• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN MINI PROJECT Caroline Sugiharto

N/A
N/A
fadila aisyah

Academic year: 2024

Membagikan " LAPORAN MINI PROJECT Caroline Sugiharto"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN MINI PROJECT

PENYULUHAN SEBAGAI METODE PENINGKATAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG ANEMIA PADA KEHAMILAN SEBAGAI

UPAYA PENURUNAN KASUS ANEMIA PADA KEHAMILAN DI DESA TUKADAYA, WILAYAH KERJA PUSKESMAS I MELAYA

Disusun Oleh:

dr. Caroline Sugiharto

Pembimbing:

dr. Ni Komang Yulia Restu Ayu Ningsih

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA UPTD PUSKESMAS I MELAYA

JEMBRANA 2023

(2)

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PENYULUHAN SEBAGAI METODE PENINGKATAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG ANEMIA PADA KEHAMILAN

SEBAGAI UPAYA PENURUNAN KASUS ANEMIA PADA KEHAMILAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS I MELAYA

Disusun oleh:

dr. Caroline Sugiharto

Telah disetujui untuk diajukan sebagai mini project Puseksmas I Melaya sebagai salah satu persyaratan Program Internsip Dokter Indonesia

Periode 20 November 2022 – 19 Mei 2023

Disetujui oleh:

Kepala UPTD. Puskesmas I Melaya & Pembimbing Internsip

dr. Ni Komang Yulia Restu Ayu Ningsih Jembrana, Mei 2023

(3)

ABSTRAK

Latar Belakang: Masalah stunting pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) masih menjadi masalah kesehatan, terutama di negara berkembang. Menurut data The Global Health Observatory, yaitu pusat data kesehatan WHO, pada tahun 2020 prevalensi stunting pada balita di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terdapat 54,3 juta balita dengan stunting. Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting di Indonesia adalah 21,6%. Penyebab stunting bersifat multifaktorial, salah satunya adalah kekurangan asupan nutrisi yang adekuat pada 1000 HPK seorang anak, yang dipengaruhi oleh kekurangan asupan nutrisi pada ibu hamil, dengan salah satu indikatornya ialah anemia. Di Provinsi Bali pada tahun 2020, prevalensi ibu hamil yang mengalami anemia sebesar 7,4% atau sekitar 5.305 kasus. Data epidemiologi yang dimiliki oleh Puskesmas I Melaya pada periode Oktober 2022 hingga Maret 2023 menunjukkan bahwa Desa Tukadaya memiliki jumlah kasus anemia pada ibu hamil dan jumlah kasus terduga stunting yang relatif tinggi di Kecamatan Melaya. Faktor yang mempengaruhi upaya ibu hamil dalam melakukan pencegahan anemia antara lain pengetahuan dan sikap.

Tujuan: Tujuan mini project ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan ibu hamil tentang anemia pada kehamilan untuk menurunkan angka kejadian anemia pada ibu hamil di Desa Tukadaya secara khusus, dan di Wilayah Kerja Puskesmas I Melaya secara umum. Tujuan dicapai dengan melakukan intervensi berupa penyuluhan.

Metode: Mini project ini merupakan studi analitik komparatif numerik berpasangan dua kelompok dengan desain studi potong lintang yang dilaksanakan pada tanggal 14 April 2023 di Kelas Ibu Hamil Desa Tukadaya. Metode pengambilan sampel dengan cara convenience sampling pada populasi target yang dibatasi oleh kriteria inklusi dan eksklusi. Data kemudian diolah dan dianalisis menggunakan uji statistik Wilcoxon Signed Ranks test untuk menentukan signifikansi perbedaan hasil nilai pretest dan posttest.

Hasil: Hasil penelitian dari 14 responden menunjukkan bahwa dari hasil nilai pretest diketahui sebanyak 35,71% ibu hamil memiliki tingkat pengetahuan baik, 50% memiliki tingkat pengetahuan cukup, dan 14,29% memiliki tingkat pengetahuan kurang. Hasil analisis bivariat menunjukkan perbedaan yang signifikan antara hasil pretest dan posttest (p < 0,05), dengan tren menunjukkan peningkatan pada hasil nilai posttest.

Kata Kunci: Penyuluhan, Peningkatan Pengetahuan, Anemia pada Kehamilan, Melaya.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan mini project berjudul: “Penyuluhan Sebagai Metode Peningkatan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Anemia Pada Kehamilan Sebagai Upaya Penurunan Kasus Anemia Pada Kehamilan Di Wilayah Kerja Puskesmas I Melaya”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan mini project ini, yaitu:

1. dr. Ni Komang Yulia Restu Ayu Ningsih sebagai Kepala UPTD. Puskesmas I Melaya dan pembimbing dalam Program Internsip Dokter Internsip (PIDI).

2. Bu Margi Utami selaku pemegang program Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Promosi Kesehatan di Puskesmas I Melaya

3. Bu Sutianingsih selaku pemegang program Gizi di Puskesmas I Melaya

4. Bu Yeni Kodi Nanga selaku penanggungjawab pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas I Melaya

5. Bidan Amel dan Bidan Ayu, selaku bidan wilayah di Desa Tukadaya 6. Seluruh staf Puskesmas I Melaya

7. Orangtua penulis

atas bimbingan, kerjasama, dan dukungan moral yang telah diberikan selama pelaksanaan mini project dan penulisan laporan ini.

Penulis menyadari bahwa mini project ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca dan berbagai pihak demi perbaikan penelitian ini agar dapat menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi pembacanya.

Penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam pelaksanaan mini project dan penulisan laporan ini. Penulis berharap bahwa pelaksanaan dan laporan mini project ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan para pembaca.

Jembrana, Mei 2023 Penulis

(5)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... 2

ABSTRAK ... 3

KATA PENGANTAR ... 4

DAFTAR ISI ... 5

DAFTAR GAMBAR ... 6

DAFTAR TABEL ... 7

DAFTAR GRAFIK ... 8

DAFTAR LAMPIRAN ... 9

DAFTAR SINGKATAN ... 10

BAB I PENDAHULUAN ... 11

1.1 LATAR BELAKANG ... 11

1.2RUMUSAN MASALAH ... 14

1.3PERTANYAAN PENELITIAN ... 14

1.4TUJUAN UMUM DAN KHUSUS ... 15

1.5MANFAAT PENELITIAN ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 17

II.1STUNTING ... 17

II.2ANEMIA ... 25

II.3ANEMIA DALAM KEHAMILAN DAN NIFAS ... 27

II.4ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA KEHAMILAN ... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 35

III.1DESAIN PENELITIAN ... 35

III.2LOKASI DAN WAKTU PELAKSANAAN ... 35

III.3POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN ... 35

III.4KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI ... 36

III.5VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 36

III.6ALUR PENELITIAN ... 39

III.7MANAJEMEN DAN ANALISIS DATA ... 39

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 41

IV.1HASIL PENELITIAN PRE-INTERVENSI ... 41

IV.2HASIL PENELITIAN POST-INTERVENSI ... 54

BAB V PEMBAHASAN ... 57

V.1PEMBAHASAN ... 57

V.2EVALUASI ... 61

V.3KETERBATASAN PENELITIAN ... 62

BAB VI PENUTUP ... 63

VI.1SIMPULAN ... 63

VI.2SARAN ... 63

REFERENSI ... 64

(6)

LAMPIRAN ... 66

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. The World Health Organization conceptual framework on childhood stunting:

Proximate causes and contextual determinants.

Gambar 2.2. Stunting syndrome Gambar 2.3. Klasifikasi Anemia Gambar 2.4 Spektrum defisiensi besi

Gambar 2.5 Alur Diagnosis Anemia dalam Kehamilan

Gambar 4.1 Diagram Tulang Ikan untuk Menentukan Akar Penyebab Masalah

(7)

DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Stadium anemia defisiensi besi

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Tabel 4.1 Faktor yang berkontribusi pada kejadian stunting

Tabel 4.2 Matriks Kriteria I x T x R untuk Analisis Prioritas Masalah

Tabel 4.3 Matriks Kriteria (M × I × V)/C untuk Menentukan Prioritas Alternatif Penyelesaian Masalah

Tabel 4.4 Penentuan prioritas lokasi intervensi Tabel 4.5 Karakteristik Demografi Responden

Tabel 4.6 Gambaran Pengetahuan Responden tentang Anemia pada Kehamilan Sebelum Intervensi

Tabel 4.7 Gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku reponden dalam mengkonsumsi TTD sebelum intervensi

Tabel 4.8 Gambaran Pengetahuan Responden tentang Anemia pada Kehamilan Sesudah Intervensi Tabel 4.9 Hasil Nilai Pretest dan Posttest

Tabel 4.10 Tingkat Pengetahuan Responden tentang Anemia pada Kehamilan Sebelum dan Sesudah Intervensi

Tabel 4.11 Hasil analisis Uji Normalitas Shapiro-Wilk Tabel 4.12 Hasil analisis Uji Wilcoxon Signed Ranks test

(8)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Prevalensi stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas I Melaya periode Oktober 2022 hingga Maret 2023

