• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR PRAKTIK PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PENGUKURAN KEBAUAN MENGGUNAKAN ALAT HANDHELD ODORMETER

N/A
N/A
Rifaldy Putra

Academic year: 2024

Membagikan "LAPORAN AKHIR PRAKTIK PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PENGUKURAN KEBAUAN MENGGUNAKAN ALAT HANDHELD ODORMETER"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR PRAKTIK

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

PENGUKURAN KEBAUAN MENGGUNAKAN ALAT HANDHELD ODORMETER

TANGGAL PRAKTIK : 5-6 MARET 2024 DISUSUN OLEH :

NAMA : RIFALDY BKAY

NPM : 220107067 KELAS : 2C TPPL

DOSEN PENGAMPU : AYU PRAMITA, S.T., M.M., M.Eng.

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN

TEKNIK PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN POLITEKNIK NEGERI CILACAP

CILACAP

MARET 2024

(2)

I. TUJUAN PRAKTIKUM 1.1 Tujuan

Dapat mengetahui berbagai contoh senyawa yang menimbulkan bau tidak sedap, mengenal sumber-sumber polusi kebauan di lingkungan, dan mengenali baku mutu nasional tingkat kebauan sebagai perbandingan hasil yang didapat dari hasil penelitian.

II. DASAR TEORI 2.1 Bau dan Kebauan

Dalam peraturan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 50, (1996) menyatakan bahwa bau merupakan suatu rangsangan dari zat yang diterima oleh indera penciuman. Sedangkan kebauan merupakan bau yang tidak diinginkan dalam kadar dan waktu tertentu yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Bau adalah zat yang tidak diinginkan dan disenangi oleh kalangan manusia dikarenakan mengganggu indra penciuman dan termasuk kedalam polusi. Polusi bau diakibatkan dari suatu proses pembusukkan material atau pelepasan senyawa kimia berbau yang menumpuk di suatu ruang. “Bau ini berasal dari sumber bau atau zat odoran, yang didefinisikan sebagai setiap zat yang dapat menimbulkan rangsangan bau pada keadaan tertentu” (Astuti, 2015). Bau dapat timbul apabila suatu material ataupun dari limbah sampah disimpan dalam jangka waktu yang lama dan mengalami pembusukkan oleh mikroorganisme. Bau dapat juga berasal dari kotoran makhluk hidup, baik itu dari hewan maupun manusia.

“Bau biasanya merupakan senyawa (volatil) karena untuk bisa menyentuh indera penciuman kita senyawa tersebut harus berada dalam udara (menguap ) dan salah satu indikasinya adalah kevolatilannya” (Wiyarno & Widyastuti, 2009). Pada KEPMENLH No 50 tahun 1996 dalam penelitian Hamzah et al., (2014) menjelaskan bahwa senyawa standar untuk parameter bau sebagai pembanding diantaranya amoniak (NH3), metil merkaptan (CH3SH), hidrogen sulfida (H2S), metil sulfida ((CH3)2S) dan stirena (C6H8CHCH2). Senyawa-senyawa tersebut termasuk kedalam Bau dari Odoran Tunggal dan dapat dilihat pada tabel 1.1.

(3)

Tabel 1.1 Parameter kebauan

No. Parameter Satuan Nilai Batas Metode Pengukuran

Peralatan

1. Amoniak (NH3) Ppm 0,02 Metoda Indofenol Spektrofotometer 2. Metil merkaptan

(CH3SH)

Ppm 0,002 Abosopsi Gas Gas Kromatograf

3. Hidrogen sulfida (H2S) Ppm 0,02 a. Metode tiosinat

b. Absorpsi gas

Spektrofotometer

Gas Kromatograf 4. Metil sulfida ((CH3)2S) Ppm 0,01 Absorpsi gas Gas Kromatograf 5. Stirena (C6H8CHCH2) Ppm 0,1 Absorpsi gas Gas Kromatograf

