manusia melalui getaran yang diterimanya.
Kebisingan dapat didefinisikan sebagai suara yang tidak dikehendaki dan mengganggu manusia. Sehingga beberapa kecil atau lembut suara yang terdengar, jika hal tersebut tidak diinginkan maka akan disebut kebisingan. Alton B, dkk mengungkapkan dalam Rimantho dan Cahyadi. (2015) Dampak dari paparan kebisingan pada pendengaran pekerja telah menjadi topik perdebatan pada beberapa tahun terakhir. Rimantho dan Cahyadi. (2015) juga menambahkan bahwa Tingkat kebisingan yang melebihi nilai ambang batas dapat mendorong timbulnya gangguan pendengaran dan risiko kerusakan pada telinga baik bersifat sementara maupun permanen setelah terpapar dalam periode waktu tertentu tanpa penggunaan alat proteksi yang memadai. pemerintah di berbagai negara membuat suatu regulasi yang membatasi eksposur suara pekerja industry untuk mendorong potensi resiko ini (United States.
Office of Noise Abatement Control 1974)
. OSHA 1988 pada Rimantho dan Cahyadi. (2015) Contoh yang dapat dilakukan yaitu pada peraturan mengenai kebisingan paparan kerja pada industry harus kurang dari 90 dBA dengan rata-rata waktu 8 jam. Selanjutnya pada pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan No. 1405 tahun 2002 telah memberikan persyaratan
kesehatan lingkungan kerja yan menyatakan bahwa tingkat kebisingan di ruang kerja maksimal 85 dBA (Rimantho dan Cahyadi. 2015).
2.2.1 Sumber Kebisingan
Sumber-sumber bising pada dasarnya dibagi menjadi tiga macm yaitu : sumber titik, sumber bidang, dan sumber garis. Kebisingan lalu lintas termasuk dalam kriteria sumber garis. Kebisingan ini ditimbulkan oleh lalu lintas kendaraan bermotor yang semakin meluas, hal ini bisa ditunjukkan oleh semakin padatnya lalu lintas kendaraan di jalan raya penyebab kebisingan dari kendaraan bermotor (Suroto 2010). Menurut Prasetio dalam Wafiroh (2013) Sumber-sumber kebisingan dapat bersumber dari:
a. Bising interior yaitu sumber bising yang bersumber dari manusia, alat-alat rumah tangga, atau mesin-mesin gedung.
b. Bising outdoor yaitu sumber bising yang berasal dari lalu lintas, transportasi, industri, alat-alat mekanis yang terlihat dalam gedung, tempat-tempat pembangunan gedung, perbaikan jalan, kegiatan olahraga dan lain-lain di luar ruangan atau gedung.
2.2.2 Tipe-Tipe Kebisingan
Kebisingan memiliki kriteria, yaitu tingkat kebisingan terendah yang disyaratkan untuk ruangan tertentu menurut fungsi utama dari ruangan tersebut. Jika kriteria kebisingan dari suatu ruang telah diketahui, maka akan dapat diketahui bagaimana cara mengurangi kebisingan tersebut (Wafiroh 2013). Satwiko dalam Wafiroh (2013) Pengurangan kebisingan adalah dengan mengurangi besar kekuatan bunyi yang diterima untuk memperkecil tingkat kebisingan yang dihasilkan
Suma’mur dalam Leksono pada Wafiroh (2013) membagi kebisingan dalam beberapa tipe yaitu:
1. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi yang luas (wide band noise), misalnya mesin, kipas angin, dan lain-lain
2. Kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi sempit (narrow band noise), misalnya gergaji silkuler, katup gas dan lain-lain.
3. Kebisingan terputus-putus (intermittent), misalnya lalu lintas, suara pesawat terbang dibandara dan lain-lain.
4. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti tembakan bedil atau meriam dan ledakan.
5. Kebisingan impulsif berulang, misalnya mesin tempa di perusahaan 2.2.3 Zona Kebisingan
Pada peraturan Menteri Kesehatan No. 718 Tahun 1987 dalam (Setiawan 2010) tentang kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan menyatakan pembagian wilayan dalam empat zona yaitu:
1. Zona A adalah zona untuk tempat pendidikan, rumah sakit, tempat perawatan kesehatan atau sosial. Intensitas tingkat kebisingannya berkisar 35-45 dB.