Grafik 4.2 Rata-rata prevalensi stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas I Melaya periode Oktober 2022 hingga Maret 2023

Grafik 4.3 Prevalensi anemia pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas I Melaya periode Oktober 2022 hingga Maret 2023

Grafik 4.4 Rata-rata prevalensi anemia pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas I Melaya periode Oktober 2022 hingga Maret 2023

(9)

DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN A - Kuesioner

LAMPIRAN B - Leaflet Edukasi

LAMPIRAN C - Dokumentasi Kegiatan LAMPIRAN D - Analisis Data

(10)

DAFTAR SINGKATAN 1000 HPK : Seribu Hari Pertama kehidupan

ANC : Antenatal care ASI : Air susu ibu

BBLR : Berat badan lahir rendah FANC : Focused Antenatal Care

FKRTL : Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut FKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

KEK : Kekurangan energi kronik Kemenkes : Kementerian Kesehatan KIA : Kesehatan Ibu dan Anak

MCH : Mean Corpuscular Haemoglobin

MCHC : Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration MCV : Mean Corpuscular Volume

MPASI : Makanan pendamping air susu ibu PHBS : Perilaku hidup bersih dan sehat RDW : Red-cell Distribution Width Riskesdas : Riset kesehatan dasar

SDKI : Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia SHK : Skrining hipotiroid kongenital

SI : Serum iron

SSGI : Survei Status Gizi Indonesia sTfR : soluble Transferin Receptor Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional TIBC : total iron bincing capacity TSAT : Saturasi Transferin TTD : tablet tambah darah

WHO : World Health Organization

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO), stunting adalah keadaan pendek atau sangat pendek, yang diukur berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 standar deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO, yang terjadi akibat asupan nutrisi yang tidak adekuat dan/atau infeksi berulang atau kronik, dan stimulasi psikososial yang tidak adekuat, yang terjadi dalam seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK). 1000 HPK dimulai sejak konsepsi hingga anak usia 2 tahun. Stunting yang terjadi semasa 1000 HPK ini memiliki banyak akibat yang menyertainya. Dari aspek kesehatan, stunting menyebabkan perawakan pendek, gangguan pertumbuhan dan perkembangan, serta masalah malnutrisi seperti peningkatan berat badan berlebih semasa kanak-kanak, dan penyakit kronik yang berhubungan dengan malnutrisi seperti diabetes, obesitas, dislipidemia, stroke, dan penyakit jantung. Dari aspek ekonomi dan politik, gangguan pertumbuhan dan perkembangan menyebabkan gangguan belajar, fungsi kognitif yang buruk, dan kelak berdampak pada produktivitas saat usia kerja, rendahnya pendapatan, hingga berdampak pada ekonomi makro suatu negara akibat rendahnya produk domestik bruto.1

Masalah stunting pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) masih menjadi masalah kesehatan, terutama di negara berkembang. Menurut data The Global Health Observatory, yaitu pusat data kesehatan WHO, pada tahun 2020 prevalensi stunting pada balita di seluruh dunia mencapai 22%, atau sebanyak 149,2 juta balita. Prevalensi stunting dunia terus mengalami penurunan sejak tahun 1990, meski demikian upaya untuk menurunkan prevalensi stunting perlu terus dilakukan untuk mencapai target penurunan sebesar 3,9% per tahun, terhitung sejak tahun 2012 hingga tahun 2025. Prevalensi stunting di Asia termasuk dalam tiga besar benua dengan angka stunting tertinggi, yaitu berada di urutan pertama yang diikuti oleh kepulauan Oceania dan Afrika, yaitu 52,9%, 41,4%, dan 30,7% secara berurutan. Data ini berarti terdapat estimasi 79 juta balita dengan stunting di Asia. Di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terdapat 54,3 juta balita dengan stunting.2

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengumumkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), yang mana prevalensi stunting di Indonesia mengalami penurunan dari 24,4% pada tahun 2021, menjadi 21,6% pada tahun 2022. Meski pengalami penurunan, namun berdasarkan kriteria WHO masih tergolong kategori tinggi (>20%). Upaya untuk menurunkan prevalensi stunting di

(12)

Indonesia perlu ditingkatkan hingga konsisten turun 3,8% per tahun untuk mencapai target pemerintah yaitu 14% di tahun 2024. Provinsi Bali adalah provinsi terbaik di Indonesia dalam hal prevalensi balita stunting, dengan jumlah terendah nasional, angka tersebut mengalami penurunan dari yang sebelumnya 10,9% di tahun 2021 menjadi 8% di tahun 2022.3 Meski demikian, ada 4 kabupaten yang perlu mendapatkan perhatian karena angka prevalensi stuntingnya di bawah rata- rata Provinsi Bali. Kabupaten Jembrana menjadi Kabupaten dengan angka stunting tertinggi di Bali dengan jumlah 14,2%, diikuti oleh Kabupaten Buleleng, Kabupaten Karangasem, dan Kabupaten Bangli sebesar 11%, 9,2%, dan 9,1% secara berurutan.4

Ada beberapa faktor yang mendasari terjadinya stunting, antara lain kalori yang tidak adekuat dan kebutuhan nutrisi yang meningkat. Asupan kalori dan nutrisi yang tidak adekuat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: faktor sosio-ekonomi pada populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan orangtua yang rendah mengenai praktik pemberian makan untuk bayi dan balita, termasuk kecukupan ASI dan peranan protein hewani dalam MPASI.

Faktor lain termasuk penelantaran, pengaruh budaya, dan ketersediaan bahan makanan setempat.

Kebutuhan nutrisi yang meningkat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: penyakit jantung bawaan, alergi susu sapi, bayi berat badan lahir rendah, kelainan metabolisme bawaan, dan infeksi kronik yang disebabkan oleh kebersihan personal dan lingkungan yang buruk (seperti diare kronis), dan penyakit yang dapat dicegah oleh imunisasi (seperti Tuberculosis/TB, difteri, pertusis, campak).5

Upaya pencegahan dan penurunan angka stunting melibatkan berbagai pihak, dari tingkat keluarga yaitu orangtua dan anggota keluarga lainnya, tenaga kesehatan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) hingga fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL), dan peran pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung pencegahan dan percepatan penurunan angka stunting. Upaya pencegahan stunting dimulai sejak dini, yaitu kesehatan para calon orangtua terutama kesehatan remaja putri. Saat masa kehamilan, ibu hamil disarankan untuk rutin memeriksakan kondisi kehamilan ke FKTP dan memenuhi asupan nutrisi yang baik selama kehamilan, termasuk pemenuhan kebutuhan zat besi yang meningkat selama kehamilan. Pada populasi balita, perlu digalakkan upaya Inisiasi Menyusu Dini (IMD), untuk mendukung pemberian ASI Eksklusif hingga anak berusia enam bulan, pemantauan tumbuh kembang anak, dan pemberian imunisasi dasar untuk mencegah penyakit infeksi. Faktor higienitas pribadi dan

(13)

lingkungan yang baik juga mencegah terjadinya penyakit infeksi, dengan menerapkan gaya hidup bersih dan sehat.5

Dapat disimpulkan bahwa penyebab stunting bersifat multifaktorial, salah satunya adalah kekurangan asupan nutrisi yang adekuat pada 1000 HPK seorang anak, yang dipengaruhi oleh kekurangan asupan nutrisi pada ibu hamil. Indikator kekurangan nutrisi pada ibu hamil salah satunya adalah anemia. Dampak kekurangan gizi pada anak antara lain bisa menyebabkan bayi lahir prematur, bayi berat badan lahir rendah (BBLR), kematian janin, dan menghambat pertumbuhan janin, yang dapat terus berlanjut hingga setelah kelahiran hingga menyebabkan stunting. Selain dampak pada anak, anemia pada ibu hamil juga dapat berdampak bagi ibu, yaitu meningkatkan faktor risiko berbagai komorbiditas dan mortalitas, seperti meningkatnya angka kematian ibu, keguguran, pendarahan selama kehamilan, persalinan prematur, gangguan persalinan, dan gangguan masa nifas.6,7

Anemia pada kehamilan didefinisikan sebagai kadar hemoglobin kurang dari 11 g/dl. Data dari WHO Global Anaemia Estimates 2021 menunjukkan prevalensi anemia pada wanita usia subur, yaitu antara usia 15-49 tahun, sebesar 29,9% di seluruh dunia. Prevalensi anemia pada ibu hamil sebesar 36,5% di seluruh dunia. Di Indonesia, prevalensi anemia pada ibu hamil berusia 15- 49 tahun sebesar 44,2%.8. Di Provinsi Bali pada tahun 2020, prevalensi ibu hamil yang mengalami anemia sebesar 7,4% atau sekitar 5.305 kasus.9 Sebanyak 50-60% anemia pada ibu hamil disebabkan oleh defisiensi zat besi.6

Berdasarkan hasil penelitian systematic review yang dilakukan oleh Rahman RA, et al pada tahun 2022 di Malaysia menunjukkan bahwa sebagian besar kasus anemia pada kehamilan adalah akibat defisiensi besi. Faktor risiko yang mempengaruhi secara signifikan kejadian anemia pada ibu hamil akibat defisiensi besi antara lain usia kehamilan yang terlalu tua atau terlalu muda, grandemultipara (wanita yang melahirkan lima orang anak atau lebih), keterlambatan pemeriksaan kehamilan, kepatuhan mengonsumsi suplemen tambahan untuk pembentukan sel darah/hematinic (suplemen zat besi, asam folat, vitamin B12), kehamilan trimester dua, tingkat pendidikan rendah, pendapatan keluarga yang rendah, dan tempat tinggal di lingkungan pedesaan. Faktor yang mempengaruhi upaya ibu hamil dalam melakukan pencegahan anemia antara lain pengetahuan dan sikap. Jika pengetahuan ibu hamil mengenai anemia baik, ibu dapat lebih mengerti hal-hal yang dapat menunjang kualitas kehamilan, memilih bahan makanan, dan mengonsumsi suplemen yang dapat mencegah kondisi yang mengancam ibu dan bayi seperti anemia. Pengetahuan mengenai

(14)

anemia dan pencegahannya merupakan langkah awal dalam menanggulangi anemia pada diri sendiri.10

Puskesmas I Melaya terletak di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali.

