• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI HUKUM PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM MELAKUKAN PEMBEBASAN BERSYARAT SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PEMBINAAN NARAPIDANA

N/A
N/A
widia polopa

Academic year: 2024

Membagikan "LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI HUKUM PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM MELAKUKAN PEMBEBASAN BERSYARAT SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PEMBINAAN NARAPIDANA "

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI HUKUM

PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM MELAKUKAN PEMBEBASAN BERSYARAT SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PEMBINAAN NARAPIDANA

Disusun Oleh :

MOH. RIFALDY M. ALMAHDALI 20011090

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LUWUK 2023

(2)

LEMBARAN PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI HUKUM

PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM MELAKUKAN PEMBEBASAN BERSYARAT SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PEMBINAAN NARAPIDANA

Disusun Oleh :

MOH. RIFALDY M. ALMAHDALI 20011090

Menyetujui Dosen Pembimbing lapangan (DR. Abdul Ukas Marzuki, S.H., M.H)

NIDN. 0908108002

(3)

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT berkat Rahmat, Hidayah, dan Karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Profesi Hukum (PKPH) dengan judul “Peran Lembaga Pemasyarakatan dalam Melakukan Pembebasan Bersyarat sebagai salah satu upaya Pembinaan Narapidana”. Laporan Praktek Kerja Profesi Hukum Kerja ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi nilai dari mata kuliah PKPH pada program Strata-1 di Jurusan Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Luwuk.

Penulis menyadari dalam penyusunan laporan PKPH ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Direktur Universitas Muhammadiyah Luwuk

2. Dosen pembimbing lapangan, atas saran dan motivasi yang diberikan.

3. Segenap dosen difakultas Hukum.

4. para pegawai di Lapas Kelas IIB Luwuk

5. orang tua, saudara saudara kami, atas doa, bimbingan serta kasih sayang yang selalu tercurah selama ini.

6. Serta teman teman seperjuangan kami dijurusan fakultas Hukum.

Kami menyadari Laporan PKPH ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan dan perbaikannya sehingga akhirnya laporan ini dapat memberikan manfaat bagi bidang pendidikan dan penerapan di lapangan serta bisa dikembangkan lagi lebih lanjut.

(4)

2 DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... 1

DAFTAR ISI ... 2

BAB I ... 3

PENDAHULUAN ... 3

1.1. Latar Belakang ... 3

1.2. Ruang Lingkup ... 6

1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

BAB II ... 8

GAMBARAN UMUM LOKASI PKPH ... 8

2.1. Sejarah Kepenjaraan di Indonesia ... 8

2.2. Struktur Organisasi ... 13

BAB III ... 14

PEMBAHASAN ... 14

3.1. Pelaksanaan pemberian Pembebasan Bersyarat ... 14

3.2. Faktor faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana. ... 16

BAB IV ... 17

PENUTUP ... 17

4.1. Kesimpulan ... 17

4.2. Saran ... 17

DAFTAR PUSTAKA ... 18

(5)

3 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lembaga pemasyarakatan yang disingkat dengan LAPAS merupakan tempat atau kediaman bagi orang-orang yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan bahwa ia telah terbukti melanggar hukum. Lapas juga lebih dikenal oleh masyarakat awam dengan istilah penjara. Ketika seseorang telah dimasukkan ke dalam lapas, maka hak kebebasannya sebagai warga masyarakat akan dicabut. Ia tidak bisa lagi sebebas masyarakat di luar lapas. Orang-orang yang telah masuk dalam lapas dapat dikatakan sebagai orang yang kurang beruntung karena selain tidak bisa lagi bebas bergerak, tetapi mareka juga akan dicap sebagai sampah masyarakat oleh lingkungannya.