2. Zona B adalah untuk perumahan, tempat pendidikan, dan rekreasi. Membatasi angka kebisingan antara 45-55 dB.
3. Zona C antara lain perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar. Dengan kebisingan sekitar 50-60 dB.
4. Zona D untuk lingkungan industri, pabrik, stasiun kereta api dan terminal bus.
Tingkat kebisingan berkisar 60-70 dB.
2.2.4 Alat Ukur Kebisingan
Standar alat untuk mengukur kebisingan adalah Sound Level Meter (SLM).
Pengukuran dalam SLM dikategorikan dalam tiga jenis karakter respon frekuensi, yaitu ditunjukkan dalam skala A, B, dan C. Skala A yang ditemukan paling dapat mewakili batas pendengaran manusia dan respon telinga manusia terhadap kebisingan, termasuk kebisingan yang dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Skala A tersebut dinyatakan dalam satuan dBA (Djalante 2010). Menurut Triwijaya, Arifianto, and Paulina (2023) Sound Level Meter (SLM) merupakan alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kebisingan sesaat.
Dalam Penelitian Buchari (2007), mengungkapkan bahwa, untuk mengetahui atau mengukur intensitas bising di lingkungan kerja maka digunakan alat Sound Level meter. Sedangkan untuk mengukur nilai ambang pendengaran digunakan Audiometer.
Sound Level Meter adalah alat pengukur suara. Mekanisme kerja SLM apabila ada benda bergetar, maka akan menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang dapat ditangkap oleh alat ini, selanjutnya akan menggerakkan meter penunjuk.
Audiometer adalah alat untuk mengukur nilai ambang pendengaran. Audiogram adalah chart hasil pemeriksaan audiometri. Nilai ambang pendengaran adalah suara yang paling lemah yang masih dapat didengar telinga.
Gabriel (1999) dalam Feidhal (2007) menyebutkan bahwa alat untuk mengukur kebisingan terbagi menjadi:
a. Sound Level Meter. Alat ini dapat mengukur kebisingan antara 30-130 dB(A) dan frekuensi 20-20.000Hz. Alat ini terdiri dari mikropon, alat penunjuk elektronik, amplifier dan terdapat tiga skala pengukuran yaitu:
Skala A Untuk memperlihatkan kepekaan yang terbesar pada frekuensi rendah dan tinggi yang menyerupai reaksi untuk intensitas rendah.
Skala B Untuk memperlihatkan kepekaan telinga terhadap bunyi dengan intensitas sedang. Skala C Untuk bunyi dengan intensitas tinggi. Alat ini dilengkapi dengan Oktave Band Analyzer
b. Oktave Band Analyzer. Alat ini untuk mengukur analisa frekuensi dari suatu kebisingan yang dilengkapi dengan filter-filter menurut Oktave
c. Narrow Band Analyzer. Alat ini dapat mengukur analisa frekuensi yang lebih lanjut alau disebut juga analisa spektrum singkat.
d. Tape Reorder. Kualitas tinggi Untuk mengukur kebisingan yang terputus putus, bunyi yang diukur direkam dan dibawa ke laboratorlum untuk dianalisa. Alat ini mampu mencatat frekuensi 20Hz-20KHz
e. Impact Noise Analyzer. Alat ini dipakai untuk kebisingan implusif
f. Noise Logging Dosimeter. Alat ini untuk menganalisa, kebisingan dalam waktu 24 jam dan dianalisa dengan menggunakan komputer sehingga didapatkan grafik tingkat kebisingan.
Pengukuran kebisingan yang terdapat pada KMNLH No. 48 (1996) dalam Wafiroh (2013) dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Cara sederhana. Dengan sebuah Sound Level Meter, biasa diukur tingkat tekanan bunyi dB (A) selama 10 menit untuk tiap pengukuran. Pembacaan dilakukan setiap 5 detik.
2. Cara langsung. Dengan sebuah integrating Sound Level Meter yang mempunyai fasilitas pengukuran LTMS, yaitu Leq dengan waktu ukur setiap 5 detik, dilakukan pengukuran selama 10 menit.
