LAPORAN
HACCP (HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT) PADA MENU TEMPE GORENG
DI INTALASI GIZI RSUD BANJARMASIN
JULIA OLDA 20S10320
PROGRAM STUDI S1 GIZI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HUSADA BORNEO BANJARBARU
2024
LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN
HACCP (HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT) PADA MENU TEMPE GORENG
DI INTALASI GIZI RSUD BANJARMASIN
Disusun oleh;
Julia Olda 20S10320
Telah mendapat persetujuan dari :
Mengetahui, Kepala Instalasi Gizi
Bandawati, S.Gz., M.Gizi., RD NIP.19710501 199203 2 005
Pembimbing
Tity Mutiarsih, SKM NIP. 19751027 199803 2 002
LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN
HACCP (HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT) PADA MENU TEMPE GORENG
DI INTALASI GIZI RSUD BANJARMASIN
Disusun oleh;
Julia Olda 20S10320
Telah mendapat persetujuan dari :
Koordinator Pembimbing Instansi
Nurul Hekmah, S.Pd., M.Pd NIDN. 1109069401
Ainun Nisa, SKM.,MKM.
NIDN. 1101089401
KATA PENGANTAR
Puji syukur Saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan HACCP yang berjudul "HACCP (HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT) PADA MENU TEMPE GORENG” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam penyelesaian laporan ini, Saya telah banyak mendapat bantuan dan masukan dari berbagai pihdak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini Saya ingin menyampaikan terimakasih kepada:
1. Ibu Faizah Wardhina, S. Si. T., M.Kes. selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Husada Borneo Banjarbaru;
2. Ibu Nany Suryani, S.Gz., M.Biomed. Selaku Ketua Program Studi S1 Gizi STIKes Husada Borneo sekaligus pembimbing institusi pendidikan;
3. Ibu Bandawati, S.Gz., M.Gizi., RD. Selaku Kepala Instalasi Gizi RSUD Ulin Banjarmasin;
4. Ibu Nurul Hekmah, S.Pd., M.Pd dan Ibu Ainun Nisa, SKM, MKM. Selaku Pembimbing Institusi di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Husada Borneo Banjarbaru;
5. Ibu Siti Bulkis R, S.Gz, RD. Selaku Pembimbing Lapangan di RSUD Ulin Banjarmasin;
6. Serta semua pihak yang membantu penyusunan Laporan Praktik Kerja Lapangan ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga seluruh bantuan dan kerjasama yang diberikan semua pihak mendapatkan ridho dan nilai amal yang sesuai dari Allah SWT. Akhinya penulis mengharapkan semoga penyusunan laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Banjarmasin, 2024
Julia Olda
DAFTAR ISI
Halaman
COVER...i
LEMBAR PERSETUJUAN...ii
KATA PENGANTAR...iv
DAFTAR ISI...v
DAFTAR TABEL...vi
DAFTAR GAMBAR...vii
DAFTAR LAMPIRAN...vii
BAB I PENDAHULUAN...1
1.1 Pendahuluan...1
1.2 Tujuan...2
BAB II ISI...3
2.1 Pengertian HACCP...3
2.2 Prinsip Dasar HACCP...4
2.3 Fungsi Penerapan HACCP...12
BAB III METODE PENELITIAN...13
3.1 Lokasi...13
3.2 Waktu...13
3.3 Jenis Data...13
BAB IV HASIL ANALISIS HACCP...14
4.1 Hasil...14
4.2 Pembahasan...29
BAB V PENUTUP...37
5.1 Kesimpulan...37
5.2 Saran...38
DAFTAR PUSTAKA...39
LAMPIRAN...41
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Tindakan Koreksi yang harus dilakukan jika ditemukan penyimpangan
dari batas pada CCP-nya...10
Tabel 4.1 Deskripsi Produk Tempe...14
Tabel 4.2 Spesifikasi Bahan Makanan Menu Tempe Goreng...15
Tabel 4.3 Identifikasi Bahaya dan Tindak Pencegahan...17
Tabel 4.4 Kategoro Risiko Makanan...19
Tabel 4.5 Analisis Risiko Bahaya dan Kategori Risiko...19
Tabel 4.6 Lembar Penentuan CCP pada Tempe Goreng...23
Tabel 4.7 Lembar Pengendalian Bahaya pada Tempe Goreng...24
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Alur keputusa atau CCP Decission Tree...7
Gambar 4.1 Diagram Alir Pengolahan Tempe Goreng...15
Gambar 4.2 Penentuan CCP...21
Gambar 4.3 Decision Tree untuk Penentuan CCP...22
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Menu Makanan Pasien pada Menu Hari Ke-5...46 Lampiran 2. Spesifikasi Bahan Makanan Basah...47 Lampiran 3. Spesifikasi Bahan Makanan Kering...48 Lampiran 4. Dokumentasi Kegiatann 49
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Rumah sakit berfungsi sebagai penyelenggaraan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat dengan pelayanan medis melalui pendekatan preventif, kuratif, rehabilitatif, dan promotif (Djarismawati dkk, 2004). Rumah sakit selain berfungsi sebagai tempat untuk pemulihan kondisi pasien dari sisi medis, juga adanya pemulihan kondisi pasien dari sisi makanan yang diolah dan diberikan kepada pasien. Pasien berhak mendapatkan diet yang bermutu, aman, dan tidak terkontaminasi bahaya. Pengolahan makanan dan pengaturan diet pasien dilakukan di instalasi gizi. Intalasi gizi rumah sakit harus memiliki kepedulian dan tangggung jawab di sepanjang rantai pengolahan makanan hingga akhirnya makanan disajikan kepada pasien (Wibowo, 2013).
Kualitas pelayanan makanan yang disajikan maupun jasa pelayanan yang diberikan kepada pasien akan mempengaruhi kepuasan pasien. Salah satunya manajemen sistem penyelenggaran makanan pada bagian proses dari sistem pengadaan makanan mulai dari perencanaan menu sampai penyimpanan, proses produksi atau pengolahan makanan berupa penyajian makanan yang meliputi penampilan makanan (warna, besar porsi, bentuk makanan, tekstur), citarasa (aroma, suhu, bumbu, tingkat kematangan), variasi menu dan proses distribusi makanan serta penerapan higiene berupa ketepatan waktu, kebersihan dan sikap perilaku petugas (Wayansari. et.al, 2018).
HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen risiko untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan pangan yang aman (Cartwright
& Latifah, 2010). Analisis bahaya (HACCP) merupakan suatu sistem jaminan mutu yang mendasarkan kepada kesadaran bahwa bahaya (hazard) dapat timbul pada berbagai titik atau tahapan produksi tertentu, oleh sebab itu diperlukan pengendalian untuk mengontrol bahaya-bahaya yang mungkin terjadi (Amini et al., 2022). Penerapan HACCP tersebut meliputi semua kegiatan yang dimulai dari penangan bahan mentah, pemilihan bahan mentah, persiapan, pengolahan, penyimpanan dan penyajian makanan matang (Mahbubah, Ningsih &
Mar'atusholehah, 2017).
Salah satu makanan yang diselenggarakan oleh Instalasi Gizi RSUD Ulin adalah tempe goreng. Menu tempe goreng diberikan kepada pasien dengan diet biasa untuk menu makan siang pada menu ke-5. Menu ini terdiri dari bahan utama yaitu tempe. Penerapan HACCP untuk tempe goreng ini perlu dilakukan agar mencegah bahaya yang akan terjadi bagi konsumen rumah sakit seperti keracunan makanan dan menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan akibat dari proses produksi yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui penerapan HACCP pada menu terik tahu di Instalasi Gizi RSUD Ulin Banjarmasin.
1.2.2 Tujuan Khusus
1) Mengetahui bahan yang digunakan untuk membuat menu "Tempe Goreng"
di RSUD Ulin Banjarmasin.
2) Mengetahui cara produksi menu "Tempe Goreng" di RSUD Ulin Banjarmasin.
3) Mengetahui dan menganalisis bahaya menu "Tempe Goreng" di RSUD Ulin Banjarmasin.
4) Menetapkan cara pencegahan bahaya menu "Tempe Goreng" di RSUD Ulin Banjarmasin.
5) Menetapkan Critical Control Point (CCP) menu "Tempe Goreng" di RSUD Ulin Banjarmasin.
6) Menetapkan batas kritis pada pengolahan menu "Tempe Goreng" di RSUD Ulin Banjarmasin.
7) Memantau Critical Control Point (CCP) pada produksi menu "Tempe Goreng" di RSUD Ulin Banjarmasin.
8) Melakukan tindakan koreksi Critical Control Point (CCP) pada produksi menu
"Tempe Goreng" di RSUD Ulin Banjarmasin.