2.1.1 Karakteristik Bau

Senyawa penyusun bau sebagian telah ada dalam bahan mentah, kadang terbentuk selama proses pengolahan makanan atau pada saat penyimpanan seperti pada pembuatan kopi atau teh (Wiyarno & Widyastuti, 2009). Bau sebenarnya adalah senyawa kimia yang dalam kondisi normal berwujud gas, baik yang berasal dari uap cairan maupun hasil sublimasi padatan. Bau dapat berupa senyawa tunggal, seperti hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3), maupun berupa gabungan berbagai senyawa, seperti misalnya bau parfum (gabungan bermacam-macam senyawa) atau aroma kopi yang merupakan gabungan kompleks yang terdiri lebih dari 670 senyawa (Yuwono, 2008). Sedangkan menurut Soedomo dalam Triyoga et al., (2015) mengungkapkan bahwa bau yang tidak sedap biasanya timbul akibat senyawa-senyawa organik dan sulfurik. Karakterisitik bau dapat diterangkan dengan menggunakan deskriptor bau yang diterima. Kosentrasi bau umumnya dikenal dengan olfactory threshold atau ambang bau. Intensitas bau merupakan ukuran stimulus yang dihasilkan dari ambang bau dari suatu kosentrasi odoran tertentu. Intensitas bau akan naik secara logaritmik dengan semakin tingginya kosentrasi odoran.

(4)

2.1.2 Molekul-Molekul Bau

Gardner dan Bartlett, 1999 dalam Yuwono, (2008) menjelaskan bahwa Bau termasuk dalam senyawa kimia mudah menguap (volatile) yang terbawa dalam udara yang masuk sampai pada daerah olfaktori (epithelium olfaktori) yang berlokasi dalam rongga hidung manusia tepat dibawah dan diantara kedua mata. Agar bau dapat dideteksi oleh hidung maka bau harus memenuhi sifat-sifat molekuler tertentu. Sifat- sifat tersebut meliputi kelarutannya dalam air, tekanan uap yang cukup tinggi, polaritas yang rendah, kemampuan larut dalam lemak (lipophilicity), dan aktivitas permukaan.

Molekul-molekul bau umumnya memiliki satu atau dua gugus fungsional dalam strukturnya. Ini yang membuat molekul tersebut bersifat lebih polar serta mengakibatkan interaksi antar molekul yang lebih kuat. Pada Gambar 1.2 tertera gugus fungsional yang umum dan sering dijumpai dalam bermacam-macam senyawa bau.

Gambar 1.1 Gugus fungsional dan kelompok senyawa bau Gugus (Sumber: Yuwono, (2008)

(5)

2.1.3 Konsentrasi Bau

Yuwono, (2008) juga menambahkan bahwa Konsentrasi bau dapat dinyatakan dalam satuan ppm (part per million), atau mg/m3 ataupun OU (Odour Unit). Satu ppm berarti dalam satu juta satuan volume udara terdapat satu satuan volume senyawa bau.

Sedangkan satu mg/m3 berarti terdapat satu miligram senyawa bau dalam satu meter kubik udara. Dengan menggunakan satuan OU, bila bau tercium pada konsentrasi 2000 OU berarti diperlukan 2000 satuan volume udara guna mengencerkan satu (1) satuan volume senyawa bau sedemikian rupa sehingga masih dapat dideteksi oleh indera pembau manusia.

2.1.4 Sumber-Sumber Bau

Diungkapkan oleh Gunawan F, 1991 dalam Hamzah et al., (2014) Sumber bau dapat berasal dari kawasan pembuangan sampah, kawasan perindustrian, kawasan perniagaan, sistem peparitan yang tidak lancer dan tersumbat. Tempat pembuangan sampah-sampah yang diambil dan dikutip di kawasan perumahan dikumpulkan di pusat pelupusan sampah menimbulkan bau busuk yang mengganggu aktivitas masyarakat sekitar. Kawasan perindustrian yang melepaskan asap kimia yang mengeluarkan bau yang kurang menyenangkan. Selain itu juga, kilang pemeliharaan ternak seperti ayam yang mengeluarkan kotoran yang menyebabkan bau busuk. Kawasan perniagaan yang membuang sisa makanan dan lebihan jualan di kawasan perniagaan yang tidak diurus oleh pihak pembersihan menimbulkan bau busuk. Dan sistem peparitan yang tidak diurus dengan baik, misalnya pembuangan sampah pada parit yang menyebabkan saluran tersumbat dan mengakibatkan bau busuk.

