• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN GEOJAL KELOMPOK 1 TS 1

N/A
N/A
nanda danar

Academic year: 2024

Membagikan "LAPORAN GEOJAL KELOMPOK 1 TS 1"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

I

LAPORAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

Dosen Pembimbing:

HERLITA PRAWENTI, S.T., M.T.

Disusun oleh:

Kelompok 1/TS 01

Aisha Meira Salsabilla (2010503015) Lucky Ahmad Mayoga (2010503023) Naila Alfi Khusnia (2010503126) Risma Putri Wulandari (2010503138) JUDUL

JURUSAN TEKNIK SIPIL (S1) FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TIDAR

TAHUN 2021

(2)

II LEMBAR ASISTENSI

TUGAS GEOMETRIK JALAN

Nama Anggota Kelompok 1 : 1. Aisha Meira Salsabilla (2010503015) 2. Lucky Ahmad Mayoga (2010503023) 3. Naila Alfi Khusnia (2010503126) 4. Risma Putri Wulandari (2010503138) Asisten Dosen : Diki Wahyu

No. Hari/Tanggal Keterangan Paraf

1.

2. Selasa, 9 November 2021

Laporan geometrik jalan alinyemen horizontal

• Sistematika Penulisan

• Ditambahtikungan FC dan SS

• Perbiki gambar + simbol dan anganya 3. Kamis, 25

November 2021

1. Perbaiki gambar detail cekung / cembung

2. Tambah tambel sama gambar rencana galian

(3)

III 4. Rabu, 1 Desember

2021

1. Rapikan format penulisan

2. Tambahkan narasi di setiap galian dan timbunan

Magelang, 05 Desember 2021

Herlita Prawenti, S.T., M.T.

NIDN. 0029128705

(4)

IV HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Perencanaan Geometrik Jalan

Disusun Oleh : Kelompok 1

1. Aisha Meira Salsabilla (2010503015) 2. Lucky Ahmad Mayoga (2010503023) 3. Naila Alfi Khusnia (2010503126) 4. Risma Putri Wulandari (2010503138)

Laporan perencanaan geometrik jalan ini disusun sebagai salah satu syarat mata kuliah Geometrik Jalan Program Studi Teknik Sipil Universitas Tidar.

Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing Praktikum

Herlita Prawenti, S.T., M.T.

NIDN. 0029128705

(5)

V KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas m laporan yang berjudul “Laporan Perencanaan Geometri Jalan” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari laporan ini adalah untuk memenuhi tugas dari bu Herlita pada mata kuliah Geometri Jalan. Selain itu, laporan ini juga bertujuan untuk menambah wawasan mengenai bagaimana perencanaan jalan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bu Herlita, selaku Dosen mata kuliah Geometri Jalan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan ini. Kami menyadari, laporan yang Kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan Kami nantikan demi kesempurnaan laporan ini.

(6)

VI DAFTAR ISI

Halaman Judul ... I Lembar Asistensi ... II Halaman Pengesahan ... IV Kata Pengantar ... V Daftar Isi... VI Daftar Tabel ... X Daftar Gambar ... XII

BAB I Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

BAB II ... 3

2.1 Dasar Geometrik Jalan Dan Klasifikasi Jalan ... 3

2.1.1 Dasar Geometri Jalan ... 3

2.1.2 Klasifikasi Jalan ... 3

2.1.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi ... 3

2.1.2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan ... 4

2.1.2.3 Klasifikasi Jalan Menurut Medan Jalan ... 5

2.1.2.4 Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaan ... 5

2.1.3 Jalan Umum berdasarkan statusnya ... 6

2.1.4 Pengaturan kelas jalan ... 6

2.1.5 Bagian-bagian jalan ... 7

2.2 Penampang Melintang Jalan ... 7

2.2.1 Jalur lalu lintas ... 7

(7)

VII

2.2.2 Bahu Jalan ... 8

2.2.3 Trotoar ... 9

2.2.4 Median ... 9

2.2.5 Saluran Samping ... 10

2.2.6 Kereb ... 11

2.2.7 Lapisan Perkerasan Jalan ... 11

2.2.8 Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA) ... 11

2.2.9 Ruang Milik Jalan (RUMIJA) ... 11

2.2.10 Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA) ... 11

2.3 Parameter Perencanaan Geometrik Jalan ... 12

2.3.1 Kendaraan Rencana ... 12

2.3.2 Volume Lalu Lintas ... 13

2.3.3 Kecepatan... 13

2.3.4 Jarak Pandang ... 14

2.3.4.1 Jarak Pandang Henti (Jh) ... 14

2.3.4.2 Jarak pandang menyiap (Js) ... 16

2.3.5 Alinyemen Horizontal... 18

2.3.5.1 Tikungan Full Circle ... 20

2.3.5.2 Tikungan Spriral-Spriral ... 21

2.3.5.3 Tikungan Spriral-Circle-Spriral ... 22

2.3.6 Alinyemen Vertikal... 24

2.3.6.1 Kelandaian ... 24

2.3.6.2 Lengkung Vertikal ... 25

2.3.7 Koordinasi Alinyemen ... 26

2.4 Galian Timbunan ... 27

2.4.1 Macam macam timbunan ... 28

(8)

VIII

2.4.2 Perencanaan Galian dan Timbunan ... 30

BAB III ... 32

3.1 Parameter Perencanaan ... 32

3.1.1 Kontur Jalan ... 32

3.1.2 Perancangan Alternatif ... 33

3.1.3 Menentukan Trase Jalan ... 33

3.1.4 Perhitungan Jarak Dan Sudut ... 34

3.1.4.1 Menentukan Koordinat (X,Y) ... 34

3.1.4.2 Menentukan Jarak ... 34

3.1.4.3 Menentukan Penentuan Sudut ... 36

3.1.5 Penentuan Klasifikasi Medan Jalan ... 37

3.1.6 Penentuan Klasifikasi Jalan ... 40

3.1.6.1 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Pelayanan ... 40

3.1.6.2 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Pengawasan dan Pendanaan ... 41

3.1.6.3 Klasifikasi Jalan Menurut Sistem Jaringan ... 41

3.1.6.4 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi ... 41

3.1.6.5 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan ... 41

3.1.6.6 Klasifikasi Jalan Menurut Medan Jalan ... 41

3.1.7 Penentuan Dimensi Jalan ... 41

3.1.7.1 Lebar lajur lalu lintas ... 41

3.1.7.2 Lebar bahu ... 42

3.1.7.3 Kemiringan melintang normal jalur lalu lintas dan bahu luar .. 42

3.1.8 Penentuan Kecepatan Rencana ... 42

3.1.9 Perhitungan Jarak Pandang ... 43

3.2 Perencanaan Alinyemen Horizontal ... 44

3.2.1 Standar Perencanaan Geometri Jalan ... 44

(9)

IX

3.2.1.1 Lalu Lintas ... 44

3.2.1.2 Keadaan Topografi ... 47

3.2.1.3 Kapasitas Jalan ... 48

3.2.2 Perhitungan Tikungan ... 50

3.2.2.1 Penentuan Bentuk Lengkung Herizontal ... 50

3.2.2.2 Stasioning... 67

3.2.2.3 Gambar Rencana Tikungan Dan Diagram Superelevasi ... 67

3.3 Perencanaan Alinyemen Vertikal ... 68

3.3.1 Kelandaian Maksimum ... 68

3.3.2 Panjang Kritis ... 68

3.3.3 Lengkung Vertikal ... 68

3.3.3.1 Lengkung Cembung ... 69

3.3.3.2 Lengkung Cekung ... 78

3.3.4 Stasioning... 83

3.3.5 Gambar Perencanaan Alinyemen Vertikal ... 84

3.4 Potongan Memanjang Jalan ... 84

3.5 Potongan Melintang Jalan ... 84

3.6 Perhitungan Galian Dan Timbunan (KUBIKASI) ... 84

3.6.1 GALIAN ... 85

3.6.2 Timbunan ... 89

3.6.3 REKAPITULASI GALIAN DAN TIMBUNAN ... 92

BAB IV Penutup ... 93

4.1 Kesimpulan ... 93

4.2 Saran ... 94

Lampiran ... 93

(10)