BAB 2 ISI 2.1 Pengertian HACCP
Sistem Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) mulai diterapkan di banyak negara di dunia untuk terus berusaha memastikan agar makanan yang dikonsumsi masyarakat tetap aman dan sehat untuk dikonsumsi. HACCP adalah suatu sistem jaminan mutu yang mendasarkan pada kesadaran atau perhatian bahwa bahaya (hazard) akan timbul pada berbagai titik atau tahap produksi, dengan menentukan titik pengendalian kritis (critical control) yang harus diawasi secara ketat (CXC, 2020). Dengan kata lain pengertian HACCP adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya bahaya yang didasarkan atas identifikasi titik pengendalian kritis CCP di dalam setiap tahapan penanganan/pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan bahaya (Vatria, 2016).
Bahaya (hazard), secara umum dapat diartikan sebagi suatu kondisi yang berpotensi menyebabkan cedera atau sakit pada manusia, kerusakan pada properti, kerusakan pada produk, kerusakan pada lingkungan atau kombinasi dari seluruh kondisi tersebut. Bahaya itu pun sangat mungkin terjadi dalam kegiatan industri, misalnya saat pencampuran bahan baku, pengemasan, penyimpanan produk, distribusi produk dan lain sebagainya. Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan pangan yang zero-risk atau tanpa risiko, tetapi dirancang untuk meminimumkan risiko bahaya keamanan pangan.
Sistem HACCP juga dianggap sebagai alat manajemen yang digunkan untuk memproteksi rantai pasokan pangan dan proses produksi terhadap kontaminasi bahaya-bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik.
HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen risiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan pangan yang aman dari bahaya fisik, kimia (pestisida), dan mikrobiologi (Dewi, 2015). Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan yang mengutamakan tindakan pencegahan daripada mengandalkan kepada pengujian produk akhir. Konsep HACCP dapat diterapkan dalam seluruh proses pengolahan makanan.
Penerapan HACCP dalam rantai produksi pangan dimulai dari penerimaan bahan baku pangan, penanganan atau persiapan, pengolahan, pemorsian, pendistribusian hingga sampai kepada pengguna akhir (konsumen).
Keberhasilan penerapan HACCP memerlukan tanggung jawab dan keterlibatan manajemen serta tenaga kerja yang terlibat dalam suatu rantai produksi pangan.
Keberhasilan penerapan HACCP juga membutuhkan pendekatan tim, tim ini harus berdasarakan tenaga ahli yang tepat (Thoha dkk, 2018).
Tujuan dari penerapan HACCP diterapkan di rumah sakit adalah untuk mencegah terjadinya kemungkinan muncul bahaya pada makanan yang akan diberikan ke pasien. HACCP bersifat sebagai sistem pengedalian mutu sejak bahan baku dipersiapkan sampai produk akhir diproduksi masal dan didistribusikan. Oleh karena itu dengan diterapkannya sistem HACCP akan mencegah risiko komplain pasien karena adanya bahaya pada suatu produk pangan. Kegagalan menjamin keamanan pangan dapat mengakibatkan keracunan, timbulnya penyakit tertentu seperti diare, dan kematian. Selain di rumah sakit, HACCP juga diterapkan pada industri pangan sebagai penjamin keamanan mutu produk dan promosi perdagangan diera pasar global yang memiliki daya saing kompetitif (Alijoyo, Wijaya & Jacob, 2016).
2.2 Prinsip Dasar Sistem HACCP
Secara teoritis ada tujuh prinsip dasar penting dalam penerapan sistem HACCP pada industri pangan seperti yang direkomendasikan baik oleh NACMCP (National Advisory Committee on Microbilogical Criteria for Foods, 1992) dan CAC (Codex Alintarius Commission, 1993). Ketujuh prinsip dasar penting HACCP yang merupakan dasar filosofi HACCP tersebut adalah:
1. Analisis bahaya (Hazard Analysis) dan penetapan resiko beserta cara pencegahannya.
2. Identifikasi dan penentuan titik kendali kritis (CCP) di dalam proses produksi.
3. Penetapan batas kritis (Critical Limits) terhadap setiap CCP yang telah teridentifikasi.
4. Penyusunan prosedur pemantauan dan persyaratan untuk memonitor CCP.
5. Menetapkan/menentukan tindakan koreksi yang harus dilakukan bila terjadi penyimpangan (diviasi) pada batas kritisnya.
6. Melaksanakan prosedur yang efektif untuk pencatatan dan penyimpanan datanya (Record keeping).
7. Menetapkan prosedur untuk menguji kebenaran.
Prinsip 1: Analisis Bahaya (Hazard Analysis) dan Penetapan Resiko beserta Cara Pencegahannya.
Pendekatan pertama pada konsep HACCP adalah analisis bahaya yang berkaitan dengan semua aspek produk yang sedang diproduksi. Pemeriksaan atau analisis terhadap bahaya ini harus dilaksanakan, sebagai tahap utama untuk mengidentifikasi semua bahaya yang dapat terjadi bila produk pangan dikonsumsi. Analisis bahaya harus dilaksanakan menyeluruh dan realistik, dari bahan baku hingga ke tangan konsumen.
Jenis bahaya yang mungkin terdapat di dalam makanan dibedakan atas tiga kelompok bahaya, yaitu:
1) Bahaya Biologis/Mikrobiologis, disebabkan oleh bakteri pathogen,virus atau parasit yang dapat menyebabkan keracunan, penyakit infeksi atau infestasi, misalnya: E. coli pathogenik, Listeria monocytogenes, Bacillus sp., Clostridium sp., Virus hepatitis A, dan lain
2) Bahaya Kimia, karena tertelannya toksin alami atau bahan kimia yang beracun, misalnya: aflatoksin, histamin, toksin jamur, toksin kerang, alkaloid pirolizidin, pestisida, antibiotika, hormon pertumbuhan, logam-logam berat (Pb, Zn, Ag, Hg, sianida), bahan pengawet (nitrit, sulfit), pewarna (amaranth, rhodamin B, methanyl jellow), lubrikan, sanitizer, dan sebagainya
3) Bahaya Fisik, karena tertelannya benda-benda asing yang seharusnya tidak boleh terdapat di dalam makanan, misalnya: pecahan gelas, potongan kayu, kerikil, logam, serangga, potongan tulang, plastik, bagian tubuh (rambut), sisik, duri, kulit dan lain-lain.
Agar analisis bahaya ini dapat benar-benar mencapai hasil yang dapat menjamin semua informasi mengenai bahaya dapat diperoleh, maka analisis bahaya harus dilaksanakan secara sistematik dan terorganisasi. Ada tiga elemen dalam analisis bahaya, yaitu:
a) Menyusun Tim HACCP
b) Mendefinisikan produk: cara produk dikonsumsi dan sifat-sifat negatif produk yang harus dikontrol dan dikendalikan
c) Identifikasi bahaya pada titik kendali kritis dengan mempersiapkan diagram alir proses yang teliti sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, untuk menghasilkan suatu produk.
Prinsip 2: Identifikasi dan Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP) di dalam Proses Produksi
Titik kendali kritis (CCP) didefinisikan sebagai suatu titik lokasi, setiap langkah/tahap dalam proses, atau prosedur, apabila tidak terkendali (terawasi) dengan baik, kemungkinan dapat menimbulkan tidak amannya makanan, kerusakan (spoilage), dan resiko kerugian ekonomi. CCP ini ditentukan setelah diagram alir proses produksi yang sudah teridentifikasi potensi bahaya pada setiap tahap produksi dengan menjawab pertanyaan ”Apakah pengawasan/pengendalian kritis dari bahaya (hazard) terjadi pada tahap ini atau yang lain; apabila pengawasan/pengendalian pada tahap tertentu gagal apakah langsung menghasilkan bahaya yang tak diinginkan, kerusakan dan kerugian secara ekonomi”. Harus diperhatikan titik kendali (CP) tidaklah sama dengan titik kendali kritis (CCP). Secara sistematis untuk mengidentifikasi dan mengenali setiap titik kendali kritis (CCP) dapat dilakukan dengan metode alur keputusan atau CCP Decission Tree.
Gambar 2.1 Alur keputusa atau CCP Decission Tree
Prinsip 3: Penetapan Batas Kritis (Critical Limits) Terhadap Setiap CCP yang
telah Teridentifikasi.