Jumlah rata-rata kasus anemia pada ibu hamil paling banyak terjadi di Desa Manistutu, yang diikuti oleh Desa Tukadaya yaitu sebanyak 5,74%. Sementara itu pada periode Oktober 2022 hingga Maret 2023, angka stunting tertinggi terjadi di Desa Ekasari, sementara Desa Tukadaya berada di urutan kelima yaitu sebanyak 53 balita secara akumulatif.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan Mini Project dengan judul “Penyuluhan sebagai Metode Peningkatan Pengetahuan Ibu Hamil tentang Anemia pada Kehamilan sebagai Upaya Penurunan Kasus Anemia pada Kehamilan di Wilayah Kerja Puskesmas I Melaya”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah yang ditemukan antara lain:

1. Prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi yaitu 21,6% dan perlu dilakukan intervensi untuk mendukung percepatan penurunan angka stunting untuk mencapai target Pemerintah yaitu 14% di tahun 2024.

2. Prevalensi ibu hamil yang menderita anemia di Indonesia masih tinggi yaitu 44,2% dan perlu dilakukan intervensi demi meningkatkan kesejahteraan wanita secara umum dan ibu hamil secara khusus.

3. Prevalensi stunting pada balita dan prevalensi ibu hamil yang menderita anemia di Wilayah Kerja Puskesmas I Melaya terutama di Desa Tukadaya masih tergolong tinggi yaitu menempati urutan kedua pada masing-masing kategori.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Berapa prevalensi stunting pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Melaya periode Oktober 2022 hingga Maret 2023?

2. Berapa prevalensi anemia pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas I Melaya periode Oktober 2022 hingga Maret 2023?

3. Bagaimana tingkat pengetahuan ibu hamil tentang anemia pada kehamilan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi berupa penyuluhan?

(15)

4. Bagaimana sikap ibu hamil dalam mengonsumsi suplemen zat besi untuk mencegah anemia pada kehamilan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi berupa penyuluhan?

5. Apakah metode penyuluhan di kelas ibu hamil adalah metode yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan ibu hamil tentang anemia pada kehamilan?

1.4 Tujuan Umum dan Khusus 1.4.1 Tujuan Umum

Meningkatkan pengetahuan ibu hamil tentang anemia pada kehamilan untuk menurunkan angka kejadian anemia pada ibu hamil di Desa Tukadaya secara khusus, dan di Wilayah Kerja Puskesmas I Melaya secara umum.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui prevalensi stunting pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Melaya periode Oktober 2022 hingga Maret 2023.

2. Mengetahui profil dan prevalensi anemia pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas I Melaya periode Oktober 2022 hingga Maret 2023.

3. Mengetahui tingkat pengetahuan ibu hamil tentang anemia pada kehamilan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi berupa penyuluhan di kelas ibu hamil Desa Tukadaya.

4. Mengetahui sikap ibu hamil dalam mengonsumsi suplemen zat besi untuk mencegah anemia pada kehamilan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi berupa penyuluhan di kelas ibu hamil Desa Tukadaya.

5. Mengetahui efektivitas metode penyuluhan di kelas ibu hamil untuk meningkatkan pengetahuan ibu hamil tentang anemia pada kehamilan.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat bagi Masyarakat

1. Meningkatkan pengetahuan ibu hamil tentang anemia pada kehamilan dan sikap ibu hamil dalam mengonsumsi suplemen zat besi untuk mencegah anemia pada kehamilan.

2. Memberikan penyuluhan tentang anemia pada kehamilan kepada ibu hamil yang menghadiri kelas, dan topik kesehatan lainnya yang berkaitan dengan pencegahan stunting.

(16)

1.5.2 Manfaat bagi Puskesmas

1. Mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan prevalensi anemia pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas I Melaya secara umum dan di desa Tukadaya secara khusus.

2. Memberikan materi edukasi tentang anemia pada ibu hamil dan topik kesehatan lainnya yang berkaitan dengan pencegahan stunting, antara lain “Pemberian Tablet Tambah Darah”, “Skrining Hipotiroid Kongenital”, “Pola Asuh 1000 HPK”, dan “ASI Eksklusif”

1.5.3 Manfaat bagi Penulis

1. Membuat penelitian sederhana dan singkat yang bertujuan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan suatu masalah kesehatan masyrakat yang dihadapi oleh Puskesmas, dalam hal ini anemia pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas I Melaya.

2. Menambah pengetahuan mengenai topik kesehatan seputar stunting dan anemia pada ibu hamil serta pencegahannya, serta topik kesehatan lainnya yang berkaitan dengan pencegahan stunting.

(17)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Stunting

II.1.1 Definisi Stunting

Malnutrisi adalah kondisi yang dapat berupa defisiensi, kelebihan dan/atau ketidakseimbangan asupan energi dan zat gizi, yaitu:11

1. Kekurangan gizi (undernutrition), meliputi gizi kurang (berat badan rendah menurut panjang/tinggi badan), stunting (tinggi/panjang badan rendah menurut usia dan jenis kelamin), dan berat badan kurang/underweight (berat badan rendah menurut usia dan jenis

kelamin).

2. Malnutrisi terkait zat gizi mikro mencakup kekurangan atau kelebihan zat gizi mikro yang penting (vitamin dan mineral).

3. Gizi lebih dan obesitas yang dapat berisiko menjadi penyakit tidak menular di kemudian hari seperti penyakit jantung, stroke, diabetes

dan kanker.

Stunting merupakan perawakan pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang/tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 Standar Deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO, disebabkan kekurangan gizi kronik yang berhubungan dengan status sosioekonomi rendah, asupan nutrisi dan kesehatan ibu yang buruk, riwayat sakit berulang dan praktik pemberian makan pada bayi dan anak yang tidak tepat. Stunting menyebabkan hambatan dalam mencapai potensi fisik dan kognitif anak. Kurva pertumbuhan yang digunakan untuk diagnosis stunting adalah kurva WHO child growth standard tahun 2006 yang merupakan baku emas pertumbuhan optimal seorang anak.

II.1.2 Epidemiologi Stunting

World Health Organization (WHO) memperkirakan 22,2% atau 149,2 juta anak di bawah 5 tahun menderita stunting pada tahun 2020. Wilayah Asia memiliki angka stunting tertinggi yaitu sebanyak 79 juta anak (52,9%), terutama di Asia Tenggara (54,3 juta anak), diikuti oleh Afrika 61,4 juta anak (41,1%) dan Amerika Latin 5,8 juta anak (3,8%). Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menunjukkan angka stunting nasional juga menurun dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6% di tahun 2022. Kendati demikian, angka ini masih tergolong tinggi menurut WHO yaitu di atas 20%, dan masih jauh di atas target nasional pemerintah RI yaitu 14% di tahun 2024.11

II.1.3 Etiologi dan Penyebab Potensial Stunting

Stunting selalu diawali dengan kenaikan berat badan yang tidak adekuat (weight faltering). Weight faltering yang tidak ditatalaksana secara optimal akan memperlambat laju pertumbuhan linier karena tubuh berusaha untuk mempertahankan status gizi. Perlambatan pertumbuhan linier ini akan berlanjut menjadi stunting (malnutrisi kronik). Kondisi weight faltering pada bayi dan balita memiliki faktor-faktor potensial sebagai penyebab yaitu adanya asupan kalori yang tidak adekuat, gangguan absorpsi atau meningkatnya metabolisme tubuh akibat penyakit tertentu.

(18)

1. Asupan kalori yang tidak adekuat. Contoh: penyakit seperti Gastroesofageal refluks, gangguan mekanik dalam menyusu (misal celah bibir/langit-langit), gangguan koordinasi neuromotor oral, gangguan gastrointestinal yang diinduksi toksin (misal peningkatan kadar timbal menyebabkan anoreksia, konstipasi, atau nyeri perut), pasokan ASI tidak adekuat atau perlekatan tidak efektif, penyiapan susu formula yang salah, penelantaran atau kekerasan anak, kebiasaan makan yang buruk,

2. Absorbsi yang tidak adekuat. Contoh: anemia defisiensi besi, atresia bilier, penyakit celiac, gangguan gastrointestinal kronis (irritable bowel syndrome), infeksi, fibrosis kistik, kelainan metabolisme bawaan, alergi susu sapi, kolestasis, penyakit hati.