X DAFTAR TABEL

Tabel 2.1.2.3 golongan medan klasifikasi jalan ... 5

Tabel 2.2.1 a lebar lajur ideal ... 8

Tabel 2.2.4 lebar median ... 10

Tabel 2.3.1 dimensi kendaraan... 13

Tabel 2.3.4.1 Dasar pengukur jarak pandang seuai standar Bina Marga ... 16

Tabel 2.3.4.2a Jarak Pandang Menyiap ... 16

Tabel 2.3.4.2b Panjang Jarak pandang menyiap (sumber: Bina Marga, 1997) .... 18

Tabel 2.3.5a Fungsi Jalan ... 18

Tabel 2.3.5b Panjang Jari-jari Minimum untuk emaks = 10% ... 19

Tabel 2.3.5.1 Kecepatan Rencana Dan Rata-rata Minimal ... 20

Tabel 2.3.5.2 Tikungan Spril Spiral ... 22

Tabel 2.3.5.3 Hubungan Jari-jari Radius dengan Kecepatan Rencana ... 23

Tabel 2.4 Rumus Galian Dan Timbunan ... 31

Tabel 3.4.1 Koordinat X Dan Y ... 34

Tabel 3.1.5a Kemiringan Memanjang ... 38

Tabel 3.1.5b Kemiringan Melintang ... 38

Tabel 3.1.5c Perhitungan Klasifikasi Medan Jalan ... 39

Tabel 3.1.8 Penentuan Kecepatan Rencana ... 42

Tabel 3.2.1.1 Kecepatan Rencana ... 46

Tabel 3.2.1.2 Klasifikasi Medan dan Besarnya Kelerengan Melintang ... 47

Tabel 3.2.2.1a Panjang Jari jari Minimum ... 51

Tabel 3.2.2.1b Panjang Lengkung Peralihan Minimum dan Superelevasi ... 52

Tabel 3.2.2.1c Besaran p’ Dan k’ ... 54

Tabel 3.2.2.1c Table Perencanaan... 66

Tabel 3.2.2.2 Stasioning ... 67

(11)

XI

Tabel 3.3.1 Kelandaian Maksimum ... 68

Tabel 3.3.2 Panjang Kritis ... 68

Tabel 3.3.3 Data Perencanaan Lengkung Vertikal... 69

Tabel 3.3.4 Stasioning ... 84

Tabel 3.6.1a Galian 1 ... 85

Tabel 3.6.1b Galian 2 ... 86

Tabel 3.6.1c Galian 3 ... 87

Tabel 3.6.1d Galian 4 ... 88

Tabel 3.6.2a Timbunan 1 ... 90

Tabel 3.6.2 b Timbunan 2 ... 91

Tabel 3.6.3 Rekapitulasi Galian dan Timbunan ... 92

(12)

XII DAFTAR GAMBAR

Gambar2.2.10a Penampang Melintang Jalan Tanpa Median... 12

Gambar 2.2.10b Penampang Melintang Jalan Dengan Median ... 12

Gambar 2.3.4.1 jarak pandang henti ... 15

Gambar 2.3.4.2 Panjang setiap komponen jarak pandang menyiap ... 18

Gambar 2.3.6.2 Bentuk Lengkung Vertikal Parabola ... 26

Gambar 2.4a Contoh Penampang galian dan timbunan ... 28

Gambar 2.4.2 Galian Dan Timbunan ... 30

Gambar 3.1.a Kontur ... 32

Gambar 3.1b Peta Topografi ... 32

Gambar 3.3 Rencana Trase ... 33

Gambar 3.1.7 Lebar Bahu Jalan ... 42

Gambar 3.6.1a Galian 1 ... 85

Gambar 3.6.1b Galian 2 ... 86

Gambar 3.6.1c Galian 3 ... 87

Gambar 3.6.1d Galian 4 ... 88

Gambar 3.6.2a Timbunan 1 ... 89

Gambar 3.6.2b Timbunan 2 ... 91

(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Seiring dengan bertambah majunya negara Indonesia yang sangat padat penduduknya baik di daerah satu ataupun daerah yang lain mengakibatkan bertambahnya banyaknya pula laju tranportasi di setiap daerah. Kenyamanan berkendara pun juga dapat dilihat dari aspek struktur jalannya. Jalan merupakan salah satu prasarana perhubungan darat yang mempunyai peranan penting bagi pertumbuhan perekonomian ,sosial budaya, pengembangan wilayah pariwisata, dan pertahanan keamanan untuk menunjang pembangunan nasional. Jalan sangat berpengaruh karena menjadi salah satu penunjang sarana transportasi bagi penduduk Indonesia. Dalam hal ini sarana dan prasarana transportasi adalah salah satu faktor yang utama. Untuk itu diperlukan pembangunan jaringan jalan yang memadai agar mampu memberikan pelayanan yang optimal sesuai dengan kapasitas yang diperlukan.

Jalan juga dapat berpengaruh dalam aktifitas sehari-hari masyarakat karena jalan merupakan fasilitas transportasi yang paling sering digunakan oleh sebagian masyarakat. Maka dari itu, untuk meningkatkan pelayanan transportasi yang lebih baik, aman, dan nyaman perencanaan jalan raya serta bentuk geometrik harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga memberikan pelayanan yang optimal. Pada tahap awal prasarana jalan adalah membuka daerah terpencil, daerah yang terisolisasi serta membuka aksesibilitas bagi daerah tersebut dalam berhubungan dengan daerah lain. Dalam lingkup perencanaan geometrik jalan ini, tidak termasuk perencanaan tebal perkerasan jalan, walaupun perkerasan merupakan bagian dari perencanaan geometrik sebagai bagian dari perencanaan jalan. Tujuan dari perencanaan geometrik adalah menghasilkan infrastruktur yang aman, pelayanan lalu lintas yang efisien, dan memaksimalkan ratio tingkat penggunaan/biaya pelaksanaan. Suatu jalan dikatakan baik, jika bisa memberikan rasa aman, nyaman, dan teratur arus lalu lintasnya.

Namun, seiring berkembangnya waktu ilmu pengetahuan dan teknologi juga semakin berkembang. Dalam hal perencanaan konstruksi jalan raya termasuk perencanaan geometrik jalan Pemakaian program Autocad Civil 3D dalam

(14)

2 perencanaan geometrik jalan sangat diperlukan karena mempunyai manfaat, diantaranya dapat mengefisiensi waktu perencanaan karena hanya membutuhkan satu kali penginputan data ukur jalan ataupun kontur topografi untuk kemudian di desain sesuai kebutuhan. Desain yang dapat dilakukan secara berkala juga berpengaruh pada tinggi rendahnya biaya pekerjaan galian timbunan karena perencana dapat memilih desain dengan biaya yang paling ekonomis tanpa mengesampingkan faktor kenyamanan pengendara. Penggunaan program kini menjadi pilihan karena memiliki tingkat ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan perhitungan manual. Oleh karena itu, untuk merencanakan suatu pembangunan jalan maka kita diharuskan untuk bisa memahami materi geometri jalan, sehingga dibuatlah dalam bentuk laporan geometri jalan ini.

1.2 Tujuan

1. Mahasiswa mampu mempelajari dan menerapkan dasar perencanaan geometrik jalan.

2. Mahasiswa mampu memahami parameter suatu perencanaan geometri jalan yang sesuai dengan standar.

3. Mahasiswa mampu mengenal dan memahami pemakaian program Autocad Civil 3D untuk mendukung perencanaan geometrik jalan.

(15)

3 BAB II

KAJIAN TEORI 2.1 Dasar Geometrik Jalan Dan Klasifikasi Jalan

2.1.1 Dasar Geometri Jalan

Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap jalan, dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (UU RI No. 38 Tahun 2004).

Perencanaan geometrik baru dikenal di Indonesia sekitar pertengahan tahun 1960 kemudian mengalami perkembangan yang cukup pesat sejak tahun 1980. Dalam buku ini diuraikan perencanaan geometrik jalan khususnya untuk Jalan Baru Antar Kota (rural road) sesuai dengan “Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota” (Dirjen Bina Marga, 1997). Untuk hal-hal khusus yang belum ada ketentuan dari Dirjen Bina Marga, digunakan ketentuan AAHSTO dan lainnya.

2.1.2 Klasifikasi Jalan

Menurut UU No 38 tahun 2004 tentang jalan, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu-lintas, yang berada pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan dan/atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. Ruas Jalan akan terhubung satu dan lainnya membentuk syatem jaringan.

2.1.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi

Jalan raya dapat digolongkan dalam klasifikasi berdasarkan fungsinya yang mana mencakup dua golongan meliputi :

1. Jalan arteri

Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.

2. Jalan kolektor

(16)

4 Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.

3. Jalan lokal

Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

4. Jalan lingkungan

Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.

2.1.2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan

Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan klasifikasi menurut fungsi jalan (Pasal 11 PP No.43/1993), sebagai berikut:

1. Jalan kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan lebih besar dari 10 ton.

2. Jalan kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10 ton.

3. Jalan kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton.

4. Jalan kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton.

5. Jalan kelas III C, yaitu jalan lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 milimeter,

(17)

5 ukuran panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8 ton.