Setelah semua CCP dan parameter pengendali yang berkaitan dengan setiap CCP teridentifikasi, Tim HACCP harus menetapkan batas kritis untuk setiap CCP. Biasanya batas kritis untuk bahaya biologis/mikrobiologis, kimia dan fisika untuk setiap jenis produk berbeda satu sama lainnya. Batas kritis didefinisikan sebagai batas toleransi yang dapat diterima untuk mengamankan bahaya, sehingga titik kendali dapat mengendalikan bahaya kesehatan secara
cermat dan efektif. Batas kritis yang sudah ditetapkan ini tidak boleh dilanggar atau dilampaui nilainya, karena bila suatu nilai batas kritis yang dilanggar dan kemudian titik kendali kritisnya lepas dari kendali, maka dapat menyebabkan terjadinya bahaya terhadap kesehatan konsumen. Beberapa contoh batas kritis yang perlu ditetapkan sebagai alat pencegah timbulnya bahaya, misalnya adalah; suhu dan waktu maksimal untuk proses thermal, suhu maksimal untuk menjaga kondisi pendinginan, suhu dan waktu tertentu untuk proses sterilisasi komersial, jumlah residu pestisida yang diperkenankan ada dalam bahan pangan., pH maksimal yang diperkenankan, bobot pengisian maksimal, viskositas maksimal yang diperkenankan dan sebagainya. Selain batas kritis untuk residu pestisida yang berasal dari komoditas pertanian, batas kritis bahan kimia lain yang berpotensi sebagai bahaya kimia juga harus ditetapkan.
Dalam hal ini tim HACCP harus menggunakan peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan sebagai panduan dalam menetapkan batas kritis untuk semua Bahan Tambahan Makanan (BTM), termasuk bahan kimia yang digunakan dalam bahan pengemas yang bersentuhan dengan produk pangan. Batas kritis untuk setiap CCP perlu didokumentasikan. Dokumentasi ini harus dapat menjelaskan bagaimana setiap batas kritis dapat diterima dan harus disimpan sebagai bagian dari rencana formal HACCP.
Prinsip 4: Penyusunan Prosedur Pemantauan dan Persyaratannya Untuk Memonitor CCP-nya.
Setelah prinsip III dilengkapi dengan penetapan batas kritis untuk semua CCP, tim HACCP harus menetapkan persyaratan monitoring untuk setiap CCP- nya. Monitoring merupakan rencana pengawasan dan pengukuran berkesinambungan untuk mengetahui apakah suatu CCP dalam keadaan terkendali dan menghasilkan catatan (record) yang tepat untuk digunakan dalam verifikasi nantinya. Kegiatan monitoring ini mencakup:
1) Pemeriksaan apakah prosedur penanganan dan pengolahan pada CCP dapat dikendalikan dengan baik
2) Pengujian atau pengamatan terjadwal terhadap efektifitas sustu proses untuk mengendalikan CCP dan batas kritisnya
3) Pengamatan atau pengukuran batas kritis untuk memperoleh data yang teliti, dengan tujuan untuk menjamin bahwa batas kritis yang ditetapkan dapat menjamin keamanan produk (CORLETT, 1991).
Cara dan prosedur monitoring untuk setiap CCP perlu diidentifikasi agar dapat memberi jaminan bahwa proses pengendalian pengolahan produk pangan masih dalam batas kritisnya dan dijamin tidak ada bahayanya. Dalam hal ini, metode, prosedur dan frekuensi monitoring serta kemampuan hitungnya harus dibuat daftarnya pada lembaran kerja HACCP. Prosedur dan metode monitoring harus efektif dalam memberi jaminan keamanan terhadap produk pangan yang dihasilkan. Idealnya, monitoring pada CCP dilakukan secara kontinyu hingga dicapai tingkat kepercayaan 100 persen. Namun bila hal ini tidak memungkinkan, dapat dilakukan monitoring secara tidak kontinya dengan syarat terlebih dahulu harus ditetapkan interval waktu yang sesuai sehingga keamanan pangan benar-benar terjamin. Biasanya agar pengukurannya dapat dilakukan secara cepat dan tepat, monitoring dilakukan dengan cara pengujian yang bersifat otomatis dan tidak memerlukan waktu yang lama. Oleh karena itu, pengujian dengan cara analisis mikrobiologis jarang digunakan sebagai prosedur monitoring. Beberapa contoh pengukuran dalam pemantauan (monitoring) adalah: observasi secara visual dan pengamatan langsung (misal:
kebersihan lingkungan pengolahan, penyimpanan bahan mentah), pengukuran suhu dan waktu proses, pH, kadar air dsb.
Prinsip 5: Melaksanakan Tindakan Koreksi yang Harus Dilakukan Bila Terjadi Penyimpangan (deviasi) Pada Batas Kritis yang Telah Ditetapkan.
Meskipun sistem HACCP sudah dirancang untuk dapat mengenali kemungkinan adanya bahaya yang berhubungan dengan kesehatan dan untuk membangun strategi pencegahan preventif terhadap bahaya, tetapi kadang- kadang terjadi pula penyimpangan yang tidak diharapkan. Oleh karena itu, jika dari hasil pemantuan (monitoring) ternyata menunjukkan telah terjadi penyimpangan terhadap CCP dan batas kritisnya, maka harus dilakukan tindakan koreksi (corrective action) atau perbaikan dari penyimpangan tersebut.
Tindakan koreksi adalah prosedur proses yang harus dilaksanakan ketika kes alahan serius atau kritis diketemukan dan batas kritisnya terlampaui.
Dengan demikian, apabila terjadi kegagalan dalam pengawasan pada CCP-nya, maka tindakan koreksi harus segera dilaksanakan. Tindakan koreksi ini dapat berbeda-beda tergantung dari tingkat resiko produk, yaitu semakin tinggi resiko produk semakin cepat tindakan koreksi harus dilakukan.
Tabel 2.1 Tindakan Koreksi yang harus dilakukan jika ditemukan penyimpangan dari batas pada CCP-nya.
Tingkat Risiko Tindakan Koreksi
Produk berisiko tinggi Produk tidak boleh diproses/diproduksi
sebelum semua penyimpanan
dikoreksi/diperbaiki.
Produk ditahan/tidak dipasarkan, dan diuji keamanannya.
Jika keamanan produk tidak memenuhi persyaratan, perlu dilakukan tindakan koreksi/perbaikan yng tepat
Produk berisiko sedang Produk dapat diproses, tetapi penyimpangan harus diperbaiki dalam waktu singkat (dalam beberapa hari/minggu).
Diperlukan pemantauan khusus sampai semua penyimpangan dikoreksi /diperbaiki.
Produk berisiko rendah Produk dapat diproses
Penyimpangan harus dikoreksi/diperbaiki jika waktu memungkinkan
Harus dilakukan pengawasan rutin untuk menjamin bahwa status resiko rendah tidak berubah menjadi resiko sedang atau tinggi.
Tindakan koreksi di sini harus dapat mengurangi atau mengeliminasi potensi bahaya dan resiko yang terjadi, ketika batas kritis terlampaui pada CCP- nya sehingga dapat menjamin bahwa disposisi produk yang tidak memenuhi, tidak mengakibatkan potensi bahaya baru. Setiap tindakan koreksi dilaksanakan, harus didokumentasikan dengan tujuan untuk modifikasi suatu proses atau pengembangan lainnya.
Prinsip 6. Membuat Prosedur Pencatatan dan Penyimpanan Data yang Efektif dalam Sistem Dokumentasi HACCP.
Sistem doumentasi dalam sistem HACCP bertujuan untuk:
1) Mengarsipkan rancangan program HACCP dengan cara menyusun catatan yang teliti dan rapih mengenai seluruh sistem dan penerapan HACCP
2) Memudahkan pemeriksaan oleh manager atau instansi berwenang jika produk yang dihasilkan diketahui atau diduga sebagai penyebab kasus keracunan makanan.
Berbagai keterangan yang harus dicatat untuk dokumentasi sistem dan penerapan HACCP mencakup:
Judul dan tanggal pencatatan
Keterangan produk (kode, tanggal dan waktu produksi)
Karakteristik produk (penggolongan resiko bahaya)
Bahan serta peralatan yang digunakan, termasuk: bahan mentah, bahan tambahan, bahan pengemas dan peralatan penting lainnya.
Tahap/bagan alir proses, termasuk: penanganan dan penyimpanan bahan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan produk dan distribusinya.
Jenis bahaya pada setiap tahap
CCP dan batas kritis yang telah ditetapkan
Penyimpangan dari batas kritis
Tindakan koreksi/perbaikan yang harus dilakukan jika terjadi penyimpangan, dan karyawan/petugas yang bertanggung jawab untuk melakukan koreksi/
perbaikan.
Dalam melakukan pencatatan, beberapa hal yang dianjurkan adalah catatan harus sistematis, rapih dan teratur. Disamping itu, bila pencatatan dan pendokumentasian dilakukan tepat dan sesuai dengan sistem HACCP, maka berarti keefektifan sistem dokumentasi HACCP dapat diuji atau dibuktikan
Prinnsip 7: Membuat Prosedur untuk Memverifikasi bahwa Sistem HACCP Bekerja dengan Benar.