Lembaga pemasyarakatan merupakan institusi terakhir dalam Sistem Peradilan Pidana yang berperan dalam mewujudkan tujuan Sistem Peradilan Pidana. Menurut Marjono Reksodiputro, tujuan sistem peradilan pidana adalah mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Saat ini pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan menggunakan Sistem Pemasyarakatan. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasayarakatan:

“Sistem Pemasayarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,

(6)

4

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterma kembali oleh lingkungan masyarakat, dan dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”

Tujuan utama dari lembaga pemsayarakatan adalah melakukan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan sebagai bagian akhir dari sitem pemidanaan dalam sistem perdilan pidana. Di dalam lembaga pemsayarakatan dipersiapkan berbagai program pembinaan bagi para narapidana sesuai dengan tingkat pendidikan, jenis kelamin, agama dan jenis tindak pidana yang dilakukan narapidana tersebut. Program pembinaan bagi para narapidana dan anak didik, agar mencapai sasaran yang ditetapkan, yaitu agar mereka menjadi warga yang baik dikemudian hari.

Sistem pembinaan narapidana dengan sistem pemasyarakatan pertama kali dikemukakan oleh Sahardjo, antara lain dikemukakan bahwa rumusan tentang tujuan dari pidana penjara, yakni disampingkan menimbulkan rasa derita dari terpidana agar bertobat, mendidik supaya iya menjadi seseorang anggota sosial Indonesia yang berguna. Atau dengan perkataan lain tujuan pidana penjara itu ialah pemasyarakatan.

Narapidana yang ada di dalam lapas sudah pasti merasa kehilangan kemerdekaannya, tetapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia yang diatur dalam Undang- undang Nomor 12 Tahun 1995 pasal 14 tentang pemasyarakatan. Hak- hak tersebut adalah:

• Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan

• Mendapat perawatan baik dan pengajaran

• Mendapatkan pendididkan dan pengajaran

• Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak

• Menyampaikan keluhan

(7)

5

• Mendapatkan bahan bacaan, dan mengikti siaran media masa lainnya yang tidak dilarang

• Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan

• Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya

• Mendapat pengurangan masa pidana

• Mendapat kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga

• Mendapat pembebasan bersyarat

• Mendapat cuti menjelang bebas

• Mendapat hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan di atas, bahwa salah satu hak dari narapidana adalah mendapatkan pembebasan bersyarat. Pembebasan bersyarat menurut pasal 1 huruf b keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas adalah proses pembinaan narapidana diluar Lembaga Pemasyarakatan yang dilaksanakan berdasarkan pasal 15 dan pasal 16 Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta pasal 14,22, dan Pasal 29 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Pembebasan bersyarat merupakan salah satu pembinaan narapidana sebelum ia selesai menjalani masa pidananya agar menjadi orang yang lebih baik dan berguna pastinya setelah menjalani masa pidananya. Pemberian pembebasan bersyarat menurut ketetentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebelum berakhir masa pidananya.

Dari latar belakang di atas maka penulis tertarik mengkaji mengenai

“Peran Lembaga Pemasyarakatan dalam Melakukan Pembebasan Bersyarat sebagai salah satu upaya Pembinaan Narapidana.

(8)

6 1.2. Ruang Lingkup

1.2.1. Identifikasi Masalah

Proses pelaksanaan pembebasan bersayarat sudah sangat modern yaitu sudah menggunakan Aplikasi.

1.2.2. Rumusan Masalah

a. Bagaimanakah pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana

b. Faktor faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana

1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.3.1. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana

b. Untuk mengetahui Faktor faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana

1.3.2. Manfaat Penulisan

a. Mahasiswa memiliki pemahaman tentang dunia kerja.

b. Mahasiswa memiliki ketrampilan dalam berkomunikasi dan memiliki rasa percaya diri dalam bersikap.

1.3.3. Metode Pengumpulan Data

Penulisan ini menggunakan dua cara pengumpulan data yakni, wawancara dan dokumentasi.

a. Wawancara : Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara tanya jawab kepada petugas Lembaga Pemasayarakatan.

(9)

7

b. Dokumentasi : Dengan mengambil gambar pada saat pelaksanaan.