2.1.2.3 Klasifikasi Jalan Menurut Medan Jalan

Klasifikasi perhitungan rata-rata dari ketinggian muka tanah lokasi rencana, maka dapat diketahui lereng melintang yang digunakan untuk menentukan golongan medan klasifikasi jalan berdasarkan medan jalan dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.1.2.3 golongan medan klasifikasi jalan

No. Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)

1 Datar D < 3

2 Perbukitan B Mar-25

3 Pegunungan G >25

(Sumber : Peraturan Perencanaan Geometri Jalan Raya, 1970)

2.1.2.4 Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaan

Jalan raya dapat digolongkan dalam klasifikasi berdasarkan pengawasan dan pendanaan yang mana mencakup beberapa golongan meliputi :

1. Jalan nasional; Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol.

2. Jalan provinsi; Jalan provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.

3. Jalan kabupaten; Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk dalam jalan nasional dan jalan provinsi, yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem

(18)

6 jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.

4. Jalan kota; Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan sekunder yang menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antara persil, serta menghubungkan antarpusat permukiman yang berada di dalam kota.

5. Jalan desa; Jalan desa merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan 2.1.3 Jalan Umum berdasarkan statusnya

Jalan Nasional, merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol.

1. Jalan Provinsi, merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/ kota, atau antaribukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.

2. Jalan Kabupaten, merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.

3. Jalan Kota, adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan antarpusat permukiman yang berada di dalam kota.

4. Jalan Desa, merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antarpermukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.

2.1.4 Pengaturan kelas jalan

Pengaturan kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan dikelompokkan atas jalan bebas hambatan, jalan raya, jalan sedang, dan jalan kecil.(Permen 19 tahun 2011)

(19)

7 Guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran lalu-Lintas dan Angkutan Jalan, Jalan Umum berdasarkan UU No 22/2009 Tentang Lalu- Lintas dan Angkutan Jalan, dikelompokkan atas :

1. Jalan Kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan MST kurang/sama dengan 10 ton.

2. Jalan Kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, local dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan MST 8 Ton dengan lebar kendaraan kurang dari 2500 mm.

3. Jalan Kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, local dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan MST 8 Ton dengan lebar kendaraan kurang dari 2100 mm.

4. Jalan Kelas Khusus, yaitu Jalan Arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan MST lebih dari 10 ton.

2.1.5 Bagian-bagian jalan 1. Ruang manfaat jalan

Ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya.

2. Ruang Milik Jalan

Ruang milik jalan sebagaimana dimaksud meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan

3. Ruang Pengawasan Jalan

Ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan.

2.2 Penampang Melintang Jalan

Penampang melintang jalan merupakan potongan melintang tegak lurus sumbu jalan. (Silvia Silvia Sukirman, 1994 : 21). Pada penampang melintang jalan dapat dilihat bagian-bagian yang terdiri dari:

2.2.1 Jalur lalu lintas

Jalur lalu lintas (travelled way = carriage way) adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukan untuk lalu lintas kendaraan. Jalur lalu lintas

(20)

8 terdiri dari beberapa lajur (lane) kendaraan sehingga lebar jalur lalu lintas sangat ditentukan oleh jumlah dan lebar lajur peruntukannya. Lajur kendaraan yaitu bagian dari jalur lalu lintas yang khusus diperuntukan untuk dilewati oleh satu rangkaian kendaraan beroda empat atau lebih dalam satu arah (Silvia Silvia Sukirman, 1994 : 22). Lebar lajur jalan ideal berdasarkan Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, No.038 Tahun1997 dapat dilahat pada tabel berikut

Tabel 2.2.1 a lebar lajur ideal

Fungsi Kelas Lebar Lalur Ideal (m)

Arteri I, II, IIIA

3.75 3.50

Kolektor IIIA, IIIB 3.00

Lokal IIIC 3

(Sumber : Departemen Pekerjaan Umum Direktoral Jendral Bina Marga, 1997)

Jumlah lajur kendaraan ditetapkan dengan mengacu kepada MKJI berdasarkan tingkat kinerja yang direncanakan, di mana untuk suatu ruas jalan dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih dari 0,8. Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, No.038 Tahun1997 untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pada alinyemen lurus memerlukan kemiringan melintang normal sebagai berikut:

• 2–3% untuk lapisan permukaan menggunakan bahan pengikat aspal atau beton

• 4-5% untuk jalan dengan lapisan permukaan belum mempergunakan bahan pengikat seperti jalan kerikil.

2.2.2 Bahu Jalan

Bahu jalan adalah jalur yang terletak berdampingan dengan Jalur lalu lintas yang berfungsi sebagai:

(21)

9 1. Ruangan untuk tempat berhenti sementara kendaraan yang mogok atau yang sekedar berhenti karena pengemudi ingin berorientasi mengenai jurusan yang akan ditempuh, atau untuk beristirahat.

2. Ruangan untuk menghindarkan diri pada saat-saat darurat, sehingga dapat mencegah terjadinya kecelakaan.

3. Memberikan kelegaan pada pengemudi, dengan demikian dapat meningkatkan kapasitas jalan yang bersangkutan.

4. Memberikan sokongan pada konstruksi perkerasan jalan dari arah samping.

5. Ruangan pembantu pada waktu mengadakan pekerjaan perbaikan atau pemeliharaan jalan (untuk tempat penempatan alat-alat, dan penimbunan bahan material).

6. Ruangan untuk lintasan kendaraan-kendaraan patroli, ambulans, yang sangat dibutuhkan pada keadaan darurat seperti terjadinya kecelakaan.

2.2.3 Trotoar

Trotoar adalah jalur yang terletak berdampingan dengan jalur lalu lintas yang khusus dipergunakan untuk pejalan kaki (pedestrian). Untuk keamanan pejalan kaki maka trotoar ini harus dibuat terpisah dari jalur lalu lintas oleh struktur fisik berupa kereb.

Perlu atau tidaknya trotoar disediakan sangat tergantung dari volume pedestrian dan volume lalu lintas pemakai jalan tersebut. Lebar trotoar yang dibutuhkan ditentukan oleh volume pejalan kaki, tingkat pelayanan pejalan kaki yang diinginkan, dan fungsi jalan. Untuk itu lebar 1,5 - 3,0 m merupakan nilai yang umum dipergunakan.

2.2.4 Median

Median adalah jalur yang terletak ditengah jalan yang secara fisik memisahkan dua jalur lalu lintas yang berlawanan arah. Secara fisiknya median dapat dibedakan atas median yang diturunkan (depressed), median 14 yang ditinggikan (raised) dan median datar (flush). Lebar median bervariasi antara 1,0–

2,0 m.

(22)

10 Tabel 2.2.4 lebar median

(Sumber : Departemen Pekerjaan Umum Direktoral Jendral Bina Marga, 1997)

Keterangan :

**) = mengacu pada persyaratan ideal

*) = 2 jalur terbagi - = tidak ditentukan

Adapun fungsi dari median menurut Silvia Silvia Sukirman (1994 : 29):

1. Menyediakan daerah netral yang cukup lebar dimana pengemudi masih dapat mengontrol kendaraannya pada saat-saat darurat.

2. Menyediakan jarak yang cukup untuk membatasi/mengurangi kesilauan terhadap lampu besar dari kendaraan yang berlawanan arah.

3. Menambah rasa kelegaan, kenyamanan dan keindahan bagi setiap pengemudi.

4. Mengamankan kebebasan samping dari masing-masing arah lalu lintas 2.2.5 Saluran Samping

Saluran Samping dibuat untuk mengendalikan air pada permukaan jalan akibat air hujan dan bertujuan untuk memelihara agar jalan tidak tergenang air.

Umumnya bentuk saluran samping berupada trapezium atau empat persegi

(23)

11 panjang yang besarnya disesuaikan dengan debit air yang diperkirankan mengaliri saluran tersebut.

2.2.6 Kereb

Kereb adalah penonjol atau peninggian tepi perkerasan atau bahu jalan, yang terutama dimaksudkan untuk keperluan drainase, mencegah keluarnya kendaraan dari tepi perkerasan dan memberikan ketegasan tepi perkerasan (Silvia Silvia Sukirman, 1999 : 31). Penggunaan kereb umumnya pada daerah perkotaan.

2.2.7 Lapisan Perkerasan Jalan

Lapisan perkerasan jalan adalah lapisan konstruksi yang dibangun diatas lapisan tanah dasar (subgrade) yang berfungsi menanggung beban lalulntas , dapat dibedakan atas lapisan permukaan, lapisan pondasi atas, lapisan pondasi bawah dan lapisan tanah dasar.