Prosedur verifikasi dibuat dengan tujuan:
1) Untuk memeriksa apakah program HACCP telah dilaksanakan sesuai dengan rancangan HACCP yang ditetapkan
2) Untuk menjamin bahwa rancangan HACCP yang ditetapkan masih efektif dan benar.
Hasil verifikasi ini dapat pula digunakan sebagai informasi tambahan dalam memberikan jaminan bahwa program HACCP telah terlaksana dengan baik. Verifikasi mencakup berbagai kegiatan evaluasi terhadap rancangan dan penerapan HACCP, yaitu:
Penetapan jadwal verifikasi yang tepat
Pemeriksaan kembali (review) rancangan HACCP
Pemeriksaan atau penyesuaian catatan CCP dengan kondisi proses sebenarnya
Pemeriksaan penyimpangan terhadap CCP dan prosedur koreksi/perbaikan yang harus dilakukan.
Pengampilan contoh dan analisis (fisik, kimia dan/atau mikrobiologis) secara acak pada tahap-tahap yang dianggap kritis.
Catatan tertulis mengenai: kesesuaian dengan rancangan HACCP, penyimpangan terhadap rancangan HACCP, pemeriksaan kembali diagram alir dan CCP.
Pemeriksaan kembali modifikasi rancangan HACCP (CORLETT, 1991).
Sementara itu, jadwal kegiatan verifikasi dapat dilakukan pada saat-saat tertentu, yaitu:
Secara rutin atau tidak terduga untuk menjamin bahwa CCP yang ditetapkan masih dapat dikendalikan.
Jika diketahui bahwa produk tertentu memerlukan perhatian khusus karena informasi terbaru tentang keamanan pangan.
Jika produk yang dihasilkan diketahui atau diduga sebagai penyebab keracunan makanan.
Jika kriteria yang ditetapkan dalam rancangan HACCP dirasakan belum mantap, atau jika ada saran dari instansi yang berwenang.
2.3 Fungsi Penerapan HACCP
1) Mencegah penarikan produk pangan yang dihasilkan, 2) Mencegah penutupan pabrik
3) Meningkatkan jaminan keamanan produk 4) Pembenahan dan pembersihan pabrik
5) Mencegah kehilangan pembeli/pelanggan atau pasar 6) Meningkatkan kepercayaan konsumen
7) Mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang mungkin timbul karena masalah keamanan produk.
BAB III METODE
3.1 Lokasi
Pengamatan HACCP dilakukan di ruang penerimaan, penyimpanan, pengolahan dan ruang distribusi Instalasi Gizi RSUD Ulin Banjarmasin.
3.2 Waktu
Pengamatan HACCP dilakukan pada tanggal 15 November 2023 di Instalasi Gizi RSUD Ulin Banjarmasin. Proses penerimaan bahan makanan pada pukul 07.00 WITA, proses persiapan mulai pukul 08.00 WITA, proses pengolahan pukul 08.30 WITA, pemorsian pada pukul 11.00 WITA dan pendistribusian dilakukan pada pukul 11.30 WITA.
3.3 Jenis Data 1. Data Primer
Data primer yang dikumpulkan antara laiin pengawasan mutu komponen bahan makanan yang dibutuhkan untuk membuat terik tahu mulai dari penerimaan, persiapan, pengolahan dan pendistribusian.
2. Data Sekunder
Data sekunder berupa daftar bahan dan bumbu untuk pembuatan terik tahu dan siklus menu.
3.4 Cara Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah:
1. Data primer diolah dengan observasi langsung dan wawancara.
2. Data sekunder diperoleh dengan cara melihat siklus menu, daftar bumbu dan bahan.
BAB IV
HASIL ANALISIS HACCP 4.1 Hasil
4.1.1 Penyusun TIM HACCP
Tim pelaksanaan HACCP di Instalasi Gizi RSUD Ulin Banjarmasin adalah sebagai berikut:
PenananggungJawab : Bandawati, S.Gz., M.Gizi, RD
Ketua : Lasmi Ariyanti, SST, RD
Anggota : Hj. Musliani, SKM, RD
Anggota : Warhamni, AMG
4.1.2 Deskripsi Produk Pangan
Tabel 4.1 Deskripsi Produk Tempe Goreng
Nama produk Tempe goreng
Kategori produk Lauk nabati
Komposisi bahan Bahan utama: tempe
Bumbu: bawang putih, garam
Alat: kompor, blender, wajan, sutil, pisau, piring/plato dan bento
Konsumen Pasien Rawat Inap di RSUD Ulin Banjarmasin.
Cara distribusi 1. Distribusi sentralisasi (untuk kelas II dan III) yang disajikan menggunakan plato stainless steel dan bento box sesuai dengan permintaan.
2. Distribusi desentralisasi (untuk VIP dan kelas I). Proses penyajian dilakukan di pantry.
Pada pasien Kelas I disajikan menggunakan piring dan mangkok berbahan melamin dan pasien VIP disajikan menggunakan piring dan mangkok berbahan keramik.
Citra rasa Warna: kuning keemasan
Tekstur: padat
Aroma: khas bau dari kacang kedelai Rasa: gurih
Kondisi penyimpanan Suhu ruang Waktu simpan atau kadaluarsa Tidak ada
Tanggal produksi 15 November 2023
Label Ada (etiket pasien)
Lokasi pengamatan Unit penerimaan, penyimpanan gudang basah dan kering, persiapan lauk hewani, persiapan bumbu, pengolahan bahan makanan, pemorsian, distribusi dan penyajian makanan.
Salah satu upaya pengendalian bahaya pada makanan adalah dengan menetapkan spesifikasi guna meminimalisir kerusakan bahan yang digunakan dalam pengolahan. Spesifikasi bahan makanan dapat mendukung proses
HACCP karena dengan adanya spesifikasi tersebut mutu bahan makanan dapat terjaga.
Berikut adalah uraian bahan makanan yang digunakan pada pengolahan tempe goreng beserta dengan spesifikasi bahan makanan:
Tabel 4.2 Spesifikasi Bahan Makanan Menu Tempe Goreng No
. Bahan Makanan Spesifikasi Instalasi Gizi RSUD Ulin 1. Tempe Warna putih kekuningan khas kedelai, tidak
berbau, tanpa pengawet.
2. Bawang putih Sudah dikupas dan masih segar
3. Garam Beryodium,warna putih bersih, bungkus utuh, tidak basah.
4. Minyak goreng Tidak tengik, bungkus utuh, tidak kadaluarsa, 2 lt.
Berdasarkan hasil pengamatan, semua bahan makanan yang diterima oleh petugas sudah sesuai dengan spesifikasi yang diminta oleh Instalasi Gizi di RSUD Banjarmasin. Sehingga bahan makanan yang telah diterima di unit penerimaan langsung disalurkan ke unit persiapan dan pengolahan. Tempe disalurkan langsung unit penggolahan untuk dilakukan peryortiran, pemotongan dan persisapan. Bawang putih disalurkan ke unit persiapan bumbu untuk dihaluskan kemudian minyak goreng dan garam langsung disalurkan ke unit penggolahan.
4.1.3 Identifikasi Penggunaan Produk
Tempe goreng merupakan salah satu produk olahan dari bahan tempe sebagai hidangan lauk nabati untuk makan siang pada menu ke-5 yang disajikan untuk pasien di RSUD Ulin Banjaramasin.
4.1.4 Diagram Alir Pembuatan Produk
Gambar 4.1 Diagram Alir Penggolahan Tempe Goreng
Air
Pendistribusian Pemorisan Penggolahan
Persiapan Sortasi
Penerimaan
Garam dan minyak goreng Tempe dan
Bawang putih
4.1.5 Identifikasi Bahaya dan Tindakan Pencegahan Tabel 4.3 Identifikasi Bahaya dan Tindakan Pencegahan
No. Bahan
Mentah/Ingredient/Baha n Tambahan
Bahaya
B/F/K Jenis Bahaya Tindak pencegahan Kategori
Risiko Signifikasi
1. Tampe Fisik Permukaan basah,
struktur tempe hancur, bercak hitam, berbau
- Penetapan spesifikasi
- Menghilangkan bagian yang rusak
M NS
2. Bawang putih Fisik Rusak, busuk Memilih bawang merah yang segar,
bersih dan yang berkupas M NS
Kimia Residu pestisida Mencuci bawang merah dengan air
mengalir hingga bersih L NS
Biologi Aspergillus niger, bacillus cerus, jamur dan kapang
Disimpan di tempat penyimpanan makanan yang tempatnya kering, suhu 0-10°C
L NS
3. Garam Fisik Batu kerikil, pasir,
kemasan rusak Bila perlu dilakukan pengayakan pada garam dapur untuk
menghindari garam yang terkontaminasi fisik seperti batu kerikil, pasir
L NS
Biologi Jamur Disimpan pada tempat yang kering L NS
4. Minyak goreng Fisik Kemasan rusak, bau
tengik Memilih minyak dengan kualitas yang baik dan menyimpan pada tempat yang tertutup
L NS
5. Air Fisik Tanah Dilakukan pemeriksaan keadaan air
sebelum digunakan dan memilih air yang tidak ada endapan.
