• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN BAB 123 PPJ (1)

N/A
N/A
069@Aranza Putra

Academic year: 2025

Membagikan "LAPORAN BAB 123 PPJ (1)"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

(2)

1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN

Perkembangan jalan raya merupakan salah satu hal yang selalu beriringan dengan kemajuan teknologi dan pemikiran manusia yang menggunakannya, karenanya jalan merupakan fasilitas penting bagi manusia supaya dapat mencapai suatu tujuan daerah yang ingin dicapai.

Perencanaan Geometrik merupakan salah satu bagian dari perencanaan jalan dimana geometrik atau dimensi yang nyata dari suatu jalan beserta bagian-bagian disesuaikan dengan tuntutan serta sifat-sifat lalu lintasnya. Jadi, dengan ini diharapkan adanya keseimbangan antara waktu dan ruang sehubungan dengan kendaraan yang bersangkutan sehingga menghasilkan efisiensi keamanan dan kenyamanan yang optimal dalam batas-batas pertimbangan ekonomi yang layak.

Perencanaan geometrik baru dikenal di Indonesia sekitar pertengahan tahun 1960 kemudian mengalami perkembangan yang cukup pesat sejak tahun 1980.

Perencanaan geometric jalan khususnya untuk Jalan Baru Antar Kota (rural road) sesuai dengan “Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota” (Dirjen Bina Marga, 1997). Untuk hal-hal khusus yang belum ada ketentuan dari Dirjen Bina Marga, digunakan ketentuan AAHSTO dan lainnya.

Atas dasar itulah dirasa perlu untuk mengangkat Perencanaan Geometrik dan Pekerjaan Jalan sebagai Tugas Besar. Tugas besar perencanaan geometrik dan perkerasan jalan raya merupakan salah satu tugas besar yang diwajibkan di Jurusan Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Malang. Secara umum hal yang melatarbelakangi dari adanya tugas besar adalah sebagai syarat untuk melakukan Praktek Kerja Nyata (PKN). Hal tersebut dapat menjadi motivasi bagi kita semua untuk terus belajar secara mendalam. Dengan adanya tugas besar ini diharapkan terbentuk insan-insan akademis yang mampu bersaing dalam ilmu Teknik Sipil sehingga dalam menapaki era globalisasi yang makin global kita tidak ketinggalan teknologi dari negara lain.

(3)

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana rencana geometrik jalan yang menghubungkan dua titik yang memiliki jarak tertentu dan sesuai dengan kontur?

2. Bagaimana rencana tebal perkerasan lentur yang sesuai dengan perencanaan geometrik jalan?

3. Bagaimana rencana campuran lapis permukaan yang tepat?

4. Bagaimana rencana anggaran biaya dan time schedule yang dibutuhkan untuk perencanaan jalan tersebut?

1.3 Teknik Perencanaan

Dalam penulisan ini perencanaan yang menyangkut hal pembuatan jalan akan disajikan sedemikian rupa sehingga memperoleh jalan sesuai dengan fungsi dan kelas jalan. Hal yang akan disajikan dalam penulisan ini adalah:

1.3.1 Perencanaan Geometrik Jalan

Dalam perencanaan geometric jalan raya pada penulisan ini mengacu pada Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) Tahun 1997 dan Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya Tahun 1970 yang dikeluarkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga. Perencanaan geometrik ini akan membahas beberapa hal antara lain:

a. Alinyemen Horizontal

Alinyemen (Garis Tujuan) horizontal merupakan trase jalan yang terdiri dari :

❖ Garis lurus (Tangent), merupakan jalan bagian lurus.

❖ Lengkungan horizontal yang disebut tikungan yaitu:

a.) Full – Circle

b.) Spiral – Circle – Spiral c.) Spiral – Spiral

❖ Pelebaran perkerasan pada tikungan

❖ Kebebasan samping pada tikungan

(4)

b. Alinyemen Vertikal

Alinyemen vertikal adalah bidang tegak yang melalui sumbu jalan atau proyeksi tegak lurus bidang Gambar. Profil ini meng Gambarkan tinggi rendahnya jalan terhadap muka tanah asli.

c. Stationing d. Overlapping

1.3.2 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Penulisan ini membahas tentang perencanaan jalan baru yang menghubungkan dua daerah. Untuk menentukan tebal perkerasan yang direncanakan sesuai dengan Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga.

1.3.3 Rencana Anggaran Biaya dan Jadwal Waktu Pelaksanaan (Time Schedule)

Menghitung rencana anggaran biaya yang meliputi:

1. Volume pekerjaan

2. Harga satuan pekerjaan, bahan dan peralatan

3. Alokasi waktu penyelesaian masing-masing pekerjaan.

(5)

BAB II

TINJAUAN

PUSTAKA

(6)

2.1 Umum.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Perencanaan geometrik jalan adalah suatu perencanaan rute dari suatujalan secaralengkap, menyangkut beberapa komponen jalan yang dirancang berdasarkan kelengkapan data dasar, yang didapat dari hasil survey lapangan, kemudian dianalisis berdasarkan acuan persaratan yang berlaku.

Selain itu, Perencanaan geometrik jalan dapat juga diartikan sebagai suatu bagian dari perencanaan konstrusi jalan dimana geometrik atau dimensi yang nyata dari suatu jalan beserta bagian-bagian disesuaikan dengan tuntutan serta sifat-sifat lalu lintasnya. Perencanaan tersebut disesuaikan dengan persyaratan parameter pengendara,kendaraan dan lalu lintas. Parameter tersebut merupakan penentu tingkat kenyamanan dan keamanan yangdihasilkan oleh suatu bentuk geometrik jalan (Sukirman, 1999).

Faktor – faktor yang mempenegaruhi perencanaan geometrik jalan raya adalah kelas jalan, kecepatan rencana, keadaan topografi, standar perencanaan, penampang melintang, volume lalu lintas, keadaan topografi.

2.2 Kelas Jalan.

Jalan dibagi dalam kelas-kelas yang penempatannya didasarkan pada fungsinya juga dipertimbangkan pada besarnya volume serta sifat lalu lintas yang diharapkan akan menggunakan jalan yang bersangkutan. Kelas Jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan dikelompokkan menjadi.

Tabel 2. 1- Klasifikasi Kelas Jalan

Kelas Jalan Jalan Bebas

Hambatan Freeways

Jalan Raya

Highways

Jalan Sedang

Roads

Jalan Kecil

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga September 1997

(7)

2.3 Kecepatan Rencana

Kecepatan rencana yang dimaksud adalah kecepatan maksimum yang diizinkan pada jalan yang akan direncanakan sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi pemakai jalan tersebut. Dalam hal ini harus disesuaikan dengan tipe jalan yang direncanakan.

Tabel 2. 2- Kecepatan Rencana VR Sesuai Klarifikasi Fungsi dan Klarifikasi Medan Jalan

Fungsi

Kecepatan Rencana VR Km/Jam

Datar Bukit Pegunungan

Arteri 70-120 60-80 40-70

Kolektor 60-90 50-60 30-50

Lokal 40-70 30-50 20-30

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga September 1997

2.4 Bagian-Bagian Jalan

Untuk jalan antar kota, terdapat bagian-bagian jalan (Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, September 1997):

a. Lebar Jalur (Wc)

Lebar jalur jalan yang dilewati lalu lintas, tidak termasuk bahu jalan.

b. Lebar Bahu (Ws)

Lebar bahu disamping jalur lalu lintas direncanakan sebagai ruang untuk kendaraan yang sekali-sekali berhenti, pejalan kaki dan kendaraan lambat.

c. Median (M)

Daerah yang memisahkan arah lalu lintas pada suatu segmen jalan, terletak pada bagian tengah (direndahkan/ Ditinggikan).