3. Peningkatan metabolisme. Contoh: infeksi kronis (HIV-AIDS, tuberkulosis), kelainan jantung bawaan, penyakit paru kronis (pada bayi dengan riwayat prematur), keganasan, gagal ginjal, hipertiroid, kondisi inflamasi (misal asma, inflammatory bowel disease).

Interaksi berbagai faktor penyebab stunting dijabarkan pada kerangka konsep WHO seperti tercantum pada gambar 2 di bawah ini. Terdapat empat faktor langsung yang memengaruhi terjadinya stunting yaitu faktor keluarga dan rumah tangga, ASI, makanan pendamping ASI (MPASI) dan infeksi.

(19)

Gambar 2.1. The World Health Organization conceptual framework on childhood stunting:

Proximate causes and contextual determinants.

Prendergast, dkk, memperkenalkan stunting syndrome yaitu berbagai perubahan patologis ditandai dengan gangguan pertumbuhan linier yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta menurunkan kapasitas fisik, Intelligence Quotion (IQ) dan status ekonomi.

Gambar 2.2 menunjukkan stunting sebagai suatu siklus sebab akibat sejak masa prekonsepsi sampai masa dewasa. Pencegahan dan intervensi stunting dapat dilakukan sejak 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).

(20)

Gambar 2.2. Stunting syndrome

Keterangan:

1. Garis hijau menunjukkan periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dimana stunting dan patologi terkait dapat dicegah.

2. Garis kuning menunjukkan periode usia 2 tahun sampai pertengahan masa kanak-kanak dan pubertas dimana dapat terjadi catch- up pertumbuhan linear, namun perbaikan kognitif dan sistem

imun belum jelas.

3. Garis kuning pendek pada masa prekonsepsi menunjukkan

intervensi gizi pada calon ibu dapat meningkatkan luaran kelahiran.

4. Garis merah menunjukkan periode stunting yang tidak responsif terhadap intervensi.

5. Kotak biru berisi faktor penyebab stunting menurut kelompok usia.

6. Kotak putih menunjukkan luaran stunting menurut kelompok usia.

7. Pada usia 2 tahun sampai dewasa terdapat garis putus-putus yang menunjukkan luaran anak stunting dengan kondisi sosioekonomi baik dapat menyebabkan kenaikan BB berlebih.

8. Sedangkan garis utuh menunjukkan luaran anak stunting dengan kondisi sosioekonomi rendah.

Telaah sistematis oleh Beal dkk, menunjukkan beberapa faktor penyebab stunting di Indonesia sesuai dengan faktor-faktor pada kerangka konsep WHO. Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor keluarga dan rumah tangga yaitu ibu pendek, kelahiran prematur, panjang badan lahir

(21)

bayi yang pendek, tingkat pendidikan ibu rendah, dan status sosioekonomi yang rendah. Penelitian tersebut juga mengidentifikasi beberapa faktor yang berhubungan signifikan dengan kejadian stunting di Indonesia, namun tidak terdapat dalam kerangka konsep WHO, yaitu ayah yang pendek, riwayat merokok pada orang tua, kepadatan hunian, adanya demam dan cakupan imunisasi yang rendah. Kelemahan telaah sistematis ini adalah penggunaan definisi stunting yang bervariasi antar studi sehingga memerlukan tinjauan ulang.

II.1.4 Dampak Stunting

Kekurangan atau kelebihan zat gizi pada periode usia 0-2 tahun bersifat irreversibel sehingga berdampak pada kualitas hidup jangka pendek dan jangka panjang seorang anak.

Metaanalisis oleh Olofin dkk, pada 53.809 anak di Afrika, Asia dan Amerika Selatan menunjukkan mortalitas meningkat signifikan pada stunting (HR 5,48 (95% IK, 4,62- 6,50)). Penyakit infeksi seperti diare, infeksi saluran napas, dan campak menjadi penyebab mortalitas terbanyak pada studi ini.

Stunting akan memengaruhi perkembangan otak jangka panjang yang selanjutnya berdampak pada kemampuan kognitif dan prestasi sekolah. Selain itu, gangguan pertumbuhan linear akan memengaruhi daya tahan tubuh dan kapasitas kerja. Efek jangka panjang juga berhubungan dengan penurunan kemampuan oksidasi lemak sehingga menyebabkan risiko mengalami obesitas dan penyakit-penyakit degeneratif antara lain hipertensi, diabetes mellitus tipe 2, dan penyakit-penyakit kardiovaskular. Survei multisenter oleh Poh dkk, pada 16.700 anak di Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam menunjukan stunting secara bermakna berhubungan dengan penurunan IQ, terutama non-verbal, dengan nilai <89 (OR 1,65 95% IK: 1,64-1,66).

II.1.5 Diagnosis Stunting

Diagnosis stunting ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan antropometri dan penunjang.

II.1.5.1 Pemeriksaan Fisik dan Antropomotrik

Pemeriksaan fisik utama pada stunting berupa pengukuran antropometrik terdiri dari Berat Badan menurut Umur (BB/U), Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB), Lingkar Kepala (LK) dan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U). Pemeriksaan lain yaitu pertambahan panjang badan (length increment), pertambahan berat badan (weight increment), perhitungan rasio segmen atas dan segmen bawah tubuh, mid parental height dan potensi tinggi genetik. Pemeriksaan spesifik sistem organ tubuh dilakukan secara menyeluruh termasuk pemeriksaan perkembangan untuk mencari adanya red flags penyebab organik pada stunting.

Kriteria antropometrik stunting adalah berdasarkan indeks panjang badan atau tinggi badan menurut umur dan jenis kelamin (PB/U atau TB/U) <-2 SD berdasarkan kurva WHO 2006 untuk anak 0-5 tahun. Pemeriksaan antropometrik pada stunting sangat penting dilakukan menurut prosedur pengukuran standar meliputi teknik, alat timbang dan ukur, plotting serta interpretasi

(22)

hasil. Metode pengukuran yang tidak tepat akan menimbulkan bias pengukuran yang berefek pada ketidakvalidan diagnosis dan tata laksana. Analisis terhadap indeks antropometrik dan pola pertumbuhan dapat mengarahkan ke diagnosis banding stunting. Pendek yang didahului oleh suatu perlambatan pertumbuhan dapat diperkirakan sebagai stunting dengan menentukan apakah usia berat (weight age) < usia tinggi (height age) < usia kronologis (chronological age).

Rekomendasi WHO mengenai pengukuran antropometrik pada bayi dan anak, terutama dibawah 5 tahun, terdiri dari: Pengukuran Berat Badan, Pengukuran Tinggi/Panjang Badan, dan Pengukuran Lingkar Kepala.

II.1.5.1 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan jika terdapat red flags atau jika dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan hal-hal yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Pemeriksaan- pemeriksaan dasar seperti pemeriksaan darah perifer lengkap, urinalisis dan feses rutin dapat dilakukan jika ada indikasi. Pemeriksaan lainnya seperti kultur urin, darah samar dan analisis feses, profil besi, elektrolit darah, fungsi ginjal, fungsi hati, hormon tiroid (termasuk skrining hipotiroid kongenital pada bayi baru lahir), eksplorasi infeksi tuberkulosis dan penyebab infeksi lain, dapat dilakukan jika ada kecurigaan klinis. Pada kecurigaan terhadap alergi susu sapi dilakukan pemeriksaan Immunoglobulin E radioallergosorbent test (IgE RAST). Dan jika ada kecurigaan terhadap kelainan metabolisme bawaan atau IEM, lakukan pemeriksaan skrining rutin kelainan metabolik yaitu Gula Darah Sewaktu (GDS), Analisis Gas Darah (AGD), senjang anion, laktat, ammonia, keton darah dan urin, profil asam amino dan acylcarnitine, serta asam organik urin.

Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan sesuai dengan indikasi adalah pencitraan yaitu pemeriksaan usia tulang, toraks dan pencitraan otak.

II.1.6 Pencegahan Stunting

Pencegahan stunting terdiri atas pencegahan primer, sekunder dan tersier.

1. Pencegahan Primer (Promotif)

Pencegahan primer dilakukan mulai dari tingkat kader di posyandu. Kader melakukan pemantauan pertumbuhan, pengukuran Panjang Badan atau Tinggi Badan (PB atau TB) dan Berat Badan (BB) menggunakan alat dan metode pengukuran standar, serta memberikan edukasi kepada orang tua/pengasuh mengenai pemberian ASI eksklusif dan MPASI dengan kandungan gizi lengkap terutama protein hewani. Saat pelaksanaan posyandu, diusahakan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang mengandung protein hewani seperti telur, ayam, ikan, daging, susu dan produk olahan susu.