M NS
Biologi Bakteri E.coli Pemeriksaan kualitas air secara
rutin M NS
Kimia Cemaran timbal dan kaporit
Pemilihan air yang memenuhi syarat (tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna)
M NS
Keterangan:
H = High (tinggi) M = Medium (M) L = Low (rendah)
S = Signifikan (ada risiko)
NS = Non Signifikan (tidak ada risiko) Analisa Risiko dan Penilaian:
Tingkat keparahan:
High Severty: dapat menyebabkan sakit parah, termasuk rawat inap atau kematian Medium Severty: dapat menyebabkan sakit, namun tidak sampai rawat inap Low Severty: dapat menyebabkan sakit ringan
Tabel 4.4 Kategoti Risiko Makanan Kategori
Risiko Karakteristik Bahaya Keterangan
0 Tidak ada bahaya Tidak mengandung bahaya A s/d F
I (+) Mengandung satu bahaya B s/d F
II (++) Mengandung dua bahaya B s/d F
III (+++) Mengandung tiga bahaya B s/d F
IV (++++) Mengandung empat bahaya B s/d F
V (+++++) Mengandung lima bahaya B s/d F
VI A+ (kategori khusus) Kategori risiko paling tinggi (semua bahan makanan yang mengandung bahaya A, baik dengan/tanpa bahaya B-F)
Berdasarkan tabel kategori risiko makanan diatas, untuk produk terik tahu dapat dikategorikan sebagai berikut:
Tabel 4.5 Analisis Risiko Bahaya dan Kategori Risiko No. Bahan Makanan/
Masakan Kelompok Bahaya Kategori Risiko
A B C D E F
1. Tempe Goreng - - - - II
2. Tempe - - - - II
3. Bawang putih - - - - II
4. Minyak Goreng - - - - II
5. Garam - - - - II
6. Air - - - - II
A : Produk untuk konsumen berisiko tinggi
B : Mengandung bahan yang sensitif terhadap bahaya biologis/kimia/fisik C : Tidak ada tahap untuk mencegah atau menghilangkan bahaya
D : Kemungkinan mengalami kontaminasi kembali setelah pengolahan E : Kemungkinan kesalahan penanganan yang salah selama penyajian, pendistribusian, penjualan dan konsumsi
F : Tidak ada cara untuk mencegah atau menghilangkan bahaya konsumen.
Berdasarkan hasil analisis risiko bahaya dan kategori risiko pada pengolahan tempe goreng yang termasuk pada kategori risiko II, hasil olahan tempe goreng merupakan produk yang ditujukkan untuk konsumen berisiko tinggi seperti pasien, bahan yang digunakan juga mengandung bahaya biologis/kimia/fisik, risiko untuk terjadinya kontaminasi kembali (recontamination) setelah proses pengolahan, dan kemungkinan terjadi kesalahan penangan selama penyajian, pendistribusian, dan saat dikonsumsi. Bebarapa bahan makanan lainnya mengandung bahaya A dan B. Bahaya A karena bahan
makanan diperuntukkan kepada konsumen berisiko tinggi yaitu pasien. Bahaya B karena bahan makanan memiliki risiko terhadap bahaya biologi/kimia/fisik.
4.1.6 Penentuan Critical Control Point (CCP)
Gambar 4.2 Penentuan CCP
Keterangan:
CCP 1: Menghilangkan bahaya CCP 2: Mengurangi bahaya
Tempe Bawang putih
Disortir (CCP 2)
Penggorengan (CCP 1) Diblender
Diangkat
Campurkan tempe, bawang putih, garam
dan air Dicampurkan
Diaduk
Dimasukkan dalam wadah penyimpanan
sementara Diangkat
Pemorsian
Pendistribusian
4.1.7 Decision Tree untuk Penentuan CCP
Gambar 4.3 Decision Tree untuk Penentuan CCP Q3: Apakah bahaya dapat mencemari produk sampai batas toleransi?
Bukan CCP Bukan CCP
Ya Tidak
Q2: Apakah tahapan tersebut khusus menghilangkan, mengurangi atau menambah bahaya ?
Tidak Ya
Q1: Apakah ada cara pencegahan?
Tidak (CCP) Ya (bukan CCP)
Q4: Apakah tahapan selanjutnya dapat mengurangi atau menghilangkan bahaya?
Ya (CCP) Tidak (Bukan CCP)
4.1.8 Lembar Penentuan CCP
Tabel 4.6 Lembar Penentuan CCP pada Tempe Goreng
No Bahan Baku/Tahapan Proses Bahaya Q1 Q2 Q3 CCP/Non CCP
1 Tempe S. aureus Y Y T Non CCP
2 Penerimaan bahan makanan Kuku, rambut, kerikil Y Y Y Non CCP
3 Menghaluskan bumbu Logam berat Y Y T Non CCP
4 Penggorengan tempe Benda asing,
Overcook
Y Y Y CCP
6 Pemorsian tempe goreng Bakteri E. coli Y Y Y CCP
Tabel 4.7 Lembar Pengendalian Bahaya pada Tempe Goreng
Proses Jenis
bahaya Batas kritis Cara
pencegahan Hasil
pengamatan Monitoring Tindakan
koreksi Verifikasi Penerimaan
tempe Fisik
Biologis 1. Tidak ada kotoran atau tanah yang menempel di bahan makanan.
2. Bahan makanan dalam keadaan segar dan tidak busuk.
3. Air untuk mencuci jernih, tidak berasa, tidak berbau dantidak berwarna.
1. Pemeriksaan bahan sesuai spesifikasi 2. Pemeriksaan
kondisi air sebelum digunakan dan proses pencucian dengan air mengalir
1. Bahan makanan yang diterima sesuai spesifikasi, tidakada kotoran yang menempel dan kondisi masih segar.
2. Setelah diterima, bahan makanan segera dibawa ke unit persiapan.
1.Pengecekan spesifikasi bahan makanan 2.Memastikan
petugas mencuci tangan sebelum dan setelah menangani bahan makanan
Mengembalikan bahan
makanan (tempe) yang tidak sesuai spesifikasi kepada pedagang.
Pengecekan kembali spesifikasi BM yang diterima sesuai dengan standar spesifikasi bahan makanan dari rumah RSUD Ulin untuk menghasilkan makanan yang berkuaitas
Proses Jenis
bahaya Batas kritis Cara
pencegahan Hasil
pengamatan Monitoring Tindakan
koreksi Verifikasi Persiapan
bahan makanan dan bumbu
Fisik (sisa kotoran dari bahan makanan) Biologis (kontaminasi bakteri)
1. Kebersihan alat yang digunakan 2. Kebersihan
penjamah dan alat makanan untuk
menghindari kontaminasi silang
1. Petugas selalu mencuci peralatan dan tangan, baik itu sebelum dan sesudah membersih- kan bahan makanan.
2. Mengguna- kan
peralatan sesuai dengan jenis bahan makanan 3. Mencuci
bahan makanan dengan air yang mengalir.
4. Petugas mengguna- kan APD lengkap secara baik dan benar
1. Petugas telah mencuci tangan dan bahan makanan dengan air mengalir 2. Penggunaan
alat (pisau) yang bergantian antara persiapan sayur dan lauk hewani 3. Petugas
sudah mengguna- kan APD seperti celemek, sarung tangan, penutup kepala namun tidak mengguna- kan masker
1. Memastikan petugas sudah mencuci tangan dan mencuci bersih bahan makanan dengan air mengalir 2. Memastikan
peralatan yang digunakan terpisah sesuai jenis bahan makanan 3. Petugas
mengguna- kan APD lengkap secara baik dan benar.