(8)

Saluran Samping

Lebar jalur lalu lintas

Lebar bahu Lebar bahu

2/2 TB

Gambar 2. 1- Tipikal Potongan Melintang Normal dan Denah untuk 2 / 2 TB Sumber : TPGJAK No 038 /T /BM /1997

Gambar 2. 2- Tipikal Potongan Melintang Normal dan Denah Untuk 4/2 B Sumber : TPGJAK No 038 /T /BM /1997

Tabel 2. 3- Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan (m)

VLHR smp/hari

Arteri Kolektor Lokal

Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu Jalur Bahu

< 3.000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0 3.000-

10.000 7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0 10.001-

25.000 7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 MENGACU PADA PERSYARATAN

IDEAL

TIDAK DITENTUKAN

> 25.000 2n×3,5 2,0 2×7,0 2,0 2n×3,5 2,0 Sumber : TPGJAK No 038 /T /BM /1997

*2n × 3,5 » 2 = 2 Jalur, n = Jumlah Lajur per Jalur, 3,5 = Lebar Per Laju

(9)

2.5 Alinyemen Horizontal

Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal.

Alinyemen horizontal dikenal juga dengan nama “situasi jalan” atau “trase jalan”.

Alinyemen horizontal terdiri dari garis-garis lurus (biasa disebut “tangen), yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung. Garis lengkung tersebut dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah dengan lengkung peralihan atau busur-busur peralihan saja ataupun busur lingkaran saja (Hamirhan Saodang, 2010).

2.5.1 Bagian Lurus

Panjang maksimum bagian lurus, dapat ditempuh dalam waktu ≤ 2,5 menit (sesuai VR), dengan pertimbangkan keselamatan pengemudi akibat kelelahan.

Tabel 2. 4- Panjang Bagian Lurus Maksimum Fungsi Panjang Bagian Lurus maksimum ( m )

Datar Perbukitan Pegunungan

Arteri 3.000 2.500 2.000

Kolektor 2.000 1.750 1.500

Sumber : TPGJAK No.038 / T / BM / 1997 2.5.2 Koefisien Gesekan Melintang

Gaya gesekan melintang (Fm) adalah besarnya gesekan yang timbul antara ban dan permukaan jalan dalam arah melintang jalan yang berfungsi untuk mengimbangi gaya sentrifugal. Ilustrasi gerakan kendaraan pada tikungan, yang mengakibatkan adanya gaya gesekan ban terhadap permukaan jalan, divisualisasikan pada Gambar 2.1. Perbandingan antara gaya gesekan melintang dan gaya normal yang bekerja disebut koefisien gesekan melintang. Besarnya koefisien gesekan melintang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis dan kondisi ban, tekanan ban, kekasaran permukaan perkerasan, kecepatan kendaraan, dan keadaan cuaca. Nilai fm dapat diperoleh dari formulasi dalam grafik berikut ( Gambar 2.3):

(10)

Gambar 2. 3- Grafik Koefisien Gesekan Melintang Sumber : Mulyono, 2018

2.5.3 Koefisien Gesekan Memanjang

Fp adalah koefisien gesek memanjang antara ban kendaraan dengan perkerasan jalan aspal, fp akan semakin kecil jika kecepatan (VR) semakin tinggi dan sebaliknya. (Menurut Bina Marga, nilai fp = 0,35 – 0,55, namun sebaiknya fp diambil dari Gambar 2.4 berdasarkan VR).

Gambar 2. 4- Grafik Koefisien Gesekan Memanjang (fp) Sumber : Sukiman, 1999

(11)

2.5.4 Tikungan

Bagian yang paling kritis dari suatu alinyemen horizontal ialah bagian lengkung (tikungan). Hal ini disebabkan oleh adanya suatu gaya sentrifugal yang akan melemparkan kendaraan keluar daerah tikungan tersebut. Pada saat kendaraan melalui daerah superelevasi, akan terjadi gesekan arah melintang jalan antara ban dengan permukaan aspal yang menimbulkan gaya gesekan melintang dengan gaya normal yang disebut dengan koefisien gesekan melintang (f). Gaya sentrifugal ini mendorong kendaraan secara radial keluar jalur. Atas dasar ini maka perencanaan tikungan agar dapat memberikan keamanan dan kenyamanan perlu mempertimbangkan hal-hal :

1. Jari-jari lengkung minimum

Untuk menghindari terjadinya kecelakaan, maka untuk kecepatan tertentu ditentukan jari-jari minimum pada Tabel 2.5 untuk superelevasi maksimum 10%.

Tabel 2. 5- Panjang Jari-jari Minimum (Dibulatkan) untuk emaks = 10 %

Vr, km/jam 120 100 90 80 60 50 40 30 20

Rmin 600 370 280 210 115 80 50 30 15

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota No. 038/T/BM/1997 2. Bentuk-bentuk Tikungan

Di dalam suatu perencanaan garis lengkung maka perlu diketahui hubungan kecepatan rencana dengan kemiringan melintang jalan (suprelevasi) karena garis lengkung yang direncanakan harus dapat mengurangi gaya sentrifugal secara berangsur-angsur mulai dari nol sampai nol kembali. Bentuk tikungan dalam perencanaan tersebut adalah:

a. Bentuk tikungan full circle

Bentuk tikungan ini digunakan pada tikungan yang mempunyai jari-jari besar dan sudut tangen yang relatif kecil. Atas dasar ini maka perencanaan tikungan dapat memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pengguna jalan raya, dalam merencanakan tikungan harus memperhatikan hal-hal :

- Lengkung peralihan

- Kemiringan melintang (superelevasi) - Pelebaran Perkerasan Jalan

(12)

- Kebebasan samping

Jenis tikungan full circle ini merupakan jenis tikungan yang paling ideal ditinjau dari segi keamanan dan kenyamanan pengendara dan kendaraannya, namun apabila ditinjau dari penggunaan lahan dan biaya pembangunannya yang relatif terbatas, jenis tikungan ini merupakan pilihan yang sangat mahal.

Adapun batasan dimana diperbolehkan menggunakan full circle tercantum dalam Tabel 2.6 :

Tabel 2. 6- Jari-Jari Minimum Yang Tidak Memerlukan Lengkung Peralihan

V (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Rmin (m) 2500 1500 900 500 350 250 130 60

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometri Jalan Antar Kota No. 038/T/BM/1997 Rumus-rumus yang digunakan pada tikungan full circle, yaitu:

𝑇 = 𝑅 𝑡𝑎𝑛 Δ ...

(2-1)

2

𝐸 = 𝑇 𝑡𝑎𝑛 Δ = √𝑅2 + 𝑇2 − 𝑅 = 𝑅 (𝑠𝑒𝑐 Δ−1) ...

(2-2)

4 2

𝐿𝑐 = Δ

180 π𝑅 = 0,01745Δ𝑅 ... (2-3)

Dengan:

R = Jari - jari lengkung minimum (m) 𝛽 = sudut tangen

𝐸𝑐 = Jarak PI ke lengkung peralihan (m) 𝐿𝑐 = Panjang bagian tikungan (m) 𝑇𝑐 = Jarak anatara TC dan PI (m)

(13)

Gambar 2. 5- Tikungan Full Circle

Sumber : Departemen PU-Ditjen Bina Marga,1997 Catatan:

Tikungan FC hanya digunakan untuk R yang besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan R kecil akan diperlukan superelevasi yang besar.

b. Tikungan spiral-circle-spiral

Bentuk tikungan ini digunakan pada daerah-daerah perbukitan atau pegunungan, karena tikungan jenis ini memiliki lengkung peralihan yang memungkinkan perubahan menikung tidak secara mendadak dan tikungan tersebut menjadi aman. Adapun jari-jari yang diambil untuk tikungan spiral- circle-spiral ini haruslah sesuai dengan kecepatan dan tidak mengakibatkan adanya kemiringan tikungan yang melebihi harga maksimum yang ditentukan, seperti pada Tabel 2.7 .

Tabel 2. 7- Kelandaian Relatif Maksimum Jalan Antar Kota

Kecepatan Rencana (km/jam) Kelandaian Relatif Maksimum

20 50

30 75

40 100

50 115

60 125

80 150

Sumber: Sukirman ( 1994 ).