2.2.8 Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA)

Ruang manfaat jalan (RUMAJA) adalah daerah yang meliputi seluruh badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengaman. Damaja diperuntukkan bagi median perkerasan jalan, separator, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman dan tidak boleh dimanfaatkan untuk prasarana perkotaan lainnya. Daerah manfaat jalan (Rumaja) dibatasi oleh:

• Lebar antara batas ambang pengaman konstruksi jalan dikedua sisi jalan.

• Tinggi 5 meter diatas permukaan perkerasan pada sumbu jalan.

• Kedalaman ruang bebas 1,5 meter dibawah muka jalan.

2.2.9 Ruang Milik Jalan (RUMIJA)

Ruang milik jalan (RUMIJA) adalah yang dibatasi oleh lebar yang sama dengan rumaja ditambah ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi 5 m dan kedalaman 1,5 m.

2.2.10 Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA)

Ruang pengawasan jalan (RUWASJA) adalah sejalur tanah tertentu sepanjang jalan diluar RUMIJA yang penggunaannya diawasi Pembina Jalan.

DAWASJA dibatasi oleh tinggi dan lebar tertentu, dengan ketentuan diukur dari

(24)

12 tepi jalur luar perkerasan Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, No.038 Tahun1997 sebagai berikut:

• Jalan arteri minimum 20 meter

• Jalan kolektor minimum 15 meter

• Jalan lokal minimum 10 meter

Untuk keselamatan pengguna jalan Ruwasja didaerah tikungan ditentukan oleh jarak pandang bebas.

Gambar2.2.10a Penampang Melintang Jalan Tanpa Median

Gambar 2.2.10b Penampang Melintang Jalan Dengan Median 2.3 Parameter Perencanaan Geometrik Jalan

2.3.1 Kendaraan Rencana

Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Kendaraan bermotor yang melalui jalan Raya terdiri dari beragam jenis bentuk, dimensi dan dayanya yang

(25)

13 pada dasarnya dapat dikelompokkan atas kelompok Kendaraan Bermotor dan kendaraan tidak bermotor. Kendaraan bermotor dapat dikelompokkan atas mobil penumpang, bis, angkutan barang, dll. Ragam jenis ukuran, dimensi, bentuk kendaraan bermotor maupun kendaraan tidak bermotor, untuk memudahkan melakukan desain geometrik jalan, maka perlu ditentukan satu jenis kendaraan rencana yang kemudian akan mendasari desain geometrik jalan. Sifat dan karakteristik dari semua jenis kendaraan ini, akan diwakili oleh kendaraan rencana pada waktu desainer menetapkan bagian-bagian jalan, lebar lajur kendaraan, jari- tikungan, kelandaian geometrik serta lebar median apabila diperlukan tempat untuk memutar (U-Turn). Adapun dimensi kendaraan rencana dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.3.1 dimensi kendaraan

(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Antar Kota, Departemen PU, Ditjen Bina Marga, 1997)

2.3.2 Volume Lalu Lintas

Volume lalu-lintas harian rata-rata (VLHR), adalah perkiraan volume lalu- lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas yang dinyatakan dalam satuan mobil penumpang per hari (smp/hari). Volume lalu-Lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi satu titik pengamatan selama satu satuan waktu (kendaraan/hari, kend/jam).

2.3.3 Kecepatan

Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh kendaraan dibagi waktu tempuh yang dinyatakan dalam Km/Jam. Kecepatan kendaraan dibedakan:

Radius Tonjolan (cm) Tinggi Lebar Panjang Depan Belakan

g Min. Maks.

Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780

Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410

Besar 410 260 2100 120 90 290 1400 1370

Radius Putar (cm) Kategori

Kendaraan Rencana

Dimensi Kendaraan (cm)

Tonjolan (cm)

(26)

14 1. Kecepatan sesaat (spot speed) yaitu kecepatan yang diukur disuatu tempat

dalam sesaat

2. Kecepatan gerak yaitu kecepatan yang dari hasil bagi antara jarak dengan lama bergerak kendaraan

3. Kecepatan perjalanan yaitu kecepatan yang dihitung dari hasil bagi anatara jarak dengan lam menempuh termasuk tundaan yang terjadi.

2.3.4 Jarak Pandang

Jarak pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi pada saat mengemudi sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan yang membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghindari bahaya tersebut dengan aman. Jarak pandang akan sangat mempengaruhi desainer didalam menetapkan kecepatan rencana. Jarak pandang (slight distance) adalah panjang bagian jalan disepan pengendara kendaraan yang masih dapat dilihat dengan jelas yang diukur dari titik kedudukan pengendara tersebut dan harus ditentukan oleh desainer dalam batas yang cukup sehingga pengendara masihdalam batas toleransi pengendalian kendaraan agar terhindar dari timbulnya kecelakaan. Jarak pandang dipengaruhi oleh 3 faktor penting yaitu:

• Waktu PIEV yaitu Preeption Time, Intellection Process, Emotion Process, dan Volution

• Waktu untuk menghindri keadaan bahaya

• Kecepatan kendaraan Jarak pandang terdiri dari :

2.3.4.1 Jarak Pandang Henti (Jh)

Jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi unuk menghentikan kendaraannnya dengan aman saat melihat adanya halangan didepan. Jarak pandang henti diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan 15 cm diukur dari permukaan jalan. Dalam perencanaan jarak pandang henti harus lebih besar daripada jarak pandang henti minimum. Jarak pandang Henti terdiri dari komponen Jarak Tanggap (Jht) dan jarak Pengereman (Jhr)

(27)

15 Gambar 2.3.4.1 jarak pandang henti

Jarak Tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak pengemudi sadar melihat adanya halangan yang menyebabkan harus berhenti sampai pengemudi menginjak rem (waktu PIEV). AASHTO merekomendasikan waktu tanggap adalah 2,5 detik.

Jarak Pengereman (Jhr) adalah jarak yang diperlukan untuk menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti. Jarak pengereman ini dipengaruhi oleh tekanan angin Ban, jenis ban, type Ban, system pengereman, permukaan perkerasan dan kelembaban permukan jalan. AASHTO 2004 menyarankan menggunakan nilai perlambatan kendaraan sebesar 3,4 m/detik² untuk penentuan Jarak pandang Henti.

t = 2,5 detik a = 3,4 m/det²,

maka Jarak Henti Jh adalah : Jh = 0,695 V + 0,011471 V²

Untuk desain jalan Perkotaan, Bina marga merujuk pada AASHTO 2004.

Tabel jarak pandang henti berdsarkan berbagai pedoman

(28)

16 Tabel 2.3.4.1 Dasar pengukur jarak pandang seuai standar Bina Marga

2.3.4.2 Jarak pandang menyiap (Js)

Jarak Pandang Menyiap adalah jarak yang memungkinkan kendaraan menyiap kendaraan lain didepannya dengan aman hingga kendaraan tersebut kembali pada lajurnya semula. Jarak pandang menyiap diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm ( 50 cm tinggi Jok dan 55 cm tinggi mata orang posisi duduk) dan tinggi halangan adalah 105 cm.

Tabel 2.3.4.2a Jarak Pandang Menyiap

Pada perencanaan geometrik terkait dengan jarak pandang menyiap, perencana perlu memperhatikan 2 hal penting berikut :

A. Frekuensi Pengadaan Jarak pandang Menyiap.

Kecepatan (Km/Jam)

AASHTO 2004 (m)

Bina Marga No.038/T/BM/1997 (m)

RSNI T 14- 2004 (m)

20 20 16

30 35 27 35

40 50 40 50

50 65 55 65

60 85 75 85

70 105 105

80 130 120 130

90 160 160

100 185 175 185

110 220

120 250 250

(29)

17 Menurut Bina mrga (1997) jalan luar kota disarankan minimal 30% dari keseluruhan panjang jalan perlu tersedia jarak pandang menyiap. Artinya daerah menyiap harus tersebar disepanjang jalan dengan jumlah panjang minimum 30

% dari total panjang ruas jalan tersebut. Pertimbangan ini sesuai prinsip effisiensi antara pemenuhan jarak pandang menyiap dan biaya pembangunan jalan sesuai fungsinya.

B. Jarak pandang Pada Malam Hari.

Dipengaruhi oleh kuat sinar, tinggi lampu besar, sifat pantulan benda. Pada malam hari jarak pandang henti masih penting, sedangkan jarak pandang menyiap tidak karena pengaruh silau lampu bear dari kendaraan arah lawan.

Jarak Pandang Menyiap (Js) terdiri dari 4 komponen :

d₁ = Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m). Berdasarkan waktu PIEV.

d₂ = Jarak yang ditempuh selama menyiap sampai kembali ke jalur semula (m).

d₃ = Jarak antara kendaraan yang menyiap dengan kendaraan yang dating dari arah berlawanan setelah proses menyiap selesai (m), antara 30 – 100 meter.

d₄ = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang dating dari arah berlawanan, yang besarnya diambil sama dengan 2/3 d₂ (m).