2.2.5 Pengaruh Kebisingan terhadap Manusia
Kebisingan sangat berpengaruh sekali pada manusia, terutama kepada mahasiswa ditempat bising. Banyak penyakit atau gangguan yang dapat ditimbulkan oleh bising (Feidhal 2007). Gangguan dari kebisingan atau dari bunyi pada tingkat tertentu masih dapat diadaptasi oleh fisik manusia namun pada syaraf manusia dapat terganggu kinerjanya, akibatnya dapat menyebabkan gangguan atau kerusakan yang lebih parah. Kebisingan yang terpapar pada manusia biasanya memberikan dampak yang mengganggu, misalnya saja gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran, merupakan perubahan yang terjadi pada tigkat pendengaran yang mengakibatkan kesulitan dalam menjalani kehidupan normal. Gangguan pendengaran biasanya terjadi saat memahami suatu pembicaraan (Buchari 2007).
Buchari, (2007) menjelaskan lagi secara rinci terkait dampak bising terhadap kesehatan pekerja sebagai berikut:
1. Gangguan Fisiologis yaitu gangguan yang dapat berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi, basal metabolisme, konstruksi pembuluh darah kecil terutama pada bagian kaki, dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
2. Gangguan Psikologis yaitu Gangguan yang dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang kosentrasi, susah tidur, emosi dan lain-lain. Pemaparan jangka waktu lama dapat menimbulkan penyakit, psikosomatik seperti gastristis, penyakit jantung koroner dan lain-lain.
3. Gangguan Komunikasi yaitu Gangguan yang menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan mungkin terjadi kesalahan, terutama bagi pekerja baru yang belum berpengalaman. Gangguan komunikasi ini secara tidak langsung akan
mengakibatkan bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, karena tidak mendengar teriakan atau isyarat tanda bahaya dan tentunya akan dapat menurunkan mutu pekerjaan dan produktifitas kerja.
4. Gangguan keseimbangan yaitu Gangguan yang mengakibatkan gangguan fisiologis seperti kepala pusing, mual dan lain-lain.
5. Gangguan terhadap pendengaran (Ketulian) yaitu Diantara sekian banyak gangguan yang ditimbulkan oleh bising, gangguan terhadap pendengaran adalah gangguan yang paling serius karena dapat menyebabkan hilangnya pendengaran atau ketulian. Ketulian ini dapat bersifat progresif atau awalnya bersifat sementara tapi bila bekerja terus menerus di tempat bising tersebut maka daya dengar akan menghilang secara menetap atau tuli.
III. ALAT DAN BAHAN
1. Alat pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter (SLM)
2. Bahan pengukuran berupa formulir kebisingan dan bolpoint untuk mencatat hasil pengukuran
3. Stopwatch untuk melihat durasi waktu pengukuran kebisingan.
IV. PROSEDUR PRAKTIKUM
1. Tentukan titik sampling yang baik, jarak dari dinding pemantul 2 – 3 meter 2. Letakan/pegang Sound Level Meter pada ketinggian 1 meter – 1,2 meter 3. Arahkan mikrofon ke sumber suara
4. Hidupkan SLM dengan menggeser tombol swicht On/Of
5. Setel respon F (fast) Dan filter A pada intensitas yang kontinue atau slow pada intensitas impulsive.
6. Geser range suara, sesuai dengan intensitas bunyi lingkungan
7. Catat angka yang muncul pada display setiap 1 detik pada form formulir kebisingan 8. Lakukan pengukuran kebisingan selama 5 menit