Rumus-rumus yang digunakan pada tikungan spiral-circle-spiral, yaitu:

Xs = 𝐿𝑠 (1 − 𝐿𝑠2 ) ... (2-4)

40𝑅2

(14)

2...

Ys = 𝐿𝑠

6𝑅2

(2-5) θs = 90 Ls...

(2-6)

π R 2

p = Ls

6R2

− R(1 − cos θ ) ... (2-7)

s

k = Ls − Ls2

40R2 − R sin θs ... (2-8) Lc = Δ𝔀 πR ... (2-9)

180

Ts = (R + p) tan Δ + k ... (2-10)

2

Es = (R + p) sec Δ − k ... (2-11)

2

L = Lc + 2Ls ... (2-12) Dimana:

Xs = Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik TS-SC (jarak lurus lengkung peralihan), (m)

Ys = Ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, (m) θs = Sudut lengkung spiral, (°)

p = Pergeseran tangen terhadap spiral, (m) k = Absis p pada garis tangen spiral, (m) Lc = Panjang busur lingkaran (jarak SC-CS), (m) Ts = Jarak tangen dari PI ke TS atau ST, (m) Es = Jarak dari PI ke puncak busur lingkaran, (m) L = Panjang tikungan SCS, (m)

Ls = Panjang lengkung peralihan (jarak TS-SC atau CS-ST), (m)

∆ = Sudut tikungan, (°)

c = Sudut lengkung circle, (°) R = Jari-jari tikungan, (m) Kontrol:

Lc > 20 m L > 2 Ts

Jika L < 20 m, gunakan jenis tikungan spiral-spiral.

Ls, Panjang lengkung peralihan ( jarak TS-SS atau SS-ST ) – diambil nilai terbesar dari tiga persamaan :

Ls minumum = m ( e + en ) B ... (2-13)

(15)

Dimana,

e = nilai Superelevasi pada Rc yang telah ditentukan

en = nilai Superelevasi normal ( perkerasan aspal/beton, en = 2%-3% ) B = Lebar Lajur Rencana Jalan

1/m = Landasan relative ( diambil dari Tabel 2.6 )

Gambar 2. 6- Tikungan Spiral-Circle-Spiral Sumber : Departemen PU-Ditjen Bina Marga,1997 c. Tikungan spiral-spiral

Bentuk tikungan ini digunakan pada tikungan yang tajam. Rumus-rumus yang digunakan pada tikungan spiral-spiral, yaitu:

Ltot = 2Ls ... (2-14) Ls = 2πR 2θ , atau Ls = θsR ...

(2-15)

360 s 28,648

θs = 1 Δ, Lc = 0 ... (2-16)

2

p = p ∗× Ls... (2-17) k = k ∗× Ls ... (2-18) Ts = (R + p) tan Δ + k ... (2-19)

2

Es = ( ) Δ ... (2-20) R + p sec

2 − R

(16)

Gambar 2. 7- Tikungan Spiral-Spiral Sumber : Departemen PU-Ditjen Bina Marga,1997 3. Superelevasi

Peng Gambaran superelevasi dilakukan untuk mengetahui kemiringan- kemiringan jalan pada bagian tertentu yaitu berfungsi untuk mempermudah dalam pelaksanaan pengerjaan.

a. Superelevasi dapat dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal pada bagian jalan yang lurus sampai kemiringan penuh (superelevasi) pada bagian lengkung,

b. Pada tikungan spiral-circle-spiral, pencapaian superelevasi dilakukan secara linier, diawali dari bentuk normal sampai lengkung peralihan (S) yang berbentuk pada bagian lurus jalan, lalu dilanjutkan sampai superelevasi penuh pada akhir bagian lengkung peralihan.

c. Pada tikungan full circle, pencapaian superelevasi dilakukan secara linier, diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian lingkaran penuh sepanjang 1/3 Ls.

d. Pada tikungan spiral-spiral. Pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan pada bagian spiral

(17)

e. Superelevasi tidak diperlukan jika ruas cukup besar, untuk itu cukup lereng luar diputar sebesar lereng normal (LP), atau bahkan tetap lereng normal (LN)

1) Pencapaian superelevasi

Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang berfungsi mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima pada saat berjalan melalui tikungan pada kecepatan VR. Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal pada bagian jalan yang lurus sampai kemiringan penuh (Superelevasi) pada bagian lengkung.

Metode atau tata cara untuk melakukan superelevasi, yaitu dengan mengubah lereng potongan melintang, dilakukan dengan bentuk profil dari tepi perkerasan yang dibundarkan, tetapi disarankan cukup untuk mengambil garis lurus saja.

Ada tiga cara untuk mendapatkan superelevasi yaitu:

a. Memutar perkerasan jalan terhadap profil sumbu.

b. Memutar perkerasan jalan terhadap tepi jalan sebelah dalam.

c. Memutar perkerasan jalan terhadap tepi jalan sebelah luar.

Berikut adalah ilustrasi metode pencapaian superelevasi pada tikungan tipe S-C-S (Spiral-Circle-Spiral) di Gambar 2.8 .

Gambar 2. 8- Metode Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe S-C-S (Spiral-Circle-Spiral)

Sumber : TPGJAK No.038 / T / BM / 1997

(18)

Berikut adalah ilustrasi metode pencapaian superelevasi pada tikungan tipe FC (Full Circle) di Gambar 2.9 .

Gambar 2. 9- Metode Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe FC Sumber : TPGJAK No.038 / T / BM / 1997

Berikut adalah ilustrasi metode pencapaian superelevasi pada tikungan tipe S-S (Spiral-Spiral) di Gambar 2.10 .

Gambar 2. 10- Metode Pencapaian Superelevasi pada Tikungan Tipe S-S Sumber : TPGJAK No.038 / T / BM / 1997

(19)

Tabel 2. 8- Panjang Lengkung Peralihan (Ls) Minimum & Superelevasi (e) yang dibutuhkan untuk Jalan Antar Kota (Bina Marga)

D (*)

R(m)

V = 50 km/jam

V = 60 km/jam

V = 70 km/jam

V = 80 km/jam

V = 90 km/jam

e Ls e Ls e Ls e Ls e Ls

0,250 5730 LN 45 LN 50 LN 60 LN 70 LN 75

0,500 2865 LN 45 LN 50 LP 60 LP 70 LP 75

0,750 1910 LN 45 LP 50 LP 60 0,020 70 0,025 75

1,000 1432 LP 45 LP 50 0,021 60 0,027 70 0,033 75 1,250 1146 LP 45 LP 50 0,025 60 0,033 70 0,040 75 1,500 955 LP 45 0,023 50 0,030 60 0,038 70 0,047 75 1,750 819 LP 45 0,026 50 0,035 60 0,044 70 0,054 75 2,000 716 LP 45 0,029 50 0,039 60 0,049 70 0,060 75 2,500 573 0,026 45 0,036 50 0,047 60 0,059 70 0,072 75 3,000 477 0,030 45 0,042 50 0,055 60 0,068 70 0,081 75 3,500 409 0,035 45 0,048 50 0,062 60 0,076 70 0,089 75 4,000 358 0,039 45 0,054 50 0,068 60 0,082 70 0,095 75

4,500 318 0,043 45 0,059 50 0,074 60 0,088 70 0,099 75 5,000 286 0,048 45 0,064 50 0,079 60 0,093 70 0,100 75 6,000 239 0,055 45 0,073 50 0,088 60 0,098 70 D maks =

5,12 7,000 205 0,062 45 0,080 50 0,094 60 D maks =

6,82 8,000 179 0,068 45 0,086 50 0,098 60

9,000 159 0,074 45 0,091 60 0,099 60 10,000 143 0,079 45 0,095 60 D maks =

9,12 11,000 130 0,083 45 0,098 60

12,000 119 0,087 45 0,100 60 13,000 110 0,091 50 D maks =

12,79 14,000 102 0,093 50

(20)