Jika didapatkan anak dengan PB atau TB berdasarkan usia dan jenis kelamin <-2 SD, BB/U <- 2 SD, atau weight faltering (kenaikan berat tidak memadai) dan growth deceleration (perlambatan pertumbuhan linier), maka anak tersebut harus dirujuk ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) atau puskesmas. Penimbangan berat badan, dan pengukuran panjang badan di posyandu harus dilakukan setiap bulan untuk deteksi dini weight faltering.

(23)

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder dilakukan oleh dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Dokter melakukan konfirmasi pengukuran antropometrik sebelumnya dan penelusuran penyebab potensial stunting. Anak dengan berat badan rendah, weight faltering atau gizi kurang namun tidak berperawakan pendek (PB/U atau TB/U ≥-2 SD) dapat diberikan Pangan untuk Keperluan Diet Khusus (PDK) sesuai indikasi dan/atau pangan padat energi yang mempunyai komposisi gizi yang memenuhi persyaratan PDK serta terbukti secara ilmiah mengatasi gizi kurang secara efektif. Tindakan ini juga bertujuan untuk mencegah agar anak-anak dengan gangguan gizi tersebut tidak berlanjut menjadi stunting. Pangan olahan yang termasuk dalam PKGK adalah susu formula standar untuk usia 0-12 bulan dan susu pertumbuhan untuk usia 1-3 tahun. Pemberian PDK diresepkan dan dipantau penggunaannya oleh dokter di FKTP.

Dasar pemberian PDK adalah dikarenakan kebutuhan energi pada anak-anak dengan gizi kurang yang meningkat sesuai dengan laju pertambahan berat badan selama masa kejar tumbuh (catch-up growth). Oleh karena itu, kecukupan nutrisi harus sekurang- kurangnya terdiri dari 30% lemak dan 10-15% protein. Selain itu, 4.5% dari total kebutuhan energi anak gizi kurang harus mengandung n-6 polyunsaturated fatty acids (PUFAs) dan 0.5% dari n-3 PUFAs, dengan rasio asam linoleic/alpha-linolenic berkisar antara 5-15.

Pada FKTP dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dasar yang tersedia seperti pemeriksaan darah rutin, urinalisis, feses rutin dan tes Mantoux untuk kemungkinan infeksi tuberkulosis. Jika teridentifikasi ada penyebab medis atau komplikasi yang mendasari misalnya penyakit jantung bawaan, dan tata laksana dengan PKGK tidak menunjukkan respon yang adekuat selama 1 minggu, maka anak dirujuk ke dokter spesialis anak di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).

Pada kasus-kasus gizi buruk tanpa komplikasi dapat diberikan formula F-75 dan F- 100 yang berbahan dasar susu, gula, minyak dan mineral mix. Jika terdapat komplikasi medis dan/atau hasil evaluasi tidak sesuai target yang diharapkan atau tidak terdapat perbaikan kondisi klinis dalam satu minggu maka dirujuk ke dokter spesialis anak di FKRTL.

Anak yang terkonfirmasi perawakan pendek (PB/U atau TB/U <-2 SD) baik dengan/tanpa penyebab potensial yang mendasari harus dirujuk ke dokter spesialis anak di FKRTL. Dokter dan petugas gizi lapangan di puskesmas tetap memberikan konseling dan edukasi kepada orang tua. Konseling dilakukan untuk menyampaikan informasi kepada orang tua/pengasuh tentang hasil penilaian pertumbuhan anak dan alasan rujukan ke rumah sakit. Edukasi meliputi anjuran cara pemberian makan sesuai usia dan kondisi anak, cara menyiapkan formula, petunjuk memilih jenis bahan makanan dan pelaksanaan aturan makan (feeding rules).

(24)

3. Pencegahan Tersier (Tata Laksana Stunting dan Risiko Stunting).

Pencegahan tersier dilakukan oleh dokter spesialis anak di FKRTL. Dokter spesialis anak melakukan konfirmasi diagnosis stunting.

Dilakukan penelusuran perawakan pendek pada anak yang dibagi menjadi variasi normal atau patologis. Pada anak usia < 2 tahun nilai pertambahan panjang badan (length increment), sedangkan pada anak usia 2 tahun atau lebih dilakukan pemeriksaan usia tulang. Jika didapatkan kondisi patologis, bedakan antara proporsional akibat faktor pranatal atau pascanatal, dan disproporsional pada displasia tulang dan kelainan genetik lain. Tentukan penyebab perawakan pendek berdasarkan growth velocity dan bone age.

II.1.7 Tatalaksana Stunting

II.1.7.1 Tata Laksana Gizi, Aktivitas Fisik, dan Durasi Tidur

Tata laksana stunting dilakukan oleh dokter spesialis anak di FKRTL yang meliputi tiga aspek yaitu tata laksana nutrisi dengan pemberian makan yang benar dan energi cukup (protein energy ratio, PER 10- 15%), jadwal tidur teratur dengan waktu tidur malam mulai pukul 21.00 untuk mencapai tidur dalam (deep sleep) pada pukul 23.00- 03.00 serta melakukan olahraga/aktivitas fisik teratur paling tidak 30-60 menit, minimal 3-5 hari dalam seminggu.

II.1.7.2 Tata Laksana Pada Bayi Prematur dan Bayi KMK

Bayi berat lahir rendah (berat lahir <2500 gram) dan/atau bayi prematur (usia kehamilan

<37 minggu) berisiko tinggi mengalami stunting karena kemampuan oromotor yang belum matang, penyulit yang tidak memungkinkan nutrisi enteral (misalnya: enterokolitis nekrotikans) atau komposisi ASI yang tidak memenuhi kebutuhan protein untuk kejar tumbuh. Berbagai bukti ilmiah merekomendasikan agar bayi prematur mendapatkan nutrisi agresif dini (early aggressive nutrition) untuk mengurangi gagal tumbuh ekstrauterin dan meningkatkan luaran jangka panjang terutama dalam aspek kognitif. Early aggressive nutrition didefinisikan sebagai pemberian nutrisi parenteral dini disertai nutrisi enteral (jumlah bergantung pada derajat prematuritas) dan pencapaian nutrisi enteral penuh (full enteral feeding) yang lebih cepat, bertujuan membuat bayi lebih cepat kembali ke berat lahir dan mendukung kejar tumbuh pascanatal. Gagal tumbuh ekstrauterin pada bayi prematur berkontribusi sebanyak sekitar 20% terhadap kejadian stunting di Indonesia.

Bayi prematur, khususnya bayi sangat prematur (usia gestasi <32 minggu) dan bayi berat lahir sangat rendah (<1500 gram) juga membutuhkan PKMK yang dapat meningkatkan kandungan protein dan mineral ASI yang disebut Human Milk Fortifier (HMF) dan susu formula prematur. Meskipun keduanya dapat meningkatkan pertumbuhan dengan cepat tetapi berisiko juga mengalami kelebihan asupan energi dan protein.

Berdasarkan kondisi tersebut, jika menemukan bayi BBLR atau prematur harus dirujuk dan ditatalaksana oleh dokter spesialis anak.

(25)

II.1.7.3 Imunisasi pada Bayi dan Balita Stunting

Secara umum, pemberian imunisasi pada kasus murni stunting, tidak ada kontraindikasi khusus. Anak stunting sangat mungkin lebih rentan terhadap infeksi. Pemberian imunisasi beserta boosternya diindikasikan pada semua kasus stunting dan imunisasi perlu dipastikan kelengkapannya sesuai usia. Kelengkapan imunisasi pada stunting sesuai usia akan memberikan kekebalan terhadap Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) II.1.7.4 Stimulasi Perkembangan

Anak stunting yang mengalami keterlambatan perkembangan, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan dan intervensi multidisiplin termasuk program rehabilitasi medis.

Tata laksana tumbuh kembang pada anak stunting dengan perkembangan yang normal atau tidak mengalami keterlambatan perkembangan dilakukan melalui pemberian stimulasi sesuai usia dan kemampuan anak untuk dikombinasikan dengan tata laksana nutrisi.

II.1.7.5 Tata Laksana Penyakit Penyerta

Jika terdapat penyakit penyerta, pengobatan diberikan sesuai dengan penyakit penyerta yang ada.

II.2 Anemia

II.2.1 Definisi Anemia

Anemia adalah suatu keadaan dimana jumlah kadar Hb (Hemoglobin), hematokrit, dan jumlah sel darah merah di bawah nilai normal atau bisa disebut juga penurunan kuantitas sel-sel darah merah dalam sirkulasi atau jumlah kadar hemoglobin (Hb) dibawah batas normal.12 Menurut American Society of Hematology, anemia adalah menurunnya jumlah hemoglobin dari batas normal sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya sebagai pembawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Anemia ditandai dengan beberapa gejala yaitu sering lesu, lemah, pusing, mata berkunang-kunang dan wajah pucat. Hal ini dapat berdampak pada penurunan daya tahan tubuh sehingga mudah terserang penyakit dan mengakibatkan menurunnya aktivitas dan kurang konsentrasi.13

II.2.2 Faktor Risiko Anemia

Faktor-faktor yang menyebabkan anemia pada suatu populasi dapat melibatkan interaksi kompleks dari faktor sosial, politik, ekologi, dan biologi.14 Faktor lama menstruasi berhubungan dengan kejadian anemia. Kondisi sosial ekonomi rumah tangga juga berkaitan dengan kejadian anemia, beberapa penelitian menunjukkan kejadian anemia cenderung lebih tinggi pada rumah tangga miskin. Pada anemia defisiensi besi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kurang mengkonsumsi sumber makanan hewani sebagai salah satu sumber zat besi yang mudah diserap (heme iron), sedangkan bahan makanan nabati (non-heme iron) adalah zat besi yang tinggi tetapi sulit diserap oleh tubuh sehingga diperlukan porsi yang besar untuk mencuckupi kebutuhan zat besi harian.