Sedangkan menurut Yuwono, 2008 dalam Triyoga et al., (2015) Sumber-sumber polusi bau di lingkungan yaitu yang pertama industri kimia dan petroleum berupa industri bahan kimia anorganik (terdiri dari pupuk, soda ash, kapur, dioxide sulfuric acid), industri bahan kimia organik (terdiri dari plastik,karet, sabun, deterjen, tekstil), industri penghasil pakan ternak sumber kedua dengan senyawa dan kelompok baunya yaitu ammonia, hydrogen sulfide, alkohol, aldehid, N2O. Sumber kedua yaitu pada daerah instalasi pengolahan air limbah.

(6)

2.1.5 Skala Hedonisme Skala

Menurut Yuwono, (2008) menerangkan bahwa skala hedonisme merupakan kategori penilaian yang bersifat relatif, yaitu “suka” atau “tidak suka” dari bau yang dirasakan. Prinsip pengukurannya adalah persentasi bau yang merupakan hasil taksiran dengan skala yang ditetapkan. Penetapan ini dilakukan mengingat beragamnya intensitas yang dirasakan dan skala hedonismenya. Skala yang ditetapkan ditujukan untuk mengindikasikan “kesukaan” atau “ketidaksukaan” pada tiap penyajian melalui 9 angka skala hedonisme seperti ditunjukkan dalam Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Skala Hedonisme terhadap Kesan Bau

(Sumber: Yuwono, (2008)) 2.2 Alat Pengukur Kebauan

Alat pengukur kebauan atau yang disebut juga hidung elektronik (Electronic/Artificial Noses) merupakan suatu sistem yang dikembangkan untuk mendeteksi otomatis dan mengklasifikasikan bau, uap, dan juga gas. komponen utama hidung elektronik adalah sistem penginderaan dan sistem pengenalan pola otomatis.

Sistem penginderaan dapat berupa serangkaian elemen penginderaan yang berbeda (misalnya sensor kimia), yang masing-masing elemennya mengukur sifat berbeda dari bau yang diindera, atau dapat berupa perangkat penginderaan tunggal (misalnya spektrometer) yang menghasilkan serangkaian pengukuran untuk setiap bau, atau bisa juga kombinasi. Setiap bau yang disajikan ke rangkaian sensor menghasilkan tanda atau pola karakteristik bau tersebut (Karlik & Al-Bastaki, 2004).

Skala Kesan Bau

-4 Sangat Bau -3 Agak Bau -2 Cukup Bau

-1 Bau

0 Tanpa Bau

1 Sedang

2 Cukup Sedap

3 Sedap

4 Sangat Sedap

(7)

Menurut Karlik & Yüksek, (2007) terdapat 2 tipe klasifikasi alat pengukur kebauan.

Yaitu Fuzzy Clustering Neural Networks dan Handheld Odor Meter. 2 sistem identifikasi alat ini terinspirasi secara biologis dan berkinerja tinggi. Sistem ini mempunyai kemampuan dapat membedakan 16 pola bau berbeda yang serupa.

Keputusan berbasis sampel, sistem bisa dioperasikan dengan andal sebagai sistem pengenalan bau yang real-time.

2.2.1 Alat Handheld Odor Meter

Karlik & Yüksek, (2007) juga menambahkan untuk Handheld Odor Meter digunakan untuk memperoleh data bau. Ini sepenuhnya diproduksi oleh FiS sebagai produk OEM. Sensor OMX-GR menunjukkan dua faktor bau, “kekuatan” dan

“klasifikasi”, dengan nilai numerik. Alat ini sangat berguna untuk berbagai aplikasi yang berkaitan dengan deteksi dan pengukuran bau. Selain itu, data berkelanjutan waktu nyata dapat disimpan ke dalam komputer pribadi melalui antarmuka RS-232C.