15,000 95 0,096 50 16,000 90 0,097 50 17,000 84 0,099 60 18,000 80 0,099 60 19,000 75 D maks =

18,85

Sumber : Dasar- Dasar Perencanaan Geometrik Jalan, Nova Keterangan :

LN = lereng jalan normal, diasumsikan 2%

LP = lereng luar putar sehingga perkerasan mendapat superelevasi sebesar lereng jalan normal 2%

Ls = diperhitungkan dengan memperhitungkan rumus modifikasi Shortt landai relative maksimum, jarak tempuh 3 detik, dan lebar perkerasan 2 x 3,75 m

Gambar 2. 11- Landai Relatif Maksimum Sumber: Bina Marga, 1997

(21)

Gambar 2. 12- Landai Relatif Maksimum Sumber: AASHTO, 1990

2.5.5 Pelebaran Pada Tikungan

Kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju tikungan, sering kali tidak dapat mempertahankan lintasannya pada lajur yang disediakan. Hal ini disebabkan karena:

1. Pada waktu berbelok pertama kali hanya roda depan, sehingga lintasan roda belakang agak keluar lajur (off tracking).

2. Jarak lintasan kendaraan tidak lagi berimpit, karena bemper depan dan belakang kendaraan akan mempunyai lintasan yang berbeda dengan lintasan roda depan dan roda belakang kendaraan.

3. Pengemudi akan mengalami kesulitan dalam pertahankan lintasannya tetap pada lajur jalannya terutama pada tikungan-tikungan yang tajam atau pada kecepatan-kecepatan tinggi. Untuk menghindari hal-hal tersebut maka pada tikungan yang tajam perlu perkerasan jalan yang diperlebar.

Pelebaran perkerasan ini merupakan faktor dari jari-jari lengkung, kecepatan kendaraan, jenis dan ukuran kendaraan rencana yang akan dipergunakan sebagai jalan perencanaan.

Pada umumnya truk tunggal sebagai dasar penentuan tambahan lebar perkerasan yang dibutuhkan. Tetapi di jalan-jalan dimana banyak dilewati kendaraan berat, jenis kendaraan semi trailer merupakan kendaraan yang cocok dipilih untuk kendaraan rencana.

(22)

Tentu saja pemilihan jenis kendaraan rencana ini sangat mempengaruhi kebutuhan akan pelebaran perkerasan dan biaya pelaksanaan jalan tersebut.

Pelebaran perkerasan pada tikungan, sudut tikungan dan kecepatan rencana.

Dalam peraturan perencanaan geometrik jalan raya, mengenai hal ini dirumuskan:

B = n (b’ + c) + (n – 1) . Td + Z. ... (2-21) Dimana:

B = Lebar perkerasan pada tikungan n = Jumlah jalur lalulintas

b’= Lebar lintasan truk pada tikungan Td = Lebar melintang akibat tonjolan depan c = Kebebasan samping

2.5.6 Penentuan (Stationing)

Penentuan (stationing) panjang jalan pada tahap perencanaan adalah memberikan nomor pada interval-interval tertentu dari awal pekerjaan. Nomor jalan (sta jalan) dibutuhkan sebagai sarana komunikasi untuk dengan cepat mengenali lokasi yang sedang dibicarakan, selanjutnya. Nomor jalan ini sangat bermanfaat pada saat pelaksanaan dan perencanaan. Disamping itu dari penomoran jalan tersebut diperoleh informasi tentang panjang jalan secara keseluruhan. setiap sta jalan dilengkapi dengan Gambar potongan melintangnya. Adapun interval masing- masing penomoran jika tidak adanya perubahan arah tangen pada alinyemen horizontal maupun alinyemen vertikal :

- Setiap 100 m, untuk daerah datar - Setiap 50 m, untuk daerah bukit - Setiap 25 m, untuk daerah gunung

Jika terjadi perubahan arah tangen atau pada tikungan maka penomoran dilakukan seperti pada Gambar 2.13 berikut:

(23)

Gambar 2. 13- Gambar Perhitungan Stationing Sta TC = Sta titik A + ds – T

Sta CT = Sta TC + Lc

Sta TS = Sta CT + (d2 – T – Ts) Sta SC = Sta SC + Lc

Sta ST = Sta CS + Ls

Nomor jalan (sta jalan) ini sama fungsinya dengan patok-patok km di sepanjang jalan, namun juga terdapat perbedaannya antara lain :

1. Patok km merupakan petunjuk jarak yang di ukur dari patok km 0, yang umumnya terletak di ibukota provinsi atau kota madya, sedangkan patok sta merupakan petunjuk jarak yang di ukur dari awal sampai akhir pekerjaan.

2. Patok km berupa patok permanen yang dipasang dengan ukuran standar yang berlaku, sedangkan patok sta merupakan patok sementara selama masa pelaksanaan proyek jalan tersebut.

2.6 Alinemen Vertikal

Alinemen Vertikal adalah perencanaan elevasi sumbu jalan pada setiap titik yang ditinjau, berupa profil memanjang. Pada peencanaan alinemen vertikal terdapat kelandaian positif (Tanjakan) dan kelandaian negatif (Turunan), sehingga kombinasinya berupa lengkung cembung dan lengkung cekung. Disamping kedua lengkung tersebut terdapat pula kelandaian = 0 (Datar).

Rumus yang digunakan:

A = g2 − g1...(2-22) Ev = A⋅L ... (2-23)

800

EPLV = EPV ± g ⋅ 1 ...

(2-24)

2

y = A 𝑥2 ... (2-25)

200⋅L

(24)

Dimana :

x = Jarak dari titik PLV ke titik yang ditinjau STA.

y = Perbedaan elevasi antara titik PLV dan titik yang ditinjau pada STA, (m).

L = Panjang lengkung vertikal parabola, yang merupakan jarak proyeksi dari titik PLV dan titik PTV, (STA).

g1 = Kelandaian tangen dari titik PLV, (%) g2 = Kelandaian tangen dari titik PTV, (%) A = Perbedaan Aljabar Kelandaian

Kelandaian menarik (pendakian) diberi tanda (+), sedangkan kelandaian menurun (Penurunan) diberi tanda (-). Ketentuan pendakian atau penurunan ditinjau dari sebelah kiri.

Gambar 2. 14- Alinyemen Vertikal Cembung

• Panjang L, berdasarkan Jh

2 ...

Jh < L, maka: L = A⋅Jh

399

(2-26) Jh > L, maka: L = 2Jh 399 ...

(2-27)

A

• Panjang L, berdasarkan Jd

2...

Jd < L, maka: L = A⋅Jd

840

(2-28) Jd > L, maka: L = 2Jh 840 ...

(2-29)

A

- Lengkung Vertikal Cekung

Tidak ada dasar yang dapat digunakan untuk menentukan panjang lengkung vertikal (L), akan tetapi ada empat kriteria sebagai pertimbangan yang dapat digunakan yaitu:

• Jarak sinar lampu besar dar kendaraan

(25)

A⋅J

• Kenyamanan pengemudi

• Ketentuan drainase

• Penampilan secara umum

Gambar 2. 15- Alinyemen Vertikal Cekung

Dengan bantuan Gambar, yaitu tinggi lampu besar kendaraan = 0,60 m dan sudut bias = 1°, maka diperoleh hubungan praktis, :

Jh < L, maka:

L = h2 ...

(2-30)

120+3,5Jh

Jh > L, maka:

L =2Jh 120+3,5Jh ...

(2-31)

A

2.7 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Perkerasan jalan adalah lapisan atau badan jalan yang menggunakan bahan- bahan khusus yang secara konstruktif lebih baik dari pada tanah dasar. Perkerasan jalan berfungsi memberikan pelayanan kepada sarana transportasi dan selama masa pelayanannya diharapkan tidak terjadi kerusakan yang berarti.