Sehingga : Jm = d₁ + d₂ + d₃ + d₄

AASHTO dan Bina Marga memberikan petunjuk untuk kebutuhan desain geometrik jalan. Pada gambar dibawah ini AASHTO 2004 menunjukkan panjang setiap komponen jarak pandang mmenyiap sesuai dengan kecepatan kendaraan ketika mendahului. Pada Tabel dibawah juga menunjukkan Panjang jarak Pandang Menyiap menurut Bina Marga (1997)

(30)

18 Gambar 2.3.4.2 Panjang setiap komponen jarak pandang menyiap Berikut ini adalah tabel jarak pandang menyiap

Tabel 2.3.4.2b Panjang Jarak pandang menyiap (sumber: Bina Marga, 1997)

2.3.5 Alinyemen Horizontal

Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal.

Alinyemen horizontal dikenal juga dengan nama “situasi jalan” atau “trase jalan”.

Alinyemen horizontal terdiri dari garis-garis lurus yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung. Garis lengkung tersebut dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah dengan lengkung peralihan saja ataupun busur lingkaran saja (Silvia Sukirman, 1999 : 67). Dalam perencanaan garis lurus atau bagian jalan yang lurus perlu dipertimbangkan keselamatan pemakai jalan akibat kelelahan pengemudi dimana panjang maksimum bagian jalan yang lurus harus ditempuh dalam waktu

≤ 2,5 menit (sesuai Vr). Nilai panjang bagian lurus maksimum dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.3.5a Fungsi Jalan Vr

(Km/Jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Js (m) 800 670 550 350 250 200 150 100

Datar Bukit Gunung

Arteri 3000 2500 2000

Kolektor 2000 1750 1500

Fungsi Jalan

Panjang Bagian Lurus Maksimum ( m )

(31)

19 (Sumber : Departemen Pekerjaan Umum Direktoral Jendral Bina Marga, 1997)

Pada saat kendaraan melalui daerah tikungan akan terjadi gesekan arah melintang jalan antara ban kendaraan dengan permukaan aspal yang menimbulkan gaya gesekan melintang dengan gaya normal disebut koefisien gesekan melintang.

Untuk menghindari terjadinya kecelakaan, maka untuk kecepatan tertentu ditentukan jari-jari minimum untuk superelevasi maksimum dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.3.5b Panjang Jari-jari Minimum untuk emaks = 10%

(Sumber : Departemen Pekerjaan Umum Direktoral Jendral Bina Marga, 1997)

Pada perencanaan garis-garis lengkung peralihan atau tikungan perlu dilakukan perhitungan kemiringan melintang jalan atau superelevasi, karena pada tikungan akan bekerja gaya yang dapat mendorong kendaraan secara radial keluar jalur yang disebut gaya sentrifugal. Superelevasi bertujuan untuk memperoleh komponen berat kendaraan untuk mengimbangi gaya sentrifugal. Semakin besar superelevasi, semakin besar komponen berat kendaraan yang diperoleh Silvia Sukirman (1999 : 71-72) menyatakan superelevasi maksimum (ep) yang dapat dipergunakan pada suatu jalan raya dibatasi oleh beberapa keadaan sebagai berikut:

1. Keadaan cuaca.

2. Jalan yang berada didaerah yang sering turun hujan.

3. Keadaan medan jalan. Daerah datar memiliki nilai superelevasi maksimum lebih tinggi daripada daerah perbukitan.

4. Keadaan lingkungan, perkotaan (urban) atau luar kota (rural). Superelevasi maksimum sebaiknya lebih kecil diperkotaan daripada luar kota.

5. Komposisi jenis kendaraan dari arus lalulintas.

Dengan nilai-nilai epenuh (ep) :

Untuk daerah licin atau berkabut, ep = 8%.

VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Rmin (m) 600 370 210 110 80 50 30 15

(32)

20 Daerah perkotaan, ep = 4-6 %

Dipersimpangan, ep sebaiknya rendah, bahkan tanpa superelevasi

American Association of State Highway and Transportation Officials (AASHTO) menganjurkan, jalan luar kota untuk V rencana= 30 km/jam emaks = 8%, V rencana > 30 km/jam emaks = 10%

Bina Marga menganjurkan, e maks untuk jalan perkotaan= 6%

Adapun panjang lengkung peralihan (Ls) minimum dan superelevasi yang dibutuhkan berdasarkan Metode Bina Marga dapat dilihat pada tabel diatas.

Desain alinyemen horizontal sangat dipengaruhi oleh kecepatan rencana yang ditentukan berdasarkan tipe dan kelas jalan. Menurut Silvia Sukirman (1999 : 120) ada 3 bentuk lengkung horizontal atau tikungan, yaitu :

2.3.5.1 Tikungan Full Circle

Tikungan Full Circle adalah jenis tikungan yang hanya terdiri dari bagian suatu lingkaran saja. Tikungan Full Circle hanya digunakan untuk R (jari-jari tikungan) yang besar agar tidak terjadi patahan, karena dengan R kecil maka diperlukan superelevasi yang besar (Shirley L. Hendarsin, 2000 : 96). Jari-jari tikungan untuk tikungan jenis Full Circle ditunjukkan pada Tabel 2.3.5.1 berikut:

Tabel 2.3.5.1 Kecepatan Rencana Dan Rata-rata Minimal

(Sumber: Departemen Pekerjaan Umum Direktoral Jendral Bina Marga, 1997)

Rumus yang digunakan pada perencanaa tikungan Full Circle : Tc = R . tan ½ ∆

Ec = Tc . tan ¼ ∆ Lc = 𝜋

180. ∆ . R Dimana:

Vr (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Rmin (m) 2500 1500 900 500 350 250 130 660

(33)

21

∆ = Sudut tangen (° ).

T = Panjang tangen jarak dari TC ke P1 ke CT (m).

Rc = Jari-jari lingkaran (m).

Ec = Panjang luar P1 ke busur lingkaran (m).

Lc = Panjang busur lingkaran (m) 2.3.5.2 Tikungan Spriral-Spriral

Tikungan ini merupakan tikungan yang terdiri dari lengkung horizontal berbentuk spiral-spiral tanpa busur lingkaran, sehinnga titik SC berimpit dengan titik CS. (Silvia Sukirman, 1999 : 134). Adapun ketentuan dan rumus yang digunakan untuk jenis tikungan spiral- spiral adalah sebagai berikut:

Lc = 0 θs = ∆/2 Ls = θ s R

28,648 atau Ls = θ s πR

90 Ts = (R + p).tan

2 + k Es = (R + p). sec

2 – R Ltot = 2 Ls

p = p’× Ls;

k = k’× Ls dengan nilai p’ dan k’ diambil dari tabel dibawah Dimana:

Ls = panjang lengkung peralihan (jarak TS-SC atau CS-ST), (m) Lc = panjang busur lingkaran (jarak SC-CS), (m)

∆ = sudut tikungan, (⁰)

θs = sudut lengkung spiral, (⁰) R = jari-jari tikungan, (m)

(34)

22 p = pergeseran tangen terhadap spiral, (m)

k = absis p pada garis tangen spiral, (m) Ltot = panjang tikungan SS, (m)

Tabel 2.3.5.2 Tikungan Spril Spiral

2.3.5.3 Tikungan Spriral-Circle-Spriral

Tikungan ini terdiri dari bagian lingkaran (circle) dan dua lengkung peralihan (Spiral) yang diletakan sebelum dan sesudah busur lingkaran.

Lengkung peralihan dibuat untuk menghindari terjadinya perubahan alinyemen yang tiba-tiba dari bentuk lurus ke bentuk lingkaran (Shirley L. Hendarsin, 2000 : 96). Panjang lengkung peralihan (Ls), menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1997, diambil nilai terbesar dari tiga persamaan dibawah ini:

(35)

23 Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi lengkung peralihan ,maka panjang lengkung:

𝐿𝑠 = 𝑉𝑅

3.6 𝑥 T

Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal 𝐿𝑠 = 0.022𝑉𝑅3

𝑅𝐶𝐶 − 2.727 𝑉𝑅−𝑒

𝐶

Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian 𝐿𝑠 = 𝑒𝑚−𝑒𝑛

3.6𝑇𝑒𝑥 𝑉R

Berdasarkan Hubungan Jari-jari Radius dengan Kecepatan Rencana

Ls dapat ditetapkan berdasarkan tabel hubungan antara jari-jari radius dengan kecepatan rencana yang akan ditunjukkan pada Tabel berikut

Tabel 2.3.5.3 Hubungan Jari-jari Radius dengan Kecepatan Rencana

Dimana:

T = waktu tempuh = 3 detik.