1.3.4. Lokasi PKPH

Lembaga Pemayarakatan Kelas IIB Luwuk, Jl. Pulau Kalimantan no. 267, Kec. Luwuk selatan, Kab. banggai

1.3.5. Kegiatan Selama PKPH

Kegiatan Praktek Kerja Profesi Hukum dilakukan dari tanggal 23 Februari s.d 27 Maret, pukul 08:00 WIB s.d 15.00 WIB, dari senin hingga sabtu.

Pada awalnya para Mahasiswa ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Luwuk, datang melapor untuk mengikuti kegiatan Praktek Kerja Profesi Hukum dengan menghadap ke Kaur kepegawaian dan keuangan untuk dibekali beberapa informasih tentang peraturan peraturan yang harus dipatuhi dan wajib dilaksanakan selama kegiatan Praktek Kerja Profesi Hukum berlansung di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Luwuk, selanjutnya kami diarahkan ke masing masing Kasubsi untuk dilakukan pengenalan mengenai bidang bidang yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan yaitu bidang Keamanan (KPLP), bidang Kamtib (Kasikamtib) dan bidang Registrasi (Kasibinapigiatja).

(10)

8 BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PKPH

2.1. Sejarah Kepenjaraan di Indonesia

Perkembangan kepenjaraan di Indonesia terbagi menjadi 2 kurun waktu dimana tiap-tiap kurun waktu mempunyai ciri tersendiri, diwarnai oleh aspekaspek sosio cultural, politis, ekonomi yaitu : 2.1.1. Kurun waktu pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan di

Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan RI (1872-1945), terbagi dalam 4 periode yaitu :

2.1.1.1. Periode kerja paksa di Indonesia (1872-1905).

Pada periode ini terdapat 2 jenis hukum pidana, khusus untuk orang Indonesia dan Eropa. Hukum pidana bagi orang Indonesia (KUHP 1872) adalah pidana kerja, pidana denda dan pidana mati.

Sedangkan hukum pidana bagi orang Eropa ( KUHP 1866 ) telah mengenal dan dipergunakan pencabutan kemerdekaan ( pidana penjara dan pidana kurungan ). Perbedaan perlakuan hukuman pidana bagi orang Eropa selalu dilakukan di dalam tembok ( tidak terlihat ) sedangkan bagi orang Indonesia terlihat oleh umum.

2.1.1.2. Periode penjara sentral wilayah (1905-1921).

Periode pelaksanaan pidana di Indonesia menjelang berlakunya Wetboek Van Strafrecht Voor Nederland Indie (KUHP 1918). Periode ini ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk memusatkan penempatan para terpidana kerja paksa di dalam pusat-pusat penampungan wilayah. Pidana kerja lebih dari 1 tahun yang berupa kerja paksa dengan dirantai/ tanpa dirantai

(11)

9

dilaksanakan diluar daerah tempat asal terpidana.

Kemudian sejak tahun 1905 timbul kebijaksanaan baru dalam pidana kerja paksa dilakukan di dalam lingkungan tempat asal terpidana.

2.1.1.3. Periode kepenjaraan Hindia Belanda (1921-1942).

Periode pelaksanaan pidana di Indonesia setelah berlakunya Wetboek Van Strafrecht Voor Nederland Indie ( KUHP 1918) . Pada periode ini terjadi perubahan sistem yang dilakukan oleh Hijmans sebagai kepala urusan kepenjaraan Hindia Belanda, ia mengemukakan keinginannya untuk menghapuskan sistem dari penjara-penjara pusat dan menggantikannya dengan struktur dari sistem penjara untuk pelaksanaan pidana, dimana usaha-usaha klasifikasi secara intensif dapat dilaksanakan Hijmans. Pengusulan adanya tempat-tempat penampungan tersendiri bagi tahanan dan memisahkan antara terpidana dewasa dan anak-anak, terpidana wanita dan pria.