1. Mencuci bahan makanan dengan air mengalir dan memastikan petugas mengguna- kan APD yang lengkap.
2. Membedakan peralatan yang digunakan dalam proses persiapan lauk hewani dan sayur
Peninjauan kembali prosedur persiapan bahan makanan dan memeriksa kelengkapan APD petugas
Proses Jenis
bahaya Batas kritis Cara
pencegahan Hasil
pengamatan Monitoring Tindakan
koreksi Verifikasi Pengolahan Fisik
Biologis
1. Kororan seperti rambut dan benda asing 2. Kontaminasi
bakteri dari penjamah dan peralatan
1. Petugas mengguna- kan APD lengkap (masker, sarung tangan, penutup kepala, celemek) secara baik dan benar.
2. Menggunakan peralatan sesuai jenis bahan makanan dan mencuci peralatan pengolahan sebelum dan sesudah digunakan
1. Petugas sudah mengguna- kan APD seperti celemek, sarung tangan, penutup kepala namun tidak mengguna- kan masker 2. Petugas
telah mencuci peralatan sebelum dan sesudah digunakan
1. Memastikan petugas mengguna- kan APD lengkap secara baik dan benar.
2. Memastikan proses pencucian alat dilakukan
1. Petugas mengguna- kan APD lengkap secara baik dan benar.
2. Proses pencucian alat dilakukan sebelum dan sesudah digunakan
Peninjauan kembali proses pengolahan bahan makanan dan memeriksa kelengkapan APD petugas
Proses Jenis
bahaya Batas kritis Cara
pencegahan Hasil
pengamatan Monitoring Tindakan
koreksi Verifikasi Pemorsian Fisik
Biologis 1. Kotoran sisa makanan, serpihan plastik kemasan, dan sisa air yang menempel di wadah makanan 2. Kontaminasi
dari udara, bakteri penjamah dan alat yang digunakan.
1. Pembersihan sisa makanan dan proses pengeringan pada wadah makanan 2. Petugas
mengguna- kan APD lengkap secara baik dan benar 3. Bahan
makanan yang telah matang dan disajikan, harus segera ditutup
1. Alat makan sudah bersih namun masih ada air sisa dari proses pencucian 2. Petugas
sudah mengguna- kan APD lengkap 3. Bahan
makanan yang telah matang ditutup mengguna- kan plastik wrapping
1. Memastikan proses pencucian dan
pengeringan alat dilakukan sesuai prosedur 2. Memastikan
petugas mengguna- kan APD lengkap secara baik dan benar 3. Memastikan
bahan makanan yang telah matang selalu disimpan dalam wadah yang tertutup
1. Proses pencucian dan pengering- an alat dilakukan sesuai prosedur 2. Petugas
mengguna- kan APD lengkap secara baik dan benar 3. Menyimpan
bahan makanan menggunak an wadah tertutup atau mengguna- kan plastik wrapping
Peninjauan kembali prosedur pencucian dan pengeringan alat makan dan memeriksa
Proses Jenis
bahaya Batas kritis Cara
pencegahan Hasil
pengamatan Monitoring Tindakan
koreksi Verifikasi Distribusi Fisik
Biologis
1. Kotoran sisa makanan pada troli
2. Kontaminasi bakteri
1. Menggunakan troli yang bersih dan aman serta tertutup 2. Makanan di
dalam troli tidak terbuka sehingga tidak mengakibat- kan
kontaminasi silang
1. Troli yang digunakan sudah bersih dan kondisinya tertutup 2. Makanan di
dalam troli sudah dalam wadah tertutup
1. Memastikan troli yang digunakan dalam keadaan bersih dan kering 2. Memastikan
makanan yang sudah diporsi dalam keadaan tertutup
1. Membersihkan troli sebelum dan sesudah digunakan 2. Memberikan
tutup pada wadah makanan yang terbuka
Peninjauan kembali prosedur pendistribusian dan
memeriksa kondisi kemasan makanan
4.2 Pembahsan
HACCP merupakan rangkaian kegiatan untuk melakukan analisis bahaya yang ada pada suatu penyelenggaraan makanan. Pada HACCP ini terdapat beberapa tahapan, salah satunya adalah penilaian terhadap CCP. Penilaian CCP dilakukan pada tanggal 15 November 2023 dengan berdasarkan siklus menu 10+1 hari, dimana lauk hewani pada menu ke-5 yang akan dijadikan sebagai bahan pengamatan yaitu tempe goreng. Adapun beberapa tahapan yang dilakukan sebagai berikut:
4.2.1 Tahap Penerimaan
Kualitas dan keamanan produk makanan tergantung pada kualitas dan keamanan bahan baku yang digunakan (kemenkes RI, 2013). Penerimaan adalah proses dalam sistem jasa makanan yang mengontrol barang yang dikirim sama dalam kualitas dan kuantitas dengan apa yang telah disetujui sebelumnya.
Penerimaan bahan makanan adalah suatu kegiatan dimana dilakukannya pemeriksaan/penelitian, pencatatan, dan pelaporan kegiatan mengenai macam, kualitas, dan kuantitas bahan makanan yang diterima. Adapun tujuan dari penerimaan bahan makanan itu sendiri yaitu untuk menyediakan bahan makanan yang nantinya akan diolah. Persyaratan pada proses penerimaan bahan makanan meliputi (1) tersedianya rincian pesanan bahan makanan berupa macam dan jumlah bahan makanan yang akan diterima, (2) tersedianya spesifikasi bahan makanan yang telah di tetapkan (Aritonang, 2012).
Pada proses penerimanaan jenis bahaya yang mungkin terjadi, yaitu bahaya fisik dan biologi dengan batas kritis:
1. Tidak ada kotoran atau tanah yang menempel di bahan makanan 2. Bahan makanan dalam keadaan segar dan tidak busuk.
3. Air untuk mencuci jernih, tidak berasa, tidak berbau dantidak berwarna.
Cara pencegahan:
1) Pemeriksaan bahan sesuai spesifikasi
2) Pemeriksaan kondisi air sebelum digunakan dan proses pencucian dengan air mengalir
Hasil pengamatan proses penerimaan bahan makanan di RSUD Ulin Banjarmasin, 1) Bahan makanan yang diterima sesuai spesifikasi, tidak ada
kotoran yang menempel dan kondisi masih segar. 2) Setelah diterima, bahan makanan segera dibawa ke unit persiapan.
Monitoring yang dilakukan: 1) Pengecekan spesifikasi bahan makanan 2) Memastikan petugas mencuci tangan sebelum dan setelah menangani bahan makanan. Tindakan koreksi yang dilakukan, yaitu mengembalikan bahan makanan (tempe) yang tidak sesuai spesifikasi kepada pedagang. Verifikasi:
Pengecekan kembali spesifikasi BM yang diterima sesuai dengan standar spesifikasi bahan makanan dari rumah RSUD Ulin untuk menghasilkan makanan yang berkuaitas.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada tanggal 15 November 2023, penerimaan bahan makanan dalam proses pembuatan tempe goreng mencakup tempe, untuk bahan lainnya seperti bawang putih sudah tersedia di unit persiapan bumbu kemudian untuk bahan kering seperti minyak goreng, garam, sudah tersedia di gudang penyimpanan bahan kering. Tempe dikirim oleh pedagang dan diterima oleh petugas penerimaan di unit penerimaan bahan makanan untuk dilakukan pemeriksaan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan, kemudian dilakukan juga proses perhitungan jumlah tempe untuk memvalidasi jumlah pesanan. Bahan makanan yang telah sesuai jumlah dan standarnya, akan dibawa ke unit persiapan. Sedangkan untuk bawang putih dibawa ke unit persiapan bumbu dan bahan seperti minyak goreng, garam, langsung dibawa ke unit pengolahan.
4.2.2 Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan hygiene dan santasi tenaga dari penjamah makanan juga harus diperhatikan. Tenaga penjamah makanan harus menggunakan APD (Alat Pelindung dan Diri) yang lengkap seperti celemek, penutup kepala, sarung tangan, masker serta sandal kerja. Bahan makanan meliputi kegiatan membersihkan dan menghilangkan bagian-bagian yang tidak dimakan, memotong, menghaluskan, menggiling, mencampur dan membentuk yang harus dikerjakan sebelum bahan makanan siap diolah. Persiapan yang sempurna terhadap bahan makanan penting dan tidak hanya ditinjau dari segi gizi. Selain itu, bagian yang perlu diawasi untuk mencegah terjadinya pembuangan bahan makanan, misalnya pengupasan yang terlalu tebal. Tujuan persiapan bahan makanan ialah mempersiapkan bahan-bahan makanan, dan bumbu bumbu.
Sebelum dilakukan kegiata pemasakan. Prasyarat persiapan bahan makanan meliputi tersedianya:
a. Bahan makanan yang akan dipersipkan b. Peralatan persiapan
c. Proses persiapan
d. Aturan proses-proses persiapan, (Aritonang, 2014).
Bahaya yang terjadi pada proses persiapan bahan dan bumbu, yaitu bahaya fisik (sisa kotoran dari bahan makanan) dan biologis (kontaminasi bakteri). Batas kritis bahaya:
1. Kebersihan alat yang digunakan
2. Kebersihan penjamah dan alat makanan untuk menghindari kontaminasi silang
Cara pecehagan:
1) Petugas selalu mencuci peralatan dan tangan, baik itu sebelum dan sesudah membersihkan bahan makanan.
2) Menggunakan peralatan sesuai dengan jenis bahan makanan 3) Mencuci bahan makanan dengan air yang mengalir.