9. Kelompokan hasil pengukuran dengan Formulir Kebisingan 10. Hitung tingkat kebisingan.
V. DATA HASIL PENGAMATAN Praktikum pertama
Lokasi : Gazebo Parkiran Gedung Depan Politeknik Negeri Cilacap Hari/Tanggal : 27 Februari 2024
Waktu : 13.45-13.50 WIB
Tabel 1. Data Hasil Pengukuran kebisingan Gazebo Parkiran Gedung Depan Politeknik Negeri Cilacap
Menit/
Detik
1 2 3 4 5 Rata-Rata
1 64,9 68,7 73,3 70,4 75,9 70,64
2 84,6 63,5 70,7 75,0 68,1 72,38
3 81,0 71,4 67,3 72,1 64,7 71,3
4 66,9 70,2 65,0 70,1 69,4 68,32
5 81,6 69,7 66,2 68,5 67,6 70,72
6 74,0 66,9 62,3 67,3 68,8 67,86
7 74,5 66,8 63,2 71,7 70,1 69,86
8 68,6 72,4 71,8 66,9 69,4 69,82
9 73,7 76,3 79,9 71,7 65,8 73,48
10 76,0 70,2 66,2 72,2 66,6 70,24
11 71,2 67,9 66,5 67,4 67,7 68,14
12 72,5 70,2 60,1 71,7 73,6 69,5
Total 842,26
Praktikum kedua
Lokasi : SPBU Soetomo Cilacap Hari/Tanggal : 27 Februari 2024 Waktu : 14.07-14.12 WIB
Tabel 2. Data Hasil Pengukuran kebisingan SPBU Soetomo Cilacap Menit/
Detik
1 2 3 4 5 Rata-Rata
1 70,1 77,7 68,9 74,8 70,0 72,3
2 73,5 73,1 72,0 74,5 72,9 73,2
3 82,3 72,1 72,1 75,0 76,0 75,5
4 69,0 75,0 77,9 75,5 72,3 73,94
5 63,9 77,6 74,9 87,9 72,9 75,44
6 75,0 79,9 71,3 75,5 74,4 75,22
7 78,4 72,1 74,3 75,4 72,6 74,56
8 73,2 74,6 75,8 74,7 66,1 72,88
9 76,3 76,1 71,1 74,7 73,9 74,36
10 73,7 64,7 75,4 76,0 75,1 72,98
11 68,9 66,4 71,6 73,0 80,0 71,98
12 75,6 67,0 71,5 74,9 76,0 73
Total 885,36
VI. PERHITUNGAN
Metode perhitungan dari hasil tabel berikut kemudian dimasukkan kedalam persamaan berikut :
𝐿 = 𝑋 + ( 𝑃1
𝑃1+𝑃2) 𝐶 (3.1)
Dengan Keterangan:
L = Tingkat kebisingan ditiap waktu tertentu X = Batas bawah kelas yang mengandung modus
P1 = Beda frekuensi kelas modus dengan kelas dibawahnya
𝑃2 = Beda frekuensi kelas modus dengan kelas diatasnya C = Lebar kelas
Namun dikarenakan kelompok kami tidak mengukur hasil dari tiap tingkat kebisingan pada L1, L2, L3, L4, L5, L6, dan L7 yang mewakili setiap waktu pengukuran dan hanya dilakukan pengukuran pada siang hari yaitu L3 pada pukul 15.00 WIB (mewakili pukul 14.00 – 17.00 WIB). Maka untuk perhitungan dalam Leq kelompok kami hanya menggunakan rumus (Ls) yaitu Leq pada siang hari
Untuk persamaan Ls yaitu :
Ls= 10 Log 1/16 {T1.100,1.L1 + T20,1.L2 + T30,1.L3 + T40,1.L4 + T50,1.L5 + T60,1.L6 + T70,1.L7 + T80,1.L8 + T90,1.L9 + T100,1.L10 + T110,1.L11 + T120,1.L12} dB(A)
kemudian dimasukkan data hasil pengamatan pada lokasi praktikum ke-1 dan ke-2 dimana:
Praktikum ke-1 Gazebo Parkiran Gedung Depan Politeknik Negeri Cilacap
Ls = 10 Log 1/16 {70,64 + 72,38 + 71,3 + 68,32 + 70,72 + 67,86 + 69,86 + 69,82 + 73,48 + 70,24 + 68,14 + 69,5} dB(A)
Ls = 10 Log 1/16 {842,26}
Ls = 10 Log 52,46 Ls = 17,21 dB(A)
Praktikum ke-2 SPBU Soetomo Cilacap
Ls = 10 Log 1/16 {72,3 + 73,2 + 75,5 + 73,94 + 75,44 + 75,22 + 74,56 + 72,88 + 74,36 + 72,98 + 71,98 + 73} dB(A)
Ls = 10 Log 1/16 {885,36}
Ls = 10 Log 55,33 Ls = 17,42 dB(A)
VII. PEMBAHASAN HASIL PENGAMATAN
3.1 Hasil Pengukuran Kebisingan Pada dua Lokasi di Cilacap
Praktikum yang kami lakukan pada hasil pengukuran rata-rata tingkat kebisingan pada lokasi 1, yaitu Gazebo Parkiran Gedung Depan Politeknik Negeri Cilacap dan lokasi 2, yaitu SPBU Soetomo Cilacap disajikan pada tabel 3. Pengukuran ini dilakukan pada hari Selasa 27 Februari 2024. Pengukuran kebisingan menggunakan alat Sound Level Meter merek Lutron dengan No. seri SL-4023SD.