2.1.1.4. Periode pelaksanaan pidana di Indonesia dalam periode pendudukan balatentara Jepang ( 1942- 1945 ). Pada periode ini menurut teori perlakuan narapidana harus berdasarkan reformasi/

rehabilitasi namun dalam kenyataannya lebih merupakan eksploitasi atas manusia. Para terpidana dimanfaatkan tenaganya untuk kepentingan Jepang. Dalam teori para ahli kepenjaraan Jepang perlu adanya perbaikan menurut umur dan keadaan terpidana. Namun pada kenyataannya perlakuan terhadap narapidana bangsa Indonesia selama periode

(12)

10

pendudukan tentara Jepang merupakan lembaran sejarah yang hitam dari sejarah kepenjaraan di Indonesia, hal ini tidak jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya (penjajahan Belanda).

2.1.2. Kurun waktu kepenjaraan RI, perjuangan kemerdekaan dan karakteristik kepenjaraan nasional (1945-1963), terbagi dalam tiga periode yaitu :

2.1.2.1. Periode kepenjaraan RI ke I ( 1945-1950 ). Periode ini meliputi 2 tahap yaitu tahap perebutan kekuasaan dari tangan tentara Jepang, perlawanan terhadap usaha penguasaan kembali oleh Belanda dan tahap mempertahankan eksistensi RI. Periode ini ditandai dengan adanya penjara-penjara darurat yaitu penjara yang berisi beberap orang terpidana yang dibawa serta mengungsi oleh pimpinan penjaranya. Pada umumnya didirikan pada tempat-tempat pengungsian, sebagai tempat menahan orang yang dianggap mata-mata musuh. Adanya penjara darurat dan pengadilan darurat dimaksudkan sebagai bukti kepada dunia luar bahwa pemerintah RI secara de jure dan de facto tetap ada.

2.1.2.2. Periode kepenjaraan RI ke II ( 1950-1960 ). Periode ini ditandai dengan adanya langkah-langkah untuk merencanakan reglement Penjara yang baru sejak terbentuknya NKRI. Pada periode ini telah lahir adanya falsafah baru di bidang kepenjaraan yaitu resosialisasi yang pada waktu itu dinyatakan sebagai tujuan yang modern di dunia kepenjaraan internasional.

(13)

11

2.1.2.3. Periode kepenjaraan RI ke III (1960-1963).Periode ini merupakan periode pengantar dari periode pemasyarakatan berikutnya. Periode ini ditandai dengan adanya kebijaksanaan kepemimpinan kepenjaraan yang berorientasi pada pola social defense yang dicanangkan oleh PBB yaitu integrasi karya terpidana dalam ekonomi nasional, bentuk baru kenakalan remaja dan penanganan jenis-jenis kejahatan yang diakibatkan oleh perubahan- perubahan sosial dan yang menyertai perkembangan ekonomi. Pembinaan menjelang bebas dan perawatan susulan serta pemberian bantuan kepada keluarga terpidana.

2.1.3. Sejarah Pemasyarakatan di Indonesia terbagi menjadi 3 periode (Dirjen Pemasyarakatan),yaitu :

2.1.3.1. Periode pemasyarakatan I (1963-1966)

Periode ini ditandai dengan adanya konsep baru yang diajukan oleh Dr. Saharjo, SH berupa konsep hukum nasional yang digambarkan dengan sebuah pohon beringin yang melambangkan pengayoman dan pemikiran baru bahwa tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan. Pada konfrensi Dinas Derektoral Pemasyarakatan di Lembang Bandung tahun 1964, terjadi perubahan istilah pemasyarakatan dimana jika sebelumnya diartikan sebagai anggota masyarakat yang berguna menjadi pengembalian integritas hidup-kehidupan- penghidupan.

2.1.3.2. Periode Pemayarakatan II (1966-1975)

Periode ini ditandai dengan pendirian kantor-kantor BISPA (Bimbingan Pemasyarakatan dan

(14)

12

Pengentasan Anak) yang sampai tahun 1969 direncanakan 20 buah. Periode ini telah menampakkan adanya trial and error dibidang pemasyarakatan, suatu gejala yang lazim terjadi pada permulaan beralihnya situasi lama ke situasi baru. Ditandai dengan adanya perubahan nama pemasyarakatan menjadi bina tuna warga.