Kekuatan dan klasifikasi bau dapat diidentifikasi dengan menggunakan dua sensor gas yang berbeda:

1. Memiliki sensitivitas spesifik terhadap bau yang ringan dan segar 2. Memiliki sensitivitas spesifik terhadap bau yang berat dan tidak sedap.

Pengambilan sampel memori pengukur bau ini cocok untuk menyimpan 16 pola pengambilan sampel bau yang berbeda.

III. ALAT DAN BAHAN 3.1 Alat

1. Alat yang digunakan untuk mengukur kebauan ialah Handheld Odor Meter.

2. Stopwatch HP.

3.2 Bahan

1. Material yang digunakan untuk pengukuran uji sampel bau itu ada 6 terdiri dari kotoran atau feses kambing/sapi, ikan busuk, limbah domestik, urin binatang, sampah kering dan makanan basi.

2. Formulir senyawa standar parameter sebagai pembanding untuk 6 contoh uji limbah yaitu amoniak, metil merkaptan, hidrogen sulfida, metil sulfida dan stirena.

(8)

3. Formulir Tabel pengukuran Hedonik.

4. Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 5 tahun 1996 tentang baku tingkat kebauan sebagai landasan dasar untuk pengukuran kebauan.

IV. PROSEDUR PRAKTIKUM 4.1 Cara Kerja Hedonisme

1. Penelitian diawali dengan menyiapkan salinan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 50 Tahun 1996 Tentang Baku Tingkat Kebauan.

2. Pengukuran kebauan dilakukan dengan menggunakan metode HEDONIK (HEDONISME) maka contoh uji pada botol yang berisi senyawa standar, satu persatu dihembuskan dengan pelan menggunakan telapak tangan kearah hidung untuk mencium bau dari setiap senyawa tersebut. Setelah kesan bau yang ditimbulkan dari senyawa standar parameter ditangkap.

3. lalu dilakukan hal yang sama pada keenam contoh uji limbah. Kemudian kesan bau dari senyawa standar tersebut dibandingkan dengan enam contoh uji limbah untuk ditemukan kesamaannya dengan senyawa standar.

4.2 Cara Kerja Odor Meter

1. Mengukur kebauan dengan alat ukur Handheld Odor Meter.

2. Siapkan sumber pencemar limbah kemudian arahkan sensor alat tersebut dengan jarak tertentu.

3. Tunggulah hingga 10 menit hingga angka berubah di LCD Screen. Lakukan Pengukuran selama 3 kali.

4. Kemudian catatlah di tabel hasil pengamatan.

5. Spesifikasi Alat Odor Meter sebagai berikut:

Gambar 1.2 Spesifikasi Odor Meter

(9)

V. DATA HASIL PENGAMATAN 5.1 Pengukuran Skala Hedonik

Hari/Tanggal : Selasa-Rabu, 5-6 Maret 2024

Pengukuran kebauan dilakukan terhadap 6 uji sampel yang akan dipraktikkan

Yaitu terdiri dari kotoran atau feses kambing/sapi, ikan busuk, limbah domestik, urin binatang, sampah kering dan makanan basi yang dapat dilihat pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3 Uji Sampel Material

Setelah dilakukan pengukuran pada ke 6-sampel tersebut kemudian dimasukkan kedalam tabel Skala Hedonik:

Tabel 1.4 Hasil Identifikasi Kebauan skala Hedonik Kelompok No Sampel Kesan Bau Skala Perkiraan Jenis

Material (Padat/Cair/Gas)

Senyawa Standar Parameter

Bau 1. Feses Kambing Responden

1. Cukup Bau 2. Bau 3.Agak Bau

-2

-1 -3

Padat

Hidrogen Sulfida

(H2S)

2. Ikan Busuk Responden 1. Agak Bau 2. Agak Bau 3. Agak Bau

-3 -3 -3

Padat

Hidrogen Sulfida

(H2S)

No. Uji sampel

1 Feses Kambing 2 Ikan Busuk 3 Limbah Domestik

4 Urin Binatang (Kambing) 5 Sampah Daun Kering 6 Makanan Basi (Nasi Basi)

(10)