Gambar 1.4 dan gambar 1.5 di bawah ini merupakan letak geografis Lokasi 1 dan lokasi 2. Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa lokasi 1 terletak di Gazebo pada kampus depan Politeknik Negeri Cilacap yang berdekatan dengan sumber kebisingan lalu lintas di daerah Jalan Doktor Soetomo, Karangcengis, Sidakaya, Kec. Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap. Sedangkan pada lokasi 2 yaitu terletak pada Pom bensin SPBU 44.532.27 Soetomo-Cilacap dan juga berdekatan dengan sumber kebisingan yaitu di jalan raya dan pengisian BBM.
Gambar 1.4. Lokasi 1 Gazebo Gambar 1.5. Lokasi 2 SPBU Kampus PNC Soetomo Cilacap
(Sumber: Google Earth, 2022) (Sumber: Google Earth, 2022)
Tabel 3. Nilai Rata-rata tingkat kebisingan pada 2 lokasi
Menit/Detik Lokasi 1 Lokasi 2
1. 70,64 72,3
2. 72,38 73,2
3. 71,3 75,5
4. 68,32 73,94
5. 70,72 75,44
6. 67,86 75,22
7. 69,86 74,56
8. 69,82 72,88
9. 73,48 74,36
10. 70,24 72,98
11. 68,14 71,98
12. 69,5 73
Pada nilai rata-rata kebisingan pada lokasi 1, didapatkan nilai rata-rata maksimum yaitu 73,48 dB dan untuk nilai rata-rata minimum yaitu 67,86 dB.
Sedangkan untuk lokasi 2 didapatkan nilai rata-rata maksimum nya yaitu 75,5 dB dan nilai minimumnya yaitu 71,98 dB. Dalam bentuk grafik untuk masing- masing titik pada lokasi 1 dan 2 disajikan dalam gambar 1.5. Terlihat bahwa pada lokasi 1 kebisingan ditandai dengan warna hijau, sedangkan pada lokasi 2 kebisingan ditandai dengan warna biru.
Gambar 1.5. Grafik Hubungan antara tingkat rata-rata kebisingan pada 2 lokasi terhadap waktu (menit ke detik)
Dari gambar 1.5 grafik antara tingkat kebisingan pada lokasi 1, kebisingan tertinggi terjadi pada detik ke 9, sedangkan untuk lokasi 2 kebisingan tertinggi terdapat pada detik ke 3. Terlihat pada lokasi 1 terjadi penurunan kebisingan pada rata-rata detik 2 sampai detik 3, namun pada detik ke 4 terjadi kenaikan yang cukup signifikan yaitu sebesar 70,72 dB. Dan pada detik ke 9 terjadi kenaikkan kebisingan yang cukup tinggi yaitu sebesar 73,48 dB namun pada detik ke 10 hingga 11 terjadi penurunan drastis pada kebisingan. Sedangkan pada lokasi 2 terjadi peningkatan kebisingan pada detik 1 sampai detik ke 3, namun terjadi penurunan pada detik ke 4 yaitu sebesar 73,94. Dan pada detik ke 5 hingga ke 8 terjadi penurunan yang signifikan, dan pada detik 9 sampai 11 terjadi penurunan.
3.2.1 Luas Area Pengukuran
Menurut Ardiansyah, Salim, and Susihono, (2013), menjelaskan dalam mengukur intensitas kebisingan pertama-tama hitung luas area yang akan diukur.
Setelah itu tentukan titik-titik pengukuran mengikuti metode grid artinya titik pengukuran dibagi menurut interval yang sama ditiap lokasinya. Jarak antara titik pengukuran ditentukan oleh:
70,64 72,38
71,3
68,32 70,72
67,86
69,8669,82 73,48
70,24 68,14
69,5 72,373,2
75,5 73,94
75,4475,22 74,56
72,88 74,36
72,98 71,98
73
64 66 68 70 72 74 76 78
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Tingkat kebisingan menit dalam detik dB(A)
Menit/Detik
Hubungan antara tingkat kebisingan terhadap waktu
Lokasi 1 Lokasi 2
1. Jika Luas Ruangan < 10 m2 maka tentukan titik pada setiap 1 m
2. Jika Luas Ruangan 10 m2 - 100 m2 maka tentukan titik pada setiap 3 m 3. Jika Luas Ruangan > 100 m2 maka tentukan titik pada setiap 6 m
Namun pada kelompok kami belum dilakukan pengukuran terhadap luas area pengukuran tersebut dan langsung melakukan praktikum pada kedua lokasi tersebut, tetapi dalam perkiraan kelompok kami pada lokasi 1 perkiraan dalam pengukuran sampel data pada jarak 3 m dari sumber kebisingan. Sedangkan pada lokasi 2 perkiraan jarak dalam pengukuran sampel data berada pada jarak 6 meter dari sumber kebisingan tersebut.