4) Petugas menggunakan APD lengkap secara baik dan benar.
Hasil pengamatan persiapan bahan dan bumbu menu tempe goreng di RSUD Ulin Banjarmasin:
1. Petugas telah mencuci tangan dan bahan makanan dengan air mengalir.
2. Penggunaan alat (pisau) yang bergantian antara persiapan sayur dan lauk hewani.
3. Petugas sudah menggunakan APD seperti celemek, sarung tangan, penutup kepala namun tidak menggunakan masker
Monitoring yang dilakukan:
1) Memastikan petugas sudah mencuci tangan dan mencuci bersih bahan makanan dengan air mengalir.
2) Memastikan peralatan yang digunakan terpisah sesuai jenis bahan makanan 3) Petugas menggunakan APD lengkap secara baik dan benar.
Tindkan koresksi: 1) Mencuci bahan makanan dengan air mengalir dan memastikan petugas menggunakan APD yang lengkap, 2) Membedakan peralatan yang digunakan dalam proses persiapan lauk hewani dan sayur.
Verifikasi: Peninjauan kembali prosedur persiapan bahan makanan dan memeriksa kelengkapan APD petugas.
Pada proses persiapan merupakan CCP, karena hanya dapat mengurangi bahaya yang ada. Pada tahap ini tahu dicuci untuk mencegah terjadinya kontaminasi atau mengurangi potensi bahaya yang ada pada bahan makanan tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan di RSUD Ulin Banjarmasin pada proses persiapan bahan makanan yang disiapkan yaitu tempe, garam, bawang putih dan minyak. Tempe dicuci, alat yang digunakan untuk persiapan bersih, serta petugas persiapan bahan makanan sudah menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) dengan lengkap seperti sarung tangan, celemek, sandal kerja dan masker, Pencucian bahan makanan dengan air yang mengalir untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada bahan makanan sudah dilakukan dengan baik, sehingga dapat meminimalisasi terjadinya kontaminasi lewat bahan makanan baik berupa debu, kotoran atau benda asing yang ditemukan di bahan makanan.
4.2.3 Tahap Penggolahan
Pada tahap pengolahan selain suhu yang harus diperhatikan hygiene dan santasi tenaga dari penjamah makanan. Tenaga penjamah makanan harus menggunakan APD (Alat Pelindung dan Diri) yang lengkap seperti celemek, penutup kepala, sarung tangan, masker serta sandal kerja. Selain itu, seorang tenaga penjamah yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut (DepKes 2006):
a. Kondisi kesehatan seperti tidak menderita penyakit mudah menular (batuk, pilek, influenza, diare, dan penyakit menular lainnya).
b. Kebiasaan mencuci tangan: sebelum menjamah atau memegang makanan serta memegang peralatan makanan.
c. Tidak menggaruk-garuk rambut atau sela jari, tidak merokok dan menutup mulut saat bersin atau batuk.
d. Penampilan penjamah makanan harus bersih dan rapi.
e. Pada penjamah makanan harus rutin melakukan pemeriksaan kesehatan berkala sekurang-kurangnya 1 tahun sekali.
Pada proses pengolahan termasuk dalam CCP karena pada proses ini diharapkan mampu menghilangkan bahaya yang ada. Tenaga penjamah yang bekerja di unit pengolahan sudah dilakukan cek kesehatan rutin setiap setahun
sekali. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di RSUD Ulin Banjarmasin Pengolahan tahu goreng dimasak untuk menu pasien VIP kelas I,II,III pada jam 11.00 WITA. Pada saat pengolahan yang pertama dilakukan yaitu membuat tahu goreng dengan cara:
1. Memeotong tempe.
2. Mencampurkan tempe air, bawang putih dan garam 3. Kemudian direndam
4. Lalu digoreng di minyak panas dengan api sedang sampai tempe berwarna kecoklatan.
Jenis bahaya yang mungkin terjadi pada proses penggolahan adalah bahaya fisik dan biologis. Batas kritis proses penggolahan:
1. Kororan seperti rambut dan benda asing
2. Kontaminasi bakteri dari penjamah dan peralatan.
Cara pencegahan:
1. Petugas menggunakan APD lengkap (masker, sarung tangan, penutup kepala, celemek) secara baik dan benar.
2. Menggunakan peralatan sesuai jenis bahan makanan dan mencuci peralatan pengolahan sebelum dan sesudah digunaka
Hasil pengamatan proses penggolahan menu tempe goreng di instalasi gizi RSUD Ulin Banjarmasin:
1) Petugas sudah mengguna- kan APD seperti celemek, sarung tangan, penutup kepala namun tidak menggunakan masker
2) Petugas telah mencuci peralatan sebelum dan sesudah digunakan Monitoring yang dilakukan pada proses penggolahan:
1. Memastikan petugas mengguna- kan APD lengkap secara baik dan benar.
2. Memastikan proses pencucian alat dilakukan Tindakan koreksi:
1. Petugas mengguna- kan APD lengkap secara baik dan benar.
2. Proses pencucian alat dilakukan sebelum dan sesudah digunakan.
Verifikasi yang dilakukan, yaitu peninjauan kembali proses pengolahan bahan makanan dan memeriksa kelengkapan APD petugas
4.2.4 Tahap Pemorsian
Pada tahap pemorsian yang harus diperhatikan adalah hygiene dan santasi tenaga dari penjamah makanan. Tenaga penjamah makanan harus menggunakan APD (Alat Pelindung dan Diri) yang lengkap seperti celemek, penutup kepala, sarung tangan, masker serta sandal kerja. Pada tahap pemorsian merupakan CCP, karena pada proses ini dapat mengurangi bahaya dengan menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) seperti sarung tangan, masker, celemek yang lengkap agar makanan tidak terkontaminasi bakteri langsung dari penjamah.
Bahaya yang terjadi pada proses pemorsian, yaitu bahaya fisik dan biologis.
Batas kritis pada proses pemorsian:
1. Kotoran sisa makanan, serpihan plastik kemasan, dan sisa air yang menempel di wadah makanan
2. Kontaminasi dari udara, bakteri penjamah dan alat yang digunakan.
Cara pencegahan:
1. Pembersihan sisa makanan dan proses pengeringan pada wadah makanan 2. Petugas menggunakan APD lengkap secara baik dan benar
3. Bahan makanan yang telah matang dan disajikan, harus segera ditutup Hasil pengamatan proses pemorsian di instalasi gizi RSUD Ulin Banjarmasin:
1) Alat makan sudah bersih namun masih ada air sisa dari proses pencucian 2) Petugas sudah menggunakan APD lengkap
3) Bahan makanan yang telah matang ditutup mengguna- kan plastik wrapping.
Monitoring yang dilakukan dalam proses pemorsian:
1. Memastikan proses pencucian dan pengeringan alat dilakukan sesuai prosedur
2. Memastikan petugas menggunakan APD lengkap secara baik dan benar 3. Memastikan bahan makanan yang telah matang selalu disimpan dalam wadah
yang tertutup.
Tindakan koreksi:
1. Proses pencucian dan pengering- an alat dilakukan sesuai prosedur 2. Petugas mengguna- kan APD lengkap secara baik dan benar
3. Menyimpan bahan makanan menggunakan wadah tertutup atau menggunakan plastik wrapping
Verifikasi, yaitu dilakukan peninjauan kembali prosedur pencucian dan pengeringan alat makan dan memeriksa
Berdasarkan hasil pengamatan di RSUD Ulin Banjrmasin makanan Setelah selesai diolah kemudian diporsikan untuk pasien VIP kelas I,II,III . Pemorsian dilakukan pada jam 11.00 WITA. Sistem distribusi untuk pasien pada kelas III yang akan disajikan didalam piring plato dan kotakan. Lama penyimpanan sementara dengan waktu pemorsian yaitu selama 28 menit, sehingga makanan yang disajikan masih dalam keadaan hangat. Lama penyimpanan ini sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan dimana jarak waktu antara selesai pengolahan dengan distribusi adalah selama 1 jam untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Sebelum makanan diporsikan, makanan disimpan di dalam wadah berupa panci dan ditutup dengan wrapping.
4.2.5 Tahap Pendistribusian
Pada proses pendistribusian dan penyajian merupakan CCP, karena dapat mengurangi bahaya yang ada, khususnya bahaya karena proses distribusi dan penyajian makanan, petugas distribusi dan penyajian tidak menggunakan masker yang benar sehingga makanan dapat terkontaminasi dengan mikroba yang ada pada mulut saat seorang distribusi dan penyaji sedang berbicara. Pada tahap distribusi dan penyajian harus diperhatikan hygiene dan santasi tenaga dari penjamah makanan. Tenaga penjamah makanan harus menggunakan APD (Alat Pelindung dan Diri) seperti sarung tangan dan masker.