C dan D 3. Limbah Domestik (Sampah Anorganik)

Responden 1. Sangat Bau 2. Cukup Bau 3. Bau

-4

-2

-1

Padat & Cair

Amoniak NH3

4. Urin Kambing Responden 1. Sangat Bau 2. Sangat Bau 3. Bau

-4

-4

-1

Cair

Amoniak (NH3)

5. Sampah Daun Kering

Responden 1. Tidak Bau 2. Tidak Bau 3. Tidak Bau

0 0 0

Padat

Stirena (C6H5CHCH2)

6. Nasi Basi Responden 1. Bau 2. Cukup Bau 3. Bau

-1 -2

-1

Cair (Lembek) H2S, NH3

Setelah dilakukan untuk pengukuran skala hedonik, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran dengan menggunakan Handheld Odor Meter yang dapat dilihat pada Tabel 1.5.

Tabel 1.5 Hasil pengukuran kebauan menggunakan Handheld Odor Meter No. Jenis Material Senyawa Material/Sumber

Pencemar

Hasil Kebauan dengan Odor meter

(rata-rata)

1. Feses Kambing H2S 0,87

2. Ikan Busuk H2S 3

3. Limbah Domestik H2S, NH3 7,7

(11)

4. Urin Binatang (Kambing) NH3 12,3

5. Sampah Daun Kering H2S, ((CH3)2S) 0

6. Makanan Basi (Nasi Basi) H2S, NH3 6

VI. DOKUMENTASI

Tabel 1.6 Gambar Pada Saat Praktikum Pengukuran Uji Sampel Kebauan

Gambar Praktikum Keterangan

Gambar 1.3 Pengujian Persepsi Responden Terhadap Uji Sampel Feses Kambing

Gambar 1.4 Pengambilan Hasil Kebauan pada Uji Sampel Feses Kambing Menggunakan Alat Handheld Odor Meter

Gambar 1.5 Pengujian Persepsi Responden Terhadap Uji Sampel Ikan Busuk

(12)

Gambar 1.6 Pengambilan Hasil Kebauan pada Uji Sampel ikan Busuk Menggunakan Alat Handheld Odor Meter

Gambar 1.7 Pengujian Persepsi Responden Terhadap Uji Sampel Limbah Domestik (Sampah Anorganik)

Gambar 1.8 Pengambilan Hasil Kebauan pada Uji Sampel Limbah Domestik (Sampah Anorganik) Menggunakan Alat Handheld Odor Meter

Gambar 1.9 Pengambilan Hasil Kebauan pada Uji Sampel Sampah Daun Kering Menggunakan Alat Handheld Odor Meter

(13)

Gambar 2.0 Pengujian Persepsi Responden Terhadap Uji Sampel Urine Kambing

Gambar 2.1 Pengambilan Hasil Kebauan pada Uji Sampel Urine Kambing Menggunakan Alat Handheld Odor Meter

Gambar 2.2 Pengujian Persepsi Responden Terhadap Uji Sampel Makanan Basi (Nasi Basi)

Gambar 2.3 Pengambilan Hasil Kebauan pada Uji Sampel Makanan Basi (Nasi Basi) Menggunakan Alat Handheld Odor Meter

(14)

VII. PEMBAHASAN HASIL PENGAMATAN 6.1 Pembahasan Praktikum

Praktikum yang kami lakukan pada hasil pengukuran uji kebauan yaitu pada 6 Uji sampel yang terdiri dari kotoran atau feses kambing/sapi, ikan busuk, limbah domestik, urin binatang, sampah kering dan makanan basi. Pengukuran ini dilakukan pada hari Selasa dan Rabu 5 dan 6 Maret 2024. Pengukuran kebauan ini menggunakan alat Handheld Odor Meter.