VR = kecepatan rencana (km/jam) e = superelevasi

(36)

24 C = perubahan percepatan, 0,3 – 1,0 disarankan 0,4 m/det2

Rc = jari- jari busur lingkaran (m) em = superelevasi maksimum en = superelevasi normal

𝛤𝑒 = tingkat pencapaian perubahan kemiringan melintang jalan Untuk VR ≤ 70 km/jam nilai 𝛤𝑒 mak = 0,035 m/m/det

Untuk VR ≤ 80 km/jam nilai 𝛤𝑒 mak = 0,025 m/m/de 2.3.6 Alinyemen Vertikal

Alinyemen vertikal adalah perencanaan elevasi sumbu jalan pada setiap titik yang ditinjau, berupa profil memanjang jalan (Shirley L. Hendarsin, 2000 : 113).

Alinyemen vertikal disebut juga penampang memanjang jalan yang terdiri dari garis-garis lurus dan garis-garis lengkung, garis lurus dapat datar, mendaki atau menurun dengan kelandaian tertentu yang dinyatakan dalam persen. Pada perencanaan alinyemen vertikal akan ditemui kelandaian positif (tanjakan) dan kelandaian negatif (turunan), sehingga kombinasinya berupa lengkung cembung dan lengkung cekung, disamping kedua lengkung tersebut ditemui juga kelandaian = 0 (datar) Menurut Silvia Sukirman (1994 : 154) perencanaan alinyemen vertikal sangat dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan seperti : − Kondisi tanah dasar − Keadaan medan − Fungsi jalan 61 − Muka air banjir − Muka air tanah − Kelandaian yang masih memungkinkan Pada umumnya gambar rencana suatu profil memanjang jalan dibaca dari kiri ke kanan, sehingga landai jalan diberi tanda positif untuk pendakian dari kiri ke kanan, dan landai negatif untuk penurunan dari kiri ke kanan. Pendakian dan penurunan yang terjadi memberikan pengaruh terhadap gerak kendaraan.

2.3.6.1 Kelandaian 1. Kelandai minimum

Hampir seluruh kendaraan penumpang dapat berjalan dengan baik dengan kelandaian 7-8% tanpa ada perbedaan dibandingkan pada bagian datar,

(37)

25 sedangkan untuk truk akan lebih besar pengaruhnya. Kelandaian minimum ditinjau dari kepentingan drainase jalan.

2. Landai maksimum Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk menjaga agar kendaraan dapat bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang bearti. Kelandaian meksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh dan mampu bergerak, dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah.

3. Panjang kritis suatu kelandaian

Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatan sedemikian rupa, sehingga penurunan kecepatan yang terjadi tidak lebih dari separuh kecepatan rencana (Vr). Lama perjalanan tersebut ditetapkan tidak lebih dari satu menit

4. Lajur pendakian

Pada lajur jalan dengan rencana volume lalu lintas tinggi, maka kendaraan berat akan berjalan pada lajur pendakian dengan kecepatan dibawah kecepatan rencana (Vr), sedangkan kendaraan lainnya masih dapat bergerak dengan kecepatan rencana. Dalam hal ini sebaiknya dipertimbangkan untuk membuat lajur tambahan di sebelah kiri lajur jalan dengan ketentuan untuk jalan baru menurut MKJI atau TPGJAK

2.3.6.2 Lengkung Vertikal

Bentuk lengkung vertikal adalah parabola dengan asumsi sederhana sehingga elevasi sepanjang lengkung dapat diperkirakan panjangnya.

Kelandaian menaik diberi tanda (+) dan kelandaian menurun diberi tanda (-) ketentuan pendakian atau penurunan ditinjau dari kiri ke kanan.

(38)

26 Gambar 2.3.6.2 Bentuk Lengkung Vertikal Parabola

Keterangan :

PPV = titik perpotongan kelandaian g1 dan g2 PLV = titik awal lengkung parabola.

PTV = titik akhir lengkung parabola.

g = kemiringan tangen ; (+) naik; (-) turun.

Ev = pergeseran vertikal titik tengah busur lingkaran (PV1 - m) meter.

Lv = panjang lengkung vertikal

x = jarak dari titik PLV ke titik yang ditinjau

y’ = besarnya penyimpangan/defleksi (jarak vertikal) antara garis kemiringan dengan lengkungan

2.3.7 Koordinasi Alinyemen

Menurut Shirley L. Hendarsin (2000: 124-125) koordinasi alinyemen pada perencanaan teknik jalan, diperlukan untuk menjamin suatu perencanaan teknik jalan raya yang baik dan menghasilkan keamanan serta rasa nyaman bagi pengemudi kendaraan (selaku pengguna jalan) yang melalui jalan tersebut.

Maksud koordinasi dalam hal ini yaitu penggabungan beberapa elemen dalam perencanaan geometrik jalan yang terdiri dari perencanaan alinyeman horizontal, alinyemen vertikal dan potongan memanjang dalam suatu paduan sehingga menghasilkan produk perencanaan teknik sedemikian yang memenuhi unsur aman, nyaman, dan ekonomis. Beberapa ketentuan atau syarat sebagai panduan yang dapat digunakan untuk proses koordinasi alinyemen, sebagai berikut:

1. Alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal terletak pada satu fase, dimana alinyemen horizontal sedikit lebih panjang dari alinyemen vertikal.

2. Tikungan tajam yang terletak di atas lengkung vertikal cembung atau di bawah lengkung vertikal cekung harus dihindarkan, karena hal ini akan menghalangi pandangan mata pengemudi pada saat memasuki tikungan pertama dan juga jalan terkesan putus.

(39)

27 3. Pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang, sebaiknya tidak dibuat lengkung vertikal cekung, karena pandangan pengemudi akan terhalang oleh puncak alinyemen vertikal, sehingga sulit untuk memperkirakan alinyemen dibalik puncak tersebut.

4. Lengkung vertikal dua atau lebih pada satu lengkung horizontal, sebaiknya dihindarkan.

5. Tikungan tajam yang terletak diantara bagian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan

2.4 Galian Timbunan

Galian dan Timbunan adalah pemindahan sejumlah volume tanah akibat adanya perbedaaan ketinggian (ketinggian muka tanah asli dengan ketinggian rencana trase) di suatu tempat. Galian dan timbunan (Cut and Fill) biasanya dilakukan pada pekerjaan pembuatan jalan, bendungan, bangunan, dan reklamasi.

Galian dan timbunan dapat diperoleh dari peta situasi yang dilengkapi dengan garis-garis kontur atau diperoleh langsung dari lapangan melalui pengukuran sipat datar profil melintang sepanjang koridor jalur proyek atau bangunan. Galian dan timbunan dapat diperoleh dari peta situasi dengan metode penggamba ran profil melintang sepanjang jalur proyek atau metode grid-grid (griding) yang meninjau galian dan timbunan dari tampak atas dan menghitung selisih tinggi garis kontur terhadap ketinggian proyek ditempat perpotongan garis kontur dengan garis proyek.

Galian dan timbunan berdimensi volume(meterkubik). Volume dapat diperolehsecara teoritis melalui perkalian luas denganpanjang. Galian dan timbunan untukkeperluan teknik sipil dan perencanaandiperoleh melalui perolehan luas rata- ratagalian atau timbunan didua buah profil melintang yang dikalikan dengan jarakmendatar antara kedua profil melintang tersebut

Galian adalah pekerjaan menggali tanah untuk keperluan badan jalan yg bertujuan untuk mendapatkan desain atau bentuk badan jalan yang sesuai dengan elavasi yang direncanakan.

(40)

28 Timbunan adalah pekerjaan mengurug tanah untuk keperluan badan jalan yang bertujuan untuk mendapatkan desain atau bentuk badan jalan yang sesuai dengan elavasi yang direncanakan.

Teknologi pengukuran dan pemetaan yang digunakan saat ini sudah sangat berkembang.Survei lapangan dapat diperoleh secara cepat dan tepat menggunakan perlatan seperti: Total Station atau GPS (Global Positioning System) dan diikutioleh sistem perekaman data yang dapatlangsung diolah oleh komputer dan dengan menggunakan berbagai macam perangkat lunak CAD dapat langsung disajikan informasi grafis beserta luas dan nulai galian timbunannya

Gambar 2.4a Contoh Penampang galian dan timbunan

2.4.1 Macam macam timbunan 1. Timbunan biasa

Timbunan biasa, adalah timbunan atau urugan yang digunakan untuk pencapaian elevasi akhir subgrade yang disyaratkan dalam gambar perencanaan tanpa maksud khusus lainnya. Timbunan biasa ini juga digunakan untuk penggantian material existing subgrade yang tidak memenuhi syarat. Bahan timbunan biasa harus memenuhi persyaratan- persyaratan sebagai berikut :

1) Timbunan yang diklasifikasikan sebagai timbunan biasa harus terdiri dari tanah yang disetujui oleh Pengawas yang memenuhi syarat untuk digunakan dalam pekerjaan permanen.