Secara umum perkerasan jalan mempunyai persyaratan yaitu kuat, awet, kedap air, rata, tidak licin, murah dan mudah dikerjakan. Oleh karena itu bahan perkerasan jalan yang paling cocok adalah pasir, kerikil, batu dan bahan pengikat (aspal atau semen).

Berdasarkan suatu bahan ikat, lapisan perkerasan jalan dibagi menjadi dua kategori, yaitu:

(26)

a. Perkerasan kaku (Rigid Pavement)

Yaitu suatu perkerasan yang menggunakan bahan campuran beton bertulang, atau bahan-bahan yang bersifat kaku.

b. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

Yaitu suatu perkerasan yang menggunakan bahan campuran aspal dan agregat atau bahan-bahan yang bersifat tidak kaku.

c. Perkerasan Komposit (Komposite Pavement)

Yaitu perkerasan dengan menggunakan dua bahan, maksudnya menggabungkan dua bahan yang berbeda yaitu aspal dan beton.

2.7.1 Jenis dan Fungsi Konstruksi Perkerasan Lentur

Konstruksi perkerasan terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan di atas permukaan tanah dasar yang telah dipadatkan. Gambar lapisan perkerasan lentur dapat dilihat pada Gambar 2.16 di bawah ini:

Gambar 2. 16- Lapisan Perkerasan Lentur

a. Lapisan Permukaan (Surface Course)

Lapisan permukaan merupakan lapisan yang terletak paling atas dari suatu perkerasan yang biasanya terdiri dari lapisan bitumen sebagai penutup lapisan permukaan. Fungsi dari lapisan permukaan ini adalah :

(27)

1. Lapisan perkerasan penahan beban roda, lapisan mempunyai stabilitas tinggi menahan beban roda selama masa pelayanan.

2. Lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh tidak meresap ke lapisan di bawahnya dan melemahkan lapisan-lapisan tersebut.

3. Lapis aus (wearing course), yaitu lapisan yang langsung mengalami gesekan akibat rem kendaraan, sehingga mudah aus.

4. Lapisan yang menyebarkan beban ke lapisan bawah.

Untuk memenuhi fungsi, pada umumnya lapisan permukaan dibuat dengan menggunakan bahan pengikat aspal sehingga menghasilkan lapisan yang kedap air dengan stabilitas yang tinggi dan daya tahan yang lama.

b. Lapisan pondasi (Base Course)

Lapisan pondasi atas merupakan lapisan utama dalam yang menyebarkan beban badan, perkerasan umumnya terdiri dari batu pecah (kerikil) atau tanah berkerikil yang tercantum dengan batuan pasir dan pasir lempung dengan stabilitas semen, kapur dan bitumen. Adapun fungsi dari lapisan pondasi atas adalah :

1. Sebagai peletakan terhadap lapisan permukaan 2. Melindungi lapisan di bawahnya dari pengaruh luar.

3. Untuk menerima beban terusan dari lapisan permukaan.

4. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.

c. Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course)

Lapisan pondasi bawah merupakan lapisan kedua dalam yang menyebarkan beban yang diperoleh dari lapisan yang di atas seperti kerikil alam (tanpa proses). Fungsi dari lapisan pondasi bawah adalah:

1. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban roda.

2. Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif mudah agar lapisan-lapisan diatasnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya konstruksi).

3. Untuk mencegah tanah dasar masuk kedalam lapisan pondasi.

(28)

4. Sebagai lapisan pertama agar pelaksanaan dapat berjalan dengan lancar.

d. Lapisan tanah dasar (Subgrade)

Lapisan tanah (subgrade) adalah merupakan dasar untuk peletakan bagian-bagian perkerasan lainnya. Kekuatan dan keawetan maupun tebal dari lapisan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar ini. Tanah dasar ini dapat berbentuk dari tanah asli yang dipadatkan ( pada daerah galian ) ataupun tanah timbunan yang dipadatkan (pada daerah urugan).

Mutu dan daya tahan konstruksi perkerasan tak lepas dari sifat tanah dasar. Tanah dasar yang baik untuk konstruksi perkerasan jalan adalah tanah dasar yang berasal dari lokasi itu sendiri serta kemampuan mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan walaupun terdapat perbedaan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat. Sifat masing-masing tanah tergantung dari tekstur, kadar air dan kondisi lingkungan.

2.7.2 Kriteria Perancangan

a. Jumlah lajur dan tebal lajur rencana

Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan, yang menampung lalu lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda batas lajur, jumlah lajur ditentukan dari Tabel 2.9 Pedoman penentuan jumlah lajur berikut:

(29)

Tabel 2. 9- Pedoman penentuan jumlah lajur

Lebar Perkerasan ( L ) Jumlah Lajur

L < 5,5 m 1

5,5 m ≤ L < 8,25 m 2 8,25 m ≤ L < 11,25 m 3 11,25 m ≤ L < 15,00 m 4 15,00 m ≤ L < 18,75 m 5 18,75 m ≤ L < 22,50 m 6

Sumber : Nova (1999)

b. Angka Ekivalen ( E ) beban sumbu kendaraan, disajikan dalam Tabel 2.10 berikut :

Tabel 2. 10- Angka Ekivalen ( E ) Beban Sumbu Kendaraan

Beban Sumbu Angka Ekivalen

Kg Lb Sumbu Tunggal Sumbu Ganda

1000 2205 0,0002 -

2000 4409 0,0036 0,0003

3000 6614 0,0183 0,0016

4000 8818 0,0577 0,005

5000 11023 0,141 0,0121

6000 13228 0,2923 0,0251

7000 15432 0,5415 0,0466

8000 17637 0,9238 0,0794

8160 18000 1 0,086

9000 19841 1,4798 0,1273

10000 22046 2,2555 0,194

11000 24251 3,3022 0,284

12000 26455 4,677 0,4022

13000 28660 6,4419 0,554

14000 30864 8,6647 0,7452

15000 33069 11,4184 0,982

16000 35276 14,7815 1,2712

Sumber : Yayasan Badan Penerbit PU (1987)

• Lintas Ekuivalen Permulaan (LEP), yang dihitung dengan rumus:

LEP = Σ LHRj x Cj x Ej ... (2-32)

(30)

Dimana :

Cj = koefisien distribusi arah

j = masing-masing jenis kendaraan

• Lintas Ekuivalen Akhir (LEA), yang dihitung dengan rumus:

LEA = Σ LHRj (1+i)UR x Cj x Ej ... (2-33) Dimana :

i = tingkat pertumbuhan lalu lintas j = masing-masing jenis kendaraan UR = umurrencana

• Lintas Ekuivalen Tengah, yang dihitung dengan rumus:

LET = ( LEP + LEA) ... (2-34)

• Lintas Ekuivalen Rencana, yang dihitung dengan rumus:

LER = LET X FP ... (2-35) Dimana :

FP = faktor Penyesuaian FP = UR/10

c. Daya dukung Tanah (DDT) dan CBR

Daya dukung tanah dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik korelasi ( Gambar 2.8). yang dimaksud dengan harga CBR disini adalah harga CBR lapangan atau CBR laboraorium. Jika digunakan CBR lapangan maka pengambilan contoh tanah dasar dilakukan dengan tabung (undisturb), kemudian direndam dan diperiksa harga CBR-nya. Dapat juga mengukur langsung di lapangan (musim hujan/direndam). CBR lapangan biasanya digunakan untuk perencanaan lapis tambahan (overlay). Gambar grafik korelasi DDT dan CBR dapat dilihat pada Gambar 2.17 di bawah ini:

(31)

Gambar 2. 17- Grafik Korelasi DDT dan CBR d. Faktor regional

Faktor regional adalah keadaan lapangan yang mencakup permeabilitas tanah, perlengkapan drainase, bentuk alinyemen, prosentase kendaraan berat dengan MST ≥ 13 ton dan kendaraan yang berhenti, serta iklim. Peraturan Pelaksanaan Pembangunan Jalan Raya menentukan bahwa faktor yang menyangkut permeabilitas tanah hanya dipengaruhi oleh alinyemen, prosentase kendaraan berat dan kendaraan yang berhenti, serta alinyemen. Untuk kondisi tanah pada daerah rawa-rawa ataupun daerah terendam, nilai FR yang diperoleh dari Tabel 2.11.