6.1.1 Identifikasi Hasil Pengamatan Tabel 1.4

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh kelompok C dan D, Pada tabel 1.4 Skala Hedonik, terdapat kesan bau dan senyawa standar pada masing-masing uji sampel tersebut. Diketahui untuk uji sampel pada urine kambing memiliki skala kesan bau yang paling tinggi dibandingkan dengan uji sampel yang lain yaitu kesan bau : sangat bau dan berskala 4. Sedangkan untuk uji sampel yang memiliki skala kesan bau paling terkecil ialah pada uji sampel sampah daun kering. Dimana sampah daun kering ini tidak memiliki kesan bau sama sekali dan berskala 0. Dan senyawa standar pada uji sampel urine kambing ialah Ammoniak (NH3). Dan senyawa standar pada uji sampel daun kering yaitu stirena (C6H5CHCH2).

6.1.2 Identifikasi Perbandingan Hasil Tabel 1.4 dan Tabel 1.5

Identifikasi Perbandingan Tabel 1.4 dan 1.5 dari hasil kelompok C dan D, sehingga dapat diketahui hasil identifikasi kelompok yang lebih mendekati/identifikasi yang sesuai dengan sampel yang sebenarnya. Pada Uji sampel 1 yaitu feses kambing kelompok C dan D dapat mengidentifikasi sesuai dengan Tabel 1.5 dimana feses kambing memang terdapat senyawa Hidrogen Sulfida (H2S). Uji sampe 2 yaitu ikan busuk yang dimana kedua kelompok tersebut berhasil mengidentifikasi sesuai, yaitu Hidrogen Sulfida (H2S). Pada uji sampel ke 3 yaitu limbah domestik (sampah anorganik) kelompok C dan D lumayan sesuai dengan Tabel 1.5 yang dimana limbah domestik yang dilakukan oleh kedua kelompok tersebut merupakan sampah anorganik yang terdapat pada tempat pembuangan sampah Gedung GTIL PNC. Untuk uji sampel 4 kedua kelompok tersebut dapat mengidentifikasi sesuai dengan Tabel 1.5 yaitu urine binatang pada kambing yang dimana urine tersebut terdapat senyawa amoniak. Uji

(15)

sampel ke 5 yaitu sampah daun kering dimana kedua kelompok tersebut kurang sesuai dalam mengidentifikasi sesuai dengan tabel tersebut dikarenakan uji sampel daun kering pada kedua kelompok tersebut terdapat senyawa stirena (C6H5CHCH2). Dan pada uji sampel ke 6 yaitu nasi basi kedua kelompok tersebut sesuai mengidentifikasi dengan tabel 1.5 yaitu terdapat senyawa H2S dan NH3. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk uji sampel yang sesuai pada tabel 1.5 hanya terdapat pada uji sampel 1, 2, 3, 4 dan 6. Sedangkan pada uji sampel ke 5 tidak sesuai pada tabel.

Gambar 2.4 Grafik rata-rata Uji kebauan menggunakan Odor Meter

Pada Gambar 2.4 terdapat grafik uji kebauan yang menggunakan alat Odor Meter.

Dapat dilihat bahwa tingkat kebauan pada urine kambing memiliki nilai kebauan yang sangat tinggi dibandingkan dengan yang lain yaitu sebesar 12,3 ppm. Hal ini disebabkan pada urine kambing memiliki bau yang sangat menyengat dan juga berbau tajam. Dikarenakan hal ini terdapat senyawa yang terkandung pada urine kambing yaitu Amoniak yang cukup pekat. Sedangkan pada uji sampel Sampah daun kering memiliki nilai kebauan yang sangat minim yaitu 0 ppm. Hal ini disebabkan kandungan senyawa yang terdapat pada daun kering ialah stirena (C6H5CHCH2) yang tidak terlalu memiliki bau. Yang dimana Senyawa stirena sendiri tergolong senyawa aromatik (Ameilia et al., 2021). Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 50 tahun 1996, pada uji sampel urine kambing telah melebihi baku tingkat kebauan yang dimana baku tingkat

0,87

3

7,7

12,3

0

6

0 2 4 6 8 10 12 14

Feses kambing

Ikan Busuk Limbah Domestik

Urine Kambing

Sampah Daun Kering

Nasi Basi

PengukuranOdor Meter

Uji sampel

Rata-rata Uji Kebauan

Pada Uji sampel

(16)

kebauan pada senyawa amonia itu berada pada 2,0 ppm seperti yang dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Tabel Baku Tingkat Kebauan (Sumber: Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 50, (1996))