(41)

29 2) Bahan yang dipilih tidak termasuk tanah yang plastisitasnya tinggi, yang diklasifikasi sebagai A-7-6 dari persyaratan AASHTO M atau sebagai CH dalam sistim klasifikasi “Unified atau Casagrande”.

3) Tanah yang pengembangannya tinggi yang memiliki nilai aktif lebih besar dari 1,25 bila diuji dengan AASHTO T 258, tidak boleh digunakan sebagai bahan timbunan.

4) Nilai aktif diukur sebagai perbandingan antara Indeks Plastisitas (PI) – (AASHTO T 90) dan presentase ukuran lempung (AASHTO T 88).

2. Timbunan pilihan

Timbunan pilihan, adalah timbunan atau urugan yang digunakan untuk pencapaian elevasi akhir subgrade yang disyaratkan dalam gambar perencanaan dengan maksud khusus lainnya, misalnya untuk mengurangi tebal lapisan pondasi bawah, untuk memperkecil gaya lateral tekanan tanah dibelakang dinding penahan tanah talud jalan. Bahan timbunan pilihan harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :

Timbunan hanya boleh diklasifikasikan sebagai “Timbunan Pilihan” bila digunakan pada lokasi atau untuk maksud yang telah ditentukan atau disetujui secara tertulis oleh Pengawas. Timbunan yang diklasifikasikan sebagai timbunan pilihan harus terdiri dari bahan tanah berpasir (sandy clay) atau padas yang memenuhi persyaratan dan sebagai tambahan harus memiliki sifat tertentu tergantung dari maksud penggunaannya. Dalam segala hal, seluruh urugan pilihan harus memiliki CBR paling sedikit 10 %, bila diuji sesuai dengan AASHTO T 193.

3. Timbunan pilihan diatas tanah rawa

Bahan timbunan pilihan di atas tanah rawa. Bahan timbunan pilihan di atas tanah rawa haruslah pasir atau kerikil atau bahan berbutir bersih lainnya dengan Index Plastisitas maksimum 6 %. Pedoman yang dapat dijadikan pertimbangan dalam perencanaan geometrik suatu jalan raya, diantaranya : Diupayakan agar volune galian dan timbunan tanah direncanakan dalam jumlah yang besar untuk sepanjang segmen jalan raya yang bersangkutan Volume dan galian tanah pada perencanaan alinyemen haruslah dipilih se- minimal mungkin

(42)

30 Pada perencanaan dan penetapan tinggi tanah timbunan haruslah dipertimbangkan faktor keamanan bagi kendaraan yang bersangkutan

Perbandingan volume galian terhadap jumlah timbunan harus 3:1 pada topografi yang sangat sulit dan berat

2.4.2 Perencanaan Galian dan Timbunan

Dalam perencanaan jalan raya diusahakan agar volume galian sama dengan volume timbunan. Dengan mengkombinasikan alinyemen vertikal dan horizontal memungkinkan kita untuk menghitung banyaknya volume galian dan timbunan.

Gambar 2.4.2 Galian Dan Timbunan

Langkah-langkah dalam perhitungan galian dan timbunan, antara lain :

Penentuan stationing (jarak patok) sehingga diperoleh panjang horizontal jalan dari alinyemen horizontal (trase jalan). Ketentuan umum untuk pemasangan patok-patok tersebut adalah sebagai berikut :

• Untuk daerah datar dan lurus, jarak antara patok 100 m.

• Untuk daerah bukit, jarak antara patok 50 m.

• Untuk daerah gunung, jarak antara patok 25 m.

Gambarkan profil memanjang (alinyemen vertikal) yang memperlihatkan perbedaan beda tinggi muka tanah asli dengan muka tanah rencana. Gambar potongan melintang (cross section) pada titik stationing, sehingga didapatkan luas galian dan timbunan.

Hitung volume galian dan timbunan dengan mengalikan luas penampang ratarata dari galian atau timbunan dengan jarak patok. Adapun rumus perhitungan galian dan timbunan dapat dilihat pada tabel berikut:

(43)

31 Tabel 2.4 Rumus Galian Dan Timbunan

(44)

32 BAB III

LANGKAH-LANGKAH PERHITUNGAN DAN PERENCANAAN PARAMETER PERENCANAAN

3.1 Parameter Perencanaan 3.1.1 Kontur Jalan

Berikut ini disajikan peta kontur dan topografi suatu daerah di Magelang yang akan dirancang suatu jalan yang menghubungkan Kab. Magelang dengan Kab.

Semarang

Gambar 3.1.a Kontur

Gambar 3.1b Peta Topografi

(45)

33 3.1.2 Perancangan Alternatif

Alternative 1

Dipilih lintasan lurus, yang menghubungkan titik A ke titik B. Pada lintasan ini elevasi tertinggi yang dilalui adalah elevasi 843 dan elevasi yang terendah adalah elevasi 390. Lintasan ini tidak memenuhi point 2 dan 3 dikarenakan tanpa memandang kondisi topografi serta tidak memeperhitungkan volume galian dan timbunan serta tidak sesuai dengan kriteria desain.Selain itu alternative ini tidak memenuhi syarat penyelesaian tugas desain jalan raya.

Alternative 2

Dipilih lintasan dengan elevasi muka tanahnya mendekati pada kontur.

Bentuk lintasan ini efisien karena membentuk empat tikungan serta mempertimbangkan banyaknya galian dan timbunan yang sama,serta alternative ini dipilih karena rute jalan yang menanjak karena berada didaerah dataran tinggi,dengan tujuan mengurangi gesekan dan memberikan keamanan bagi pengguna jalan.

3.1.3 Menentukan Trase Jalan

Berikut ini adalah Trase jalan yang akan dirancang.Menghubungkan titik A ke titik B. Terdiri dari 4 tikungan.

Gambar 3.3 Rencana Trase

(46)

34 3.1.4 Perhitungan Jarak Dan Sudut

3.1.4.1 Menentukan Koordinat (X,Y)

Trase jalan yang akan kami buat memiliki 6 titik diantaranya titik awal, 4 titik tikungan dan titik akhir. Dari setiap titik memiliki titik koordinat seperti di Tabel 3.4.1 berikut ini.

Tabel 3.4.1 Koordinat X Dan Y

3.1.4.2 Menentukan Jarak

Dari masing-masing titik dihubungkan dengan garis yang memiliki Panjang atau yang bisa dikenal panjang jalan tiap tikungan yang dapat diketahui dari perhitungan berikut ini.

𝑑(𝐴 − 𝑃𝐼 1) = √(𝑋𝑃𝐼 1 − 𝑋𝐴)2+ (𝑌𝑃𝐼 1 − 𝑌𝐴)2

𝑑(𝐴 − 𝑃𝐼 1) = √(4.6975 − 1.7391)2+ (1.7173 − 2.2149)2 𝑑(𝐴 − 𝑃𝐼 1) = √8.7521 + 0.2476

𝑑(𝐴 − 𝑃𝐼 1) = √8.9997

𝑑(𝐴 − 𝑃𝐼 1) = 2.9999 𝑘𝑚 ≈ 3 𝑘𝑚

𝑑(𝑃𝐼 1 − 𝑃𝐼 2) = √(𝑋𝑃𝐼 2 − 𝑋𝑃𝐼 1)2+ (𝑌𝑃𝐼 2 − 𝑌𝑃𝐼 1)2 𝑑(𝑃𝐼 1 − 𝑃𝐼 2) = √(6.0968 − 4.6975)2+ (3.1463 − 1.7173)2

Titik X Y

A 17.391 22.149 PI 1 46.975 17.173 PI 2 60.968 31.463 PI 3 90.345 37.543 PI 4 101.868 53.890 B 122.964 60.133

(47)

35 𝑑(𝑃𝐼 1 − 𝑃𝐼 2) = √1.9580 + 2.0420

𝑑(𝑃𝐼 1 − 𝑃𝐼 2) = √4 𝑑(𝑃𝐼 1 − 𝑃𝐼 2) = 2 𝑘𝑚

𝑑(𝑃𝐼 2 − 𝑃𝐼 3) = √(𝑋𝑃𝐼 3 − 𝑋𝑃𝐼 2)2+ (𝑌𝑃𝐼 3 − 𝑌𝑃2 )2 𝑑(𝑃𝐼 2 − 𝑃𝐼 3) = √(9.0345 − 6.0968)2+ (3.7543 − 3.1463)2 𝑑(𝑃𝐼 2 − 𝑃𝐼 3) = √8.6300 + 0.3696