Tabel 2. 11- Faktor Regional (FR)

Kelandaian I ( < 6

% )

Kelandaian II ( 6-10%)

Kelandaian III (> 10 %)

% Kendaraan Berat

30% 30% 30% 30% 30% 30%

Iklim I

< 900 mm/thn

0,5 1,0 - 1,5 1 1,5 - 2,0 1,5 2,0 -

2,5 Iklim II

> 900 mm / th

1,5 2,0 - 2,5 2 5,5 - 3, 2,5 3,0 -

3,5

Sumber : Nova (1999)

d. Indeks Permukaan (IP)

Indeks permukaan menyatakan nilai dari kehalusan serta kekokohan

(32)

permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo) perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta kekokohan) pada awal umur rencana, seperti pada Tabel 2.12 berikut :

Tabel 2. 12- IPo terhadap Jenis Lapis Permukaan

Jenis Lapis

Permukaan IPo Roughness (

mm/km )

Laston ≥ 4 ≤ 1000

3,9 – 3,5 <1000

Lasbutag 3,9 - 3,5 ≤ 2000

3,4 – 3,0 >2000

HRA 3,9 - 3,5 ≤ 2000

3,4 – 3,0 >2000

Burda 3,9 - 3,5 ≤ 2000

Burtu 3,4 - 3,0 ≤ 2000

Lapen 3,4 - -3,0 ≤ 3000

2,9 - 2,5 >3000 Latasbum 2,9 - 2,5

Buras 2,9 - 2,5

Latasir 2,9 - 2,5 Jalan Tanah ≤ 2,4 Jalan Kerikil ≤ 2,4

Sumber : Nova (1999)

Dalam menentukan indeks permukaan (IP) pada akhir umur rencana, perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fugsional jalan dan jumlah lintas ekivalen rencana (LER), seperti pada Tabel 2.13 berikut :

Tabel 2. 13- Indeks Permukaan Akhir Umur Rencana ( IPt )

LER Klasifikasi Jalan

Lokal Kolektor Arteri Tol

< 10 1,0 - 1,5 1,5 1,5 - 2,0 -

10 – 100 1,5 1,5 - 2,0 2 -

100 – 1000 1,5 - 2,0 2 2,0 - 2,5 -

> 1000 - 2,0 - 2,5 2,5 2,5

Sumber : Nova (1999)

(33)

a. Nilai indeks tebal perkerasan diperoleh dari nomogram dengan mem- pergunakan nilai-nilai yang telah diketahui sebelumnya, yaitu : LER selama umur rencana, nilai DDT, dan FR yang diperoleh. Gambar grafik nomogram untuk masing-masing nilai IPt dan IPo dapat dilihat pada Gambar 2.17 untuk nilai IPt = 2,5 dan IPo ≥ 4 ; Gambar 2.18 untuk nilai IPt =2,5 dan IPo= 3,9 – 3.5 ; Gambar 2.19 untuk nilai IPt = 2 dan IPo ≥ 4;

Gambar 2.20 untuk nilai IPt = 2 dan IPo = 3,9 – 3,5 ; Gambar 2.21 untuk nilai IPt = 1,5 dan IPo = 3,9 – 3,5 ; Gambar 2.22 untuk nilai IPt = 1,5 dan IPo = 3,4 – 3,0 ; Gambar 2.23 untuk nilai IPt = 1,5 dan IPo 2,9 – 2,5 ; Gambar 2.24 untuk nilai IPt = 1 dan IPo = 2,9 – 2,5 ; Gambar 2.25 untuk nilai IPt = 1 dan IPo = ≤ 2,4.

Gambar 2. 18- Nomogram untuk IPt = 2,5 dan IPo ≥ 4

(34)

Gambar 2. 19- Nomogram untuk IPt =2,5 dan IPo= 3,9 – 3.5

Gambar 2. 20- Nomogram untuk IPt = 2 dan IPo ≥ 4

(35)

Gambar 2. 21- Nomogram untuk IPt = 2 dan IPo = 3,9 – 3,5

Gambar 2. 22- Nomogram untuk IPt = 1,5 dan IPo = 3,9 – 3,5

(36)

Gambar 2.23- Nomogram untuk IPt = 1,5 dan IPo = 3,4 – 3,0

Gambar 2. 23- Nomogram untuk IPt = 1,5 dan IPo 2,9 – 2,5

(37)

Gambar 2. 24- Nomogram Untuk IPt = 1 dan IPo = 2,9 – 2,5

Gambar 2. 25- Nomogram untuk IPt = 1 dan IPo = ≤ 2,4

2.7.3 Koefisien Perencanaan Tebal Perkerasan a. Koefisien Kekuatan Relatif Bahan (a)

Koefisien kekuatan relatif bahan-bahan yang digunakan sebagai

(38)

lapis permukaan, lapis pondasi, dan lapis pondasi bawah disajikan dalam Tabel 2.14.

Tabel 2. 14- Koefisien Kekuatan Relatif

Koefisien Kekuatan Relatif Kekuatan Bahan

Jenis Bahan

a1 a2 a3 MS ( Kg ) Kt ( kg/cm2) CBR ( %

)

0,4 - - 744 -

0,35 - - 590 - LASTON

0,35 - - 454 -

0,3 - - 340 -

0,35 - - 744 -

0,31 - - 590 - LABUSTAG

0,28 - - 454 -

0,26 - - 340 -

0,3 - - 340 - HRA

0,26 - - 340 - Aspal Makadam

0,25 - - - - LAPEN mekanis

0,2 - - - -

- 0,28 - 590 - LASTON ATAS

- 0,26 - 454 -

- 0,24 - 340 - LAPEN mekanis

- 0,23 - - - LAPEN manual

- 0,19 - - -

- 0,15 - - 22 semen

- 0,13 - - 18

- 0,15 - - 22 kapur

- 0,13 - - 18 Batu pecah kelas

- 0,14 - - - 100 A

80 Batu pecah kelas

- 0,13 - - - B

60 Batu pecah kelas

- 0,12 - - - C

- - 0,13 - - 70 Sirtu Kelas A

- - 0,12 - - 50 Sirtu Kelas B

- - 0,11 - - 30 Sirtu Kelas C

- - 0,1 - - 20 Tanah Lempung /

Kepasiran

Sumber : Nova (1999)

b. Tebal Minimum Lapis Perkerasan

Tebal minimum lapis perkerasan ditentukan dengan Tabel batas minimum lapis permukaan (Tabel 2.15) dan Tabel batas minimum lapis

(39)

pondasi (Tabel 2.16). Sedangkan Tabel minimum lapis pondasi bawah untuk setiap nilai ITP ditentukan sebesar 10 cm.