3.2.2 Waktu Pengukuran
Dalam penelitian Hidayat, Febriani, and Ridhoni, (2015), menjelaskan bahwa Waktu pengukuran dilakukan selama 24 jam (LSM) dengan cara pada siang hari tingkat aktivitas yang paling tinggi selama 16 jam (LS) pada selang waktu 06.00 – 22.00 dan aktivitas malam hari selama 8 jam (LM) pada selang waktu 22.00 – 06.00.
Hidayat et al., (2015) juga menambahkan bahwa setiap pengukuran harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan menetapkan paling sedikit 4 (empat) waktu pengukuran pada siang hari dan pada malam hari paling sedikit 3 (tiga) waktu pengukuran, sebagai contoh:
1. L1 diambil pada jam 07.00, mewakili jam 06.00 – 09.00 2. L2 diambil pada jam 10.00, mewakili jam 09.00 – 11.00 3. L3 diambil pada jam 15.00, mewakili jam 14.00 – 17.00 4. L4 diambil pada jam 20.00, mewakili jam 17.00 – 22.00 5. L5 diambil pada jam 23.00, mewakili jam 22.00 – 24.00 6. L6 diambil pada jam 01.00, mewakili jam 24.00 – 03.00 7. L7 diambil pada jam 04.00, mewakili jam 03.00 – 06.00
Namun pada praktikum kelompok kami, hanya dilakukan pada waktu tertentu saja yakni pada lokasi 1 yaitu pukul 13.45-13.50 WIB. Sedangkan pada lokasi 2 yakni pukul 14.07-14.12 WIB. Pada peraturan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 dalam Hidayat et al., (2015), Untuk mengetahui tingkat kebisingan
ekivalen dengan waktu pengukuran setiap 5 detik selama 10 menit yang terjadi maka 120 data tingkat kebisingan harus diolah menjadi 1 data tingkat kebisingan ekivalen yang di ukur tiap 5 detik selama 10 menit. Tetapi pada praktikum kelompok kami, pengukuran hanya dilakukan selama 5 menit tiap 1 detik dalam 1 lokasi. Maka dari itu data yang diperoleh dari kelompok kami menjadi 60 data tingkat kebisingan dan data tersebut pun masih kurang relevan dari pada yang seharusnya.
3.2.3 Tingkat Kebisingan
Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup, (1996), Melampirkan bahwa Batasan nilai baku tingkat kebisingan untuk beberapa kawasan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4. Baku Tingkat Kebisingan Peruntukan Kawasan/
Lingkungan Kegiatan
Tingkat Kebisingan dB(A)
a. Peruntukan kawasan
1. Perumahan dan pemukiman 2. Perdagangan dan Jasa
3. Perkantoran dan Perdagangan 4. Ruang Terbuka Hijau
5. Industri
6. Pemerintahan dan Fasilitas Umum 7. Rekreasi
8. Khusus:
− Bandar Udara
− Stasiun Kereta API
− Pelabuhan Laut
− Cagar Budaya
b. Lingkungan Kegiatan
1. Rumah Sakit dan sejenisnya
55 70 65 50 70 60 70
70 60
55
Sumber : Menteri Negara Lingkungan Hidup, (1996)
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 718 tahun 1987 dalam Setiawan, (2010) tentang kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan menyatakan pembagian wilayah dalam empat zona.
1. Zona A adalah zona untuk tempat pendidikan, rumah sakit, tempat perawatan kesehatan atau sosial. Intensitas tingkat kebisingannya berkisar 35-45 dB.
2. Zona B adalah untuk perumahan, tempat pendidikan, dan rekreasi. Membatasi angka kebisingan antara 45-55 dB.
3. Zona C antara lain perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar. Dengan kebisingan sekitar 50-60 dB.
4. Zona D untuk lingkungan industri, pabrik, stasiun kereta api dan terminal bus.
Tingkat kebisingan berkisar 60-70 dB.