Bahaya yang mungkin terjadi pada proses pendistibusian, yaitu bahaya fisik dan biologis. Batas kritis proses pendistibusian:
1. Kotoran sisa makanan pada troli 2. Kontaminasi bakteri
Cara pencegahan:
1) Menggunakan troli yang bersih dan aman serta tertutup.
2) Makanan didalam troli tidak terbuka sehingga tidak mengakibatkan kontaminasi silang
Hasil pengamatan proses pendistirbusian makanan di intalasi gizi RSUD Ulin Banjarmasin:
1. Troli yang digunakan sudah bersih dan kondisinya tertutup.
2. Makanan di dalam troli sudah dalam wadah tertutup.
Monitoring yang dilakukan:
1. Memastikan troli yang digunakan dalam keadaan bersih dan kering 2. Memastikan makanan yang sudah diporsi dalam keadaan tertutup Tindakan koreksi proses pendistribusian:
1) Membersihkan troli sebelum dan sesudah digunakan 2) Memberikan tutup pada wadah makanan yang terbuka
Verifikasi pada proses pendistribusian, yaitu dilakukan peninjauan kembali prosedur pendistribusian dan memeriksa kondisi kemasan makanan.
Berdasarkan hasil pengamatan Distribusi makanan dilakukan dari dapur utama menuju ruangan. Pengangkutan makanan pasien menggunakan trolley tertutup agar tidak tercemar oleh serangga dan cemaran lainnya. Jarak waktu penyajian setelah pengolahan adalah ±1 jam. Pramusaji yang mendistribusikan makanan tidak menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) lengkap, hanya menggunakan masker saja tanpa menggunakan sarung tangan pada saat menutup plato dan memindahkan ke trolly.
BAB V PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan pada menu tempe goreng didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Tempe goreng merupakan salah satu produk olahan dari bahan tempe sebagai hidangan lauk nabati untuk makan siang pada menu ke-5 yang disajikan untuk pasien di RSUD Ulin Banjaramasin. Bahan untuk penggolahan tempe goreng sendiri terdiri dari tempe, bawang putih, garam, air dan minyak goreng.
2. Cara pembuatan tempe goreng dimulai dengan menghaluskan bawang putih, kemudian mencampurkan tempe yang sudah disortir dan dibersihkan dengan bawang putih, garam dan sedikit air dan dilakukan proses penggorengan tempe hingga kecoklatan. Lalu pindahkan tempe goreng ke dalam wadah stainless steel kemudian tempe goreng ditutup dengan plastik wrap. Alat yang digunakan dalam proses pengolahan sudah bersih sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya kontaminasi.
Berdasarkan hasil pengamatan, petugas yang melakukan pengolahan makanan menggunakan APD lengkap.
3. Berdasarkan hasil pengamatan bahaya yang terdapat dalam proses pembuatan tempe goreng ada pada tahap penggorengan tempe, yaitu terdapat bahaya fisik seperti benda asing dan overcook. Selain itu, pada tahap pemorsian terdapat bahaya berupa bahaya fisik seperti benda asing dan bahaya biologi dari bakteri E. coli.
4. Berdasarkan hasil pengamatan, tindak pengendalian yang dapat dilakukan pada proses penggorengan tempe yaitu dengan memperhatikan waktu dan suhu 150-170°C pada saat penggorengan agar bakteri mati. Kemudian, tindak pengendalian pada proses pemorsian adalah pemantauan suhu saat makanan diporsi agar bakteri tidak dapat berkembang biak.
5. Berdasarkan hasil pengamatan yang termasuk CCP adalah proses penggorengan tempe dan pemorsian tempe. Penggorengan tempe akan menyebabkan overcook apabila tidak memperhatikan waktu dan suhu
saat penggorengan. Pemorsian juga termasuk CCP karena dapat menyebabkan bahaya E. coli.
6. Batas kritis pada pengolahan tempe goreng yaitu, pada tahap penggorengan tempe yang perlu diperhatikan yaitu hygiene sanitasi penjamah makanan dan waktu pemasakan. Sedangkan untuk pemorsian terik tahu yang perlu diperhatikan adalah hygiene sanitasi penjamah makanan dan suhu pemorsian.
7. Berdasarkan hasil pengamatan, prosedur pembuatan tempe goreng yang perlu diperhatikan adalah pemantauan terhadap tahap penggorengan tempe pada saat produksi dan pemantauan terhadap tahap pemorsian tempe goreng.
8. Berdasarkan hasil pengamatan, tindakan koreksi CCP produk tempe goreng pada tahap penggorengan adalah menghilangkan cemaran fisik berupa benda asing dan overcook. Pada tahap pemorsian tempe goreng tindakan koreksinya adalah mengilangkan cemaran fisik berupa benda asing dan cemaran biologi berupa bakteri E. coli.
4.2 Saran
1) Bagi penjamah Makanan
Penjamah agar selalu menerapkan higiene seperti menggunakan APD yang lengkap dan benar (masker, sarung tangan, celemek, sendal dan penutup kepala). Selalu membersihkan peralatan dan lingkungan sekitar sebelum ataupun setelah digunakan mulai dari proses peneriman bahan makanan sampai pendistribusian dan penyajian makanan kepada pasien sehingga dapat meminimalisir bahaya kontaminasi yang terjadi.
2) Bagi Instalagi gizi
Selalu meningkatkan pengawasan terhadap higiene dan sanitasi di setiap proses kegiatan penyelenggaraan makanan dan menjaga standar mutu bahan makanan yang disediakan.
3) Bagi Instalasi Pendidikan
Menambahkan materi keilmuan dan meningkatkan persiapan pembekalan bagi mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang I. 2012. Penyelenggaraan Makanan Manajemen Sistem Pelayanan Gizi Swakelola dan Jasaboga di Instalasi Gizi Rumah Sakit. Yogyakarta:
Leutika.
Cartwright, L. M., & Latifah, D. 2010. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Sebagai Model Kendali dan Penjaminan Mutu Produksi Pangan (Studi Pada Perkuliahan Pastry di Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung).
Innovation of Vocational Technology Education (INVOTEC), VI(17), 509 519.
Codex Alimentarius Commision. (2020). General Principles of Food Hygiene.
Revisi CXC 1-1969 September 2020.
Dewi, L.M. (2015). Evaluasi bahaya mikrobiologi pada ayam goreng laos melalui prinsip-prinsip HACCP di Instalasi Gizi RS PKU Muhammadiyah Surakarta. (Skripsi yang tidak dipublikasi), Universitas Muhammadiyah, Surakarta. Diakses dari http://eprints.ums. ac.id/39010/1/PUBLIKASI
%20KARYA%20 ILMIAH.pdf.
Djarismawati, dkk. 2004. Pengetahuan dan Perilaku Penjamah tentang Sanitasi Pengolah Makanan pada Instalasi Gizi Rumah Sakit di Jakarta. Media Penelitian dan Pengembangan. 14(03): 31-37.
Mahbubah, A., Ningsih, D. A., Mar'atusholehah, S. U. 2017. Laporan Haccp (Hazard Analysis Critical Control Point) pada Menu Ayam Bakar Barbeque di Rumah Sakit Mitra Plumbon. Laporan.
Vatria B. 2016. Program Manajemen mutu Terpadu Berdasarkan konsepsi HACCP. Jurnal Vokasi 5(1): 104-114.
Wayansari L, Anwar IZ, Amri Z. (2018). Manajemen Sistem Penyelenggaraan Makanan Institusi. Bahan Ajar Gizi. Kementerian Kesehatan RepublikIndonesia.
Wibowo. 2013. Manajemen Kinerja. Yogyakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Menu Makanan Pasien pada Menu Hari Ke-5
Lampiran 2. Spesifikasi Bahan Makanan Basah
No Bahan makanan Satuan Spesifikasi
1 Tempe kg Warna putih kekuningan
khas kedelai, tidak berbau, tanpa pengawet
2 Bawang putih kg Sudah dikupas dan masih segar
Lampiran 3. Spesifikasi Bahan Makanan Kering
No Bahan makanan Satuan Spesifikasi
1 Garam bks Warna putih bersih, tidak basah, butiran halus mengandung yodium, @250 gr bersih, tidak ada kotoan
2 Minyak goreng kemasan Kemasan tidak rusak, tidak bolong, bersih dari kotoran, kemasan kuning jerni
@1liter
Lampiran 4. Dokumentasi Kegiatan
Tahap penerimaan Tahap Penyortiran
Tahap persiapan Tahap persiapan bumbu
Tahap pencampuran bumbu Tahap penggolahan
Suhu saat penggorengan tempe Penyajian tempe dengan bento box
Penyajian tempe dengan plato stainless