Tabel 2. 15- Tebal Minimum Lapis Permukaan

ITP Tebal

Minimum cm Bahan

< 3,00 5 Lapis pelindung ( Buras/ Burtu/ Burda ) 3,00 - 6,70 5 Laston / Aspal Macadam / HRA /Lasbutag / Laston

6,71 - 7,49 7,5 Lapen / Aspal Macadam / HRA / Lasbutag / Laston

7,50 - 9,99 7,5 Lasbutag / laston

> 10,00 10 Laston

Sumber : Nova (1999)

Tabel 2. 16- Batas Minimum Tebal Lapis Pondasi

ITP Tebal

Minimum cm Bahan

< 3,00 15 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur 3,00 - 7,49 20 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen,

stabilisasi tanah dengan kapur

7,50 - 9,99 20

Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam,

10,00 -12,14 20

Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam,

lapen, laston atas

> 12,25 25

Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah dengan kapur, pondasi macadam,

lapen, laston atas

Sumber : Nova (1999)

(40)

0,4+ 1094

Dari parameter-parameter tersebut kemudian diperoleh nilai ITP dan nilai koefisien kekuatan relative untuk masing-masing bahan perkerasan. Tebal masing-masing bahan perkerasan untuk masing- masing lapis permukaan, lapis pondasi, dan lapis pondasi bawah dapat dihitung dengan rumus :

ITP = a1· D1 + a2 · D2 + a3 · D3 ... (2-36) Dimana :

a1,a2,a3 = koefisien kekuatan relatif bahan untuk masing-masing lapisan perkerasan

D1,D2,D3 = tebal masing-masing lapis perkerasan c. Drainase

Salah satu tujuan utama dari perancangan perkerasan jalan adalah agar lapisan pondasi, pondasi bawah dan tanah dasar terhindar dari pengaruh air, namun selama umur pelayanan masuknya air pada perkerasan sulit untuk dihindari. Untuk mengurangi masalah yang disebabkan oleh air adalah dengan melakukan perancangan yang baik, yaitu perancangan struktur perkerasan dengan dilengkapi perancangan drainasenya. Tujuan utamanya adalah menjaga agar lapisan pondasi, lapisan pondasi bawah dan tanah dasar terhindar dari kondisi jenuh.

Klasifikasi drainase pada perkerasan jalan lentur berdasarkan fungsinya adalah drainase permukaan (Surface Drainage) dan drainase bawah permukaan (sub surface drainage). Kualitas drainase menurut AASHTO 1993 maupun ENCHRP 1-37A adalah berdasarkan pada metode time-to-drain.

d. Persamaan Dasar

Untuk suatu kondisi tertentu, penentuan nilai struktur perkerasan lentur (Indeks Tebal Perkerasan, SN) dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan:

log10[ ΔIP ]

log(W18 ) = ZR ⋅ S0 + 9,36 × log10 (SN + 1) − 0,2 + IP0−IP𝐹 + 2,32 ⋅

(S𝙽+1)5,19

log 10 (MR) − 8,07 ... (2-37)

(41)

Sesuai dengan persamaan terserbut, penentuan nilai struktural mencakup penentuan besaran-besaran :

W18 ( Wt ) yaitu volume kumulatif lalu lintas selama umur rencana ZR yaitu deviasi normal standar sebagai fungsi dari tingkat kepercayaan (R), yaitu dengan menganggap bahwa semua parameter masukan yang digunakan adalah nilai rata- ratanya.

S0 yaitu gabungan standar eror untuk perkiraan lalu lintas dan kinerja.

∆IP yaitu perbedaan antara indeks pelayanan pada awal umur rencana (IP0) dengan indeks pelayanan pada akhir umur rencana (Ipf).

MR yaitu modulus resilien tanah dasar efektif (Psi) Ipf yaitu indeks pelayanan jalan hancur (minimum 1,5) e. Estimasi Lalu lintas

Untuk mengestimasi volume kumulatif lalu lintas selama umur rencana (W18) adalah sesuai prosedur

f. Tingkat kepercayaan dan pengaruh drainase

Untuk menetapkan tingkat kepercayaan atau reabilitas dalam proses perancangan dan pengaruh drainase.

g. Modulus Resilien tanah dasar efektif

Untuk menentukan modulus resilien akibat variasi musim, dapat dilakukan dengan pengujian di laboratorium dan pengujian CBR lapangan kemudian dikorelasikan dengan nilai modulus resilien.

h. Perhitungan

𝑆𝑁 = 𝑎1−1 × 𝐷1−1 + 𝑎1−2 × 𝐷1−2 + 𝑎2 × 𝐷2 × 𝑚2 + 𝑎3 × 𝐷3 × 𝑚3 ... (2-38) Keterangan:

a1a2a3 : adalah koefisien kekuatan lapis permukaan, lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah.

D1D2D3 : adalah tebal lapis permukaan, lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah (inci) dan tebal minimum untuk setiap jenis bahan.

(42)

m1m2 : adalah koefisien drainase lapis permukaan, lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah.

Angka 1-1, 1-2, 2 dan 3 masing-masing untuk lapis permukaan, lapis permukaan antara, lapis pondasi dan lapis pondasi bawah.

i. Analisis perancangan tebal perkerasan

Perlu dipahami bahwa untuk perkerasan lentur, struktur perkerasan terdiri dari beberapa lapisan bahan yang perlu dirancang dengan seksama. Tahapan perhitungan adalah :

1. Tetapkan umur rencana perkerasan dan jumlah lajur lalu lintas yang akan dibangun.

2. Tetapkan indeks pelayanan akhir (Ipt) dan susunan struktur perkerasan rancangan yang dinginkan.

3. Hitung CBR tanah dasar yang mewakili segmen,kemudian hitung modulus reaksi tanah dasar efektif (MR).

2.8 Perencanaan Campuran Lapis Permukaan 2.8.1 Metode Perencanaan Campuran

Serangkaian pengujian di laboratorium diperlukan untuk mendapatkan suatu campuran dengan karakteristik yang memenuhi syarat seperti yang telah ditentukan dalam spesifikasi. Metode perencanaan campran yang umum dipergunakan di Indonesia adalah :

• Metode Bina Marga, yaitu metode yang bersumber dari BS 594 dan dikembangkan unruk kebutuhan di Indonesia oleh CQCMU (Central Quality Control & Monitoring Units) Bina Marga, sehingga metode dikenal juga dengan metode CQCMU.

• Metode Asphalt Institute

Perencanaan campuran dengan menggunakan metode Bina Marga (Metode CQCMU) dimulai dari kadar aspal efektif yang tetap, sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam spesifikasi. Variasi agregat kasar pada kadar aspal yang tetap diperlukan untuk menentukan agregat yang optimum sehubungan dengan kriteria karakteristik campuran aspal yang telah ditetapkan dalam spesifikasi yaitu syarat kadar rongga, tebal film aspal dan stabilitas.

(43)

Langkah-langkah perencanaan campuran dengan metode Bina Marga seperti alur pada Gambar 2.26 adalah :

1) Pemilihan agregat dan penentuan sifat-sifatnya.

2) Penentuan campuran nominal.

3) Pemeriksaan sifat campuran tahap pertama.

4) Pemeriksaan sifat campuran tahap kedua.

5) Penentuan rencana campuran terpilih pada mesin pencampur AMP.

6) Pemeriksaan produksi campuran aspal dari mesin pencampur AMP.

Pemeriksaan untuk mendapatkan rencana campuran dilakukan di laboratorium khususnya adalah langkah 1 sampai dengan langkah 4.

2.8.2 Pemilihan agregat dan penentuan sifat-sifatnya

Langkah ini adalah untuk menentukan pilihan agregat yang akan dipakai dalam merencana campuran aspal. Syarat-syarat (kualitas) agregat yang akan digunakan sebagai lapis perkerasan jalan harus dipenuhi dengan parameter yang terkait dalam pembuatan rencana campuran adalah :

a. Berat jenis dan absorbsi agregat

b. Gradasi dari masing-masing kelompok agregat

Adalah sangat baik jika hasil pengujian diringkas dalam suatu formulir, sehingga hasilnya siap digunakan untuk tahapan selanjutnya pada proses rencana. Apabila agregat kasar atau pasir mengandung cukup banyak bagian yang lolos atau tertahan ayakan # 4 (6,25 mm), maka material tersebut harus dipisahkan menjadi 2 fraksi yang diperiksan secara terpisah.

Gradasi butir dari masing-masing kelompok agregat: agregat kasar/sedang, dan halus (pasir) di Gambarkan pada amplop gradasi yang telah ditetapkan.

Karena perencanaan campuran menggunakan penyelesaian matematik/aljabar (seperti: matriks 3 x 3), maka agregat kasar dan agregat sedang dikelompokkan pada fraksi agregat kasar (CA), yang proporsi pencampurannya harus ditentukan terlebih dahulu jika digunakan agregat kasar dan agregat sedang ini dapat digunakan cara grafis diagonal.