(26)

Faktor lain yang dapat mempengaruhi anemia defisiensi besi antara lain pola haid pada wanita, pengetahuan tentang anemia dan status gizi.12

II.2.3 Etiologi dan Klasifikasi Anemia

Penyebab anemia dapat ditelusuri atau diperkirakan berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap, MCV, MCH, MCHC, dan pemeriksaan lainnya seperti Serum iron (SI), ferritin, TIBC, dll. Klasifikasi anemia dan kemungkinan etiologinya dapat dilihat pada gambar 2.3.15

Gambar 2.3. Klasifikasi Anemia15

(27)

II.3 Anemia Dalam Kehamilan dan Nifas II.3.1 Definisi Anemia Pada Kehamilan

Berdasarkan WHO, anemia pada kehamilan ditegakkan apabila kadar hemoglobin (Hb) <11 g/dL atau hematokrit (Ht) <33%, serta anemia pasca salin apabila didapatkan Hb <10 g/dL.Center for disease control and prevention mendefinisikan anemia sebagai kondisi dengan kadar Hb <11 g/dL pada trimester pertama dan ketiga, Hb <10,5 g/dL pada trimester kedua, serta <10 g/dL pada pasca persalinan.16,17

II.3.2 Faktor Risiko Anemia pada Kehamilan dan Nifas

Pada kehamilan terdapat beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko anemia, di antaranya:

1. Asupan Nutrisi

Asupan nutrisi sangat berpengaruh terhadap risiko anemia pada ibu hamil. Perubahan fisiologis maternal yang membutuhkan banyak nutrien perlu diimbangi dengan asupan nutrisi yang cukup. Selain kekurangan zat besi, kurangnya kadar asam folat dan vitamin B12 masih sering terjadi pada ibu hamil. Oleh karena itu, ibu hamil disarankan untuk mengkonsumsi makanan yang memiliki komposisi nutrisi bervariasi, khususnya besi, asam folat, dan vitamin B12 untuk mencegah anemia.18

2. Diabetes Gestasional

Pada kondisi hiperglikemi, transferin yang mengakomodasi peningkatan kebutuhan besi janin mengalami hiperglikosilasi sehingga tidak dapat berfungsi optimal. Akibatnya transpor besi ke janin berkurang, dan besi terutama digunakan untuk memproduksi eritrosit, sehingga tidak mencukupi kebutuhan perkembangan organ janin. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sekitar 40–90% kadar besi berkurang pada organ neonatus yang lahir dari ibu dengan diabetes.19

3. Kehamilan multipel

Kebutuhan besi pada kehamilan multipel lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan tunggal. Ibu dengan kehamilan multipel cenderung mengalami peningkatan berat badan berlebih dibandingkan kehamilan tunggal, yang dapat meningkatkan mediator inflamasi sistemik seperti IL-6, sehingga meningkatkan kebutuhan besi. Hal ini menyebabkan ibu dengan kehamilan multipel memiliki risiko yang lebih besar mengalami defisiensi besi.20 4. Kehamilan remaja

Anemia pada kehamilan remaja disebabkan oleh multifaktorial, seperti akibat penyakit infeksi, genetik, atau belum tercukupinya status nutrisi yang optimal. Masa remaja telah dibuktikan sebagai fase yang rentan defisiensi nutrisi. Peningkatan risiko anemia pada remaja disebabkan masih diperlukannya besi pada fase tumbuh kembang yang belum selesai.

Sebuah studi di Amerika menyatakan bahwa sebanyak 9–13% remaja menderita anemia pada trimester 1, dan meningkat menjadi 57–66% pada trimester 3.21

5. Inflamasi dan infeksi dalam kehamilan

Kondisi infeksi dan inflamasi dapat memicu keadaan defisiensi besi. Infeksi seperti cacing, tuberculosis, HIV, malaria, maupun penyakit lain seperti inflammatory bowel disease atau

(28)

keganasan akan memperburuk keadaan anemia, dan anemia pun akan memperburuk kondisi inflamasi dan/atau infeksi tersebut.22

II.3.3 Jenis Anemia Pada Kehamilan dan Nifas II.3.3.1 Anemia Karena Perdarahan

1. Masa Kehamilan

Anemia akibat perdarahan dapat terjadi selama masa kehamilan (perdarahan antepartum), namun lebih sering terjadi pada pasca salin (perdarahan postpartum/pasca salin). Etiologi dari perdarahan antepartum tersering adalah plasenta previa, solusio plasenta dan perdarahan saluran cerna akibat inflamasi (Crohn’s disease, kolitis ulseratif). Kehilangan darah selama kehamilan dapat menyebabkan anemia berat, hingga terjadi peningkatan angka kelahiran preterm. Selain itu, anemia berat juga dapat meningkatkan risiko anemia pasca salin dan kebutuhan transfusi pada maternal saat peripartum.23

2. Masa Nifas

Secara umum, kehilangan darah hingga 30% dari volume total darah (sekitar 15 ml/kg berat badan) dapat dikompensasi oleh tubuh. Kehilangan darah sebanyak 1000 ml atau lebih dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal. Perdarahan pasca salin adalah salah satu penyebab terbanyak mortalitas maternal, terutama di negara berkembang.

Kematian ibu akibat perdarahan dapat dicegah dengan manajemen aktif kala 3, pemberian agen uterotonika dan resusitasi cairan, intervensi bedah, dan ketersediaan darah untuk transfusi.23

Jumlah darah yang hilang dapat diperkirakan dengan beberapa metode termasuk pengukuran secara langsung, dan menggunakan selisih nilai hematokrit atau konsentrasi hemoglobin.23

II.3.3.2 Anemia Hipoproliferatif 1. Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering terjadi saat kehamilan, yang dipicu oleh perubahan fisiologis maternal.

2. Anemia Defisiensi Asam Folat, Vitamin B12, dan B6 a. Defisiensi Asam Folat

Anemia yang disebabkan oleh defisiensi asam folat jarang terjadi di negara industrial, namun dapat terjadi pada wanita dengan diet tidak seimbang, malabsorpsi dan penyalahgunaan alkohol. Gejala yang muncul diawal kehamilan (disamping gejala umum anemia) meliputi mual, muntah serta anoreksia yang memburuk seiring terjadi- nya anemia. Trombositopenia dan leukopenia dapat terjadi pada beberapa kasus.23

(29)

b. Defisiensi Vitamin B12

Anemia pada kehamilan jarang disebabkan oleh defisiensi vitamin B12. Anemia ini dapat disebabkan oleh defisiensi faktor intrinsik seperti riwayat operasi lambung, akibat sekunder dari malabsorpsi, serta inflamasi saluran cerna kronis. Selain adanya anemia makrositik, gejala lain dari defisiensi vitamin B12 lainnya adalah gejala defisit neuropsikiatri seperti paraesthesia, rasa kebas, depresi, mudah marah, dan otot yang lemah.23 Ibu dengan kadar vitamin B12 yang rendah, memiliki risiko berbagai komplikasi kehamilan di antaranya defek tabung saraf (neural tube defect), abortus spontan, PJT, dan berat bayi lahir rendah. Anak yang lahir pada ibu dengan defisiensi vitamin B12 memiliki berbagai risiko abnormalitas kognitif, anemia, serta diabetes tipe 2 di kemudian hari.24

c. Defisiensi Vitamin B6

Pada ibu hamil dengan anemia yang tidak responsif terhadap pemberian zat besi, perlu dipertimbangkan adanya defisiensi vitamin B6. Kadar vitamin B6 pada kehamilan dipengaruhi oleh alkaline phosphatase (ALP) yang diproduksi oleh plasenta. Defisiensi vitamin B6 dapat menginisiasi proses enzimatik sintesis heme dan penggunaan zat besi di sel eritropoeisis. Defisiensi dari kedua mikronutrien ini menyebabkan anemia mikrositik hipokrom dan gambaran darah tepi yang sulit dibedakan. Karena itu diperlukan pemeriksaan kadar keduanya untuk dapat menegakkan diagnosis yang tepat.25

II.3.3.3 Anemia Akibat Proses Inflamasi

Anemia dapat terjadi akibat infeksi parasit maupun bakteri (contoh: pielonefritis akut), infeksi virus kronis (contoh: HIV), dan penyakit inflamasi kronis yang mempengaruhi pencernaan (Crohn’s disease, kolitis ulseratif). Anemia disebabkan akibat adanya inhibisi hematopoeisis yang dimediasi oleh sitokin, dan menurunnya pelepasan zat besi kedalam eritrosit dari sistem retikuloendotelial.23

Beberapa bakteri (contoh: Staphylococcus) menggunakan zat besi untuk reaksi enzimatiknya. Zat besi diambil tidak hanya dari penghancuran transferin, namun juga dari eritrosit setelah penghancurannya dari molekul heme.23

II.3.3.4 Anemia Karena Penyakit Ginjal

Pasien dengan gagal ginjal atau dengan transplantasi ginjal dapat terjadi anemia sedang hingga berat selama kehamilan. Pada wanita dengan kondisi ini terjadi defisiensi eritropoietin, anemia normositik, dan anemia hipoproliferatif. Secara umum, wanita dengan riwayat terapi substitusi eritropoietin rekombinan, memiliki kebutuhan rhEPO yang meningkat selama kehamilan.