Periode pemasyarakatan III ( 1975-sekarang ) 2.1.3.3. Periode ini dimulai dengan adanya Lokakarya

Evaluasi Sistem Pemasyarakatan tahun 1975 yang membahas tentang sarana peraturan perundang- undangan dan peraturan pelaksanaan sebagai landasan struktural yang dijadikan dasar operasional pemasyarakatan, sarana personalia, sarana keuangan dan sarana fisik. Pada struktur organisasi terjadi pengembalian nama bina tuna warga kepada namanya semula yaitu pemasyarakatan.

2.1.4. Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Luwuk

Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Luwuk didirikan pertama kali pada tahun 1958, berlokasi di Kelurahan Soho Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah dengan Kapasitas hunian 80 orang, seiring dengan perkembangan dan meningkatnya pelaku pelanggar hukum di kabupaten Banggai, berdasarkan Surat keputusan Menteri Kehakiman R.I Nomor : M.01.PR.07.03 Tahun 1985 Tanggal 26 Februari 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan maka tanggal 30 September 1985 Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Luwuk resmi dipindahkan ke Kelurahan Simpong dengan luas bangunan 5.375 M2 dan Luas tanah 25.905 M2 dengan kapasitas hunian 227 orang dan bangunan Lapas yang lama kini digunakan sebagai

(15)

13

Balai Pemasyarakatan Luwuk. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Luwuk menampung Narapidana dan Tahanan dari tiga wilayah hukum yaitu Kabupaten Banggai, dan Kabupaten Banggai Kepulauan.

2.2. Struktur Organisasi

KEPALALAPAS

KPLP

PENGAMANAN REGU PENGAMAN I REGU PENGAMAN II REGU PENGAMAN III REGU PENGAMANAN IV

KASIBINAPIGIATJA

KASUBSI PERAWATAN

KASUBSI KEGIATAN KERJA

KASIMINKAMTIB

KASUBSI KEAMANAN

KASUBSI PROTATIB KASUBAG TATAUSAHA

KAUR KEPEGAWAIAN & KEU

KAUR UMUM

(16)

14 BAB III PEMBAHASAN

3.1. Pelaksanaan pemberian Pembebasan Bersyarat

Pemberian Pembebasan Bersyarat diberikan kepada warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Luwuk yang telah menjalani 2/3 masa pidana nya, dengan pidana paling singkat 9 bulan dan aktif mengikuti program kegiatan pembinaan didalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Luwuk.

3.1.1. Syarat Pembebasan Bersyarat secara umum

3.1.1.1. Telah menjalani 2/3 dari masa pidana paling singkat 9 bulan.

3.1.1.2. berkelakuan baik selama menjalani masa pidana nya.

3.1.1.3. telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat

3.1.2. Syarat diatas dibuktikan dengan kelengkapan dokumen 3.1.2.1. salinan kutipan putusan hakim dan berita acara

pelaksanaan putusan pengadilan 3.1.2.2. Surat penilaian pembinaan Narapidana

3.1.2.3. laporan perkembangan pembinaan sesuai dengan sistem penilaian pembinaan narapidana yang ditandatangani oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan

3.1.2.4. Surat pernyataan Narapiana 3.1.2.5. Register F

3.1.2.6. Salinan Daftar perubahan

(17)

15

3.1.2.7. Surat pernyataan membayar denda (jika tidak ada WBP akan menjalani subsider didalam Lapas) 3.1.2.8. MAP (surat pemberitahuan masih ada perkara

lain)

3.1.2.9. Surat jaminan kesanggupan dari pihak keluarga, yang diketahui oleh lurah atau kepala desa atau nama lain yang menyatakan bahwa: Narapidana tidak akan melarikan diri dan/atau tidak melakukan perbuatan melanggar hukum; dan membantu dalam membimbing dan mengawasi narapidana selama mengikuti program Pembebasan Bersyarat.