𝑑(𝑃𝐼 2 − 𝑃𝐼 3) = √8.9996

𝑑(𝑃𝐼 2 − 𝑃𝐼 3) = 2.9999 𝑘𝑚 ≈ 3 𝑘𝑚

𝑑(𝑃𝐼 3 − 𝑃𝐼 4) = √(𝑋𝑃𝐼 4 − 𝑋𝑃𝐼 3)2+ (𝑌𝑃𝐼 4 − 𝑌𝑃3 )2

𝑑(𝑃𝐼 3 − 𝑃𝐼 4) = √(10.1868 − 9.0345)2+ (5.3890 − 3.7543)2 𝑑(𝑃𝐼 3 − 𝑃𝐼 4) = √1.3278 + 2.6722

𝑑(𝑃𝐼 3 − 𝑃𝐼 4) = √4 𝑑(𝑃𝐼 3 − 𝑃𝐼 4) = 2 𝑘𝑚

𝑑(𝑃𝐼 4 − 𝐵) = √(𝑋𝐵 − 𝑋𝑃𝐼 4)2+ (𝑌𝐵 − 𝑌𝑃𝐼 4 )2

𝑑(𝑃𝐼 4 − 𝐵) = √(12.2964 − 10.1868)2+ (6.0133 − 5.3890)2 𝑑(𝑃𝐼 4 − 𝐵) = √4,450 + 0.3897

𝑑(𝑃𝐼 4 − 𝐵) = √4.8397

𝑑(𝑃𝐼 4 − 𝐵) = 2.1999 𝑘𝑚 ≈ 2.2 𝑘𝑚

(48)

36 Dari hasil diatas maka dapat diketahui jarak titik A ke titik PI 1 adalah 3 km, jarak PI 1 ke PI 2 adalah 2 km, jarak antara PI 2 ke PI 3 adalah 3 km, jarak antara PI 3 ke PI 4 adalah 2 km, dan jarak antara PI 4 ke titik B adalah 2,2 km.

3.1.4.3 Menentukan Penentuan Sudut

Dari setiap tukungan yang direncanakan memiliki besaran sudut, berikut ini adalah perhitungan sudut dari setiap tikungan yang direncanakan.

𝛼𝐴 − 𝑃𝐼 1 = 𝑡𝑎𝑛−1(𝑋𝑃𝐼 1−𝑋𝐴

𝑌𝑃𝐼 1−𝑌𝐴) 𝛼𝐴 − 𝑃𝐼 1 = 𝑡𝑎𝑛−1(4.6975−1.7391

1.7173−2.2149) 𝛼𝐴 − 𝑃𝐼 1 = 𝑡𝑎𝑛−1(2.9584

−0.4976)

𝛼𝐴 − 𝑃𝐼 1 = 𝑡𝑎𝑛−1(−5.9453) + 180°

𝛼𝐴 − 𝑃𝐼 1 = 99°3252.03"

𝛼𝑃𝐼 1 − 𝑃𝐼 2 = 𝑡𝑎𝑛−1(𝑋𝑃𝐼 2−𝑋𝑃𝐼 1 𝑌𝑃𝐼 2−𝑌𝑃𝐼 1) 𝛼𝑃𝐼 1 − 𝑃𝐼 2 = 𝑡𝑎𝑛−1(6.0968−4.6975

3.1463−1.7173) 𝛼𝑃𝐼 1 − 𝑃𝐼 2 = 𝑡𝑎𝑛−1(1.3993

1.429) 𝛼𝑃𝐼 1 − 𝑃𝐼 2 = 𝑡𝑎𝑛−1(0.9792) 𝛼𝑃𝐼 1 − 𝑃𝐼 2 = 44°23. 52,38"

𝛼𝑃𝐼 2 − 𝑃𝐼 3 = 𝑡𝑎𝑛−1(𝑋𝑃𝐼 3−𝑋𝑃𝐼 2 𝑌𝑃𝐼 3−𝑌𝑃2) 𝛼𝑃𝐼 2 − 𝑃𝐼 3 = 𝑡𝑎𝑛−1(9.0345−6.0968

3.7543−3.1463) 𝛼𝑃𝐼 2 − 𝑃𝐼 3 = 𝑡𝑎𝑛−1(2.9377

0.608) 𝛼𝑃𝐼 2 − 𝑃𝐼 3 = 𝑡𝑎𝑛−1(4.8317)

(49)

37 𝛼𝑃𝐼 2 − 𝑃𝐼 3 = 78°1824.44"

𝛼𝑃𝐼 3 − 𝑃𝐼 4 = 𝑡𝑎𝑛−1(𝑋𝑃𝐼 4−𝑋𝑃𝐼 3 𝑌𝑃𝐼 4−𝑌𝑃3) 𝛼𝑃𝐼 3 − 𝑃𝐼 4 = 𝑡𝑎𝑛−1(10.1868−9.0345

5.3890−3.7543) 𝛼𝑃𝐼 3 − 𝑃𝐼 4 = 𝑡𝑎𝑛−1(1.1523

1.6347) 𝛼𝑃𝐼 3 − 𝑃𝐼 4 = 𝑡𝑎𝑛−1(0.7049) 𝛼𝑃𝐼 3 − 𝑃𝐼 4 = 35°1048.03"

𝛼𝑃𝐼 4 − 𝐵 = 𝑡𝑎𝑛−1(𝑋𝐵−𝑋𝑃𝐼 4

𝑌𝐵−𝑌𝑃4) 𝛼𝑃𝐼 4 − 𝐵 = 𝑡𝑎𝑛−1(12.2964−10.1868

6.0133−5.3890 ) 𝛼𝑃𝐼 4 − 𝐵 = 𝑡𝑎𝑛−1(2.1096

0.6243) 𝛼𝑃𝐼 4 − 𝐵 = 𝑡𝑎𝑛−1(3.3791) 𝛼𝑃𝐼 4 − 𝐵 = 73°3052.47"

3.1.5 Penentuan Klasifikasi Medan Jalan

Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dibagi menjadi 2, yaitu berdasarkan kemiringan memanjang dan kemiringan melintang.

Dari 2 klasifikasi tersebut memiliki rumus dan ketentuan yang berbeda. Berikut ini adalah ketentuan dri kemiringan memanjang dan kemiringan melintang.

Rumus Kemiringan Memanjang e = (Beda Tinggi/Jarak)100%

(50)

38 Tabel 3.1.5a Kemiringan Memanjang

(Sumber: TPGJAK No.083/TBM/1997)

Rumus Kemiringan Melintang 𝑒 = ∣𝑎−𝑏∣+∣𝑎−𝑐∣

50 × 100%

Tabel 3.1.5b Kemiringan Melintang No Jenis Medan Notasi Kemiringan

Medan

1 Datar D <3

2 Perbukitan B Mar-25

3 Pegunugan G >25

Golongan Medan Kemiringan Lereng Melintang

Datar 0-9,9%

Bukit 10-24,9%

Gunung ≥25%

Gambar

Tabel 2.1.2.3 golongan medan klasifikasi jalan
Tabel 2.2.1 a lebar lajur ideal
Gambar 2.2.10b Penampang Melintang Jalan Dengan Median  2.3 Parameter Perencanaan Geometrik Jalan
Tabel 2.3.1 dimensi kendaraan
+7

Referensi

Dokumen terkait

perhitungan geometrik metode AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials) dengan metode Tata Cara Perencanaan.. Geometrik Jalan Antar

Perancangan geometrik meliputi perencanaan jalan 4 lajur-2arah terbagi berdasarkan VLHRT sesuai peraturan Dirjen Bina Marga, perencanaan alinyemen horizontal yang

Besarnya volume atau arus lalu lintas diperlukan untuk menentukan jumlah dan lebar jalan, pada satu lajur dalam penentuan karakteristik geometrik, sedangkan

Besarnya volume lalu lintas diperlukan untuk menentukan jumlah dan lebar lajur pada suatu jalur jalan dalam penentuan karakteristik geometrik, sedangkan jenis

Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat memenuhi fungsi dasar dari

Langkah selanjutnya yang harus dilakukan dalam Perencanaan Geometrik Jalan dengan Langkah selanjutnya yang harus dilakukan dalam Perencanaan Geometrik Jalan dengan menggunakan

Berdasarkan trase jalan, CBR, LHR dilakukan perhitungan geometrik jalan yang mengacu kepada standar Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK)

Berdasarkan uraian di atas maka perlu adanya desain/perancangan ulang perkerasan lentur mengingat peralihan fungsi jalan, Perencanaan ini untuk jalan arteri primer 1 jalur 2 lajur,