VIII. PENUTUP 7.1 Kesimpulan

Dari identifikasi hasil pengamatan yang dilakukan, didapatkan hasil kesimpulannya

1. Pengukuran kebauan pada uji sampel yang dilakukan hanya pada sampel Feses kambing, Ikan Busuk, Limbah Domestik, Urine Kambing dan Makanan Nasi Basi yang sesuai pada tabel 1.5 Hasil pengukuran kebauan menggunakan Handheld Odor Meter.

2. Pada Grafik rata-rata Uji kebauan menggunakan Odor Meter uji sampel yang memiliki tingkat kebauan tertinggi ialah sampel urine kambing yang memiliki nilai 12,3 ppm.Sedangkan pada uji sampel yang memiliki nilai tingkat kebauan terendah ialah pada sampel sampah daun kering yang memiliki nilai 0 ppm.

3. Uji sampel pada urine kambing telah melewati baku tingkat kebauan pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.50 Tahun 1996.

7.2 Saran

1. Pada saat melakukan pengukuran harus dilakukan dengan teliti agar tidak terjadi kesalahan data yang akan diambil.

2. Sebelum melakukan pengukuran alangkah baiknya alat Odor Meter di lakukan pengecekan fungsi pada alat tersebut agar bisa digunakan pada saat praktikum.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Ameilia, A., Rajfan, R., Aisha, N., & Aulia, S. (2021). Identifikasi Polimer Tekstil. Jurnal Teknologi Rekayasa Proses, 1(1), 1–28.

Astuti, A. D. (2015). PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN INDUSTRI TEPUNG IKAN DITINJAU DARI TINGKAT KEBAUAN, BAU DAN AIR LIMBAH (Studi Kasus di Desa Purworejo Kecamatan Pati). Jurnal Litbang: Media Informasi Penelitian, Pengembangan Dan IPTEK, 11(2), 113–123.

https://doi.org/10.33658/jl.v11i2.67

Hamzah, A., Sefiani, A. D., & Waruwu, E. S. (2014). PENGENALAN POLUSI KEBAUAN BERDASARKAN PARAMETER BAU DENGAN SAMPEL LIMBAH DI LINGKUNGAN SEKITAR.

Karlik, B., & Al-Bastaki, Y. (2004). Real time monitoring odor sensing system using OMX- GR sensor and neural network. WSEAS Transactions on Electronics, vol.1, no., 337–342.

Karlik, B., & Yüksek, K. (2007). Fuzzy clustering neural networks for real-time odor recognition system. Journal of Automated Methods and Management in Chemistry, 2007, 1–6. https://doi.org/10.1155/2007/38405

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No . 50 Tahun 1996 Tentang : Baku Tingkat

Kebauan, Pub. L. No. 1–2, Program 5 (1996).

https://baristandsamarinda.kemenperin.go.id/download/KepMenLH49(1996)- Baku_Tingkat_Getaran.pdf

Triyoga, H. S., Andaerri, H. K., & Rumaga, K. (2015). Pengenalan Polusi Kebauan Dengan Parameter Menteri Lingkungan Hidup Nomor 50/MENLH/11/1996 TENTANG BAKU TINGKAT KEBAUAN Introduction To the Parameters of Pollution Odor Based Keputusan Menteri Lingkungan HIDUP NOMOR 50/MENLH/11/1996 REGARDING ODOR STANDAR.

Wiyarno, Y., & Widyastuti, S. (2009). ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KOMPONEN SENYAWA PENYUSUN BAU PADA LIMBAH PABRIK TAPIOKA. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan, 1(2), 59–66.

Yuwono, A. S. (2008). Kuantifikasi Bau dan Polusi Bau di Indonesia ( Odour Quantification and Odour Pollution in Indonesia ). Purifikasi, 9(2), 1–24.

Referensi

Dokumen terkait