Penambahan volume darah pun lebih sedikit dibanding kehamilan normal terutama dengan pada keadaan gagal ginjal. Meskipun demikian, peningkatan volume darah tetap terjadi sehingga

(30)

kondisi anemia yang telah ada sebelumnya semakin memberat. Angka kejadian kelahiran preterm lebih tinggi pada anemia karena penyakit ginjal.23

II.3.4 Tanda dan Gejala Anemia

Tanda dan gejala yang ditemukan pada ibu hamil dengan defisiensi besi mirip dengan gejala anemia pada umumnya, yaitu akibat penurunan penghantaran oksigen ke jaringan. Pada kondisi awal, pasien akan memiliki toleransi yang rendah untuk melakukan aktivitas fisik, sesak saat beraktifitas ringan, serta mudah lelah. Bila derajat anemia makin parah, tanda dan gejala klinis pun menjadi lebih jelas, seperti penurunan kinerja dan daya tahan, apatis, gelisah, gangguan kognitif dan konsentrasi, sesak, berdebar, pusing berputar, hipotensi ortostatik, serta ditemukan pucat seluruh tubuh, dan murmur sistolik pada katup mitral jantung. Keparahan derajat gejala yang diderita pasien juga berkaitan dengan komorbiditas yang ada pada pasien. Misalnya, pasien dengan kelainan jantung dan paru, manifestasinya akan menjadi lebih jelas.26

Gejala anemia dapat dibedakan menjadi akut dan kronis. Anemia akut akan menyebabkan sesak yang tiba-tiba, pusing, dan kelelahan yang mendadak. Pada kondisi anemia kronis seperti defisiensi besi, gejala yang muncul bersifat gradual, dan baru disadari oleh pasien saat kondisi eritrosit sudah sangat rendah.26

Khusus pada anemia defisiensi besi, kondisi defisiensi besi yang parah akan merusak enzim yang memerlukan besi, seperti sitokrom di banyak jaringan pada tubuh. Hal ini akan terlihat paling signifikan pada kulit yang menjadi sangat tidak sehat. Di antaranya adalah:26

- Koilonikia: kuku berbentuk cekung dan sangat rapuh - Angular stomatitis: luka atau ulkus pada ujung mulut - Glositis: peradangan pada mulut

- Antropik gastritis: inflamasi pada gaster

- Achlorydria: kekurangan asam hialuronat pada gaster

- Disfagia: sulit menelan (akibat plummer-vinson syndrome atau Peterson-Brown-Kelly syndrome)

II.4 Anemia Defisiensi Besi Pada Kehamilan

II.4.1 Diagnosis Anemia Defisiensi Besi dalam Kehamilan

Berdasarkan WHO, anemia defisiensi besi adalah kondisi dimana tubuh kekurangan besi, yang terbukti dengan tanda kekurangan besi pada jaringan dan tidak tercukupnya cadangan besi dalam tubuh, disertai dengan penurunan kadar hemoglobin lebih dari 2 standard deviasi dari nilai referensi pada populasi yang sama. Kehamilan mengakibatkan perubahan fisiologis ibu sehingga meningkatkan risiko anemia, dimana paling rentan dimulai pada usia kehamilan sekitar 20-24 minggu. Dari berbagai tipe anemia dalam kehamilan yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, anemia defisiensi besi adalah yang sampai saat ini merupakan penyebab anemia yang paling sering terjadi dalam kehamilan.28

(31)

Anemia defisiensi besi digambarkan dengan eritrosit mikrositik hipokrom. Spektrum defisiensi besi (Gambar 2.4) dimulai dari deplesi besi (menurunnya cadangan besi), eritropoiesis defisiensi besi (cadangan dan transportasi besi menurun), dan anemia defisiensi besi (cadangan, transportasi besi dan besi fungsional rendah).29

Gambar 2.4 Spektrum defisiensi besi29

Berikut adalah beberapa stadium anemia defisiensi besi (Tabel 2.1):

Tabel 2.1 Stadium anemia defisiensi besi

(32)

II.4.2 Perubahan Hematologis Pada Ibu Hamil

Pada saat hamil, akan terjadi peningkatan volume darah yang dimulai sejak trimester pertama.

Peningkatan volume darah tersebut merupakan hasil peningkatan plasma dan eritrosit.

Peningkatan volume darah ini memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah memenuhi kebutuhan metabolik yang meningkat akibat uterus yang membesar, menyediakan gizi untuk janin, dan melindungi ibu dari efek merugikan saat kehilangan darah pada saat melahirkan. Volume darah ibu akan meningkat pesat pada trimester kedua, dan konsentrasi hemoglobin dan hematokrit, sedikit berkurang pada saat kehamilan sebagai efek peningkatan volume darah atau hipervolemia.

Penurunan konsentrasi hemoglobin tersebut disebut anemia hemodilusi. Puncak terjadi pada trimester kedua kehamilan. Penurunan kadar hemoglobin sebesar 1-2g/dL pada akhir trimester kedua dan mulai stabil ketika trimester ketiga saat volume plasma maternal mulai berkurang.Saat hamil, kebutuhan akan zat besi makin bertambah. Pada setiap 1000 mg zat besi yang dibutuhkan saat kehamilan, sekitar 300 mg zat besi akan dikirim secara aktif ke janin dan plasenta. Kebutuhan zat besi yang bertambah diakibatkan oleh peningkatan eritropoiesis.27

II.4.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan skrining anemia pada kehamilan disarankan untuk dilakukan pada saat trimester 1, saat usia 24–28 minggu, serta dalam 24–48 jam pascasalin (sesuai indikasi).30 Untuk mendiagnosis anemia defisiensi besi (ADB) dapat dilakukan beberapa parameter pemeriksaan berikut ini:

Konsentrasi hemoglobin (Hb)

Hemoglobin merupakan protein dalam darah yang dapat merepresentasikan kadar besi di sirkulasi.

WHO mengklasifikasikan derajat keparahan anemia sebagai berikut:30 1. Ringan : kadar Hb <11 mg/dL

2. Sedang : kadar Hb <10 mg/dL 3. Berat : kadar Hb <7 mg/dL

Hematokrit adalah jumlah eritrosit pada volume darah keseluruhan yang dihitung dalam persentase. Pada kehamilan terjadi peningkatan volume plasma yang jumlahnya tidak berimbang dengan peningkatan jumlah eritrosit sehingga menyebabkan penurunan kadar hematokrit dalam kehamilan. Kadar hematokrit <33% mengindikasikan adanya anemia.30

Panel-panel lainnya yang dapat diperiksa untuk mendiagnosis anemia serta penyebabnya antara lain: hitung eritrosit, Mean Corpuscular Volume (MCV) dan Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), Red-cell Distribution Width (RDW) , Retikulosit, Reticulocyte Hemoglobin Content (Ret- He/CHr), Feritin, Serum Iron (SI) dan Total Iron Binding Capacity (TIBC), Reseptor Transferin/soluble Transferin Receptor (sTfR), Saturasi Transferin (TSAT), Rasio mikrositik/hipokrom (MCV/MCH), Hepsidin.30

(33)

Secara ringkas, pemeriksaan penunjang berikut dapat dilakukan untuk mengidentifikasi ADB pada kehamilan:31

1. Konsentrasi Hb → menilai derajat anemia 2. Indeks eritrosit → menilai jenis anemia 3. Feritin → menilai kadar penyimpanan besi 4. Retikulosit → menilai aktivitas eritropoiesis

5. TSAT, RetHe → menilai kadar besi fungsional untuk proses eritropoiesis 6. C-reactive protein → menilai derajat inflamasi

Gambar 2.5 Alur Diagnosis Anemia dalam Kehamilan

II.4.2 Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi Pada Kehamilan

Kebutuhan mikronutrien meningkat pesat pada masa kehamilan, di antaranya besi, folat, iodium, kalsium, dan vitamin D. WHO merekomendasikan suplementasi beberapa jenis mikronutrien terutama pada ibu hamil di negara-negara yang memiliki angka prevalensi defisiensi nutrisi yang tinggi untuk mengurangi risiko berat lahir bayi rendah dan bayi kecil masa kehamilan. Studi menunjukan bahwa suplementasi besi oral menurunkan risiko anemia maternal pada kehamilan aterm (RR 0,30; 95% CI (0,19–0,46)), berat bayi lahir rendah (RR 0,84; 95% CI (0,69–1,03)), dan kelahiran preterm (RR 0,93; 95% CI (0,84–1,03)).32

Suplementasi besi dan asam folat direkomendasikan untuk semua wanita hamil di seluruh dunia. Dosis suplementasi yang direkomendasikan WHO pada ibu hamil adalah 60 mg besi elemental dan dilanjutkan hingga 3 bulan pasca salin, karena prevalensi anemia dalam kehamilan di Indonesia >40%, yaitu 48,9%. Penilaian kadar feritin di awal kehamilan dapat memberikan gambaran dosis suplementasi yang diperlukan. Berikut rekomendasi suplementasi besi berdasarkan kadar feritin:32

(34)

Feritin 70–80 μg/L: Diperkirakan cadangan besi dalam tubuh lebih dari 500 mg, sehingga tidak diperlukan suplementasi.