Dalam praktikum ini kelompok kami melakukan pengukuran kebisingan pada lokasi Gazebo yang berada di lingkungan kampus Politeknik Negeri Cilacap yang memiliki nilai rentan 67,86-73,48 dB(A) dan termasuk kedalam kategori b.
Lingkungan Kegiatan yaitu Sekolah atau sejenisnya namun tidak sesuai atau melebihi nilai ambang batas pada baku tingkat kebisingan yakni sebesar 55 dB(A). Sedangkan pada lokasi SPBU Soetomo-Cilacap yang memiliki nilai rentan 71,98-75,5 dB(A) dan termasuk kedalam kategori a. Peruntukan Kawasan yaitu Perdagangan dan Jasa namun masih melebihi nilai ambang batas yaitu 70 dB(A).
3.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kebisingan
Dalam melakukan Praktikum pada kedua lokasi tersebut, ditemukanlah faktor- faktor yang mempengaruhi nilai kebisingan itu sendiri. Pada lokasi 1 praktikum kami dilakukan pada saat jam kegiatan belajar mengajar, aktivitas jual beli di kantin/koperasi dan transportasi darat seperti mobil dan sepeda motor. Sedangkan pada lokasi 2 praktikum kami dilakukan pada saat jam kerja dalam wilayah tempat SPBU itu sendiri,
2. Sekolah atau sejenisnya 3. Tempat ibadah atau sejenisnya
55 55
aktivitas jual beli bensin maupun bahan pangan dan juga suara transportasi darat yang lalu lalang seperti mobil dan sepeda motor.
VIII. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam praktikum pengukuran kebisingan yang dilakukan oleh kelompok kami dapat disimpulkan bahwa:
a. Sumber bunyi yang dihasilkan dari jalan raya tersebut terutama dari kendaraan bermotor yang melintas di sekitarnya dan juga dalam kegiatan aktivitas baik itu berupa kegiatan belajar mengajar, maupun kegiatan jual beli yang memberikan konstribusi besar pada kebisingan yang diterima oleh lokasi 1 dan lokasi 2. Faktor yang mempengaruhi tingkat kebisingan tersebut yaitu berasal dari banyaknya kendaraan yang melintas di kedua ruas jalan yang berdekatan dengan titik lokasi pengambilan data kebisingan, dan juga aktivitas kegiatan yang terjadi.
b. Tingkat kebisingan dari yang terendah hingga tertinggi pada rata rata di 2 lokasi pengambilan data tersebut yaitu masing-masing sebesar 67,86 dB sampai 73,48 dB untuk lokasi 1. Dan juga sebesar 71,98 dB sampai 75,5 dB untuk lokasi 2. Dan dalam grafik hubungan antara tingkat kebisingan terhadap waktu terjadinya naik turun pada rata-rata tingkat kebisingan.
c. Berdasarkan ketentuan baku tingkat kebisingan menurut peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup, (1996) tingkat kebisingan yang diterima oleh lingkungan Gazebo dan lingkungan SPBU tidak boleh melebihi nilai ambang batas yang ditentukan yaitu sebesar 55 dB untuk kategori lingkungan sekolah atau sejenisnya dan 70 dB untuk kategori Perdagangan dan Jasa. Dari hasil praktikum yang diperoleh, kebisingan yang diterima oleh Gazebo Kampus Politeknik Negeri Cilacap dan SPBU Soetomo Cilacap, telah melebihi batas yang ditentukan tersebut, sehingga perlu dilakukan penanganan untuk mengurangi kebisingan yang diterima.
4.2 Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan dari hasil dan pembahasan yang diperoleh dari praktikum tingkat kebisingan pada lokasi 1 dan lokasi 2, yaitu:
a. Diperlukan pengukuran tingkat kebisingan yang lebih efisien dengan mengikuti standar prosedur yang diterapkan pada peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup, (1996).
b. Perlu juga dilakukan penelitian lebih lanjut, untuk memastikan tingkat kebisingan di sekitar tempat atau lokasi yang berdekatan dengan sumber kebisingan kendaraan di jalan raya. Sehingga nantinya apabila dalam penelitian tersebut tetap menghasilkan kesimpulan yang sama dari penelitian sebelumnya, maka perlu diusahakan agar tingkat kebisingan tersebut dikurangi.
c. Diperlukan ketelitian dalam melakukan pengukuran pengambilan data kebisingan agar mendapatkan hasil yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Apriansyah, Wira, Erlian Adi Hayuningrum, Salisa Rizky Candra, and Wahyu Kurniawati. 2024.