Setelah Narapidana tersebut dipandang memenuhi kriteria untuk dilakukan pembebasan Bersyarat maka langsung dapat diusulkan dengan menggunakan Aplikasi SDP / Sistem Data Base Pemasyarakatan dimana aplikasi ini merupakan sebuah sistem terintegrasi yang mencakup proses Pemasyarakatan yang meliputi perekaman data WBP dan tahanan sejak masuk ke dalam Lapas/Rutan/LPKA, Pembinaan hingga pembimbingan, sampai pada tahap Pembebasan, prosedur/ Langkah Langkah tahapan nya adalah sebagai berikut :

o Menyiapkan dan menyusun berkas usulan PB beserta dokumen pelengkap,menginput nama nama WBP ke dalam usulan Integrasi (PB)

o Memeriksa kelengkapan berkas untuk di scan dan di upload pada masing masing nama WBP untuk diusulkan pada daftar usulan sidang TPP

o Melakukan verifikasi data ( disetujui/ditunda/ditolak ) sesuai hasil sidang TPP dan diajukan ke supervisor.

(18)

16

o Melakukan pengecekan semua data sesuai hasil sidang TPP o Melengkapi usulan dengan nomor surat dari bagian umum dan mengirim semua usulan PB ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM.

o Kanwil melaksanakan sidang TPP dan hasilnya disampaikan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Direktur Jenderal Pemasyarakatan melaksanakan sidang TPP, Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan pemberian PB.

o Lapas menerima dan melakukan pengecekan SK PB; Lapas melaksanakan SK pemberian PB.

3.2. Faktor faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana.

3.2.1. Belum adanya petikan putusan dan Berita acara pelaksanaan putusan hakim.

3.2.2. Masih ada perkara lain (MAP)

3.2.3. Tidak ada nya penjamin / keluarga tidak mau jadi penjamin narapidana tersebut.

3.2.4. Narapidana masih terdaftar dalam register F

(19)

17 BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Dari hasil apa yang telah diamati penulis selama mengikuti kegiatan Praktek Kerja Profesi Hukum (PKPH) di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Luwuk, maka penulis dapat menyimpulkan tentang cara melakukan Pembebasan Bersyarat, mulai dari tahap melengkapi persyaratan hingga pada tahap pengusulan sampai dengan dikeluarkan nya SK Pembebasan Bersayarat.

4.2. Saran

Saran untuk mahasiswa PKPH selanjutnya, jika mengambil konsentrasi hukum pidana dan melaksanakan praktek kerja profesi hukum di Instansi Lembaga pemasyarakatan kelas IIB Luwuk, agar memilih bidang Registrasi Lapas Luwuk.

(20)

18

DAFTAR PUSTAKA

http://scholar.unand.ac.id/32513/2/BAB%20I.pdf

https://divisipassulteng.blogspot.com/2011/10/profil-lapas-klas-iib-luwuk.html https://lapassalemba.kemenkumham.go.id/profil/sejarah-pemasyarakatan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti Implementasi Sistem Pembebasan Bersyarat Terhadap Narapidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A

Dari penelitian ini, diharapkan dapat diketahui syarat- syarat normatif pemberian pemebebasan bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Sragen, Kelas IIA

Pembebasan Bersyarat adalah proses pembinaan Narapidana dan Anak Pidana di Luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa

menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “PEMBERIAN HAK PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA (Studi Kasus Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Wirogunan Yogyakarta)

Narapidana terorisme yang sudah mengajukan usulan pembebasan bersyarat dinilai oleh Petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Semarang sudah berkelakuan baik selama menjalani

Kendala yang dihadapi Balai Pemasyarakatan banyaknya jumlah warga binaan yang mendapat pembebasan bersyarat dan selalu bertambah setiap bulannya sedangkan petugas Bapas

Pelaksanaan hukum pembebasan bersyarat narapidana dalam masa Covid 19 adalah berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 yaitu mengenai Pemasyarakatan serta

Jurnal Pendidikan Tambusai 2006 Analisis Upaya Pencabutan Pembebasan Bersyarat bagi Klien Pemasyarakatan pada Lembaga Pemasyarakatan Andre Triyudha Syahputra Program Studi