(44)

2.8.3 Penentuan campuran nominal

Rencana campuran nominal diperlukan sebagai resep awal untuk campuran percobaan di laboratorium yang memenuhi persyaratan gradasi dan kadar aspal seperti diberikan pada spesifikasi. Komponen-komponen campuran agregat untuk campuran dinyatakan dalam fraksi rencana :

Gambar 2. 26- Alur Perencanaan Campuran Aspal Metode Bina Marga Tabel 2. 17- Batas-Batas Komposisi Fraksi Rencana Campuran

Komponen campuran

Persen berat total campuran LATASIR

A

LATASIR

B LATASTON LASTON ATB

Fraksi agregat kasar

(CA) > saringan #8 0-10 May-23 20-40 30-50 40-60 Fraksi agregat halus

(FA) saringan #8 - #200 64,3-78,3 53,6-72,6 47-67 39-59 26-49,5 Fraksi filler (FF) <

saringan #200 Dec-15 Aug-13 05-Sep 4,7-5,7 4,5-7,5

Sumber : Pedoman Praktikum Jalan Raya (2019)

Fraksi-fraksi rencana pada Tabel 2.14 tidak sama seperti yang diperlukan untuk proporsi penakaran (batch propoortion) yang diperlukan untuk agregat kasar, pasir dan bahan pengisi tambahan.

(45)

Campuran nominal direncanakan sedemikian rupa sehingga merupakan nilai tengah dari batas-batas komposisi yang diberikan pada spesifikasi.

Batas komposisi rencana diberikan pada Tabel 2.15.

Tabel 2. 18- Pedoman Proporsi Campuran Nominal

Komponen campuran

Persen berat total campuran aspal LATASIR

A

LATASIR

B LATASTON LASTON ATB

Fraksi agregat kasar (CA)

> saringan #8 0-10 May-23 35 45 50

Fraksi agregat halus (FA)

saringan #8 - #200 88-CA-b 92-CA-b 65-FF-b 55-FF-b 50-FF-b Fraksi filler (FF) <

saringan #200 12 8 >7 > 4,5 > 4,5

Total kaar aspal dalam

campuran B B B b b

TOTAL 100 100 100 100 100

Sumber : Pedoman Praktikum Jalan Raya (2019) Catatan :

1. Total kadar aspal = kadar aspal efektif + absorbs aspal oleh agregat.

2. Perkiraan absorbs aspal ± 50 % absorbsi air oleh campuran agregat.

2.9 Rencana Anggaran Biaya

2.9.1 Tahapan Penyusunan Rencana Anggaran Biaya

Rencana Anggaran Biaya (RAB) merupakan hasil dari estimasi biaya detail (detailed cost estimation) pada tahap perencanaan teknik terinci (detail engineering design). Dalam Gambar di bawah ini diperlihatkan metodologi penyusunan RAB.

(46)

Bagan 2.1 Tahapan Penyusunan Rencana Anggaran Biaya Sumber : Cipta Karya.pu.go.id

Sebelum penyusunan RAB dimulai, cost estimator harus memperlajari Gambar rencana, spesifikasi umum dan khusus, metode kerja, serta kondisi dan lokasi proyek yang akan terkait erat dengan biaya pelaksanaan pekerjaan. Dokumen dan aspek yang harus dikaji tersebut didapatkan sebagai keluaran dari perencanaan/engineering. Selanjutnya, penyusunan RAB dilakukan dengan tahapan :

1. Penyusunan jenis dan uraian pekerjaan, dilakukan sesuai dengan lingkup pekerjaan dan breakdown pekerjaan yang diuraikan untuk setiap jenis pekerjaan.

2. Penghitungan volume pekerjaan, dilakukan untuk setiap jenis dan uraian terkecil pekerjaan.

(47)

3. Penyusunan koefisien tenaga kerja dan bahan.

4. Penyusunan harga satuan tenaga, bahan, dan alat.

5. Penyusunan Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP), disusun sesuai dengan jenis dan uraian terkecil pekerjaan disertai dengan overhead dan keuntungan.

6. Penyusunan RAB dilakukan dengan mengalikan volume pekerjaan dengan harga satuan pekerjaan, untuk tiap-tiap jenis pekerjaan dan disusun menjadi satu kesatuan penjumlahan.

Selain mencari volume galian dan timbunan juga diperlukan untuk mencari volume dari pekerjaan lainnya yaitu:

1. Volume Pekerjaan a. Pekerjaan persiapan - Peninjauan lokasi

- Pengukuran dan pemasangan patok

- Pembersihan lokasi dan persiapan alat dan bahan untuk pekerjaan - Pembuatan Bouplank

b. Pekerjaan tanah - Galian tanah - Timbunan tanah c. Pekerjaan perkerasan

- Lapis permukaan (Surface Course) - Lapis pondasi atas (Base Course) - Lapis pondasi bawah (Sub Base Course) - Lapis tanah dasar (Sub Grade)

d. Pekerjaan drainase - Galian saluran - Pembuatan talud e. Pekerjaan pelengkap - Pemasangan rambu-rambu - Pengecatan marka jalan - Penerangan

2. Analisa Harga Satuan

(48)

Analisa harga satuan diambil dari Harga Satuan Dasar Upah Dan Bahan Serta Biaya Operasi Peralatan Dinas Bina Marga Kota Semarang Tahun anggaran 2021

3. Kurva S

Dari hasil analisis perhitungan waktu pelaksanaan, analisis harga satuan pekerjaandan perhitungan bobot pekerjaan, maka dapat dibuat Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan Time Schedule pelaksanaan proyek dalam bentuk Bar Chard dan Kurva S. Kurva S sendiri dibuat dengan cara membagi masing – masing bobot pekerjaan dalam (Rp) dengan jumlah bobot pekerjaan keseluruhan dikali 100% sehingga hasilnya adalah dalam (%), kemudian bobot pekerjaan (%) tersebut dibagi dengan lamanya waktu pelaksanaan tiap jenis pekerjaan setelah itu hasil perhitungan dimasukkan dalam tabel time schedule. Dari tabel tersebut dapat diketahui jumlah (%) dan % komulatif tiap minggunya, yang selanjutnya diplotkan sehingga membentuk Kurva S.

(49)

BAB III

PERENCANAAN GEOMETRIK

JALAN

Referensi

Dokumen terkait

No.01/PD/BM/1983, Pedoman Penentuan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya , Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Perkerasan Lentur Jalan Raya , Nova. Penuntun Praktis Perencanaan

PERENCANAAN GEOMETRI DAN TEBAL PERKERASAN LENTUR RUAS JALAN AKSES KAWASAN EKONOMI KHUSUS. (KEK) STA 00+000 - 05+650 KABUPATEN BANYUASIN PROVINSI

Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa

Untuk menentukan tebal perkerasan yang direncanakan sesuai dengan Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisis Komponen Dinas Pekerjaan

Perhitungan RAB Untuk Tebal Perkerasan Jalan dengan Metode Manual Desain Perkerasan Jalan Revisi September 2017 Perhitungan anggaran biaya pada perencanaan perkerasan lentur flexible

Data Perencanaan Tebal Perkerasan Jenis jalan yang direncanakan = Jalan kelas III A Kolektor Tebal perkerasan = 2 Lajur 2 Arah Jalan dibuka pada tahun = 2022 Pelaksanaan konstruksi

24 Umur Rencana Jenis Perkerasan Elemen Perkerasan Umur Rencana tahun1 Perkerasan Lentur Lapisan aspal dan lapisan berbutir2 20 Fondasi jalan 40 Semua perkerasan untuk daerah

Perencanaan Perkerasan Lentur Flexible Pavement Jangka Waktu 10 Tahun 2025 Tabel 5.16 Perhitungan Forecast Annual Departure dan Tebal Lapisan Perkerasan Lentur yang dibutuhkan untuk