Feritin 30–70 μg/L: Diperkirakan cadangan besi dalam tubuh 250–500 mg, sehingga direkomendasikan suplementasi 30–40 mg besi elemental.

Feritin <30 μg/L: Diperkirakan cadangan besi dalam tubuh cukup rendah sehingga diperlukan suplementasi 60–80 mg besi elemental.

Dosis terapi defisiensi besi disesuaikan dengan derajat defisiensi dan usia kehamilan saat diagnosis ditegakkan. Pada anemia defisiensi besi ringan dengan kadar Hb 10–10,4 g/dL dapat diberikan terapi besi oral 80–100 mg/hari. Jika ibu hamil terdiagnosis anemia defisiensi besi pada trimester pertama dan kedua, maka tablet besi oral dapat diberikan sebagai terapi lini pertama.

Pada keadaan defisiensi besi, penghitungan kebutuhan besi dilakukan sebagai perkiraan pemberian terapi menggunakan Ganzoni Formula:

Kebutuhan besi = BB [kg] x (Target Hb-Hb saat ini) [g/dl] x 2,4 + 500 mg

(35)

BAB III METODE PENELITIAN

III.1 Desain Penelitian

Mini project ini menggunakan desain studi eksperimen semu (quasi-experimental) dengan desain one group pretest-posttest. Analisis statistik mini project ini merupakan studi analitik komparatif numerik berpasangan dua kelompok dengan menggunakan desain studi potong lintang. Desain penelitian dirancang untuk mengukur dan membandingkan tingkat pengetahuan responden pada satu kelompok perlakuan yang sama sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Kegiatan intervensi berupa penyuluhan secara langsung tentang kesehatan dan gizi yang berhubungan dengan anemia pada kehamilan, yang menjadi prioritas masalah.

III.2 Lokasi dan Waktu Pelaksanaan

Perancanaan mini project ini dilakukan di Puskesmas I Melaya pada bulan Desember 2022 sampai April 2023. Pelaksanaan mini project dilakukan di kelas ibu hamil yang dilaksanakan di Balai Banjar Munduk Ranti, Desa Tukadaya pada hari Jumat, 14 April 2023 pukul 08.30 – 11.30 WITA.

Pelaporan mini project dilakukan di Puskesmas I Melaya pada bulan Mei 2023.

III.3 Populasi dan Sampel Penelitian III.3.1 Populasi Target

Populasi target adalah ibu hamil di desa Tukadaya pada bulan April 2023.

III.3.2 Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau adalah ibu hamil di desa Tukadaya yang hadir di kelas ibu hamil pada tanggal 14 April 2023.

III.3.3 Sampel Penelitian

Data primer / sampel penelitian diambil dengan cara convenience sampling, yaitu metode pengambilan sampel yang melibatkan sampel yang paling mudah dijangkau oleh peneliti.33 Sampel pada penelitian ini adalah ibu hamil di desa Tukadaya yang hadir di kelas ibu hamil pada tanggal 14 April 2023, yang bersedia mengisi lembar kuesioner pretest dan posttest. Data primer didapatkan menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan

(36)

oleh Kanna De, et al di India pada tahun 2022 yang meneliti pengetahuan dan kesadaran tentang anemia berbasis kuesioner.34 Kuesioner disesuaikan dan dimodifikasi agar sesuai dengan pengaturan studi peneliti dan kondisi populasi target peneliti di Indonesia.

Data sekunder didapatkan dari Laporan Bulanan Kegiatan KIA di Puskesmas I Melaya periode Oktober 2022 hingga Maret 2023.

III.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria inklusi:

1. Ibu hamil di desa Tukadaya yang hadir di kelas ibu hamil pada tanggal 14 April 2023.

2. Bersedia menjadi responden dengan menjawab seluruh pertanyaan di lembar kuesioner pretest dan posttest.

Kriteria eksklusi:

1. Para peserta yang hadir di kelas ibu hamil namun bukan ibu hamil dari desa Tukadaya.

2. Peserta yang tidak mengikuti kelas ibu hamil secara penuh dari awal hingga akhir acara.

3. Peserta yang tidak bersedia menjadi responden.

III.5 Variabel dan Definisi Operasional

Variabel yang diidentifikasi mencakup karakteristik responden, pengetahuan, sikap, dan perilaku responden terhadap anemia pada kehamilan. Karakteristik responden meliputi nama, usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, status paritas, usia kehamilan, dan status anemia. Tingkat pengetahuan responden diukur dari skor jawaban terhadap beberapa pertanyaan singkat terkait anemia pada kehamilan yang terdapat pada kuesioner. Sikap dan perilaku responden dinilai dari pernyataan sikap dan perilaku seperti apakah responden rutin memeriksakan kehamilan/ANC, apakah responden rutin minum tablet tambah darah (TTD), dan seberapa sering responden menerapkan PHBS. Tempat ANC ibu hamil dan kesulitan-kesulitan yang dialami selama minum TTD juga dikaji pada setiap responden. Definisi operasional variabel penelitian tercantum dalam Tabel 3.1.

(37)

No. Variabel Definisi Skala Pengukuran Skala Pengukuran 1 Usia Usia responden saat dilakukan

pengambilan data. 0 sampai ¥ Rasio

2 Pendidikan terakhir

Pendidikan terakhir yang diidentifikasi adalah jenjang pendidikan terakhir yang tuntas ditempuh oleh responden.

Tidak sekolah, tamat SD, SMP, SMA, SMK, Diploma, Sarjana, Magister, Doktor, dll

Ordinal

3 Pekerjaan Pekerjaan yang diidentifikasi adalah pekerjaan yang saat ini dilakukan oleh responden.

Ibu Rumah Tangga,

Petani, Guru, dll Nominal 4 Status paritas Status paritas yang diidentifikasi

adalah berapa kali responden pernah melahirkan selama hidupnya yang diklasifikasikan sebagai belum pernah melahirkan (nullipara), pernah melahirkan 1 kali (primipara), pernah melahirkan lebih dari 1 kali (multipara), dan pernah melahirkan lebih dari 4 kali (grandemultipara).

Nullipara, primipara, multipara,

grandemultipara.

Ordinal

5 Usia kehamilan Usia kehamilan yang diidentifikasi adalah usia kehamilan saat responden mengisi kuesioner yang diukur

dalam minggu dan

dikategorikan ke dalam trimester.

Trimester I (0-12 minggu),

Trimester II (13-27 minggu),

Trimester III (28-40 minggu)

Ordinal

6 Status anemia Status anemua yang diidentifikasi adalah pernah atau tidaknya responden didiagnosis anemia oleh tenaga kesehatan di FKTP, yaitu hasil pengukuran Hb < 11 g/dl selama kehamilan saat ini.

Ya/Tidak Nominal

7 Riwayat rutin memeriksakan kehamilan/ANC

Pada penelitian ini diidentifikasi apakah responden rutin memeriksakan kehamilan/ANC di FKTP sesuai dengan WHO Focused Antenatal Care (FANC) model, yaitu minimal 4 kali pertemuan yang terbagi menjadi minimal 1 kali pada trimester I, 1 kali pada trimester

Ya, Tidak Nominal

(38)

2, dan 2 kali pada trimester 3.

Kunjungan ANC dilihat melalui buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).

8 Pernyataan sikap rutin minum TTD

Pada penelitian ini diidentifikasi antusiasme responden untuk rutin minum TTD yang diukur menggunakan kuesioner.

Ya, Tidak Nominal

9 Riwayat menerapkan PHBS

Pada penelitian ini diidentifikasi apakah responden menerapkan PHBS, yaitu mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dan menyiapkan makanan, memakai alas kaki di luar rumah, menggunakan jamban sehat, dan membuang sampah pada tempatnya. PHBS diukur

Gambar

Gambar 2.1. The World Health Organization conceptual framework on childhood stunting:
Gambar 2.2. Stunting syndrome
Gambar 2.3. Klasifikasi Anemia 15
Tabel 2.1 Stadium anemia defisiensi besi
+7

Referensi

Dokumen terkait