“2024 Madani : Jurnal Ilmiah Multidisipline Peran Bunyi Dalam Bidang Kedokteran 2024 Madani : Jurnal Ilmiah Multidisipline.” Madani: Jurnal Ilmiah Multidisiplin 1(12):513–18.
Ardiansyah, Muhamad Rian, Ja’far Salim, and Wahyu Susihono. 2013. “Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Tekanan Darah Dan Tingkat Stres Kerja.” Jurnal Teknik Industri 1(1):7–12.
Buchari. 2007. “Kebisingan Industri Dan Hearing Conservation Program.” 1–19.
Consolidation, College Loan. 2016. “Intensitas Bunyi.” Https://Fisikazone.Com/. Retrieved March 2, 2024 (https://fisikazone.com/intensitas-bunyi/).
Dino Rimantho, Bambang Cahyadi. 2015. “Analisis Kebisingan Terhadap Karyawan Di Lingkungan Kerja Pada Beberapa Jenis Perusahaan.” Skripsi 10(1):21–27.
Djalante, Susanti. 2010. “Analisis Tingkat Kebisingan Di Jalan Raya Yang Menggunakan Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas.” Jurnal SMARTek 8(4):280–300.
Feidhal. 2007. “Tingkat Kebisingan Dan Pengaruhnya Terhadap Mhasiswa Di Bengkel Teknik Mesin Politeknik Negeri Padang.” Jurnal Teknik Mesin 4(1):33.
Hidayat, Rizo Wirman, Noni Febriani, and Amin Ridhoni. 2015. “Analisis Faktor-Faktor Kebisingan Komplek Perguruan Muhammadiyah Di Kota Pekanbaru.” Photon: Jurnal Sain Dan Kesehatan 6(01):61–71. doi: 10.37859/jp.v6i01.466.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996. 1996. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No . 15 Tahun 1996 Tentang : Baku Tingkat Getaran.
Menteri Negara Lingkungan Hidup. 1996. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP-48/MENLH/11/1996 TENTANG BAKU TINGKAT KEBISINGAN.
Vol. 00.
Kustaman, Rusli. 2018. “Bunyi Dan Manusia.” ProTVF 1(2):117. doi: 10.24198/ptvf.v1i2.19871.
Rusjadi, Dodi, and Maharani Palupi. 2011. “Kajian Metode Sampling Pengukuran Kebisingan Dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996.” Jurnal Standardisasi
13(3):176. doi: 10.31153/js.v13i3.43.
Setiawan, Moch Fathoni. 2010. “Tingkat Kebisingan Pada Perumahan Di Perkotaan.” Jurnal Teknik Sipil Dan Perencanaan 12(2):191–201.
Suroto, Widi. 2010. “Terhadap Permukiman Kota ( Kasus Kota Surakarta ).” Journal of Rural and Development 1 no.1(Februari):55–62.
Sutisna. 2017. “Getaran Dan Bunyi.” Modul 1 48–54.
Triwijaya, Santi, Teguh Arifianto, and Ditya Nurma Paulina. 2023. “Desain Alat Pengukur Tingkat Kebisingan Di Sarana Kereta Api.” 24–31. doi: 10.31284/j.JREEC.2023.V31i2.4892.
United States. Office of Noise Abatement Control. 1974. “Information on Levels of Environmental Noise Requisite to Protect Public Health and Welfare with an Adequate Margin of Safety.”
US Environmental Protection Agency 1–242.
Wafiroh, Anza Hana. 2013. “Pengukuran Tingkat Kebisingan Di Lingkungan SMPN 2 Jember.”
1–58.
LAMPIRAN a. Gambar Lokasi 1 (Gazebo Parkiran Kampus Depan)
Gambar 1.6 Foto Bersama Kelompok Saat Praktikum
Gambar 1.7 Pengukuran Kebisingan Pertama Gambar 1.8 Pengukuran Kebisingan Terakhir
b. Gambar Lokasi 2 (SPBU Soetomo Cilacap)
Gambar 1.9 Foto Bersama Kelompok Saat Praktikum
Gambar 2.0 Pengukuran Kebisingan Pertama Gambar 2.1 Pengukuran Kebisingan Terakhir